Anda di halaman 1dari 2

“Peranan Geofisika terhadap Ketahanan Energi Nasional”

Iqbal Daffa Pradana | 165090707111025 | Teknik Geofisika Universitas Brawijaya

Dewasa ini kebutuhan dan konsumsi sumber energi setiap waktunya akan
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk hingga banyaknya
penggunaan mesin dalam Sektor Industri. Hal ini ditunjukkan pada analisa akan
demand energi yang disusun oleh Agus Sugiyono (2016), yang mana terdapat grafik
dari Konsumsi Final Energi tahunan di Indonesia yang semakin bertambah tiap
tahunnya. Pada analisa tersebut terlihat bahwa penggunaan dari energi terbanyak
berasal dari Sektor Industri dan Transportasi yang mencapai 100-300 juta SBM
(Setara Barel Minyak). Selain itu, grafik tersebut juga menunjukkan bahwa konsumsi
energi terbesar masih dalam bentuk bahan bakar fosil seperti minyak, gas dan batu
bara yang diketahui bahwa proyeksi produksinya menunjukkan kecenderungan
(trend) yang semakin menurun dan pada akhirnya bahan bakar fosil pun akan habis.
Hal tersebut ditunjukkan pada Profil Produksi Migas di Indonesia sejak 1966 hingga
2017 oleh SKK Migas yang juga memuat informasi mengenai proyeksi defisit
pemenuhan kebutuhan energi nasional dari sektor migas pada tahun 2025 yang
dapat mencapai 76,31 persen dari proyeksi konsumsi.
Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan beberapa solusi. Solusi yang
pertama adalah dengan menggalakkan eksplorasi terhadap cekungan yang di
perkirakan memiliki sumber migas ekonomis yang dapat diproduksi. Menurut data
dari SKK Migas terdapat 22 cekungan sedimen di Indonesia yang belum dilakukan
pembor-an dan analisa lebih lanjut. Hal ini dapat menjadi dorongan bagi pada
Geosaintis untuk lebih menggalakkan kembali eksplorasi untuk menemukan
lapangan migas yang dapat di produksi. Permasalahan dari solusi pertama ini
bukanlah dari segi harga Minyak (Crude Oil) yang sempat menurun, melainkan dari
segi biaya dalam proses eksplorasi maupun eksploitasi. Penurunan investasi sektor
migas di Indonesia ditunjukkan oleh hasil survey Policy Perception Index 2017 yang
dilakukan oleh Fraser Institute. Survei ini menunjukkan bahwa skor iklim investasi
Indonesia hanya mendapatkan skor 31,01 dari skala 0-100, tertinggal jauh oleh
Negara lain di ASEAN seperti Thailand yang mendapatkan skor hingga 68,07 atas
iklim investasinya. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan skema gross split sehingga
membuat investor menahan diri untuk menanamkan modal pada sektor migas
domestik.
Permasalahan tersebut dapat dikurangi efeknya dengan membuat skema
kontrak yang baru untuk di gunakan di beberapa tahun mendatang. Sistemnya
adalah dengan memberikan cost recovery seperti pada kontrak PSD (Production
Sharing Contract) yang berasal dari cadangan cost yang bisa didapat melalui
himpunan profit dari eksploitasi energi terbaharukan yang mana per tahun 2018
mencapai 12,52 persen dari target APBN-P yang hanya sebesar 11,96 persen.
Keuntungan ini kemungkinan akan semakin meningkat mengingat penggalakan
eksplorasi dan eksploitasi pada bidang energi terbaharukan (ETB) yang telah
memberikan efek besar terhadap pendapatan negara serta potensi Sektor Energi
Panas Bumi (EPB) yang mencapai 29.214 Giga Watt Electric (GWe).
Selain menggunakan profit dari energi terbaharukan yang sudah
dikembangkan, Bidang Energi Nuklir dapat mulai dikembangkan kembali sebagai
sumber pendapatan tambahan untuk skema yang telah diatas. Peran Geofisikawan
untuk membantu pengembangan bidang ini adalah dengan melakukan eksplorasi
terhadap bijih uranium maupun bijih radioaktif lainnya yang dapat digunakan sebagai
bahan bakar nuklir. Eksplorasi dapat dilakukan dengan melakukan survey gravitasi,
magnetic maupun seismik untuk mencari kantung-kantung sedimen phosporite,
Black Shale dan Sandstone Hosted. Para geosaintis juga dapat memantau
pengembangan atau development dari lapangan-lapangan tersebut agar produksi
tetap stabil atau diatas target serta meminimalisir dampak lingkungan yang dapat
ditimbulkan akibat meningkatnya proses eksplorasi maupun eksploitasi.

Anda mungkin juga menyukai