Anda di halaman 1dari 6

Nama: Windya Rizky Wulandari

NIM: 4517043031

Mata Kuliah: Sejarah Perkembangan Arsitektur I

Arsitektur Bugis

Rumah Panggung Kayu adalah salah satu rumah tradisional Bugis. Warga bugis
menyebutnya “rumah atas”. Maksudnya rumah yang berdiri di atas tanah (tidak langsung
bersentuhan dengan tanah), tetapi disangga oleh tiang kayu.
Konsep arsitektur masyarakat tradisional Bugis bermula dari suatu pandangan hidup.
Filosofi hidup masyarakat tradisional Bugis yang disebut “Sulapa Appa”, menunjukkan upaya
untuk“menyempurnakan diri”. Filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia
barulah sempurna jika berbentuk “Segi Empat”. Itulah mengapa rumah tradisional bugis
berbentuk persegi empat memanjang kebelakang.
Rumah panggung menggunakan material kayu sebagai material utamanya karena
material yang tersedia pada waktu itu adalah kayu dan kayu relative murah. Belum ada pabrik
semen dan tradisi membuat batu bata belum dikenal.
Ada beberapa alasan mengapa rumah panggung disangga oleh tiang kayu dan diberikan
kolong dibawahnya:
1. Karena ketika terjadi banjir, rumah tidak akan kemasukan air
2. Rumah panggung tidak menyentuh tanah karena cukup fleksibel dalam menerima
sebuah guncangan akibat gempa. Berbeda halnya dengan rumah yang menyatu
dengan tanah dan direkatkan dengan semen. Coran rumah yang merekatkan tanah
tidak kuat menahan gerakan tanah dan menjadikan coran pondasi rumah retak yang
berimbas langsung kepada rumah diatasnya.
3. Agar terlindung dari binatang buas.

Proses mendirikan rumah pada masyarakat tradisional Bugis-Makassar, mereka selalu


meminta pertimbangan dari “Panrita Bola” atau Panre bola untuk pencarian tempat,
menunjukkan arah yang dianggap cocok dan baik.Panre Bola menguasai ilmu pengetahuan
tentang tata cara pengerjaan rumah. Dimulai dari pemilihan jenis kayu, menghitung berapa
tiang(aliri), berapa pasak (pattolo) yang akan dipakai, Termasuk pengerjaan elemen-elemen atau
ornamen bangunan rumah hingga akhirnya merekostruksi rumah yang diinginkan serta
perlengkapannya. Dalam hal ini peranan seorang Panrita Bola sangat menentukan melalui
nasehat-nasehat mereka yang akan menjadi pegangan bagi penghuni rumah.

A. Konsep Rumah dan Ruang dalam Arsitektur Tradisional

Rumah adat suku Bugis dapat di bedakan berdasarkan status sosial orang yang
menempatinya. Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah Anakarung (bangsawan), to maradeka
(rakyat biasa), dan ata (sahaya).

Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk rumah yang
disimbolkan berbeda-beda, yaitu:
1. Sao-raja (sallasa) Rumah besar yang didiami keluarga kaum bangsawan.
2. Bola merupakan rumah bagi masyarakat umum.

B. Tata Letak Rumah


1. Dunia Atas (Botting langi)

Kehidupan diatas alam sadar manusia yang terkait dengan kepercayaan yang tidak nampak
(suci, kebaikan,sugesti, sakral). Sebagaimana dalam pemahaman masyarakat pemangkunya
(Bugis) bahwa dunia atas adalah tempat bersemayamnya Dewi padi (Sange-Serri). Dengan
pemahaman ini banyak masyarakat Bugis menganggap bahwa bagian atas rumah (Botting langi)
dijadikan sebagai tempat penyimpanan padi atau hasil pertanian lainnya. Selain itu biasa juga
dimanfaatkan untuk tempat persembunyian anak-anak gadis yang sedang dipingit.

2. Dunia Tengah (Ale-Kawa)

Kehidupan dialam sadar manusia yang terkait dengan aktivitas keseharian. Ale-Kawa atau
badan rumah dibagi menjadi tiga bagian:
a. Bagian Depan dimanfaatkan untuk menerima para kerabat/keluarga serta tempat kegiatan
adat.
b. Bagian Tengah dimanfaatkan untuk ruang tidur orang-orang yang dituakan termasuk
kepala keluarga (Bapak/ibu).
c. Ruang Dalam dimanfaatkan untuk kamar tidur anak-anak

3. Dunia Bawah (Awa Bola/kolong rumah)

Terkait dengan media yang digunakan untuk mencari rejeki, termasuk alat-alat pertanian,
tempat menenun, kandang binatang dan tempat bermain bagi anak-anak.
Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum adalah rumah
yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Hal ini terwujud dalam pembagian ruangan atau
petak (lontang/latte), yang tetap dibagi-bagi menjadi tiga bagian:

a. Lontang risaliweng (ruang depan), berfungsi untuk menerima tamu dan tempat tidur
tamu (public).
b. Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah, berfungsi untuk tempat
tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan (private).
c. Lontang rilaleng (latte rilaleng): tempat tidur anak gadis, dapur, dan kamar mandi.

Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum adalah
rumah yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di depan
tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di bawah atap
(Sumintardja, 1981). Selain itu rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang
berupa lantai panggung di depan pintu masuk, yang dinamakan tamping. Biasanya tempat ini
difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan rumah
dan juga sebagai tempat bersantai dan mengobrol.
C. Pola Stilistika

1. Atap
Seperti pada bangunan arsitektur tradisional Bugis di daerah asal, pola penampakan
bangunan tersusun dari tiga bagian sesuai dengan fungsinya. Bagian atas (rakeang), terdiri dari
loteng dan atap. Atap menggunakan bahan dari seng dan sebagian asbes. Bentuk prisma,
memakai tutup bubungan yang disebut Timpak Laja.

Timpak laja dibuat dari bahan seng dan sebagian kayu. Pola susunannya tidak diolah dalam
pola-pola tingkatan tertentu yang dapat membedakan status sosial penghuninya. Pada umumnya
penghuni adalah masyarakat Bugis yang berada pada kelas menengah ke bawah. Selain karena
keterbatasan lahan filosofi bentuk kurang memiliki makna dalam pandangan masyarakatnya.

Atap rumah adat Sao Mario

2. Bukaan

Pada umumnya dinding menggunakan bahan kayu yang disusun secara melintang
horisontal dan dilapisi dengan cat kayu warna, hanya sebagian yang menggunakan seng
gelombang yang dipasang arah vertikal. Elemen penting pada dinding depan ialah pintu
(babang/tange). Pintu diletakkan pada depa ke empat, karena jumlah tiang pada bagian depan
berjumlah 5 (lima). Hal yang spesifik pada penyelesaian pintu adalah adanya dinding pembatas
setinggi lutut pada bagian bawah. Fungsi penyelesaian bukaan pintu demikian bertujuan untuk
melindungi anak-anak agar tidak jatuh ke bawah karena sebagian besar lokasi rumah menempati
daerah rawa.

Bukaan lain adalah jendela (tellongeng). Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang
sengaja dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke dalam
ruangan. Jumlah jendela 3 (tiga) buah. Peletakannya pada dinding di antara dua tiang. Pada
bagian bawahnya terdapat terali kayu yang dipasang vertikal. Untuk memperindah dan menjaga
keamanan ditambahkan jeruji kayu dengan jumlah bilangan ganjil. Jumlah terali 5 buah, hal ini
sesuai dengan konsep rumah tradisional Bugis, untukA menunjukkan rumah rakyat biasa.

Anda mungkin juga menyukai