Anda di halaman 1dari 10

Pengertian Penduduk dan Kemiskinan

A. Penduduk

1. Menurut Sutarja Abdulgani (didalam buku geografi dan kependudukan, 1982),


berpendapat bahwa penduduk adalah manusia, baik perorangan maupun kelompok
yang tinggal di sutau daerah tertentu atau wilayah tertentu.

2. Menurut sanchez (di dalam bukunya Pendidikan kependudukan, 2000 , Hal 17-19)
berpendapat penduduk adalah indvidu-individu yang membentuk suatu keompok
tertentu seperti jumlah orang yang mendiami suatu negara, bangsa, negeri bagian
ataupun masyarakat

3. Menurut Widiyawati (di dalam bukunya Ledakan penduduk menjelang tahun 2010,
1987, Hal. 1-2) menyatakan bahwa penduduk adalah sekelompok masyarakat yang
tinggal di daerah tertentu dan saling berinteraksi satu sama lainnya untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka.

B. Kemiskinan

1. Menurut Peter Daniels, dkk (di dalam buku An Introduction To Human Geography
hal. 220) Kemiskinan bisa didefinisikan sebagai kondisi dimana individu atau rumah
tangga tidak mampu membayar apa yang mungkin dirasakan menjadi kebutuhan
hidup normal.

2. Menurut Effendi di dalam Cica Sartika, dkk (dikutip dalam Jurnal Ekonomi (JE) Vol
.1(1)), Secara ekonomi kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan sumber daya
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejateraan sekelompok orang.

3. Seebohm Rowntree (di dalam jurnal Agro Ekonomi Vol. 26/No. 2, Desember 2015),
yang menyatakan kemiskinan adalah suatu keluarga termasuk miskin jika keseluruhan
pendapatannya tidak bisa untuk memenuhi kebutuhan minimum untuk kebutuhan
fisik/tubuhnya (yaitu konsumsi pangan).

4. Menurut PBB (di dalam jurnal SKPD kota Semarang, 2011), kemiskinan adalah
bahwa kemiskinan merupakan kondisi di mana seseorang tidak dapat menikmati
segala macam pilihan dan kesempatan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, seperti
tidak dapat memenuhi kesehatan, standar hidup, kebebasan, harga diri dan rasa
dihormati seperti orang lain.

5. Menurut BPS (di dalam buku Perkembangan Kesejahteraan Rakyat, 2016, hal 142),
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita
perbulan di bawah garis kemiskinan
Kriteria Kemiskinan

Menurut BPS (di dalam buku Perhitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia, 2016,
Hal 5-10), klasifikasi dan jenis-jenis kemiskinan dalam masyarakat :
a. Kemiskinan absolut, berkaitan dengan standar hidup minimum suatu masyarakat yang
diwujudkan dalam bentuk garis kemiskinan. Sehingga kemiskinan absolut ini bisa diartikan
dengan melihat seberapa jauh perbedaan antara tingkat pendapatan seseorang dengan tingkat
pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemiskinan secara
absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok
minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan
untuk bisa hidup dan bekerja.
b. Kemiskinan relatif, merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan
yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan
ketimpangan pada distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi
hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk
“termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang
telah diurutkan menurut pendapatan/ pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif
miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi
pendapatan/ pengeluaran penduduk.
c. Kemiskinan struktural yaitu kondisi di mana sekelompok orang berada di dalam wilayah
kemiskinan, dan tidak ada peluang bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan. Salah satu
contoh adalah kemiskinan karena lokasi tempat tinggal yang terisolasi, misalnya, orang
Mentawai di Kepulauan Mentawai, orang Melayu di Pulau Christmas, suku Tengger di
pegunungan Tengger Jawa Timur, dan sebagainya.
d. Kemiskinan kultural yaitu budaya yang membuat orang miskin, yang dalam antropologi
kemiskinan sebagai adanya budaya miskin. Kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-
faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat
dengan indikator kemiskinan. Contoh dari kemiskinan kultural terjadi pada suku-suku
terasing, seperti halnya suku Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman
Kalimantan, dan suku Kubu di Jambi.

