Laporan-2015-B2P2TOOT-Uji Keamanan Dan Kha PDF
Laporan-2015-B2P2TOOT-Uji Keamanan Dan Kha PDF
LAPORAN PENELITIAN
Oleh :
drh. Galuh Ratnawati, dkk
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
BALAI BESAR LITBANG TANAMAN OBAT DAN OBAT TRADISIONAL
Jl. Raya Lawu No. 11 Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah 57792
Telp: 0271-697010, Fax: 0271-697451
Website: www.b2p2toot.litbang.depkes.go.id, Email: b2p2toot@litbang.depkes.go.id
2015
1
RINGKASAN EKSEKUTIF
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan lesi
eksimatous khas dan sensasi gatal yang terus-menerus (Ring, 2015). DA merupakan
pintu masuk dari penyakit alergi berikutnya antara lain asma dan rhinitis alergi
(Eichenfield et.al, 2003). Faktor penyebab dermatitis atopik merupakan kombinasi
faktor genetic (keturunan) dan lingkungan seperti kerusakan fungsi kulit, infeksi, stress,
dan lain-lain (Natalia dkk, 2011). DA mempengaruhi orang dewasa dan anak-anak
dengan tingkat prevalensi di seluruh dunia 1-20%. (Kim, 2013).Dermatitis atopik
umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Pengobatan DA
menggunakan kortikosteroid topikal maupun sistemik untuk jangka panjang harus
diamati efek samping yang mungkin terjadi karena perjalanan penyakit DA bersifat
kronik dan residif. Untuk mengurangi kerugian penderita karena penggunaan
kortikosteroid jangka panjang, masih diperlukan pengembangan pengobatan alternatif
yang efektif dan lebih aman. Pengobatan menggunakan tanaman obat saat ini menjadi
salah satu alternatif pengobatan yang dipilih oleh penderita alergi. Tumbuhan Obat
yang secara empiris telah digunakan diantaranya adalah sembung (Blumea
balsamifera), rumput teki (Cyperus rotundus), cabe jawa (Piper retrofractum), jahe
(Zingiber officinale).
Hasil menunjukkan pemeberian jamu untuk dermatitis atopik dosis 1250, 2500
dan 5000 mg/kg bb tidak menyebabkan gejala keracunan dan kematian selama 14
pengamatan pasca pemberian secara oral, didukung oleh hasil pemeriksaan kimia darah
terutama untuk fungsi ginjal dan hati. Begitupun pada uji toksisitas subkronik,
pemberian selama 90 jamu dengan dosis 1350, 2700, 5400, dan 10800 mg/kg bb
menunjukkan hal yang sama dengan hasil uji toksisitas akut.
2
ABSTRAK
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan lesi
eksimatous khas dan sensasi gatal yang terus-menerus (Ring, 2015). DA merupakan
pintu masuk dari penyakit alergi berikutnya antara lain asma dan rhinitis alergi
(Eichenfield et.al, 2003). Faktor penyebab dermatitis atopik merupakan kombinasi
faktor genetic (keturunan) dan lingkungan seperti kerusakan fungsi kulit, infeksi, stress,
dan lain-lain (Natalia dkk, 2011). DA mempengaruhi orang dewasa dan anak-anak
dengan tingkat prevalensi di seluruh dunia 1-20%. Studi Internasional epidemiologi dan
variabilitas geografis pada prevalensi AD telah dilakukan dalam tiga tahap dengan
1.000.000 subyek dalam penelitian tahap ketiga. Prevalensi terus bervariasi dan telah
berubah di berbagai wilayah dunia (Kim, 2013).
Hasil menunjukkan pemeberian jamu untuk dermatitis atopik dosis 1250, 2500
dan 5000 mg/kg bb tidak menyebabkan gejala keracunan dan kematian selama 14
pengamatan pasca pemberian secara oral, didukung oleh hasil pemeriksaan kimia darah
terutama untuk fungsi ginjal dan hati. Begitupun pada uji toksisitas subkronik,
pemberian selama 90 jamu dengan dosis 1350, 2700, 5400, dan 10800 mg/kg bb
menunjukkan hal yang sama dengan hasil uji toksisitas akut.
