Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Fungsi utama sistem saraf adalah mendeteksi, menganalisis, dan


menyalurkan informasi. Informasi dikumpulkan oleh sistem sensorik,
diintegrasikan oleh otak, dan digunakan untuk menghasilkan sinyal kejalur
motorik dan autonom untuk mengontrol gerakan serta fungsi organ viseral dan
endokrin. Berbagai kegiatan ini dikontrol oleh neuron, yang saling berhubungan
untuk membentuk jaringan sinyal yang membentuk sistem motorik dan sensorik.
Selain neuron, sistem saraf mengandung sel neuroglia yang memiliki beragam

fungsi imunologis dan penunjang serta memodulasi aktivitas neuron.1

Sejak menurunnya angka kejadian poliomyelitis, maka Sindroma Guillain


Barre menjadi penyebab terbanyak penyakit Acute Neuromuscular Paralysis yang
lebih dikenal sebagai Acute Flaccid Paralysis (AFP).
Sindroma Guillain Barre yang disebut juga Acute Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP) atau Post Infections Polyneuritis
yang dapat diartikan sebagai suatu kelainan akut dan difus dari sistim saraf yang
mengenai radiks spinalis, saraf perifer, dan kadang-kadang saraf kranialis setelah
suatu infeksi.

Dahulu sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhir-akhir
ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut
sekarang ialah suatu kelainan imunobiologis baik secara primary immune
response maupun immune mediated process .
Infeksi saluran pernafasan dan pencernaan sering mendahului gejala
neuropathy dalam 1 sampai 3 minggu (kadang-kadang lebih lama) pada kira-kira
60% penderita dengan Sindroma Guillain Barre.
Angka kejadian Sindroma Guillain Barre diperkirakan 1 sampai 2 penderita
per 100.000 penduduk dibawah umur 18 tahun dalam 1 tahun. Penderita laki-laki
1,5 kali lebih banyak daripada perempuan .
Ada 2 manifestasi klinis dari Sindroma Guillain Barre yang terpenting yaitu
adanya kelemahan motoris yang progresif yang mengenai lebih dari satu anggota
gerak dan adanya reflek yang menurun atau menghilang .
Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) yang karakteristik pada
Sindroma Guillain Barre adalah peningkatan protein dalam CSS tanpa adanya
pleocytosis (jumlah sel dalam CSS yang abnormal) yang disebut sebagai albumino
cytologic dissociation.
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. SH
Umur : 62 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : RT. 09 Sungai Duren
Pekerjaan : Tidak bekerja
MRS : 3 Oktober 2016

DAFTAR MASALAH
No. Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal
1 Kelemahan pada 3 oktober
keempat anggota 2016
gerak

2 Tidak bisa 3 oktober


menelan, makan 2016
dan minum

II. DATA SUBJEKTIF


1. Keluhan utama : Seluruh anggota gerak lemah sejak lebih kurang 2 tahun sebelum
masuk rumah sakit
2. Riwayat Penyakit sekarang
Lokasi : Lengan kanan,kiri dan tungkai kanan, kiri
Kualitas : Perlahan – lahan semakin lama semakin memberat
Kuantitas : dirasakan terus menerus, mengganggu aktifitas sehari – hari dan butuh
bantuan orang lain untuk aktivitas ringan
Kronologis : Pasien datang dengan keluhan lemah pada seluruh anggota gerak sejak
lebih kurang 2 tahun sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasakan lemah pada
anggota gerak muncul bersamaan, dan sering disertai rasa kebas atau kesemutan.
Kelemahan pada anggota gerak dirasakan perlahan – lahan dalam beberapa minggu
dan bersamaan baik pada lengan dan tungkai, awalnya pasien masih bisa berjalan
sambil berpegangan kemudian lama kelamaan tidak bisa lagi dan tidak pernah
membaik sampai sekarang.
Awal keluhan lemah pada anggota gerak muncul 2 tahun yang lalu setelah pasien
demam dan mencret lebih kurang 2 minggu. Demam hilang timbul, turun dengan
minum obat. Mencret lebih dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi cair dan
terdapat ampas.
Seminggu sebelum masuk rumah sakit pasien kembali merasakan keluhan yang sama,
yaitu demam dan mencret, batuk dan disertai dengan kesulitan menelan, sehingga
pasien tidak dapat makan dan minum. Kesulitan menelan dirasakan lebih kurang 3
hari sebelum masuk rumah sakit,saat setiap pasien makan dan minum, maka makanan
dan minuman akan keluar kembali sebelum sempat ditelan.
Pasien tidak mengeluhkan adanya pusing, mual, muntah. BAK (+). Pasien sudah
pernah 2 kali masuk rumah sakit dengan keluhan yang sama
Gejala penyerta : Sulit menelan, tidak bisa makan dan minum, BAB cair
Faktor memperberat : tidak ada
Faktor memperingan : tidak ada

