Pembimbing:
dr. Sri Utami Fajariyah, Sp.A, M.Kes.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus dengan judul “Anak
Laki-laki Usia 14 Tahun dengan Dengue Fever dengan warning sign” ini dengan
baik dan selesai tepat waktu. Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu syarat kelulusan kepaniteraan klinik stase ilmu kesehatan
anak dan remaja di RSUD Dr. M. Yunus Kota Bengkulu.
Selesainya laporan kasus ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak,
sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga
dapat diselesaikan dengan baik, terutama kepada dr.Sri Utami Fajariyah, Sp.A,
M.Kes, selaku dokter pembimbing dan konsulen pediatrik di RSUD Dr. M. Yunus
Kota Bengkulu yang telah membimbing dan memberikan masukan dalam
penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak demi kesempurnaan laporan kasus ini. Akhir kata, penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat serta menjadi bahan masukan bagi dunia
pendidikan dan kesehatan.
Bengkulu, Januari 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................... 3
2.2 Dengue........................................................................................................... 6
2.2.1 Patogenesis.............................................................................................. 6
3. 1 Identitas ...................................................................................................... 38
iii
3.1. 1 Identitas Pasien : .................................................................................. 38
3. 2 Anamnesis .................................................................................................. 39
3. 3 Pemeriksaan Fisik....................................................................................... 41
BAB IV ................................................................................................................. 48
PEMBAHASAN ................................................................................................... 48
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
menginduksi imunitas silang pada infeksi sekunder yang seringkali lebih berat
dari infeksi primer. Prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni
pemberian cairan pengganti. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk
DBD, dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan
pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara
efektif dan efisien1.
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas maka, pada laporan kasus ini
akan lebih banyak dibahas mengenai Dengue fever sehingga dapat memberikan
informasi dan menambah pengetahuan yang benar kepada pasien, keluarga,
maupun masyarakat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
virus. Protein NS1 merupakan satu-satunya protein non struktural yang dapat
disekresikan oleh sel penjamu mamalia tapi tidak oleh nyamuk, sehingga dapat
ditemukan dalam darah penjamu sebagai antigen NS1. Masing-masing protein
mempunyai peran yang berbeda dalam patogenesitas, replikasi virus, dan aktivasi
respons imun, baik humoral maupun selular1.
2.1.4 Pejamu
Saat nyamuk menghisap darah manusia yang sedang mengalami viremia,
virus masuk kedalam tubuh nyamuk, yaitu dua hari sebelum timbul demam
sampai 5-7 hari fase demam. Nyamuk kemudian menularkan virus kemanusia
lain. Kerentanan untuk timbulnya penyakit pada individu antara lain ditentukan
oleh status imun dan faktor genetik pejamu1.
4
2.1.5 Faktor Abiotik
Suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan, telah diketahui berperan
dalam penyebaran penyakit dengue. Perubahan iklim secara global dilaporkan
membuat nyamuk mengalami dehidrasi sehingga untuk mempertahankan diri
nyamuk akan lebih sering menggigit manusia. Peningkatan curah hujan, terutama
saat peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan dilaporkan berpengaruh
terhadap peningkatan kasus penyakit dengue1.
5
2.2 Dengue
2.2.1 Patogenesis
Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan: 1. Faktor virus,
yairu serotipe, jumlah, virulensi. 2. Faktor pejamu, genetik, usia, status gizi,
penyakit komorbid dan interaksi antara virus dengan pejamu. 3. Faktor
lingkungan, musim, curah hujan, suhu udara, kepadatan penduduk, mobilitas
penduduk, dan kesehatan lingkungan1.
Peran sistem imun dalam infeksi virus dengue adalah sebagai berikut1,
I mu nopatogenesis
Secara umum patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh interaksi
berbagai komponen dari respons imun atau reaksi inflamasi yang terjadi secara
terintegrasi. Sel imun yang paling penting dalam teraksi dengan virus dengue
yaitu sel dendrit, monosit/makrofag, endotel, dan trombosit. Akibat interaksi
tersebut akan dikeluarkan berbagai mediator antara lain sitokin, pcningkatan
aktivasi sistem komplemen, serta terjadi aktivasi limfosit T. Apabila aktivasi sel
imun tersebut berlebihan, akan diproduksi sitokin (terutama proinflamasi),
kemokin, dan mediator inflamasi lain dalam jumlah banyak. Akibat produksi
berlebih dari zat-zat tersebut akan menimbulkan berbagai kelainan yang
akhimya mcnimbulkan berbagai bentuk tanda dan gejala infeksi virus
1
dengue .
Untuk lebih memahami imunopatogenesis infeksi virus dengue, bcrikut ini
diuraikan mengenai respons imun humoral dan selular, mekanisme autoimun,
peran sitokin dan mediator lain, serta peran sistem komplemen.1
6
Respons lmun Humoral
Respons imun humoral dipcrankan oleh limfosit B dengan rnenghasilkan
antibodi spesifik terhadap virus dengue. Antibodi spesifik untuk virus dengue
terhadap satu serotipe tertentu juga dapat menimbulkan rcaksi silang dengan
serotype lain sclama enam bulan. Antibodi yang dihasilkan dapat
menguntungkan dalarn arti melindungi dari terjadinya penyakit, namun sebaliknya
dapat pula menjadi pemicu terjadinya infeksi yang berat melalui mekanisme
antibody-dependent enhancement (ADE).
Antibodi anti dengue yang dibentuk umumnya berupa imunoglobulin
(lg) G dengan aktivitas yang berbeda. Antibodi terhadap protein E dapat
berfungsi baik untuk neutralisasi maupun berperan dalam mekanisme
ADE. Antibodi terhadap protein NS I berperan dalam menghancurkan (lisis) sel
yang terinfeksi melalui bantuan komplemen (complement dependent lysis).
Diketahui bahwa antibodi terhadap protein prM pada virion imatur juga
berperan dalam mekanisme ADE.
Virus dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenik
berbeda. lnfeksi virus dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat
menimbulkan kekebalan yang menetap untuk serotipe bersangkutan (antibodi
homotipik). Pada saat yang bersamaan, sebagai bagian dari kekebalan silang
(cross immunity) akan dibentuk antibodi untuk serotipc lain (antibodi
heterotipik). Apabila kemudian terjadi infeksi oleh serotipe yang berbeda, maka
antibodi heterotipik yang bersifat non atau subneutralisasi berikatan dengan
virus atau partikel tertentu dari virus serotipe yang baru membcntuk
kompleks imun. Kompleks imun akan berikatan dengan reseptor FeƔ yang
banyak terdapat terutama pada monosit dan makrofag, sehingga memudahkan
virus menginfeksi sel. Virus bermultiplikasi di dalam sel dan selanjutnya virus
keluar dari sel, sehingga terjadi viremia. Kompleks imun juga dapat
mengaktifkan kakade sistem komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a
yang mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan permeabilitas vaskular.
7
menghancurkan (lisis) sel terinfeksi dengue, serta memproduksi bcrbagai
sitokin. Pada penelitian in vitro, diketahui bahwa baik sel T CD4 maupun sel
T CD8 dapat menyebabkan lisis sel target yang terinfeksi dengue. Dalam
menjalankan fungsinya sel T CD4 lebih banyak sebagai penghasil sitokin
dibandingkan dengan fungsi menghancurkan sel terinfeksi virus dengue.
Sebaliknya, sel T CD8 lebih bcrperan untuk lisis sel target dibandingkan dengan
produksi sitokin.
Pada infeksi sekunder oleh virus dengue serotipe yang berbeda,
ternyata sel T memori mempunyai aviditas yang lebih besar terhadap
serotipe yang sebelumnya dibandingkan dengan serotipe virus yang baru.
Fenomena ini disebut sebagai original antigenic sin. Dengan demikian, fungsi
lisis terhadap virus yang baru tidak optimal, sedangkan produksi sitokin
berlebihan. Sitokin yang dihasilkan oleh sel T pada umumnya berperan
dalam mernacu respons intlamasi dan meningkatkan permeabilitas sel
endotel vaskular.
