Anda di halaman 1dari 16

PERENCANAAN KOTA UNDANG-UNDANG PERENCANAAN KOTA DI

INDONESIA MEGAWATI

UNDANG-UNDANG PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA

Di Indonesia, suatu rencana kota tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah,
yang tentunya dimiliki oleh setiap kawasan dari tingkat kecamatan sampai nasional.
Berikut prosedur perencanaan kota di Indonesia berdasarkan UU No. 24 tahun 1992:

Rencana tata ruang biasanya diperbaharui setiap 5 tahun sekali untuk kawasan
setingkat kecamatan. Semakin luas kawasan yang ditangani, semakin panjang jangka
waktu yang diperlukan untuk menyusun rencana baru, namun tetap diadakan evaluasi
dalam jangka waktu yang ditentukan. Adapun penggolongan rencana menurut RTRW
membagi skala kota menjadi 2 jenis, yaitu Perencananan Kota Nasional (PKN) dan
Perencananan Kota Wilayah (PKW).

Perencanaan Kota Nasional berlaku bagi kota yang memiliki ciri sebagai
berikut:

• Pusat yg mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan


internasional dan mempunyai potensi untuk mendorong daerah sekitarnya

• Pusat jasa-jasa pelayanan keuangan/bank yang melayani nasional atau beberapa


propinsi

• Pusat pengolahan/pengumpul barang secara nasional atau meliputi beberapa propinsi

• Simpul transportasi secara nasional atau meliputi beberapa propinsi

• Pusat jasa pemerintahan untuk nasional atau meliputi beberapa propinsi

• Pusat jasa-jasa kemasyarakatan yang lain untuk nasional atau meliputi beberapa
propinsi Perencananan PKW berlaku bagi kota yang memiliki ciri sebagai berikut

• Pusat jasa-jasa pelayanan keuangan/bank yg melayani propinsi atau beberapa


kabupaten

• Pusat pengolahan/pengumpul barang untuk satu propinsi atau meliputi beberapa


kabupaten

• Simpul transportasi untuk satu propinsi atau meliputi beberapa kabupaten


• Pusat jasa pemerintahan untuk satu propinsi atau meliputi beberapa kabupaten

• Pusat jasa-jasa kemasyarakatan yang lain untuk untuk satu propinsi atau meliputi
beberapa kabupaten Sebagai contoh perencanaan kota di Jakarta, rencana struktur
ruang sendiri terdiri atas, sistem pusat kegiatan, sistem dan jaringan transportasi, sistem
prasarana sumber daya air dan sistem serta jaringan utilitas perkotaan.

