Anda di halaman 1dari 16

MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO.

1, JUNI 2006: 33-48 33

SUMBER DAYA ALAM DAN PEMBANGUNAN:


SEBUAH PERSPEKTIF KOMPARATIF

Francisia Seda

Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

E-mail: saveriasika@yahoo.com

Abstrak

Hubungan antara sumber daya alam dan pembangunan di dunia yang dinamakan sedang berkembang merupakan hal
yang penting. Pertanyaan yang diajukan di dalam artikel ini ialah bagaimana jenis sumber daya alam yang berbeda
seperti, minyak bumi dan gas cair alam (LNG) serta hutan dapat mempengaruhi hubungan yang lebih luas antara
lingkungan hidup dan pembangunan? Studi ini menunjukkan bahwa keberadaan sumber daya alam khususnya industri
minyak bumi dan gas cair alam (LNG) memainkan peran utama dalam pembangunan nasional Indonesia. Di dalam
konteks kesinambungan konseptual Evans, Indonesia mempunyai baik elemen-elemen jenis negara predatoris maupun
jenis negara developmentalis ditinjau dari sudut pandang hubungan antara lingkungan hidup dengan pembangunan.

Abstract

The relationship between natural resources and development in the so-called developing world is important. The
question posed in this paper is how do the different types of natural resources; oil, LNG, and forests affect the broader
environment-development relations? This study shows that the presence of natural resources especially the oil and LNG
industries played a major role in the Indonesian national development. In the context of Evans conceptual continuum,
Indonesia has both the elements of predatory and developmental state viewed from the environment-development
relations.

Keywords: the oil and LNG sector, the forestry sector, predatory state, developmental state

Pendahuluan Kelompok pertanyaan yang ketiga membahas masalah


perbandingan sektoral antara sektor minyak dan gas
(migas) dan kehutanan di Indonesia dalam konteks
Pengalaman Indonesia memunculkan pertanyaan-
hubungan antara lingkungan hidup dan pembangunan.
pertanyaan menarik dan penting mengenai kaitan antara
sumber daya alam dan pembangunan di negara-negara
Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
yang dikenal sebagai “negara berkembang”. Kelompok
digunakan analisis perbandingan antarnegara dan
pertama pertanyaan ini adalah sebagai berikut: apa
antarsektor dalam satu negara, dengan menggunakan
kaitan antara sumber daya alam dan pembangunan?
konsep negara pembangunan dari Evans.
Apakah ketersediaan, atau sebaliknya ketiadaan, sumber
daya alam merupakan determinan mendasar dalam
strategi pembangunan nasional? Lalu, apakah Sumber Daya Alam dan Pembangunan
ketergantungan yang besar pada ekspor sumber daya
alam memiliki dampak yang besar pada karakter Empat negara yang akan dibahas dalam tulisan ini
hubungan antara negara dan masyarakat? adalah dua negara pengekspor minyak, Indonesia dan
Venezuela, dan dua negara yang relatif tidak
Kelompok kedua pertanyaan ini terkait dengan anomali dianugerahi dengan kemakmuran sumber daya alam,
pertumbuhan ekonomi yang pesat yang tampak dapat Korea Selatan dan Taiwan. Perlu dijelaskan bahwa yang
berjalan beriring dengan korupsi, kroniisme dan kolusi dimaksud dengan negara pengekspor minyak adalah
yang terjadi di Indonesia pada dasawarsa 1980-an dan negara-negara di mana besarnya andil produksi minyak
1990-an. dalam produk domestik bruto dan besarnya ekspor
minyak dalam total nilai ekspor menempatkan sektor

33
34 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48

minyak pada titik pusat akumulasi ekonomi. Negara- ekspor nonmigas, sementara penyusutan produksi
negara tersebut juga pada saat yang sama kekurangan nasional bruto menimbulkan pengaruh buruh terhadap
kapital, artinya memiliki jumlah penduduk yang besar industri yang berorientasi domestik, yang menjadi titik
dengan tabungan per kapita yang kecil dan juga produk utama hampir semua rencana industrialisasi berbasis
domestik bruto per kapita yang kecil. Ancaman sumber daya alam yang dijalankan.
keterbatasan cadangan minyak di masa depan memiliki
arti bahwa pemerintah negara-negara tersebut, bahkan Ada satu hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu
setelah mengalami boom minyak, memilih untuk bahwa dalam konteks kecenderungan di atas, terdapat
melakukan diversifikasi ekspor ke luar sektor minyak tingkat kinerja yang beragam. Prioritas untuk
dan mereka membuat keputusan-keputusan jangka pengeluaran publik, misalnya, berbeda-beda. Indonesia
pendek yang memiliki signifikansi besar untuk menekankan pengembangan gas alam, Venezuela
perkembangan mereka di masa mendatang. Indonesia berkonsentrasi pada bijih tambang, terutama baja dan
dan Venezuela dipilih karena mereka merupakan negara aluminium dan melakukan pengeluaran yang besar
pengekspor minyak yang kekurangan kapital, dan untuk pendidikan. Dalam hal ekonomi, Indonesia jauh
memiliki andil yang cukup besar dalam produksi lebih baik dibandingkan negara-negara pengekspor
minyak global. Korea Selatan dan Taiwan dipilih karena minyak lainnya dalam strategi pembangunan mereka,
meskipun mereka relatif miskin sumber daya alam bila terutama selama masa pemerintahan Suharto (1967-
dibandingkan Indonesia dan Venezuela, mereka relatif 1997), hingga pecahnya krisis finansial Asia.
berhasil dalam menjalankan strategi pembangunan mereka.
Dalam masa ini, Indonesia memiliki kendali yang baik
Dalam analisis Karl (1997), diajukan pendapat bahwa terhadap pengeluarannya, melaksanakan strategi
negara-negara pengekspor minyak yang dibahasnya pembangunan yang lebih berimbang antara infrastruktur
dalam analisis tentang fenomena negara rentier fisik, pendidikan, pembangunan pertanian dan industri
mengalami penurunan kapasitas negara. Ketika negara padat modal; mengalokasikan anggaran yang cukup
tidak lagi bergantung pada pajak domestik untuk tinggi untuk daerah pedesaan; dan tidak terlalu banyak
mendanai pembangunan, pemerintah tidak lagi menimbun hutang luar negeri. Perbedaan antara
diharuskan untuk memformulasikan sasaran-sasaran dan Indonesia dan negara-negara pengekspor minyak
tujuan pembangunan mereka untuk diawasi rakyat yang lainnya yang mengalami kekurangan kapital dapat
harus membayar semua itu. Demikian pula, mereka dilihat di Tabel 1.
dimungkinkan untuk mendistribusikan dana-dana
kepada berbagai sektor dan wilayah secara ad hoc. Seperti ditunjukkan tabel di atas, setelah boom minyak
Sentralisasi yang berlebihan, pengabaian terhadap tahun 1973, peningkatan belanja pemerintah Indonesia
keadaan setempat dan kurangnya pertanggungjawaban; tidak setinggi Venezuela dan negara-negara lainnya.
semuanya lahir dari independensi keuangan ini. Penurunan PNB relatif rendah dibandingkan Venezuela.
Indikator Dutch Disease Indonesia berkurang dan beban
Terdapat sebuah kecenderungan yang berlaku umum hutangnya selama boom pertama (1973-1974) bahkan
bagi negara-negara pengekspor minyak yang menurun. Indonesia juga lebih efisien dalam
kekurangan kapital dalam menanggapi boom minyak. penggunaan modal dibandingkan negara-negara
Negara-negara tersebut secara substansial meningkatkan pengekspor minyak lainnya.
belanja publik bersamaan dengan peningkatan harga
minyak, dan mereka juga cepat memanfaatkan Dalam menjelaskan “pengecualian” kasus Indonesia,
keuntungan dari penjualan minyak untuk memelihara khususnya selama masa Suharto sebelum krisis Asia
model pembangunan yang berdasarkan pada sumber 1997, Karl (1997) mengawalinya dengan menjelaskan
daya alam ini. Mereka juga cenderung untuk berhutang kondisi industri minyak Indonesia sebelum mapannya
dalam jumlah besar untuk mendanai rencana regim Suharto. Indonesia memiliki salah satu industri
pembangunan ini. Pengeluaran publik yang tinggi pada minyak tertua di dunia, ia menunjukkan eratnya kaitan
akhirnya menimbulkan “penyakit Belanda” (Dutch antara ekonomi yang berdasarkan pada minyak, negara
Disease), dan ukuran relatif sektor-sektor pertanian dan dan ciri-ciri seperti regim negara-negara pengekspor
manufaktur negara-negara pengekspor minyak, yang minyak lainnya. Namun tidak seperti di negara-negara
memang sejak awal kecil, menjadi semakin kecil, tersebut, pendirian negara modern maupun pendirian
bersamaan dengan mengarahnya ekonomi ke arah regim tidaklah sepenuhnya bersesuaian dengan
barang-barang nontradeable alih-alih tradeable. dominasi minyak terhadap ekonomi. Minyak bumi tidak
Perekonomian negara-negara demikian lalu dicirikan dapat menciptakan institusi-institusi selama masa kritis
oleh inflasi, defisit fiskal yang berlanjut dan masalah ini, tidak seperti di negara-negara lainnya, sehingga
neraca pembayaran. Pada akhirnya, mata uang mereka menimbulkan dampak jangka panjang terhadap
yang ditempatkan pada nilai tukar terlalu tinggi kapasitas negara dan penciptaan pilihan-pilihan yang
(overvalued) akhirnya menimbulkan kemandekan tersedia.
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48 35

Tabel 1. Variasi Kinerja Makroekonomi

Indonesia Iran Nigeria Venezuela Aljazair


A. Perkiraan pertumbuhan/pengeluaran pemerintah 1974-75, % 19,8 35,9 29,9 38,5 t/t
B. Rasio PNB 1980 hingga 1986 0,96 0,88 0,46 0,81 1,51
C. Persentase perubahan rasio tradeable dibandingkan non- -61,8 -1,6 -59,3a -6,9 -5,7
tradeable (1965-1982)
D. Perubahan rasio total hutang luar negeri dibandingkan PDB, -26,6 t/t 87,7 265,2 41,5
1975-1980 sebagai % rasio tahun 1975
E. Rasio peningkatan kapital/output (ICOR) 5,2 t/t 39,2 8,5 t/t
a
Perubahan rasio 1965-1987.
t/t: data tidak tersedia
Sumber: Terry Lynn Karl, “The Paradox of Plenty Oil Booms and Petro-States”. Berkeley: University of California Press, 1997, hal.
192.