Mekanisme Autoimun
Di antara komponen protein virus dengue yang berperan dalam
pembentukan antibodi spesifik yaitu protein E, prM, dan NS 1. Protein yang
paling berperan dalarn mekanisme autoimun dalam patogenesis infeksi virus
dengue yaitu protein NS l. Antibodi terhadap protein NS I dengue
menunjukkan reaksi silang dengan sel endotel dan trombosit, sehingga
menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut serta dapat memacu
respons intlamasi. Sel endotel yang diaktivasi oleh antibodi terhadap
protein NS 1 dengue ternyata dapat mengekspresikan sitokin, kemokin, dan
molekul adhesi. Selain antibodi terhadap protein NS 1, ternyata antibodi terhadap
prM juga dapat menyebabkan rcaksi autoimun. Autoantibodi tcrhadap protein
prM tersebut dapat bercaksi silang dengan sel endotel. Proses autoimun
ini diduga kuat karena terdapat kesamaan atau kemiripan antara protein
NS l dan prM dengan komponen tertentu yang terdapat pada sel endotel
dan trombosit yang disebut sebagai molecular mimicry. Autoantibodi yang
bereaksi dengan komponen dimaksud, mengakibatkan sel yang mengandung
molekul hasil ikatan antara keduanya akan dihancurkan oleh makrofag
atau mengalami kerusakan. Akibatnya, pada trombosit terjadi penghancuran
sehingga menyebabkan trombositopenia dan pada sel endotel terjadi peningkatan
permeabilitas yang mengakibatkan perembesan plasma.
8
Peran Sitokin dan Mediator Inflamasi Lain
Sitokin merupakan suatu molekul protein dengan fungsi yang sangat
beragam dan berperan penting dalam rcspons imun tubuh melawan infeksi.
Dalam lingkup respons inflamasi, secara umum sitokin mempunyai sifat
proinflamasi dan antiinflamasi. Pada keadaan respons fisiologis, terjadi
keseimbangan antara kedua jenis sitokin tersebut. Apabila sitokin diproduksi
dalam jumlah yang sangat banyak dan reaksinya berlebihan, akan merugikan
pcjamu.
Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan
derajat penyakit. Infeksi yang berat dalam hal ini DBD (apalagi SSD)
ditandai dengan peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering di
ebut sebagai badai sitokin (cytokine storm atau cytokine tsunami). Dalam
melakukan fungsinya berbagai sitokin saling berhubungan dan saling
memengaruhi satu dengan yang lainnya berupa suatu kaskade. Sitokin
mana yang paling berperan menyebabkan penyakit yang berat, beberapa
penelitian menghasilkan hasil yang beragam. Hal ini di sebabkan karena
beberapa alasan, antara lain variasi dalam waktu pengambilan sampel
pemeriksaan, usia, batasan derajat penyakit, dan juga faktor genetik yang
berbeda. Dari beberapa penelitian sitokin yang perannya paling banyak
dikemukakan yaitu TNF-a, IL-I, IL-6, IL-8, dan IFN-y. Mediator lain yang
sering dikemukakan mempunyai peran penting dalam menimbulkan derajat
penyakit berat yaitu kemokin CXCL-9, CXCL-10, dan CXCL-11 yang dipicu
oleh IFN-y.
9
Aktivasi komplemen menghasilkan peptida yang mempunyai aktivitas biologik
sebagai anafilatoksin yaitu C3a dan C5a. Komplemen C5a menginduksi
produksi beberapa sitokin proinflamasi (seperti TNF-a, IL- I, IL-6, dan IL-8) dan
mcningkatkan ekspresi molekul adhesi baik pada neutrofil maupun sel endotel,
sehingga peran C5a dalam peningkatan permeabilitas vaskular sangat besar.
Faktor Pejamu
Beberapa faktor pejamu dilaporkan dapat menjadi faktor risiko untuk
terkena infeksi dengue yang berat, antara lain usia, status gizi, faktor
genetik, dan penyakit tertcntu khususnya penyakit yang berhubungan
dengan sistem imun. Anak-anak umumnya mempunyai pcrjalanan penyakit
yang lebih berat dibandingkan dengan dewasa.. Mengcnai mekanisme yang
mendasarinya belum jelas, tetapi diduga anak mempunyai sistem mikrovaskular
yang lebih mudah untuk mengalami peningkatan permeabilitas. Bayi usia
6-12 bulan mempunyai risiko lcbih berat, meskipun pada infeksi primer. Hal
tersebut diduga melalui mekanisme ADE yang sama dengan infeksi sekunder
pada pejamu dengan usia lebih dari satu tahun. Antibodi (IgG) antidengue yang
bersifat nonneutralising ditransfer dari ibu pada saat kehamilan. Obesitas
merupakan salah satu faktor risiko yang pernah dilaporkan. Faktor genetik
sebagai faktor risiko telah banyak diteliti, pada umumnya berhubungan dengan
human leucocyte antigen (HLA) tertentu, yang menjadi faktor risiko untuk lebih
rentan atau sebaliknya lebih kcbal terhadap infeksi virus dengue. Beberapa
penelitian juga telah banyak melaporkan hubungan antara faktor genetik dengan
derajat penyakit dengue. Faktor genetik lain di luar pengkode HLA adalah
gen pengkode sitokin TNF-a, IFN-y, dan I L-1, serta gen yang mengkode
reseptor IgG, reseptor vitamin D, dan mannosa binding lectin. Patogenesis
infeksi virus dengue berhubungan dengan: 1. Faktor virus, yairu serotipe,
jumlah, virulensi. 2. Faktor pejamu, genetik, usia, status gizi, penyakit
komorbid dan interaksi antara virus dengan pejamu. 3. F aktor lingkungan,
musim, curah hujan, suhu udara, kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, dan
kesehatan lingkungan.
10
Gambar 2. 2 Patogenesis Infeksi Dengue5
11
Demam tinggi (hiperthermia) merupakan manifestasi klinik yang utama
pada penderita infeksi virus dengue sebagai respon fisiologis terhadap mediator
yang muncul. Sel penjamu yang muncul dan beredar dalam sirkulasi merangsang
terjadinya panas. Faktor panas yang dimunculkan adalah jenis-jenis sitokin yang
memicu panas seperti TNF-α, IL-1, IL-6.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tiga sistem organ memainkan
peran penting dalam patogenesis infeksi dengue, yaitu sistem imun, hepar, dan sel
endotel pembuluh darah. Saat nyamuk menggigit manusia, DENV diduga
diinjeksikan ke dalam aliran darah, mengakibatkan infeksi sel Langerhans yang
belum matang (sel dendritik epidermal) dan keratinosit. Sel yang terinfeksi
kemudian bermigrasi dari tempat infeksi ke kelenjar getah bening, dimana
monosit dan makrofag direkrut, yang menjadi sasaran infeksi. Akibatnya, virus
direplikasi di sistem limfatik. Sebagai hasil dari viremia primer, beberapa sel
mononuklear, termasuk monosit, myeloid DC, makrofag limpa dan hati ikut
terinfeksi. DENV juga telah terbukti memiliki tropisme untuk mengedarkan sel
mononuklear dalam darah. Leukosit juga terbukti terinfeksi DENV5.
Pada infeksi dengue jumlah leukosit biasanya normal atau menurun
dengan dominasi sel neutrofil. Terjadinya leukopenia pada infeksi dengue
disebabkan karena adanya penekanan sumsum tulang akibat dari proses infeksi
virus secara langsung ataupun karena mekanisme tidak langsung melalui produksi
sitokin-sitokin proinflamasi yang menekan sumsum tulang. Pada saat demam,
mulai terjadi pengurangan jumlah leukosit dan netrofil disertai limfositosis relatif.
Leukopenia mencapai puncaknya sesaat sebelum demam turun dan normal
kembali pada 2 - 3 hari setelah defervescence (demam turun). Penurunan
trombosit umumnya mengikuti turunnya leukosit dan mencapai puncaknya
bersamaan dengan turunnya demam. Kemokin adalah sitokin yang berperan
dalam kemotaksis sel-sel leukosit (limfosit,monosit, dan neutrofil) ke tempat
infeksi atau kerusakan jaringan5.
