Anda di halaman 1dari 24

Nama : Diah Apriani

Program Studi : S-1 Non Reguler


Jurusan : Akuntansi
NPM : 0741031030
No. Hp : 085279891001
Email : apriani_dhie@yahoo.co.id
Pembimbing I : R. Weddie Andriyanto, S.E., M.Si., CPA.
Pembimbing II : Basuki Wibowo, S.E., Akt.

ABSTRAK

ANALISIS EKUALISASI DAN REKONSILIASI ATAS PELAPORAN


SPT MASA TERHADAP SPT TAHUNAN PPH BADAN
DALAM MENGHADAPI PEMERIKSAAN PAJAK

Oleh
Diah Apriani

Sebagai bentuk tindak preventif untuk menghadapi pemeriksaan pajak ekualisasi dan
rekonsiliasi bisa menjadi petunjuk bahwa kewajiban penyampaian SPT Masa dengan
SPT Tahunan PPh Badan sudah dilakukan sesuai dengan peraturan perpajakan yang
berlaku.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan


perbedaan antara SPT Masa dengan SPT Tahunan PPh Badan dalam menghadapi
pemeriksaan pajak.

Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa ditemukan faktor-faktor penyebab


perbedaan dari ekualisasi dan rekonsiliasi. Perbedaan ekualisasi dan rekonsiliasi SPT
Masa PPN dengan SPT Tahunan PPh Badan disebabkan oleh beda kurs valas, objek
PPN tidak dicatat dalam akun penjualan, pemberian diskon tunai, adanya penghasilan
yang dikenakan PPh final, perbedaan pengakuan pembelian. Perbedaan ekualisasi dan
rekonsiliasi antara SPT Masa PPh Pasal 21 dengan SPT Tahunan PPh Badan
disebabkan biaya gaji yang didapat dari penghasilan bukan merupakan objek PPh
Pasal 21. Perbedaan ekualisasi dan rekonsiliasi antara SPT Masa PPh Pasal 23 dengan
SPT Tahunan PPh Badan disebabkan karena adanya kesalahan pencatatan (human
error). Perbedaan juga disebabkan oleh adanya biaya yang tidak diperkenankan
sebagai pengurang PKP dan sumbangan yang bukan merupakan objek pajak.

Kata Kunci :
Ekualisasi, Rekonsiliasi, Pemeriksaan Pajak.

ABSTRACT
ANALYSIS of EQUALIZATION AND RECONCILIATION UPON
MONTLY CORPORATE TAX REPORT TO THE ANNUAL
CORPORATE TAX REPORT
IN DEALING TAX INVESTIGATION

By

Diah Apriani

As an preventive action in dealing tax investigation, equalization and reconciliation


could be an indication that the submission of monthly an annual corporate tax report
has already done according to the applicable tax regulation.

This research aims find out several factors causing differences between monthly and
annual corporate tax report.

From the analysis can be found several factors causing differences between monthly
and annual corporate tax report as well as as exchange rate differences, VAT object
was not recorded in sales, cash discount awarding, final income tax object,
differences of purchase recognition. Equalization and reconciliation between SPT
Masa PPh Pasal 21 and annual tax report caused by salary expenses is not PPh Pasal
21 object. Equalization and reconciliation between SPT PPh Pasal 23 and annual tax
report caused by human error. This differences also caused by the expenses and
donations that are not allowed as a deduction of taxable income.

Key Words :
Equalization, Reconciliation, Tax Investigation.

1. Pendahuluan
Dalam Pajak Penghasilan (PPh), ekualisasi dan rekonsiliasi seyogianya diterapkan
terhadap masing-masing jenis pajak, termasuk pada PPN, PPh Pasal 23, dan PPh
Pasal 21. Ini dilakukan karena pada kenyataannya, perbedaan sudut pandang antara
PPh badan dan salah satu jenis withholding tax ini adalah suatu hal yang wajar terjadi.
Tergantung bagaimana kita menelusuri di mana letak perbedaan tersebut melalui
ekualisasi dan rekonsiliasi. Sebelum melaporkan pajak penghasilan badan tahunan,
sebaiknya perusahaan membandingkan peredaran usaha di SPT Masa PPN, biaya-
biaya di SPT Masa PPh Pasal 23, dan biaya gaji dan upah tenaga kerja langsung di
SPT Masa PPh Pasal 21 dengan laporan laba rugi akuntansi atau pajak.

Ekualisasi dan rekonsiliasi merupakan salah satu alat kontrol bagi Wajib Pajak dalam
menjalankan kewajiban perpajakannya. Ekualisasi dan rekonsiliasi bisa menjadi
petunjuk bahwa kewajiban penyampaian SPT Masa PPN, SPT Masa PPh Pasal 23,
dan SPT Masa PPh Pasal 21 dengan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan sudah
dilakukan dengan benar. Ekualisasi dan rekonsiliasi dibuat Wajib Pajak, khusunya
pemberi kerja, sebagai bentuk tindak preventif untuk menghadapi pemeriksaan pajak.
Pemeriksaan pajak dilakukan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian ekualisasi dan rekonsiliasi yang
dilakukan oleh Wajib Pajak akan dapat melacak dan memastikan apakah seluruh
omzetnya sudah dipungut PPN, seluruh transaksi yang menjadi objek PPh Pasal 23
telah dipotong pajaknya, dan seluruh biaya gaji dan upah tenaga kerja langsung sudah
sama dengan jumlah biaya gaji pada laporan laba rugi kemudian diperhitungkan saat
mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Wajib Pajak Badan sesuai dengan
peraturan perpajakan yang berlaku.

