ORYZA
DR. REZA | DR. RESTHIE | DR. CEMARA
OFFICE ADDRESS:
Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan Medan :
(belakang pasaraya manggarai) Jl. Setiabudi no. 65 G, medan
phone number : 021 8317064 Phone number : 061 8229229
pin BB D3506D3E / 5F35C3C2 Pin BB : 24BF7CD2
WA 081380385694 / 081314412212 WA 082122727364
I L MU
P E N YA K I T
DALAM
1. Dengue Hemorrhagic Fever
• Transfusi trombosit:
• Hanya diberikan pada
DBD dengan
perdarahan masif (4-5
ml/kgBB/jam) dengan
jumlah trombosit
<100.000/uL, dengan
atau tanpa DIC.
• Pasien DBD
trombositopenia tanpa
perdarahan masif tidak
diberikan transfusi
trombosit.
2. Infeksi Dengue
• Secara laboratoris, kasus DBD diklasifikasikan
menjadi:
– presumtif positif/kemungkinanan demam dengue:
apabila ditemukan kriteria klinis infeksi dengue, uji
hemaglutinasi inhibisi ≥1:1280 dan/atau IgM
antidengue positif, atau pasien berasal dari daerah
yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed
dengue infection
– confirmed DBD (pasti DBD): deteksi antigen dengue,
peningkatan titer antibodi >4 kali pada pasangan
serum akut, dan/atau isolasi virus.
Shock
Bleeding
Primary infection: Secondary infection:
• IgM: detectable by days 3–5 after the onset of • IgG: detectable at high levels in the initial phase,
illness, by about 2 weeks & undetectable after persist from several months to a lifelong period.
2–3 months.
• IgG: detectable at low level by the end of the first • IgM: significantly lower in secondary infection
week & remain for a longer period (for many cases.
years).
3. SLE
• Klasi•
fikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria
tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
• Kriteria SLE ringan:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat,
sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
– Lama kelamaan
menjadi chronic gouty
arthritis & muncul
tophi.
– Indikasi operasi.
• Gejala anemia yang timbul, antara lain cepah lelah dan pucat, kekuningan.
• Obstruktif:
– FEV1 (volume ekspirasi paksa detik pertama) menurun lebih berat dari FVC (kapasitas vital
paksa).
– Normalnya, FEV1/FVC lebih besar dari 75% untuk usia 60 tahun dan yang lebih muda.
– Normalnya, FEV1 prediksi antara 80-120%.
• Restriktif:
– Penurunan semua volume dan kapasitas.
– Temuan klasik TLC (kapasital total paru) atau FRC (kapasitas residu fungsional) < 75% prediksi
– penurunan RV (volume residu) dan VC (kapasitas vital)
– rasio FEV1/FVC yang normal/tinggi.
11. Pulmonologi
Atrial fibrilasi
Ventricular tachycardia:
The rate >100 bpm
Broad QRS complex (>120 ms)
Regular or may be slightly irregular
13. Nyeri Sendi
• Kartilago: bantalan antara tulang untuk menyerap tekanan & agar
tulang dapat digerakkan.
• Osteoarthritis: degenerasi sendi fungsi bantalan menghilang
tulang bergesekan satu sama lain.
Penipisan kartilago
Sklerosis
Inflamasi - + + +
Temuan Sendi Bouchard’s nodes Ulnar dev, Swan Kristal urat En bloc spine
Heberden’s nodes neck, Boutonniere enthesopathy
Perubahan Osteofit Osteopenia erosi Erosi
tulang erosi ankilosis
ABC of clinical electrocardiography. Conditions not primarily affecting the heart. Corey Slovis, Richard Jenkins. BMJ volume 324. June 2004.
15. Influenza
Prevention and Control of Seasonal Influenza with Vaccines Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), 2009
16. Farmakologi
• Angina stabil:
– Umumnya dicetuskan aktivtas fisik atau emosi (stres, marah, takut),
berlangsung 2-5 menit,
– Angina karena aktivitas fisik reda dalam 1-5 menit dengan beristirahat &
nitrogliserin sublingual.