3
TIM PENELITI
4
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................................. 1
RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................ 2
ABSTRAK ............................................................................................................................ 3
TIM PENELITI ..................................................................................................................... 4
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 5
I. LATAR BELAKANG ................................................................................................. 6
a. Masalah Penelitian ................................................................................................ 6
b. Topik Penelitian.................................................................................................... 8
c. Pertanyaan Penelitian ........................................................................................... 8
d. Pertimbangan Fokus Penelitian ............................................................................ 8
II. MANFAAT PENELITIAN ......................................................................................... 9
III. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................. 9
IV. METODE PENELITIAN .......................................................................................... 10
1. Kerangka Konsep Penelitian .............................................................................. 10
2. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................................ 10
3. Jenis penelitian ................................................................................................... 11
4. Desain Penelitian ................................................................................................ 11
5. Populasi dan Sampel........................................................................................... 11
6. Cara Pemilihan dan Estimasi Besar Sampel ....................................................... 11
7. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data ............................................................. 11
8. Bahan dan Prosedur Kerja .................................................................................. 12
9. Prosedur kerja ..................................................................................................... 12
10. Analisis data ....................................................................................................... 19
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................. 20
VI. KESIMPULAN ......................................................................................................... 25
VII. UCAPAN TERIMAKASIH ...................................................................................... 26
VIII. DAFTAR KEPUSTAKAAN .................................................................................... 27
IX. PERSETUJUAN ATASAN YANG BERWENANG ............................................... 29
5
I. LATAR BELAKANG
a. Masalah Penelitian
Alergi merupakan keadaan hipersensitif yang diperantarai oleh kondisi
imunologis dan allergen. Alergi dapat dilihat di hampir setiap organ, paling sering di
kulit dan selaput lendir. Alergi bukanlah penyakit itu sendiri, tetapi
mekanisme yang mengarah ke penyakit. Dalam praktek klinis, alergi dimanifestasikan
dalam berbagai bentuk seperti kondisi anafilaksis, urtikaria, angioedema,
rhinoconjunctivitis alergi, asma alergi, serum sickness, vaskulitis alergi, hipersensitif
pneumonitis, atopik dermatitis (eksim), dermatitis kontak dan reaksi granulomatosa
(Ring, 2014).
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan
lesi eksimatous khas dan sensasi gatal yang terus-menerus (Ring, 2015). DA
merupakan pintu masuk dari penyakit alergi berikutnya antara lain asma dan rhinitis
alergi (Eichenfield et.al, 2003). Faktor penyebab dermatitis atopik merupakan
kombinasi faktor genetic (keturunan) dan lingkungan seperti kerusakan fungsi kulit,
infeksi, stress, dan lain-lain (Natalia dkk, 2011). DA mempengaruhi orang dewasa dan
anak-anak dengan tingkat prevalensi di seluruh dunia 1-20%. Studi Internasional
epidemiologi dan variabilitas geografis pada prevalensi AD telah dilakukan dalam
tiga tahap dengan 1.000.000 subyek dalam penelitian tahap ketiga. Prevalensi terus
bervariasi dan telah berubah di berbagai wilayah dunia (Kim, 2013).
Dermatitis atopik umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat
dikontrol. Pengobatan DA menggunakan kortikosteroid topikal maupun sistemik
untuk jangka panjang harus diamati efek samping yang mungkin terjadi karena
perjalanan penyakit DA bersifat kronik dan residif. Untuk mengurangi kerugian
penderita karena penggunaan kortikosteroid jangka panjang, masih diperlukan
pengembangan pengobatan alternatif yang efektif dan lebih aman. Pengobatan
menggunakan tanaman obat saat ini menjadi salah satu alternatif pengobatan yang
dipilih oleh penderita alergi. Oleh karena itu eksplorasi mengenai efektivitas dan
keamanan beberapa tanaman obat perlu dilakukan.