2. Landasan Teori
2.1 Pajak Penghasilan
Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak pajak penghasilan dikenakan
terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
tahun pajak (Waluyo, 2011). Subjek pajak diartikan sebagai orang atau badan atau
pihak yang dituju oleh undang-undang untuk dikenai pajak. Pajak Penghasilan
dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak (Waluyo, 2011). Subjek PPh terdiri atas orang
pribadi, badan, dan bentuk usaha tetap. Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan,
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk (Woro, 2010).
Objek PPh bersifat final yaitu penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan
lainnya, penghasilan berupa hadiah undian, penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya, penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, penghasilan tertentu lainnya.

2.2 Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Pajak Pertambahan Nilai adalah adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan
nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN
termasuk jenis pajak tidak langsung, yaitu PPN disetor oleh produsen yang bukan
penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak adalah konsumen akhir
tidak menyetorkan langsung pajak yang ditanggung. Pajak Pertambahan Nilai
menurut UURI No. 42 Tahun 2009 PPN dan PPnBM adalah pajak atas konsumsi
barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat disetiap jalur
produksi dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh
perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan
objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Ciri khas dari PPN adalah setiap penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena
Pajak harus dibuatkan Faktur Pajak. Faktur pajak ini merupakan bukti pemungutan
PPN dan dibagi menjadi dua yaitu faktur pajak bagi penjual adalah bukti dari pajak
keluaran sedangkan bagi pembeli disebut dengan faktur pajak masukan. Dalam PPN
yang menjadi subyek pajak adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), pengertian
Pengusaha Kena Pajak (PKP) menurut Pasal 1 angka 14 dan 15 UU No. 42 Tahun
2009 yaitu Pengusaha Kena Pajak adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa
pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang yang menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan
jasa dari luar Daerah Pabean. Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang,
diperlukan adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Pajak yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif pajak dengan DPP. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
adalah jumlah harga jual atau penggantian atau nilai impor atau nilai ekspor atau nilai
lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai
dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Yang dimaksud dengan harga jual,
penggantian, nilai ekspor, nilai impor, dan nilai lain. Tarif PPN menurut Pasal 7 UU
No. 42 Tahun 2009 adalah (Resmi, 2011) adalah :
1. Tarif PPN 10%
Tarif 10% dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah pabean/impor
BKP/JKP di dalam daerah pabean/pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean/pemanfaatan JKP dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean. Berdasarkan pertimbangan perkembangan
ekonomi dan atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan,
Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5%
dan paling tinggi 15% dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.

2. Tarif PPN sebesar 0%


Tarif 0% dikenakan atas ekspor BKP berwujud/ekspor BKP tidak
berwujud/ekspor jasa kena pajak. Pengenaan tarif 0% tidak berarti pembebasan
dari pengenaan PPN. Dengan demikian, pajak yang telah dibayar untuk
perolehan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak yang berkaitan dengan
kegiatan tersebut tetap dapat dikreditkan.

Dalam Pasal 4 UU No. 42 Tahun 2009, pengusaha yang melakukan kegiatan


penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1)
maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak,
tetapi belum dikukuhkan. Pengertian Jasa Kena Pajak dijelaskan dalam pasal 1 angka
5, 6, 7 dan 8 adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Jasa
Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang. Penyerahan
Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak. Dalam Pasal 4
UU No. 42 Tahun 2009, pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena
Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan. Faktur pajak
adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak karena
penyerahan barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau bukti pungutan
pajak karena impor Barang Kena Pajak digunakan oleh Direktorat Jendral Bea dan
Cukai. Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan
Barang Kena Pajak yang dilakukan di dalam daerah Pabean atau ekspor Barang Kena
Pajak dan untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam daerah
pabean. Pembuatan faktur pajak bersifat wajib bagi setiap Pengusaha Kena Pajak,
karena faktur pajak adalah bukti yang menjadi sarana pengawasan administrasi
terhadap kewajiban perpajakan (Resmi, 2011).
2.3 PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 adalah Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri (orang pribadi atau badan), serta bentuk
usaha tetap dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang
telah dipotong PPh Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah
atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya (Waluyo, 2011). PPh Pasal 23 dipotong
atas penghasilan yang terdiri dari dividen, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan,
sewa, dan imbalan yang sehubungan atas jasa teknik. Adapun yang menjadi subyek
pajak adalah penerima dari penghasilan tersebut, terdiri dari Wajib Pajak dalam
negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sifat dari PPh Pasal 23 adalah pemotongan,
dalam arti penerima penghasilan yang dikenai PPh Pasal 23 dipotong terlebih dahulu
PPh Pasal 23 oleh pemberi penghasil. Berdasarkan tarif pajaknya, obyek pajak PPh
Pasal 23 dibedakan menjadi 3 (tiga), antara lain : obyek pajak yang dikenakan tarif
15%, obyek pajak yang dikenakan tarif 2%, dalam hal wajib pajak yang menerima
atau memperoleh penghasilan seperti pada butir 1 dan butir 2 tidak memiliki NPWP,
besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% dibanding tarif sebagaimana
ditetapkan pada butir 1 dan butir 2. Pengecualian obyek PPh Pasal 23 terdiri atas
penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank, sewa yang dibayarkan atau
terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi, dividen atau bagian
laba.