• Spider angiomata
sering ditemukan pada
populasi ini, juga
palmar erythema,
pembesaran kelenjar
parotid & lakrimal,
atrofi testis, asites,
kolateral vena, ikterus,
& ensefalopati.
https://gi.jhsps.org/GDL_Disease.aspx?CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=024CC2E1-2AEB-4D50-9E02-C79825C9F9BF&GDL_Disease_ID=FE859301-
360B-4201-959B-3256E859CD01
23. Alcoholic Hepatitis
23. Alcoholic Hepatitis
24. PPOK
24. PPOK
24. Penyakit Paru
• Radiologi PPOK:
– Pada emfisema terlihat:
• Hiperinflasi
• Hiperlusen
• Ruang retrosternal melebar
• Diafragma mendatar
• Jantung menggantung (jantung pendulum)
– Pada bronkitis kronik:
• Normal
• Corakan bronkovaskular bertambah pada 21% kasus.
24. Penyakit Paru
• Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau
faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
• Gejala eksaserbasi :
– Sesak bertambah
– Produksi sputum meningkat
– Perubahan warna sputum
• Rekomendasi :
– Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah
CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium
klinisnya.
– Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB
aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa
memandang jumlah CD4.
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa Kementerian. Kemenkes 2011.
26. Infeksi HIV
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa Kementerian. Kemenkes 2011.
Guidelines HIV WHO (2013)
• Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala
berikut yaitu:
– nyeri epigastrium,
– rasa terbakar di epigastrium,
– rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna
atas, mual, muntah, dan sendawa.
Hypoglycemia in diabetes: Common, often unrecognized. Cleveland clinical journal of medicine. Vol 71. 4 April 2004.
30. Diabetes
meglitinide
TZD
Glucose undergoes oxidative metabolism in the β cell to yield ATP. ATP inhibits an
inward rectifying K+ channel receptor on the β-cell surface. Inhibition of this receptor
leads to membrane depolarization, influx of Ca [2]+ ions, and release of stored insulin
from β cells. The sulfonylurea class of oral hypoglycemic agents bind to the SUR1
receptor protein.
30. Diabetes
PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia. 2006.
30. Diabetes
• Cara Pemberian obat antidiabetik oral, terdiri dari:
– Obat dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat
diberikan sampai dosis optimal
– Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
– Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
– Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
– Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan
suapan pertama
– Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
– DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau
sebelum makan.
PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia. 2006.
31. Papilloma Intraduktal
• Papilloma intraduktal
– pertumbuhan menyerupai kutil dengan disertai
tangkai yang tumbuh dari dalam payudara yang
berasal dari jaringan glandular dan jaringan
fibrovaskular.
• Epidemiologi:
– terjadi pada wanita pada masa reproduktif akhir,
atau post-menopause
– Usia rerata 48 tahun.
Gejala dan Tanda
• Hampir 90% dari Papilloma Intraduktus
– tipe soliter dengan diameternya kurang dari 1cm
– sering timbul pada duktus laktiferus
– hampir 70% dari pasien datang dengan nipple discharge yang serous
dan bercampur darah.
• Ada juga pasien yang datang dengan keluhan massa pada area
subareola
– massa ini lebih sering ditemukan pada pemeriksaan fisis
– Massa yang teraba sebenarnya adalah duktus yang berdilatasi.
• Papilloma Intraduktus multiple
– biasanya tidak ada gejala nipple discharge dan biasanya terjadi pada
duktus yang kecil
– Diperkirakan hampir 25% dari Papilloma Intraduktus multiple adalah
bilateral
http://radiopaedia.org/
Etiologi dan Patogenesis
• Etiologi dan patogenesis dari penyakit ini masih
belum jelas.
• Dari kepustakaan dikatakan bahwa, Papilloma
Intraduktus ini terkait dengan proliferasi dari
epitel fibrokistik yang hiperplasia.
• Ukurannya adalah 2-3 mm dan terlihat seperti
broad-based atau pedunculated polypoid
epithelial lesion yang bisa mengobstruksi dan
melebarkan duktus terkait.