Sembung (Blumea balsamifera) merupakan tanaman asli Amerika, namun
sekarang tersebar secara pantropik. Secara empiris sembung telah digunakan oleh
masyarakat, antara lain di Jawa akar sembung dimasukkan dalam resep untuk
pengobatan nyeri pinggang, pasta daun ditapalkan pada dahi untuk mengobati sakit
kepala. Di Malaysia daun sembung digunakan untuk rematik dan nyeri pinggang,
6
dekok akar sembung digunakan sebagai obat untuk perawatan setelah melahirkan. Di
Afrika, air perasan daun sembung digunakan dengan ditapalkan untuk penurun panas
pada anak, atau langsung dibalurkan pada tubuh orang dewasa (Lemmens and
Bunyapraphatsara, 2003). Dalam Bahasa Cina biasa disebut "Ainaxiang" dan
"Dafeng'ai" dan digunakan sebagai dupa karena memiliki tingkat tinggi dari minyak
atsiri. Seluruh bagian tanaman atau daunnya digunakan sebagai bahan obat minyak
mentah tradisional Cina untuk mengobati eksim, dermatitis, beri-beri, sakit pinggang,
menorrhagia, rematik, kulit cedera, dan sebagai insektisida (Pang, et.al, 2014).
Salah satu dari banyak klaim kesehatan dikaitkan dengan jahe (Zingiber
officinale) adalah kemampuannya diakui untuk mengurangi peradangan,
pembengkakan, dan nyeri. Jahe juga dikenal untuk mengobati penyakit terkait seperti
sakit tenggorokan, sembelit, muntah, hipertensi, demensia, demam, penyakit menular.
Aktivitas farmakologi utama jahe dan senyawa yang diisolasi dari itu meliputi;
imunomodulator, anti-tumorigenik, anti-apoptik, anti-hiperglikemia, tindakan anti-
lipidemik dan anti-muntah (Shallangwa et.al., 2015). Penelitian secara in-vivo
menunjukkan bahwa ekstrak rimpang jahe secara oral menurunkan edema pada
tangan tikus. Potensi ekstrak sebanding dengan asam asetilsalisilat. Senyawa (6)-
shagaol menghambat induksi karagenan penyebab edema pada tangan tikus dengan
menghambat aktivitas siklooksigenase (Depkes RI, 2000). Kasus dermatitis terkait
dengan reaksi inflamasi, sehingga jahe dimasukkakn ke dalam ramuan sebagai
antiinflamasi.
Rumput teki (Cyperus rotundus) pada umumnya yang digunakan sebagai
bahan obat adalah bagian rimpang yang telah dibersihkan dari serabut yang melekat.
Dalam keadaan segar, dimemarkan dan dibubuhkan ke dalam minuman sebagai obat
busung air, kencing batu. Ekstrak cair 5% dapat mengurangi kontaktilitas "uterus
terisolir" kucing dan anjing (baik yang hamil maupun yang tidak hamil). Efek ekstrak
etanol yang diberikan dengan takaran 100 mg/kg BB secara intra peritoneal dapat
menghambat timbulnya pembengkakan yang disebabkan karena carragenin atau
formaldehida. Efek tersebut lebih nyata bila dibandingkan dengan 5-10 mg/kg
hidrokortison (8 kali lebih kuat) (Anonim, 2012). Secara tradisional rimpang teki
digunakan sebagai obat baik untuk penggunaan dalam (minum) maupun luar.
Penggunaan secara eksternal rimpang teki antara lain untuk mengobati luka, ulser,
sakit kepala, scabies, eksim, obesitas, dan konjunktivitis (Sofia, 2014).
7
Ekstrak cabe jawa dilaporkan mengurangi kontraksi ileum tikus terisolir
dan menghambat aktivitas asetilkolin. Ekstrak metanol kulit kayu Piper retrofractum
yang diberikan pada tikus dan mencit dengan dosis 125, 250 dan 500 mg/kg bb
dengan metode yang umum digunakan, dilaporkan memberi efek signifikan
(tergantung pada dosis) sebagai analgesik, antiinflamasi, antidiare, penurun motilitas
saluran cerna, dan hipnotik. Cabe jawa yang berpengaruh normal sebagai diuretik
hanya terjadi pada dosis tinggi (Taufikurrahman, 2005).