Eksploitasi minyak Indonesia mengalami gangguan belanja dilakukan secara hemat. Kebijakan-kebijakan ini
parah akibat langkah-langkah bumi hangus oleh mendorong basis perpajakan yang beragam dan disiplin
Belanda (1942), penjajahan Jepang dan bombardemen fiskal, yang membedakan Indonesia dari negara-negara
Sekutu selama Perang Dunia Kedua, menurut Karl pengekspor minyak lainnya.
(1997). Artinya, pada awal pembentukan negara modern
terdapat cukup ruang gerak, tidak seperti pada negara- Kedua, regim ini menjadikan pertanian, terutama
negara pengekspor minyak lainnya. Gangguan terhadap swasembada beras, sebagai kebijakan pembangunan
industri minyak ini berlanjut hingga akhir 1960-an, yang mendasar, tidak seperti negara-negara pengekspor
karena nasionalisme regim Sukarno yang mengancam minyak lainnya. Maka, meskipun terjadi boom minyak,
menasionalisasikan perusahaan PMA di bidang minyak Indonesia terhindar dari keruntuhan sektor pertanian
bumi. Maka, hingga tahun 1968 Indonesia relatif tidak secara besar-besaran yang menjadi hambatan bagi
banyak tergantung pada dana publik yang didapatkan negara-negara pengekspor minyak lainnya. Pada saat
dari minyak bumi. terjadinya boom minyak pada tahun 1973, Indonesia
berada pada arah pembangunan yang agak berbeda dari
Gangguan dalam sejarah perminyakaan Indonesia negara-negara tersebut. Tingkat “petro-stateness”
memiliki arti bahwa regim Suharto tidaklah terlalu (ketergantungan negara terhadap minyak) (Karl, 1997)
dikenal bergantung pada petrodollar, dibandingkan yang diukur dari ekspor dan juga ketergantungan fiskal
sebagai sebuah regim yang mewarisi kehancuran terhadap minyak bumi, jauh lebih rendah dibandingkan
ekonomi dari masa Sukarno. Dengan gabungan negara-negara lainnya. Pola-pola kebijakannya tidak
rendahnya bea masuk perdagangan dan bantuan asing sepenuhnya didominasi pencarian rente dan kekakuan
dari negara-negara Barat yang berusaha melawan institusional, namun berdasarkan pada penghematan
ancaman komunisme dalam konteks Perang Dingin, fiskal dan pemajakan domestik.
terutama Perang Vietnam, regim yang baru
melaksanakan arah pembangunan yang sama sekali Selain kondisi-kondisi sebelum krisis minyak 1973,
berbeda dari regim pendahulunya. Orde Baru, yang Karl menjelaskan satu peristiwa penting yang memaksa
bertahan selama tiga puluh tahun, selalu berdasarkan regim Suharto untuk memutuskan lingkaran setan
pada pembangunan ekonomi. Legitimasi politik regim kekayaan yang didapatkan dari minyak dan belanja
ini pada akhirnya didasarkan pada kinerja ekonomi. yang tidak produktif. Pada tahun 1975, perusahaan
minyak milik negara Pertamina jatuh bankrut, memaksa
Regim Suharto melakukan perubahan-perubahan yang pemerintah untuk mengalihkan pendapatan dari ekspor
kemudian membentuk perilaku belanjanya yang khas. minyak untuk menutup hutang perusahaan tersebut,
Pertama, regim ini memperkuat kapasitas negara dengan sementara negara-negara pengekspor minyak lainnya
menunjuk tim ekonomi yang berorientasi Barat dan neo- menanamkan pendapatan demikian untuk memperluas
klasik, yang berpusat pada Badan Perencanaan penambangan minyak. Namun toh krisis Pertamina
Pembangunan Nasional (Bappenas), yang kemudian bukan penjelasan yang memadai bagi “pengecualian”
dikenal sebagai para “teknokrat Bappenas”. Tim Indonesia ini. Alih-alih demikian, penjelasannya
ekonomi ini menekankan pentingnya menghindari terletak pada langkah berbeda yang diambil lebih awal,
kontrol kuantitatif terhadap nilai tukar dan membentuk seperti memberikan perhatian utama pada pertanian dan
aturan tentang anggaran yang berimbang. Kedua bukan minyak bumi, dan kemampuan badan-badan
kebijakan ini memiliki dampak penting terhadap negara untuk melaksanakan pembatasan anggaran.
fleksibilitas kebijakan ekspor minyak Indonesia. Langkah yang berbeda ini menghasilkan hasil yang
Devaluasi nilai mata uang secara teratur dilakukan berbeda pula.
untuk mencegah kontrol nilai tukar, dan kebijakan
36 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48

Tidak seperti Venezuela, dengan kontrol nilai tukar dan ketergantungan ini bermula setelah Perang Dunia
penundaan penyesuaian yang memakan biaya besar, Pertama, sementara di Indonesia lebih belakangan.
regim Suharto mampu mengenali masalah-masalah Terdapat pola kebijakan ekonomi mendasar yaitu
dengan segera dan menemukan penyelesaian yang memaksimalkan ekstraksi eksternal terhadap rente
masuk akal. Ia sejak awal dan bertahap melakukan untuk distribusi domestik kemudian melalui belanja
devaluasi mata uang dan berhasil melindungi ekspor publik yang disesuaikan dengan suatu logika politik.
non-minyaknya. Sementara penanaman modal dalam
jumlah raksasa untuk industri baja menimbulkan beban Baik Venezuela maupun Indonesia memiliki arah
besar bagi Venezuela, regim Suharto selama 1970-an pembangunan yang diawali ketika eksploitasi minyak
dan 1980-an mau dan mampu membatalkan atau mengubah ekonomi dan negara. Arah ini mendorong
menunda beberapa proyek besar, segera setelah muncul penggunaan petrodollar untuk menggantikan sumber-
tanda-tanda jatuhnya harga minyak. Venezuela berusaha sumber fiskal lainnya, memperluas yurisdiksi negara,
mencegah antagonisme sektor swastanya akibat melaksanakan industrialisasi berbasis sumber daya dan
pemajakan domestik, namun Indonesia memanfaatkan meningkatkan belanja publik. Pada saat yang sama, ia
kelegaan fiskal yang ditimbulkan oleh naiknya harga mengurangi mekanisme otoritas negara dengan
minyak untuk melakukan reformasi perpajakan yang menciptakan insentif untuk berburu rente secara
signifikan sebelum rontoknya harga minyak pada tahun berlebihan. Pilihan-pilihan ini mendorong kedua negara
1986. ini untuk mengalami minyakisasi lebih lanjut, sambil
juga menciptakan kepentingan untuk memelihara proses
Ada tiga titik persimpangan penting yang tersebut.
mempengaruhi pola pengambilan kebijakan dalam
kasus Venezuela sebelum boom minyak tahun 1973. Perlu ada satu hal penting yang dijelaskan.
Pertama, masuknya perusahaan-perusahaan minyak “Pengecualian” dalam kasus Indonesia lebih merupakan
asing ke negara-negara yang lemah, kedua, penetapan suatu variasi, dan bukannya fenomena yang khusus,
pajak penghasilan pada perusahaan-perusahaan sebagai dalam tema negara-negara pengekspor minyak.
sumber utama pendapatan fiskal negara, dan ketiga, Meskipun sempat dianggap berhasil pada dasawarsa
perubahan regim yang memperkuat atau menghindari 1970-an dan 1980-an, ketergantungan pada minyak
ketergantungan pada pendapatan dari minyak. Titik-titik telah bertumbuh, demikian pula perilaku memburu rente
persimpangan ini tergantung dari arah yang diambil, yang dilakukan terutama oleh keluarga Suharto dan para
artinya mereka ditentukan oleh masuknya perusahaan- kroninya pada 1990-an. Pemburuan rente ini
perusahaan minyak yang kemudian diikuti oleh sekuens mempengaruhi seluruh birokrasi dan melemahkan etika
tertentu dalam kasus Venezuela. Warisan institusional manajemen fiskal yang berhemat. Militer, yang
dari peristiwa-peristiwa tersebut mempengaruhi mendapatkan keuntungan dari regim Suharto,
pengambilan kebijakan di negara-negara pengekspor mengalami fragmentasi. Seperti dengan akurat
minyak, dan membantu menjelaskan ragam tanggapan diramalkan Anne Booth (1992), bila masalah ekonomi
mereka terhadap boom. Di Indonesia, hubungan dinamis yang akut ditambahkan pada keadaan ini, pembusukan
antara bentuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan politik dapat segera berubah menjadi krisis regim, dan
institusional dimulai dengan masuknya perusahaan- Indonesia akan menjadi serupa dengan negara-negara
perusahaan minyak multinasional ke wilayahnya. pengekspor minyak lainnya. Ramalan ini kemudian
Seperti di Venezuela, hal yang terpenting adalah sayangnya terbukti setelah pecahnya krisis finansial
hubungan antara eksploitasi sumber daya tambang dan Asia tahun 1997.
tahap-tahap awal terbentuknya negara modern. Baik
Indonesia maupun Venezuela tidak memiliki struktur Dalam menganalisis dampak ketergantungan yang besar
administratif yang mampu secara kreatif melawan pada ekspor sumber daya alam terhadap ciri hubungan
proses “minyakisasi”. Kedua negara tersebut dengan negara-masyarakat, penting untuk menekankan bahwa
mudah ditembus oleh kekuatan asing. Kekuasaan terdapat dua fokus analitis mendasar pada status
eksekutif menjadi terkait dengan nasib industri minyak, Venezuela sebagai negara pengekspor minyak dan
dan negara-negara mengalami sentralisasi sambil kesepakatan-kesepakatan antarpartai yang
memperluas yurisdiksi mereka dalam suatu dinamika mendefinisikan aturan-aturan permainan politik. Kedua
yang didorong oleh minyak. hal tersebut dahulu dianggap sebagai anugerah oleh
banyak dari para analis yang kini menganggap hal-hal
Ketika minyak menjadi sektor ekspor terpenting di tersebut sebagai cobaan, bila bukan malah kutukan.
Indonesia dan Venezuela, kerangka pembuatan Tesis yang pertama adalah “demokrasi berbasis
kebijakan negara dibentuk sedemikian untuk minyak” yang diajukan Karl pada karya awalnya
memungkinkan keberlanjutan pembangunan yang (1987). Minyak bumi, lebih dibandingkan ekspor
didasarkan pada minyak, yaitu melalui hal utama yang lainnya negara Dunia Ketiga, secara historis terbebas
mencirikan petrostate: ketergantungan fiskal terhadap dari fluktuasi tajam permintaan dan harga, dan dengan
devisa asing dari ekspor minyak. Di Venezuela, demikia memungkinkan stabilitas politik dan sosial
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48 37

