Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan suatu keganasan yang memiliki karakteristik


epidemiologi yang unik, dengan insiden yang bervariasi sesuai ras dan perbedaan geografi.
Insiden kanker nasofaring pada beberapa tempat di dunia masih sangat jarang. Di Amerika
Serikat angka insiden kurang dari 1 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya. Namun, di
beberapa Negara di Asia (terutama di Cina bagian selatan) dan Afrika bagian utara kasus kanker
nasofaring banyak ditemukan.

Pada tahun 2002, ditemukan sekitar 80.000 insiden kanker nasofaring di seluruh dunia,
dan diperkirakan menyebabkan kematian pada 50.000 penderita. Di Indonesia, dari seluruh
kanker kepala dan leher, kanker nasofaring menunjukkan entitas yang berbeda secara
epidemiologi, manifestasi klinis, marker biologi, faktor risiko, dan faktor prognostik. Prevalensi
kanker nasofaring di Indonesia adalah 6.2/100.000, dengan hampir sekitar 13.000 kasus baru,
namun itu merupakan bagian kecil yang terdokumentasikan. Marlinda dkk., melaporkan kanker
nasofaring adalah kanker kepala leher tersering (28.4%), dengan rasio pria-wanita adalah 2:4 dan
endemis di pulau Jawa.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Karsinoma nasofaring (KARSINOMA NASOFARING) adalah tumor ganas yang


tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring
(16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, dan hipofaring dalam presentase yang rendah.

2.2. Epidemiologi dan Etiologi

Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-Mongoloid, namun


demikian daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2.500
kasus baru pertahun untuk propinsi Guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39.84/100.000
penduduk.

Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga


kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong,Vietnam, Thailand,
Malaysia, Sinapura dan Indoensia. Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika
bagian Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Tanah hijau
yang diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam
musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin.

Di Indonesia frekuensi pasien karsinoma nasofaring hampir merata di setiap daerah. Di


RSUPN Dr. Cipto Mangnkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus pertahun,
RS.Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Padang 25 kasus, Palembang 25
kasus, 15 kasus pertahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi. Demikian
pula angka-angka yang di dapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain
menunjukan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indoensia. Dalam pengamatan dari

2
pengunjungan poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina
relatif lebih sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainnya.

Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus Epstein-Barr
yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan
kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain
sekalipun. Banyak penyelidikan mengenai perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi virus
ini bukan satu satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi
kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, jenis kelamin, genetik, pekerjaan,
lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit.

Letak goegrafis sudah disebutkan di atas, demikian pula faktor ras. Tumor ini lebih
sering ditemukan pada laki-laki dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti,
mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan, dan lain-lain.
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan
makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan
makanan dengan motalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan
keganasan lain tidak jelas.

Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan)
terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya terjadi karsinoma. Pengaruh genetik
terhadap karsinoma nasofaring sedang dalam pembuktian dengan mempelajari cell-mediated
immunity dari virus Epstein-Barr dan tumor associated antigens pada karsinoma nasofaring.
Sebagian besar pasien adalah golongan sosial ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula
dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. Pengaruh infeksi dapat dilihat dengan
menurunnya kejadian melaria akan diikuti oleh menrunnya pula Limfoma Burkitt, suatu
keganasan yang disebabkan oleh virus yang sama.

2.3. Gejala dan Tanda

Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring
itu sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gelaja

3
nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan di hidung, sehingga nasofaring
harus diperiksa dengan cermat, karena sering kali gejala belum ada sedangkan tumor sudah
tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat dibawah mukusa (creapingtumor).

Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor
dekat dengan muara tuba Eustachius (Fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus,
rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telingan (otalgia). Tidak jarang pasien
dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian di sadari bahwa penyebabnya adalah
karsinoma nasofaring.

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa saraf
lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjur karsinoma ini.
Perjalanan melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula
ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopialah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter
mata. Neuralgia trigeminal merupakan gelaja yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika
belum terdapat keluhan lain yang berarti.

Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring.
Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf
otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak, dan
bila sudah terjadi hal demikian biasanya prognosisnya buruk.

Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien
untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain. Suatu kelainan nasofaring
yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti di Cina (RRC), yaitu 3
bentuk yang mencurigakan pada nasofaring, seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa,
pembesaran nodul dan mukosistis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti
bertahun-tahun kemudian akan menjadi karsinoma nasofaring.