Meskipun secara tunggal belum ada penelitian yang mengungkapkan
khasiat tumbuhan obat diatas sebagai anti alergi namun secara empiris tumbuhan-
tumbuhan diatas telah digunakan sebagai obat untuk alergi. Eksplorasi tumbuhan obat
sebagai pilihan lain terapi pada alergi diperlukan mengingat penggunaan
kortikosteroid dalam jangka panjang banyak memiliki efek samping yang tidak
diinginkan slah satunya menekan kekebalan tubuh. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi ilmiah mengenai penggunaan tumbuhan obat diatas sebagai
obat alergi. Penelitian mengkhususkan untuk terapi pada model alergi dermatitis
atopik.
b. Topik Penelitian
Studi praklinik ramuan jamu untuk dermatitis atopik.
c. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ramuan jamu untuk alergi berpengaruh terhadap model alergi dermatitis
atopik?
2. Apakah ramuan jamu untuk dermatitis atopik aman dikonsumsi?
8
II. MANFAAT PENELITIAN
Mendapatkan informasi mengenai aktivitas dan toksistas akut maupun subkronis
ramuan jamu untuk alergi.
Umum : Mengetahui pengaruh ramuan jamu terhadap model alergi dermatitis atopik.
Khusus :
1. Mengetahui pengaruh ramuan jamu untuk alergi terhadap model alergi
dermatitis atopik.
2. Mengkaji toksisitas akut ramuan jamu untuk alergi dermatitis atopik.
3. Mengkaji toksisitas Subkronik ramuan jamu untuk alergi dermatitis atopik.
9
IV. METODE PENELITIAN
Toksisitas Hipersensitivitas
bahan individu
Diperantarai
Non imun
imun
iritasi,
intoksikasi, Reaksi Psiko-
Intoleran Idiosinkrasi Alergi
kerusakan neurogenik
kronis
2. Kerangka Teori
Alergen
Kulit
Sel Langerhans
Ramuan jamu
Sel B
Ig E
Ramuan Jamu
Sel Mast
Eosinofil
Histamin Dermatitis Atopik
Makrofag
10
3. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Balai Besar Litbang TO & OT,
Tawangmangu. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret – Desember 2015.
4. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental.
5. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 7 perlakuan untuk uji
aktivitas dan 4 perlakuan untuk masing-masing uji toksisitas.
Kriteria Eksklusi :
a. Bunting
b. Menyusui
12
h. Formaldehid
i. Formalin
j. ELISA kit
Alat
a. Pipa kapiler
b. Mikropipet
c. Tabung conical
d. Mikroskop
e. Kapas
f. Minorset
g. Alat sentrifus
h. Jarum oral
i. ELISA reader
Berdasarkan tabel 1 maka diperoleh perbandingan sembung: jahe: rumput teki: cabe
jawa adalah 26:13:18,2:20,8 dan dosis sebesar untuk tikus 540 mg/200 g bb tikus atau
dapat ditulis 2700 mg/kg bb. Penelitian ini menggunakan 4 peringkat dosis ramuan
simplisia yaitu:
1. D1: 1350 mg/kg bb tikus
2. D2: 2700 mg/kg bb tikus
3. D3: 5400 mg/kg bb tikus
13
4. D4: 10800 mg/kg bb tikus
Dosis ramuan simplisia tersebut kemudian dibuat infusa. Penelitian ini menggunakan
stok sari infusa 10%, sehingga rumus volume pemberian adalah: (Dosis/10) x
volumen stok. Pembuatan infusa sesuai Farmakope Indonesia, dengan perbandingan
10% b/v. Ramuan dipanaskan dalam pot infus berisi air suhu 90oC selama 15 menit.
Infus didinginkan kemudian disaring dan diuapkan diatas waterbath agar volumen
pemberian tidak terlalu besar.