2.4 PPh Pasal 21


Subyek pajak PPh Pasal 21 adalah setiap penerima penghasilan yang dipotong PPh
pasal 21 terdiri dari pegawai tetap, pegawai lepas, penerima pensiun, penerima
honorarium, penerima upah, serta orang pribadi lainnya yang menerima atau
memeperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dari
pemotong pajak (Woro, 2010).
Pegawai adalah setiap orang pribadi yang melakukan pekerjaan berdasarkan suatu
perjanjian atau kesepakatan kerja, baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang
melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pegawai dapat dibedakan menjadi 2, yaitu
pegawai tetap dan pegawai lepas. Pegawai tetap adalah orang pribadi yang bekerja
pada pemberi kerja yang menerima atau memeperoleh gaji dalam jumlah tertentu
secara berkala, termasuk di dalamnya adalah anggota dewan komisaris dan anggota
dewan pengawas yang secara teratur terus-menerus ikut mengelola kegaiatan
perusahaan secara langsung. Pegawai lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada
pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang
bersangkutan bekerja.
Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau
memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang
pribadi atau ahli warisnya yang menerima tabungan hari tua atau tunjangan hari tua.
Penerima honorarium adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan
sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya. Berbeda dengan
penerima honorarium, penerima upah adalah orang pribadi yang menerima upah
harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan. Upah harian adalah upah
yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan tertentu, dan upah
satuan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar banyaknya satuan
produk yang dihasilkan. Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21
adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur dan penghasilan yang
diterima secara tidak teratur. Penghasilan yang diperoleh secara teratur berupa gaji,
uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan
komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang
sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan teratur, beasiswa, hadiah, premi
asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama
apa pun. Penghasilan tidak teratur adalah jasa pruduksi, tantiem, gratifikasi,
tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, serta
penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan yang biasanya dibayarkan
sekali dalam setahun. Pegawai biasanya tidak hanya menerima gaji atau upah saja
dalam satu bulannya, masih ada komponen-komponen lain yang diperhitungkan
dalam pembayaran seoarang pegawai, yaitu uang lembur, tunjangan, komisi,
honorarium, dan gratifikasi. Pengenaan PPh Pasal 21 bersifat pemotongan.
Pemotongan yang dimaksud adalah ketika pegawai menerima gaji atau upah maka
gaji atau upah yang diterima tidak lagi utuh, tetapi sudah dipotong dengan PPh Pasal
21. Tarif yang digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 pegawai tetap tahun 2011
didasarkan pada Pasal 17 UU PPh. Dalam hal ini, tariff untuk orang pribadi pegawai
tetap yang ber NPWP dengan tariff pegawai tetap yang belum memiliki NPWP
diberikan perbedaaan. Bagi pegawai tetap yang belum memiliki NPWP, sesuai
dengan ketentuan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh akan dikenal tariff pemotongan PPh
lebih tinggi 20 %. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan batasan
penghasilan yang tidak dikenai PPh bagi orang pribadi. PTKP ini meruakan gambaran
biaya hidup orang pribadi selama satu tahun pajak yang dapat diperhitungkan sebagai
pengurang penghasilan.

2.5 Ekualisasi dan Rekonsiliasi


Dalam ekualisasi dan rekonsiliasi SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Masa PPN,
pemeriksaan yang dilakukan meliputi peredaran usaha dan pembelian dalam SPT
Tahunan PPh Badan dan total penyerahan dan perolehan dalam SPT Masa PPN, dan
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Peraturan yang menjadi dasar dari ekualisasi
dan rekonsiliasi ini adalah UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, dan
UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai. Peredaran usaha dan total
penyerahan yang dibandingkan adalah peredaran usaha dan total penyerahan dalam
satu tahun pajak yang dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Masa PPN.
Sebelum melaporkan pajak penghasilan badan tahunan, sebaiknya
perusahaan membandingkan peredaran usaha di SPT Masa PPN selama satu tahun
(mulai masa Januari sampai dengan masa Desember) dengan peredaran usaha di
laporan laba rugi akuntansi atau pajak. Dalam ekualisasi dan rekonsiliasi SPT
Tahunan PPh Badan dan SPT Masa PPh Pasal 23, pemeriksaan yang dilakukan
memastikan bahwa seluruh transaksi yang menjadi objek PPh telah dipotong
pajaknya. Ekualisasi dan rekonsiliasi objek PPh Pasal 23 dilakukan dengan
membandingkan objek pajak yang ada dalam bukti potong PPh Pasal 23 dengan
biaya-biaya dalam pembukuan yang akan dilaporkan di SPT Tahunan PPh Badan.
Ekualisasi dan rekonsiliasi tidak bertujuan untuk mencari angka yang sama antara
objek yang terutang dalam SPT Masa PPh Pasal 23 dan SPT Tahunan PPh Wajib
Pajak Badan. Lebih dari itu, ekualisasi dan rekonsiliasi dilakukan untuk mencari di
mana letak penyebab timbulnya perbedaan. Dalam ekualisasi dan rekonsiliasi SPT
Tahunan PPh Badan dan SPT Masa PPh Pasal 21, pemeriksaan yang dilakukan
memastikan bahwa seluruh penghasilan bruto pada laporan SPT Masa PPh Pasal
21 telah sama dengan pos biaya gaji yang ada di laporan laba rugi yang telah
dituangkan di dalam SPT Tahunan PPh Badan.

3. Metode Penelitian
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian analisis ekualisasi dan rekonsiliasi adalah SPT Masa PPN,
SPT Masa PPh Pasal 23, SPT Masa PPh Pasal 21 dengan yang dilaporkan di SPT
Tahunan PPh Badan dalam menghadapi pemeriksaan pajak.

3.2 Sumber Data


Sumber data penelitian yang dari buku-buku literatur yang erat kaitannya dengan
penelitian ini.

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah studi
kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data-data dengan cara mencari dan
mempelajari literatur berupa karya ilmiah, jurnal penelitian, artikel, dan buku-buku
yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, sehingga dapat memperdalam
pemahaman mengenai landasan serta konsep yang menjadi dasar penelitian ini serta
menambah informasi-informasi terkait ekualisasi dan rekonsiliasi pajak pada
perusahaan jasa dan perdagangan.

3.4 Teknik Analisis


Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif yaitu metode analisis data
melalui pendekatan teoritis yang berhubungan dengan masalah penelitian dan
menjelaskan aspek-aspek yang relevan dengan penelitian. Metode ini lebih
menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu dalam konteks
tertentu sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku.