Hati merupakan organ yang sering terlibat dalam infeksi DENV, dengan
beberapa penelitian menunjukkan tingkat enzim hati yang meningkat. Infeksi
DENV dalam hepatosit manusia dan sel Kupffer yang signifikan menyebabkan
12
pembengkakan pada hati akibat apoptosis dan nekrosis. Meskipun kerusakan hati
parah tidak umum terjadi pada infeksi DENV, namun enzim hati yang meningkat
menunjukkan bahwa hati mengalami kerusakan5. Nyeri abdomen merupakan
warning sign yang sering ditemukan pada DBD. Nyeri perut dapat dirasakan di
ulu hati dan di daerah bawah lengkung iga sebelah kanan. Nyeri perut di bawah
lengkung iga sebelah kanan lebih mengarah pada penyakit DBD dibandingkan
nyeri perut di ulu hati. Penyebab nyeri perut di bawah lengkung perut sebelah
kanan adalah pembesaran hati sehingga terjadi perenggangan selaput yang
membungkus hati. Sedangkan nyeri di ulu hati yang menyerupai gejala sakit maag
(lambung) dapat disebabkan oleh rangsangan obat penurun panas seperti aspirin
atau asetosal.6
Patogenesis nyeri perut di demam berdarah dengue ( DBD ) tidak secara
jelas dipahami. Namun, hiperplasia folikel limfoid tampaknya memainkan peran
penting dan kebocoran plasma melalui endotelium kapiler yang rusak juga telah
diajukan. Hal ini menjadi penjelasan untuk pengumpulan cairan subserosa dan
menebal kandung empedu yang berhubungan dengan demam berdarah dengue.6
Kebocoran plasma sangat terbatas pada rongga paru dan peritoneal
(ascites) yang memiliki kadar sitokin dan kemokin jauh lebih tinggi di
dibandingkan dengan plasma atau serum yang menghasilkan permeabilitas
vaskular yang berbeda. Beberapa bukti mendukung peran sitokin meningkatkan
permeabilitas dan perdarahan vaskular selama infeksi DENV. Patogenesis diatesis
hemoragik adalah hasil dari kerusakan hati yang parah yang menyebabkan
penurunan produksi protein koagulasi dan albumin. Peningkatan permeabilitas
vaskular sebagai akibat dari hypercytokinemia dan pengurangan tekanan osmotik
plasma akibat kerusakan hati yang parah berkontribusi terhadap pembentukan
edema. Selain itu, replikasi sebagian besar virus ini di kelenjar adrenal
berkontribusi pada hipotensi dan kehilangan natrium, yang secara kolektif
menghasilkan syok hipovolemik5.
13
2.2.2 Perjalanan Peyakit Dengue1,2
Fase Febris
Demam dengue sering ditemukan pada anak besar, remaja, dan dewasa.
Setelah melalui masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari (rentang 3- 4 hari), timbul
gejala berupa demam, mialgia, sakit punggung, dan gcjala konstitusional lain
yang tidak spesifik seperti rasa lemah (malaise), anoreksia, dan gangguan rasa
kecap. Demam pada umumnya timbul mendadak, tinggi (39°C-40°C), terus-
menerus (pola demam kurva kontinua), bifasik, dan biasanya berlangsung antara
2-7 hari. Pada hari ketiga sakit pada umumnya suhu tubuh turun, namun masih di
atas normal, kemudian suhu naik tinggi kembali, pola ini disebut sebagai pola
demam bifasik. Dernarn disertai dengan mialgia, sakit punggung, artralgia,
muntah, fotofobia (mata seperti silau walau terkena cahaya dengan intcnsitas
rendah) dan nyeri retroorbital pada saat mata digerakkan atau ditckan. Gejala lain
dapat ditemukan bcrupa gangguan pencernaan (diare atau konstipasi), nyeri perut,
sakit tenggorok, dan depresi.
Pada hari sakit ke-3 atau 4 ditemukan ruam makulopapular atau
rubeliformis, ruam ini egera berkurang sehingga sering luput dari perhatian orang
tua. Pada masa penyembuhan timbul ruam di kaki dan tangan berupa ruam
makulopapular dan petekie diselingi bercak-bercak putih (white islands in the sea
of red, dapat disertai rasa gatal. yang disebut sebagai ruam konvalesens.
Manifestasi perdarahan pada umumnya sangat ringan berupa uji tourniquet yang
positif (2:10 petekie dalam area 2,8 x 2,8 cm) atau beberapa pctekie spontan.
Pada beberapa kaus demam dengue dapat terjadi perdarahan masif.
14
Gambar 2. 3 Perjalanan Penyakit Dengue1
15
kematian terutama pada anak besar. Dernam dengue dengan manifestasi
perdarahan berat harus dibedakan dari dernam berdarah dengue.
2. Fase Kritis
Selama masa transisi dari febris ke fase afebris, pasien tanpa peningkatan
permeabilitas kapiler akan membaik tanpa melalui fase kritis. Pasien dengan
peningkatan permeabilitas kapiler dan penurunan demam terdapat fase warning
sign, sebagian besar akibat kebocoran plasma.
Warning sign menandai dimulainya fase kritis. Pasien-pasien ini menjadi
lebih buruk ketika suhu turun menjadi 37,5-38 ° C atau kurang pada hari ke-3-8.
Leukopenia progresif diikuti oleh penurunan jumlah trombosit yang cepat
biasanya mendahului kebocoran plasma. Peningkatan hematokrit di atas garis
dasar mungkin merupakan salah satu tanda tambahan paling awal. Periode
kebocoran plasma secara klinis signifikan biasanya berlangsung 24-48 jam
Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului
perubahan tekanan darah (TD) dan volume denyut nadi. Tingkat hemokonsentrasi
di atas hematokrit dasar mencerminkan tingkat keparahan kebocoran plasma,
namun dapat dikurangi dengan terapi cairan intravena awal. Oleh karena itu,
pengukuran hematokrit berkala sangat penting, apabila makin meningkat
berarti kebutuhan cairan intravena untuk mempertahankan volume intravaskular
bertambah, sehingga penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok
hipovolemi.
Kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi pleura, apabila
kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites. Pcmeriksaan rontgen foto
dada posisi lateral dekubitus kanan, efusi pleura terutama di hemithoraks kanan
merupakan temuan yang sering dijumpai. Derajat luasnya efusi pleura sciring
dengan beratnya penyakit. Pcmeriksaan ultrasonografi dapat dipakai untuk
menemukan asites dan efusi pleura. Penebalan dinding kandung empedu (gall
blader wall thickening) mendahului manifestasi klinis kebocoran plasma lain.
Selain kebocoran plasma, manifestasi hemoragik seperti mudah memar dan
pendarahan. Peningkatan nilai hematokrit (~20% dari data dasar) dan penurunan
16
kadar protein plasma terutama albumin serum (>0,5 g/dL dari data dasar)
merupakan tanda indirek kebocoran plasma.. Kebocoran plasma bcrat
menimbulkan berkurangnya volume intravaskular yang akan menyebabkan
syok hipovolemi yang dikenal sebagai sindrom syok dengue (SSD) yang
memperburuk prognosis.
Beberapa pasien secara progres ke fase kritis dari kebocoran plasma dan
syok sebelum demam turun; Pada pasien ini terjadi peningkatan hematokrit dan
onset trombositopenia yang cepat atau warning sign yang mengindikasikan
timbulnya kebocoran plasma. Kasus demam berdarah dengan warning sign
biasanya akan sembuh dengan rehidrasi intravena. Beberapa kasus akan
memburuk pada severe dengue.
3. Fase konvalens
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar 24-48
jam, terjadi reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam ruang
intravaskular yang berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam berikutnya.
17
Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala gastrointestinal mereda, status
hemodinamik stabil, dan diuresis menyusul kemudian. Pada beberapa pasien
dapat ditemukan ruam konvalesens, beberapa kasus lain dapat disertai pruritus
umum. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi pada umumnya terjadi pada
tahap ini. Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi
cairan yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah
pcnurunan suhu tubuh akan tetapi pemulihan jumlah trombosit umumnya lcbih
lambat. Gangguan pemapasan akibat efusi pleura masif dan ascites, edema paru
atau gagal jantung kongestif akan terjadi fase kritis dan/atau fase pemulihan jika
cairan intravena diberikan berlebihan. Penyulit dapat terjadi pada fase demam, fase
kritis, dan fase konvalescns.
4. Severe Dengue
Kasus severe dengue didefinisikan sebagai pasien dengue dengan satu atau
lebih dari yang berikut:
1. Kebocoran plasma berat yang menyebabkan syok (syok dengue) dan atau
akumulasi cairan dengan gangguan pernafasan;
2. Perdarahan hebat;
3. Gangguan organ berat.
Kebocoran plasma berat dan syok dengue
Dengue shock syndrome (DSS) adalah bentuk syok hipovolemik akibat
permeabilitas vaskular dan kebocoran plasma. Ini biasanya terjadi di sekitar
penurunan suhu tubuh (fase kritis), yaitu pada hari ke 4-5 penyakit (rentang hari
3-8), dan sering didahului dengan warning sign. Pasien yang tidak mendapatkan
terapi cairan intravena yang adekuat akan segera mengalami syok.