Tahap Pelaksanaan
a. Uji aktivitas
Penelitian ini mengadopsi metode yang digunakan Kim et.al, 2012. Prosedur
pengujian secara skematis dijelaskan pada gambar 1. Untuk mendapatkan model
dermatitis atopik dengan induksi OVA (ovalbumin), tikus uji disensitisasi secara
intraperitoneal dengan 140 µg OVA sekali seminggu selama 3 minggu. Setelah 3
minggu punggung tikus dicukur menggunakan pisau cukur listrik dan secara
kutaneus ditantang dengan 2x2 cm sterile patches yang berisi OVA (700 µg) selama
2 minggu. Jamu diberikan secara oral selama sensitisasi minggu ke-2 dan ke-3
dengan OVA. Patches diganti 2 kali seminggu selama sensitisasi. Setelah akhir
penelitian tikus dikorbankan dengan sodium pentobarbital dosis 100 mg/ kg bobot
badan secara intraperitoneal (Kim, 2012).
14
Pencukuran
Pengorbanan
rambut pada area
Pemberian ramuan jamu untuk alergi Biopsi kulit
punggung
Hari
0 Hari 7 Hari 14 Hari 21 Hari 28 Hari 31 Hari 35 Hari 39 Hari 42 Hari 43
Tikus dikelompokkan menjadi 7 kelompok (@ 8 ekor, terdiri dari 4 ekor jantan dan
4 betina). Sebelum diperlakukan sesuai kelompok, mencit diambil sampel darahnya
untuk pemeriksaan IgE plasma.
Semua kelompok diberikan pakan dan minum seperti biasa. Pengambilan dan
pengukuran parameter dilakukan seperti dibawah ini.
Sampel darah diambil sebelum sensitisasi dan hari ke-14, 21, dan 28 setelah
sensitisasi melalui pleksus orbitalis dibawah anestesi phenobarbital 20 mg/kb bb i.p.
Darah disentrifus pada 2500 rpm selama 15 menit. Serum dipisahkan. Kadar IgE
diukur menggunakan ELISA kit, sesuai dengan petunjuk produsen. Plat yang dibaca
pada 490 nm menggunakan mikroplate reader (Abril et.al., 2012).
Analisis Histologi
Hewan yang telah dikorbankan ditelentangkan pada papan bedah untuk dilakukan
pembedahan. Kelenjar getah bening aksila diisolasi. Selubung peritoneum dibuka
kemudian buka kulit pada daerah aksilaris, kemudian kelenjar getah bening aksila
diangkat dan diletakkan pada cawan petri steril diameter 50 mm yang telah diisi 5
mL medium RPMI, kemudian medium disemprotkan ke dalam kelenjar getah bening
untuk mendapatkan suspensi sel tunggal. Setelah itu, dimasukkan ke dalam tabung
sentrifus 10 mL untuk disentrifus pada 1200 rpm 4°C selama 10 menit. Pelet yang
didapat diresuspensikan dalam 2 mL Tris Buffered Ammonium Chlorid untuk
melisiskan eritrosit. Sel dicampur menggunakan pipet dan didiamkan pada suhu
ruangan selama 2 menit. Suspensi tersebut disentrifus pada 1200 rpm 4°C selama 10
menit, dan supernatannya dibuang. Pelet dicuci dengan RPMI 2X dengan cara
dipipet berulang-ulang dan disentrifus pada 1200 rpm 4°C selama 5 menit.
Supernatan dibuang dan pelet yang didapat diresuspensikan pada 2 mL medium
komplet. Sel dihitung menggunakan hemositometer dan ditentukan viabilitasnya
dengan trypan blue sehingga didapat suspensi sel dengan kepadatan 106 sel/mL. Sel
limfosit dikultur pada mikroplate 96 dengan volume 100 μL/sumuran, selama 72 jam
dalam inkubator CO2 5%, 37°C (Wijayanti, 1996). Setelah masa inkubasi,
supernatan budaya dikumpulkan. Jumlah interleukin (IL) -5, IL-13, IL-4 dalam
kultur supernatan ditentukan dengan menggunakan ELISA murine kit (Yamamoto
et.al, 2007).