• Kista juga bisa terbentuk hasil dari duktus yang
mengalami obstruksi.
http://radiopaedia.org/
Pemeriksaan Radiologis
• Mammografi
– Biasanya gambaran normal
– Gambaran yang dapat ditemukan dilatasi duktus soliter maupun
multipel, massa jinak sirkumskripta (sering di subareola), atau
kalsifikasi.
• Galactography
– Gambaran abnormalitas ductus: filling defect, ectasia, obstruksi,
atau irregularitas. Tidak spesifik
– Dapat evaluasi jumlah, lokasi, penyebaran, dan jarak dari areola.
• USG
– Gambaran terlihat jelas sebagai nodul padat atau massa
intraduktal dapat pula berupa kista dalam duktus.
– Colour doppleruntuk melihat vaskularisasi.
http://radiopaedia.org/
• Galactogram
USG
• Atas: nodul solid dalam
duktus
• Bawah: nodul
bertangkai dengan
dilatasi duktus
Tatalaksana dan Prognosis
• Papilloma intraduktal solitereksisi
• Menurut komuniti dari College of American
Pathologist, wanita dengan lesi ini mempunyai
risiko 1,5 – 2 kali untuk terjadinya karsinoma
mammae.
32. Hydrocele
http://urology.iupui.edu/papers/reconstructive_bph/s0094014305001163.pdf
http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/68._Urinary
34. Dis.Bahu (D.Glenohumeralis)
• Keluarnya caput humerus dari cavum gleinodalis
• Etio : 99% trauma
• Pembahagian
• Dis. Anterior (98 %)
• Dis.Posterior (2 %)
• Dis. Inferior
• Mekanisme Trauma
• Puntiran sendi bahu tiba-tiba
Rontgen Foto
CT Scan
Sulcus Sign test
• a shoulder stability
examination to determine
if there is anterior or
multidirectional instability
observed between the
acromion and the humeral Prominent
head. acromion
• With the arm straight and
relaxed to the side of the
patient, the elbow is
grasped and traction is Sulcus
applied in an inferior Sign
direction
Dislokasi
Posterior: Klinis
• Lengan dipegang di
depan dada
• Adduksi
• Rotasi interna
• Bahu anterio tampak
lebih datar (flat and
squared off)
35.
36. GIT Congenital Malformation
Disorder Clinical Presentation
Hirschprung Congenital aganglionic megacolon (Auerbach's Plexus)
Fails to pass meconium within 24-48 hours after birth,chronic constipation
since birth, bowel obstruction with bilious vomiting, abdominal distention,
poor feeding, and failure to thrive, Chronic Enterocolitis.
RT:Explosive stools .
Criterion standardfull-thickness rectal biopsy.
Treatment remove the poorly functioning aganglionic bowel and create
an anastomosis to the distal rectum with the healthy innervated bowel
(with or without an initial diversion)
Anal Atresia Anal opening (-), The anal opening in the wrong place,abdominal
distention, failed to pass meconium,meconium excretion from the fistula
(perineum, rectovagina, rectovesica, rectovestibuler).
Low lesionthe colon remains close to the skin stenosis anus, or the
rectum ending in a blind pouch.
High lesionthe colon is higher up in the pelvis fistula
Hypertrophic Hypertrophy and hyperplasia of the muscular layers of the pylorus
Pyloric functional gastric outlet obstruction
Stenosis Projectile vomiting, visible peristalsis, and a palpable pyloric tumor(Olive
Disorder Clinical Presentation
http://en.wikipedia.org/wiki/ http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth
36. Malformasi Kongenital
Pemeriksaan Penunjang
Abdominal radiograph Fluoroscopy: contrast study
• can be variable depending on the • to detect recto-urinary, recto-
site of atresia (e.g high or low), vaginal or rectoperineal fistula
level of impaction with meconium
and physiological effects such as Ultrasound
straining
• may show multiple dilated bowel • the anus may be seen as an
loops with with absence of rectal echogenic spot at the level of the
gas perineum and in an atresia this
echogenic spot may be absent 4
• may show bowel dilatation
Invertogram • an infra coccygeal or
• A coin/metal piece is placed over transperineal approach may allow
the expected anus and the baby is differentiation between a high or
turned upside down (for a low subtype
minimum 3 minutes).