2.4. Patofisiologi

Nasofaring merupakan daerah utama untuk karsinoma sel squamosal, karsinoma yang
tidak berdiferensiasi, adenokarsinoma, dan limfoma primer. Limfoepitelioma, yang

4
mengenai nasofaring pada idividu yang lebih muda, menunjukan karsinoma sel skuamosa
digabung dengan elemen jaringan limfatik. Tumor-tumor ganas pada nasofaring dapat tetap
tenang sampai tumor tersebut mengenai struktur sekitarnya.

Karsinoma sel skuamosa timbul sebagai lesi ulseratif dengan ujung yang nekrotik,
biasanya dikelilingi oleh reaksi radang. Jika tumor tetap sebagai lesi ulseratif, seringkali
dikelilingi oleh daerh leukoplakia jenis pra-maligna. Pada awalnya tumor menyebar
sepanjang permukaan mukosa, akhirnya meluas ke dalam jaringan lunak di bawahnya.

Penyebab virus, khususnya virus Epstein-Barr dihubungkan dengan terjadinya


karsinoma nasofaring. Infeksi virus Epstein-Barr terhadap sel epitel nasofaring telah terbukti
menyebabkan perubahan keganasan dengan ditemukannya antigen inti dan DNA EBV pada
karsinoma nasofaring. Genom EBV juga telah ditemukan pada lesi prekanker karsinoma
nasofaring.

Lokasi predileksi karsinoma nasofaring terletak di fossa Rosen-muller, disekitar muara


tuba Eustachius. Oleh karena letaknya ini, keluhan telinga unilateral menjadi salah satu
gejala dini pasien karsinoma nasofaring. Pembesaran dan ekstensi tumor selanjutnya dapat
menekan berbagai struktur di sekitarnya. Invasi melalu foramen laserum akan menebabkan
gangguan N. III, IV, V, dan VI. Penjalaran melalui foramen jugulare akan mengenai N. IX –
N. XII. Terkenanya saraf kranial kelima dapat menyebabkan nyeri local atau nyeri fasial
atau mati rasa. Jika tumor meluas ke atas dapat menyebabkan diplopia karena terkenanya
saraf keenam dan kemudian saraf kranial ketiga. Perluasan ke depan menyebabkan obstruksi
hidung. Perluasan ke lateral mengenai tuba eustachius menyebabkan otitis media serosa
unilateral dengan tuli tekinga hantaran (konduksi). Metastasis tumor ini ke retrofiring,
jugular profunda, dan kelenjar getah bening asesorius spinal. Pembesaran kelenjar getah
bening yang soliter terletak di posterior dan atas leher seringkali merupakan petunjuk awal
penegakan diagnosis karsinoma nasifaring.

2.5. Diagnosis

Persoalan diagnosis sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah


kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit
ditemukan.

5
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus Epstein-Barr
telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. IgA anti EA
sensitivitasnya 100% namun spesifisitasnya hanya 30%, sehingga pemeriksaan ini hanya
digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Titer yang didapat berkisar antara 80
sampai 1280 dan terbanyak hingga 160.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsy dapat


dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsy dari mulut dari hidung
dilakukan tanpa melihatjenis tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukkan melalui
rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke
lateral dan dilakukan biopsy.

Biopsy melalui mulut dengan menggunakan bantuan kateter nellaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem
bersama-sama dengan ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan kateter dari
hidung disebelahnya, sehingga palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring
dilihat daerah nasofaring. Biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalu kac tersebut tau
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih
jelas. Biopsy nsofring umumnya dilakukan dengan analgesic topical dengan xylocain 10%.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan
pengerokan dengan kuret derah lateral nasofaring dalam narcosis.

Histopatologi

Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma (epidermoid) pada
nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), kasinoma tidak berkeratinisasi
dan karsinoma tidak berdiferensiasi. Semua yang kita kenal selama ini dengan
limfoepitelioma, sel transisional, sel spindle, sel clear, anaplastic dan lain-lain dimasukkan
dalam kelompok tidak berdiferensiasi.

6
Stadium

7
2.6. Penatalaksanaan

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada pasien dengan
Karsinoma Nasofaring. Pengobatan tambahan yang dapat diberikan berupa diseksi leher,
pemberian Tetrasiklin, faktor trasnfer, Interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin, dan
antivirus.

Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi


masih tetap yang terbaik sebagi terapi ajuvan (tambahan). Berbagai macam kombinasi
dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi Cis-platinum sebagai inti.