16
b. Uji Toksisitas Akut
Prinsip uji toksisitas akut adalah pemberian dosis tunggal suatu bahan uji secara oral
kemudian diobservasi adanya gejala toksik/ keracunan dan kematian hewan coba.
Uji toksisitas akut bertujuan menentukan nilai LD50 dan mengamati organ dalam
tubuh yang mungkin rusak sebagai efek toksis. Tikus dibagi menjadi 4 kelompok (@
10 ekor, 5 jantan dan 5 betina). Sebelum perlakuan seluruh tikus diperiksa kadar
serum SGOT, SGPT, ureum dan kreatinin. Tiap kelompok diberikan ramuan secara
oral untuk sekali pemberian dengan dosis sebagai berikut:
No Kelompok Perlakuan
1 Kontrol Aquadest
2 Dosis 1 Infusa jamu alergi 12,5 g/kg bb
3 Dosis 2 Infusa jamu alergi 25 g/kg bb
4 Dosis 3 Infusa jamu alergi 50 g/kg bb
17
abdomen, rongga dada dan diafragma terhadap adanya perubahan. Selanjutnya organ
dibersihkan dengan larutan dapar, ditimbang dan dimasukkan dalam larutan
formalin.
Penentuan LD50 (dosis yang menyebabkan kematian 50% hewan uji) menggunakan
analisa probit. Apabila tidak terjadi kematian maka hasil toksisitas akut dapat
ditentukan dosis terbesar yang masih dapat diterima hewan coba dan dinyatakan
sebagai LD50 semu.
Uji toksisitas subkronis bertujuan untuk melihat efek toksik bahan uji yang
diberikan sekali setiap hari selama 3 bulan (90 hari) terhadap adanya perubahan
karena akumulasi, toleransi, metabolisme dan kelainan khusus pada organ tertentu.
Tikus dibagi menjadi 5 kelompok (@ 8 ekor, 4 jantan dan 4 betina). Sebelum
perlakuan seluruh tikus diperiksa kadar serum SGOT, SGPT, ureum dan kreatinin.
Tiap kelompok diberikan ramuan secara oral untuk sekali pemberian dengan dosis
sebagai berikut:
No Kelompok Perlakuan
1 Kontrol Aquadest
2 Dosis 1 Infusa jamu alergi 1350 mg/kg bb
3 Dosis 2 Infusa jamu alergi 2700 mg/kg bb
4 Dosis 3 Infusa jamu alergi 5400 mg/kg bb
5 Dosis 4 Infusa jamu alergi 10800 mg/kg bb
Sebelum pemberian bahan uji dilakukan penimbangan bobot badan untuk penentuan
besaran dosis. Bahan uji diberikan selama 90 hari sesuai dengan dosis. Selama
penelitian diamati kesehatan hewan antara lain gejala-gejala umum atau kelainan
yang dijumpai misalnya diare, mutah, tremor, dsb. Penimbangan bobot badan
dilakukan sebelum pemberian bahan uji, kemudian setiap minggu selama masa
pemberian bahan uji. Parameter yang diukur adalah biokimia darah (SGOT, SGPT,
ureum, kreatinin) dan histopatologi organ penting. Pemilihan organ untuk
pembuatan preparat histopatologi yaitu hati, ginjal, jantung, paru, lien, lambung.
Pemeriksaan kadar SGOT, SGPT, ureum, kreatinin dilakukan pada hari ke-0, ke-45
dan ke-90 pemberian bahan uji. Hewan dipuasakan selama 8 -12 jam.
18
Prosedur Setelah Perlakuan
Sisa bangkai hewan uji yang telah dikorbankan dibakar dalam incinerator. Sisa abu
pembakaran dimasukkan dalam tanah dengan kedalaman ± 1 m, dilapisi dengan
kapur kemudian baru ditimbun dalam tanah.
19
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Toksisitas Akut
Pemberian jamu untuk dermatitis atopik dengan dosis 1250, 2500, dan 5000 mg/kg bb
pada tikus uji tidak menunjukkan gejala klinis selama 14 hari pengamatan. Tidak ada
kematian pada seluruh dosis dari 24 jam setelah pemberian infus formula sampai
akhir hari ke-14. Pertambahan bobot badan normal, penurunan bobot badan terjadi
pada hari ke-8 pada seluruh kelompok perlakuan namun naik lagi pada hari ke-12.