jangka panjang. Lebih lanjut lagi, pembangunan terhadap masyarakat Venezuela. Karl menyatakan
berbasis minyak meminimalkan ketegangan antara bahwa bahkan sebelum nasionalisasi, negara Venezuela
oligarki, petani kecil dan kelas buruh, sementara yang memberikan konsesi untuk penggunaan tanah
membatasi pengaruh politik ketiganya. Besarnya merupakan pihak yang paling diuntungkan dari produksi
kekuatan kelas menengah dibandingkan lawan-lawan minyak, bukan kelas pekerja, kelas menengah maupun
kelasnya ini kondusif bagi pembentukan partai swasta nasional. Dengan mendapatkan sumber daya
multikelas yang menyalurkan konflik sosial sesuai garis keuangan yang luar biasa besar dengan usaha kecil,
institusional. Venezuela rentan terhadap masalah-masalah tertentu
yang mempengaruhi negara-negara berkembang
Pakar-pakar lain mengenai Venezuela, seperti David lainnya, dalam bentuk yang kurang ekstrim;
Levine, menekankan pentingnya kepemimpinan dan klientelisme politik, sentralisme, proteksi berlebihan
kesepakatan antar partai politik dalam menjelaskan terhadap industri nasional, kurangnya tanggung jawab
relatif stabilnya negara ini. Kesepakatan-kesepakatan ini fiskal, tiadanya sistem perpajakan nasional yang efektif,
menyingkirkan oposisi yang tidak loyal, sementara maraknya mentalitas rentier dalam berbagai sektor
mendorong dan memberikan penghargaan terhadap para masyarakat, yaitu bahwa masyarakat mengemis
anggota oposisi yang loyal dengan secara formal berbagai macam bantuan dari pemerintah, dan
mengikutsertakan mereka dalam pembuatan kebijakan. meningkatnya ekspektasi material masyarakat umum
Meskipun baik Levine maupun Karl tidak memandang bahkan dalam krisis ekonomi yang parah.
kedua penjelasan ini sepenuhnya saling bertentangan,
masing-masing menganggap penjelasannya sebagai hal Dalam membandingkan Indonesia dan Venezuela,
terpenting untuk memahami stabilitas negara, dan bahkan sebelum rontoknya harga minyak tahun 1982,
bahwa pandangan yang lain tidaklah terlalu penting tidak satupun individu atau partai politik yang otoriter
(Karl, 1987; Levine, 1989, dikutip oleh McCoy dkk, maupun demokratik yang melalui boom minyak tahun
1994). 1973 tetap berkuasa, kecuali Suharto. Venezuela
mengalami krisis regim pada tahun 1992, yang ditandai
Dalam esainya (1987) yang berpengaruh, Karl kekerasan sosial yang besar sejak 1989. Pada masa
memperingatkan bahwa status Venezuela sebagai 1974-1992, Indonesia mengalami stabilitas politik di
pengekspor minyak mengandung benih-benih bawah regim otoriter Suharto.
destabilisasi. Seperti ia nyatakan, dana-dana dari
minyak menciptakan tekanan yang semakin besar yang Dampak boom minyak tahun 1973 dan 1980 terhadap
pada akhirnya membatasi kemungkinan kesepakatan ketidakstabilan politik bergantung pada besarnya
antarpartai. Namun hampir semua pakar Venezuela dampak boom itu sendiri, karena rezeki nomplok
yakin bahwa pemasukan negara dari minyak dan minyak bila berdiri sendiri tidak memiliki dampak
kepemimpinan politik yang dewasa akan ekonomi, terkecuali bila dibelanjakan di dalam negeri
menghindarkan negara itu dari penderitaan gejolak dan karena dampak ekonomi yang mengikutinya
sosial dan kekacauan politik. Maka, mereka secara demikian erat terkait dengan keputusan-keputusan
konseptual tidak siap untuk menghadapi peristiwa- politik. Besarnya dampak boom diindikasikan oleh
peristiwa Februari 1989 dan dampaknya (Ellner, peningkatan belanja pemerintah yang terjadi segera
1993b). Kerusuhan massal yang menggoncang setelah peningkatan harga minyak. Bila dampak boom
Venezuela dalam minggu terakhir Februari 1989 kini besar, instabilitas politik selalu terjadi. Bila dampak ini
dipandang sebagai titik penting yang menghancurkan sedang atau rendah, politik lebih stabil. Venezuela
mitos-mitos tentang stabilitas sosial, ekonomi dan termasuk kelompok yang mengalami dampak besar,
politik negara tersebut. sementara Indonesia rendah (Karl, 1997).

Baik Karl maupun Levine (1994, dikutip oleh McCoy Di Indonesia, yang peningkatan belanjanya kecil dan
dkk, 1994) menyatakan bahwa produksi minyak dan tidak terlalu mendadak, regim Suharto berhasil
kesepakatan partai merupakan pedang bermata dua. mempertahankan dirinya cukup lama, dalam kondisi
Alfonzo menyatakan bahwa dengan banjirnya modal yang berpotensi mengganggu.
dari minyak, Venezuela terbebani oleh masalah-masalah
yang tak terduga: jurang antara kaya dan miskin Hubungan antara dampak boom dan ketidakstabilan
mendalam, dan lingkungan hidup hancur (Alfonzo, politik menandai pentingnya keputusan-keputusan awal
1976). Maka, anggapan umum bahwa pemasukan dari yang dibuat oleh pengambil kebijakan segera setelah
minyak menyelamatkan negara dari dampak-dampak terjadinya boom tahun 1973, dan pentingnya pilihan
terburuk kurangnya pembangunan menjadi kebijakan pada titik-titik persimpangan yang penting. Di
dipertanyakan. Venezuela, dampak boom yang besar memacu perluasan
cepat yurisdiksi negara, peningkatan sikap berburu
Karl dan para penulis lainnya yang menggunakan rente, pembusukan ekonomi dan penurunan kapasitas
konsep rentier menganalisis dampak devisa minyak regim untuk menghadapi tantangan berganda politik dan
38 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48

ekonomi. Keputusan ekonomi Indonesia untuk tidak semata-mata bergantung pada kinerja ekonomi
mengizinkan pertambahan yang lebih kecil dan bertahap (Karl, 1997). Kejatuhan Suharto pada Mei 1998 setelah
berpengaruh positif tidak saja bagi kesehatan ekonomi krisis keuangan Asia 1997 merupakan contoh terbaik
negara, namun juga pada stabilitas politiknya. dari hipotesis kedua ini.

Apa yang menyebabkan pemerintah Indonesia mampu Sebelum krisis finansial Asia 1997, regim Suharto
mengendalikan belanjanya sehingga tidak berlebihan dipandang sebagai perkecualian di kalangan negara-
seperti Venezuela? Menurut Karl, alasan utamanya negara pengekspor minyak dengan regim otoriter
adalah bahwa Indonesia memiliki sejarah yang khas personalistik yang tidak runtuh dalam kondisi harga
tentang perkembangan ekonomi dan institusinya minyak yang melambung-tenggelam. Namun, kekuatan
sebelum boom minyak tahun 1973, sehingga tingkat pemerintahannya di kala harga minyak tak dapat
“petro-stateness-nya” tidaklah separah negara-negara diramalkan, utamanya tergantung pada tingkat “petro-
pengekspor minyak lainnya. Perbedaan perkembangan stateness” yang berbeda dan sterilisasi pemasukan yang
ini menyebabkan ia tidak terlalu terikat pada arah timbul dari krisis Pertamina, bukan dari sifat-sifat
pembangunan yang didorong minyak dan tertentu pemerintahan otoriter. Bila kebijakan ekonomi
memungkinkan respon yang lebih lentur (Karl, 1997). kurang berhasil, bentuk-bentuk pemerintahan
personalistik tampaknya tidak akan mampu bertahan.
Sejak awal 1970-an, ketika devisa dari ekspor minyak
mengalami fluktuasi besar-besaran, terdapat dua Di Venezuela, perluasan demokrasi dipandang sebagai
hipotesis tentang hubungan negara-negara pengekspor satu pemecahan terhadap berbagai masalah yang timbul
minyak dan demokrasi (ataupun ketiadaan demokrasi). dari siklus melambung-tenggelamnya harga minyak.
Satu hipotesis menyatakan bahwa regim-regim otoriter Keinginan utama warga negara adalah untuk melakukan
seperti Suharto di Indonesia dapat berlayar menghadapi perubahan dari satu bentuk demokrasi ke bentuk lainnya
gelombang melambung-tenggelam maupun bentuk- yang tidak terlalu membatasi, lebih inklusif dan lebih
bentuk lain krisis ekonomi dengan lebih baik mampu bersaing. Di Indonesia, pemerintahan otoriter
dibandingkan negara-negara demokratis. Sistem menghadapi tantangan tekanan yang meningkat untuk
demokratis mensyaratkan lebih banyak konsultasi dan melakukan demokratisasi, yang dikaitkan dengan
perdebatan, yang menyebabkan mereka melangkah meningkatnya kritik terhadap perburuan rente politis.
dengan lambat dan tidak efisien. Terlebih lagi,
keteraturan pemilihan umum terutama pada regim Ada hal penting yang perlu ditekankan. Jenis
presidensialis, memastikan timbulnya manipulasi pemerintahan demokratis maupun otoriter perlu
sistematik dan oportunistik terhadap siklus bisnis politik dibedakan. Bila regim didasarkan pada batasan yang
untuk mengendalikan opini masyarakat. Lebih lanjut tidak jelas antara dana publik dan dana pribadi
lagi, karena pemerintah yang dipilih bertanggung jawab kelompok yang berkuasa, seperti dalam pemerintahan
terhadap konstituen yang berbeda-beda, kebijakan yang yang amat personalistik, tidak ada rem terhadap
diambil pastilah akan saling bertentangan; mereka tidak perburuan rente oleh negara, kecuali bila regim itu
bisa memiliki kontinuitas pengambilan kebijakan seperti runtuh. Bila regim tidak terlalu tamak, dan sebagian
ditemukan di beberapa negara otokratik. surplus sosial dimanfaatkan oleh masyarakat luas dan
bukan hanya para penguasa dan konco-konco mereka,
Hipotesis yang kedua menyatakan bahwa negara-negara pola pemanfaatan akan menjadi lebih luas dan setara,
dengan sistem demokratis lebih mampu bertahan krisis dengan dasar-dasar legitimasi alternatif yang
ekonomi, baik melambungnya (harga minyak) maupun memungkinkan mereka untuk bertahan dalam
keambrukan ekonomi. Konsultasi dan perdebatan yang perubahan melambung-tenggelamnya harga minyak.
mendalam yang merupakan syarat demokrasi Regim demikian bisa demokratis maupun otoriter.
memastikan perencanaan kebijakan yang lebih baik dan
pelaksanaan kebijakan yang lebih baik, sementara Evans (1995) menyatakan bahwa negara-negara terletak
kompetisi terbuka dan tidak pasti antara kelompok- pada suatu spektrum, dari predatoris hingga
kelompok yang berbeda memaksa pemerintah untuk developmentalis. Letak negara pada spektrum ini
mendefinisikan dan mempertahankan sasaran mereka tergantung pada sejauh mana mereka menghalangi atau
dalam keadaan yang relatif transparan. Lebih penting mendorong perspektif kewirausahaan jangka panjang,
lagi, pemilihan umum memungkinkan penduduk untuk yang bergantung pada kemantapan birokrasi dan
meminta pertanggungjawaban dari para pemimpin dan mekanisme pemerintahan. Kapasitas negara untuk
untuk mengganti pemimpin secara teratur dan dapat melakukan hal tersebut tidak muncul begitu saja. Di
diramalkan, sehingga menjadi katup pengaman bagi negara-negara berkembang, mereka diciptakan melalui
ketegangan yang mungkin ada. Gagasan demokrasi, interaksi institusi-institusi politik nasional dengan pasar
suatu prinsip pemerintahan yang abstrak, dengan internasional dan masyarakat dalam negeri. Karl (1997)
kaitannya pada kesetaraan dan keikutsertaan memperhatikan bahwa konstruksi sejarah negara-
memberkan sumber-sumber alternatif legitimasi yang negara, atau bagaimana mereka menjadi predatoris
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48 39