Pemberian ajuvan kemoterapi Cis-platinum, Bleomycin, dan 5-fluorouracil sedang


dikembangkan dengan hasil yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan
penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan Epirubicin dan Cis-platinum, meskipun
ada efek samping yang cukup berat, tetapi masih memberikan harapan kesembuhan yang
lebih baik.

Kombinasi kemo-radioterapi dengan Mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari


sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitisasi memperlihatkan hasil yang
memberikan harapan akan kesembuhan total pada pasien Karsinoma Nasofaring.

Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher


yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran selesai,
tetapi dengan syarat tumot induknya sudah sudah hilang dengan dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik dan serologi serta tidak ditemukan adannya metastasis jauh. Operasi
tumor induk sisa atau kambuh sendiri bisa dilakukan, tetapi sering timbul komplikasi yang
berat akibat operasi.

Perawatan Paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut akan
terasa kerig yang disebabkan oleh kerusakan kelenjar air liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Tidak banyak yang dapat dilakukan selain memberikan arahan kepada pasien
untuk makan makanan yang mengandung kuah dan membawa minuman ke mana pun
mereka pergi serta mencoba memakan dan mengunyak bahan makanan dengan rasa asam

8
sehingga mampu merangsang keluarnya air liur. Gangguan lainnya adalah mukositis rongga
mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran,
sakit kepala, kehilangan nafsu makan, dan kadang-kadang mual atau muntah.
Kesulitan akan timbul pada perawatan pasien pascapengobatan lengkap di mana tumor
tetap ada (residu), kambuh kembali (residif), atau dapat pula terjadi metastasis jauh seperti
ke tulang, paru, hati, dan otak. Pada kondisi tersebut tidak banyak tindakan medis yang
dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Perawatan paliatif diindikasikan langsung terhadap penggurangan rasa nyeri, mengontrol
gejala, dan memperpanjang usia hidup. Sebagai contoh, yatitu radiasi sangat efektif untuk
mengurangi rasa nyeri akibat metastasis tulang. Pasien kemudian akan meninggal pada
akhirnya akibat keadaan umum yang buruk, perdarahan dari hidung dan nasofaring yang
tidak dapat dihentikan, dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor.
Follow Up
Tidak seperti keganasan kepala dan leher lainnya, Karsinoma Nasofaringini
mempunyai risiko terjadinya rekurensi, maka dari itu diperlukan follow up jangka panjang.
Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi
antara 5-10 tahun. Oleh karena itu, pasien Karsinoma Nasofaring perlu di-follow up
setidaknya hingga 10 tahun setelah terapi.

9
Pencegahan
Vaksinasi diberikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko
tinggi. Caranya, yaitu memindahkan atau migrasi penduduk dari daerah dengan risiko tinggi
ke tempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
memasak makanan untuk akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya, penyuluhan
mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosioekonomi, dan
berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan peningkatan faktor
penyebab perlu dilakukan. Tes serologik IgA anti-VCA dan IgA anti-EA secara massal di
masa yang akan datang tentunya dapat bermanfaat dalam menemukan Karsinoma
Nasofaring secara lebih dini (Roezin dan Adham, 2007).
2.8. Komplikasi

2.7. Prognosis

Prognosis pasien dengan Karsinoma Nasofaring dapat sangat berbeda antara


subkelompok yang satu dengan subkelompok yang lain. Penelitian tentang faktor-faktor
yang dapat memengaruhi prognosis masih terus berlangsung hingga saat ini. Kebanyakan
faktor-faktor prognosis bersifat genetik ataupun molekuler serta klinik (pemeriksaan fisik
maupun penunjang). Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai
kesintasan 5 tahun. Menurut American Joint Committee on Cancer pada tahun 2010,
kesintasan relatif 5 tahun pada pasien dengan Karsinoma Nasofaring Stadium I hingga IV
secara berturutan sebesar 72%, 64%, 62%, dan 38% (Komite Penanggulangan Kanker
Nasional, 2017).

10
DAFTAR PUSTAKA

Komite Penanggulangan Kanker Nasional. 2017. Panduan Penatalaksanaan Kanker Nasional.


Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashirudin, J., dan Restuti, R. D. (Eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E. A. (Eds) Kapita Selekta Kedoteran Edisi II.
Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Adams, G.L., Boies, L.R., Higler, P.H. (Eds) Boies: Buku Ajar THT Edisi VI. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC

11

Anda mungkin juga menyukai