3. Riwayat penyakit dahulu :


- Riwayat hipertensi (+) sejak ± 5 tahun yang lalu dan pasien rutin minum obat
hipertensi
- Riwayat dirawat dengan keluhan yang sama (+) pada tahun 2015 dan bulan
Januari 2016
- Riwayat diabetes mellitus (-)
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat trauma (-)

4. Riwayat penyakit keluarga :


- Riwayat anggota keluarga dengan keluhan yang sama (+) : Anak ke 8 pasien
mengalami keluhan yang sama selama 2 tahun saat berusia 17 tahun dan
meninggal.
- Riwayat keluarga dengan tekanan darah tinggi (-)
- Riwayat keluarga dengan riwayat DM (-)

5. Riwayat sosial ekonomi :


- Sebelum sakit pasien adalah seorang petani, yang mempunyai 8 orang anak dan
seorang istri yang bekerja sebagai ibu rumah tanggai. Pasien sendiri sudah tidak
bekerja.

6. Riwayat kebiasaan :
- Pola makan 3 kali sehari, dengan nasi dan lauk pauk beragam, makan makanan
bersantan (+), makanan asin (+), sayur-sayuran (+)
- Konsumsi air mineral ± 7 gelas sehari
- Pola tidur malam ± 6 jam sehari
- Riwayat merokok (-)
- Riwayat minum alkohol (-)

III. DATA OBJEKTIF


1. Status Presens (17 oktober 2016)
Kesadaran : Kompos mentis GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 37 °C
Respirasi : 20 x/menit
Kepala : mata : CA -/-, SI -/-, reflek cahaya +/+ isokhor
Leher : kaku kuduk (-) pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat
Dada : simetris, sikatrik (-), tidak ada retraksi
Jantung : Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
Palpasi : Ictus kordis teraba pada ICS V, LMC Sinistra
Perkusi : Batas jantung DBN
Auskultasi : BJ I dan II regular, murmur (-/-), gallop (-/-)
Paru :Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-), ketinggalan
gerak (-)
Palpasi : tactil fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+) Ronchi (-/-), Wheezing (-/-)
Perut : Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : Soepel, hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani, asites (-)
Alat kelamin : tidak diperiksa
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), kelemahan pada keempat anggota gerak

2. Status Psikitus
Cara berpikir : normal
Perasaan hati : normal
Tingkah laku : normal
Ingatan : normal
Kecerdasan : normal

3. Status Neurologikus
A. Kepala
Bentuk : normocephale
Nyeri tekan : (-)
Simetris : (+)
Pulsasi : (+)
B. Leher
Sikap : lurus
Pergerakan : baik
Kaku kuduk : (-)
C. Nervus Kranialis
Nervi Cranialis Kanan Kiri
NI Daya Penghidu N N
N II Daya Penglihatan N N
Medan Penglihatan N N
Pengenalan warna N N
N III Ptosis (-) (-)
Gerakan Mata B B
Ukuran Pupil 3 mm 3 mm
Bentuk Pupil Bulat Bulat
Refleks Cahaya (+) (+)
Refleks Akomodasi (+) (+)
N IV Strabismus Divergen (-) (-)
Gerakan Mata Ke Lateral Bawah (+) (+)
Strabismus Konvergen (-) (-)
NV Menggigit (+) (+)
Membuka Mulut (+) (+)
Sensibilitas Muka N N
Refleks Cornea (+) (+)
Trismus (-) (-)
N VI Gerakan Mata Ke Lateral (+) (+)
Strabismus Konvergen (-) (-)
Diplopia (-) (-)
N VII Kedipan Mata (+) (+)
Lipatan Nasolabial Simetris
Sudut Mulut Simetris
Mengerutkan Dahi (+) (+)
Mengerutkan Alis (+) (+)
Menutup Mata (+) (+)
Meringis (+) (+)
Menggembungkan Pipi (+) (+)
Daya Kecap Lidah 2/3 Depan Normal Normal
N VIII Mendengar Suara Berbisik Normal Normal
Mendengar Detik Arloji Normal Normal
Tes Rinne Normal Normal
Tes Weber Normal Normal
Tes Schwabach Normal Normal
N IX Arkus Faring N N

Refleks Muntah (+) (+)


Suara Sengau (-) (-)
Tersedak (+) (+)
NX Denyut Nadi 72 x / menit 72 x / menit
Arkus Faring N N
Bersuara N N
Menelan (+) (+)
N XI Memalingkan Kepala (+) (+)
Sikap Bahu N N
Mengangkat Bahu (+) (+)