ataupun developmentalis, merupakan hal yang Negara developmentalis menurut Johnson (1987,
terpenting. Ia menunjukkan bahwa terdapat kemiripan dikutip oleh Evans, 1995) memiliki ciri-ciri berikut ini:
antara cara-cara tertentu eksploitasi komoditas dan pertama, pembangunan ekonomi dalam ukuran
tingkat-tingkat maupun pola-pola berbeda dari pertumbuhan, produktivitas dan daya saing merupakan
kebernegaraan. Apakah suatu negara menjadi predatoris prioritas utama tindakan negara. Negara berfokus kuat
atau developmentalis sebagian besarnya bergantung pada pembangunan ekonomi, bahkan bila
pada sumber-sumber utama penghasilan mereka, mengorbankan sasaran lain seperti kesetaraan dan
terutama ciri sektor utama yang menjadi sumber kesejahteraan sosial. Kedua, karena negara
tersebut. Khususnya, bila eksploitasi mineral terjadi developmentalis bukan negara sosialis, ia memiliki
bersamaan dengan pembentukan negara modern seperti komitmen kuat terhadap hak milik pribadi dan pasar.
di Indonesia dan Venezuela, dinamika produksi untuk Namun, pasar diatur secara ketat oleh pemerintah yang
ekspor akan membentuk negara-negara dengan cara- merancang kebijakan industri strategis untuk
cara yang mendasar, menciptakan struktur spesifik mendorong pembangunan. Ketiga, dalam birokrasi
pilihan, kapasitas yang tidak setara dan cacat-cacat yang negara, terdapat badan perencana (seperti MITI di
bertahan lama setelah terciptanya. Jepang) yang memainkan peran penting dalam
perancangan dan pelaksanaan kebijakan strategis. Badan
Bukan kebetulan bahwa Evans (1995) menunjukkan ini diberikan lingkup yang cukup untuk mengambil
kasus negara predatoris berupa Zaire, sebuah negara inisiatif dan bekerja secara efektif, dan diawaki oleh
pengekspor mineral yang menunjukkan pola-pola para manajer terbaik yang dimiliki birokrasi negara.
yurisdiksi dan kekuasaan yang disandingkan dengan Onis (1991) menyatakan bahwa standar penerimaan
ketidakmampuan untuk mengubah ekonomi maupun yang tinggi tidak hanya menjamin tingkat kemampuan
struktur sosial. Bukan kebetulan pula bahwa contoh birokratis yang tinggi, namun juga menciptakan rasa
negara developmentalis, Korea Selatan dan Taiwan, persatuan dan identitas bersama di kalangan elit
secara historis tidak dibentuk untuk mengeksploitasi birokrasi. Maka para birokrat ini dipenuhi perasaan
kekayaan mineral untuk ekspor. Pelajaran dari masa tentang tugas suci mereka dan mengidentifikasikan diri
lampau menunjukkan hubungan yang miring antara dengan tujuan-tujuan negara, yang muncul dari posisi
beberapa bentuk kemakmuran sumber daya alam dan kepemimpinan dalam masyarakat.
keberhasilan kebernegaraan. Negara-negara industri
baru Asia seperti Korea Selatan dan Taiwan menjadi Dalam mendorong industrialisasi yang terlambat,
kaya, tepatnya karena mereka miskin sumber daya alam. negara-negara developmentalis seperti Korea Selatan
Kebutuhan untuk mengatasi kemiskinan demikian menekankan kebijakan ganda subsidi dan disiplin
mungkin menjadi salah satu pemicu utama untuk (Amsden, 1989). Industrialisasi terlambat di Korea
membangun negara yang efektif. Selatan didasarkan pada subsidi. Pemerintah Korea
Selatan menggunakan subsidi untuk menentukan apa
Amsden (1989) memandang industrialisasi Asia Timur yang diproduksi, kapan berproduksi dan seberapa
dicirikan oleh keterlambatannya, bukan oleh banyak berproduksi, dan industri-industri strategis mana
kebaruannya (seperti disiratkan oleh istilah negara yang didukung. Subsidi diperlukan karena perusahaan-
industri baru). Sebagai negara-negara yang telambat, perusahaan Korea Selatan pada awalnya tidak mampu
perusahaan-perusahaan Asia Timur harus bersaing bersaing melawan produk Jepang. Meskipun pemerintah
dengan perusahaan-perusahaan Barat yang telah mapan Korea Selatan mensubsidi perusahaan-perusahaan
yang dapat menciptakan teknologi baru dengan cukup industri strategis, ia tidak segan untuk menerapkan
cepat untuk mendapatkan rente dari teknologi dan disiplin terhadap mereka. Pemerintah mensyaratkan
mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Tentu saja, tingkat kinerja yang tinggi, terutama dalam bidang
hal ini memungkinkan perusahaan-perusahaan Asia ekspor, sebagai imbalan atas subsidi yang diberikan.
Timur untuk mendapatkan, mempelajari atau meminjam Disiplin demikian mencakup penghargaan bagi kinerja
elemen-elemen yang lebih nyata dari teknologi tertentu yang baik dan sanksi bagi kinerja yang buruk. Karena
dari Barat, tanpa harus mengembangkannya sendiri. pemerintah Korea Selatan sengaja menghindar dari
Namun, pada dasarnya terdapat jurang yang dalam memberikan pertolongan kepada perusahaan-
antara membeli, meminjam atau bahkan mencuri perusahaan yang dikelola secara buruk dalam sektor
elemen-elemen teknologi di satu sisi, dan menguasai industri yang sebenarnya menguntungkan, subsidi
teknologi produksi di sisi lainnya. Sebagai akibatnya, pemerintah tidak menjadi pemborosan sumber daya,
negara-negara developmentalis sering diminta untuk seperti banyak terjadi di negara-negara berkembang.
mengimbangi kelemahan-kelemahan yang dialami
perusahaan-perusahaan Asia Timur dalam kompetisi Hubungan antara negara developmentalis dan institusi-
internasional, sehingga menggeser struktur industri institusi sosial lainnya dalam masyarakat tidaklah lazim.
negara-negara tersebut ke kegiatan-kegiatan yang lebih Hal ini disebabkan karena negara-negara industri baru
dinamis dalam hal teknologi (Wade, 1992). Asia Timur, termasuk Korea Selatan dan Taiwan
mengalami baik otonomi birokrasi dan kerjasama
40 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48

publik-privat (Onis, 1991). Di satu sisi, terdapat tingkat teknologi yang diperlukan bagi perusahaan-perusahaan
otonomi dan kapasitas birokrasi yang tinggi karena Asia Timur untuk memproduksi barang-barang ekspor.
sistem penerimaan berdasarkan kemampuan dan rasa Sebagai hasilnya, meskipun negara-negara industri baru
persatuan dan tugas suci antara para pengelola negara. ini memiliki surplus perdagangan milyaran terhadap
Hal ini memungkinkan negara dan elit-elit birokrasi Amerika Serikat, mereka juga memiliki defisit milyaran
untuk mengembangkan kebijakan pembangunan terhadap Jepang.
strategis nasional dengan terbebas dari pengaruh
kelompok-kelompok kuat lainnya dalam masyarakat. Di Ketiga, terdapat kebijakan yang disebut oleh Bello dan
pihak lain, terdapat hubungan institusional yang erat Rosenfeld (1992) sebagai “kapitalisme komando”.
antara negara developmentalis dan konglomerat, bank Keberhasilan ekspor, bukan alokasi sumber daya secara
dan perusahaan perdagangan di sektor swasta yang efisien, merupakan sasaran utama para teknokrat negara
mendominasi sektor-sektor strategis dalam ekonomi. di Asia Timur. Maka, regim Park Chung Hee di Korea
Hubungan erat ini timbul dari kebijakan negara, karena Selatan memanipulasi suku bunga dan menyalurkan
konglomerat bisnis besar (seperti chaebol di Korea kredit dan subsidi-subsidi lainnya ke konglomerat-
Selatan) baru bisa berkembang akibat insentif khusus konglomerat Korea Selatan, dan negara-negara Taiwan
yang disediakan negara, dan mereka tetap bergantung dan Korea Selatan secara keras melakukan intervensi di
pada negara untuk dapat bertahan. Sebagai akibatnya, pasar tenaga kerja untuk menekan gaji buruh di bawah
sektor swasta bekerjasama dengan erat dengan harga pasar untuk menjadikan ekspor Asia Timur
kebijakan negara untuk memberikan subsidi dan kompetitif di pasar dunia.
disiplin. Onis menyatakan bahwa gabungan otonomi
birokrasi dan kerjasama sektor publik dan privat ini Seperti dijelaskan Koo (1993, dikutip oleh So dan Chiu,
menciptakan negara otonom yang kuat yang tidak saja 1995), tidaklah mungkin memahami proses
mampu merancang sasaran pembangunan strategis, pembentukan negara modern di Korea Selatan secara
namun juga mampu menerjemahkan sasaran luas terpisah dari peninggalan penjajahan Jepang. Di Korea
tersebut ke dalam kebijakan yang nyata dan efektif Selatan, negara kolonial Jepang bersifat komprehensif,
untuk mendorong industrialisasi di Asia Timur. otonom dan menyeluruh, yang tidak dimiliki negara
Korea sebelumnya. Negara kolonial memodernisasi
Terdapat beberapa kondisi khusus yang memungkinkan birokrasi pemerintah, membangun jaringan pasukan
negara-negara developmentalis Asia Timur seperti polisi dan keamanan, menciptakan pemajakan tanah
Korea Selatan dan Taiwan untuk bangkit sebagai modern dan memperbaiki infrastruktur. Berakhirnya
pemain penting dalam ekonomi dunia. Pertama, penjajahan Jepang menciptakan suatu negara yang
kebangkitan ekonomi negara-negara tersebut terkait erat “terlalu berkembang” dan masyarakat sipil yang lemah.
dengan hegemoni politik Amerika Serikat setelah Lebih lanjut lagi, karena borjuasi pribumi Korea Selatan
Perang Dunia Kedua. Korea Selatan dan Taiwan, yang dikendalikan secara ketat oleh negara kolonial Jepang,
dipandang Amerika Serikat sebagai garis depan mereka tidak berkembang dengan baik dan tidak
perjuangan global melawan komunisme, menerima 1,5 mampu membentuk organisasi kelas yang kuat untuk
milyar dollar bantuan ekonomi, dan milyaran dollar melindungi kepentingan mereka. Artinya, mereka
bantuan militer dari Amerika Serikat. Bantuan besar- terlalu lemah untuk melaksanakan proyek industrialisasi
besaran ini memungkinkan Korea Selatan dan Taiwan pada masa setelah penjajahan, dan memungkinkan
untuk bangkit dari kehancuran yang timbul akibat negara untuk memiliki otonomi yang kuat dalam
perang dan pertikaian dalam negeri. Selain itu, Perang merencanakan dan melaksanakan strategi industrinya.
Korea memberikan stimulus yang penting bagi
perekonomian Taiwan dan Korea Selatan dalam bentuk Lebih lanjut lagi, masuknya bantuan Amerika Serikat
pembelian komoditas, pengeluaran rekreasi dan kontrak secara besar-besaran mendukung kemampuan negara di
konstruksi oleh Amerika Serikat (So dan Chiu, 1995). Korea Selatan. Bantuan asing tidak saja membantu
menyelesaikan masalah ekonomi Korea Selatan pada
Kedua, terdapat faktor Jepang. Ketika perusahaan- dasawarsa 1950-an, namun juga memberikan kepada
perusahaan Jepang berusaha menghindari peningkatan negara itu alat-alat yang kuat untuk melakukan intervensi
biaya buruh domestik pada dasawarsa 1960-an dan bidang ekonomi, memaksakan ketaatan sektor swasta
1970-an, pilihan pertama mereka untuk relokasi adalah dan membangun militer yang kuat untuk pertahanan.
bekas jajahannya: Taiwan dan Korea Selatan. Ketika
negara-negara Asia Timur berusaha untuk meniru Namun, negara pembangunan Korea Selatan masih
keberhasilan ekspor Jepang, perusahaan-perusahaan memerlukan dosis kuat otoritarianisme untuk
perdagangan Jepang melaksanakan perdagangan mempertahankan kendalinya terhadap masyarakat sipil.
internasional bagi banyak perusahaan Taiwan dan Korea Represi negara dilakukan untuk melemahkan militansi
Selatan. Terlebih lagi, ketika industrialisasi Taiwan dan buruh. Dalam regim Park, pemogokan buruh dilarang,
Korea Selatan mulai tinggal landas pada 1970-an, serikat-serikat dibubarkan dan para aktivis ditangkap.
Jepang memberikan banyak barang modal, masukan dan Penindasan terhadap buruh ini dilakukan untuk
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48 41