Syok terkompensasi, mekanisme kompensasi yang mempertahankan
tekanan darah sistolik normal dengan cara takikardia, quite tachynea (takipnea
tanpa usaha yang meningkat) dan vasokonstriksi perifer dengan perfusi kulit
berkurang (dimanifestasikan sebagai ekstremitas dingin dan waktu pengisian
kapiler yang terlambat> 2 detik dan volume lemah pulsa perifer). Dengan adanya
vasokonstriksi perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga tekanan
18
diastolik meningkat sedang tekanan sistolik tctap sehingga tekanan nadi
(perbedaan tekanan antara sistolik dan diastolik) akan menyempit kurang
dari 20 mmHg.
Pada tahap ini sistem pernapasan melakukan kompensasi berupa quite
tachypnea (takipnea tanpa peningkatan kerja otot pernapasan). Kompensasi sistem
keseimbangan asam basa berupa asidosis metabolik namun nilai pH masih
normal dengan tekanan karbon dioksida rendah dan kadar bikarbonat
rendah. Keadaan anak pada fase ini pada umumnya tetap sadar, sehingga
dokter yang kurang berpengalaman mungkin tidak mengetahui bahwa
pasien sudah berada dalam keadaan kritis.
Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya akan memberikan
prognosis yang baik. Bila keadaan kritis luput dari pengamatan sehingga
pcngobatan tidak diberikan dengan cepat dan tepat, maka pasien akan jatuh
kedalam syok dekompensasi.
Syok dekompensasi dengan manifestasi sebagai peningkatan takikardia
dan vasokonstriksi perifer. Bukan saja ekstremitasnya dingin dan sianosis tapi
anggota badan menjadi berbintik-bintik, dingin dan lembap. Pada tahap ini
pernafasan menjadi lebih cepat dan meningkat secara mendalam (pernapasan
Kussmaul). Akhirnya terjadi dekompensasi dimana tekanan darah sistolik dan
diastolik hilang secara tiba-tiba dan pasien mengalami syok hipotensi atau
dekompensasi.
Pada tahap ini nadi perifer hilang, sementara denyut nadi sentral (femoral)
akan lemah. Hipotensi untuk mempertahankan tekanan darah sistolik dan perfusi
tidak lagi efektif. Salah satu tanda klinis utama kemunduran ini adalah perubahan
keadaan mental karena perfusi otak menurun. Pasien menjadi gelisah, bingung
dan sangat lesu. Kejang dapat terjadi dan agitasi dapat bergantian dengan
kelesuan. Di sisi lain, anak-anak dan remaja memiliki status mental yang jelas
bahkan dalam keadaan shock berat. Orang dewasa bisa bekerja sampai tahap
shock berat tercapai. Kegagalan bayi dan anak untuk mengenali, fokus atau
melakukan kontak mata dengan orang tua mungkin merupakan pertanda awal dari
hipoperfusi kortikal, seperti juga kegagalan untuk merespons rangsangan yang
19
menyakitkan seperti venepuncture. Orangtua mungkin orang pertama yang
mengenali tanda-tanda ini, tetapi mereka mungkin tidak dapat
menggambarkannya, selain mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah. Hipotensi
adalah merupakan tanda kegagalan kardiorespirasi pada jarak dekat.
Syok hipotensi yang berkepanjangan dan hipoksia menyebabkan
asidosis metabolik berat, kegagalan beberapa organ dan klinis ekstrim. Mungkin
perlu beberapa jam bagi pasien dari keadaan warning sign ke syok kompensasi
dan beberapa jam lagi dari syok kompensasi untuk ke syok hipotensi, namun
hanya beberapa menit dari syok hipotensi ke kegagalan kardiorespirasi dan
serangan jantung.
20
b. Ruam (skin rash)
c. Nyeri pada tulang sendi/retroorbital
d. Uji torniquet positif
e. Leukopenia
f. Dan gejala lain yang termasuk dalam warning sign
Tes lab untuk konfirmasi dengue (penting ketika kebocoran plasma tidak
signifikan)
21
2.2.4 Diagnosa Dengue2
Tujuan diagnosa laboratorium dengue adalah untuk mengkonfirmasi
diagnosis klinis dan memberikan informasi surveilans epidemiologi. Diagnosis
laboratorium tidak diperlukan untuk manajemen klinis kecuali pada kasus atipikal
atau saat melakukan diagnosis banding dengan penyakit menular lainnya.
Diagnosis laboratorium demam berdarah dilakukan dengan mendeteksi
virus dan atau komponennya (virus infektif, genom virus, antigen demam
berdarah) atau dengan menyelidiki tanggapan serologis yang terjadi setelah
infeksi (khususnya kadar IgM dan IgG).
Virus dengue adalah virus RNA dari famili flaviviridae, genus flavivirus.
Keempat virus dengue (DEN- [1-4]) berhubungan secara serologis namun secara
antigen dan genetis berbeda.
Tiga aspek utama harus dipertimbangkan untuk diagnosis dengue yang memadai:
1. Penanda virologi dan serologis sehubungan dengan waktu infeksi dengue;
2. Jenis metode diagnostik dalam kaitannya dengan penyakit klinis;
3. Karakteristik sampel klinis
22
95-98% selama hari 6-10. Tingkat IgM yang rendah masih terdeteksi sekitar satu
sampai tiga bulan setelah demam. Selain itu, infeksi primer ditandai dengan
peningkatan perlahan tetapi tingkat IgG spesifik-dengue yang rendah yang
meningkat pada hari ke 9-10. Tingkat IgG yang rendah bertahan selama beberapa
dekade yang mengindikasikan infeksi dengue masa lalu.
Pada infeksi sekunder peningkatan antibodi IgG spesifik anti-dengue lebih
cepat dan tinggi dari pada IgM. IgG akan meningkat terlebih dahulu yaitu mulai
hari ke 2, disusul oleh IgM pada hari ke 5. Namun peningkatan kadar IgM dan
IgG dapat bervariasi pada setiap orang. Tingkat IgG yang tinggi tetap bertahan
selama 30-40 hari. Tingkat viremia memiliki jangka pendek namun lebih tinggi
yang mencirikan infeksi sekunder dibandingkan dengan infeksi primer.
23
Fase Febrile (hari 1 sampai hari 4-5 demam)
Virus infektif dapat diisolasi dalam serum dengan inokulasi kultur jaringan
(kultur sel nyamuk) dan nyamuk. Metode ini memungkinkan identifikasi serotipe
virus. Deteksi genom virus menggunakan reverse chain transcriptase polymerase
chain reaction (RT-PCR) dan RT-PCR real-time mengkonfirmasi infeksi dengue
akut. Kedua metode tersebut memiliki sensitivitas tinggi dan memungkinkan
identifikasi serotipe dan kuantifikasi salinan genom. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya jumlah salinan yang lebih tinggi pada kasus demam severe
dengue.
NS1 Ag adalah penanda infeksi dengue akut. Uji coba ELISA dan rapid
commercial tests untuk mendeteksi NS1 Ag. Sensitivitas dan spesifisitas kit
komersial pada infeksi serotipe yang berbeda sedang dievaluasi.
24
Karena antibodi IgM bertahan selama hampir tiga bulan setelah onset
demam, deteksi pada sampel setelah fase akut menunjukkan adanya infeksi yang
baru. Di negara-negara endemik dengue, kasus klinis akut dengan IgM positif
diklasifikasikan sebagai kasus kemungkinan infeksi dengue.
Studi tentang serum (sampel serum akut dan konvalen dengan sampel
kedua dikumpulkan 15-21 hari setelah sampel pertama), memungkinkan
konfirmasi serologis terhadap infeksi dengue. Diagnosis tergantung pada
peningkatan titer antibodi demam berdarah antara akut dan konvalen.
Reaktivitas silang yang luas dari ELISA dan HIA dengan flavivirus
lainnya telah diamati. Uji Netralisasi adalah metode pilihan untuk penentuan
serotipe spesifik
25
Tabel 2. 2 Diagnosis Dengue yang Dikonfirmasi dan Kemungkinan Besar
Dengue, Interpretasi Hasil dan Karakteristik Sampel
26
Sementara demam, artralgia, ruam, malaise dan leukopenia biasa terjadi
pada chikungunya dan demam dengue. Kecenderungan pendarahan dan
trombositopenia yang lebih sering terjadi pada demam dengue.
Infeksi primer pada HIV mirip demam berdarah dengan demam tinggi,
malaise, ruam dan adenopati umum. Splenomegali dan demam berkepanjangan
harus mempertimbangkan malaria dan tipus dalam diagnosis banding. Demam,
malaise, muntah, pembesaran hati dan peningkatan enzim hati mungkin tidak
tepat didiagnosis sebagai hepatitis menular, dan sebaliknya. Kondisi kebocoran
plasma selama defervescence dan trombositopenia lebih sesuai dengan demam
dengue.