N XII Sikap Lidah Ditengah

Tremor Lidah (-)


Menjulurkan Lidah Simetris

D. Badan dan Anggota Gerak


a. Badan
Motorik Kanan Kiri
Respirasi Simetris Simetris
Duduk Simetris Simetris
Bentuk kolumna Normal Normal
vertebralis
Pergerakan kolumna Normal Normal
vertebralis

Sensibilitas
Raba Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek
Reflek kulit perut atas tidak dilakukan tidak dilakukan
Reflek kulit perut tengah tidak dilakukan tidak dilakukan
Reflek kulit perut bawah tidak dilakukan tidak dilakukan
Reflek kremaster tidak dilakukan tidak dilakukan

b. Anggota Gerak atas

Motorik Kanan Kiri


Pergerakan Hipoaktif Hipoaktif
Kekuatan 3 3
Tonus Hipotonus Hipotonus
Trofi ↓ ↓
Sensibilitas
Raba Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks
Biseps - -
Triseps - -
Radius - -
Ulna - -
Hoffman-Tromner - -

c. Anggota gerak bawah


Motorik Kanan Kiri
Pergerakan hipoaktif hipoaktif
Kekuatan 3 3
Tonus Hipotonus Hipotonus
Trofi ↓ ↓
Sensibilitas
Raba Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks
Patella - -
Achilles - -
Babinsky - -
Oppenheim - -
Chaddock - -
Schaefer - -
Rosolimo - -
Mendel-Bechtrew - -
Klonus paha - -
Klonus kaki - -
Test Laseque - -
Test Kernig - -

E. Koordinasi, Gait, Keseimbangan


Cara berjalan : Tidak dilakukan
Test Romberg : Tidak dilakukan
Disdiadokinesis : Tidak dilakukan
Ataksia : Tidak dilakukan
Rebound phenomen : Tidak dilakukan
Dismetria : Tidak dilakukan

F. Gerakan Abnormal
Tremor : (-)
Miokloni : (-)
Khorea : (-)
Rigiditas : (-)

G. Alat Vegetatif
Miksi : tidak ada kelainan
Defekasi : tidak ada kelainan
Ereksi : tidak dilakukan

H. Test Tambahan
Test Nafziger : tidak dilakukan
Test Valsava : tidak dilakukan
 Pemeriksaan Penunjang
a. Darah rutin : 3 oktober 2016
- WBC : 8,5 103/mm3 (3.5-10.0)
- RBC : 5,69 106/mm3 (3.80-5.80)
- HGB : 14,8 g/dl (11.0-16.5)
- HCT : 42,1 % (35.0-50.0)
- PLT : 353 103/mm3 (150-390)
b. Elektrolit : 3 Oktober 2016
- Natrium : 138.04 mmol/L
- Kalium : 4.73 mmol/L
- Chlorida : 99.90 mmol/L
- Calcium : 1,25 mmol/L
c. Faal ginjal : 3 oktober 2016
- Ureum : 40,0 mg/dl
- Kreatinin : o,9 mg/dl
d. Faal lemak (4 Oktober 2016)
- Kolesterol : 278 mg/dl
- Hdl : 33 mg/dl
- Ldl : 225 mg/dl

I. DIAGNOSIS
Diagnosa klinis : Tetraparese tipe Flaksid (LMN)
Diagnosa topis : Radiks anterior
Diagnosa etiologi : Suspect Sindrom Guillain Bare

II. RENCANA AWAL


Tx :
Medikamentosa :
- IVFD RL  20 tpm
- Inj. Ranitidin 2x 50 mg
- Inj. Methyl Prednisolon 1 x 125 mg
- Vit B Complex 2 x1 tab
- Ambroxol 3 x 1 tab
- Amlodipine 1 x 10 mg
- Simvastatin 1 x 20 mg
- Pasang NGT
- Pasang kateter
Non medikamentosa :
- Fisioterapi

Pemantauan Lanjut
16 Oktober 2016 ( perawatan hari ke 13 )
S : kelemahan anggota gerak, gatal - gatal.
O : T : 140/80mmHg N : 100 x/m R : 26 x/m SB : 36,6°C
GCS 15, pupil bulat isokor diameter 3 mm, RC +/+, RCTL +/+
Kepala tidak ada kelainan, leher tidak ada kelainan, dada bentuk simetris, paru ronkhi dan
wheezing tidak ada, bunyi jantung normal dan tidak ada bising, hepar dan lien tidak
teraba, perut tidak ada kelainan, ekstremitas akral hangat.
Status motorik : kekuatan otot ekstremitas atas 3, kekuatan otot ekstremitas bawah 3;
kesan tonus otot menurun pada keempat ekstremitas, refleks fisiologis pada ekstremitas
tidak ada, refleks patologis tidak ada.
A : - Tetraparesis LMN ec syndrome guillain barre
P : - Elevasi kepala 30°, mobilisasi miring kanan kiri tiap 2 jam.
- IVFD RL 20 gtt/menit
- Methylprednisolon 3x500 mg iv
- Ranitidin 2x1amp iv
- Vitamin B12 2x1amp iv

17 Oktober 2016 ( perawatan hari 14 )


S : kelemahan anggota gerak.
O : T : 120/80mmHg N : 100 x/m R : 26 x/m SB : 36,2°C
GCS 15, pupil bulat isokor diameter 3 mm, RC +/+, RCTL +/+
Kepala tidak ada kelainan, leher tidak ada kelainan, dada bentuk simetris, paru ronkhi dan
wheezing tidak ada, bunyi jantung normal dan tidak ada bising, hepar dan lien tidak
teraba, perut tidak ada kelainan, ekstremitas akral hangat.
Status motorik : kekuatan otot ekstremitas atas 3, kekuatan otot ekstremitas bawah 3;
kesan tonus otot menurun pada keempat ekstremitas, refleks fisiologis pada ekstremitas
tidak ada, refleks patologis tidak ada.
A : - Tetraparesis LMN ec syndrome guillain barre
P : - Elevasi kepala 30°, mobilisasi miring kanan kiri tiap 2 jam.
- IVFD RL 20 gtt/menit
- Methylprednisolon 3x125 mg iv
- Ranitidin 2x1amp iv
- Vitamin B12 2x1 tab

18 Oktober 2016 ( perawatan hari 15)


S : kelemahan anggota gerak
O : T : 110/70mmHg N : 100 x/m R : 24 x/m SB : 36,5°C
GCS 15, pupil bulat isokor diameter 3 mm, RC +/+, RCTL +/+
Kepala tidak ada kelainan, leher tidak ada kelainan, dada bentuk simetris, paru ronkhi dan
wheezing tidak ada, bunyi jantung normal dan tidak ada bising, hepar dan lien tidak
teraba, perut tidak ada kelainan, ekstremitas akral hangat.
Status motorik : kekuatan otot ekstremitas atas 3 kekuatan otot ekstremitas bawah 3 kesan
tonus otot menurun pada keempat ekstremitas, refleks fisiologis pada ekstremitas bawah,
tidak ada refleks patologis tidak ada.
A : - Tetraparesis LMN ec syndrome guillain barre
P : - Elevasi kepala 30°, mobilisasi miring kanan kiri tiap 2 jam.
- Methylprednisolon 3x4 mg
- Omperazole 1x 1
- Vitamin B12 tab 1x1
- Pasien Boleh pulang
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom Guillain-Barre (poliradikulo neuropati demielinasi inflamatorik

akut) merupakan paralisis asendens yang dapat membawa kematian dan disertai

dengan kelemahan yang dimulai pada ekstremitas distal tapi kemudian dengan

cepat menjalar ke otot-otor proksimal. Terjadi demielinasi segmental dan sel-sel

inflamasi kronik yang mengenai radiks saraf serta saraf perifer. Kelainan ini

dimediasi oleh imun dan sering terjadi sesudah infeksi virus (sitomegalovirus,

Virus Epstein Barr) atau campylobacter jejuni.5

2.2 Struktur dan Fungsi Normal Sistem saraf

Fungsi utama neuron adalah menerima, memadukan, dan menyalurkan

informasi ke sel lain. Neuron terdiri dari tiga bagian: dendrit, yaitu tonjolan

memanjang yang menerima informasi dari lingkungan atau dari neuron lain;

badan sel, yang mengandung nukleus dan akson, yang panjangnya dapat mencapai

1 meter dan menghantarkan impuls ke otot, kelenjar, atau neuron lain. Sebagian

besar neuron bersifat multipolar, yang mengandung satu akson dan beberapa

dendrit. Neuron bipolar memiliki satu dendrit dan satu akson dan ditemukan di

ganglion cochleare dan vestibulare, retina, serta mukosa olfaktorik. Ganglion

sensorik spinal mengandung neuron-neuron pseudounipolar yang memiliki suatu

tonjolan yang keluar dari badan sel dan terbagi menjadi dua cabang, satu

memanjang ke medula spinalis dan yang lain memanjang ke perifer. Akson dan

dendrit biasanya bercabang-cabang secara ekstensif di bagian ujungnya.