Kriteria kemiskinan menurut BPS (di dalam buku Perhitungan dan Analisis Kemiskinan
Makro Indonesia, 2016, Hal 11-16), yaitu :
1. Pendekatan Kebutuhan Dasar
Menurut United Nations (1961), sebagaimana dikutip oleh Hendra Esmara (1986:289),
komponen kebutuhan dasar terdiri atas: kesehatan, bahan makanan dan gizi, pendidikan,
kesempatan kerja dan kondisi pekerjaan, perumahan, sandang, rekreasi, jaminan sosial, dan
kebebasan manusia.

2. Pendekatan Non-moneter
Menurut BPS ada 8 variabel yang dianggap layak dan operasional untuk penentuan rumah
tangga miskin di lapangan yaitu luas lantai perkapita, jenis lantai, Air minum/ketersediaan air
bersih, jenis wc, kepemilikian aset, pendapatan, pengeluaran, dan konsumsi lauk pauk.
Dengan demikian apabila suatu rumah tangga mempunyai minimal 5 (lima) ciri miskin maka
rumah tangga tersebut digolongkan sebagai rumah tangga miskin

3. Pendekatan Keluarga Sejahtera (BKKBN)


Menurut BKKBN kriteria keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin adalah
Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS) dan Keluarga Sejahtera I (KSI). Ada lima indikator yang
harus dipenuhi agar suatu keluarga dikategorikan sebagai Keluarga Sejahtera I, yaitu:
a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masing-masing.
b) Seluruh anggota keluarga pada umumnya makan 2 kali sehari atau lebih.
c) Seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda di rumah, sekolah,
bekerja dan bepergian.
d) Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah.
e) Bila anak sakit atau PUS (Pasangan Usia Subur) ingin mengikuti KB pergi ke
sarana/petugas kesehatan serta diberi cara KB modern.

4. Pendekatan US$ (Bank Dunia)


Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan internasional sebesar 1,25 dollar AS per kapita per
hari. Artinya, penduduk yang dianggap miskin di semua negara di dunia ini adalah penduduk
yang memiliki pengeluaran kurang dari PPP US$ 1,25 per hari.

Menurut Sumitro Djojohadikusumo (di dalam jurnal SKPD kota Semarang, 2011) pola
kemiskinan ada empat yaitu,
a. Pola pertama adalah persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun
temurun.
b. Pola kedua adalah cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus
ekonomi secara keseluruhan.
c. Pola ketiga adalah seasonal poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti dijumpai pada
kasus nelayan dan petanitanaman pangan.
d. Pola keempat adalah accidental poverty, yaitu kemiskinan terjadi karena bencana
alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya
tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.

Menurut badan Pusat Statistik (di dalam jurnal SKPD kota Semarang, 2011), penetapan
penghitungan garis kemiskinan dalam masyarakat adalah masyarakat yang berpenghasilan di
bawah Rp 7.057 per orang per hari. Penetapan angka Rp 7.057 per orang per hari tersebut
berasal dari perhitungan garis kemiskinan yang mencakup kebutuhan makanan dan non
makanan. Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kilokalori per
kapita per hari. Sedang untuk pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi
pengeluaran untuk perumahan, pendidikan dankesehatan. Sedangkan ukuran menurut World
Bank menetapkan standar kemiskinan berdasarkan pendapatan per kapita. Penduduk yang
pendapatan per kapitanya kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan per kapita nasional.
Dalam konteks tersebut, maka ukuran kemiskinan menurut World Bank adalah USD $2 per
orang per hari.