Walaupun terjadi penurunan namun ecara statistik tidak menunjukkan perbedaan
nyata (α: 0,05) (Gambar 1). Tidak ada perbedaan pertambahan bobot badan Antara
tikus kelompok dosis 1250, 2500, dan 5000 mg/kg bb terhadap kontrol.
20
Tabel 1. Nilai Ureum dan kreatinin pada Kelompok Toksisitas Akut
Ureum Creatinin
H0 H14 H0 H14
Kontrol 53,67±5,65 39,00±2,10 0,42±0,06 0,41±0,08
Dosis 12,5 g/kg 50,50±3,02 41,17±6,18 0,62±0,03 0,49±0,02
Dosis 25 g/kg 48,17±3,82 45,00±6,23 0,50±0,05 0,48±0,04
Dosis 50 g/kg 52,83±5,56 42,17±3,60 0,51±0,08 0,47±0,04
Hasil uji statistik menunjukkan berbeda tidak nyata antara kelompok dosis dan
kelompok kontrol, dan tidak ada perbedaan antara sebelum dan sesudah pemberian
jamu baik dosis rendah, sedang, maupun tinggi (α 0.05). Kadar ureum yang terukur
masih dalam batas normal. Nilai normal BUN (Blood Ureum Creatinin) yaitu 5.0-
29.0 mg/dl (Mitruka, 1981), sedangkan nilai ureum dihitung dengan rumus 60/28 dari
BUN. Dengan kata lain nilai normal ureum adalah 10,7-62,06 mg/dl. Uji statistik nilai
kreatinin juga menunjukkan berbeda tidak nyata antara kelompok dosis dengan
kontrol dan antara sebelum dan sesudah pemberian jamu. Kadar kreatinin masih
dalam batas normal yaitu 0.2-0.8 mg/dl (Mitruka, 1981). Dari data diatas
menunjukkan bahwa pemberian jamu untuk dermatitis atopik baik pada sekali dosis
pada dosis rendah, sedang maupun tinggi tidak membahayakan fungsi ginjal.
21
Tabel 2. Nilai SGOT dan SGPT pada Kelompok Toksisitas Akut
SGOT SGPT
H0 H14 H0 H14
Kontrol 97,00±6,90 75,00±7,85 52,00±4,77 78,00±16,61
Dosis 12,5 g/kg 108,17±11,79 85,50±5,50 59,33±8,07 83,83±10,68
Dosis 25 g/kg 81,00±11,37 86,67±7,50 48,67±9,33 83,33±10,71
Dosis 50 g/kg 89,33±4,72 85,00±11,26 47,00±8,85 86,83±7,25
Nilai normal SGOT tikus adalah 45,7-80,8 IU/l. Data yang tersaji menunjukkan nilai
telah melebihi normal sejak sebelum pemberian bahan uji. Ada kecenderungan kadar
SGOT turun 14 hari setelah pemberian jamu. Uji Statistik menunjukkan beda nyata
antara nilai sebelum dan sesudah pemberian jamu (α: 0,05). Nilai SGPT secara
statistik menunjukkan berbeda tidak nyata antar kelompok perlakuan dan antara
sebelum dan sesudah pemberian jamu. Nilai normal SGPT adalah 17,5-30,2 IU/l. Dari
data diatas menunjukkan nilai yang jauh melebihi normal. Namun antara sebelum dan
sesudah perlakuan secara statistik berbeda tidak nyata, sehingga faktor penyebab
tingginya kadar belum dapat disimpulkan karena pemberian jamu.
b. Toksisitas Subkronik
Pemberian jamu untuk dermatitis atopik dengan dosis 1350, 2700, 5400 dan 10800
mg/kg bb pada tikus uji tidak menunjukkan gejala klinis selama 90 hari perlakuan dan
pengamatan.