Rencana struktur ruang Provinsi DKI Jakarta merupakan perwujudan dan


penjabaran dari rencana struktur ruang kawasan perkotaan. Perencanaan kota-kota di
Indonesia perlu dilakukan secara matang dan terpola. Maka dari itu diperlukan
perencanaan yang memperhatikan kondisi fisik dan kondisi masyarakat yang ada.
Kondisi fisik seperti fasilitas dan utilitas yang memadai, hunian yang sehat, dan sistem
transportasi yang efisien dapat mendukung aktifitas masyarakat sehingga dapat
menciptakan kota yang produktif. Selain itu, pembangunan kota-kota di Indonesia
harus sesuai prosedur yang diatur dalam RTRW. Diharapkan dengan adanya kejelasan
hukum dan tata guna lahan yang ada pada RTRW dapat diterapkan pelaksanaannya di
berbagai daerah di Indonesia sehingga mendukung pertumbuhan kota-kota yang ada
menjadi lebih cepat, tepat, dan optimal. Indeks Istilah PWK - UU No 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang 1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut,
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya. 2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 3. Struktur ruang
adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang
berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara
hierarkis memiliki hubungan fungsional. 4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan
ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. 5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 6.
Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. 7. Pemerintah Pusat,
selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 8. Pemerintah daerah
adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. 9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya
pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
dalam penataan ruang. 10. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk
meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat. 11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya
pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 12. Pengawasan penataan
ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 13. Perencanaan tata ruang adalah
suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi
penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. 14. Pemanfaatan ruang adalah upaya
untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang
melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 15.
Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. 16.
Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 17. Wilayah adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. 18. Sistem
wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan
pada tingkat wilayah. 19. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola
ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan. 20.
Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. 21.
Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan. 22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan. 23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 24. Kawasan agropolitan
adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan
sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem
permukiman dan sistem agrobisnis. 25. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 26. Kawasan metropolitan adalah kawasan
perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau
kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki
keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah
yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya
1.000.000 (satu juta) jiwa. 27. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk
dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan
membentuk sebuah sistem. 28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan/atau lingkungan, termasuk
wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. 29. Kawasan strategis provinsi
adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh
sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan. 30. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan
ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. 31. Ruang
terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 32. Izin pemanfaatan ruang adalah izin
yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan. II. HIERARKI PERENCANAAN BERDASARKAN
UNDANGUNDANG Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga
masyarakat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan penataan ruang. Konsep
dasar hukum penataan ruang terdapat dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945
aliniea ke-4, yang menyatakan “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia”. Selanjutnya, dalam
pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut memberikan “hak
penguasaan kepada Negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan
kewajiban kepada Negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat.” Kalimat tersebut mengandung makna, Negara mempunyai kewenangan untuk
melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna
terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki. Untuk dapat mewujudkan tujuan
Negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa berarti Negara harus dapat melaksanakan
pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan tersebut dengan suatu
perencanaan yang cermat dan terarah. Apabila kita cermati secara seksama, kekayaan
alam yang ada dan dimiliki oleh Negara, yang kesemuanya itu memiliki suatu nilai
ekonomis, maka dalam pemanfaatannya harus diatur dan dikembangkan dalam pola
tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak akan adanya perusakan dalam lingkungan
hidup. Upaya perencanaan pelaksanaan tata ruang yang bijaksana adalah kunci dalam
pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks
penguasaan Negara atas dasar sumber daya alam, melekat di dalam kewajiban Negara
untuk melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara utuh.
Artinya, aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari perencanaan tata ruang pada
umumnya bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan.
Selanjutnya, dalam mengomentari konsep Roscoe Pound, Mochtar Koesoemaatmadja
mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana pembangunan. Disini berarti
hukum harus mendorong proses modernisasi. Artinya bahwa hukum yang dibuat
haruslah sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejalan
dengan fungsi tersebut, maka pembentuk undang-undang mengenai penataan ruang.
Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang, maka peraturan
perundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak pemerintah, dimana salah
satu peraturan perundangundangan yang mengatur penataan ruang adalah Undang
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang merupakan
undang-undang pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan ruang. Sejarah
Pengaturan Tata Ruang Di Indonesia Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang
(kota) modern di Indonesia telah diperhatikan ketika kota Jayakarta (kemudian menjadi
Batavia) dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-7, tetapi peraturan tersebut baru
dikembangkan secara insentif pada awal abad ke-20. Peraturan pertama yang dapat
dicatat disini adalah De Statuen Van 1642 yang dikeluarkan oleh VOC khusus untuk
Kota Batavia. Peraturan ini tidak hanya membangun pengaturan jalan, jembatan dan
bangunan lainnya, tetapi juga merumuskan wewenang dan tanggung jawab pemerintah
kota. Pembangunan peraturan kota mulai diperhatikan lagi setelah Pemerintah Hindia
Belanda menerbitkan Undang-Undang Desentralisasi pada tahun 1903 yang mengatur
pembentukan pemerintah kota dan daerah. Dimana undang-undang ini memberikan
hak kepada kota-kota untuk mempunyai pemerintahan, administrasi dan keuangan kota
sendiri. Tugas pemerintahan kota diantaranya adalah pembangunan dan pemeliharaan
jalan dan saluran air, pemeriksaan bangunan dan perumahan, perbaikan perumahan dan
perluasan kota. Berdasarkan undang-undang ini dibentuklah pemerintahan otonom
yang disebut Gemeente, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Tak lama kemudian, pada
tahun 1905 diterbitkan Localen-Raden Ordonantie, Stb 1905/191 Tahun 1905 yang
antara lain berisi pemberian wewenang pada pemerintahan kota untuk menentukan
prasyarat persoalan pembangunan kota. Karena mengalami beberapa persoalan
mengenai pembentukan kota, pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda menyadari
perlunya perencanaan kota yang menyeluruh. Hal inilah yang memicu dimulainya
pengembangan perencanaan kota di Indonesia, meskipun pada saat itu belum ada
peraturan pemerintah yang seragam. Peraturan pembangunan kota tidak dapat
dipisahkan dengan usaha-usaha Thomas Karsten, yang dalam kegiatannya dari tahun
1902 sampai dengan 1940 telah menghasilkan dasar-dasar yang kokoh bagi
perkembangan peraturan pembangunan kota yang menyeluruh, antara lain untuk
penyusunan rencana umum, rencana detail, dan peraturan bangunan. Laporan Thomas
Karsten mengenai pembangunan kota Hindia Belanda yang diajukan pada kongres
desentralisasi pada tahun 1920 tidak hanya berisikan konsep dasar pembangunan kota
dan peran pemerintah kota, tetapi juga merupakan petunjuk praktis yang dapat
digunakan sebagai pedoman untuk penyusunan berbagai jenis rencana. Peraturan yang
penting bagi perencanaan kota yang disahkan pada tahun 1926 adalah Bijblad, di mana
peraturan ini yang menjadi dasar kegiatan perencanaan kota sebelum perang
kemerdekaan. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1933, kongres desentralisasi di
Indonesia meminta pemerintahan Hindia Belanda untuk memusatkan persiapan
peraturan perencanaan kota tingkat pusat. Menyusul permintaan ini, dibentuklah suatu
Panitia Perencanaan Kota pada tahun 1934 untuk menyiapkan peraturan perencanaan
kota sebagai pengganti Bijblad. Pada tahun 1939 pemerintah Hindia Belanda
menyusun RUU Perencanaan Wilayah perkotaan di Jawa yang berisikan persyaratan
pembangunan kota untuk mengatur kawasan-kawasan perumahan, transportasi, tempat
kerja dan rekreasi. Masuknya Jepang ke Indonesia dan adanya perang kemerdekaan
Indonesia menyebabkan RUU Perencanaan Wilayah Perkotaan di Jawa baru disahkan
pada tahun 1948 dengan nama Stadsvorming Ordonantie, Stb 1948/168 (SVO, atau