menekan upah buruh, sehingga industri-industri Korea mencemaskan warga asli Taiwan yang memiliki ambisi
Selatan yang padat karya tetap bertahan daya saingnya untuk merdeka. Akibatnya, regim tersebut memelihara
di pasar dunia. sektor negara yang besar untuk mempertahankan
kekuasaan di tangan orang-orang Daratan, dan ia
Selain penindasan terhadap buruh, negara juga menjaga agar kekuatan ekonomi tidak terkonsentrasi di
mendorong ideologi antikomunisme untuk memelihara kalangan warga asli Taiwan. Kemudian, setelah regim
kontrol sosial di masyarakat Korea Selatan. Koo (1993, mengambil alih perusahaan-perusahaan yang dimiliki
dikutip oleh So dan Chiu, 1995) menyatakan bahwa pemerintah kolonial Jepang, ia mengawaki perusahaan-
Perang Korea membantu memapankan antikomunisme perusahaan tersebut terutama dengan warga dari
sebagai ideologi hegemonik di Korea Selatan. Daratan, terutama di bidang manajemen. Dalam konteks
Pengalaman Perang Korea menurunkan konflik ideologi ini, sektor negara memelihara dominasi politik warga
Perang Dingin yang abstrak menjadi pengalaman sehari- Daratan dengan menciptakan suatu lahan ekonomi bagi
hari, psikologi individual dan hubungan sosial pada para perwira, birokrat, anggota partai, usahawan dan
umumnya. Karena Perang Korea tidak pernah diakhiri keluarganya dari Tiongkok Daratan. Sektor negara ini
secara resmi, masyarakat Korea Selatan masih digunakan untuk mengimbangi dan mengontrol sektor-
merasakan ancaman militer terus menerus dari Korea sektor usaha kecil dan menengah yang terutama
Utara yang komunis, sehingga menjadikan dampak didominasi oleh warga asli Taiwan.
perang sedemikian mendalam dan bertahan lama.
Untuk melakukan kontrol sosial terhadap Taiwan, regim
Seperti Korea Selatan, negara di Taiwan juga amat dan partai politik utamanya memasuki dengan dalam
berorientasi pada pembangunan. Sebuah regim masyarakat sipil, untuk dapat meredam pertumbuhan
perdagangan yang kompleks, yang mencakup kuota kekuatan-kekuatan oposisi yang terorganisasi. Lebih
impor, hambatan tarif dan subsidi ekspor ditetapkan lanjut lagi, pengawasan pemerintah dan ancaman represi
untuk mengatur perdagangan luar negeri. Industri- merupakan mekanisme utama bagi pemerintah untuk
industri dasar dan strategis mendapatkan proteksi dari melakukan kontrol terhadap buruh.
persaingan asing, dan industri-industri berorientasi
ekspor diberi insentif. Selain itu, melalui kontrol Baik bagi Korea Selatan maupun Taiwan, kondisi
terhadap sistem keuangan, diberlakukan kontrol kredit otoritarianisme seperti telah saya jelaskan di atas
secara selektif untuk mendorong perkembangan sektor- berubah dengan proses demokratisasi yang terjadi
sektor tertentu, seperti industri berat, pada dasawarsa belakangan. Demokratisasi baru berlangsung setelah
1960-an dan 1970-an. terjadi perkembangan ekonomi yang substansial. Di
kedua negara ini, regim-regim otoriter berhasil
Namun, hubungan negara-modal di Taiwan cukup meningkatkan taraf hidup sebelum transisi demokratik
berbeda dari Korea Selatan dalam aspek-aspek berikut berlangsung. Proses demokratisasi di negara-negara ini
ini. Pertama, sektor negara di Taiwan lebih besar terjadi setelah regim-regim otoriter berhasil menempuh
daripada Korea Selatan (Chiu, 1992, dikutip oleh So dan badai tantangan ekonomi dan kemudian mengundurkan
Chiu, 1995). Rata-rata andil perusahaan publik dalam diri dari kekuasaan setelah cukup lama mempertahankan
produksi domestik bruto Taiwan adalah 15,9% antara pembangunan (Thompson, 1996). Ketika Korea Selatan
1971-1975, nyaris dua kali Korea Selatan yang hanya dan Taiwan melakukan demokratisasi, banyak
8,4% (Short, 1984, dikutip oleh So dan Chiu, 1995). komentator mengatakan bahwa dalam perspektif
Sementara perusahaan-perusahaan publik Korea Selatan komparatif, transformasi politik ini sudah lama tertunda.
umumnya berperan sebagai penyerap resiko yang timbul
dari pembentukan sektor-sektor baru yang kemudian Mengapa pada akhirnya terjadi proses demokratisasi di
bisa diambil alih oleh sektor swasta, perusahaan- Korea Selatan dan Taiwan? Pertama, karena terdapat
perusahaan publik Taiwan cenderung monopolistik dan kelas menengah yang substansial yang menuntut proses
tidak memberikan kesempatan kepada swasta. Kedua, ini. Di kedua negara ini, tiga dasawarsa pembangunan
meskipun sedikit chaebol memonopoli ekonomi Korea yang terus menerus telah menciptakan kelas menengah
Selatan dan mendominasi sektor ekspor, di Taiwan, yang besar, yang dukungannya mutlak diperlukan untuk
perusahaan-perusahaan kecil dan menengahlah yang transisi demokratis yang berhasil. Dukungan kelas
melakukan sebagian terbesar ekspor (Shieh, 1992). menengah kepada mahasiswa dan partai-partai politik di
Ketiga, sementara chaebol-chaebol di Korea Selatan Korea Selatan membantu para perintis reformasi politik
amat tergantung pada kredit dari negara untuk promosi itu memenangkan perjuangan mencapai demokrasi pada
ekspor, perusahaan-perusahaan kecil dan menengah di akhir 1980-an. Di Taiwan, pembangunan membantu
Taiwan harus membiayai diri sendiri atau menggunakan menciptakan sekelompok profesional intelektual yang
pasar uang informal. menjadi pemimpin kegiatan oposisi. Mereka terkait erat
dengan banyak usahawan kecil yang menjadi makmur
Regim Taiwan, yang hingga belakangan didominasi dalam strategi industrialisasi berorientasi ekspor.
oleh partai politik nasionalis dari Tiongkok Daratan Strategi pembangunan yang menciptakan kelas
42 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48

menengah ini menciptakan jalan bagi transisi pembangunan yang baik, menjadi lebih demokratis.
demokratis. Hanya Indonesia, terutama selama masa Suharto,
menunjukkan bagaimana ketergantungan yang besar
Dalam proses tumbuhnya kelas menengah yang pada minyak bumi mengisolasi regim dari tekanan
memperkuat masyarakat sipil, ideologi pembangunan untuk melakukan demokratisasi. Setelah krisis finansial
otoriter melemah. Sebagai negara keamanan, Asia tahun 1997 melanda, regim ini tidak mampu
menurunnya ancaman invasi dari Korea Utara dan menahan pukulannya. Faktor-faktor lain yang juga
Tiongkok Komunis akan mengurangi pembenaran bagi penting, selain ketergantungan pada sumber daya alam
pemerintahan kediktatoran. Bagi kedua negara ini, dalam menganalisis hubungan negara dan masyarakat,
sasaran untuk memajukan ekonomi secara substansial adalah kapasitas negara, otonomi negara dan kekuatan
relatif telah tercapai. Ideologi pembangunan otoriter negara. Struktur sosial dan tradisi demokrasi juga
dilemahkan oleh keberhasilan pembangunan (Thompson, penting untuk dianalisis. Peran militer adalah faktor
1996). Ketika kelas menengah berkembang di Korea penting lainnya. Kesimpulannya, tidak ada bukti yang
Selatan dan Taiwan, secara bertahap muncul konsensus tegas dalam hal ini berdasarkan analisis komparatif
antara negara dan masyarakat bahwa pembangunan terhadap Indonesia, Venezuela, Korea Selatan dan
ekonomi telah cukup maju untuk melaksanakan Taiwan dalam konteks studi-studi relevan yang tersedia.
demokratisasi. Di Korea Selatan, misalnya, pemerintah
militer mencapai titik ketika mereka akhirnya memilih Korupsi, Kroniisme, Kolusi dan
untuk mengakomodasi tuntutan terus menerus dari Pembangunan
masyarakat sipil, alih-alih menggunakan represi lebih
lanjut. Baik di Korea Selatan maupun Taiwan, regim- Sebuah analisis komparatif tentang hubungan antara
regim otoriter mengalah pada tuntutan masyarakat korupsi, kroniisme, kolusi dan pembangunan adalah hal
ketika tingkat pembangunan ekonomi yang cukup tinggi yang menarik dan penting. Dalam konteks ini,
telah tercapai. Demokratisasi yang tertunda mengikuti pembahasan akan dipusatkan pada perbandingan antara
industrialisasi yang tertunda di negara-negara Indonesia dan dua negara berkembang lain yang juga
developmentalis, Korea Selatan dan Taiwan, karena kaya sumber daya alam dengan tingkat korupsi,
demobilisasi buruh dan ketergantungan usaha yang kroniisme dan kolusi yang tinggi pula, seperti Nigeria
menyertai keberhasilan industrialisasi yang didorong dan Zaire.
ekspor menunda tekanan untuk melakukan transisi lebih
awal. Regim Orde Baru di Indonesia selalu mendasarkan
legitimasi politiknya pada pembangunan ekonomi.
Dalam menyimpulkan sejumlah pembahasan mengenai Regim ini melakukan perubahan yang kemudian
perbandingan keempat negara itu, jelas bahwa membentuk perilaku belanjanya dengan cara yang khas.
keberadaan atau ketiadaan sumber daya alam merupakan Pertama, kapasitas negara diperkuat dengan menunjuk
determinan mendasar dari strategi pembangunan tertentu para teknokrat Bappenas yang kebijakan nilai tukar
yang dipilih pada saat tertentu oleh negara-negara yang bebasnya dan aturan anggaran berimbangnya menjadikan
sedang dibahas. Indonesia dan Venezuela, yang memiliki Indonesia negara pengekspor minyak yang lebih
kekayaan yang didapatkan dari ekspor minyak, memilih fleksibel dibandingkan negara-negara pengekspor minyak
arah pembangunan yang berbeda dari Korea Selatan dan lainnya. Perbedaan yang lain adalah target pajak yang
Taiwan yang miskin sumber daya. Selain faktor sumber lebih beragam dan disiplin fiskal yang lebih tegas.
daya alam, terdapat faktor-faktor lain yang penting dalam Kedua, Indonesia juga mampu menghindari pembusukan
mnentukan strategi pembangunan yang dipilih negara- serius sektor pertanian karena regim ini menjadikan
negara itu. Faktor-faktor kondisi sejarah selama pertanian, terutama swasembada beras, sebagai kebijakan
pembentukan negara haruslah dipertimbangkan. pembangunan yang mendasar.
Keberadaan ancaman dari luar merupakan faktor lain.
Peran militer dan institusionalisasinya, dan hubungan Di Nigeria, perusahaan-perusahaan asing mengeksploitasi
antara negara dan sektor usaha merupakan faktor-faktor minyak bumi relatif belakangan, dan ekspor pertama
lain yang harus dipertimbangkan. kalinya praktis terjadi ketika kemerdekaan di tahun
1960. Sebuah negara baru yang lemah tidak mampu
Ketergantungan yang besar pada ekspor sumber daya mengarahkan atau meredam proses “minyakisasi”.
alam tidak dengan sendirinya memiliki dampak yang Praktis tidak ada dasar untuk menciptakan legitimasi
besar pada karakter hubungan negara dan masyarakat. regim atau otoritas negara. Peninggalan Inggris yang
Seperti ditunjukkan kasus Venezuela, negara ini mempersatukan kelompok-kelompok etnis yang semula
memiliki tradisi demokrasi dengan kesepakatan otonom menjadi satu wilayah dan kemudian melakukan
meskipun ia tentu saja amat bergantung pada ekspor strategi divide et impera memastikan bahwa Nigeria
minyak bumi. Di pihak lain, baik Korea Selatan maupun akan mengalami kesulitan besar dalam menciptakan
Taiwan, meskipun miskin sumber daya alam adalah institusi-institusi politik yang mampu mendapatkan
negara otoriter, dan baru setelah mencapai hasil kesetiaan dari semua warga Nigeria. Praktis tidak ada
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48 43