4. Analisis dan Pembahasan


Sebagai narasi pembahasan penulis menggunakan PT ABC yang bergerak dalam
bidang jasa dan perdagangan umum. Ekualisasi dan rekonsiliasi dapat menjadi suatu
alat kontrol bagi manajemen untuk membantu memastikan bahwa peredaran usaha
yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa telah benar dan
telah sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

4.2. Ekualisasi dan rekonsiliasi SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Masa PPN
Dalam ekualisasi dan rekonsiliasi SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Masa PPN,
pemeriksaan yang dilakukan meliputi peredaran usaha dan harga pokok penjualan
dalam SPT Tahunan PPh Badan dengan total penyerahan dan perolehan dalam SPT
Masa PPN, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Peraturan yang menjadi dasar dari
ekualisasi dan rekonsiliasi ini adalah UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, dan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai. Peredaran
usaha dan total penyerahan yang dibandingkan adalah peredaran usaha dan total
penyerahan dalam satu tahun pajak yang dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Badan
dan SPT Masa PPN. Sebelum melaporkan pajak penghasilan badan
tahunan, sebaiknya pe rusahaan membandingkan peredaran usaha di SPT Masa
PPN selama satu tahun (mulai masa Januari sampai dengan masa Desember) dengan
peredaran usaha di laporan laba rugi akuntansi atau pajak. Pada umumnya perbedaan
yang timbul antara nilai omset menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan nilai
penyerahan menurut SPT Masa PPN bisa timbul karena dua kondisi. Pertama, karena
karakteristik transaksi dan yang kedua karena peraturan yang berlaku memang
mengakibatkan timbulnya perbedaan. Perbedaan tersebut bisa diketahui
dengan melakukan analisis equalisasi dan rekonsiliasi. Sebab-sebab
perbedaan omzet di SPT Tahunan PPh Badan dengan Penyerahan BKP di SPT
Masa PPN adalah:
1. Beda kurs valas dalam pengakuan penjualan dan pembuatan faktur pajak.
Penjualan yang menggunakan kurs valas dalam menghitung DPP PPN harus
menggunakan nilai kurs Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan
faktur pajak dengan lampiran II butir 13 PER-13/PJ/2010, sedangkan untuk
menghitung PPh Badan harus menggunakan kurs tengah Bank Indonesia (BI)
pada tanggal transaksi sesuai dengan paragraf 20 ED PSAK No. 10, yang
dimaksud dengan tanggal transaksi adalah tanggal pada saat pertama kali suatu
transaksi memenuhi kriteria pengakuan sesuai dengan standard akuntansi
keuangan.
Contoh kasus :
Pada tanggal 10 Agustus 2011, PT ABC menyewakan komputer selama 1 (satu)
bulan PT XYZ seharga US$ 20.000 (belum termasuk PPN). Faktur pajak dibuat
pada tanggal 15 September 2011, dan dilunasi pada tanggal 10
Oktober 2011. Kurs tengah BI per 10 Agustus 2011 sebesar Rp. 8.530. Kurs
Menteri Keuangan (1010/KM.1/2011) per 15 September 2011 sebesar Rp.
8.554, dan kurs pada saat pelunasan tanggal 10 Oktober 2011 sebesar Rp. 9.000.
Perbedaan semacam ini seharusnya bisa dijelaskan dengan baik oleh Wajib
Pajak melalui rekonsiliasi.
Jumlah peredaran usaha (PPh)
US$ 20.000 x Rp. 8.530 = Rp. 170.600.000.
Jumlah penyerahan (PPN)
US$ 20.000 x Rp. 8.554 = Rp. 171.080.000
Pelunasan
US$ 20.000 x Rp. 9.000 = Rp. 180.000.000
Sehingga laba kurs = Rp. 180.000.000 – Rp. 171.080.000 = Rp. 8.920.000
Atas perbedaan kurs tersebut, laba kurs dikoreksi fiskal positif dalam laporan
laba rugi fiskal sebagai penambahan pendapatan.
2. Objek PPN tidak dicatat dalam akun penjualan. Tidak semua transaksi
penyerahan BKP yang dilakukan oleh PKP, dapat dicatat sebagai akun
penjualan atau omzet, Pasalnya, tidak semua transaksi penyerahan BKP
memiliki karakteristik sebagai transaksi penjualan. Adapun yang dimaksud
dengan transaksi-transaski disini adalah seperti halnya penjualan aktiva tetap
bekas, pemaikan sendiri dan atau pemberian cuma-cuma. Hasil atau penerimaan
dari penjualan aktiva tetap sebenarnya tetap dimasukkan ke dalam SPT PPh,
akan tetapi dalam akun penghasilan lain-lain dan bukan akun peredaran usaha.
contoh kasus:
Pada tahun 2011 PT ABC melakukan penjualan aktiva tetap berupa mesin untuk
kepentingan peremajaan dengan nilai perolehan mesin sebesar Rp.
1.650.000.000 dan akumulasi penyusutan sebesar Rp. 1.127.500.000. Penjualan
mesin tersebut bernilai Rp. 660.000.000 belum termasuk PPN. Pencatatan atas
penjualan tersebut adalah :
Kas/Bank Rp. 726.000.000
Akumulasi Penyusutan Rp. 1.127.500.000
Mesin Rp. 1.650.000.000
Pendapatan lain-lain (laba penjualan mesin) Rp. 137.500.000
PPN Keluaran Rp. 66.000.000

Akibat dari transaksi tersebut, besaran omzet dalam SPT Tahunan PPh WP
Badan dan total penyerahan dalam SPT Masa PPN menjadi timbul selisih.
Pendapatan dari penjualan aktiva tetap mesin yang bersangkutan tidak masuk ke
dalam peredaran usaha penjualan, akan tetapi masuk ke dalam pendapatan lain-
lain. Sementara itu dalam SPT PPN terdapat penyerahan sebesar
Rp. 660.000.000, sehingga akan terdapat perbedaan antara peredaran usaha SPT
PPh dengan total penyerahan dalam SPT PPN sebesar Rp. 660.000.000.
Selisih tersebut dapat ditelusuri melalui rekonsiliasi PPN dengan PPh Badan.
Atas perbedaan tersebut, penjualan aktiva bekas dikoreksi fiskal positif dalam
laporan laba rugi fiskal sebagai penambahan pendapatan.
3. Pemberian diskon tunai penjualan. PKP biasanya memberikan diskon kepada
konsumen yang membayar lebih cepat dari syarat pembayaran yang telah
disepakati sebelumnnya. Dalam parktik, PKP penjual tidak bisa meramal
apakah pembeli akan memanfaatkan diskon atau tidak. Oleh karena faktur pajak
harus dibuat pada saat penyerahan BKP/JKP, maka secara otomatis PKP penjual
akan membuat faktur pajak dengan nilai penyerahan tanpa diskon. Jika pembeli
memanfaatkan diskon besarnya nilai penyerahan dalam SPT Masa PPN bisa
jadi akan lebih besar dari nilai omzet dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak
Badan.
Contoh kasus:
Pada tanggal 1 Desember 2011 PT ABC menjual barang secara kredit kepada
PT XYZ senilai Rp. 500.000.000 belum termasuk PPN, dengan syarat
pembayaran 2/10, n/30. Sesuai Pasal 13 ayat (1a) UU PPN, Faktur Pajak atas
transaksi ini harus dibuat pada saat terjadinya penyerahan BKP, yaitu pada
tanggal 1 Desember 2011. Dari syarat tersebut diketahui bahwa PT XYZ dapat
melunasi dalam periode diskon, yaitu pada tanggal 5 Desember 2011. Dengan
demikian, besaran omzet terakait dengan transaksi tersebut yang harus diakui
dalam pembukuan atau PPh Badan adalah :
PT XYZ
Harga Barang Rp. 500.000.000
Diskon Pembayaran (2% x Rp. 500.000.000) (Rp. 10.000.000)
Harga Neto Rp. 490.000.000
PPN Rp. 50.000.000
Yang Harus Dibayar Rp. 540.000.000
PT ABC
Penjualan Rp. 500.000.000
Diskon Pembayaran (2% x Rp. 500.000.000) (Rp. 10.000.000)
Peredaran Usaha (PPh Badan) Rp. 490.000.000
Penyerahan (SPT Masa PPN) Rp. 500.000.000
Selisih Rp. 10.000.000
Terdapat selisih peredaran usaha dalam SPT Tahunan PPh Badan dengan
penyerahan dalam SPT Masa PPN sebesar Rp. 10.000.000. Perbedaan tersebut
dapat dijelaskan kepada fiskus oleh PT ABC sehubungan dengan pemberian
diskon tunai penjualan.
4. Adanya penghasilan yang dikenakan PPh final tetapi dipungut PPN dan
dilaporkan di SPT Masa PPN.
Contoh kasus :
PT ABC menyewakan bangunan kepada PT XYZ sebesar Rp. 100.000.000
selama 1 (satu) tahun. Pendapatan sewa bangunan merupakan objek PPh Final
sehingga tidak diperhitungkan dalam SPT PPh Badan, sedangkan
penyerahannya adalah objek PPN. Oleh sebab itu, pendapatan sewa bangunan
dikoreksi negatif karena merupakan penghasilan yang didapat dari penghasilan
yang sudah dikenakan PPh final.
5. Perbedaan pengakuan pembelian dalam SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Masa
PPN. Menurut SPT Tahunan PPh Badan, pembelian diakui menggunakan
metode accrual basis, sedangkan dalam SPT Masa PPN, pajak masukan baru
dapat dikreditkan apabila faktur pajak pembelian telah diterima oleh pembeli.
Contoh kasus:
PT ABC membeli barang dagangan dari PT XYZ pada bulan Desember 2011,
sedangkan PT XYZ akan menyerahkan faktur pajak kepada PT ABC pada bulan
Januari 2012. Dalam SPT Tahunan PPh Badan pembelian diakui pada tahun
2011, tidak berdasarkan kapan faktur pajak diperoleh tetapi dalam SPT Masa
PPN pajak masukan baru dapat dikreditkan pada bulan faktur pajak itu diterima,
yaitu pada bulan Januari 2012. Akibat dari transaksi tersebut faktur pajak
masukan dari PT XYZ tidak dapat dikreditkan pada bulan Desember 2011.
Dalam ekualisasi dan rekonsiliasi SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Masa PPh Pasal
21, pemeriksaan yang dilakukan memastikan bahwa seluruh penghasilan
bruto pada laporan SPT Masa PPh Pasal 21 telah sama dengan pos biaya gaji yang
ada di laporan laba rugi yang telah dituangkan di dalam SPT Tahunan PPh Badan.

Kesalahan tulis atau hitung (human error) atas Penghasilan yang tidak dipotong PPh
Pasal 21 (bukan objek PPh Pasal 21).
Contoh kasus :
Biaya gaji pada laporan laba rugi PT ABC sebesar Rp. 729.575.926, sedangkan pada
SPT Masa PPh Pasal 21 sebesar Rp. 650.161.586.
Selisih dari Rp. 729.575.926 - Rp. 650.161.586 = Rp. 79.414.340
Setelah dilakukan ekualisasi perbedaan tersebut disebabkan oleh penghitungan biaya
gaji pada laporan laba rugi adalah adanya penghasilan yang bukan objek pemotongan
PPh Pasal 21 yaitu berupa iuran pensiun.
Prosedur pengecekan yang dilakukan fiskus terhadap jumlah biaya gaji dan tunjangan
serta biaya lainnya yang dibayarkan kepada pihak perorangan lainnya yang berkaitan
dengan hubungan kerja, yang tercantum dalam SPT PPh Badan, dengan jumlah DPP
yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 21. DPP ini terdiri dari gaji dan tunjangan yang
dibayarkan kepada pihak perorangan lainnya yang menjadi objek PPh Pasal 21.
Perbedaan Rp. 79.414.340 dikoreksi fiskal positif karena iuran pensiun tersebut
dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan dan merupakan biaya yang didapat dari penghasilan yang bukan
merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf g.

Dalam ekualisasi dan rekonsiliasi SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Masa PPh Pasal
23, pemeriksaan yang dilakukan memastikan bahwa seluruh transaksi yang menjadi
objek PPh telah dipotong pajaknya. Ekualisasi dan rekonsiliasi objek PPh Pasal 23
dilakukan dengan membandingkan objek pajak yang ada dalam bukti potong PPh
Pasal 23 dengan biaya-biaya dalam pembukuan yang akan dilaporkan di SPT
Tahunan PPh Badan. Ekualisasi dan rekonsiliasi tidak bertujuan untuk mencari angka
yang sama antara objek yang terutang dalam SPT Masa PPh Pasal 23 dan SPT
Tahunan PPh Wajib Pajak Badan. Lebih dari itu, ekualisasi dan rekonsiliasi dilakukan
untuk mencari di mana letak penyebab timbulnya perbedaan (ITR:Volume IV/Edisi
05/2011). Penyebab perbedaan antara SPT Masa PPh Pasal 23 dan SPT Tahunan PPh
Wajib Pajak Badan karena kesalahan pencatatannya (human error), yaitu :
Contoh kasus :
PT ABC menyewakan mesin selama 1 (satu) bulan kepada PT XYZ sebesar
Rp. 150.000.000,- (belum termasuk PPN). Pencatatan PT ABC atas pendapatan jasa
tersebut adalah :
Jurnal atas transaksi pendapatan PT ABC tersebut adalah :
Piutang/kas Rp. 162.000.000
Pendapatan Rp. 147.000.000
PPN Keluaran Rp. 15.000.000

Pencatatan PT ABC adalah :


Pendapatan Jasa = DPP – PPh Pasal 23
Karena kesalahan pencatatan tersebut peredaran usaha yang dilaporkan pada SPT
Masa PPN dan tidak dicatatnya uang muka PPh Pasal 23 sebagai kredit pajak
mengakibatkan selisih sebesar Rp. 3.000.000. Pencatatan yang seharusnya atas
pendapatan tersebut adalah:
Pendapatan Jasa + PPh Pasal 23 = DPP (SPT Masa PPN)

Jurnal koreksi atas pendapatan jasa yang dicatat terlalu kecil tersebut adalah :
UM PPh Pasal 23 Rp. 3.000.000
Pendapatan Jasa Sewa Mesin Rp. 3.000.000

Selisih sebesar Rp. 3.000.000 dapat ditelusuri dengan membandingkan pendapatan


jasa menurut laporan keuangan yang diperoleh dari buku pendapatan dan kontrak-
kontrak kerja dengan bukti potong PPh Pasal 23. Atas perbedaan tersebut, pendapatan
jasa sewa mesin dikoreksi fiskal positif dalam laporan laba rugi fiskal sebagai
penambahan pendapatan.

Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang PKP. Adanya beban-beban yang
berdasarkan keputusan manajemen dan standar akuntansi keuangan dapat
diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan, namun secara fiskal tidak dapat
diperhitungkan atau hanya dapat diperhitungkan dengan syarat-syarat tertentu.
Contoh kasus :
1. Penyusutan menurut WP lebih tinggi dalam menghitung penyusutan atas aktiva
yang dimilikinya dapat menggunakan berbagai macam metode. Demikian pula
dalam menentukan masa manfaat aktivanya sesuai dengan perkiraan WP
sendiri. Kondisi inilah yang menyebabkan adanya perbedaan perhitungan
penyusutan dibandingkan dengan hasil penyusutan yang diakui secara akuntansi
pajak. Apabila besarnya penyusutan yang dihitung oleh WP lebih besar dari
besarnya penyusutan menurut fiskus, maka akan terjadi koreksi fiskal positif.
Metode penyusutan yang digunakan adalah metode garis lurus (straight line
method). Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
memudahkan Wajib Pajak dan memberikan keseragaman dalam pengelompokan
harta tetap berwujud, keluarlah KMK No. 82/KMK.04/1995 tanggal 7 Februari
1995 yang mengatur tentang pengelompokkan jenis-jenis Harta Berwujud yang
telah diperbarui dengan KMK No. 520/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember
2000 diubah dengan KMK No. 138/KMK.03/2002 tanggal 8 April 2002 yang
berlaku sejak tanggal ditetapkan. Berikut ini adalah perhitungan penyusutan
aktiva tetap menurut laporan keuangan komersil dan fiskal tahun 2011 :
 Penyusutan Bangunan
Penyusutan bangunan permanen termasuk kelompok harta berwujud
golongan II yaitu bangunan permanent dengan masa manfaat 20 tahun dan
tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus (straight line method)
sebesar 5%.
Penyusutan bangunan menurut laporan keuangan komersil tahun 2011 =
7% x Rp. 766.429.000 = Rp. 51.095.267
Penyusutan bangunan menurut laporan keuangan fiskal tahun pajak 2011 =
5% x Rp. 766.429.000 = Rp. 38.321.450
Selisih dari perhitungan penyusutan bangunan komersil dan fiskal adalah:
Rp. 51.095.267 - Rp. 38.321.450 = Rp. 12.773.817
 Penyusutan Mesin
Penyusutan mesin termasuk kelompok harta berwujud golongan I kelompok
2 (dua) yaitu mesin dengan masa manfaat 8 (delapan) tahun dan tarif
penyusutan berdasarkan metode garis lurus (straight line method) sebesar
12.5%.
Penyusutan mesin menurut laporan keuangan komersil tahun 2011 =
20% x Rp. 47.532.600.143 = Rp. 9.506.520.029
Penyusutan mesin menurut laporan keuangan fiskal tahun pajak 2011 =
12,5% x Rp. 47.532.600.143 = Rp. 5.941.575.018
Selisih dari perhitungan penyusutan mesin komersil dan fiskal adalah:
Rp. 9.506.520.029 - Rp. 5.941.575.018 = Rp. 3.564.945.011

 Penyusutan Kendaraan Kantor dan Kendaraan Yang Disewakan


Penyusutan kendaraan termasuk kelompok harta berwujud golongan I
kelompok 1 (satu) yaitu mesin dengan masa manfaat 4 (empat) tahun dan
tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus (straight line method)
sebesar 25%.
Penyusutan kendaraan menurut laporan keuangan komersil tahun 2011 =
Kendaraan kantor: 20% x Rp. 228.000.000 = Rp. 45.600.000
Kendaraan yang disewakan : 20% x Rp. 35.267.397.981
= Rp. 7.053.479.596
Kendaraan yang disewakan : 25% x Rp. 13.219.968.932
= Rp. 1.880.481.142
TOTAL = Rp. 9.156.755.612
Penyusutan kendaraan menurut laporan keuangan fiskal tahun pajak 2011 =
Kendaraan kantor: 25% x Rp. 228.000.000 = Rp. 57.000.000
Kendaraan yang disewakan: 25% x Rp. 48.487.366.913
= Rp. 10.263.095.690
TOTAL = Rp. 10.320.095.690
Selisih dari perhitungan penyusutan kendaraan komersil dan fiskal adalah :
Rp. 9.156.755.612 - Rp. 10.320.095.690 = (Rp. 1.163.340.078)

 Penyusutan Inventaris Komputer dan Inventaris Kecil


Penyusutan inventaris termasuk kelompok harta berwujud golongan I
kelompok 1 (satu) yaitu mesin dengan masa manfaat 4 (empat) tahun dan
tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus (straight line method)
sebesar 25%.
Penyusutan inventaris menurut laporan keuangan komersil tahun 2011 =
Inventaris komputer: 33% x Rp. 8.000.948.272 = Rp. 2.174.057.724
Inventaris komputer: 17% x Rp. 830.047.861 = Rp. 138.341.310
Inventaris kecil: 34% x Rp. 8.750.000 = Rp. 0
Inventaris kecil: 25% x Rp. 32.024.600 = Rp. 8.006.150
Inventaris kecil: 100% x Rp. 7.150.000 = Rp. 600.000
TOTAL = Rp. 2.321.005.185

Penyusutan inventaris menurut laporan keuangan fiskal tahun pajak 2011 =


Inventaris komputer: 25% x Rp. 8.830.996.133 = Rp. 1.911.909.272
Inventaris kecil: 25% x Rp. 47.924.600 = Rp. 9.197.817
TOTAL = Rp. 1.921.107.089
Selisih dari perhitungan penyusutan inventaris komersil dan fiskal adalah :
Rp. 2.321.005.185 - Rp. 1.921.107.089 = Rp. 399.898.096
Jadi penyusutan fiskal tahun pajak 2011 dari perhitungan di atas adalah :

Aktiva Tetap Komersil Fiskal Selisih


Bangunan Rp. 51.095.267 Rp. 38.321.450 Rp. 12.773.817
Alat Berat Rp. 9.506.520.029 Rp. 5.941.575.018 Rp. 3.564.945.011
Kendaraan Rp. 9.156.755.612 Rp. 10.320.095.690 (Rp. 1.163.340.078)
Inventaris Rp. 2.321.005.185 Rp. 1.921.107.089 Rp. 399.898.096
Jumlah 2.814.276.845

Sumbangan adalah berbagai bentuk sumbangan yang dikeluarkan oleh perusahaan


yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto untuk bisa mendapatkan
PKP adalah sumbangan yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 93 Tahun 2010 Pasal 1 dan Psal 2.
Contoh kasus :
Pada biaya rumah tangga kantor terdapat biaya sumbangan kepada karyawan sebesar
Rp. 30.000.000, maka atas transaksi tersebut perlu adanya koreksi fiskal positif.

Biaya lain-lain sebesar Rp. 15.500.000 terdapat biaya entertainment atau jamuan dan
sejenisnya yang tidak didukung dengan bukti-bukti, maka perlu adanya koreksi fiskal
positif.

Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi. Pendapatan jasa giro sebesar Rp. 101.448.902 dikoreksi fiskal
negatif karena pendapatan jasa giro tersebut sudah dikenakan pajak final (Pasal 4 (2)
a).

5. Kesimpulan
Berdasarkan analisa dari bab-bab sebelumnya, ekualisasi dan rekonsiliasi antara SPT
Masa dengan SPT Tahunan PPh Badan dalam menghadai pemeriksaan pajak Wajib
Pajak harus melengkapi pembukuan dengan berbagai dokumen, catatan, dan bukti-
bukti terkait dan peraturan perpajakan yang berlaku, maka kesimpulan yang dapat
diambil adalah:
1. Untuk objek PPN yang tidak dicatat dalam akun penjualan harus mengacu pada
UU PPN No. 42 Tahun 2009 Pasal 16D bahwa PPN atas penjualan aktiva bukan
merupakan akun peredaran usaha dan dalam SPT Tahunan PPh Badan
dikategorikan akun penghasilan lain-lain.
2. Penghasilan yang dikenakan PPh final tetapi dipungut PPN dan dilaporkan di
SPT Masa PPN merupakan objek PPh bersifat final sesuai dengan UU No. 36
Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2) huruf d bukan merupakan peredaran usaha dalam
SPT Tahunan PPh Badan.
3. Biaya gaji yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek PPh
Pasal 21 sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf g dapat ditelusuri dengan SPT
Masa PPh Pasal 21 yang sudah dilaporkan dengan pos biaya gaji pada laporan
laba rugi perusahaan.
4. Objek PPh Pasal 23 dilakukan dengan membandingkan objek pajak yang ada
dalam bukti potong PPh Pasal 23 dengan biaya-biaya dalam pembukuan yang
akan dilaporkan di SPT Tahunan PPh Badan.
5. Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang PKP mengacu pada UU No.
36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1).
6. Sumbangan dan bantuan tidak boleh dikurangkan karena bagi penerimanya
pada umumnya bukan objek pajak sesuai dengan PP No. 93 Tahun 2010 Pasal 1
dan Pasal 2.

Lampiran
PT ABC
LAPORAN KEUANGAN FISKAL
31 Desember 2011
Dalam Rupiah (Rp)
L/R Koreksi L/R
Nama Rekening
Komersil Positif Negatif Fiskal
PENJUALAN
Penjualan Barang 2,483,675,550 2,483,675,550

PENDAPATAN
Jasa Sewa Komputer 12,477,641,298 8,920,000 12,486,561,298
Jasa Sewa Mesin 24,776,690,218 3,000,000 24,779,690,218
Jasa Sewa Kendaraan 18,553,002,898 18,553,002,898
JUMLAH PENJUALAN DAN PENDAPATAN 58,291,009,965 58,302,929,965
HARGA POKOK PENJUALAN
HPP Barang 1,862,756,663
HPP Sewa Komputer 4,387,599,986 4,387,599,986
HPP Sewa Mesin 10,040,102,619 10,040,102,619
HPP Sewa Kendaraan 15,300,717,643 15,300,717,643
JUMLAH HARGA POKOK PENJUALAN 31,591,176,910 29,728,420,248

BEBAN USAHA
Beban Gaji 729,575,926 79,414,340 650,161,586
Beban Penyusutan 21,035,376,092 2,814,276,845 18,221,099,246
Beban Listrik dan Telepon 272,084,726 272,084,726
Beban ATK 75,658,674 75,658,674
Beban Rumah Tangga Kantor 141,557,053 30,000,000 111,557,053
Beban Perjalanan Dinas 64,957,260 64,957,260
Beban Administrasi Bank 57,060,059 57,060,059
Beban Lain-Lain 32,650,101 15,500,000 17,150,101
JUMLAH BEBAN ADMINISTRASI DAN UMUM 22,408,919,890 19,469,728,705

PENDAPATAN DILUAR USAHA


Pendapatan Sewa Bangunan 100,000,000 100,000,000 0
Penjualan Aktiva Tetap Bekas 0 660,000,000 660,000,000
Jasa Giro 101,448,902 101,448,902 0
JUMLAH PENDAPATAN DILUAR USAHA 201,448,902 660,000,000

TOTAL 4,492,362,066 9,764,781,012


PPh Terhutang Rp. 9.764.781.012 x 25% = 2,441,195,253
PPh Pasal 23 (1,071,112,811)
PPh Pasal 25 (859,824,240)
PPh Kurang Bayar 510,258,202

DAFTAR PUSTAKA

Fidel. 2008. Pajak Penghasilan (Pembahasan UU No. 36/2008 Tentang Pajak


Penghasilan Dengan Komentar Pasal Per Pasal). Cetakan I, Jakarta :
CAROFIN Publishing.

Manihuruk, Wiston. 2010. Pajak Pertambahan Nilai Pokok Pokok Perubahan Sesuai
UU No. 42 Tahun 2009. Jakarta : Kharisma.

Pardiat. 2007. Pemeriksaan Pajak. Edisi : 2, Jakarta : Mitra Wacana Media.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010 Pasal 1 dan Pasal 2.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.


Republik Indonesia, Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan
Nilai.

Resmi, Siti. 2011. Perpajakan Teori dan Kasus. Buku 1 Edisi 6, Yogyakarta :
Salemba Empat.

Resmi, Siti. 2011. Perpajakan Teori dan Kasus. Buku 2 Edisi 6, Yogyakarta :
Salemba Empat.

Roswan, Anton. 2008. Skripsi Rekonsiliasi Omzet PPN dan PPh Badan Pada
PT “X”. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra Surabaya.

Setiawan, Agus. 2008. Teknisi Penghitungan dan Pengisian SPT Pajak Badan Usaha.
Jakarta : T & A Publishing House.

Setiawan, Agus. 2008. Cara Mudah Menghitung PPh Badan dengan Undang-
Undang Pajak. Yogyakarta : ANDI.

Sukardji, Untung. 2010. Pajak Pertambahan Nilai Pemahaman Melalui Studi Kasus.
Jakarta : PT Multi Utama Consultindo.

Supramono. Damayanti, Woro Theresia. 2010. Perpajakan Indonesia Mekanisme dan


Perhitungan. Buku I, Yogyakarta : ANDI

Waluyo. 2010. Perpajakan Indonesia. Buku 1 Edisi 9, Jakarta : Salemba Empat.

___________. 2007. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung.


Bandar Lampung.

____________. 2011. Indonesian Tax Review (Tax Focus: PemeriksaanPPN dengan


Ekualisasi dan Ekualisasi PPh Pasal 23).Volume IV/Edisi 05/2011, Jakarta :
FORMASI Lembaga Manajemen.

____________. 2011. Indonesian Tax Review (Tax Focus: Mengintip Metode


Pemeriksaan Pajak Sebelum Diperiksa, Pelajari Dulu Strateginya).Volume
IV/Edisi 09/2011, Jakarta : FORMASI Lembaga Manajemen.

____________. 2011. Indonesian Tax Review (Tax Focus: Mengintip Metode


Pemeriksaan Pajak Sebelum Diperiksa, Pelajari Dulu Strateginya). Volume IV/Edisi
09/2011, Jakarta : FORMASI Lembaga Manajemen.

Anda mungkin juga menyukai