Ordonansi Pembentukan Kota), yang kemudian diikuti dengan peraturan
pelaksanaanya yaitu Stadsvormingverordening, Stb 1949/40 (SVV atau Peraturan
Pembentukan Kota). SVO dan SVV diterbitkan untuk mempercepat pembangunan
kembali wilayah-wilayah yang hancur akibat peperangan dan pada mulanya hanya
diperuntukan bagi 15 kota, yakni Batavia, Tegal, Pekalongan, Semarang, Salatiga,
Surabaya, Malang, Padang, Palembang, Banjarmasin, Cilacap, Tanggerang, Bekasi,
Kebayoran dan Pasar Minggu. Pesatnya perkembangan kota dan berubahnya
karakteristik kota menyebabkan SVO tidak sesuai lagi untuk mengatur penataan ruang
di Indonesia, selain hanya diperuntukan bagi 15 kota, Ordonansi ini hanya menciptakan
dan mengatur kawasan-kawasan elit serta tidak mampu mengikuti perkembangan yang
ada. Karena itulah pemerintah Indonesia mengajukan RUU Bina Kota pada tahun 1970
yang dipersiapkan oleh Departemen PUTL. RUU ini mencakup ketentuan-ketentuan
antara lain tahapan pembangunan, pembiayaan pembangunan, peraturan bangunan, dan
peremajaan kota. Namun, usulan tersebut tidak pernah disetujui. Setelah melalui proses
yang panjang, akhirnya Indonesia menyusun Undang-undang Nomor 24 tahun 1992
tentang Penataan Ruang, yang akhirnya undang-undang tersebut disahkan dan berlaku.
Namun seiring dengan adanya perubahan terhadap paradigma otonomi daerah melalui
ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka
ketentuan mengenai penataan ruang mengalami perubahan yang ditandai dengan
digantikanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang,
menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kriteria
Kota Untuk menetapkan apakah sesuatu konsentrasi permukiman itu sudah dapat
dikategorikan sebagai kota atau belum, maka perlu ada kriteria yang jelas untuk
membedakannya. Salah satu kriteria yang umum digunakan adalah jumlah dan
kepadatan penduduk. Bagi kota yang sebelumnya sudah berstatus kotamadya atau
sudah dikenal luas sebagai kota, maka permasalahannya adalah berapa besar
sebetulnya kota tersebut, misalnya ditinjau dari sudut jumlah penduduk ataupun luas
wilayah yang termasuk dalam kesatuan kota. Menggunakan jumlah penduduk
berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, seringkali hasilnya tidak tepat untuk
menggam-barkan besarnya sebuah kota, karena belum memenuhi persyaratan sebagai
wilayah kota. Pada kondisi lain, kota itu sebetulnya sudah melebar melampaui batas
administrasinya, artinya kota itu telah menyatu dengan wilayah tetangga yang bukan
berada pada wilayah administrasi tersebut. Dalam menganalisa fungsi dan menetapkan
orde perkotaan, maka luas dan penduduk didasarkan atas wilayah kota yang
benar-benar telah memiliki cirri-ciri perkotaan. Permasalahan bagi konsentrasi
pemu-kiman atau bagi kota kecil (ibukota kecamatan) adalah apakah konsentrasi itu
dapat dikategorikan sebagai kota atau masih sebagai desa. Jadi, perlu menetapkan
kriteria apakah suatu lokasi konsentrasi itu sudah memenuhi syarat untuk dinyatakan
sebagai kota atau belum. Badan Pusat Statistik (BPS), dalam pelaksanaan survei status
desa/kelurahan yang dilakukan pada tahun 2000, menggunakan beberapa kriteria untuk
menetapkan apakah suatu desa/kelurahan dikategorikan sebagai berikut : a.Kepadatan
penduduk per kilometer persegi; b.Persentase rumah tangga yang mata pencaharian
utamanya adalah pertanian atau non pertanian; c.Persentase rumah tangga yang
memilki telepon; d.Persentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik; e.Fasilitas
umum yang ada di desa/kelurahan, seperti fasilitas pendidikan, pasar, tempat hiburan,
komplek pertokoan, dan fasilitas lain seperti hotel, billiard, diskotek, karaoke dan
lain-lain. Masing-masing fasilitas diberi skor (nilai). Atas dasar skor yang dimiliki
desa/kelurahan maka dapat ditetapkan desa/kelurahan tersebut masuk dalam salah satu
kategori berikut, yaitu perkotaan besar, perkotaan sedang, perkotaan kecil dan
pedesaan. Kriteria BPS diatas, hanya didasarkan atas kondisi (besaran) fisik dan
mestinya dilengkapi dengan melihat apakah tempat konsentrasi itu menjalankan fungsi
perkotaan, misalnya mata pencaharian penduduk perlu dibuat ketentuan bahwa mata
pencaharian penduduknya adalah bervariasi dan tidak tergantung hanya pada satu
sektor yang dominan (walaupun itu bukan pertanian). Dengan demikian, terdapat
transaksi antar berbagai kegiatan/sektor yang bernilai ekonomi. Selain itu, perlu
ditambah dengan kriteria bahwa konsentrasi itu berfungsi melayani daerah
belakangnya. Artinya, berbagai fasilitas yang ada ditempat itu, seperti tempat
perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, tidak hanya melayani/dimanfaatkan oleh
penduduk kota itu sendiri, tetapi juga melayani masyarakat yang datang dari luar kota
yang sering disebut sebagai daerah belakangnya. Direktorat Cipta Karya Departemen
Pekerjaan Umum (PU) secara implisit menganggap bahwa : Suatu konsentrasi
pemukiman dengan kepadatan 50 jiwa atau lebih per hektar berhak mendapat
pelayanan fasilitas perkotaan, seperti pelayanan sampah dan air minum. Juga ada
kriteria bahwa jaringan jalannya berlapis (berbentuk Grid, bukan ribbon type). Kriteria
di atas masih perlu dipertegas tentang berapa luas wilayah minimal yang kepadatannya