• Distance of gas bubble in rectum
from the metal piece is noted:
– >2 cm: denotes high type
– <2 cm: denotes low type
37. Gastroskisis
37.
Gastroskisis vs Omphalocele
38. DVT
38.
American College of Emergency Physicians (ACEP)
Trombosis Vena Dalam
• Skoring Wells
– Kanker aktif (sedang terapi dalam 1-6 bulan atau paliatif) (skor 1)
– Paralisis, paresis, imobilisasi (skor 1)
– Terbaring selama > 3 hari (skor 1)
– Nyeri tekan terlokalisir sepanjang vena dalam (skor 1)
– Seluruh kaki bengkak (skor 1)
– Bengkak betis unilateral 3 cm lebih dari sisi asimtomatik (skor 1)
– Pitting edema unilateral (skor 1)
– Vena superfisial kolateral (skor 1)
– Diagnosis alternatif yang lebih mungkin dari DVT (skor -2)
• Interpretasi:
– >3: risiko tinggi (75%)
– 1-2: risiko sedang (17%)
– < 0: risiko rendah (3%)
Sudoyo A dkk. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. 2015
39. Ileus Obstruksi
Obstruction
Adanya sumbatan mekanik yang disebabkan karena
adanya kelainan struktural sehingga menghalangi gerak
peristaltik usus.
Partial or complete
Simple or strangulated
Ileus
Kelainan fungsional atau terjadinya paralisis dari gerakan
peristaltik usus
Penyebab- Usus Halus
Luminal Mural Extraluminal
Benda asing Neoplasims Postoperative
Bezoars lipoma adhesions
Batu Empedu polyps
Sisa-sisa leiyomayoma Congenital
makanan hematoma adhesions
A. Lumbricoides
lymphoma
carcimoid Hernia
carinoma
secondary Tumors Volvulus
Crohns
Kolitis Ulseratif
TB
Stricture
Intussusception
Congenital
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
40. Management of Trauma Patient
http://www.aaos.org/
Treatment
• Survei primer (ABC) selalu
didahulukan
• Setelah pasien stabil dan
diamankanperiksa
fraktur/dislokasi yang dialami
• Tatalaksana terpenting untuk
fraktur dan
dislokasiPembidaian,
terutama sebelum transport
Controlling External Bleeding
• Pertolongan pertama yang harus segera
dilakukan untuk menghentikan perdarahan
– Memberikan tekanan langsung
– Menekan langsung sumber perdarahan dengan
kassa steril
Pressure Bandages
• Apply over wound on
extremity to maintain
direct pressure
• Use roller bandage to
completely cover
wound and maintain
pressure
2. Limb saving
Tindakan Operative
Yang Mempengaruhi Penanganan
Umur
Kelamin
Pekerjaan
Penyakit penyerta
Emergency Orthopaedi
Jika tak ditolong segera bisa terjadi †
1. Fraktur terbuka
3. Dislokasi sendi
Pertolongan Pertama (First Aid)
Life Saving ABCD
Obstructed Airway
Shock : Perdarahan Interna /External
Balut tekan, IV fluid
Limb Saving
Reliave pain Splint & analgetic
Pergerakan fragmen fr
Spasme otot
Udema yang progresif.