Menurut Rina Fitrianita Rizki dan Susiswo (di dalam Jurnal Analisis Faktor-Faktor Penyebab
Kemiskinan Di Provinsi Jawa Timur Dengan Metode Eksploratori Komponen Utama, 2013)
menyatakan dengan interpretasi bahwa semakin tinggi tingkat buta huruf dan pengangguran,
maka semakin tinggi pula tingkat masyarakat dengan ekonomi rendah. Sebaliknya, jika
semakin rendah tingkat buta huruf dan pengangguran, maka semakin rendah pula tingkat
masyarakat dengan ekonomi rendah. Sedangkan semakin tinggi tingkat pendidikan dan
semakin layak jenis atap, jenis dinding, jenis lantai dan luas rumah, maka semakin rendah
tingkat masyarakat dengan ekonomi rendah. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah tingkat
pendidikan dan semakin tidak layak jenis atap, jenis dinding, jenis lantai dan luas rumah,
maka semakin tinggi tingkat masyarakat dengan ekonomi rendah.
Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
Faktor-faktor penyebab kemiskinan menurut Kuncoro (1997) di dalam Cica Sartika, dkk
(dikutip dalam Jurnal Ekonomi (JE) Vol .1(1)) antara lain :
a. Secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber
daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya
memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah.
b. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia yang rendah
berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas
sumber daya manusia karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya
diskriminasi atau karena keturunan.
c. Miskin muncul karena akibat perbedaan akses dalam modal.

Menurut Noor Zuhdiyaty ( didalam jurnal Jibeka Volume 11 Nomor 2 Februari 2017: 27–31)
Pertumbuhan ekonomi, TPT, dan IPM memiliki hubungan yang negatif terhadap kemiskinan.
Diantara ketiga variabel tersebut hanya variabel Ipm yang berpengaruh terhadap kemiskinan.
Sementara pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap kemiskinan, hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan yang ada kurang berkualitas sehingga tidak
mempengaruhi kemiskinan. Begitu juga dengan pengangguran bahwa tingkat TPT juga tidak
berpengaruh terhadap kemiskinan, hal ini menandakan bahwa mereka yang menganggur
belum tentu memiliki pendapatan yang rendah.

Menurut Nurkse (di dalam jurnal SKPD kota Semarang, 2011), penyebab kemiskinan
bermuara pada teori lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty). Yang dimaksud
lingkaran kemiskinan adalah satu rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi suatu
keadaan di mana suatu negara akan tetap miskin dan akan banyak mengalami kesukaran
untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih baik. Adanya keterbelakangan,
ketertinggalan SDM (yang tercermin oleh rendahnya IPM), ketidaksempurnaan pasar dan
kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitas
mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima (yang tercermin oleh rendahnya
PDRB per kapita). Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan
investasi. Rendahnya investasi berakibat pada rendahnya akumulasi modal sehingga proses
penciptaan lapangan kerja rendah (tercermin oleh tingginya jumlah pengangguran).
Rendahnya akumulasi modal disebabkan oleh keterbelakangan dan seterusnya.

Menurut Paul Spicker (2002, Poverty And The Welfare State: Dispelling The Myths, A
Catalyst Working Paper, London: Catalyst) penyebab kemiskinan dapat dibagi dalam empat
kategori:
1. Individual explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh karakteristik orang miskin itu
sendiri: malas, pilihn yang salah, gagal dalam bekerja, cacat bawaan, belum siap memiliki
anak dan sebgainya.
2. Familial explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor keturunan, di mana antar
generasi terjadi ketidakberuntungan yang berulang, terutama akibat pendidikan.
3. Subcultural explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh karakteristik perilaku suatu
lingkungan yang berakibat pada moral dari masyarakat.
4. Structural explanation, menganggap kemiskinan sebagai produk dari masyarakat yang
menciptakan ketidakseimbangan dengan pembedaan status atau hak.

Sharp (1996) dalam Mudrajad Kuncoro (1997) mengidentifikasikan penyebab kemiskinan


dipandang dari sisi ekonomi:
1. Secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan
sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.
2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas
sumberdaya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya
upahnya rendah.
3. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

Kemiskinan di Dunia

Menurut Survey Bank Dunia (didalam News and Research, 2016), Afrika Tengah menjadi
negara dengan tingkat kemiskinan tertinggi di dunia pada 2013. Lebih dari 80 persen populasi
di negara ini bertahan hidup dengan tingkat pengeluaran US$ 1,9 per hari. Negara lain
dengan rasio kemiskinan tertinggi adalah Madagaskar sebesar 78,02 persen dan Republik
Demokratik Kongo 75,89 persen.