50 jiwa atau lebih per hektar dalam satu kesatuan wilayah yang utuh, artinya tidak
terputus-putus. Pada dasarnya untuk melihat apakah konsentrasi itu sebagai kota atau
tidak, adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa
jauh kota itu menjalankan fungsi perkotaan. Adapun fasilitas/fungsi perkotaan, antara
lain sebagai berikut : a.Pusat perdagangan; b.Pusat pelayanan jasa; c.Tersedianya
prasarana perkotaan; d.Pusat penyediaan fasilitas sosial; e.Pusat pemerintahan; f.Pusat
komunikasi dan pangkalan transportasi; dan g.Lokasi pemukiman yang tertata. Dapat
disimpulkan bahwa semakin banyak fungsi dan fasilitas perkotaan, makin
menyakinkan bahwa lokasi konsentrasi itu adalah sebuah kota. Kebijaksanaan
Pertanahan Terhadap Perencanaan Kota Pengertian tanah menurut pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA). “tanah adalah permukaan bumi atau kulit bumi”. Selanjutnya pasal 4 ayat (2)
menjelaskan pengertian hak atas tanah, yang menyatakan : “Hak atas tanah adalah hak
untuk menggunakan tanah sampai batas-batas tertentu meliputi tubuh bumi, air, dan
ruang angkasa diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah”. Hal ini, dipertegas kembali dalam pasal 6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
yang menyatakan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Selanjutnya
dalam Penjelasan Umum angka II (4) dikemukakan, bahwa hak atas tanah apapun yang
ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan digunakan
(atau tidak digunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apabila kalau hal itu
menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah atau lahan harus
disesuaikan dengan keadaaan dan sifat dari haknya, sehingga bermanfaat baik bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai dan juga bagi masyarakat dan negara.
Pasal 16 UUPA mewajibkan pemerintah untuk menyusun rancangan umum mengenai
persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk berbagai macam keperluan
pembangunan. Dalam UUPA sendiri tidak ada penegasan arti dari persediaan,
peruntukan, dan penggunaan tanah tersebut. Namun, nampak dari tujuan dari setiap
rencana itu tidak lain adalah untuk mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam pasal
33 Undang-Undang Dasar 1945, yakni untuk kemakmuran rakyat. Rencana umum
peruntukan tanah harus sepenuhnya didasarkan pada kondisi objektif tanah dan
keadaan lingkungan, oleh karena itu rencana umum peruntukan tanah di tingkat pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota seharusnya memiliki kesamaan. Rencana umum
persediaan tanah adalah suatu usaha pemenuhan kebutuhan tanah untuk berbagai
pembangunan, yang dikaitkan dengan rencana umum peruntukan tanah. Persediaan
tanah untuk pembangunan yang baik adalah persediaan tanah yang didasarkan pada
kondisi obyektif fisik tanah . Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dapat dirumuskan
bahwa yang di maksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan
masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan pengadaan tanah dalam kontek ini
adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah Kaitannya antara pengadaan tanah bagi kepentingan umum
dengan rencana tata ruang disebutkan, bahwa pengadaan dan rencana pemenuhan
kebutuhan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum hanya dapat dilakukan apabila penetapan rencana pambangunan untuk
kepentingan umum tersebut sesuai dan berdasarkan pada Rencana Tata Ruang wilayah
(RTRW) yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Sejumlah Masalah Tata Ruang KOTA
dan daerah pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya. Tom Turner (1996)
menyebutnya dengan cultural-landscape, sebagai mosaik yang sarat dengan beraneka
ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, dan kepribadian. Karenanya, memahami
sebuah kota atau daerah, pertama-tama yang harus dilakukan adalah memahami budaya
dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup,
kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut. Jelas, yang paling rumit dan kompleks
adalah memahami perkotaan. Mengapa? Sebab, dalam setiap kota yang merupakan
melting-pot selalu terdapat pluralisme budaya. Dalam kondisi demikian, sulit dihindari
benturan budaya yang rentan menciptakan kompleksitas dan kontradiksi. Akibatnya,
tata ruang kota juga terentang antara homogenitas yang kaku dengan heterogenitas
yang kenyal. Suatu bentuk yang gampang pemeriannya, tapi sulit pengejawantahannya.
Kerumitan lain, khususnya di perkotaan, berkaitan dengan dinamika perkembangan
kota. Penduduk kota selalu berubah dan bergerak yang seringkali susah ditebak. Karena
itu pola tata ruang kota yang terlalu ketat dan kaku, tidak akan bisa tanggap terhadap
perubahan. Mengatasi masalah semacam itu, suatu bentuk perencanaan yang
openended akan dibutuhkan. Perencanaan model ini akan menentukan bagianbagian
tertentu dari sistem kota yang memberikan peluang bagi bagian lain, termasuk yang
tidak dapat diperkirakan sebelumnya, untuk bergerak spontan. Perencanaan kota
seperti itu juga akan memungkinkan penjabaran nilai, kebutuhan dan gaya hidup yang