Ruam yang terkait dengan campak dan rubella memiliki distribusi tertentu
dari kepala sampai ke badan dan ekstremitas, namun pada demam dengue, ruam
biasanya pertama kali muncul di badan dan kemudian meluas ke wajah dan
ekstremitas. Meskipun kedua penyakit tersebut memiliki tanda dan gejala yang
sama, termasuk mialgia dan artralgia, pasien campak selalu memiliki batuk, rinitis
dan konjungtivitis. Demam, ruam dan adenopati dapat terjadi pada demam
dengue, rubella, eritema infectiosum yang disebabkan oleh parvovirus B19 dan
virus herpes tipe 6. infeksi lainnya seperti enterovirus, mononucleosis infeksius,
dan penyakit Kawasaki dikaitkan dengan karakteristik tertentu.
Penyakit sepsis dan meningokokus harus dipertimbangkan pada pasien
shock karena kebutuhan akan penanganan segera dengan antibiotik tertentu.
Gejala dan tanda yang umum dengan kasus demam berdarah adalah demam,
ruam, petechiae, perdarahan dan syok yang terkait dengan leukopenia (terutama
pada sepsis gram negatif yang parah dan prognosis meningococcaemia yang
buruk) dan trombositopenia. Pada syok septik, suhunya biasanya tinggi, meski
bisa subnormal pada stadium akhir. Pada pasien dengue, syok biasanya terjadi
setelah defervescence, Oleh karena itu suhu sering subnormal atau normal, denyut
nadi lemah, dan tekanan nadi rendah dengan pasien yang memiliki ekstremitas
dingin. Tanda klinis dan radiografi kebocoran plasma dan hemo\konsentrasi
progresif pada kasus demam berdarah parah berguna untuk membedakan gejala.
27
Perbedaan klinis antara leptospirosis dan demam denguesulit dibedakan,
terutama bila kedua epidemiologi berlangsung bersama. Terapi antibiotik tertunda
dikaitkan dengan mortalitas pada leptospirosis. Penyakit kuning lebih sering
dikaitkan dengan leptospirosis, namun nyeri okular, artralgia dan diare juga bisa
terjadi. Leptospirosis sering dikaitkan dengan aktivitas profesional (misalnya
bekerja dengan sampah atau pertanian) atau dengan riwayat hiburan tertentu
(misal: trekking ke air terjun atau bermain olahraga air). Perdarahan paru adalah
bentuk tertentu dari leptospirosis tanpa ikterus yang memiliki beberapa tanda dan
gejala umum dengan severe dengue, termasuk demam, trombositopenia, syok dan
pendarahan hebat di paru-paru. Perdarahan paru jarang terjadi pada demam
dengue. Bukti kebocoran plasma seperti efusi pleura atau asites akan mengarah
pada diagnosis demam dengue
Leukopenia dan trombositopenia, dengan atau tanpa perdarahan, dapat
berupa manifestasi klinis dari penyakit menular seperti malaria, leptospirosis,
tipus, tipus, sepsis bakteri, dan penyakit serokonversi HIV akut. Leukopenia dan
trombositopenia dapat terjadi pada penyakit non-infeksi seperti lupus sistemik dan
penyakit auto-imun sistemik, leukemia akut, dan kelainan hematologis, seperti
purpura Henoch-Schönlein dan sindrom purpura trombositopenik.
Selama fase kritis dengue, pasien dengan kebocoran plasma atau syok
dapat mengalami nyeri perut yang parah saat demam. Nyeri perut yang parah
serupa dengan kondisi perut akut seperti pada apendisitis akut. Penelitian
ultrasound pada pasien ini menunjukkan pengumpulan cairan di sekitar usus
buntu. Tanda-tanda perut lainnya seperti nyeri iliaka fossa kanan menghilang
setelah beberapa hari managemen konservatif.
Salah diagnosa lain adalah kolesistitis akut (alithiasis). Pemeriksaan
ultrasonografi abdomen menunjukkan penebalan/edema dinding kantong empedu.
Hal ini terkait dengan nyeri di daerah subhepatik, terutama selama defervescence.
Kebocoran plasma, bukan peradangan, bertanggung jawab atas gambaran klinis
ini. Pasien yang menjalani operasi karena salah diagnosa dengan kondisi abdomen
bedah akut telah ditemukan mengalami pendarahan yang mengancam jiwa,
beberapa pasien mengalami kematian. kegagalan mengenali sakit perut yang hebat
28
sebagai warning sign pada severe dengue telah menyebabkan misdiagnosis
lithiasis ginjal dan menunda perawatan cairan intravena untuk syok dengue.
Gambaran yang membedakan abdomen bedah akut dan nyeri perut yang parah
pada syok dengue adalah bahwa perut pada syok dengue terasa lembut dan rasa
sakit mereda dengan resusitasi cairan. Keadaan darurat medis lainnya yang
disertai dengan rasa sakit perut yang intens dan terus berlanjut meliputi
etoasidosis diabetes, gagal ginjal, dan asidosis laktat. Kebocoran plasma (terutama
setelah terapi cairan intravena), trombositopenia dan pendarahan membantu
membedakan demam berdarah dari kondisi medis atau pembedahan lainnya.
Kelompok penyakit demam berdarah virus mengalami pendarahan,
trombositopenia dan syok yang umum terjadi. Semua memiliki monosit/makrofag
sebagai sel targe. Penyakit ini ada di wilayah geografis yang berbeda, memiliki
vektor yang berbeda, memiliki agen penyebab dari keluarga viral yang berbeda,
dan memiliki sarana transmisi yang berbeda. Perbedaan patogenik utama adalah
bahwa tingkat keparahan dengue dimediasi oleh gangguan imunologi yang
meningkatkan infeksi virus, menyebabkan pasien mengalami komplikasi setelah
fase viraemik (demam), selama defervescence atau 24 jam kemudian. Analisis
informasi klinis, epidemiologi dan vektor tertentu akan mengarah pada diagnosis
masing-masing.
Severe dengue dengan edema paru nonkardiogenik (kelebihan cairan) dan
gangguan paru memiliki tanda klinis yang umum terjadi pada Hantavirus
pulmonary syndrome (HPS). Pada severe dengue, dan tidak dalam HPS, edema
paru biasanya didahului dengan syok yang berkepanjangan atau berulang, yang
berhubungan dengan perdarahan di paru-paru dan tempat lainnya, disertai dengan
tanda-tanda kebocoran plasma dan kelebihan cairan. Gambaran awal HPS sangat
mirip dengan influenza, demam, mialgia, muntah dan batuk yang berhubungan
dengan dyspnoea pada akhir minggu pertama, dan leukositosis, neutrofilia,
trombositopenia dan peningkatan. Anak-anak dengan HPS mungkin menderita
sakit perut dan pembesaran hati yang parah, namun perdarahan tidak sering terjadi
dan mereka tidak hadir dengan perdarahan paru, namun dengan edema interstisial
dan alveolar.
29
2.2.6 Management Kasus Dengue2
Grup A
Ini adalah pasien yang mungkin disuruh pulang. Pasien-pasien ini dapat
mentoleransi volume cairan oral yang cukup, buang air kecil setidaknya sekali
dalam enam jam dan tidak memiliki warning sign. Kunci keberhasilan manajemen
30
rawat jalan adalah memberikan nasehat yang jelas dan pasti mengenai perawatan
yang perlu diterima pasien di rumah, yaitu istirahat total dan minum sesering
mungkin. Pasien sakit ≥ 3 hari harus diperiksa setiap hari untuk perkembangan
penyakit (ditunjukkan dengan penurunan jumlah sel darah putih dan platelet dan
peningkatan hematokrit, demam turun dan warning sign) sampai mereka berada di
luar periode kritis. Mereka dengan hematokrit stabil dapat dikirim ke rumah
namun sebaiknya segera kembali ke rumah sakit terdekat jika mereka terdapat
warning sign dan mematuhi rencana tindakan berikut ini:
1. Asupan cairan oral yang memadai dapat mengurangi jumlah rawat inap
Dorong asupan oral untuk mengganti cairan yang hilang akibat demam dan
muntah. Sejumlah kecil cairan oral harus diberikan sesering mungkin untuk
orang-orang dengan mual dan anoreksia. Pilihan cairan harus didasarkan pada
budaya lokal, seperti air kelapa di beberapa negara, rice water atau barley
water. Larutan rehidrasi oral atau sup dan jus buah dapat diberikan untuk
mencegah ketidakseimbangan elektrolit. Minuman berkarbonasi yang
melebihi kadar isotonik (5% gula) harus dihindari karena dapat memperburuk
hiperglikemia terkait dengan stres fisiologis dari demam berdarah dan diabetes
melitus. Asupan cairan oral yang cukup harus menghasilkan frekuensi urin
minimal 4 sampai 6 kali per hari. Catatan cairan oral dan output urin dapat
dipelihara dan ditinjau setiap hari dalam pengaturan rawat jalan.