Statistik Bank Dunia mencatat paling tidak ada sepuluh negara dengan tingkat kemiskinan
tertinggi. Populasi kemiskinan paling ekstrem terdapat di kawasan Afrika Sub-Sahara.
Wilayah ini menyumbang hampir 50 persen penduduk miskin. Sedangkan sepertiga
kemiskinan paling tinggi dapat ditemui di Asia Selatan.

Gambar 1. Grafik Kemiskinan di 10 Negara Termiskin di Dunia Menurut Bank Dunia

Sumber : Bank Dunia, 2016

Sedangkan International Monetary Fund (di dalam majalah Global Finance, 2016), merilis
peringkat kemiskinan yang ada di negara-negara dunia sesuai dengan produk domestik bruto
(PDB) berdasarkan paritas daya beli per kapita (PPP). Berikut 25 daftar tersebut hanya ada
lima negara yang tidak berasal dari benua Afrika.

Tabel 1. Daftar Negara Termiskin di Dunia Menurut International Monetary Fund


No Negara PDB per kapita
1. Republik Afrika Tengah US$ 639 (Rp 8,40 juta)
2. Republik Demokratik Kongo US$ 753 (Rp 9,90 juta)
3. Malawi US$ 819 (Rp 10,77 juta)
4. Liberia US$ 934 (Rp 12,28 juta)
5. Burundi US$ 951 (Rp 12,51 juta)
6. Niger US$ 1.069 (Rp 14,06 juta)
7. Mozambik US$ 1.208 (Rp 15,89 juta)
8. Eritrea US$ 1.210 (Rp 15,92 juta)
9. Guinea US$ 1.388 (Rp 18,26 juta)
10. Madagaskar US$ 1.477 (Rp 19,43 juta)
11. Guinea-Bissau US$ 1.491 (Rp 19,61 juta)
12. Togo US$ 1.525 (Rp 20,06 juta)
13. Mali US$ 1.614 (Rp 21,23 juta)
14. Kiribati US$ 1.640 (Rp 21,57 juta)
15. Ethiopia US$ 1.656 (Rp 21,78 juta)
16. Komoro US$ 1.735 (Rp 22,82 juta)
17. Rwanda US$ 1.782 (Rp 23,44 juta)
18. Burkina Faso US$ 1.824 (Rp 24 juta)
19. Uganda US$ 1,836 (Rp 24,15 juta)
20. Haiti US$ 1.846 (Rp 24,28 juta)
21. Gambia US$ 1.849 (Rp 24,32 juta)
22. Kepulauan Solomon US$ 1.877 (Rp 24,69 juta)
23. Benin US$ 1.957 (Rp 25,75 juta)
24. Afghanistan US$ 2.051 (Rp 26,98 juta)
25. Tanzania US$ 2.054 (Rp 27,02 juta)

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (di dalam buku An Introduction To Human Geography


hal. 220), lebih dari satu miliar dari populasi dunia tinggal di perkotaan “kumuh” lingkungan
tanpa akses terhadap air bersih. Sembilan puluh lima persen dari jumlah ini terkonsentrasi
lingkungan kumuh ditemukan di “Ketiga Dunia”, dan dengan demikian menjadi sesuatu yang
klise geografis untuk menyandingkan orang-orang yang makmur pusat kota “kebarat”
sekarang khas dari banyak kota kota yang berkembang pesat di dunia dengan 'kawasan
kumuh' tempat tinggal yang sering hanya sepelemparan batu.