berbeda dapat berdampingan dalam satu lingkungan yang dinamik. Pengaruhnya,
kelompok-kelompok penghuni kota yang berdatangan dengan mudah bisa
menyesuaikan diri dan membentuk kembali secara kreatif organisasi ruang, waktu,
makna, dan komunikasinya. Namun sulit dibantah, para perencana kota yang menganut
paham bahwa segala sesuatu harus direncanakan, dikontrol dan dipantau secara tegar,
pasti akan menentang pola tersebut. Mereka beranggapan bahwa ekspresi individual
atau kelompok yang dimungkinkan melalui perencanaan yang open-ended, bila
dibiarkan akan menciptakan lingkungan yang kacau balau, berantakan, tidak teratur.
Atau, dengan satu kata: jelek. ”We must get away from our haphazard way of doing
things and sure that everything is planned down to the last detail,” begitulah kira-kira
coleteh mereka. (Tapi saya setuju bahwa detail tetap diperlukan--Iftirar) Padahal, pada
kenyataannya, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sebuah kota yang ”down to
the last detail” tidak hanya tidak mungkin, akan tetapi bahkan juga tidak diinginkan.
Soalnya, banyak hal yang di luar dugaan muncul dengan tiba-tiba. Kejadian dan
perubahan, ekspresi dan improvisasi, merupakan faktor yang justru memanusiawikan
lingkungan dan layak disalurkan perlu diberi wadah dan dikembangkan. Tentu saja,
dengan catatan bahwa semua perubahan itu mesti dilandasi oleh itikad untuk
menyejahterakan masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah yang berada
di perkotaan. Perencanaan kota yang open-ended akan menciptakan lingkungan yang
memberikan tingkat kebebasan dan tindakan yang lebih bervariasi, di samping
pelibatan masyarakat yang lebih besar, dan peluang untuk penyesuaian secara kreatif,
bahkan modifikasi. Di negara semaju Jepang pun tenda-tenda penjual bakso, bakmi,
dan wedang ronde masih selalu didambakan keberadaannya karena konon berhasil
menumbuhkan suasana akrab berskala manusia. Munculnya pun hanya pada saat-saat
tertentu saja, biasanya malam hari. Lantas, kondisi seperti itu mereka sebut instant city
alias kota dadakan. (Di Jakarta, warga bisa memberikan masukan untuk perencaan kota
melalui Musrembang dan melihat RTRW di tiap kecamatan--Iftirar) Sejumlah masalah
Perencanaan tata ruang selama ini masih cenderung berorientasi pada pencapaian
tujuan ideal jangka panjang yang sering meleset akibat banyaknya ketidakpastian. Di
sisi lain, masih banyak pula rencana yang disusun dengan pendekatan pemikiran
sekadar untuk memecahkan masalah secara ad hoc yang berjangka pendek dan kurang
berwawasan luas. Sering dilupakan bahwa short term gain akan berakibat pada long
term pain. Seyogyanya pendekatan yang diambil mencakup keduanya. Ibarat melihat
hutan sekaligus mengkaji pohon-pohonnya. Atau sebaliknya, melihat keunikan setiap
jenis pohon, ditilik dalam konteks hutannya. Rencana tata ruang yang baik tidak selalu
menghasilkan penataan ruang yang baik pula bila tanpa didukung para pengelola
perkotaan dan daerah yang handal, serta mekanisme pengawasan dan pengendalian
pembangunannya pun kurang jelas. Kecenderungan yang terjadi kini adalah
perencanaan tata ruang terlalu ditekankan pada aspek penataan ruang dalam arti fisik
dan visual, biasanya menyangkut tata guna lahan, sistem jaringan jalan dan
infrastruktur atau prasarana lingkungan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan
perencanaan komunitas (sosial-budaya) dan perencanaan sumber daya masih belum
diperhatiankan sesuai porsinya. Demikian halnya dengan keterpaduan perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan pembangunan yang masih terkesan sebagai slogan atau
hiasan bibir belaka, belum mengejawantah dalam kenyataan. Kota dan daerah masih
hampir selalu dilihat dalam bentuk hirarki pohon yang tampaknya saja sederhana,
padahal dalam kehidupan sesungguhnya berbentuk hirarki-jaring yang sangat
kompleks. Bisa jadi, hal tersebut disebabkan karena masih adanya arogansi sektoral
dan egosentrisme wilayah yang cenderung menggunakan ’kacamata kuda’. Peran serta
masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup
pun masih sangat terbatas. Grey areas, yaitu berupa rencana kawasan urban-design,
yang sesungguhnya merupakan titik temu antara perencanaan kota yang berdimensi
dua dengan perancangan arsitektur yang berdimensi tiga masih terjadi. Dengan kata
lain, sesudah tersusunnya rencana kota mulai dari Rencana Umum Tata Ruang Kota
(RUTRK), Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana Teknis Ruang
Kota (RTRK), biasanya langsung meloncat ke perancangan arsitektur secara
individual.Bahkan bila dirunut lebih lanjut, seringkali RUTRK dibuat lebih dulu
ketimbang Rencana Tata Ruang Wilayah. Yang cukup merisaukan adalah
kekurangpekaan para penentu kebijakan, dan juga beberapa kalangan profesional,
terhadap warisan peninggalan kuno yang pada hakikatnya merupakan bagian tak
terpisahkan dalam sejarah perkotaan. Tergusur dan lenyapnya karya arsitektur langka
yang estetis dan bernilai sejarah, berarti lenyapnya suatu babakan dari kisah
perkembangan kota. Kota tanpa peninggalan arsitektur bersejarah, serupa saja dengan
manusia tanpa ingatan. Jalan keluarnya nampaknya perlu revitalisasi kawasan