perlawanan ketika minyak bumi menjadi sektor semula merupakan pengekspor hasil pertanian, menjadi
dominan dalam ekonomi. pengimpor besar produk pangan. Pada dasawarsa 1980-
an, ketika harga minyak jatuh, tidak seperti Indonesia
Eksploitasi minyak mengubah negara Nigeria dengan yang memberagamkan basis ekonominya ke sektor-
cara yang akan menjadikan stabilitas regim apapun yang sektor manufaktur di luar minyak, Nigeria mengalami
ditempatkan di sana semakin menjadi tergantung pada kekacauan ekonomi yang menjatuhkan para pemimpin
fluktuasi harga dibandingkan negara-negara pengekspor militer dan pada akhirnya mendorong transisi politik
minyak lainnya, dengan mengabaikan tingkat fluktuasi dari pemerintah militer ke pemerintah sipil. Pemerintah
tersebut. Pada awal dasawarsa 1970-an, pemerintah sipil ini kemudian digantikan oleh regim militer Abacha
pusat menjadi fokus dari bukan saja tuntutan kelas, yang dicirikan oleh ketidakstabilan makroekonomi,
melainkan juga tuntutan berbagai kelompok etnis dan yang disertai oleh peningkatan korupsi, ketidakstabilan
agama. Tidak mengherankan bahwa distribusi sosial yang semakin luas, pembusukan institusi dan
petrodollar menjadi mekanisme utama untuk mendapat infrastruktur, ketidakstabilan pasar, ketidaktaatan
loyalitas dan memelihara perdamaian sosial dalam hukum domestik dan isolasi internasional. Hanya
sistem yang rapuh dan terpecah belah (Watts, 1987 & belakangan saja pemerintahan sipil yang dipilih secara
Diamond, 1990, dikutip oleh Evans, 1995). demokratis bisa berdiri kembali. Nigeria tidak saja
merupakan contoh negara petro-state; ia juga
Nigeria dapat relatif terdesentralisasi karena susunan merupakan negara predatoris (Evans, 1995).
rapuh kesetiaan yang didapatkan dengan mahal,
identitas yang saling bertentangan dan penghasilan yang Negara yang bahkan lebih predatoris adalah Zaire,
tidak pasti, yang dengan sendirinya menimbulkan terutama di bawah pemerintahan Mobutu Sese Seko.
ketidakstabilan. Pada periode 1970 hingga 1985, Evans menunjukkan bahwa Zaire di bawah Mobutu
Nigeria diperintah oleh lima pemerintahan militer dan merupakan contoh terjelas negara predatoris. Ia
satu pemerintahan sipil, dan hampir semua pergantian memangsa warganya sendiri, meneror mereka,
pemerintahan berdekatan dengan pergeseran harga merampas hak milik bersama mereka dan sebaliknya
minyak bumi (Karl, 1997), tidak banyak memberikan layanan. Pemerintah Zaire
selalu mampu memperoleh dan dan mengeksploitasi
Tidak seperti Indonesia, Nigeria praktis tidak memiliki sumber daya, namun ia nyaris tidak mampu untuk
tatanan negara atau regim berkuasa yang mampu mengubah ekonomi dan struktur sosial. Callaghy (1984)
melakukan administrasi cukup baik untuk melawan menekankan ciri-ciri patrimonial regim Mobutu, yang
godaan perburuan rente, sehingga pemborosan terus merupakan gabungan tradisionalisme dan kesewenang-
menerus dan hutang yang berlebihan menjadi wenangan yang oleh Weber dikatakan sebagai ciri-ciri
kemungkinan yang besar, atau malah keniscayaan. Pada negara prakapitalis. Sesuai dengan tradisi patrimonial,
tahun 1973 godaan ini diperparah dengan beban yang kontrol aparat negara berada pada sekelompok kecil
amat mahal untuk merekonstruksi negara yang baru orang yang terhubung secara pribadi. Personalisme dan
mengalami perang saudara. Perubahan regim militer ke penjarahan di tingkat atas menghancurkan kemungkinan
sipil yang memakan biaya menambahkan sifat negara tindakan yang berdasarkan aturan di tingkat bawah
yang tidak pasti dan memperburuk ketatanegaraan. birokrasi, dan memberikan kesempatan sebebas-
bebasnya untuk memperbesar keuntungan pribadi.
Lingkaran setan ketidakstabilan regim mendorong
kebergantungan pada petrodollar untuk membeli Ketiadaaan birokrasi merupakan masalah utama di
kesetiaan dan patronase minyak, petrodollar Zaire. Kohesi korporatis, bila dapat dibilang demikian,
menciptakan bentuk perburuan rente politis yang akut. hanya terdapat dalam kapasitas represi negara, dan hal
Karena ketidakstabilan sedemikian tinggi, regim politik itupun tergantung pada sekutu-sekutu Baratnya yang
berumur singkat, yang memperparah karakter predatoris kuat. Regim Mobutu juga efektif dalam merusakkan
dari negara petro-state. Di Nigeria, korupsi menjadi masyarakat sipil. Tanpa program ekonomi dan
endemik. transformasi ekonomi, negara predatoris terancam oleh
agenda alternatif potensial dari masyarakat sipil. Maka
Yang membuat keadaan semakin buruk, belanja kinerja pembangunan yang buruk, demikian pula organisasi
pemerintah yang melonjak tinggi menciptakan proses internal dan struktur ikatan negara-masyarakat yang juga
“minyakisasi” yang merupakan salah satu contoh lemah merupakan ciri-ciri utamanya.
“penyakit Belanda” yang terburuk. Tidak seperti
Indonesia, yang memberikan perhatian besar pada Bila dilakukan penelitian terhadap dampak korupsi,
pertanian, di Nigeria, penyakit Belanda memperburuk klienteleisme dan kroniisme dalam pembangunan
sektor pedesaan dan bidang-bidang ekonomi produktif ekonomi Indonesia dengan membandingkannya dengan
lainnya. Pertanian menurun tajam dengan menurunnya Nigeria dan Zaire, dalam konteks spektrum konseptual
jumlah pekerja di bidang pertanian, dan produksi negara predatoris ke developmentalis, terdapat beberapa
tahunan hasil bumi jatuh dengan dramatis. Nigeria, yang kesimpulan menarik yang dapat ditemukan. Zaire di
44 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48

bawah Mobutu merupakan kasus terjelas negara Analisis Peluso terhadap budaya kontrol diawali dengan
predatoris. Nigeria relatif kurang predatoris peran negara, struktur akses yang diciptakannya dan
dibandingkan Zaire, namun karena kebergantungan mekanisme kontrol yang ada. Pertanyaan utamanya
yang besar pada penghasilan dari minyak, masih lebih adalah “Bagaimanakah kekuasaan negara mengelola
predatoris dibandingkan Indonesia. Indonesia memiliki sumber daya alam? Apa kepentingan material dan
elemen-elemen predatoris dan developmentalis. ideologi organisasi pemerintah dan agen-agennya yang
Meskipun pemerintah Indonesia menguras sumber daya berusaha mengontrol sumber daya tersebut? Bagaimana
alam dengan disertai perburuan rente politis dan kekuasaan diejawantahkan? (Peluso, 1992). Negara
pembagian rente, setidaknya pada masa Suharto ia mengklaim kontrol absolut terhadap lahan yang
menanamkan kembali modal dalam pembangunan diklasifikasikan sebagai hutan negara dan semua pohon
ekonomi. jati. Dua puluh tiga persen tanah di Jawa
diklasifikasikan (secara politis) sebagai hutan negara;
Lingkungan Hidup dan Pembangunan dua pertiganya adalah untuk hutan produksi (terutama
kayu jati) dan dikelola oleh Perum Perhutani. Sepertiga
Hubungan antara lingkungan hidup dan pembangunan penduduk pedesaan Jawa tinggal di desa-desa di sekitar
dianalisis dalam perbandingan sektoral antara sektor tanah hutan. Sumber daya kehutanan utama bagi
minyak dan gas alam, dan sektor kehutanan Indonesia di pemerintah adalah kayu jati, sementara bagi sebagian
pembahasan dalam buku Peluso “Rich Forests, Poor terbesar masyarakat pedesaan di wilayah-wilayah
People” (1992). Sebelum membandingkan hubungan berhutan di Jawa, sumber daya utama bagi mereka
lingkungan hidup dan pembangunan dalam sektor adalah lahan pertanian. Perusakan lingkungan hidup
energi dan kehutanan, saya akan memberikan gambaran yang terparah biasanya terjadi di daerah-daerah tempat
umum tentang argumen-argumen utama Peluso. Saya pecahnya pertentangan antara kedua kepentingan ini.
akan kemudian membahas kemiripan dan perbedaan
sektor-sektor ini dalam masa Orde Baru Suharto (1966- Reboisasi tanah negara dilakukan dengan memberikan
1997) dengan perhatian khusus pada peran negara akses sementara kepada para petani ke lahan-lahan
dalam ekonomi politik Indonesia. untuk pertanian, dengan imbalan menanam dan
melindungi bibit-bibit pohon. Dengan memperhatikan
Karya Peluso, “Rich Forests, Poor People” kurangnya lahan pertanian, dan status ekonomi marjinal
mengungkapkan akar-akar konflik kehutanan di sebagian besar kalangan warga wilayah berhutan,
kontemporer dalam sejarah panjang pertentangan klaim mereka berkepentingan untuk selama mungkin menunda
antara buruh tani dan negara, dan dalam gambaran- reboisasi, sehingga menjamin kesempatan bagi mereka
gambaran yang saling bertentangan tentang arti dan untuk bercocok tanah. Dalam hal ini, Peluso
fungsi hutan. Dalam tinjauan yang dianalisis dengan menunjukkan bahwa istilah “penggundulan hutan”
baik dan mendetil mengenai politik kehutanan Jawa ini, menjadi istilah yang tidak jelas dan bermuatan. Dalam
Peluso menempatkan perubahan lingkungan dalam pandangan Perhutani, tanah negara yang telah
konteks sejarah, politik dan sosial. Peluso menampilkan digunakan untuk pertanian, atau tanah tempat usaha
pertanyaan-pertanyaan penting tentang negara sebagai reboisasi gagal, disebut “gundul”. Namun para petani
agen konservasi dan penggunaan ideologi konservasi tidak menganggap hal ini sebagai degradasi terhadap
untuk melegitimasi langkah-langkah koersif dalam basis sumber daya mereka.
mendapatkan kontrol negara atas sumber daya.
Lingkungan hidup tampil sebagai medan pertikaian Kebijakan kehutanan Indonesia menggunakan
politik, ekonomi dan ideologi. pendekatan dua jalur yang menggabungkan langkah-
langkah “represif” dan “preventif” untuk “keamanan
Tujuan utama Peluso adalah untuk menunjukkan bahwa hutan”. Konsep keamanan hutan merupakan konstruksi
metode-metode koersif dalam kontrol kehutanan negara yang melegitimasi dan memungkinkan kontrol
menimbulkan lebih banyak, bukan semakin sedikit, monopolistik terhadap sumber daya hutan, yang
kerusakan hutan, yang pada akhirnya mengganggu berdasarkan pada redefinisi penggunaan-penggunaan
kepentingan ekonomi negara. Selain itu, meskipun kekayaan hutan secara tradisional sebagai “tindak
terdapat klaim memajukan pembangunan desa, pidana”. Menebang pohon jati dewasa, memotong kayu
kebijakan negara gagal menyelesaikan masalah tanpa izin, menggembalakan ternak di wilayah-wilayah
kemiskinan struktural di desa-desa yang memaksa terbatas, membuat api dan melanggar tanah hutan
warga desa melakukan “tindak-tindak pidana” terhadap adalah tindakan-tindakan yang dipidanakan. Hukum
hutan. Inti argumennya adalah tinjauan berganda Indonesia mengkodifikasi kontrol negara terhadap
terhadap konflik antara budaya kontrol negara dan semua kegiatan di tanah-tanah hutan dan menjustifikasi
budaya perlawanan masyarakat, yang menimbulkan praktik keamanan dan pengawasan yang koersif.
ketegangan sosial dan pembusukan lingkungan hidup.
Pemerintah Indonesia mewarisi struktur institusional
Perhutani dari kolonialis Belanda. Ideologi dan praktik
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48 45