2. Beri parasetamol untuk demam tinggi. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg /
kg / dosis, tidak lebih dari 3-4 kali dalam 24 jam pada anak-anak dan tidak
lebih dari 3 g / hari pada orang dewasa). kompres dengan air hangat jika
penderita masih demam tinggi. Jangan memberikan asam asetilsalisilat
(aspirin), ibuprofen atau zat antiinflamasi non steroid lainnya (NSAID)
3. Anjurkan kepada perawat bahwa pasien harus dibawa ke rumah sakit segera
jika terjadi hal berikut: tidak ada perbaikan klinis, kemunduran waktu
penurunan demam, nyeri perut yang parah, muntah terus-menerus, ekstremitas
dingin dan berkabut, kelesuan atau mudah tersinggung / gelisah, pendarahan (
misalnya tinja hitam atau muntahan kopi), sesak napas, tidak buang air kecil
selama lebih dari 4-6 jam.
31
Penerimaan selama fase febrise harus disediakan bagi mereka yang tidak
mampu mengelola hidrasi oral yang memadai di rumah, bayi, dan mereka yang
memiliki kondisi warning sign. Pasien rawat jalan harus dipantau setiap hari
untuk pola suhu, volume asupan dan kehilangan cairan, output urin (volume dan
frekuensi), warning sign, tanda-tanda kebocoran plasma, perdarahan dan jumlah
darah lengkap
Kelompok B
Merupakan pasien yang harus dirawat di rumah sakit untuk observasi
dekat saat mereka mendekati fase kritis. Ini termasuk pasien dengan warning sign,
mereka dengan kondisi terdampingan yang dapat membuat demam berdarah atau
manajemennya lebih rumit (seperti kehamilan, bayi, usia lanjut, obesitas, diabetes
melitus, hipertensi, gagal jantung, gagal ginjal, penyakit hemolitik kronis seperti
spenyakit sel sabit dan penyakit autoimun), dan mereka yang memiliki keadaan
sosial tertentu (seperti tinggal sendiri, atau tinggal jauh dari fasilitas kesehatan
tanpa sarana transportasi yang andal). Penggantian cairan yang cepat pada pasien
dengan warning sign adalah kunci untuk mencegah perkembangan keadaan syok.
Jika pasien mengalami dengue dengan warning sign atau tanda dehidrasi,
penggantian volume yang tepat dan cepat dengan terapi cairan intravena dapat
mengubah tingkat keparahan penyakit. Rencana tindakan harus sebagai berikut
dan berlaku untuk bayi, anak-anak dan orang dewasa:
1. Dapatkan hematokrit sebelum terapi cairan intravena dimulai. Berikan hanya
larutan isotonik seperti larutan saline 0,9%, Ringer laktat atau larutan
Hartmann. Mulailah dengan 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5
ml/kg/jam selama 2-4 jam, lalu 2-3 ml/kg/jam atau kurang sesuai dengan
respon klinis
2. Menilai kembali status klinis dan pemeriksaan hematokrit. Jika hematokrit
tetap sama atau naik hanya minimal, lanjutkan pada tingkat yang sama (2-3
ml/kg/jam) selama 2-4 jam lagi. Jika tanda vital memburuk dan hematokrit
meningkat dengan cepat, tingkatkan kecepatan menjadi 5-10 ml/kg/jam
32
selama 1-2 jam. Menilai kembali status klinis, ulangi hematokrit dan tinjau
kembali tingkat infus cairan yang sesuai.
3. Berikan volume cairan intravena minimum untuk mempertahankan perfusi
yang baik dan keluaran urin sekitar 0,5 ml/kg/jam. Cairan intravena biasanya
hanya dibutuhkan 24-48 jam. Kurangi cairan intravena secara bertahap saat
laju kebocoran plasma menurun menjelang akhir fase kritis. Hal ini
ditunjukkan dengan keluaran urin dan/atau peningkatan asupan cairan oral,
atau penurunan hematokrit di bawah nilai awal pada pasien yang stabil.
4. Pasien dengan warning sign harus dipantau oleh penyedia layanan kesehatan
sampai periode risiko berakhir. Keseimbangan cairan secara rinci harus dijaga.
Parameter yang harus dipantau meliputi tanda vital dan perfusi perifer (1-4
jam sampai pasien berada di luar fase kritis), output urin (4-6 jam), hematokrit
(sebelum dan sesudah penggantian cairan, kemudian 6-12 jam) glukosa darah
dan fungsi organ lainnya (seperti profil ginjal, profil hati, profil koagulasi,
seperti yang ditunjukkan).
Jika pasien mengalami dengue dengan kondisi perawatan namun tanpa
warning sign, rencana tindakannya adalah sebagai berikut:
1. Mulailah dengan cairan oral. Jika tidak ditoleransi, mulailah terapi cairan
intravena dengan larutan saline 0,9% atau laktat Ringer dengan atau tanpa
glukosa dengan dosis rumatan pada tingkat perawatan yang sesuai.
Gunakan berat badan ideal untuk perhitungan infus cairan untuk pasien
obesitas dan kelebihan berat badan. Pasien mungkin sudah bisa minum
cairan oral setelah beberapa jam terapi cairan intravena. Jadi, perlu segera
merevisi infus cairan. Berikan volume minimum yang dibutuhkan untuk
mempertahankan perfusi dan keluaran urine yang baik. Cairan intravena
biasanya hanya dibutuhkan selama 24-48 jam.
Pasien harus dipantau oleh penyedia layanan kesehatan untuk pola suhu,
volume asupan dan kehilangan cairan, output urin (volume dan frekuensi),
warning sign, hematokrit, sel darah putih dan jumlah trombosit. Bergantung pada
gambaran klinis dan fasilitas di rumah sakit atau pusat kesehatan, tes laboratorium
lainnya (seperti tes fungsi hati dan ginjal) juga dapat dilakukan.
33
Kelompok C
Ini adalah kelompok pasien dengan severe dengue yang memerlukan
perawatan darurat dan rujukan mendesak karena mereka berada dalam fase kritis
penyakit ini dan memiliki:
• Kebocoran plasma berat yang menyebabkan syok dengue dan / atau akumulasi
cairan dengan gangguan pernafasan;
• Perdarahan hebat;
• Kerusakan organ berat (kerusakan hati, kerusakan ginjal, kardiomiopati,
ensefalopati atau ensefalitis).
Semua pasien dengan demam berdarah parah harus dirawat di rumah sakit
dengan akses ke fasilitas transfusi darah. Resusitasi cairan intravena yang cermat
adalah intervensi esensial dan biasanya satu-satunya yang diperlukan. Larutan
kristaloid isotonik hanya cukup untuk mempertahankan sirkulasi efektif selama
periode kebocoran plasma. Kehilangan plasma harus segera diganti dengan
larutan kristaloid isotonik: dalam kasus syok hipotensi, larutan koloid lebih. Jika
memungkinkan, dapatkan kadar hematokrit sebelum dan sesudah resusitasi cairan.
Lanjutkan penggantian kerugian plasma lebih lanjut untuk menjaga
sirkulasi efektif selama 24-48 jam. Untuk pasien dengan kelebihan berat badan
atau obesitas, berat badan ideal harus digunakan untuk menghitung tingkat infus
cairan. Semua pasien shock harus membawa kelompok darah mereka dan
melakukan cross-match. Transfusi darah hanya diberikan pada kasus dengan
perdarahan hebat, atau dugaan perdarahan hebat dikombinasikan dengan hipotensi
yang tidak dapat dijelaskan.
Resusitasi cairan harus dipisahkan dengan jelas dari pemberian cairan
sederhana. Ini adalah strategi di mana volume cairan yang lebih besar (misalnya
10-20 ml/kg bolus) diberikan untuk jangka waktu yang terbatas dalam
pengawasan ketat, untuk mengevaluasi respons pasien dan untuk menghindari
pengembangan edema paru. Cairan ini seharusnya tidak mengandung glukosa.
Derajat defisit volume intravaskular pada syok dengue bervariasi. Input biasanya
jauh lebih besar daripada output, dan rasio input / output tidak membantu dalam
menilai kebutuhan resusitasi cairan selama periode ini.