bersejarah yang perlu lebih digalakkan. Penekanan perencanaan kota dan daerah pun
perlu seimbang dengan memperhatikan aspek lingkungan binaan dan pendayagunaan
lingkungan alamiah. Demikian halnya dengan tipisnya wibawa dan kekuatan hukum
produk rencana tata ruang, cukup merisaukan. Tata ruang yang sudah tersusun dengan
begitu saja dijungkirbalikkan karena adanya kehendak sesaat yang tidak konseptual.
Nampaknya dimasa datang perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup
perlu dilihat sebagai management of conflicts, tidak sekadar management of growth
atau management of changes. Orientasi tujuan jangka panjang yang ideal perlu
disenyawakan dengan pemecahan masalah jangka pendek yang bersifat inkremental.
Mekanisme development control yang ketat juga perlu ditegakkan, lengkap dengan
sanksi bagi si pelanggar dan penghargaan bagi mereka yang taat pada peraturan. Hal
lainnya, penataan ruang perlu dilakaukan secara total, menyeluruh dan terpadu.
Model-model participatory planning dan over-theboard planning atau perencanaan
lintas sektoral selayaknya dilakukan secara konsekuen dan berkesinambungan.
Demikian halnya dengan kepekaan sosiokultural para penentu kebijakkan dan para
perencana seyogyanya lebih ditingkatkan. Sedangkan, kekayaan khasanah lingkungan
alam mesti jadi perhatian dalam setiap setiap perencanaan tata ruang dan pengelolaan
lingkungan hidup. Pengenaan Sanksi Pidana Bagi Pelanggar Tata Ruang Salah satu hal
terpenting yang dimiliki oleh Undang-undang Penataan Ruang (UUPR) No. 26 Tahun
2007 dan tidak ditemukan dalam UUPR sebelumnya adalah pemberian sanksi terhadap
pelanggar tata ruang. Sanksi akan diberikan kepada pengguna ruang yang melanggar
peruntukan tata ruang Selama ini penerapan tata ruang di daerah banyak mengalami
kendala Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengguna ruang yang melanggar Peraturan
Daerah (Perda) yang berlaku di wilayah tersebut. Oleh karena itu, dengan pemuatan
pasal-pasal tentang sanksi dan denda tersebut, kini baik pejabat maupun anggota
masyarakat yang melanggar amanat tata ruang harus bersiap-siap berhadapan dengan
hukum,imbuhnya. Pemberian sanksi bagi pelanggar tata ruang dapat diberikan melalui
tiga tingkatan. Yakni hukuman pidana tiga tahun dan denda 500 juta bagi pengguna
yang sengaja merubah peruntukan ruang, pidana 8 tahun dan denda 1,5 Milyar bagi
pengguna yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dan pelanggaran yang
menimbulkan korban jiwa akan dikenakan hukuman pidana sampai 15 tahun dan denda
5 Milyar. “Sanksisanksi pidana dan administratif tersebut telah tertuang dalam UU
Penataan Ruang, khususnya Pasal 69-70 ,” Berikut ini adalah bunyi Pasal yang
dimaksud Pasal 69Ayat (1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang
telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan
perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).ayat (2) Jika tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta
benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah).ayat (3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).Pasal 70 Ayat (1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan
izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).Ayat (2) Jika tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Ayat (3) Jika tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan
barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).Ayat (4) Jika
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 75 Ayat (1) Setiap orang
yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69,
Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72, dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada
pelaku tindak pidana. Ayat (2) Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana. Aplikasi tata
ruang di daerah umumnya sudah sesuai dengan peruntukan, namun mayoritas belum
disertai dengan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Secara implementatif, siapapun
masyarakat yang hendak melakukan pemanfaatan ruang atau mendirikan bangunan di
atas sebuah lahan harus memiliki izin dari Pemerintah Daerah. Kondisi yang
berkembang saat ini tidak sedikit IMB yang sesungguhnya “cacat” karena berisikan
izin pendirian untuk satu atau lebih bangunan dengan peruntukan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang.Perlu segera dilakukan pengembalian fungsi sesuai
peruntukan ruang karena tidak ada istilah “pemutihan” dalam rencana tata ruang,
Seiring upaya untuk menciptakan ruang yang nyaman dan menumbuhkan awareness
dari masyarakat terhadap aturan-aturan yang terdapat UUPR, maka diharapkan
penyelenggaraan penataan ruang harus sesuai dengan aturan teknis yang ada. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi dampak yang besar dari pelanggaran penataan ruang,
seperti halnya kasus Situ Gintung, Kasus Situ Gintung yang terjadi pada tanggal 27
Maret 2009 menyita perhatian masyarakat Indonesia yang cukup luar biasa. Situ
Gintung dikenal sebagai kawasan yang asri dan menjadi salah satu alternatif tujuan
wisata. Tepi Situ Gintung berkembang menjadi tempat wisata yang memanfaatkan