Eropa untuk manajemen kehutanan ilmiah tetap properti negara, dan apa yang disebut Peluso sebagai
bertahan sebagai kerangka normatif untuk melakukan “perampasan kembali” (counterappropriation) kayu
manajemen “berkelanjutan”. Ilmu kehutanan bukan saja jati. Terdapat “budaya perlawanan” di kalangan warga
suatu ilmu pengetahuan, namun juga sistem kontrol desa. Warga desa melawan kontrol dari luar, namun
ekonomi politik yang sejak kemerdekaan Indonesia perlawanan ini terganggu oleh para pelaku pasar gelap
dirasuki oleh ideologi nasionalis yang melegitimasi kayu jati, dan agen-agen kehutanan yang tindakannya
kebijakan dan pengawasan hutan oleh negara. Seperti seringkali memperkuat privilese akses berdasarkan
dikatakan Anderson (1991), dengan “memitologikan kelas. Peluso, dalam mengakui pentingnya “perlawanan
masa lalu” hutan dijadikan sebagai simbol nasional, sehari-hari” tidak mereduksi tindakan warga desa
yang merupakan hak sah negara bangsa yang baru. menjadi perjuangan kelas implisit, dan ia tidak
Dalam pandangan Perhutani, tidak ada hubungan antara membantah ambiguitas posisi mereka. Tindakan-
kekurangan tanah di masa kini dan “tindak-tindak tindakan perlawanan timbul dari berbagai macam motif,
pidana” kehutanan dan dampak sejarah kebijakan hutan bergantung pada keadaan-keadaan yang berbeda-beda
yang tidak melibatkan masyarakat. Hubungan sejarah dan ikatan-ikatan sosial individual. Peluso juga
masyarakat dengan hutan dicoba dihapuskan, dan memperhatikan bahwa para petugas lapangan Perhutani
gagasan tentang produk hutan “tradisional” mengalami pertentangan subjektif mereka dalam
didefinisikan ulang sebagai produk-produk yang paling tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan: untuk
mungkin diproduksi dalam skala besar. Artinya, sejarah menanam dan melindungi pohon-pohon, dan untuk
diimajinasikan kembali untuk kepentingan negara yang mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan.
dominan.
Dalam karyanya “Rich Forest, Poor People” (Peluso,
Di Jawa, negara telah memonopoli ideologi dan 1992), ia menyatakan bahwa pengungkapan asal muasal
diskursus konservasi, meskipun memang didukung kepentingan yang saling bertentangan, akar-akar
perhatian internasional tentang penggundulan hutan. sejarah, ideologi dan ekonomi dan tempat-tempat
Karena produksi kayu jati secara berkelanjutan mutlak terjadinya konflik merupakan syarat mutlak untuk
terkait dengan pemeliharaan hutan, kebijakan negara usulan kebijakan. Maka, degradasi ekologis dan
bisa dengan mudah digariskan dalam terminologi perampasan haruslah diteliti dengan memperhatikan
konservasi lingkungan hidup. Agen-agen Perhutani proses sejarah, praktik sosial dan mediasi simbolis.
percaya bahwa mereka sedang mendorong bentuk
penggunaan sumber daya yang efisien dan rasional yang Dalam karyanya, Peluso menekankan pentingnya peran
“dilakukan untuk kemakmuran rakyat banyak.” negara dengan struktur akses yang dibentuknya dan
Kemakmuran ini dicoba untuk dicapai dengan produksi mekanisme-mekanisme kontrol yang ada dalam konteks
kayu jati. Sebaliknya, masyarakat secara historis budaya kontrol yang sedemikian marak di Indonesia,
memahami tanah dengan memperhatikan nilai terutama dalam masa Orde Baru (1967-1998). Dalam
kegunaannya, bukan nilai tukar pohon-pohon yang membandingkan sektor energi (terutama minyak) dan
tumbuh di atasnya. kehutanan (terutama kayu jati), ciri-ciri tertentu negara
Indonesia dapat digeneralisasi dan dijadikan dasar
Dalam menanggapi perlawanan masyarakat dengan perbandingan.
terkait perubahan ekologis, Peluso menempatkan
karyanya dalam tradisi intelektual sejarah sosial dan Perkembangan industri minyak maupun kayu
ekologi politis. Ia menekankan sejarah perubahan sosial dipengaruhi oleh sejarah Indonesia, termasuk
dan ekologis yang saling terkait, dan pertikaian rakyat- peninggalan kolonial, hubungan kelas dan hubungan
negara untuk mendapatkan dan mengelola sumber daya. negara-swasta. Juga, geopolitik pembangunan dan
Karyanya menjelaskan seperangkat hubungan yang “iklim investasi” atau tingkat keterbukaan terhadap
rumit dan kabur antara negara, agen-agennya dan kelas- modal asing atau modal bergerak telah mempengaruhi
kelas serta faksi-faksi di pedesaan. kepentingan dan tindakan-tindakan perusahaan-
perusahaan dan individu-individu di kedua sektor.
Perlawanan rakyat terhadap sasaran kehutanan negara Warisan Sukarno kepada Suharto dari masa
timbul dari kriminalisasi hak-hak tradisional atas akses pascakolonial awal yang nasionalis,adalah untuk
dan pengelolaan hutan. Sebelum adanya kontrol negara, mencegah modal asing mendapatkan akses dan kontrol
tanah tidak dimiliki secara individual; hak untuk mudah untuk mengeksploitasi sumber daya alam,
bercocok tanam didapatkan dengan membersihkan termasuk minyak bumi dan kayu. Namun otonomi
lahan dan memeliharanya. Klaim-klaim luar melanggar potensial dan kapasitas nyata negara Orde Baru
kepercayaan tradisional bahwa hutan merupakan milik berbeda-beda antarsektor dan tergantung interaksi
masyarakat yang tinggal di sekitar batas-batasnya. antara kedua sektor.
Perlawanan rakyat mengambil berbagai bentuk, mulai
dari ketidaktaatan terhadap hukum tentang hutan dan Sebelum menunjukkan perbandingan lebih lanjut antara
program reboisasi, hingga perusakan sengaja terhadap kedua sektor, ada satu hal utama yang perlu dijelaskan
46 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48

dalam konteks karya Peluso. Perlu ditekankan bahwa swasembada beras. Di sisi lainnya, kekuatan modal
sektor kayu dalam konteks ini adalah kayu selain jati global masih tetap bertahan (Gellert, 1998).
yang diekspor dari pulau-pulau luar (selain Jawa)
terutama dari Kalimantan. Alasan mengapa sektor kayu Dalam sektor kayu, negara juga terlibat sejak awal,
selain jati dari pulau-pulau luar ini dipilih untuk namun karena waktu dan ciri sektor tersebut, ia tidak
dibandingkan dengan sektor minyak adalah kenyataan terlalu banyak mengontrol langsung sektor tersebut.
bahwa Indonesia mendapatkan sebagian terbesar Setelah arus ekspor kayu hasil pembalakan dibuka,
penghasilan negara dari sektor-sektor ini di provinsi- negara praktis mengontrol sumber daya tersebut secara
provinsi luar. Alasan yang sama inilah yang menjadikan terpusat, serupa dengan kontrolnya terhadap minyak.
perbedaan dengan karya Peluso tentang hutan jati di Seperti dalam sektor minyak, negara menekan modal
Jawa begitu menarik dan penting. Perbedaan ini tidak asing untuk mengizinkan pemrosesan industri hilir yang
berarti bahwa sama sekali tidak terdapat perbedaan. memberikan nilai tambah. Meskipun larangan ekspor
Saya akan membahas lebih lanjut apa kemiripan dan kayu gelondongan kemudian diberlakukan, ketika pasar
perbedaan yang ada. internasional tidak lagi mendukung. Indonesia tetap
berusaha. Pendapatan tinggi dari minyak pada
Di sektor minyak, ciri-ciri komoditas ini memberikan dasawarsa 1970-an dan awal 1980-an memberikan
kesempatan bagi regim pascakolonial yang nasionalis ruang politik bagi pemerintah Indonesia untuk
untuk mencapai sasaran pembangunan yang menggunakan sektor kehutanan untuk patronase lebih
sebagiannya dilanjutkan oleh regim Orde Baru. Sifat daripada sektor minyak.
padat modal dari industri minyak dan pentingnya bagi
produksi industri di masa pertumbuhan pascaperang, Sektor perkayuan memberikan kesempatan dan
dan sejarah perkembangan industri minyak, memiliki tantangan tidak seperti di sektor minyak, bagi sebuah
arti bahwa perusahaan-perusahaan internasional dan negara yang kekuatannya sebagian besar berdasarkan
negara-negara inti amat tertarik untuk ekstraksi minyak pada patronase (Gellert, 1998). Ciri sumber daya
secara tepat waktu dan ekonomis dari semua sumber kehutanan Indonesia yang lebih kabur dan dapat dibagi-
yang tersedia. Meskipun pemerintah Indonesia bagi memungkinkan negara untuk membagi-bagikan
memerlukan devisa dari sektor minyak, Sukarno patronasenya kepada sejumlah besar perusahaan, pada
mencegah perkembangan sektor ini di dasawarsa 1950- awalnya perusahaan-perusahaan asing yang
an. Penundaan dan tantangan terhadap hegemoni dunia bekerjasama dengan rekanan domestik, terutama dari
oleh Amerika Serikat ini memberikan kesempatan lebih militer. Ciri yang sama itu pula yang menyebabkan
belakangan bagi Indonesia, terutama dengan negara lebih sukar untuk mengontrol kegiatan di
memperhatikan biaya transpor yang lebih rendah ke lapangan. Maka tidak mengherankan bahwa kontrol
pasar Jepang yang sedang bertumbuh, dan ranah dialihkan kepada sekutu dan kroni kepercayaan Suharto,
pengaruh Jepang di Asia (Gellert, 1998). Bob Hasan. Klien-klien swasta dari negara, bukan aktor
negara, seperti Bob Hasan dan Ibnu Sutowo di sektor
Negara mengambil kesempatan untuk menegaskan minyak, merupakan orang-orang yang digunakan
kemerdekaannya dari modal internasional dan Suharto untuk memfokuskan energinya dalam sektor-
mengembangkan industri nasional minyak yang unik. sektor penting tersebut.
Dengan memperhatikan kekuatan modal minyak
internasional dan kesediaan negara-negara inti untuk Terdapat pula isu-isu subnasional yaitu otonomi daerah
terlibat dalam perundingan untuk akses ke bahan-bahan dan kemampuan daerah yang berbeda antara minyak
mentah yang penting, nasionalisasi dihindari, bahkan dan kayu. Produksi minyak yang berupa enklaf, dan
oleh Sukarno. Presiden Suharto, meskipun lebih terbuka ketergantungan pada sumber modal dan teknologi asing
bagi modal asing, menarik garis yang tipis antara dalam jumlah besar menjadikan sektor ini lebih
menantang dan bermusuhan dari modal tersebut, dengan mungkin dikontrol secara terpusat oleh negara. Hal ini
mempercayakan kepada Ibnu Sutowo untuk secara terutama berlaku dengan meningkatnya produksi
pribadi mengelola industri minyak. minyak lepas pantai. Sebaliknya, produksi kayu,
haruslah diperluas ke dalam wilayah hutan-hutan rimba.
Di satu sisi, keuntungan yang didapatkan dari sektor Untuk bisa mengarahkan perkembangan industri
minyak meningkat dengan signifikan, dan inovasi pembalakan, negara Indonesia yang terpusat setidaknya
kontrak bagi produksi menciptakan cara baru berbagi harus mendapatkan kerjasama dari aktor-aktor
keuntungan dan kontrol terhadap sektor minyak yang subnasional yang mungkin menginginkan sebagian dari
kemudian ditiru di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia keuntungan. Di sisi lainnya, negara bisa dan memang
kemudian menggunakan keuntungan dari sektor minyak mensyaratkan bahwa institusi-institusi subnasional
tersebut untuk melakukan ekspansi ekonomi, termasuk tersebut bertanggung jawab untuk meredam dampak
memberikan kesempatan kepada warga pribumi yang di sosial dan ekologisnya.
bidang ekonomi kurang maju dan mencegah keresahan
masyarakat dengan menanamkan modal untuk mencapai
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48 47

Dalam membandingkan sektor minyak dan kayu di alam, bukan pulau-pulau lain yang kekurangan
Indonesia dalam masa regim Suharto dalam konteks penduduk dan kaya sumber daya alam, yang merupakan
peran negara, dan menggunakan analisis konseptual wilayah-wilayah utama sektor kehutanan Indonesia.
Evans tentang spektrum predatoris-developmentalis, Jadi, perbedaan-perbedaan penting ini menempatkan
pemerintah Indonesia bersifat kompleks (Gellert, 1998). karyanya pada konteks sejarah, politik dan sosial yang
Seperti di negara predatoris pada umumnya, sumber spesifik.
daya dimanfaatkan untuk kepentingan para pemimpin
negara dan orang-orang yang terkait dengan para Dalam konteks kelebihan penduduk dan kurangnya
pemimpin. Orde Baru telah mengalokasikan sektor- sumber daya alam namun dengan anugerah tanah yang
sektor minyak dan kayu secara berbeda kepada subur yang merupakan ciri Jawa, timbullah konflik
individu-individu demikian. Seperti di negara politik, sosial dan sejarah antara badan-badan
developmentalis pada umumnya, di sisi lainnya, telah pemerintah dan penduduk setempat. Pada saat yang
tercipta birokrasi profesional di beberapa bagian sama Jawa juga merupakan pusat politik dan ekonomi
pemerintah Indonesia, dan telah ada investasi di usaha- negara ini. Maka, kontrol oleh badan negara dan
usaha produksi dan juga pertanian untuk memenuhi perlawanan penduduk setempat dirasakan dengan lebih
keperluan penduduk yang besar dan menciptakan dasar kuat dibandingkan bila terjadi di daerah-daerah produksi
legitimasi politik regim Suharto yang selalu berdasar utama lainnya dalam sektor kehutanan Indonesia.
pada pertumbuhan ekonomi. Pada titik-titik Penetrasi negara melalui badan-badannya dan metode-
persimpangan yang penting, seperti krisis Pertamina, metode koersif digunakan dengan lebih mendalam di
Suharto dapat bergantung kepada para teknokrat Jawa dibandingkan di pulau-pulau lainnya.
Bappenas untuk mengelola variabel-variabel
makroekonomi ke arah rasionalitas ekonomi dan Perbedaan mendasar tersebut tidak berarti bahwa tidak
transparansi untuk menjaga arus masuk penanaman ada perbedaan antara Jawa dan pulau-pulau lainnya
modal asing ke negara ini. dalam sektor kehutanan. Hukum Indonesia yang
mengkodifikasi kontrol negara terhadap semua kegiatan
Pemerintah Indonesia dalam masa ini menunjukkan di tanah-tanah hutan dan menjustifikasi praktik
bahwa ia memiliki elemen-elemen baik negara keamanan dan pengawasan yang koersif juga berlaku di
predatoris maupun developmentalis (Gellert, 1998). wilayah-wilayah yang sama. Ilmu kehutanan yang
Negara terus menciptakan kondisi-kondisi yang dirasuki ideologi nasional digunakan juga, tidak saja
mendukung bagi predator untuk kembali menanamkan oleh badan-badan dan institusi-institusi negara, namun
modalnya di Indonesia. Sementara memberikan juga oleh perusahaan-perusahaan milik swasta dan
kemurahan kepada beberapa pihak, termasuk hak untuk militer di Kalimantan yang mengoperasikan sebagian
menguras kekayaan alam, kemurahan-kemurahan besar hak penguasaan hutan. Berbagai suku Dayak di
tersebut bukan tanpa muatan dari pemerintah, seperti Kalimantan juga tidak diakui sejarah hubungannya
untuk menciptakan industri lokal yang memilii dampak dengan hutan-hutan, seperti pula warga-warga pedesaan
pembangunan yang diakui secara global. Memang cara di Jawa. Mereka juga mengalami kriminalisasi terhadap
ini merupakan bentuk predasi, karena bergantung pada hak-hak tradisional mereka untuk memasuki dan
ekstraksi sumber daya alam dengan masa depan yang memanfaatkan hutan. Negara menyalahgunakan
pada akhirnya terbatas, namun ia terus menciptakan ideologi “pembangunan nasionalis” untuk menyita
penanaman modal kembali dan mendorong modal tanah dan hutan dari penduduk desa Jawa maupun
domestik maupun asing. Apakah industri-industri yang warga Dayak. Tingkat penetrasi negara mungkin
dikaitkan kepada minyak dan kayu (terutama kayu memang berbeda, tetapi dominasi ini tetap dirasakan
lapis) ini seefisien yang diharapkan ataupun tidak, oleh warga setempat di manapun di seluruh negeri.
masih terdapat cukup akumulasi bagi para pemimpin
Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri ataupun Perbedaan antara produksi kayu jati di Jawa dan
kepentingan lainnya. produksi minyak di pulau-pulau lain seperti Kalimantan
bukan hanya geografis. Perbedaan ciri antara kedua
Karya Peluso tentang kontrol sumber daya alam dan komoditas tersebut telah jelas. Sebagian terbesar
perlawanan di Jawa bukan saja suatu karya perintis, wilayah produksi minyak ditemukan di pulau-pulau luar
namun juga sumbangan yang unik pada diskursus sektor yang jarang penduduknya, dan juga merupakan enklaf-
kehutanan di Indonesia pada masa Orde Baru. Tidak enklaf yang hampir terisolasi dari lingkungan sekitarnya
seperti karya-karya lainnya dalam analisis kehutanan dan tidak memberikan keuntungan apapun. Misalnya, di
Indonesia, ia membahas dan menganalisis hutan-hutan Kalimantan Timur, sebelum dimulainya eksplorasi dan
jati dan ekspornya, dan bukan kayu selain jati yang eksploitasi minyak, tidak banyak penduduk hidup di
merupakan sumber devisa penting bagi sektor wilayah pantai tempat hampir semua industri minyak
kehutanan Indonesia. Sebuah perbedaan utama dan lepas pantai dibangun. Suku-suku Dayak hidup jauh di
penting lainnya adalah bahwa ia membahas pulau Jawa, pedalaman, di hutan rimba luas, tempat hampir semua
yang kelebihan penduduk dan miskin sumber daya HPH terletak.
48 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 33-48

Dalam pengamatan saya, perbedaan ini tidak Anderson, Benedict. 1991. Imagined Communities. New
menegasikan kegunaan karya Peluso. Lebih penting York: Verso.
lagi, analisisnya tentang budaya kontrol yang diawali
dengan peran negara, struktur akses yang dibentuknya Bello W. dan S. Rosenfeld. 1992. Dragons In Distress:
dan mekanisme kontrol akan tetap berguna. Pertanyaan Asia's Miracle Economies In Crisis. (3rd). Rev.Ed. San
intinya: bagaimanakah kekuasaan negara mengelola Francisco: Institute for Food and Development Policy.
sumber daya alam; apa kepentingan material dan
ideologi organisasi pemerintah dan agen-agennya yang Callaghy, Thomas M. 1984. The State-Society Struggle
berusaha mengontrol sumber daya tersebut; dan Zaire in Comparative Perspective. New York:
bagaimana kekuasaan diejawantahkan amatlah relevan Columbia University Press.
bagi sektor energi, terutama industri minyak dan gas.
Relevansinya terletak dalam perhatiannya pada Evans, Peter. 1995. Embedded Autonomy States &
pentingnya kaitan antara tingkat analisis mikro dan Industrial Transformation. Princeton: Princeton
makro yang kemudian akan menciptakan pemahaman University Press.
yang lebih baik terhadap dinamika proses pembangunan
di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Gellert, Paul K. 1998. “The Limits of Capacity: The
Political Economy and Ecology of The Indonesian
Kesimpulan Timber Industry, 1967-1995”. Ph.D. Dissertation.
University of Wisconsin at Madison.
Tiga kelompok pertanyaan yang diajukan di awal bab
ini membahas hubungan antara sumber daya alam, Karl, Terry Lynn. 1997. The Paradox of Plenty Oil
korupsi, kroniisme, kolusi dan lingkungan hidup dengan Booms and Petro-States. Berkeley: University of
proses-proses pembangunan yang mutlak penting bagi California Press.
negara-negara berkembang. Analisis komparatif antara
negara-negara berkembang dan antarsektor dalam satu McCoy, Jennifer, Andres Serbin, William C. Smith and
negara menunjukkan bahwa dalam spektrum konseptual Andres Stambouli. Venezuelan Democracy under
Evans tentang negara predatoris-developmentalis, Stress. New Brunswick: Transaction, 1994.
sebuah negara bisa ditempatkan di titik-titik yang
berbeda, tergantung aspek yang sedang dianalisis. Onis, Z. 1991. The Logic of Developmental State.
Sebuah negara bisa predatoris dan developmentalis pada Comparative Politics, 24.
saat yang sama. Spektrum konseptual ini merupakan
titik awal untuk membahas lebih mendalam bagaimana Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forests, Poor People
kinerja negara-negara dalam skala pembangunan Resource Control and Resistance in Java. Berkeley:
dengan memperhatikan aspek-aspek yang berbeda University of California Press.
tentang kekuatan atau kapasitas negara. Dengan analisis
komparatiflah kita dapat menemukan proses So, Alvin Y. dan Stephen W.K. Chiu. 1995. East Asia
pembangunan yang nyata dalam berbagai negara di and The World Economy. London: Sage Publications.
kalangan negara berkembang.
Thompson, Mark R. 1996. “Late Industrialisers, Late
Democratisers: Developmental States in The Asia
Daftar Acuan Pacific”. Third World Quarterly, 17 (4).

Amsden, A. 1989. Asia’s Next Giant: South Korea and Wade, Robert. 1992. “East Asia’s Economic Success:
Late Industrialization. New York: Oxford University Conflicting Perspectives, Partial Insights, Shaky
Press. Evidence”. World Politics, 44 (2).

Anda mungkin juga menyukai