Kemiskinan di Indonesia

Menurut Sutarja Abdulgani (didalam buku geografi dan kependudukan, 1982 hal. 117),
membuat gambaran Penduduk Indonesia, yaitu :
1. Memiliki jumlah penduduk yang besar
2. Penduduk bertambah dengan cepat, sekitar 2,5%
3. Penyebaran yang tidak merata
4. Angka ketergantungan yang besar, mencapai 0,873
5. Penduduk Indonesia cenderung tinggal di kota-kota besar (urbanisasi)
Menurut BPS (2016) Dalam lima tahun terakhir, persentase penduduk miskin di Indonesia
secara perlahan mengalami penurunan. Pada Maret 2016, persentase penduduk miskin
menurun 0,36 persen dibandingkan Maret 2015. Dari segi jumlah, penduduk miskin di
Indonesia sempat mengalami kenaikan pada tahun 2014 dan 2015, meskipun secara
persentase mengalami penurunan. Tahun 2016, persentase kemiskinan berhasil ditekan dan
selaras dengan jumlah penduduk miskin yang berkurang 0,58 juta jiwa dibandingkan tahun
2015.

Tabel 2. Perkembangan Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Tempat Tinggal, 2012-2016


Tahun Jumlah Penduduk Miskin (juta) Persentase Penduduk Miskin (%)
Perkotaan Perdesaan Perkotaan/Perdesaan Perkotaan Perdesaan Perkotaan/Perdesaan
2012 10,65 18,48 29,13 8,78 15,12 11,96
2013 10,33 17,74 28,07 8,39 14,32 11,37
2014 10,51 17,77 28,28 8,34 14,17 11,25
2015 10,65 17,94 28,59 8,29 14,21 11,22
2016 10,34 17,67 28,01 7,79 14,11 10,86
Sumber : BPS 2016

Tabel 3. Perkembangan Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Pulau, 2014-2016


Pulau Jumlah Penduduk Miskin (ribu) Persentase Penduduk Miskin
(%)
2014 2015 2016 2014 2015 2016
Sumatera 6.074,94 6.366,65 6.273,73 11,21 11,55 11,22
Jawa 15.511,99 15.453,41 14.971,86 10,83 10,68 10,23
Bali & Nusa 2.000,69 2.180,44 2.132,55 14,42 15,47 14,96
Tenggara
Kalimantan 984,31 982,42 974,58 6,57 6,42 6,26
Sulawesi 2.155,50 2.117,08 2.113,16 11,71 11,32 11,17
Maluku & Papua 1.552,58 1.492,82 1.539,53 23,15 22,04 22,09
Sumber : BPS 2016

Menurut World Bank Era Baru (di dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, 2007),
Indonesia sedang berada di ambang era baru dan tahap penting dalam sejarahnya. Sesudah
terguncang akibat terpaan badai krisis ekonomi, sosial, dan politik pada akhir 1990-an,
Indonesia kini mulai kembali bangkit. Negara ini sebagian besar telah pulih dari krisis
ekonomi dan keuangan yang terjadi pada tahun 1998, yang telah melemparkan jutaan
penduduknya ke jurang kemiskinan dan menjadikannya sebagai negara berpenghasilan
rendah. Namun, belum lama ini Indonesia sekali lagi berhasil melewati ambang batas
kemiskinan dan menjadi salah satu negara berpenghasilan menengah di dunia. Angka
kemiskinan yang meningkat lebih dari sepertiga kali selama krisis, kembali turun mencapai
tingkat sebelum masa krisis. Berikut kurva kemiskinan di Indonesia menurun pesat sampai
dasawarsa 1990an, dan kembali berkurang sesudah krisis.
Gambar 2. Persentase Perkembangan Kemiskinan di Indonesia Setelah Krisis Moneter

