Anda di halaman 1dari 34

Sogok atau Riswah

Suap atau sogok,dalam bahasa agama disebut :Riswah. Hukum risywah suap atau sogok, pada
asalnya adalah haram. Baik yang memberi maupun yang menerima . hanya dibolehkan memberi
suap, untuk menolak kedzaliman atas diri yang memberi atau atas orang lain. Maka boleh bagi si
pemberi, tetapi haram atas yang menerima.

Dalilnya tersebut dalam kitab Alwasilatul Anmadiyyah,waddzari’atussarmadiyyah fi


syarhitthariqatil muhammadiyyah , Pada Hamisy bariqah Mahmudiyyah fi syarhi tarieqah
Muhammadiyyah juz ke IV, halaman 88,sbb:
‫ص ِل َحا ِكم اَ ْو َغي ِْر ِه ِليَحْ ُك َم لَهُ اَ ْو يَحْ ِملُهُ َعلَى َما‬ ُ ‫ش ْخ‬ َّ ‫ِي بِ ْال َكس ِْر َمايُ ْع ِط ْي ِه ال‬ َ ‫صبَاحِ ه‬ ْ ‫)وفِي اْ ِلم‬ َّ َ‫ت اْليَدِ(ا َ ْخذ‬
َ ِ‫الر ْش َوة‬ ِ ‫ي ِم ْن اَفَا‬ ْ َ ‫(و ِم ْن َها) ا‬
َ
َ ‫ط ِريْق اَخ ََرفَ ِح ْينَئِذيَ ُج ْو ُز اِ ْع‬
َ‫طا ُء َوال‬ ْ ُّ
َ ‫طا ُؤهَااِالَّ ِلدَ ْفعِ الظل ِم) َع ْن نَ ْف ِس ِه ا َ ْو َغي ِْر ِه اِذَا لَ ْم يُ ْم ِك ِن الدَّ ْف ُع ِب‬ َ ‫(واِ ْع‬
َ ‫َّم‬
ِ ‫ض‬ ‫ال‬ ‫ب‬
ِ ‫ا‬ ً
‫ش‬ ‫ر‬ُ ‫ع‬ُ ‫م‬
ْ ‫ج‬
َ ْ
‫ال‬ ‫ُو‬ ‫د‬
َ ِ ‫ي‬
ْ ‫ُر‬ ‫ي‬
ُ‫يَ ُج ْو ُزاالَ ْخذ‬
Artinya: Dan setengah daripadanya (artinya:dari pada malaetaka tangan )adalah menerima
sogokan. Dan tersebut di dalam Almishbah , Riswah dibaca dengan kasrah ra’ sesuatu yang
diberikan oleh seseorang kepada Hakim atau yang lainnya supaya ia menghukum untuk
kemenangannya atau untuk membawa dia kepada apa yang diinginkannya. Dan jama’nya
:Rusya, dengan dhammah. Begitu juga memberi sogokan , tekecuali untuk menolak sesuatu
kedzaliman, dari dirinya atau orang lain. Maka ketika itu, bolehlah memberi, tetapi tidak boleh
menerima.

jika sudah tsabit keharamannya menerima atau memberi suap / sogok, maka haramlah
memakannya, menyedekahkannya, dan menyimpannya. Menyimpan dapat menarik kepada
memakannya. Menyadekahkan barang yang haram adalah haram dan tdak diterima. Dan
memakannya adalah termasuk makan harta orang lain dengan cara batil.Dan termasuk kedalam
apa yang dimaksudkan dalam firman Allah SWT.pada Suratul Baqarah ayat 188, sebagi berikut:

َ‫اس ِبا ْ ِالثْ ِم َواَ ْنت ُ ْم تَ ْعلَ ُم ْون‬ ِ ‫َوالَتَا ْ ُكلُوا ا َ ْم َوالَ ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِب ْال َب‬
ِ ً‫اط ِل َوتَدْلُ ْوا ِب َها اِلَى اْل ُح َّك ِام ِلتَا ْ ُك ُل فَ ِر ْيق‬
ِ َّ‫ام ْن اَ ْم َوا ِل الن‬
Artinya:Dan janganlah sebagian kamu mmemakan harta sebagian yang lain diantara kamu
dengan jalan yang bathil, dan jangannlah kamu membawa harta itukepada Hakim-hakim , agar
kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain,dengan jalan dosa, padahal kamu
mengetahui.
Bersama ini kami bawakan , Insya Allah beberapa hadis yang berkenaan dengan masalah uang
suap ini. Diriwatkan dari Abdillah bin Umar ra. Berkata ia:
)‫الرا ِش ْي َواْ ْْل ُم ْرت َ ِش ْي(رواه ابو دود والترميذ‬ َّ ‫سلَّ َم‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫لَ َعنَ َر‬
Artinya:Telah mengutuk Rasulullah SAW. akan orang yang memberi sogokan , dan menerima
sogokan, )HR abu daud dan timidzy(
Dirwatkan pula dari Abdillah bin Umar ra.dari Nabi SAW. Bersabda beliau:
)‫ار (رواه التبراني‬ ِ َّ‫الرا ِش ْي َواْل ُم ْرت َ ِش ْي فِي الن‬ َّ
Artinya:orang yang menyogok dan menerima sogok itu didalam neraka.(HR tabranni)
Artikel Lainya baca dongHukum Suap-Menyuap dan Gratifikasi dalam
Syariat Islam

October 12th, 2011 | Add a Comment

Kata suap-menyuap pada hari-hari ini ini begitu akrab di telinga


dikarenakan seringnya media massa menukilnya, sampai-sampai kata suap-menyuap lebih sering
digunakan melebihi makna yang sebenarnya , suap makna sebenarnya adalah memasukkan
makanan dengan tangan ke dalam mulut(Kamus Besar bahasa Indonesia) Maka pada hari-hari
ini, apabila seseorang mendengar kata suap , bukanlah yang tergambar di benaknya sesuatu yang
terkait tangan, mulut dan makanan tapi yang langsung terbayang adalah korupsi, sidang dan
KPK.

Suap sendiri dalam makna yang kedua ini tidak ditemukan di dalam kamus bahasa Indonesia,
yang ditemukan adalah yang sepadan dengannya yaitu sogok yang diartikan sebagai : ”dana
yang sangat besar yang digunakan untuk menyogok para petugas” Sungguh pengertian yang
kurang sempurna, karena apabila pengertiannya seperti ini maka tentunya dana-dana kecil tidak
termasuk sebagai kategori sogok atau suap.

Adapun dalam bahasa arab, suap atau sogok dikenal dengan riswah, yang diartikan
sebagai “Apa-apa yang diberikan agar ditunaikan kepentingannya atau apa-apa yang diberikan
untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar “ (Mu’jamul Wasith) .

Dan dalam syariat islam, perkara suap-menyuap ini ini sangat ditentang dan diancam dengan
ancaman yang mengerikan, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , beliau bersabda :

‫لعنة هللا على الراشي والمرتشي‬

“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap” (HR. Ahmad dan
selainnya dari Abdullah bin Amr’ Rhadiyallahu ‘anhuma , Dishohihkan Al-Albani
dalam Shohihul Jami’ 5114 dan dalam kitab-kitab beliau lainnya(”

Maka hadits ini bagi orang-orang beriman akan membuat mereka akan menjauhi perbuatan ini,
dan ditambah lagi para ulama mengatakan bahwa hadits-hadits yang semisal seperti ini, yaitu
lafadz “Allah melaknat” menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk kategori dosa
besar yang tidak akan diampuni kecuali dia bertaubat, adapun ketika dia mati dalam keadaan
belum bertaubat maka di bawah kehendak Allah apakah akan mengadzabnya atau tidak.

Akan tetapi manusia pengejar dunia akan selalu mendengar bisikan setan dan hawa nafsunya,
mereka akan mencari seribu satu cara pembenaran agar seakan-akan perbuatan mereka itu dapat
dibenarkan. Begitu juga dengan riswah ini, mereka mempunyai seribu satu alasan untuk
membenarkan pemberian kepada mereka, diantara alasan mereka yang paling sering dinukil
adalah :

 Ini adalah uang lelah, uang tips atau hadiah


 Tidak ada pihak yang dirugikan, semua pekerjaan telah diselesaikan sesuai aturan
 Kami hanya diberi, kami tidak pernah meminta.

Maka pemberian inilah yang sekarang dikenal dengan istilah Gratifikasi , yaitu pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya. (Wikipedia)

Maka sekarang kembali ke hukum syariatnya, benarkah pemberian kepada pagawai adalah
sesuatu yang diperbolehkan untuk diterima ??

Telah datang hadits dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim :

‫س ْو َل‬ ُ ‫ار‬َ َ‫ ي‬:َ‫غ ِم ْن َع َم ِل ِه فَقَال‬ َ ‫ام ُل ِحيْنَ فَ َر‬ ِ َ‫امالً فَ َجا َءهُ ْالع‬ ِ ‫سلَّ َم اِ ْست َ ْع َم َل َع‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫ْث أ َ ِب ْي ُح َم ْي ِد السَّا ِع ِدي ِ أ َ َّن َر‬ ُ ‫َح ِدي‬
ِ ‫هللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ِ ‫هللا‬ ‫ل‬ُ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬
ْ ُ َ َ َّ ‫ام‬ َ ‫ق‬ ‫م‬ ُ ‫ث‬ ‫؟‬ َ ‫ال‬ ‫م‬ َ ‫أ‬
ْ َ‫ْ تَ ُ ْ َ ك‬َ ‫ل‬ ‫ى‬ ‫د‬ ‫ه‬‫ي‬ َ ‫أ‬ ‫ر‬ َ
‫ظ‬ ‫ن‬
َ َ ‫ف‬ ‫م‬ ُ ‫أ‬ ‫و‬
َ‫َ تَ ِ َ ْ ِ ِ ْكَ َ ِ ك‬ ‫ي‬ ‫ب‬َ ‫أ‬ ‫ت‬ ‫ي‬‫ب‬ ‫ى‬ ‫ف‬ ْ ‫د‬ ‫ع‬ َ ‫ق‬ َ ‫ال‬ َ ‫ف‬ َ ‫أ‬ :ُ ‫ه‬ َ ‫ل‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬ َ ‫ف‬ . ‫ي‬ ‫ل‬
ْ ِ َ ‫ِي‬ ‫د‬ ْ
‫ه‬ ُ ‫أ‬ ‫ا‬َ ‫ذ‬ ‫وهـ‬ ‫م‬ْ ُ
‫ك‬ َ ‫ل‬ ‫ا‬َ ‫ذ‬ ‫هـ‬ ِ‫هللا‬
ْ ُ
:ُ‫ام ِل نَ ْستَ ْع ِملهُ فَيَأتِـ ْينَا فَ َيقُ ْول‬ ْ َ ُ ُ
ِ َ‫ فَ َما بَا ُل الع‬،ُ‫ أ َّما بَ ْعد‬:َ‫ ث َّم قَال‬،ُ‫ش َّهدَ َوأثنَى َعلَى هللاِ بِ َما ه َُو أ ْهله‬ َ ْ َ َ َ ‫صالَةِ فَت‬ َّ ‫سل َم َع ِشيَّة بَ ْعدَ ال‬ ً َّ َ ‫َعلَ ْي ِه َو‬
‫س ُم َح َّمد ِب َي ِد ِه الَ َيغُ ُّل أ َ َحدُ ُك ْم ِم ْن َها‬ ُ ْ ْ
‫ف‬ ‫ن‬
َ ‫ِي‬ ‫ذ‬ َّ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫و‬َ َ ‫ف‬ ‫؟‬َ ‫ال‬ ‫م‬
ْ َ ‫أ‬ ُ ‫ه‬ َ ‫ل‬ ‫ى‬ ‫د‬
َ ْ ‫ه‬ ُ ‫ي‬ ْ
‫َل‬ ‫ه‬ ‫ر‬َ َ
‫ظ‬ ‫ن‬
َ َ ‫ف‬ ‫ه‬ ‫م‬ ُ
ِ ِ َ ِ ِ ‫أ‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬
ْ ‫ب‬َ ‫أ‬ ‫ت‬
ِ ‫ي‬ ْ ‫ب‬ ‫ي‬
َ ْ ِ ََ ‫ف‬ ‫د‬ ‫ع‬ َ ‫ق‬ َ ‫ال‬ َ ‫ف‬ َ ‫أ‬ ‫ي‬ ْ ِ َ ‫ل‬ ‫ِي‬ ‫د‬ ْ
‫ه‬ ُ ‫أ‬ ‫ا‬ َ ‫ذ‬ ‫هـ‬ ‫و‬ َ ْ ِ َ َ ‫هـذَا ِم ْن‬
‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ع‬
‫َت شَاةً َجا َء‬ ْ ‫ار َوإِ ْن كَان‬ ٌ ‫َت بَقَ َرة ً َجا َء ِب َها ُخ ْو‬ َ
ْ ‫عنُ ِق ِه إِ ْن َكانَ بَ ِعي ًْرا َجا َء بِ ِه لهُ ُرغَا ٌء َوإِ ْن كَان‬ ُ ‫شيْـأ ً إِالَّ َجا َء بِ ِه يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة يَحْ ِملهُ َعلى‬
َ ُ ْ َ
‫ط ْي ِه‬َ ‫ع ْف َرةِ ِإ ْب‬ ُ ‫ظ ُر ِإلَى‬ ُ ‫سلَّ َم َيدَهُ َحتَّى ِإنَّا لَنَ ْن‬ ‫و‬
َ َ َ ِ ‫ه‬
ِ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫هللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ِ ‫هللا‬ ُ
‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬
ُ ‫ر‬
ْ َ َ َ َّ ‫ع‬ َ ‫ف‬ ‫ر‬ ‫م‬ ُ ‫ث‬ : ‫ْد‬ ‫ي‬ ‫م‬َ ْ ‫ح‬
ُ ‫ُو‬ ‫ب‬ َ ‫أ‬ ‫ل‬ َ ‫ا‬ َ ‫ق‬َ ‫ف‬ ُ‫ت‬ ْ
‫غ‬ َّ ‫ل‬ ‫ب‬
َ ْ ‫د‬ َ ‫ق‬ َ ‫ف‬ ‫ر‬
ُ َ َ ‫ِب‬
‫ع‬ ‫ي‬
ْ َ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫ه‬

Abu Humaidi Assa’idy Rhadiyallahu ‘anhu . berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam
. mengangkat seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat kemudian sesudah selesai, ia
datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . dan berkata, “Ini untukmu dan yang ini untuk
hadiah yang diberikan orang padaku.” Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . bersabda
kepadanya, “Mengapakah engaku tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu apakah di beri
hadiah atau tidak )oleh orang(?” Kemudian sesudah shalat, NabiShalallahu ‘alaihi wassallam .
berdiri, setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya, lalu bersabda. “Amma ba’du,
mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, “Ini hasil
untuk kamu dan ini aku berikan hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya
untuk menunggu apakah ia diberi hadiah atau tidak?. Demi Allah yang jiwa Muhamad di tangan-
Nya tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di
hari kiamat memikul di atas lehernya. Jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau
kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan.” Abu Humaidi berkata,
“kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam ., mengangkat kedua tangannya sehingga aku
dapat melihat putih kedua ketiaknya.”
Berkata Ibnu Utsaimin Rahimahullahu tentang hadits ini :

“Dan dari hadits ini kita mengetahui besarnya kejelekkan riswah, dan sesungguhnya hal tersebut
termasuk dari perkara-perkara besar yang sampai menyebabkan nabi Shalallahu ‘alaihi
wassallam berdiri berkhutbah kepada manusia dan memperingatkan dari perbuatan ini. Karena
sesungguhnya apabilariswah merajalela di sebuah kaum maka mereka akan binasa dan akan
menjadikan setiap dari mereka tidak mengatakan kebenaran, tidak menghukumi dengan
kebenaran dan tidak menegakkan keadilan kecuali jika diberi riswah, kita berlindung kepada
Allah. Dan riswah , terlaknat yang mengambilnya dan terlaknat pula yang memberi kecuali
apabila dalam keadaan yang mengambilriswah menghalangi hak-hak manusia dan tidak akan
memberikannya kecuali dengan riswah maka dalam keadaan seperti ini laknat jatuh terhadap
yang mengambil dan tidak atas yang memberi karena sesungguhnya pemberi hanya
menginginkan mengambil haknya, dan tidak ada jalan bagi dia untuk itu kecuali dengan
membayar riswah maka yang seperti ini mendapatkan udzur. Sebagaimana ditemukan sekarang
(kita berlindung kepada Allah) di sebagian pejabat di Negara-negara Islam yang tidak
menunaikan hak-hak manusia kecuali dengan riswah ini (kita belindung kepada Allah) maka dia
telah memakan harta dengan batil, dia telah menimpakan kepada dirinya sendiri dengan laknat.
Kita memohon kepada Allah ampunan, dan wajib bagi orang-orang Allah telah mempercayakan
kepadanya pekerjaan untuk melaksanakannya dengan keadilan dan menegakkannya dengan
perkara-perkara yang wajib ditegakkan di dalamnya sesuai kemampuannya.( Syarah Riyadhus
Sholihin , 1/187)

Berkata Ibnu Baaz Rahimahullahu :

“Dan hadits ini menunjukkan bahwa wajib atas pegawai di pekerjaaan apa saja untuk Negara
untuk menunaikan apa-apa yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh bagi dia untuk
menerima hadiah yang terkait dengan pekerjaaanya. Dan apabila dia mengambilnya maka dia
harus menaruhnya di Baitul Mal , dan tidak boleh bagi dia untuk mengambil bagi dirinya sendiri
berdasarkan hadits shohih ini karena sesungguhnya hal itu merupakan perantara kejelekkan dan
pelanggaran amanat.” (Fatawa Ulama Baladil Haram Hal. 655)

Mungkin sebagian orang akan mengatakan, bahwa ini adalah fatwa ulama-ulama masa kini,
maka kita butuh ucapan ulama-ulama terdahulu. Maka perhatikanlah ucapan para imam-imam
kita terdahulu :

Imam Bukhori membuat bab di dalam shohihnya yang mencantumkan hadits ini : “Bab Hadiah
untuk pegawai” dan di tempat lain beliau membuat bab : “Bab orang-orang yang tidak
menerima hadiah dikarenakan sebab”

Imam Nawawi membuat bab dalam Shohih Muslim : “Bab haramnya hadiah untuk pegawai”

Maka sungguh benar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , seandainya saja kira-kira kita
duduk di rumah apakah akan ada yang datang orang yang tidak dikenal memberi kita hadiah ???
seandainya kita tidak di posisi sedang memegang urusan atau proyek apakah kita akan diberi
hadiah?? apakah apabila kita tidak sedang berada di loket-loket pelayanan masyarakat kita akan
diberi hadiah sementara pegawai lain , pegawai biasa yang tidak memegang urusan tidak diberi
hadiah ???

Umar bin Abdil aziz Rahimahullahu , beliau berkata ” Hadiah pada zaman NabiShalallahu
‘alaihi wassallam adalah hadiah, adapun hari ini hadiah )hakikatnya( adalah sogokan” (Syarh
Ibnu Bathol 7/111)

Lajnah Da’imah Lilbuhuts Wal Ifta’ ditanya tentang 3 bentuk pemberian dalam pekerjaaan :

Pertama, Pemberian setelah ditunaikannya seluruh pekerjaan dengan baik, tanpa adanya
penyia-nyiaan, penipuan, penambahan atau pengurangan dan tanpa mengutamakan seseorang
dibanding yang lainnya

Kedua , Dengan diminta , baik secara jelas ataupun dengan isyarat.

Ketiga, Uang pemberian orang sebagai tambahan jam kerja yang sudah habis,. Misalnya jam
kerja sudah habis, tapi masyarakat atau rekanan masih minta dilayani dan mereka siap membayar
uang lembur kita.

Maka mereka menjawab :

Bentuk pertama adalah salah satu bentuk memakan harta manusia dengan cara yang batil

Bentuk kedua termasuk dalam hadits

‫لعنة هللا على الراشي والمرتشي‬

“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap”

Bentuk ketiga tetap tidak boleh, karena kita berkerja pada pimpinan dan Negara, kalau memang
mereka ingin kita berkerja lebih maka mereka harus meminta kepada pimpinan kita secara resmi
agar kita berkerja lebih dan kemudian kita dibayar oleh Negara atau perusahaan bukan dari
masyarakat atau rekanan.

(Sumber Fatwa No. 9374 dengan ringkasan dan perubahan)

Dan sebagai tambahan untuk penguat hati-hati yang masih ragu, sebuah hadits
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam tentang hadiah bagi para pegawai, beliau Shalallahu
‘alaihi wassallam bersabda :

‫هدايا العمال غلول‬

“Hadiah untuk pegawai adalah khianat”

(HR. Ahmad dan Baihaqi dari Abu Humaidi Assa’idy Rhadiyallahu ‘anhu , di shohihkan Al-
Albani dalam Shohihul Jami’ No. 7021)
Maka bagi orang-orang yang beriman, hendaknya taat dan tunduk dengan apa-apa yang telah
diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, jangan lagi mencari pembenaran-pembenaran untuk
mengikuti hawa nafsunya.

Allah berfirman :

َ ‫سولَهُ فَ َق ْد‬
‫ض هل‬ ُ ‫َّللاَ َو َر‬
‫ص ه‬ ِ ‫سولُهُ أ َ ْم ًرا أَ ْن يَكُونَ لَ ُه ُم ا ْل ِخيَ َرةُ ِم ْن أ َ ْم ِر ِه ْم َو َم ْن يَ ْع‬ ‫َو َما كَانَ ِل ُمؤْ ِم ٍن َو ََل ُمؤْ ِمنَ ٍة إِذَا قَضَى ه‬
ُ ‫َّللاُ َو َر‬
‫ض َََل ًَل ُمبِينًا‬

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka
sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36)

Wallahu a’lam

Ibnu Dzulkifli As-Samarindy

Mudzakarah

Suap : antara Realita dan Fatwa Agama

Suap yang dalam bahasa arabnya riswah merupakan sebuah problema umat Islam saat ini.
Hampir di seluruh instansi-instansi pemerintah dan pendidikan ditemukan pekerjaan suap.
Ini terjadi dikarenakan sulitnya untuk mendapatkan hak dalam instansi tersebut. Seperti
yang di alami Andi ketika ingin membuat pasport untuk berangkat ke Mesir melanjutkan
studinya. Andi ditawari pernyataan jika bayar sekian, pasport anda akan siap besok. Andi
sebagai pemuda yang patuh akan peraturan menolak untuk melakukan suap, ia rela
menunggu seminggu kemudian. Ketika seminggu telah berlalu, Andi datang ke intansi
tersebut menanyakan perihal pasportnya, tapi jawaban yang diterimanya pasport belum
ditandatangi kepala bidang, sehingga Andi terpaksa kembali esok hari. Keesokan harinya
Andi datang ke instansi tersebut dan yang diterima hanya alasan-alasan belaka, sehingga
seminggu menjelang keberangkatannya ke Mesir pasport pun tak kunjung selesai, akhirnya
Andi memilih untuk melakukan suap supaya urusannya cepat selesai. Ini merupakan realita
yang selalu di hadapi umat islam, bahkan untuk urusan yang berkaitan dengan pendidikan
dan agama pun terdapat peroblematika seperti ini.

Suap dan Realita

Problema suap telah menjamur di pelbagai Negara, sehingga tidak lagi menjadi hal yang
tabu bagi masyarakat dunia. Hal ini terjadi dikarenakan dengan pelbagai sebab, ada yang
melakukannya karena malas berurusan dan menunggu terlalu lama, dan ada pula yang
karena terpaksa harus melakukannya, jika tidak maka haknya tersebut lama baru didapat.
Suap yang merupakan pekerjaan zholim akan selalu ditemukan masyarakat dari urusan
yang terkecil sampai yang terbesar. Problema ini akan terus menjalar dan menjadi panjang
dikarenakan orang yang memberi suap merasa mudah dalam mendapatkan haknya,
sehingga setiap ingin mendapatkan haknya pada sebuah intansi akan melakukan hal yang
sama.

Begitu juga buat orang yang menerima suap akan merasakan keenakan disamping
mendapatkan gaji tetap dan tidak menambah pekerjaan, hanya tinggal mempercepat
pekerjaan. Jika realita ini terus berjalan maka hukum hanya tinggal sebagai 'pajangan' saja.
Setiap pemerintah dalam suatu negara mengetauhi hal itu, namun peringatan hanya
sebagai peraturan yang bersifat temporal ketika terjadi kritikan baru berjalan. Lagi-lagi
pekerjaan zholim ini akan terus menjamur dalam kehidupan, berubah menjadi budaya
'kotor' yang selalu terdapat dalam setiap urusan yang dikerjakan masyarakat. Yang
akhirnya kelak budaya suap tersebut tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi
bahkan sudah terang-terangan. Akankah budaya 'kotor' ini dibiarkan begitu saja?
Bagaimana tanggapan para ulama terhadap budaya 'kotor' yang terus menggerogoti pikiran
masyarakat, yang akhirnya diitakuti kini dianggap suatu hal yang sah-sah saja?

Suap dan Fatwa Agama

Islam sebagai agama yang selalu memperhatikan kesejahteraan umatnya tentu tidak akan
tinggal diam dalam menanggapi budaya 'kotor' yang terus menjalar dipelbagai bidang,
Kalau diteliti suap yang dalam bahasa Arabnya riswah merupakan pebuatan yang zholim
dengan memakan harta orang lain secara bathil yang jelas bukan miliknya. Sehingga para
ulama sepakat bahwa suap merupakan pekerjaan yang diharamkan agama (syari').
Sebagaimana Firman Allah SWT. Dalam surah al-Baqarah ayat 188:

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetauhi.

Dan sabda Rasulullah saw : pemberi suap dan penerima suap masuk dalam neraka, Dalam
hadits yang lain Rasulullah saw. bersabda: Allah swt. melaknat pemberi suap penerima
suap dan perantara keduanya.

Dalil ini jelas sekali menyatakan bahwa pemberi suap (râsyi), penerima uang suap
(murtasyi) dan perantara keduanya (râisy) merupakan pekerjaan yang diharamkan oleh
syari' (agama) dan Imam Mazhab yang empat sepakat akan pengharaman riswah (suap)
tersebut.

Adapun pemberian hadiah dari yang punya hak kepada petugas intansi dengan maksud
tidak menyuap, tetapi untuk tercapainya hak yang diinginkannya dari sebuah intansi
tersebut tergolong perbuatan yang diharamkan juga, karena ini tergolong suap (riswah)
dalam bentuk majaz. Sebagiamana yang dijelaskan dalam kitab Tahqiq al-Qadiyah fi al-
Fâriq baina al-Riswah wa al-Hadiyah karangan Allâmah Abd al-Ghani al-Nabilsi.

Bagaimana problema seperti yang dihadapi Andi, sehingga mengakibatkannya harus


melakukan suap dikarenakan sulitnya mendapatkan hak dan mepetnya waktu? Di dalam
majalah al-Wa'yu al-Islâmi diberitakan bahwa para ulama Al-Azhar berbeda pendapat dalam
menaggapi problema suap (riswah) yang menjamur di dunia, terutama di Negara Mesir
sendiri.

Dr. Ali Jum'ah sebagai Mufti Mesir saat ini membolehkan riswah (suap) dengan beberapa
syarat, antara lain tidak adanya cara lain ataupun penolong untuk mendapatkan hak
tersebut, dan supaya lepasnya permasalahan berkepanjangan tersebut dari orang fasiq
(baca; penerima suap). Hal ini baru dapat dilakukan jika terpenuhi syarat-syarat tersebut,
dan kondisinya ketika itu memang sangat terjepit, sehingga baginya memilih yang lebih
ringan diantara dua yang memudratkan (Irtikâb li akhaf al-dharurain) demi menjaga
haknya.

Adapun dasar hujjah Mufti Al-Azhar akan pendapatnya tersebut, yaitu dengan kaidah fiqh
(qa'idah al-fiqhiyyah) yang terdapat dalam kitab al-Asbah wa an-Nazhoir karangan Imam
Suyuthi as-Syafi'i: "Setiap yang haram diambil haram pula untuk diberikan" kecuali pada
lima perkara, diantaranya suap (riswah) untuk mendapatkan haknya.

Dan menguatkan pendapat tersebut Ibnu 'Abidin dalam kitabnya hasyiyah 'ala isytibah
dengan kaidah: "Memilih yang lebih ringan diantara dua yang memudratkan adalah wajib".

Dan argumentasi Dr. Ali Jum'ah yang lain dengan kaidah: "sesungguhnya kemudratan itu
tergantung pada ukurannya" dengan memberikan contoh memakan bangkai itu haram dan
tidak boleh memakannya kecuali ketika dalam kemudharatan. Jika kemudhratan itu telah
hilang, maka kembali pada hukum asalnya yaitu haram.

Dan perihal permasalahan dosa yang terjadi dalam riswah (suap) tersebut, maka yang
mendapat dosa hanya penerima suap (murtasyi) saja, sedangkan yang punya hak dalam
hal ini orang yang memberikan riswah (râsyi) karena terpaksa tidak mendapat dosa. Alasan
mengapa yang menerima riswah (suap) saja yang mendapat dosa, dikarenakan menahan
hak orang lain secara bathil dan mengambil harta yang bukan haknya.

Pendapat Mufti Al-Azhar ini ditanggapi oleh para ulama Al-Azhar sendiri, ada yang senada
dengan pendapat beliau dan adapula yang membantah pendapat beliau secara terang-
terangan, yang menurut mereka hal ini telah membuka satu pintu kejahatan dan akan sulit
menutupinya kembali. Berikut diantara alasan para ulama Azhar menolak dibolehkannya
praktek riswah:

Dua masdar hukum islam; al-Quran dan Sunnah telah mengharamkan secara jelas dan
tegas akan praktek riswah (suap) tanpa ada pengecualian. Maka dalil-dalil tersebut tidak
dapat dikecualikan dengan perkataaan fuqoha' (ulama Fiqh), bagaimanapun situasi dan
kondisinya.

Hadits Rasul tersebut menunjukkan bahwa yang pertama kali dilaknat Allah sebelum
penerima suap (murtasyi) adalah pemberi suap (râsyi). Hal ini membuktikan bahwa
pertanggungjawaban yang terbesar terletak pada pemberi suap (râsyi), sekalipun dari segi
mendapat laknat Allah sama. Karena itu tidak dapat mengecualikan pemberi suap (râsyi)
dalam hal dosa.

Kemudhratan yang dijadikan alasan pembolehan terjadinya praktek riswah (suap) belum
mencukupi syarat. Karena, sebagaimana yang disepakati Ijma' ulama bahwa kemudhratan
yang membolehkan penggunaan yang haram, jika tidak melakukan hal tersebut dirinya
akan berbahaya yang dapat mengakibatkan kematian atau hilang salah satu anggota
tubuhnya, bukan dikarenakan kesempitan dan kesulitan waktu.

Kenapa dosa riswah (suap) tersebut hanya mengenai penerima suap (murtasyi) saja, kalau
ditilik dari segi keuntungan lebih banyak didapat pembari suap (râsyi) dari peneriam suap
(Murtasyi). Maka akan timbul pertanyaan kenapa penerima suap (murtasyi) tidak mendapat
hal yang sama?

Diantara ulama yang senada dengan penadapat mufti Azhar, Dr. abdul 'azim al-muth'ani;
ustadz Dirosat al-'Ulya Jami'ah al-Azhar. Beliau berpendapat: "bahwa seorang yang terjepit
untuk mendapatkan haknya dan dalam kondisi yang sangat mendesak sehingga
mengharuskan melakukan riswah (suap), itu merupakan suatu rukhsoh (keringanan)
baginya. Hal ini pun dapat dilakukan jika tidak ada cara lain dan penolong untuk
mendapatkan haknya, sehingga pokok permasalahan tinggal pada murtasyi (penerima
suap) saja, karena yang memiliki hak berada dalam dua kondisi; menyerahkan
permasalahan ini kepada Allah (baca: tawakkal) dengan tidak melakukan riswah
(suap)…dan ini lebih baik, atau melakukan riswah (suap) karena terpaksa dan pada
hakekatnya sangat membenci pekerjaan riswah (suap) tersebut sehingga posisinya ketika
itu sangat terjepit ('uzur) sekali, hal ini juga dibolehkan. Sebagaimana terjadi pada orang
yang sangat kelaparan ditengah hutan sehingga mengharuskannya memakan daging babi
untuk menolak yang hal yang membahayakan bagi dirinya, tetapi ketika lapar itu telah
hilang maka tidak boleh baginya meneruskan makanan tersebut hingga kenyang".

Sekiranya mufti Azhar menjelaskan sedetail pendapat Dr. Abdul 'azim, mungkin tidak ada
yang membantah pendapat beliau Sekarang tinggal kita memikirkan apakah riswah (suap)
yang dilakukan ketika ditilang polisi ditengah jalan termasuk yang memudhratkan atau
tidak? Mari…Tanya nurani kita masing-masing!

Rahmat Hidayat Nasution*

*Penulis adalah alumnus Madrasah Aliyah Swasta Muallimin proyek UNIVA Medan, sekarang
sedang melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir. Fakultas Syariah Islamiyah
Tingkat II.

GHULUL (KORUPSI) DAN BISNIS PEJABAT


PADA MASA PEMERINTAHAN UMAR IBNU KHATAB
Hery Sasono

Siapa saja yang telah aku aku angkat sebagai pekerja dalam satu jabatan
kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah
korupsi (Ghulul) (HR Abu Daud)
Konsep atau terminology yang sering dihubungkan dengn korupsi karena
melihatnya sebagai pengkhianatan atas amanat yang seharusnya dijaga ialah
Ghulul. Ghulul secara leksikal dimaknai “akhdzu al-syai wa dassahu fi mata’ihi”
(mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya). Pada mulanya
ghulul merupakan istilah bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum
dibagikan.
Diantara para sahabat Nabi yang paling tegas dalam pengawasan harta
para pejabat adalah Umar Ibnu Khatab .Setiap kali mengangkat wali (pejabat) di
suatu wilayah, ia mewajibkan yang bersangkutan untuk menghitung kekayaannya
sebelum serah terima jabatan, dan menghitung ulang setelah selesai
melaksanakan tugasnya. Apabila kekayaannya bertambah (lebih dari pendapatan
gajinya), Umar akan memerintahkannya untuk memasukkan kedalam kas Negara
(Khazanatan al-daulah).
Bahkan umar melarang para pejabat berbisnis, karena dengan
kedudukannya, seorang pejabat dapat menggunakan pengaruhnya untuk
menguasai pasar atau bisnis,sehingga terjadi persaingan tidak sehat. Hal ini bisa
dilihat, ketika Umar mengangkat Utbah ibn Abi Sufyan sebagai wali di suatu
wilayah, maka ketika kembali ke Madinah dengan membawa kekayaan yang
besar, Umar bertanya : Min aina laka hadza ya Utbah? (kau dapatkan dari mana
hartamu ini hai Utbah?) Utbah menjawab aku keluar ke sana dengan uangku
sambil berdagang. Umar berkata: aku mengutusmu sebagai wali negeri, tidak
mengutus kamu sebagai pedagang, karena sebenarya dagangan dan kekuasaan
itu tidak sama. Oleh karena itu masukanlah hartamu ke Bait al-mal kaum
muslimin
Dengan demikian perolehan yang pada prinsipnya diperbolehkan dalam Islam,
seperti infak, sedekah, hibah dan hadiah, bahkan bisnis dapat berubah status
hukumnya menjadi haram jika yang menerima itu para pejabat pemerintah atau
orang yang menerima hadiah karena pekerjaannya atau profesi dan tugasnya. Hal
ini diberlakukan selain dari sabda Rasulullah yang tegas dan jelas tersebut, juga
pertimbangan adanya kekhawatiran rusaknya mental para pejabat dan pudarnya
obyektifitas dalam menangani suatu perkara.
Bila mengacu pada unsur-unsur tindak pidana korupsi, maka Ghulul memenuhi
semua unsur korupsi, karena:Ghulul terjadi karena ada niat untuk memperkaya
diri sendiri, penyalah gunaan wewenang, merugikan orang lain sekaligus
merugikan kekayaan Negara. Serta merusak sitem hukum dan merusak moral
masyarakat
HADIAH DALAM PANDANGAN ISLAM
HERY SASONO

Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian saling mencintai (HR.Al-bukhari,


al Baihaqi dan Abu Ya’la)
Salah satu ajaran mulia dalami Islam adalah budaya saling memberi hadiah
diantara, teman, saudara dan kerabat. Tujuannya adalah untuk mempererat tali
silaturahmi, saling mencintai dan meyayangi dalam meraih kebaikan dan taqwa.
Menurut ulama syafiiyah,Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah hadiah
adalah pemindahan pemilikan suatu harta tanpa kompensasi sebagai
penghormatan kepada yang diberi hadiah. Hadiah juga bermakna pemberian
sesuatu tanpa kompensasi karena adanya hubungan, untuk menjalin kedekatan
dan sebagai bentuk penghormatan.
Dalam sebuah riwayat,bahkan Nabi SAW , mendorong untuk
menumbuhkan budaya untuk saling memberi hadiah meski nilainya secara
nominal kecil.
“Hai para muslimah, janganlah seorang wanita merasa hina (memberi hadiah)
kepada wanita tetangganya meski hanya tungkai (kuku) kambing” (HR Bukhari,
Muslim, At-tirmidzi dan Ahmad).
Selanjutnya ,Nabi Muhamad SAW melarang menolak hadiah : ”Penuhilah
undangan orang yang mengundang,jangan kalian tolak hadiah dan jangan kalian
memukul kaum muslim” (HR Al-Bukhari ahmad,au Ya’la dan Ibn Abi Syaibah).
Betapa indahnya Islam mengajarkan kepada seseorang bila mendapat
hadiah dan memiliki kelapangan, maka disunahkan membalasnya. Jika tidak,
setidaknya memuji dan mendoakan pemberi hadiah. Jabir RA menuturkan bahwa
nabi SAW pernah bersabda:
“siapa yang diberi sesuatu lalu ia memiliki kelapangan harta hendaklah ia
membalasnya. Jika ia tidak memiliki kelapangan harta, hendaknya ia memuji
(mendo’akan)nya (HR Abu Dawud Tirmidzi, al-baihaqi).
Sekalipun diperintahkan untuk menerima hadiah dan dilarang menolaknya,
Namun Nabi SAW juga mengingatkan ada beberapa macam hadiah yang justru
tidak boleh (haram) diterima, diantaranya, hadiah itu tidak boleh datang karena
jabatan, kedudukan atau tugasnya. Abu Humaid as-Sa’id menuturkan bahwa
Nabi SAW pernah mengangkat seseorang dari bani Azad yang bernama Ibn Al-
Utbiyah (Ibn al – Lutbiyah) sebagai amil pemungut zakat, lalu ia kembali dan
mengatakan. ”Ya Rasul, ini hadiah untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya.”

Setelah mendengar pernyataan dari Ibn al-Lutbiyah , maka Nabi SAW lalu
berpidato,”Tidak pantas seorang petugas yang kami utus lalu datang dan berkata.
“Ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya.maka Nabi bersabda ”Mengapa
ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya lalu memperhatikan apakah itu
dihadiahkan kepadanya atau tidak. Demi zat yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah
ia datang membawa pemberian itu, kecuali ia pasti datang pada Hari Kiamat kelak
memanggul barang itu dipundaknya” (HR Bukhari,Muslim, ahmad dan Abu
dawud)

Pendapatan Pejabat di Luar Gaji Pokok


oleh: tasurun

 Belum dinilai
 Kunjungan : 12
 kata:600

More About : riswah+sogok

Telah diketahui bahwa gaji pokok para bupati, gubernur, anggota dewan perwakilan rakyat dan para
pejabat lainnya jelas-jelas tidak dapat menutup biaya yang dikeluarkan selama masa kampanye. Namun
nyatanya masih saja banyak yang berminat. Hal ini lantaran para calon pejabat yakin penghasilan di luar
gaji pokok atau biasa disebut dengan ceperan itu jumlahnya lebih banyak, seperti dari persenan (fee)
para kontraktor yang menang tender, serta uang lembur, tunjangan-tunjangan dan lain-lain yang yang
melebihi dari gaji pokok dan jumlahnya berlipat-lipat.

Bagaimanakah konsep fiqh tentang pendapatan di luar gaji pokok di atas. Halalkah pendapatan di
luar gaji pokok itu?

Dalam beberapa kitab mu’tabarah yang menjadi rujukan pesantren seperti Bughyatul
Mustarsyidin, Roudlotut Tholibin, I’anatut Tholibin, Ahkamus Shulthoniyah, Ihya` Ulumiddin,
Ta’liqatut Tanbih fi Fiqhis Syafi’i dan Al-Bajuri tidak ada penjelasan secara khusus mengenai
gaji pokok dan gaji ceperan untuk para pejabat.

Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin secara sederhana dijelaskan bahwa gaji para hakim, juga
para wakil rakyat yang bekerja untuk kemaslahatan umat diambilkan dari kas negara (baitul
maal), dengan kadar yang pantas dan tidak berlebihan. Selanjutnya, setelah mendapatkan gaji itu,
para pejabat tidak diperkenankan mengambil imbalan dari dua orang yang sedang bertransaksi,
para hakim tidak boleh memungut sesuatu pun dari pihak-pihak yang bermasalah, dan para
petugas nikah atau Kantor Urusan Agama (KUA) tidak boleh menerima pemberian dari orang
yang melangsungkan akad akad nikah.

Para hakim diharamkan menerima suap (riswah). Dalam Roudlotut Thalibin, mengutip Syeikh
Abu Hamid, dijelaskan, jika pun kas negara tidak cukup dana (rizki) untuk menggaji para hakim,
maka diperkenankan meminta rizki kepada pihak-pihak bermasalah dan disepakati sebelum
permasalahan disidangkan. Penjelasan serupa juga ditemukan dalam kitab I’anatut Tholibin.

Persoalan penghasilan di luar gaji pokok dikaitkan dengan pembahasan tentang riswah atau suap.
Namun dalam banyak pembahasan, riswah dibedakan dengan pengertian hadiah. Dalam kitab
Ihya` Ulumiddin disebutkan, Imam Ghazali ditanya, apa mungkin riswah dan hadiah dibedakan,
toh keduanya tidak mungkin diberikan tanpa ada maksud, kenapa riswah dilarang sementara
hadiah tidak, apa yang membedakan keduanya?

Imam Ghazali menjawab, memberikan sesuatu kepada orang lain memang tidak mungkin tanpa
maksud. Dalam penjelasan yang panjang lebar Imam Ghazali menjelaskan bahwa pemberian itu
sejatinya dimaksud untuk mendekatkan diri dengan pihak yang diberi, atau si pemberi berharap
akan memperoleh dampak dari pemberian itu. Jika si pemberi sekedar berharap mendapatkan
tambahan ilmu pengetahuan dengan pemberian itu maka hukumnya maksuh saja, dan ini adalah
hadiah. Sementara jika pemberian itu dimaksud untuk mempengaruhi keputusan hakim atau
kebijakan pemerintah, atau si pemberi memberikan hadiah kepada para hakim dan pejabat atas
kebijakan yang menguntungkan dirinya, maka itu adalah riswah.

ْ َ‫ضاءٍ ِم ْن تَ َو هَل ُه ِب ِو ََل َي ٍة جَا ُههُ كَانَ ف‬


‫إن‬ َ ‫ع َم ٍل ْأو َق‬
َ ‫ص َدقَ ٍة ِو ََل َي ِة ْأو‬ َ َ‫س ْل َطا ِن َي ِة اْأل َ ْع َما ِل ِمن‬
َ ‫غي ِْر ِه ْأو َما ٍل َبا َي ِة ََج ْأو‬ ُّ ‫ِو ََل َي ِة َحتهى ال‬
َ َ َ َ ْ َ َ َ
ِ ‫ض فِ ْي ع ََرضَتْ ِرش َْوة ف َه ِذ ِه إل ْي ِه ََليَ ْهدَى لكَانَ اْل ِو ََليَ ِة تِلكَ ل ْو ََل َوكَانَ َمثَلً ْاأل ْوق‬
‫اف‬ ْ
ِ ‫ال َه ِديه ِة َم ْع ِر‬-- ‫ ج الدين؛ علوم إحياء‬2/ ‫ص‬
152-153

Apabila hadiah itu diberikan berkaitan dengan jatuhnya keputusan pengadilan, atau pencairan
dana sosial dan berbagai kebijakan pemerintah yang lain seperti terkait wakaf, dan jika tanpa
maksud itu seseorang tidak akan memberikan hadiah maka yang semacam ini disebut riswah
)suap(, meskipun kelihatannya seperti hadiah. )Ihya’ Ulumiddin 2: 152-153)

Maka kembali kepada pertanyaan di atas, berdasarkan beberapa uraian dalam kitab-kitab
mu’tabarah tersebut, bisa disimpulkan bahwa pendapatan yang diperoleh dari hasil ‘main mata’
dengan para kontraktor berupa uang persenan hukumnya adalah haram, sekalipun ada Undang-
Undang yang membenarkan ini.

Sedangkan pendapatan lain yang didapat dari gaji lembur atau berbagai fasilitas tambahan yang
diberikan dari negara dibolehkan sepanjang itu setimpal dengan jerih payah yang dilakukan
dalam mengurus rakyat atau mewujudkan kemaslahatan umat. Definisi setimpal ditentukan oleh
adat atau berdasarkan rata-rata penghasilan masyarakat setempat (qadra kifayatil laiqah min
ghairi tabdzir), atau mungkin tepatnya tidak terlalu jauh melebihi upah minimum regional
(UMR).--

Disarikan dari hasil bahtsul masail Diniyah Waqiiyah Syuriyah PWNU Jawa Timur di Pondok
Pesantren Ihyaul Ulum, Dukun, Gresik. Pertanyaan tentang gaji lebihan pejabat ini diajukan oleh
PCNU Blitar. (A. Khoirul Anam)
Sumber: http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/ezines-and-newsletters/2232414-pendapatan-
pejabat-di-luar-gaji/#ixzz0VdFvCwnR

Hukum Pemberian Hadiah Bagi Pegawai Pemerintah Dalam Pandangan Islam

Oleh Nenden Maya Rosmala Dewi*

1. Pendahuluan

Integritas merupakan bagian dari nilai yang baru saja diluncurkan oleh
Kementerian Keuangan. Pengertian integritas mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Bersikap jujur, tulus dan dapat dipercaya.
b. Bertindak transparan dan konsisten.
c. Menjaga martabat dan tidak melakukan hal-hal yang tercela.
d. Bertanggung jawab atas hasil kerja.
e. Bersikap objektif.
Menjaga integritas memang banyak godaan sehingga sangat sulit untuk
mewujudkan dalam kepribadian kita apabila tidak disertai dengan niat yang kuat.
Diantara godaan yang seringkali datang menghampiri adalah pemberian hadiah dari
para stakeholder (entah itu debitor, Penyerah Piutang, Kementerian/Lembaga, Balai
Lelang dll). Pemberian hadiah bagi sebagian besar pegawai pemerintahan sudah bukan
merupakan hal yang aneh. Pemberian hadiah atau uang lelah sering disalahartikan
dengan hak yang sudah seharusnya diterima oleh seseorang yang telah menyelesaikan
pekerjaan dengan baik. Padahal jika kita renungkan, pastinya pemberian hadiah
tersebut tidak akan diberikan oleh mereka, jika posisi kita tidak berhubungan dengan
mereka. Coba saja uji, apakah para stakeholder tersebut akan tetap memberikan
hadiah ketika kita sudah pensiun atau sudah tidak menduduki posisi tersebut? Apakah
para stakeholder akan sukarela menghubungi kita yang sudah duduk manis di rumah?
Jika jawabannya adalah tidak, berarti hadiah tersebut tidak diberikan dalam rangka
pertemanan melainkan sudah merupakan bagian dari suap.
Menerima hadiah yang dikaitkan dengan pekerjaan seharusnya sudah mulai
harus ditinggalkan karena kita sudah menerima hak sebagai seorang pegawai dari
pemerintah berupa gaji dan remunerasi. Sikap seperti ini seharusnya sudah menjadi
kesadaran dalam diri kita pribadi masing-masing, terlebih di era reformasi birokrasi
seperti sekarang. Jika kesadaran seperti ini sudah tumbuh dalam diri maka sebetulnya
uang lelah, uang terima kasih, pembagian komisi dari rekanan sudah harus dihapuskan
secara total dari benak kita. Pemberian hadiah memang sering tersamarkan dengan
uang suap. Sebagian berpendapat bahwa menerima uang setelah selesai bekerja
adalah merupakan hal yang wajar dan itu bukanlah suap. Namun, apakah seorang
pegawai negeri tetap tidak boleh menerima hadiah dari para stakeholder, padahal
mereka sudah menyatakan bahwa pemberian mereka adalah ikhlas tidak mempunyai
niat buruk yang lain? Lalu bagaimanakan Islam memandang hukum hadiah ini?.

2. Hukum hadiah dalam Islam


Memberikan hadiah dalam Islam sangat dianjurkan dan hukumnya halal, karena bisa
merupakan perekat bagi persaudaraan, namun hadiah ternyata bisa menjadi haram jika
diberikan dengan maksud tertentu, atau ada udang di balik batu. Itulah hadiah yang diserahkan
pada pejabat atau para hakim. Hadiah yang diberikan kepada pegawai pemerintahan tentunya
dan pastinya ada kaitannya dengan jabatannya. Seandainya mereka adalah masyarakat biasa
atau pensiunan yang sudah tidak menjabat, apakah para pemangku kepentingan masih tetap
akan memberikan hadiah (baik amplop, parcel ataupun hadiah lainnya). Peristiwa pemberian
hadiah sebetulnya pernah terjadi pada seorang yang dipekerjakan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam untuk mengurus zakat. Lantas ia mendapati hadiah karena pekerjaannya tersebut.
Namun di akhir cerita, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam malah mencela dirinya. Berikut
kisahnya:

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan dari
Az Zuhri, ia mendengar 'Urwah telah mengabarkan kepada kami, Abu Humaid As Sa'idi
mengatakan, Pernah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani
Asad yang namanya Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil
mengatakan, "Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku." Secara spontan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi 'naik minbar-, beliau
memuja dan memuji Allah kemudian bersabda, "Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang
kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, Ini untukmu dan ini hadiah untukku! Cobalah ia
duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah
ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang
dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi melainkan ia akan datang dengannya pada hari
kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta,
maka akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar
suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara kambing. Kemudian
beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putih kedua ketiaknya seraya
mengatakan, " Ketahuilah, bukankah telah kusampaikan?" (beliau mengulang-ulanginya tiga
kali). (HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832)

Kita juga dapat melihat dalam hadits lainnya juga dari Abu Humaid As Sa'idi, Rasul shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda.

‫غلُولِ ْالعُ َّمالِ َه َدايَا‬


ُ

“Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul (khianat)."

Imam Nawawi rahimahullahِ mengatakan,ِ “Dalamِ haditsِ Abuِ Humaidِ terdapatِ


penjelasanِ bahwaِ hadayalِ ‘ummalِ (hadiahِ untukِ pekerja)ِ adalahِ haramِ danِ ghululِ (khianat).ِ
Karena uang seperti ini termasuk pengkhianatan dalam pekerjaan dan amanah. Oleh karena
itu, dalam hadits di atas disebutkan mengenai hukuman yaitu pekerja seperti ini akan memikul
hadiah yang dia peroleh pada hari kiamat nanti, sebagaimana hal ini juga disebutkan pada
masalahِ khianat.ِ Danِ beliauِ shallallahuِ ‘alaihiِ waِ sallamِ sendiriِ telahِ menjelaskanِ dalamِ
hadits tadi mengenai sebab diharamkannya hadiah seperti ini, yaitu karena hadiah semacam ini
sebenarnya masih karena sebab pekerjaan, berbeda halnya dengan hadiah yang bukan sebab
pekerjaan. Jika seorang pekerja menerima hadiah semacam ini dengan disebut hadiah, maka
Pekerja tersebut harus mengembalikan hadiah tadi kepada orang yang memberi. Jika tidak
mungkin,ِ makaِ diserahkanِ keِ Baitulِ Malِ (kasِ negara).”ِ (Alِ Minhajِ Syarhِ Shahihِ Muslim,ِ
12/219, sumber www.rumaysho.com)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam
fatwanya. Beliau mengatakan,
“Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai pegawai
pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah
semacam ini termasuk pengkhianatan (ghulul). Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun
oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik.”
LaluِSyaikhِIbnuِ‘Utsaiminِrahimahullahِmengatakanِlagi,
“Tidak boleh bagi seorang pegawai di wilayah pemerintahan menerima hadiah berkaitan
dengan pekerjaannya. Seandainya kita membolehkan hal ini, maka akan terbukalah pintu
riswah (suap/sogok). Uang sogok amatlah berbahaya dan termasuk dosa besar (karena ada
hukuman yang disebutkan dalam hadits tadi, pen). Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai
jika dia diberi hadiah yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia
mengembalikan hadiah tersebut. Hadiah semacam ini tidak boleh dia terima. Baik dinamakan
hadiah, shodaqoh, dan zakat, tetap tidak boleh diterima. Lebih-lebih lagi jika dia adalah orang
yang mampu, zakat tidak boleh bagi dirinya sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.”
(Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibni Utsaimin, Asy Syamilah, 18/232)
DalamِAlِMawsu’ahِAlِFiqhiyyahِdisebutkan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah (sebagaimana layaknya hadiah
untuk penguasa/pejabat). Perlu diketahui bahwa hadiah ini karena menjadi kekhususan pada
beliau. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ma’shum, beliau bisa menghindarkan
diri dari hal terlarang berbeda dengan orang lain (termasuk dalam hadiah tadi, tidak mungkin
dengan hadiah tersebut beliau berbuat curang atau khianat, pen). Lantas ketika ‘Umar bin
‘Abdul ‘Aziz mengembalikan hadiah (sebagaimana hadiah untuk pejabat), beliau tidak mau
menerimanya. Lantas ada yang mengatakan pada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri pernah menerima hadiah semacam itu!” ‘Umar pun memberikan
jawaban yang sangat mantap, “Bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa jadi itu hadiah.
Namun bagi kita itu adalah suap. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan hadiah
semacam itu lebih tepat karena kedudukan beliau sebagai nabi, bukan karena jabatan beliau
sebagai penguasa. Sedangkan kita mendapatkan hadiah semacam itu karena jabatan kita.”

3. Perincian Tentang Hadiah


Beberapa jenis pemberian yang perlu diwaspadai sebagai hadiah, adalah sebagaimana
diuraikan di bawah ini.
a. Hadiah yang halal untuk penerima dan pemberi. Itulah hadiah yang diberikan bukan untuk
hakim dan pejabat semisal hadiah seorang teman untuk temannya. Seorang hakim atau
pejabat negara tidak boleh menerima hadiah jenis pertama ini dari orang lain. Dengan kata
lain, menerima hadiah yang hukumnya halal untuk umumnya orang. Itu hukumnya berubah
menjadi haram dan berstatus suap jika untuk hakim dan pejabat.
b. Hadiah yang haram untuk pemberi dan penerima semisal hadiah untuk mendukung
kebatilan. Penerima dan pemberi hadiah jenis ini berdosa karena telah melakukan suatu
yang haram. Hadiah semisal ini wajib dikembalikan kepada yang memberikannya. Hadiah
jenis ini haram untuk seorang hakim maupun orang biasa.
c. Hadiah yang diberikan oleh seorang yang merasa takut terhadap gangguan orang yang
diberi, seandainya tidak diberi baik gangguan badan ataupun harta. Perbuatan ini boleh
dilakukan oleh yang memberi namun haram diterima oleh orang yang diberi. Karena tidak
mengganggu orang lain itu hukumnya wajib dan tidak boleh menerima kompensasi finansial
untuk melakukan sesuatu yang hukumnya wajib.

4. Kesimpulan
Para pegawai pemerintahan haram hukumnya untuk menerima pemberian baik itu
disamarkan dengan uang tips, uang lelah, uang terima kasih, uang komisi, bagi hasil dan
sebagainya selama ada kaitannya dengan pekerjaan yang dilaksanakan. Hadiah bagi pekerja
termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi
hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah seperti ini tidak boleh
diambil sedikit pun oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik. Seandainya hal ini
diperbolehkan, maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang suap sangat berbahaya
dan termasuk dosa besar. Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia diberi hadiah yang
berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia mengembalikan hadiah tersebut baik
pada orang yang bersangkutan ataupun menyerahkannya pada KPK, sebagai pengembalian
gratifikasi.

Daftar pustaka:
Ust. M. AbduhِTuasikalِ,“Hukumِmenerimaِparcelِbagiِpejabat”,ِhttp//:ِwww.rumaysho.com

*Kasie KNL IIb, Direktorat PNKNL

riswah dan hadiah

I. Pendahuluan

Risywah (sogok) dan hadiah merupakan fenomena yang tidak asing dalam
masyarakat kita.Banyak istilah yang digunakan untuk kedua masalah ini,
seperti dari ucapan terima kasih, parsel, money politik, uang pelicin, pungli
dan lain sebagainya.Hanya saja istilah hadiah di samping mengandung
makna yang positif juga mengandung makna yang negatif.Dalam Bahasa
Indonesia hadiah bisa diartikan sebagai suatu penghargaan atas prestasi
seseorang dalam suatu kompetisi atau pemberian atas kebaikan hati
seseorang.Selain itu hadiah juga bisa bermakna sebuah pemberian yang
beruhubungan dengan kepentingan-kepentingan pribadi.

Dari sudut pandang Hukum Islam, wawasan masyarakat sangat terbatas


mengenai masalah risywah dan hadiah. Sebagian masyarakat beranggapan
bahwa risywah bukan sebuah kejahatan, tetapi hanya kesalahan kecil.
Sebagian lain, walaupun mengetahui bahwa risywah adalah terlarang,
namun mereka tidak peduli dengan larangan tersebut. Apalagi karena
terpengaruh dengan keuntungan yang didapatkan.

Di pihak lain masayarakat menganggap risywah itu sebagai hadiah atau


tanda terima kasih. Malah ada yang beranggapan sebagai uang jasa atas
bantuan yang telah diberikan seseorang, sehingga mereka tidak merasakan
hal itu sebagai sebuah kesalahan atau pelangaran apalagi kejahatan.

Walaupun belum ada penelitian, namun sudah menjadi rahasia umum


betapa banyak risywah yang diberikan untuk mendapatkan pekerjaan,
terutama menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota polisi dan tentara,
dan malah di dunia pendidikan pun hal ini terjadi. Perbuatan tersebut tanpa
ada perasaan risih dilakukan oleh orang yang mengerti hukum dan aturan.

Sejauhmana sebenarnya batas-batas pemisah antara risywah dan hadiah


dalam pandangan Hukum Islam ?Agaknya hal ini memerlukan kajian yang
mendalam dari sudut pandang hukum Islam, agar umat memahami dan
mengerti dengan baik sehingga mereka berbuat sesuai dengan ajaran Islam.
Makalah ini akan berusaha mengkaji kedua persoalan ini sebatas litaratur
yang ditemukan. Namun demikian penulis masih sangat mengharapkan
masukan dari para pembaca untuk memperdalam kajian ini.

II. Pengertian

Risywah (ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِِ ‫ )رشو ِة‬berasal dari kata rasya (‫ )رشا‬yang


berarti al-ja’lu (menyuap). Ibn al-Atsir mengatakan rasywah adalah sesuatu
yang menyampaikan pada keperluan dengan jalan menyogok ( ‫صلَةُ ِإلـى الـحاجة‬ ْ ‫الو‬
ُ
‫)بالـ ُمصانعة‬. Ar-rasyi adalah orang yang memberikan risywah secara batil, al-
murtasyi adalah orang yang mengambil risywah dan ar-ra`isy adalah orang
yang bekerja sebagai perantara risywah yang minta tambah atau minta
kurang.[2]

Dalam Hasyiyah Ibn Abidin yang dikutip dari kitab al-Misbah risywah
didefinisikan sebagai berikut:

]3[‫ما يعطيه الشخص الحاكم وغيره ليحكم له أو يحمله على ما يريد‬


Artinya:

Sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau kepada yang lainnya
agar orang tersebut memutuskan perkara berpihak kepadanya atau
membawa kepada yang diinginkannya.

Selanjutnya kata hadiah (‫ )ه ِديَّة‬berarti ‫(إهداء‬pemberian), ‫(اللُّ ْهنَة‬oleh-oleh),


‫(التَّق ِد َمة‬hadiah).Sebelum menjelasan definisi hadiah, perlu dijelaskan beberapa
istilah yang terkadang masih belum dipahami oleh sebagian orang, sehingga
sulit dibedakan. Istilah tersebut adalah: hibah, hadiah dan sadaqah.

Dalam kitab Raudhatuth Thalibin dijelaskan bahwa Imam asy-Syafi’i


membagi kebajikan (tabarru’) seseorang dengan hartanya kepada dua
bentuk.Pertama kebajikan yang berkaitan dengan kematian, yaitu
wasiat.Kedua, kebajikan ketika masih hidup yang dibedakannya antara
kebajikan murni (mahdh) dengan waqaf.Kebajikan murni ada tiga macam,
yaitu hibah, hadiah dan shadaqah tathawu’.[4]

Selanjutnya dijelaskan, jika kebajikan harta bertujuan untuk menghormati


dan memuliakan seseorang dan harta itu harta bergerak disebut dengan
hadiah.Dan kalau yang diberikan itu harta tidak bergerak (tetap) disebut
hibah.Akan tetapi kalau kebajikan harta itu bertujuan untuk pendekatan diri
(taqarrub) kepada Allah dan mengharapkan pahala akhirat disebut dengan
shadaqah.Secara umum hadiah dan shadaqah dapat kategorikan sebagai
hibah, namun hibah berbeda dengan hadiah dan shadaqah.[5]

Dari penjelasan di atas dan beberapa litaratur lain dapat didefinisikan bahwa
hadiah adalah pemberian harta bergerak kepada orang lain dengan tujuan
untuk menghormati (ikram), memuliakan (ta’zhim), mengasihi (tawaddud)
dan mencintainya (tahabbub). Dalam hal ini bisa saja pemberian itu
ditujukan untuk hal-hal yang dilarang syara’ (haram), inilah yang kemudian
disebut risywah.

III. Macam-macam Risywah

Ibn Abidin, dengan menguti kitab al-Fath, mengemukakan empat


macam bentuk risywah, yaitu:

1. Risywah yang haram atas orang yang mengambil dan yang


memberikannya, yaitu risywah untuk mendapatkan keuntungan
dalam peradilan dan pemerintahan.
2. Risywah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara,
sekalipun keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal
itu.
3. Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta
penguasa menolak kemudaratan dan mengambil mamfaat.
Risywah ini haram bagi yang mengambilnya saja. Sebagai helah
risywah ini dapat dianggap upah bagi orang yang berurusan
dengan pemerintah. Pemberian tersebut digunakan untuk urusan
seseorang, lalu dibagi-bagikan. Hal ini halal dari dua sisi seperti
hadiah untuk menyenangkan orang. Akan tetapi dari satu sisi
haram, karena substansinya adalah kazaliman. Oleh karena itu
haram bagi yang mengambil saja, yaitu sebagai hadiah untuk
menahan kezaliman dan sebagai upah dalam menyelesaikan
perkara apabila disyaratkan. Namun bila tidak disyaratkan,
sedangkan seseorang yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah
yang diberikan kepada penguasa, maka menurut ulama
Hanafiyah tidak apa-apa (la ba`sa). Kalau seseorang
melaksanakan tugasnya tanpa disyaratkan, dan tidak pula
karena ketama’annya, maka memberikan hadiah kepadanya
adalah halal, namun makruh sebagaimana yang diriwayatkan
dari Ibn Mas’ud.
4. Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi
yang memberikan dan haram bagi orang yang mengambil. Hal
ini boleh dilakukan karena menolak kemudaratan dari orang
muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil harta untuk
melakukan yang wajib.

IV. Dalil Pelarangan Risywah

Dalil-dalil yang digunakan para ulama dalam membahas pelarangan risywah


ada yang berasal dari Alqur`an dan ada pula dari Hadis Rusullah SAW.
Berikut ini dikemukakan dalil-dalil tersebut:

1. Alqur’an

Dalam Alqur’an tidak ditemukan kata risywah.Dalam pelarangan risywah ini


ulama mengambil dalil pelarangan memakan harta secara batil, karena
risywah salah satu bentuk penggunaan harta secara batil. Di samping itu
ulama juga menafsirkan kata ‫ السحت‬dalam QS 5:62—63 dengan risywah.
Berikut ini ayat-ayat Alqur`an yang dijadikan ulama sebagai pelarangan
risywah:

‫الثْ ِم َوأ َ ْنت ُ ْم‬ ِ َّ‫اط ِل َوت ُ ْدلُوا بِ َها إِلَى ا ْل ُح َّكا ِم ِلتَأ ْ ُكلُوا فَ ِريقًا ِم ْن أَ ْم َوا ِل الن‬
ِ ْ ِ‫اس ب‬ ِ َ‫َو ََل تَأ ْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِب ْالب‬
)188( َ‫ت َ ْعلَ ُمون‬
Artinya:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui. (QS 2:188)

‫اض ِم ْن ُك ْم َوَل ت َ ْقتُلُوا‬


ٍ ‫ع ْن تَ َر‬
َ ً ‫ارة‬ ِ َ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِب ْالب‬
َ ‫اط ِل ِإ ََّل أ َ ْن تَ ُكونَ ِت َج‬
)29:‫َّللاَ َكانَ ِب ُك ْم َر ِحي ًما(النساء‬ َ ُ‫أ َ ْنف‬
َّ ‫س ُك ْم ِإ َّن‬
Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadam.
(QS 4:29)

Walaupun ayat di atas berbicara dalam konteks riba, namun para ulama
memberlakukannya secara umum terhadap semua cara yang terlarang
dalam mendapatkan rezeki, termasuk risywah. Dalam hal ini berlaku kaidah
”yang dipandang keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab” ( ‫العبرة بعموم اللفظ َل‬
‫)بخصوص السبب‬. Ibn Katsir menafsirkan bahwa ayat di atas merupakan larangan
bagi orang mukmin memakan harta secara batil satu sama lain dalam
bentuk usaha apapun yang tidak sesuai dengan syari’at seperti riba, judi dan
yang sejenisnya.[6]

‫س َما َكانُوا‬ َ ْ‫ت َل ِبئ‬ َ ‫س ْح‬ ُّ ‫َوأ َ ْك ِل ِه ُم ال‬ ِ ‫الثْ ِم َو ْالعُد َْو‬
‫ان‬ ِ ‫ارعُونَ فِي‬ ِ ‫س‬َ ُ‫يرا ِم ْن ُه ْم ي‬
ً ‫َوت َ َرى َك ِث‬
‫س َما‬ َ ْ‫ت لَبِئ‬ ُّ ‫الثْ َم َوأ َ ْك ِل ِه ُم ال‬
َ ‫س ْح‬ ِ ْ ‫قَ ْو ِل ِه ُم‬ ‫ع ْن‬
َ ‫ار‬ ُ َ‫الربَّانِيُّونَ َو ْاْل َ ْحب‬
َّ ‫) لَ ْوَل يَ ْن َها ُه ُم‬62:‫يَ ْع َملُونَ (المائدة‬
)63:‫ص َنعُونَ (المائدة‬ ْ ‫َكانُوا َي‬
Artinya:

Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi)


bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram.
Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa
orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka
mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?.
Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (QS 5:62—
63).

Kata ‫ أكلهم السحت‬dalam ayat di atas berarti memakan yang haram. Salah satu
bentuk yang diharamkan adalah memakan hasil risywah. Ibn Mas’ud, Umar
bin Khatab, Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya mengatakan ‫ السحت‬adalah
risywah.[7]

)6:‫ (المدثر‬.‫َوَل تَ ْمنُ ْن ت َ ْستَ ْكثِ ُر‬


Artinya:

dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang


lebih banyak. (QS 74:6)

Al-Qurthubi dalam menjelaskan ayat di atas mengutip al-Qarzhi yang


mengatakan: ”jangan engkau memberikan harta untuk menyogok ( ‫َل تعط مالك‬
‫مصانعة‬.).

Nabi Sulaiman pernah ditawari hadiah oleh Balqis ketika dia diajak mengikuti
agama tauhid, namun karena menganggap hadiah tersebut sebagai risywah,
beliau tidak mau menerimanya. Hal ini disebutkan dalam firman Allah SWT
beriktut:

‫سلَ ْي َمانَ قَا َل أَت ُ ِمدُّون َِن ِب َما ٍل فَ َما‬ َ ‫َاظ َرة ٌ بِ َم يَ ْر ِج ُع ْال ُم ْر‬
ُ ‫)فَلَ َّما َجا َء‬35( َ‫سلُون‬ ِ ‫َوإِنِي ُم ْر ِسلَةٌ إِلَ ْي ِه ْم ِب َه ِديَّ ٍة فَن‬
)36( َ‫َّللاُ َخي ٌْر ِم َّما َءاتَا ُك ْم َب ْل أ َ ْنت ُ ْم ِب َه ِديَّ ِت ُك ْم ت َ ْف َر ُحون‬ َّ ‫ي‬ َ ِ‫َءاتَان‬
Atinya:

Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan


(membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa
kembali oleh utusan-utusan itu. Maka tatkala utusan itu sampai kepada
Sulaiman, Sulaiman berkata: "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan
harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa
yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan
hadiahmu. (QS 27:35-36)

2. Hadis

Selain ayat-ayat Alqur`an ditemukan juga hadis-hadis Rasulullah SAW


yang melarang risywah. Hadis-hadis tersebut antara lain sebagai berikut:

‫ )رواه‬.‫عن أبي هريرة قال ثم لعن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم الراشي والمرتشي في الحكم‬
]8[(‫الترمذى‬

Artinya:
Hadis diterima dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah SAW melaknat orang
yang menyogok dan yang menerima sogok dalam hukum (HR. At-Turmuzi)

‫ )رواه‬.‫عن عبد هللا بن عمرو قال ثم لعن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم الراشي والمرتشي‬
(‫الترمذى‬
Artinya:

Hadis diterima dari Abdullah bin Amr, beliau berkata: Rasulullah SAW
melaknat orang yang menyogok dan menerima sogok (HR. At-Turmuzi)

‫عن ثوبان قال لعن رسول هللا صلى هللا عليه وآله وسلم الراشي والمرتشي والرائش يعني الذي‬
]9[(‫يمشي بينهما )رواه أحمد‬
Artinya:

Hadis diterima dari Tsauban, beliau berkata: Rasulullah melaknat orang


yang menyogok dan yang menerima sogol serta orang yang menjadi
perantara, yaitu orang yang berjalan di antara keduanya (HR. Ahmad)

‫عن أبي أمامة عن النبي صلى هللا عليه وآله وسلم قال من شفع ْلخيه شفاعة فأهدى له هدية‬
)‫ (رواه أبو داود‬.‫عليها فقبلها فقد أتى بابا عظيما من أبواب الربا‬
Artinya:

Hadis diterima dari Abi Umamah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: Siapa
yang menolong saudaranya dengan suatu pertolongan lalu dia memberi
suatu hadiah dan hadiah itu diterimanya, maka berarti dia memasuki pintu
besar dari pintu-pintu riba (HR Abu Daud).

Al-Qasim bin Abdur Rahman al-Umawi mengatakan: “ungkapan di atas


menunjukkan haramnya menerima hadiah oleh hakim dan para pemimpin
lainnya,”[10] karena termasuk risywah.

V. Dalil Kebolehan Hadiah

Dalil-dalil yang digunakan oleh ulama dalam pembahasan ini pada


umumnya berasal dari Hadis. Sehubungan dengan ini ditemukan beberapa
riwayat dari Rasulullah SAW, antara lain sebagai berikut:
‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال ثم كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إذا أتي بطعام سأل‬
‫عنه أهدية أم صدقة فإن قيل صدقة قال ْلصحابه كلوا ولم يأكل وإن قيل هدية ضرب بيده صلى‬
]11[)‫ (رواه البخاري‬.‫هللا عليه وسلم فأكل معهم‬

Artinya:

Hadis diterima dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata: Rasulullah SAW apabila
diberi makanan beliau bertanya: apakah makanan ini hadiah atau sadaqah.
Jika dijawab: sadaqah, beliau mengatakan pada para sahabatnya: makanlah
oleh kalian, sedangkan beliau tidak memakannya. Akan tetapi bila dijawab:
hadiah, maka beliau mengambil dengan tangannya lalu makan bersama
mereka (HR al-Bukhari)

‫عن أنس بن مالك قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ثم لو أهدي إلي كراع لقبلت ولو‬
]12[)‫ (رواه الترمذى‬.‫دعيت عليه ْلجبت‬

Artinya:

Hadis diterima dari Anas bin Malik dia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Kalau aku diberi hadiah betis aku terima, dan kalau aku diundang atasnya
aku akan mengabulkan. (HR. Turmuzi)

‫قال الشافعي رحمه هللا قد كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم َل يأكل الصدقة وأكل من صدقة‬
]13[)‫ (رواه البيهقى‬.‫تصدق بها على بريرة وقال هي لنا هدية وعليها صدقة‬

Artinya:

Imam asy-Syafi’i r.h. berkata: sesungguhnya Rasulullah SAW tidak


memakan sedekah. Dan ketika beliau ikut memakan sadaqah yang diberikan
kepada Barirah, beliau mengatakan bahwa sadaqah itu bagi kami adalah
hadiah dan bagi Barirah adalah sadaqah (HR. al-Baihaqi). Hadis di atas juga
diriwayatkan oleh an-Nasa`i dari Aisyah[14]

‫عن علي رضي هللا عنه أن كسرى أهدى النبي صلى هللا عليه وسلم هدية فقبل منه وأن الملوك‬
]15[ (‫أهدوا إليه فقبل منهم ) أخرج أحمد والبزار‬

Artinya:

Hadis diterima dari Ali r.a. mengatakan bahwa Kisra memberi hadiah kepada
Nabi SAW, lalu beliau menerimanya. Raja-raja lain juga memberi hadiah
kepada Nabi SAW dan beliau menerimanya hadiah tersebut dari mereka.
(HR Ahmad dan al-Bazar)
‫عن عبد الرحمن بن علقمة الثقفي قال لما قدم وفد ثقيف قدموا معهم بهدية فقال النبي صلى هللا‬
(]16[‫عليه وسلم أهدية أم صدقة… الحديث وفيه قالوا َل بل هدية فقبلها ) رواه النسائي‬
Artinya:

Hadis diterima dari Abdur Rahman bin ‘Alqamah ats-Tsaqafi, beliau berkata:
Tatkala datang delegasi Tsaqif mereka membawa hadiah. Lalu Nabi SAW
bertanya: apakah ini hadiah atau sadaqah…(al-hadis), …lalu mereka
menjawab: hadiah, lalu Nabi menerimanya. (HR. an-Nasa`i)

VI. Hukum Risywah dan Hadiah dalam Pandangan Ulama

Berdasarkan riwayat yang dikemukkan di atas ada tiga komponen yang


mendapat kecaman dari Rasulullah sehubungan dengan perlakuan
risywah.Pertama, orang yang menyogok disebut dengan rasyi; kedua, orang
yang menerima sogok disebut dengan murtasyi; dan ketiga, orang menjadi
mediator dalam sogok menyogok yang disebut dengan ra`isy.Ketiga
komponen ini dikecam oleh rasul dengan kata laknat, baik laknat itu datang
dari Rasul SAW maupun laknat itu datang dari Allah SWT.Kedua bentuk
laknat ini ditemukan dalam lafaz hadis.

Berdasarkan dalil-dalil yang ada ulama sepakat melarang risywah. Malah Ibn
Ruslan mengatakan sogok itu haram dengan ijma’ ulama. Demikian juga
pendapat Imam al-Mahdi dalam kitabnya al-Bahr.[17] Dengan arti kata tidak
ada ulama yang membolehkannya. Larangan ini berlaku secara umum, baik
sogok dalam dunia peradilan maupun dalam bidang yang lain.

Ketika menafsirkan QS 5:42 (‫ )آكلون السحت‬al-Qurthubi mengutip beberapa


pendapat yang mengatakan bahwa dimaksud ‫السحت‬adalah risywah (sogok).
Risywah tersebut bisa dalam bentuk pemberian (hadiah) pada hakim dalam
memutuskan perkara atau pemberian yang diperoleh melalui pemanfaatan
kekuasaan.Dalam hal ini lebih lanjut al-Qurthubi mengatakan tidak ada
perbedaan pendapat ulama salaf tentang keharaman sogok.[18]

Dalam riwayat dari Rasulllah ditemukan sogok itu dilarang dalam dunia
peradilan sebagaimana riyawat Turmuzi yang diterima dari Abu Hurairah.
Akan tetapi dalam dalam riwayat Turmuzi juga yang diterima dari Abdullah
bin Amr dan Tsauban pelarangan sogok beralaku secara umum tanpa
mengkhususkan dalam bidang peradilan. Kedua hadis ini harus dipakai
sehingga pelarangan sogok berlaku di bidang apapun.Hanya saja sogok di
dunia peradilan memiliki peluang yang sangat besar, karena dalam dunia
peradilan perebutan hak bagi bagi orang-orang yang berperkara. Bila mana
sogok dibolehkan maka hak jatuh ke tangan orang yang bukan pemiliknya.
Ada pendapat yang membolehkan sogok apabila berakaitan dengan
penetapan hak.Pendapat ini dikemukkan oleh al-Mansur Billah, Abu Ja’far
dan sebagian pengikut asy-Syafi’i.Namun asy-Syaukani membantahnya
karena menurut keumuman hadis yang ada sogok dilarang.Kalaupun ada
perbedaan pendapat dalam hal ini dianggap tidak sah, karena tidak
mempengaruhi hukum yang telah ditetapkan.Mengkhususkan kebolehan
sogok terhadap penetapan hak tidak ada dalil.Oleh karena itu harus berlaku
keumuman hadis yang melarang sogok dalam bentuk apapun.[19]

Selanjutnya asy-Syaukani mengemukakan argumen bahwa pada


dasarnya harta seorang muslim itu haram sebagaimana terdapat dalam QS
2:188. Tidak halal menggunakan harta seorang muslim kecuali apabila
diperoleh dengan cara yang baik dan benar. Harta dapat diperoleh secara
tidak halal melalui dua kemungkinan. Pertama, diperoleh dengan cara yang
benar, tetapi tidak halal. Kedua, dengan cara yang tidak benar dan tidak
halal. Sedangkan menyogok untuk mendapatkan hak walapun benar tetap
tidak halal, karena sogok di samping memakan harta orang lain, dia juga
menyulitkan dan memberatkan seseorang.[20]

Selain pendapat di atas ditemukan juga riwayat dari Wahab bin Munabbih,
ketika dia ditanya tentang risywah: apakah semuanya haram ? Beliau
menjawab: tidak, risywah yang diberikan bukan untuk memperoleh milik
atau untuk memelihara agama, darah dan harta hukumnya makruh, tidak
haram dan boleh dilakukan.

[1] Nama lengkap: DR. Zainuddin, MA, adalah Dosen STAIN Sjeh M. Djamil Djembek
Bukittinggi dengan jabatan fungsional Lektor Kepala, bidang keahlian : Fiqh.

[2] Ibn Manzhur, Lisanul Arab, 14:322

[3] Muhammad Amin, Hasyiyah Ibn Abidin, Beirut: Darul Fikri, 1386 H, 5:362

[4]Raudhatuth Thalibin, Beirut: Maktabah al-Islamiyah, 1405 H, 5:364

[5]Ibid.

[6] Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katisir, Beirut: Darul Fikri, 1401 H, dalam menafsirkan QS 4:29

[7] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Kairo, Dar asy-Sya’b, 1372 H, 6:183

[8] At-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, 3:622

[9] Asy-Syaukani, Nailul Authar, Beirut: Dar al-Jail, 1973 M, 9:170


[10]Ibid, 9:172

[11] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar Ibn Ktsir al-Yamamah, 1987/1407, 2:910

[12] At-Turmuzi, op.cit., 3:623

[13]Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-


Baz, 1994/1414, 10:328

[14] An-Nasa’i, Sunan Kubra, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991/1411, 2:59.

[15]Abu al-‘Ala, Tuhfatul Ahwazi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 4:472

[16]Ibid.

[17] Asy-Syaukani, op.cit., 13:171

[18] Al-Qurthubi, op.cit., 6:183

[19] Asy-Syaukani, op.cit., 13:172

[20]Ibid.

Designed by www.mui-bukittinggi.org.

Uang Tip dan Hadiah Khianat

Kategori: Fiqh dan Muamalah

13 Komentar // 6 February 2012

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.

Seringnya kita lihat di hari raya, tumpukan parsel dan bingkisan hari raya hadir di rumah pejabat.
Lebih-lebih lagi jika ia pejabat tinggi. Seandainya pejabat tersebut bukanlah pejabat, tentu ia
tidak akan mendapat hadiah atau parsel istimewa semacam itu. Hadiah ini diberikan karena ia
adalah pejabat. Bagaimana status hadiah semacam ini? Pembahasan ini sebenarnya sudah
dibahas oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits. Simak dalam tulisan
berikut ini.

Hadits Hadayal ‘Ummal


Di dalam Shohih Bukhari yang sudah kita kenal, dibawakan bab ‘Hadayal ‘Ummal’. Begitu pula
dalam Shohih Muslim, An Nawawi rahimahullah membawakan bab ‘Tahrimu hadayal ‘ummal
(diharamkannya hadayal ‘ummal(’.

Hadaya berarti hadiah, bentuk plural dari kata hadiyah. Sedangkan ‘Ummal berarti pekerja,
bentuk plural (jamak) dari kata ‘aamil.

Dalam kedua kitab shahih tersebut dibawakan hadits berikut dan ini adalah lafazh dari Bukhari.

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan dari
Az Zuhri, ia mendengar ‘Urwah telah mengabarkan kepada kami, Abu Humaid As Sa’idi
mengatakan,

Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang
namanya Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil mengatakan, “Ini
bagimu, dan ini hadiah bagiku.” Secara spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di
atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi ‘naik minbar’-, beliau memuja dan
memuji Allah kemudian bersabda,

َ‫ َوالَّذِى نَ ْفسِى بِيَ ِد ِه َل‬، َ‫ظ ُر أَيُ ْهدَى لَهُ أ َ ْم َل‬ ُ ‫ت أَبِي ِه َوأ ُ ِم ِه فَيَ ْن‬
ِ ‫س فِى بَ ْي‬َ َ‫ فَ َهالَّ َجل‬. ‫ فَيَأْتِى يَقُو ُل َهذَا لَكَ َو َهذَا ِلى‬، ُ‫ام ِل نَ ْب َعثُه‬ ِ َ‫َما بَا ُل ْالع‬
‫ أ َ ْو شَاةً تَ ْي َع ُر‬، ‫ار‬
ٌ ‫ أَ ْو َبقَ َرة ً لَ َها ُخ َو‬، ‫يرا لَهُ ُرغَا ٌء‬ َ ‫َيأ ْ ِتى ِب‬
ً ‫ إِ ْن َكانَ َب ِع‬، ‫ش ْىءٍ ِإَلَّ َجا َء ِب ِه َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة َيحْ ِملُهُ َعلَى َرقَ َب ِت ِه‬

“Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan,
“Ini untukmu dan ini hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah
ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi
melainkan ia akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di
lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta. Jika hadiah
yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah
kambing, maka akan keluar suara kambing.“

‫ط ْي ِه « أََلَ ه َْل َب َّل ْغتُ » ثَالَثًا‬ ُ ‫ث ُ َّم َرفَ َع َيدَ ْي ِه َحتَّى َرأ َ ْينَا‬
َ ‫ع ْف َرت َ ْى ِإ ْب‬

Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putih kedua ketiaknya
seraya mengatakan, ” Ketahuilah, bukankah telah kusampaikan?” )beliau mengulang-ulanginya
tiga kali).[1]

Ada hadits pula dari Abu Humaid As Sa’idiy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫َهدَا َيا ْالعُ َّما ِل‬


‫غلُو ٌل‬

“Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul (khianat).”[2]

Keterangan Ulama
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan, “Para ulama tidak berselisih pendapat mengenai
terlarangnya hadiah bagi pejabat.”[3]

Ibnu Habib menjelaskan, “Para ulama tidaklah berselisih pendapat tentang terlarangnya hadiah
yang diberikan kepada penguasa, hakim, pekerja (bawahan) dan penarik pajak.” Demikianlah
pendapat Imam Malik dan ulama Ahlus Sunnah sebelumnya.[4]

Dari sini menunjukkan bahwa hadiah yang terlarang tadi tidak khusus bagi hakim saja, tetapi
bagi pejabat dan yang menjadi bawahan pun demikian.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Adapun hadits Abu Humaid, maka di sana
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelek-jelekkan Ibnul Lutbiyyah yang menerima hadiah
yang dihadiahkan kepadanya. Padahal kala itu dia adalah seorang pekerja saja (ia pun sudah
diberi jatah upah oleh atasannya, pen(.”[5]

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits Abu Humaid terdapat penjelasan bahwa
hadayal ‘ummal (hadiah untuk pekerja) adalah haram dan ghulul (khianat). Karena uang seperti
ini termasuk pengkhianatan dalam pekerjaan dan amanah. Oleh karena itu, dalam hadits di atas
disebutkan mengenai hukuman yaitu pekerja seperti ini akan memikul hadiah yang dia peroleh
pada hari kiamat nanti, sebagaimana hal ini juga disebutkan pada masalah khianat.