keindahan situ tersebut, serta menjadi alternatif bagi yang ingin menikmati makan
siang yang nyaman karena di tepi situ tersebut juga berkembang beberapa restoran.
Namun tanpa diduga bencana itu terjadi, dan keindahan situpun menjadi hilang. Namun
yang paling menyedihkan adalah akibat jebolnya tanggul situ tersebut kawasan
perumahan di bagian hilir Situ Gintung disapu oleh air bah dan mengakibatkan 99
korban jiwa, ratusan rumah hancur, dan sekitar 1000 orang harus mengungsi. Bencana
tersebut walaupun tidak sebesar bencana tsunami di Aceh, namun tetap membuat kita
terharu, sedih dan tentunya juga bertanya-tanya, kenapa bencana tersebut bisa terjadi
dan kenapa begitu besar kerugian yang ditimbulkannya, baik kerugian jiwa maupun
materil.Tingginya curah hujan yang terjadi sejak sehari sebelum jebolnya tanggul yang
mengakibatkan terjadinya limpasan air di atas tanggul (overtopping) dilaporkan
sebagai salah satu penyebab jebolnya tanggul situ tersebut. Namun demikian, yang
perlu menjadi perhatian kita adalah kenapa begitu banyak korban jiwa dan kerugian
material lainnya. Kenapa di bagian hilir situ berkembang kawasan perumahan yang
padat ?Bagaimana bisa kawasan yang seharusnya adalah daerah tangkapan air malah
berkembang menjadi kawasan pemukiman yang padat penduduk. Konsekuensi
pelanggaran tata ruang yang serius ini telah menyebabkan kehancuran infrastruktur
akibat tidak mampu menyangga beban limpasan air. Bencana Situ Gintung, Tangerang
27 Maret 2009 Oleh karena itu penegakan hukum bagi pelanggaran peruntukan ruang
yang bisa mengakibatkan bencana bagi daerah sekitarnya harus terus dilakukan.
Sehingga adanya kesan publik dimana peraturan hanya sebatas kebijakan yang dalam
aplikasinya sering tidak sesuai, dapat diminimalisir. III. KONTEN DAN TEKNIS
MASING-MASING JENIS PERENCANAAN Perencanaan Tata Ruang Perkotaan
Penataan ruang khusus untuk perkotaan sebenarnya sudah dimulai sejak zaman
Belanda. Setelah kemerdekaan, ada pengaturan baru sejak tahun 1985 berupa Surat
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum dalam
perencanaan kota. Sesuai dengan Surat Keputusan Bersama tersebut Departemen
Dalam Negeri bertangggung jawab di bidang administrasi perencanaan kota,
sedangkan Departemen Pekerjaan Umum bertanggung jawab di bidang teknik (tata
ruang) kota. Atas dasar pembagian wewenang itu, Menteri Pekerjaan Umum
mengeluarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 640/KPTS/1986 tentang
Perencanaan Tata Ruang Kota, dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Kota. Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) adalah suatu rencana pemanfaatan
ruang kota, yang berisikan rencana pembangunan kota yang terkait dengan ruang,
sehingga tercapai tata ruang kota yang dituju dalam kurun waktu tertentu dimasa yang
akan datang. Rencana program pembangunan kota disusun untuk 20 tahun ke depan
dan dibagi dalam tahapan lima tahanan. Dalam hal ini, harus dipadukan pendekatan
sektoral dan pendekatan regional (ruang), sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, terdapat 4
(empat) tingkatan rencana tata ruang kota, yaitu sebagai berikut : a.Rencana umum tata
ruang perkotaan, yaitu menggambarkan posisi kota yang direncanakan terhadap kota
lain secara nasional dan hubungannya dengan wilayah belakangnya; b.Rencana umum
tata ruang kota, yaitu menggambarkan pemanfaatan ruang kota secara keseluruhan;
c.Rencana detail tata ruang kota, yaitu menggambarkan pemanfaatan ruang kota secara
lebih rinci; dan d.Rencana teknik ruang kota, yaitu menggambarkan rencana geometri
pemanfaatan ruang kota sehingga sudah bisa menjadi pedoman dalam penentuan sait
(site) pembangunan/konstruksi kota. Selanjutnya, sesuai dengan keputusan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota,
Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) setidaknya harus berisikan hal-hal sebagai
berikut : a.Kebijaksanaan pengembangan penduduk kota; b.Rencana pemanfaatan
ruang kota; c.Rencana struktur pelayanan kegiatan kota; d.Rencana sistem transportasi;
e.Rencana sistem jaringan utilitas kota; f.Rencana kepadatan bangunan; g.Rencana
ketinggian bangunan; h.Rencana pemanfaatan air baku; i.Rencana penanganan
lingkungan kota; j.Tahapan pelaksanaan bangunan; dan k.Indikasi unit pelayanan kota
Kebijaksanaan pengembangan penduduk kota berkaitan dengan jumlah penduduk dan
kepadatan penduduk pada setiap bagian wilayah kota. Jumlah penduduk untuk
keseluruhan kota harus diproyeksikan dengan memperhatikan trend masa lalu dan
adanya berbagai perubahan ataupun usaha/kegiatan yang dapat membuat laju
pertambahan penduduk dapat lebih cepat atau lebih lambat dari masa lalu. Rencana
struktur/pemanfaatan kota adalah perencanaan bentuk kota dan penentuan berbagai
kawasan di dalam kota serta hubungan hierarki antara berbagai kawasan tersebut.
Bentuk kota tidak terlepas dari sejarah perkembangan kota, namun sedikit banyak
dapat diarahkan melalui penyediaan fasilitas/prasarana dan penetapan berbagai
ketentuan yang berkaitan dengan tata guna lahan, sedangkan Rencana struktur
pelayanan kegiatan kota menggambarkan hierarki fungsi kegiatan sejenis di perkotaan.

Anda mungkin juga menyukai