Sumber : World Bank, 2016

Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi dan Daerah Maret 2016
PERSENTASE
JUMLAH PENDUDUK MISKIN PENDUDUK MISKIN
PROVINSI (000) (000)
KOTA DESA K+D KOTA DESA K+D
Aceh 159,5 688,94 848,44 10,82 19,15 16,73
Sumatera Utara 690,8 765,15 1 455,95 9,75 10,97 10,35
Sumatera Barat 118,96 252,59 371,56 5,54 8,16 7,09
Riau 162,45 352,95 515,4 6,4 9 7,98
Jambi 115,35 174,46 289,8 10,86 7,32 8,41
Sumatera Selatan 374,53 726,67 1101,19 12,74 13,99 13,54
Bengkulu 97,34 231,27 328,61 16,19 17,85 17,32
Lampung 233,39 936,21 1 169,60 10,53 15,69 14,29
Bangka Belitung 19,63 53,13 72,76 2,78 7,72 5,22
Kepulauan Riau 87,78 32,63 120,41 5,16 10,54 5,98
DKI Jakarta 384,3 - 384,3 3,75 - 3,75
Jawa Barat 2497,59 1726,73 4224,33 7,67 11,8 8,95
Jawa Tengah 1824,09 2682,81 4506,89 11,44 14,89 13,27
DI Yogyakarta 297,71 197,23 494,94 11,79 16,63 13,34
Jawa Timur 1518,79 3184,51 4703,3 7,94 16,01 12,05
Banten 377,1 281,01 658,11 4,51 7,45 5,42
Bali 96,98 81,2 178,18 3,68 5,23 4,25
NTB 385,22 419,23 804,44 18,2 15,17 16,48
NTT 112,02 1037,9 1149,92 10,58 25,17 22,19
Kalimantan Barat 78,29 303,06 381,35 5,16 9,11 7,87
Kalimantan Tengah 41,07 102,42 143,49 4,6 6,23 5,66
Kalimantan Selatan 60,83 134,87 195,7 3,48 5,89 4,85
Kalimantan Timur 88,04 124,88 212,92 3,93 10,05 6,11
Kalimantan Utara 14,21 26,91 41,12 3,78 9,47 6,23
Sulawesi Utara 60,62 142,2 202,82 5,34 10,97 8,34
Sulawesi Tengah 75,45 345,07 420,52 10,18 15,91 14,45
Sulawesi Selatan 149,13 657,9 807,03 4,51 12,46 9,4
Sulawesi Tenggara 51,01 275,86 326,86 6,74 15,49 12,88
Gorontalo 24,08 179,11 203,19 5,84 24,41 17,72
Sulawesi Barat 22,85 129,88 152,73 8,59 12,56 11,74
Maluku 52,08 275,64 327,72 7,66 26,82 19,18
Maluku Utara 10,57 64,1 74,68 3,32 7,44 6,33
Papua Barat 20,96 204,85 225,8 6,14 37,48 25,43
Papua 37,08 874,25 911,33 4,42 37,14 28,54
Indonesia 10 339,77 17 665,62 28 005,39 7,79 14,11 10,86
Sumber : BPS, 2016

Misalnya, menurut Cybriwsky dan Ford (di dalam buku An Introduction To Human
Geography hal. 220), profil Jakarta dengan populasi 9 juta, kontras dengan kota emas.
Segitiga daerah perumahan bergengsi (misalnya Cikini, Kuningan dan Menteng) dengan
rumah liar khasnya yang luas dan terkenal dengan kampung kumuh. Dengan demikian
disimpulkan bahwa Jakarta sudah luar biasa perbedaan antara dunia kemakmurandan
kemiskinan, dan tantangan signifikan di depan pembangunan berkelanjutan sebagai
“metropolis global”. (Cybriwsky dan Ford 2001: 209).

Upaya Mengatasi Kemiskinan di Indonesia

Menurut Tadjuddin Noer Effen di dalam Cica Sartika, dkk (dikutip dalam Jurnal Ekonomi
(JE) Vol .1(1)), April 2016) kebijakan makro dalam memerangi kemiskinan adalah : (1)
merangsang pertumbuhan ekonomi daerah, terutama pedesaan dengan dana bantuan INPRES
san BANPRES, (2) penyebaran sarana sosial, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, KB,
perbaikan lingkungan (pertumbuhan) dan lain-lain, (3) memperluas jangkauan sarana
keuangan dengan mendirikan beberapa intitusi kredit, (4) peningkatan sarana produksi
pertanian, khususnya infrastruktur, (5) pengembangan beberapa program pengembangan
wilayah,seperti pengembangan kawasan terpadu.