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan dalam hadits tadi mengenai
sebab diharamkannya hadiah seperti ini, yaitu karena hadiah semacam ini sebenarnya masih
karena sebab pekerjaan, berbeda halnya dengan hadiah yang bukan sebab pekerjaan. Hadiah
yang kedua ini adalah hadiah yang dianjurkan (mustahab). Dalam pembahasan yang lalu telah
disebutkan mengenai hukum pekerja yang diberi semacam ini dengan disebut hadiah. Pekerja
tersebut harus mengembalikan hadiah tadi kepada orang yang memberi. Jika tidak mungkin,
maka diserahkan ke Baitul Mal )kas negara(.”[6]

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam
fatwanya. Beliau mengatakan,

“Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul )pengkhianatan( yaitu jika seseorang sebagai pegawai
pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah
semacam ini termasuk pengkhianatan (ghulul). Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun
oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik.”

Lalu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan lagi, “Tidak boleh bagi seorang pegawai
di wilayah pemerintahan menerima hadiah berkaitan dengan pekerjaannya. Seandainya kita
membolehkan hal ini, maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang sogok amatlah
berbahaya dan termasuk dosa besar (karena ada hukuman yang disebutkan dalam hadits tadi,
pen). Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia diberi hadiah yang berkaitan dengan
pekerjaannya, maka hendaklah dia mengembalikan hadiah tersebut. Hadiah semacam ini tidak
boleh dia terima. Baik dinamakan hadiah, shodaqoh, dan zakat, tetap tidak boleh diterima. Lebih-
lebih lagi jika dia adalah orang yang mampu, zakat tidak boleh bagi dirinya sebagaimana yang
sudah kita ketahui bersama.”[7]
Mengapa Dikatakan Khianat?

Hadiah bagi pekerja atau pejabat yang di mana hadiah tersebut berkaitan dengan pekerjaannya
(seandainya ia bukan pejabat, tentu saja tidak akan diberi parsel atau hadiah semacam itu), ini
bisa dikatakan khianat, dapat kita lihat dalam penjelasan berikut ini. Dalam Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah disebutkan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah (sebagaimana layaknya hadiah
untuk penguasa/pejabat). Perlu diketahui bahwa hadiah ini karena menjadi kekhususan pada
beliau. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ma’shum, beliau bisa menghindarkan
diri dari hal terlarang berbeda dengan orang lain (termasuk dalam hadiah tadi, tidak mungkin
dengan hadiah tersebut beliau berbuat curang atau khianat, pen(. Lantas ketika ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz mengembalikan hadiah )sebagaimana hadiah untuk pejabat(, beliau tidak mau
menerimanya. Lantas ada yang mengatakan pada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri pernah menerima hadiah semacam itu!” ‘Umar pun memberikan
jawaban yang sangat mantap, “Bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa jadi itu hadiah.
Namun bagi kita itu adalah suap. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan hadiah
semacam itu lebih tepat karena kedudukan beliau sebagai nabi, bukan karena jabatan beliau
sebagai penguasa. Sedangkan kita mendapatkan hadiah semacam itu karena jabatan kita.”[8]

Kami rasa sudah jelas mengapa hadiah semacam parsel bagi pejabat dan uang tip bagi karyawan
yang kaitannya dengan pekerjaannya, itu dikatakan khianat. Jelas sekali bahwa uang tip atau
hadiah semacamm tadi diberikan karena kaitannya dengan pekerjaan dia sebagai pejabat,
karyawan atau pekerja. Seandainya bukan demikian, tentu ia tidak diberikan hadiah semacam itu.
Seandainya ia hanya duduk-duduk di rumahnya, bukan sebagai pekerja atau pejabat, tentu ia
tidak mendapatkan bingkisan istimewa seperti parsel dan uang tip tadi. Inilah yang namanya
khianat, karena ia telah mengkhianati atasannya. Inilah jalan menuju suap yang sesungguhnya.
Inilah suap terselubung. Orang yang memberi hadiah semacam tadi, tidak menutup kemungkinan
ia punya maksud tertentu. Barangkali ia berikan hadiah agar jika ingin mengurus apa-apa lewat
pejabat akan semakin mudah, semakin cepat di-ACC dan sebagainya. Inilah sekali lagi suap
terselubung di balik pemberian bingkisan.

Tidak Selamanya Hadiah itu Halal

Perlu diketahui bahwa tidak semua hadiah itu halal atau tidak dalam setiap kondisi kita saling
memberikan hadiah satu sama lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar bersabda,

‫َوت َ َهادَ ْوا ت َ َحابُّوا‬

“Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan timbul rasa cinta di antara kalian.”[9]

Benar sabda di atas. Namun ada beberapa kondisi halalnya hadiah atau tidak sebagaimana dapat
dilihat dalam rincian berikut.

1. Hadiah yang halal untuk penerima dan pemberi. Itulah hadiah yang diberikan bukan untuk
hakim dan pejabat semisal hadiah seorang teman untuk temannya. Seorang hakim atau pejabat
negara tidak boleh menerima hadiah jenis pertama ini dari orang lain. Dengan kata lain,
menerima hadiah yang hukumnya halal untuk umumnya orang. Itu hukumnya berubah menjadi
haram dan berstatus suap jika untuk hakim dan pejabat. Hadiah yang jadi topik utama kita saat
ini adalah hadiah jenis ini.
2. Hadiah yang haram untuk pemberi dan penerima semisal hadiah untuk mendukung kebatilan.
Penerima dan pemberi hadiah jenis ini berdosa karena telah melakukan suatu yang haram.
Hadiah semisal ini wajib dikembalikan kepada yang memberikannya. Hadiah jenis ini haram
untuk seorang hakim maupun orang biasa.
3. Hadiah yang diberikan oleh seorang yang merasa takut terhadap gangguan orang yang diberi,
seandainya tidak diberi baik gangguan badan ataupun harta. Perbuatan ini boleh dilakukan oleh
yang memberi namun haram diterima oleh orang yang diberi. Karena tidak mengganggu orang
lain itu hukumnya wajib dan tidak boleh menerima kompensasi finansial untuk melakukan
sesuatu yang hukumnya wajib.[10]

Mengembalikan Hadiah Khianat

Seorang hakim dan pejabat wajib memulangkan hadiah kepada orang yang memberikannya. Jika
hadiah tersebut telah dikomsumsi maka wajib diganti dengan barang yang serupa.

Jika yang memberi hadiah tidak diketahui keberadaannya atau diketahui namun memulangkan
hadiah adalah suatu yang tidak mungkin karena posisinya yang terlalu jauh, maka barang
tersebut hendaknya dinilai sebagai barang temuan (luqothoh) dan diletakkan di baitul maal.

Pemberian hadiah kepada seorang hakim itu karena posisinya sebagai hakim sehingga hadiah
tersebut merupakan hak masyarakat umum. Oleh karena itu, wajib diletakkan di baitul maal yang
memang dimaksudkan untuk kepentingan umum. Namun status barang ini di baitul maal adalah
barang temuan artinya jika yang punya sudah diketahui maka barang tersebut akan diserahkan
kepada pemiliknya.

Jika seorang hakim atau pejabat berkeyakinan bahwa menolak hadiah yang diberikan oleh orang
yang punya hubungan baik dengannya itu menyebabkan orang tersebut tersakiti, maka hakim
boleh menerima hadiah tersebut asalkan setelah menyerahkan uang senilai barang tersebut
kepada orang yang memberi hadiah.[11]

Itu tadi hadiah bagi hakim dan pejabat yang bekerja di bawah pemerintahan. Bagaimana dengan
hadiah bagi bawahan dari perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan pemerintahan, artinya ia
dapat hadiah dari orang lain karena status dia sebagai pekerja di perusahaan tersebut? Hadiah
tersebut harus dikembalikan kepada atasannya atau bosnya. Terserah di situ, bosnya ridho
ataukah tidak. Jika bosnya ridho kalau hadiah itu untuk bawahannya, maka silakan ia gunakan.
Wallahu a’lam bish showab.

Semoga para pembaca diberi kemudahan untuk memahami hal ini. Semoga sajian ini
bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.


Selesai direvisi ulang di pagi hari penuh berkah di Panggang-GK, 15 Syawal 1431 H (23
September 2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Artikel www.muslim.or.id

[1] HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832

[2] HR. Ahmad 5/424. Syaikh Al Albani menshohihkan hadits ini sebagaimana disebutkan dalam
Irwa’ul Gholil no. 2622.

[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Asy Syamilah, 2/2183, pada index
“Imamatush Sholah”, point 28.

[4] Idem

[5] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 5/221.

[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots Al
‘Arobi, Beirut, cetakan kedua, 1392, 12/219

[7] Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibni Utsaimin, Asy Syamilah, 18/232

[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Asy Syamilah, 2/2183, pada index
“Imamatush Sholah”, point 28.

[9] HR. Malik secara mursal.

[10] Faedah dari guru kami, Ustadz Aris Munandar pada link: http://ustadzaris.com/hadiah-
untuk-pejabat

[11] Idem.

Syariah Mandiri Cabang Bogor

Bogor, HTI Press. Lajnah Khusus Pengusaha (LKP) HTI DPD II Kota Bogor yang terdiri dari Ust Anas Nasrun
(Ketua LKP), Ust Purnomo, Ust. Sutono dan Ust. Erwin Wahyu berkunjung ke Kantor Bank Syariah
Mandiri Cabang Bogor untuk menjalin ukhuwah.
Rombongan diterima dengan hangat oleh Bapak Slamet Ibrahim ( PJ Marketing Manager ), Bapak Sapto
(BSM Pusat) dan Bapak Deni Aruli Putra (Acount Office) pada hari Selasa (06/03). Ust. Anas memaparkan
sekilas tentang profile HT, ditambahkan oleh Ust. Purnomo tentang tahapan dakwah HT membangkitkan
ummat menuju khilafah.

Bapak Sapto menyatakan bahwa Bank Syariah Mandiri belum bisa 100 persen syariah, beliau pun
memahami karena sistem yang ada bukanlah sistem syariah. Ketika Bapak Sapto mempertanyakan apa
peran HTI secara praktis dalam membangkitkan ekonomi ummat, Ust. Anas menjelaskan bahwa HT
adalah Qiyan Tafkir ( pengemban pemikiran ) yang dalam aktifitasnya hanya melakukan seruan (sesuai
dengan QS. Ali Imron : 104). HT menyeru ummat agar mereka taat kepada syariah (termasuk dalam
bidang ekonomi) dan meraih kemuliaan dengan tegaknya syariah dan khilafah.

Bapak Sapto juga sepakat dan sangat merindukan hidup dibawah naungan khilafah, beliau memprediksi
tegaknya khilafah adalah tahun 2024. Ust. Anas menambahkan bahwa menurut NIC (National Intelligent
Central ) AS tegaknya khilafah adalah lebih cepat lagi yaitu tahun 2020.

Di akhir pertemuan Bapak Sapto menyampaikan apresiasi kepada HTI dan merasa sangat senang atas
kunjungannya ke kantor BSM cabang Bogor serta mendoakan agar HTI menjadi salah satu bagian dari
ummat yang berhasil menegakkan kembali khilafah ‘alaa minhajin nubuwah. Amiin yaa Alloh. Allohu
akbar. []

Anda mungkin juga menyukai