34
Pengobatan shock
Rencana tindakan untuk merawat pasien dengan syok terkompensasi
adalah sebagai berikut:
1. Dapatkan referensi hematokrit sebelum memulai terapi cairan intravena.
Lakukan resusitasi cairan intravena dengan larutan kristaloid isotonik 10-20
ml/kg/jam lebih dari satu jam pada bayi dan anak-anak. Kemudian cek kondisi
pasien (tanda vital, waktu pengisian kapiler, hematokrit, output urin).
2. Jika kondisi bayi atau anak membaik, cairan intravena harus dikurangi
menjadi 10 ml / kg / jam selama 1-2 jam; lalu ke 7 ml / kg / jam selama 2 jam;
5 ml / kg / jam selama 4 jam dan kemudian 3 ml / kg / jam, yang bisa dijaga
hingga 24-48 jam. Pertimbangkan untuk mengurangi cairan intravena lebih
awal jika asupan cairan oral membaik. Durasi total terapi cairan intravena
tidak boleh melebihi 48 jam.
3. Jika tanda vital masih tidak stabil (yaitu shock terus berlanjut), periksa
hematokrit setelah bolus pertama.
• Pada bayi dan anak-anak:
Jika hematokrit meningkat atau masih tinggi, ganti larutan koloid 10-20
ml/kg/jam. Setelah dosis awal, kurangi laju menjadi10 ml/kg/ jam selama
1 jam, kemudian kurangi menjadi 7 ml/kg/jam. Seperti disebutkan di atas,
ubah menjadi kristaloid saat kondisi pasien membaik.
Jika hematokrit menurun dibandingkan dengan hematokrit referensi
awal (terutama jika hematokrit berulang berada di bawah garis dasar,
misalnya, <35-40%), dan pasien masih memiliki tanda vital yang tidak
stabil, ini mungkin mengindikasikan perdarahan. Carilah pendarahan
hebat. Cross-match fresh whole blood atau fresh packed red cells dan
transfusi jika terjadi perdarahan hebat. Jika tidak ada perdarahan, berikan
bolus 10-20 ml/kg koloid lebih dari 1 jam, ulangi penilaian klinis dan
tentukan tingkat hematokritnya. Seorang anggota staf senior harus
melakukan review untuk mempertimbangkan transfusi darah.
4. Larutan larutan kristaloid atau koloid lebih lanjut mungkin perlu diberikan
selama 24-48 jam berikutnya.
35
Gambar 2. 7 Algoritme managem cairan pada shok terkompensasi untuk neonatus
dan anak2
36
2.2.8 Indikasi Pulang
Pasien dapat pulang apabila memenuhi semua kriteria berikut:1
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis yang jelas
4. Produksi urin cukup
5. Minimal 2-3 hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit >50.000/mm3. Apabila masih rendah namun klinis baik,
pasien boleh pulang dengan nasihat jangan melakukan aktivitas yang
memudahkan untuk mengalami trauma selam 1-2 minggu (sampai trombosit
normal). Pada umumnya apabila tidak ada penyulit atau penyakit lain yang
menyertai (misalnya idiopatik trombositopenia purpura-ITP), trombosit akan
kembali ke kadar normal dalam waktu 3-5 hari.
2.2. 9 Komplikasi
Penyebab komplikasi pada demam berdarah antara lain
1. Diagnosis yang tidak terjawab di garis depan
2. Pemantauan yang tidak memadai dan salah tafsir terhadap tanda-tanda vital
3. Pemantauan asupan cairan dan output urine yang tidak memadai
4. Terlambat mengetahui pendarahan hebat
5. Terlalu banyak atau terlalu sedikit cairan intravena yaitu tidak
mengikuti/memahami pedoman pengobatan;
6. Sikap ceroboh terhadap teknik aseptik.
Hasil: Ini mengarah pada situasi yang mengancam jiwa yang ditandai oleh
satu atau kombinasi dari berikut ini:
1. Shock terkompensasi atau dekompensasi
2. Perdarahan hebat dengan koagulopati intravaskular diseminata;
3. Kelebihan cairan;
4. Distres pernapasan dan kegagalan;
5. Disfungsi multi organ antara hati, ginjal dan sistem syaraf;
6. Ireversibel shok dan kematian
37
BAB III
LAPORAN KASUS
3. 1 Identitas
3.1. 1 Identitas Pasien :
Nama penderita : An. Farhan
Umur : 14 tahun 10 bulan 23 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : Sekolah Menengah Atas
Agama : Islam
Alamat : Jl. Citandui RT 6/ RW 02 No. 84, Kandang, Bengkulu
Hari/Tanggal Masuk : Minggu, 12 November 2017, pukul 19.25 WIB
No. Rekam Medis : 757583
38
3. 2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan tanggal 13 November 2017, pukul 13.00 WIB
Keluhan utama :
Demam, nyeri kepala, mual, muntah, batuk
39
dengan rata-rata 2x3 sendok makan nasi dan lauk. Pasien sudah tidak BAB 4 hari
dengan BAB sebelumnya normal. Pasien minum rata-rata 5 gelas sehari. BAK
pasien normal, tidak disertai nyeri, tidak puas berkemih, dan bewarna kuning
jernih tanpa disertai darah.
Demam disertai batuk 2 hari SMRS. Keluhan batuk tidak berdahak. tidak
disertai dengan timbulnya bintik-bintik merah pada kedua lengan dan
tungkai,keluhan gusi berdarah, mimisan, dan BAB kehitaman disangkal. Keluhan
nyeri telinga atau keluar cairan dari telinga, sekret hidung, serta pinggang
disangkal.
Riwayat Sosial:
Lingkungan sekitar rumah bersih. Menguras bak air rumah seminggu
sekali, tidak menggunakan obat nyamuk, dan kelambu. DBD ditetangga tidak ada.
Lingkungan rumah pernah dilakukan fogging.
Riwayat Kelahiran:
Ibu memeperiksa kehamilannya ke bidan sebanyak 4 kali, imunisasi TT 2
kali. Obat yang diminum selama hamil : vitamin, asam folat dan tablet besi.
Riwayat minum obat-obatan selama kehamilan, riwayat jatuh, dan riwayat
mengalami demam selama kehamilan disangkal. Anak lahir cukup bulan secara
spontan, ditolong dokter, BBL : 3500 gram, PBL ibu lupa, ketuban jernih tanpa
bau, lahir langsung menangis, dan APGAR skor tidak diketahui.
40
Riwayat Nutrisi
Pada usia 0 - 6 bulan, anak diberi ASI eksklusif. Usia 6 bulan - 2 tahun,
anak diberi ASI dan MPASI. Pada usia 3 hingga sekarang pasien diberikan makan
3-4 kali sehari, porsi sedang, lauk mengikuti keluarga.
Riwayat Imunisasi
Imunisasi Frekuensi Usia
BCG 1 0 bulan
DPT 3 2, 4, 6 bulan
Hepatitis B 3 0, 1, 6 bulan
Polio 4 0, 2, 4, 6
Campak 2 9 bulan, 6 tahun
Imunisasi tambahan
DT 3 6, 7, 8 tahun
TT 2 7, 8 tahun
3. 3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 13 November 2017, pukul 13.00 WIB
Status Present
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
41
HR : 108 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 38,00C (axilla)
BP : 110/90 mmHg
BB : 44 kg
TB : 160 cm
BB/TB x 100% : 44 x 100% = 89,7
49
Status Gizi : Gizi Baik
42
3.3. 1 Status Generalis
Kepala : normocephali, tidak ditemukan kelainan, rambut kehitaman
dan tidak mudah dicabut.
Wajah : simetris, pembengkakan (-), wajah dismorfik (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-
/-), pupil isokor
Hidung : napas cuping hidung (-), sekret (-)
Telinga : sekret (-/-), nyeri tekan tragus (-), nyeri tekan mastoid (-/-)
Mulut : gusi berdarah (-), bibir kering mudah berdarah (+), typhoid
tongue (-), tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
sLeher : pembesaran kelenjar limfe (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorak
Pulmo :Inspeks : dinding dada simetris kanan dan kiri, retaksi (-)
Palpasi : stem fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : sonor di semua lapang paru
Auskultasi: suara napas vesicular (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Cor : Inspeks: : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
batas kanan : SIC V linea sternalis dekstra
batas kiri : SIC V 1-2 cm linea midklavikula sinistra
Auskultasi: bunyi jantung I-II reguler dan normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : datar, lemas, simetris
Palpasi : Supel, distensi (-), nyeri tekan (+) pada regio epigastrium,
hepar tidak teraba membesar, lier tidak teraba membesar,
teknik gelombang cairan (-).