Menurut Kepala BPS (di dalam buku Perkembangan Kesejahteraan Rakyat, 2016, hal 143),
menyebutkan kemiskinan turun disebabkan inflasi umum relatif rendah, penurunan rata-rata
harga kebutuhan pokok, penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), dan peningkatan
rata-rata upah buruh tani dan bangunan.

Kebijakan penanggulangan kemiskinan menurut Sumodiningrat (di dalam jurnal Achma


Hendra Setiawan, 2011) digolongkan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu:
1. Kebijakan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar
tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi penduduk miskin.
2. Kebijakan yang secara langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok
sasaran.
3. Kebijakan khusus yang menjangkau masyarakat miskin dan daerah terpencil melalui upaya
khusus.
Menurut Munawar Noor (didalam jurnal ilmiah UNTAG Semarang), Puncak kesadaran
manusia adalah ketika sudah sampai pada keyakinan bahwa tujuan hidupnya adalah untuk
membangun harkat dan martabat sebagai kaum miskin dan tertindas. Oleh karena itu
pembangunan manusia dipandang sebagai cara yang efektif untuk mengatasi masalah
kemiskinan. Kendala dan tantangan yang dihadapi pemerintah adalah keterbatasan anggaran
untuk memenuhi hak-hak dasar warga Negara, sehingga diperlukan kemauan politik yang
kuat dari pemerintah serta membangun kemitraan dan kerjasama kelembagaan (pemerintah,
masyarakat, dunia usaha) untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan.

Dikutip dari World Bank (di dalam laporan pembangunan dunia, 2006 Hal.131),
kontribusi penurunan ketidaksetaraan terhadap pengurangan kemiskinan secara umum
bersifat tetap. Menurut Datt dan Ravallion (1992), penguraian perubahan kemiskinan menjadi
komponen pertumbuhan dan ketidaksetaraan telah banyak dilakukan. Komponen redistribusi
biasanya lebih kecil daripada komponen pertumbuhan, dan karena ketidaksetaraan sering
muncul, komponen tersebut sering kali memiliki “tanda” yang salah. Tetapi, ketika
ketidaksetaraan turun, hal ini membantu mengurangi kemiskinan.
Poin yang kedua dan yang berbeda adalah bahwa kemampuan pertumbuhan untuk
mengurangi kemiskinan turun bila ketidaksetaraan pendapatan awal tinggi. Pengurangan
ketidaksetaraan pada masa kini, karenanya, juga cenderung memberi dampak pada tingkat
efektivitas (juga distribusi-netral) pertumbuhan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di
masa mendatang. Ini terjadi karena bentuk sebagian besar distribusi pendapatan berarti bahwa
elastisitas pertumbuhan pengurangan kemiskinan di negara-negara dengan tingkat
ketidaksetaraan tinggi cenderung lebih kecil. Dengan kata lain, karena distribusi pendapatan
awal tidak sama, angka pengurangan kemiskinan di dua negara dengan tingkat pertumbuhan
distribusi-netral yang sama bisa berbeda.

Menurut World Bank Era Baru (di dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, 2007),
Indonesia memiliki peluang emas untuk menanggulangi kemiskinan dengan cepat. Pertama,
mengingat sifat kemiskinan di Indonesia, dengan memusatkan perhatian pada beberapa
bidang kunci dapat diperoleh keberhasilan dalam ‘perang’ melawan kemiskinan dan
rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Kedua, sebagai negara penghasil
minyak dan gas bumi, Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan meraih keuntungan
dari peningkatan penerimaan negara—sebesar 10 milyar dolar AS pada tahun 2006—berkat
melonjaknya harga minyak dan pengurangan subsidi BBM. Ketiga, Indonesia bisa memetik
manfaat yang lebih besar lagi dari proses demokratisasi dan desentralisasi yang masih terus
berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai