Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri atas
proteinuria msaif >3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/m2/hari pada anak, hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema dan hyperlipidemia. Pasien dengan sindroma nefrotik terjadi suatu gangguan pada membrane basal glomerulus yang mengakibatkan timbulnya kebocoran protein plasma ke urin. Kondisi ini mengakibatkan timbulya hipoproteinemia, penurunan serum protein dan albumin, adanya edema serta hyperlipidemia. Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering ditemukan pada anank dari pada dewasa.1 Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) clinical practice guideline (2012), 1-3 anak dari 100.000 anak dibawah 16 tahun menderita sindroma nefrotik. Lima dari 100.000 anak per tahun di Jepang mengalami sindrom nefrotik idiopatik. Prevalensi sindrom nefrotik di Indonesia yaitu 6 dari 100.0000 anak dibawah 14 tahun.2,3 Berdasarkan etiologinya sindrom nefrotik dapar dikelompokkan menjadi 3 yaitu sindroma nefrotik kongenital, sindroma nefrotik idiopati atau primer, dan sindrom nefrotik sekunder. Dari keseluruhan pasien sindroma nefrotik 90% diantaranya mengalami sindroma nefrotik idiopatik.4 Secara morfologi sindrom nefrotik idiopatik dapat dibagi menjadi 3 yaitu penyakit kelainan minimal, proliferasi mesangium dan glomerulosklerosis segmental fokal. Sebanyak 95% pasien dengan penyakit kelainan minimal masih merespon baik terhadap kortikosteroid, 50% pada proliferasi mesangium yang merespon dengan kortikosteroid, dan hanya 20% glomerulosklerosis segmental fokal yang merespon terhadap kortikosteroid.5