22
Tidak tampak perubahan pada pernapasan, warna tubuh dan tingkah laku serta tidak
terjadi kematian pada seluruh kelompok tikus uji dari hari pertama pemberian infus
formula sampai akhir hari ke-90. Dari gambar 3 terlihat kecenderungan bobot badan
tikus naik dari hari-ke hari selama periode pengamatan.
Hasil pemeriksaan diatas menunjukkan bahwa konsumsi jamu selama 90 hari tersebut
tidak membahayakan fungsi ginjal.
23
Uji Fungsi Hati
Nilai SGOT seluruh kelompok menunjukkan nilai yang sangat tinggi sejak sebelum
perlakuan yaitu lebih dari 120 IU/l, sedangkan nilai normal adalah 45,7-80,8 IU/l.
Nilai cenderung lebih tinggi pada hari ke-45 dan turun ke nilai awal pada hari ke-90.
Uji secara statistik menunjukkan berbeda tidak nyata (α:0,05) baik antar kelompok
maupun antar periode waktu. Demikian dengan SGPT, nilai telah sangat tinggi
mencapai 3-4 kali nilai normal (17,5-30,2 IU/l). Nilai juga cenderung naik pada hari
ke-45 dan turun ke nilai awal pada hari ke-90. Uji secara statistik menunjukkan
berbeda tidak nyata (α:0,05) baik antar kelompok maupun antar periode waktu.
Jamu tidak dapat dikatakan merusak fungsi dan organ hepar/ hati meskipun kadar
SGOT dan SGPT terukur sangat tinggi yang menjadi penanda baik atau buruknya
fungsi hepar seorang individu. Hali ini didukung oleh hasil pemeriksaan histologi
hepar (tabel 5)
Tabel 5. Pemeriksaan histopatologi organ hati pada kelompok toksisitas subkronik
Rusak
Normal
Piknotik Karioreksis Kariolisis Total
Kontrol 96,3±1,7 3,8±1,7 0,0±0,0 0,0±0,0 3,8±1,7
Dosis 1350
mg/kg 95,8±7,8 1,5±2,4 0,0±0,0 2,8±5,5 4,3±7,8
Dosis 2700
mg/kg 97,0±2,4 0,5±1,0 0,3±0,5 2,3±2,6 3,0±2,4
Dosis 5400
mg/kg 97,5±1,9 1,0±1,2 0,0±0,0 1,5±1,0 2,5±1,9
Dosis 10800
mg/kg 98,8±1,7 0,8±1,5 0,0±0,0 0,8±1,5 1,5±1,7
Dari tabel terlihat bahwa kondisi sel masih bagus dan hanya sedikit yang mengalami
kerusakan. Dari 100 sel yang diamati hanya 1-4 sel saja yang mengalami kerusakan.
Kondisi kerusakan sel kebanyakan dikarenakan sel mengalami piknotik. Piknotik
24
merupakan kondisi dimana inti sel mengalami penyusutan dan menjadi padat, secara
mikroskopik inti yang piknotik berwarna lebih gelap karena intik sel yang telah mati
tersebut lebih menyerap warna ketika proses pewarnaan jaringan.
VI. KESIMPULAN
1. Berdasarkan uji toksisitas akut ramuan jamu untuk dermatitis atopik aman,
tidak menyebabkan gejala keracunan maupun kematian.
2. Uji toksisitas subkronik menunjukkan pemberian jamu selama 90 hari tidak
menyebabkan munculnya gejala keracunan dan kematian.
25
VII. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kami sampaikan kepada rekan-rekan tim atas selesainya kegiatan
penelitian ini dan Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional sebagai
penyandang dana kegiatan penelitian melalui DIPA 2015.
26
VIII. DAFTAR KEPUSTAKAAN
27
15. WHO, 1993. Reserach Guidelines for Evaluating the Safety and Efficacy of Herbal
Medicine.
28
IX. PERSETUJUAN ATASAN YANG BERWENANG
Menyetujui
Ketua PPI Ketua Pelaksana
Mengetahui
Kepala B2P2TO-OT Tawangmangu
29