Percabangan dendrit dapat sangat rumit, dengan akibat bahwa satu neuron dapat

menerima ribuan masukan. Setiap cabang akson berakhir di sel berikutnya di

sinaps, yakni suatu struktur khusus untuk menyalurkan informasi dari akson ke

otot, ke kelenjar atau ke neuron lain. Sinyal merambat secara elektris di

sepanjang akson.1

Mielinisasi meningkatkan kecepatan hantaran potensial aksi. Mielin

terutama terdiri dari lipid. Selaput mielin berfungsi sebagai insulator, sperti karet

yang membungkus kabel listrik, untuk mencegah arus bocor menembus bagian

membran yang bermielin. Mielin sebenarnya bukan bagian dari sel saraf tetapi

terdiri dari sel-sel pembentuk mielin terpisah yang membungkus diri mengelilingi

akson seperti kue bolu gulung. Hilangnya mielin memperlambat transmisi impuls

pada neuron yang terkena. Pembentukan jaringan parut berkaitan dengan

kerusakan mielin dapat juga merusak akson dibawahnya yang semakin

menggangu perambatan potensial aksi.7

Susunan saraf mempunyai reaksi imunologik terhadap antigen-antigen yang

berasal dari susunan saraf itu sendiri. Autoantigenik neural ini tidak patologik

selama toleransi imunologik masih ada. Tetapi karena suatu sebab, toleransi

imunologik itu dapat dihilangkan dan timbullah proses auto-imunopatologik yang

mengakibatkan timbulnya kerusakan jaringan. Apa yang dinamakan sel T itu

ternyata sebuah limfosit yang mempunyai struktur kimiawi lipopolisakarida.

Menurut teori yang diuraikan maka beberapa penyakit nerologik disebabkan oleh

proses imunopatologik dan auto-imunopatologik. Namun demikian yang

dianggap imunologik atau autoimunologik dapat diperbaiki dengan farmaka

yang dinamakan imunosupresor.8


2.3 Epidemiologi

Guillain-Barré Syndrome merupakan penyakit neurologi yang cukup jarang,

angka insidensi GBS dari 2 penelitian epidemiologi terdahulu dapat dilihat pada

penelitian yang dilakukan Ress, dkk (1998) dengan metode dan subyek yaitu

prospektif 1 tahun, 97 pasien didiagnosa GBS dimana angka insiden per 100.000

penduduk adalah 1,2 dan peneltian yang dilakukan Casmiro dkk (1998) dengan

metode dan subyek yaitu prospektif studi 2 tahun, 87 pasien didiagnosa GBS,

dimana angka insiden per 100.000 penduduk adalah 1,1.4

Penelitian yang dilakukan oleh Ress, dkk (1998) menunjukkan bahwa rasio

laki-laki dan perempuan adalah 0.8/1. Rata-rata umur (SD) adalah 47.7 tahun

(19.5) dan berkisar antara 5 sampai 85 tahun. Sementara penelitian Casmiro, dkk

(1998) menunjukkan bahwa puncak insidensi adalah pada usia 60-69 tahun

dengan angka insidensi 2,34/100.000 penduduk.3 Data di Indonesia mengenai

gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa


insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun)

dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian

di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan

usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi

pergantian musim hujan dan kemarau.4

2.4 Etiologi

Penyebab sindrom Guillein-Barre sampai saat ini belum diketahui

(idiotaptik) dan termasuk dalam kelompok penyakit autoimun. Akibat suatu

infeksi atau kedaan tertentu yang mendahului GBS akan timbul autoantibodi atau

imunitas seluler terhadap jaringan saraf perifer.9


2.5 Klasifikasi

Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:


1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
Mediasi oleh antibodi, dipicu oleh infeksi virus atau bakteri sebelumnya,
gambaran elektrofisiologi berupa demielinisasi, remielinisasi muncul setelah
reaksi imun berakhir, merupakan tipe SGB yang sering dijumpai di Eropa dan
Amerika.
2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Merupakan bentuk murni dari neuropathy axonal, dimana acute motor axonal
neurophaty (AMAN), terjadi degenerasi dari axon motorik, tanpa adanya
demielinisasi. Gejala ditandai dengan adanya kelemahan otot bagian distal,
terkadang dapat disertai paralisis otot pernafasan. Sensorik tidak mengalami
gangguan. Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan protein pada
cairan serebrospinal sementara dari pemeriksaan elektrofisiologi menunjukkan
absen/turunnya saraf motorik dan saraf sensorik. Penyembuhan lebih cepat, sering
terjadi pada anak, dan merupakan tipe SGB yang sering di Cina dan Jepang.
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Degenerasi terjadi pada akson sensorik dan motorik, sehingga manifestasi
klinisnya berupa kelemahan motorik dan sensorik, terkadang dengan paralisis otot
pernafasan. Kebanyakan pasien menjadi tetraplegi dan kesulitan bernafas hanya
dalam waktu yang singkat.
4. Miller Fisher’s Syndrome
Merupakan kelainan yang jarang dijumpai, berupa trias ataxia, areflexia dan
oftalmoplegia, dapat terjadi gangguan proprioseptif, resolusi dalam waktu 1-3
bulan.
5. Acute Pandysautonomia
Varian yang paling jarang dari SGB, mempengaruhi sistim simpatis dan
parasimpatis, gangguan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, hipertensi,
disaritmia), gangguan penglihatan berupa pandangan kabur, kekeringan pada mata
dan anhidrosis, penyembuhan bertahap dan tidak sempurna, sering dijumpai juga
gangguan sensorik.6
2.6 Patofisiologi

Manifestasi patologis yang utama adalah demielinisasi segmental saraf

perifer. Keadaan ini menghalangi transmisi impuls elektris yang normal

disepanjang radiks saraf sensoris. Karena sindrom ini menyebabkan inflamasi dan

perubahan degeneratif pada radiks saraf posterior (sensoris) maupun anterior

(motorik), maka tanda-tanda gangguan sensoris dan motorik akan terjadi secara

bersamaan.2

Mekanisme imun seluler dan humoral tampak ikut berperan, lesi inflamasi

awal akan menyebabkan infiltrasi limfosit dan makrofag pada komponen mielin.

Pada gambaran dengan mikroskop elektron tampak bahwa makrofag merusak

selubung mielin. Faktor imun humoral seperti antibodi, antimielin dan

komplemen ikut berperan dalam proses opsonisasi makrofag pada sel Schwann.

Proses ini dapat diamati baik pada radiks saraf, saraf tepi, dan saraf kranialis.

Sitokin ikut pula berperan, hal ini ditunjukkan dengan korelasi klinik Tumor

Necrotic Factor (TNF) dengan beratnya kelainan elektrofisiologik. Respon imun

pada SGB dipercaya langsung menyerang komponen glikolipid dari aksolemma

dan selubung mielin. Antibodi pada saraf perifer akan mengaktivasi sistem

komplemen dan makrofag, sehingga akan muncul sitotoksisitas seluler yang

tergantung pada antibodi terhadap komponen mielin dan aksolemma. Kerusakan

selubung mielin akan menyebabkan demielinisasi segmental, yang menyebabkan

menurunnya kecepatan hantar saraf dan conduction block. SGB tipe aksonal

disebut pula sebagai Acute Motor Aaxonal Neuropathy (AMAN), yang terutama

ditandai oleh kerusakan aksonal yang nyata, dan ditunjukkan dengan Compound

Muscle Action Potential (CMAP) distal yang rendah.3

Kejadian SGB sering didahului oleh hal-hal berikut: (1) infeksi tractus
respiratorius atau tractus gastrointestinal (pada2/3 kasus), (2) vaksinasi, (3)

malignancy, (4) obat-obatan, dan (5) kehamilan. Mekanisme yang mendasari

munculnya SGB adalah respon abnormal sel T akibat infeksi. Sel T CD4 helper

berperan banyak, bersama dengan antigen GM1 gangliosida.3

Temuan histopatologik dominan adalah infiltrasi saraf perifer oleh

makrofag dan limfosit reaktif, dan demielinisasi segmental. CSS biasanya

memperlihatkan peningkatan kandungan protein, tetapi reaksi selnya minimal.6

2.7 Tanda dan Gejala

Gejala timbul secara progresif dan meliputi:2

1. Kelemahan otot yang simetris (tanda neurologi utama) dan muncul pertama-

tama pada tungkai (tipe asenden) yang kemudian meluas ke lengan serta

mengenai nervus fasialis dalam 24 hingga 72 jam akibat terganggunya

transmisi impuls melalui radiks saraf anterior

2. Kelemahan otot yang pertama-tama terasa pada lengan (tipe descenden) atau

terjadi sekaligus pada lengan dan tungkai akibat terganggunya transmisi impuls

melalui radiks syaraf anterior.

3. Tidak terdapat kelemahan otot atau hanya mengenai nervus fasialis (pada

bentuk yang ringan).

4. Parestesia yang kadang-kadang mendahului kelemahan otot, tetapi akan

menghilang dengan cepat; keluhan ini terjadi karena terganggunya transmisi

impuls melalui radiks syaraf dorsalis.

5. Diplegia yang mungkin disertai oftalmoplegia (paralisis okuler) akibat

terganggunya transmisi impuls melalui radiks saraf motorik dan terkenanya

nervus kranialis III,IV, serta VI.

6. Disfagia atau Disartria dan yang lebih jarang terjadi, kelemahan otot yang
dipersarafi nervus kranialis XI (nervus aksesorius spinalis)

7. Hipotonia dan arefleksia akibat terganggunya lengkung refleks.

Penegakan diagnosa SGB, yaitu secara klinis, berbagai pemeriksaan penunjang

lain (LP, seroimunologi, dan neurofisiologi) yang dapat membantu dalam

penegakan diagnosa.

2.8 Diagnosis

Diagnosis GSB berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis yang spesifik,

disosiasi sito albuminik dan kelainan elektrofisiologis (EMG).9

Kriteria klinik yang dipakai secara luas dalam diagnosa SGB adalah kriteria

Asbury, yaitu sebagai berikut:3

Kriteria diagnosis

a. Kriteria yang harus ada

1. Kelemahan progresif lebih dari 1 anggota gerak

2. Hiporefleksia atau arefleksia

b. Menunjang diagnosa

1. Progresivitas sampai 4 minggu

2. Relatif simetris

3. Gangguan sensoris ringan

4. Katerlibatan saraf kranial (paling sering N VII)

5. Perbaikan dalam 4 minggu

6. Disfungsi autonom ringan

7. Tanpa demam

8. Protein LCS meningkat setelah 1 minggu

9. Leukosit LCS <10/mm3


10. Pelambatan hantar saraf

c. Meragukan diagnosa

1. Asimetris

2. Disfungsi BAB dan BAK


3. Leukosit LCS >50/mm2

4. Gangguan sensoris berbatas nyata

d. Mengeksklusikan diagnosa

1. Gangguan sensoris saja

2. Terdiagnosa sebagai polineuropati lain

2.9 Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium9

Gambaran Laboratorium yang paling menonjol adalah peninggian kadar

protein dalam cairan otak > 0,5 mg % Tanpa diikuti peningkatan jumlah

sel, Hal ini disebut disosiasi sitoalbuminik. Peninggian kadar protein

dalam cairan otak dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit, dan

mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear kurang

dari 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak

ditemukan peningkatan jumlah protein dalam sel. Imunoglobulin bisa

meningkat, bisa timbul hiponatremi pada beberapa penderita yang

disebabkan oleh SIADH.

2. Pemeriksaan Elektromiografi9

Gambaran penderita GBS antara lain 1) Kecepatan hantaran saraf motorik

dan sensorik melambat, 2) Distal motor latensi memanjang, 3) Kecepatan

hantaran gelombang F melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen

proksimal dan radiks saraf.


2.10 Penatalaksanaan

Penanganan yang pertama bersifat supportif meliputi intubasi endotrakea

atau trakeotomi jika gangguan pada otot-otot pernapasan membuat pasien sulit

mengeluarkan dahak.2

Kaji dan atasi disfungsi pernafasan. Jika otot pernapasan melemah, lakukan

perekaman kapasitas vitas secara serial. Gunakan respirometer dengan mouthpiece

atau masker untuk bedside testing.2

Lakukan pemeriksaan gas darah arteri. Karena penyakit neuromuskular

menimbulkan hipoventilasi disertai hipoksemia dan hiperkapnia, awasi tekanan

parsial oksigen arterial (PaO2) yang bila berada dibawah 70 mmHg menandakan

gagal napas.2 Pilihan terapi farmakologi yang direkomendasikan adalah sebagai

berikut:3

Pertukaran plasma (plasma exchange) bermanfaat bila dikerjakan dalam

waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per

exchange adalah 40-50 ml/Kg. Dalam waktu 7-14 hari, dilakukan 3-5 kali plasma

exchange.9

Pengobatan dengan menggunakan imunoglubulin dapat bermanfaat untuk

GBS. Dosis imunoglobulin 0,4 gr/kg selama lima hari.9

Pemakaian kortikosteroid pada GBS masih diragukan manfaatnya, namun

ada yang berpendapat bahwa pemakaian kortikosteroid pada fase dini mungkin

bermanfaat.9

Penggunaan terapi imunoglobulin (Ig) relatif lebih sederhana dan lebih

mudah dibandingkan dengan plasma exchange. Kajian yang dilakukan oleh Bril,

dkk (1999) menunjukkan bahwa penggunaan terapi Ig pada pasien SGB sama

efektifnya dengan plasmaparesis, apabila terapi diberikan dalam 2 minggu pasca


onset penyakit. Persatuan dokter spesialis saraf di Inggris.3

2.11 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari GBS adalah poliomielitis, Botulisme, Hysterical

Paralysis, Neuropati toksik, Diphtheritic paralisi, porfiria intermitten akut,

Neuropati karena timbal, Mielitis akut.9

2.12 Prognosis

Kematian penderita GBS berkisar antara 2%-10% dengan penyebab

kematian karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru,

dan emboli paru. Sebagian besar penderita (60 – 80%) sembuh secara sempurna

dalam waktu 6 bula, sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan

dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki.