Perkusi : timpani, turgor kulit baik.
Auskultasi: bising usus (+) normal
43
Ekstermitas
Superior Inferior
Akral hangat -/- -/-
Edema -/- -/-
Ptekiae -/- -/-
CRT <2” <2”
44
Le ukosit 3900 mm3 4.500 mm3
Trombosit 107.000 64.000 24.000 21.000 33.000
sel/mm3 mm3 sel/mm3 sel/mm3 sel/mm3
Eritrosit 5,4
juta/mm3
3.3.6 Tatalaksana
3.6.1. Penatalaksanaan Terapis\
Non-medikamentosa :
- Tirah Baring
- Banyak minum (air putih/ jus buah)
- Diet nasi lunak dengan kebutuhan 2400 kkal
-
Medikamentosa :
- Terapi cairan rumatan : IVFD RL. XXX gtt/menit atau (6 kolf 1 hari)
- Paracetamol 3 x 1 tablet jika demam
- Erdostein sirup 3 x 1C
- Psidii 3 x 1capsul
45
- Pemeriksaaan Albumin
- Pemeriksaan SGOT/ SGPT
- Pemeriksaan Urinalisis
3.7. Prognosis
1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad sanam : dubia ad bonam
3. Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
3.7. Prognosis
4. Quo ad vitam : dubia ad bonam
5. Quo ad sanam : dubia ad bonam
6. Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
- Auskultasi paru
- USG abdomen
- Foto Thoraks PA (efusi pleura)
46
FOLLOW UP PASIEN
47
BAB IV
PEMBAHASAN
48
apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atu lebih kriteria,
yaitu Mual, muntah, Nyeri pada tulang sendi/retroorbital, Uji torniquet positif,
Leukopenia, dan gejala lain yang termasuk dalam warning sign2.
Pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 12 november 2017
didapatkan hasil IgG (+) dan IgM (-). Interpretasi hasil menunjukkan infeksi
sekunder, namur harus diulang lagi pada fase konvalens 15 hari setelah demam
(pada pasien tidak dilakukan). Pada infeksi sekunder kadar IgG akan meningkat
terlebih dahulu yaitu mulai hari ke 2, disusul oleh IgM pada hari ke 5. Namun
peningkatan kadar IgM dan IgG dapat bervariasi pada setiap orang. Pada beberapa
infeksi primer, IgM dapat bertahan di dalam darah sampai 90 hari setelah infeksi.
Infeksi primer ditandai oleh tingginya kadar IgM dan kadar IgG rendah,
sementara kadar IgM rendah dengan tingkat IgG yang tinggi mencirikan infeksi
sekunder.
Pada pasien demam 4 hari ini memenuhi kriteria rawat inap kelompok B,
karena pada pasien tidak mampu mengelola hidrasi oral yang memadai dirumah
(hanya minum 5/ hari) dan memenuhi kriteria warning sign, yaitu nyeri perut.
Penatalaksanaan pada pasien sesuai kelompok B dengan warning sign.
Pada tangal 13 november, tidak dilakukan pemeriksaan Ht, sehingga tidak
diketahui peningkatan Ht setelah terapi cairan. Hasil pemeriksaan fisik, tanda vital
masih didapatkan normal dan nyeri tekan +. Namun, hasil trombosit mengalami
penurunan dengan cepat. Pada tahap ini pasien mengalami warning sign. Terapi
pada pasien dimulai dengan 5-7 ml x 44 kg pada 2 jam pertama (37-51 gtt/menit)
dilanjutkan 2-4 ml x 44 kg (15 gtt-30 gtt/menit) pada 4 jam selanjutnya, dan
kurangi menjadi 2-3 ml x 44 kg (15-22 gtt/menit) pada jam selanjutnya, setelah
itu Ht diperiksa ulang. Jika hematokrit tetap sama atau naik hanya minimal,
lanjutkan pada tingkat yang sama (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4 jam lagi. Jika tanda
vital memburuk dan hematokrit meningkat dengan cepat, tingkatkan kecepatan
menjadi 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam (37-73 gtt/menit). Menilai kembali status
klinis, ulangi hematokrit dan tinjau kembali tingkat infus cairan yang sesuai.
Paracetamol diberikan untuk menurunkan demam 3x 1 tab atau 4x1 tab.
Pemberian ranitidine 2x1ampul (dosis 2x44/ 2x pemberian) untuk keluhaan mual,
49
dan erdostein 3x1 C untuk keluhan batuk. Parameter yang harus dipantau meliputi
tanda vital dan perfusi perifer (1-4 jam sampai pasien berada di luar fase kritis),
output urin (4-6 jam), hematokrit (sebelum dan sesudah penggantian cairan,
kemudian 6-12 jam), trombosit (12-24 jam), glukosa darah dan fungsi organ
lainnya (seperti profil ginjal, profil hati, profil koagulasi
Pada tanggal 14 november, didapatkan peningkatan hematokrit jika
dibandingkan pada tanggal 12, namun tidak dapat disimpulkan terjadi peningkatan
atau penurunan dibandingkan hari ke-5. Follow up didapatkan BAB hitam
kecoklatan dan BAK kuning pekat seperti teh, dan nyeri perut masih dirasakan
pasien. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan abdomen, dan akral dingin.
Hasil laboratorium trombosit juga menunjukkan penurunan trombosit. Pasien
terjadi dengue dengan warning sign namun belum dikatakan adanya kebocoran
plasma, karena belum didapatkan peningkatan ∆Ht ≥ 20% (pada pasien ∆Ht 11%)
Terapi cairan ditingkatkan kecepatan menjadi 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam dan
inilai kembali status klinis dan pemeriksaan hematokrit ulang. Pada pasien urin
tidak ditampung, namun dari hasil follow up pasien BAK sesering mungkin.
Cairan oral yang diminum pada pasien juga mampu menunjang kebutuhan cairan.
Paracetamol dapat diberikan 3x1 tab. Pemberian ranitidine 2x1ampul untuk
keluhaan mual, dan erdostein 3x1 C untuk keluhan batuk. Jika diperlukan
dilakukan pemeriksaan radiologi untuk efusi pleura atau USG untuk asites, untuk
melihat apakah didapatkan kebocoran plasma. Parameter lain yang harus dipantau
meliputi tanda vital dan perfusi perifer (1-4) jam sampai pasien berada di luar fase
kritis), output urin (4-6 jam), hematokrit (sebelum dan sesudah penggantian
cairan, kemudian 6-12 jam), trombosit (12-24 jam).
Pada tanggal 15 november pasien bebas demam hari ke2, dan tanda vital
normal. Hasil follow up juga menunjukkan nafsu makan mulai membaik, keluhan
nyeri perut berkurang, BAB dan BAK juga normal, dan asupan oralnya cukup
(3000 ml). Pada pemeriksaan lab Ht juga mengalami penurunan. Cairan intravena
biasanya hanya dibutuhkan 24-48 jam2 sehingga terapi cairan intravena dikurangi
secara seiring dengan penurunan nilai hematokrit.
50
Pada tanggal 16 november 2017 (bebas demam hari ke3) keadaan pasien
stabil. Pada pemeriksaan lab Ht juga mengalami penurunan dan peningkatan
trombosit. Pada umumnya, cairan intravena sudah tidak diperlukan lagi.1
Pada pasien didapatkan trombosit ≤ 50.00, namun tidak diindikasikan
untuk dilakukan transfusi trombosit, karena pada pasien tidak ditemukan adanya
manifestasi pendarahan yang aktif dan signifikan.7 Begitu juga dengan pemberian
Psidii pada pasien ini. Psidii mengandung ekstrak jambu biji yang dipercaya dapat
meningkatkan trombosit. Namum belum ada evidence base yang mendukung,
bahwa pemberian psidii dapat meningkatkan trombosit secara signifikan pada
pasien dengan DHF.
Hari ke-17 pasien sudah diperbolehkan pulang. Keputusan ini sudah sesuai
indikasi pulang yaitu, bebas demam 24 jam tanpa antipretik, nafsu makan
membaik, perbaikan klinis yang jelas, produksi urin cukup, minimal 2-3 hari
setelah syok teratasi dan jumlah trombosit >50.000/mm3. Dengan trombosit
terakhir pasien 33.000, pasien masih boleh pulang dengan nasihat jangan
melakukan aktivitas yang memudahkan untuk mengalami trauma selam 1-2
minggu (sampai trombosit normal)
.
51
Daftrar Pustaka
52
53