Sekitar 3 – 5 % penderita mengalami relaps.9

Kajian yang dilakukan oleh Berger dan Pulley, (2000) memperlihatkan

bahwa prognosis SGB tergantung pada progresivitas penyakit, derajat degenerasi

aksonal, dan umur pasien. Faktor prediktor prognosis yang buruk dalam penelitian

Lyu dkk, (1997) adalah : (1) usia > 40 tahun, (2) amplitudo CMAP yang rendah,

dan (3) perlunya ventilasi mekanik. Sebuah penelitian prospektif lain dengan

waktu follow-up 1 tahun terhadap 79 pasien SGB dilakukan oleh Ress dkk, (1998)

memperlihatkan bahwa usia tua (>=60 tahun) merupakan faktor prediktor

prognosis yang buruk untuk tidak tercapainya pemulihan sempurna (p=0.05; odds

ratio 0.35; 95% CI 0.12-1.00). Penelitian lain oleh Kuwabara dkk, (2001)

menunjukkan bahwa refleks tendo yang positif merupakan salah satu prediktor
tercapainya pemulihan SGB yang cepat (skala Hughes meningkat 2 skor

dalam waktu 14 hari) (44% : 9%, p=0,01).3


BAB IV
Analisis Kasus

Pasien datang dengan keluhan lemah pada seluruh anggota gerak, keluhan
sejak lebih kurang 2 tahun sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasakan
lemah pada anggota gerak muncul bersamaan, disertai rasa kebas atau
kesemutan. Kelemahan pada anggota gerak dirasakan berangsur angsur dan
dirasakan bersamaan baik pada lengan dan tungkai, awalnya pasien masih bisa
berjalan sambil berpegangan kemudian lama kelamaan tidak bisa lagi dan
tidak pernah membaik sampai sekarang.
Awal keluhan lemah pada anggota gerak muncul 2 tahun yang lalu setelah
pasien demam dan mencret lebih kurang 2 minggu. Demam hilang tibul, turun
dengan minum obat. Mencret lebih dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi
cair dan terdapat ampas.
Seminggu sebelum masuk rumah sakit pasien kembali merasakan keluhan
yang sama, yaitu demam dan mencret, disertai dengan kesulitan menelan,
sehingga pasien tidak dapat makan dan minum. Kesulitan menelan dirasakan
lebih kurang3 hari sebelum masuk rumah sakit,saat setiap makan dan minum,
maka makanan dan minuman akan keluar kembali. Pasien tidak mengeluhkan
adanya pusing, mual, muntah. BAK (+).Pasien sudah pernah 2 kali masuk
rumah sakit dengan keluhan yang sama.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tidak ada kelainan sedangkan pada
pemeriksaan neurologi didapatkan penurunan fungsi motorik.
Sindrom Guillain-barré (SGB) atau secara klinis sering disebut “Poli
Radikulo Neuropati Inflamasi Akut (PIA)”. SGB sering disebut juga acute
inflamating demyelinating polyneuropathy atau acute ascending paralysis
yang merupakan kelainan pada saraf perifer yang bersifat peradangan di luar
otak dan medulla spinalis. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap
musim, menyerang semua umur, dan tidak bersifat herediter.
Penyakit ini merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari
seluruh kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri. Kerusakan
mielin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan
melepaskan selubung mielin dari sel schwan dan akson.
Gejala klinis berupa kelemahan anggota tubuh bagian bawah biasanya
terkena terlebih dahulu sebelum tungkai atas. Otot bulbar dan pernapasan
dapat terpengaruh juga, keterlibatan saraf kranial III-VII dan IX-XII
mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai
berikut; wajah drop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopia, Dysarthria,
Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Perubahan Sensorik
berupa parestesia dimulai pada jari kaki dan ujung jari tangan, menuju ke atas
tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan
kaki, nyeri, dan gangguan pernafasan.
Pemeriksaan penunjang yang berhubungan dengan penyakit ini berupa
pemeriksaan LCS (Liquor Cerebro Spinalis). Dari pemeriksaan LCS
didapatkan adanya kenaikan kadar protein (1 – 1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan
jumlah sel. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau
kedua. Pemeriksaan EMG, Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam
batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada
akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan
adanya perbaikan.
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan
terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah
mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan
memperbaiki prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di
rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita
dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan
bantuan pernafasan, pengobatan (imunoterapi) dan fisioterapi.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi. Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang
baik, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai
gejala sisa. Penderita SGB dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh
dengan gejala sisa berupa dropfoot atau tremor postural (25-36%).
Penyembuhan dapat memakan waktu beberapa minggu sampai beberapa
tahun.

Anda mungkin juga menyukai