Transportasi penderita Dont do harm
Pengelolaan Fraktur di RS
Prinsip : 4 R
R 1 = Recognizing = Diagnosa
Anamnesa, PE, Penunjang
R 2 = Reduction = Reposisi
Mengembalikan posisi fraktur keposisi sebelum
fraktur
R 3 = Retaining = Fiksasi /imobilisasi
Mempertahankan hasil fragmen yg direposisi
R 4 = Rehabilitation
Mengembalikan fungsi kesemula
Retaining (Imobilisasi)
Mempertahankan hasil reposisi sampai tulang
menyambung
Menghilangkan nyeri
Cara Retaining (Imobilisasi)
Isitrahat
Casting / Gips
Splint/ Pembidaian
Cara Imobilisasi
Casting / Gips
Hemispica gip
Umbrical slab
Retaining (Imobilisasi)
Traksi
1. Kulit
2. Tulang
Retaining (Imobilisasi)
Fiksasi pakai inplant
■ Internal fikasasi
■ Plate/ skrew
■ Ekternal fiksasi
42. Paronikia
• Reaksi inflamasi mengenai lipatan kulit disekitar
kuku
• Paronikia dapat akut atau kronik
– Paronikia akut oleh staphylococcus aureus
• ditandai timbulnya nyeri atau eritema diposterior atau lateral
lipatan kuku,diikuti oleh pembentukan abses superfisial
– Paronikia kronik oleh candida albicans
• sering oleh pemisahan abnormal lipatan kuku proximal dari
lempeng kuku yg memungkinkan kolonisasi
• Paronikia bakteri akut sering bersamaan dengan
bakteri jamur kronik
ANATOMI KUKU
1. Fraktur kolum
2. Fraktur tuberkulum mayus
3. Fraktur diafisis
4. Fraktur suprakondiler
5. Fraktur kondiler
6. Fraktur epikondilus medialis
Gambar Skematik Lokalisasi Fraktur Humerus
2
Fraktur Tuberkulum Mayus
Fraktur Kolum
Fraktur Diafisis
Fraktur Kondiler
Fraktur Suprakondiler
Landin. Elbow fractures in children. An epidemiological analysis of 589 cases. Acta Orthop Scand. 1986;57:309.
Medial Humerus Fracture
www2.aofoundation.org
ANATOMY
• Nerves on both sides of the distal humerus run very closely to the bone, especially the ulnar
nerve
• Ulnar nerveperforates the medial intermuscular septum runs and then in its sulcus
behind the medial epicondyle
• It can be directly compressed in distal humeral fractures
• Radial nerve perforates the lateral intermuscular septum as it loares the spiral groove
on the humerus, to run anteriorly and distally
• At the level of the radial head it divides into its deep and superficial branches.
• Median nerve crosses the anterior capsule of the elbow joint, running into the
forearm between the two heads of the pronator teres muscle.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2758175/
Presentation
•Symptoms
• medial elbow pain
•Physical exam
• tenderness over medial epicondyle
• valgus instability
Treatment
•Nonoperative
• brief immobilization (1 to 2 weeks) in a long arm cast or splint
• indications
• isolated fractures of the medial epicondyle with between 5 to 15 mm of
displacement heal well.
• fibrous union of the fragment is not associated with significant symptoms or
diminished function
• < 5mm displacement usually treated non-operatively, 5-15 mm remains
controversial
•Operative
• open reduction internal fixation
• indications
• absolute
• displaced fx with entrapment of medial epicondyle fragment in joint
• relative
• ulnar nerve dysfunction
• > 5-15mm displacement
• displacement in high level athletes
Complications of Surgery
•Nerve injury
• ulnar nerve can become entrapped
• neuropathy with dislocatoin which usually resolves
•Missed incarceration
• missed incarceration of fragment in elbow joint
•Elbow stiffness
• loss of elbow extension, avoid prolonged immobilization
•Non-union
http://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/fractures/Medial_epicondyle_emerg/
Pemeriksaan Radiologis
• Assesmen X-rays
• Pembengkakan jaringan lunak
– Dapat merupakan satu-satunya tanda pada undisplaced injury
– Dapat merupakan satu-satunya tanda pada ana-anak <7thn, dimana
belum terjadi kalsifikasi dari apophysis medial.
• Pelebaran growth plate (dibandingkan sisi kontralateral)
• Perubahan posisi apophysis
• Fraktur melalui metafisis humeri yang berdekatan
• Dislokasi siku
Anatomi lengan
3 1
1. Caput humeri
4 2 2. Collum anatomicum
6 3. Tuberculum majus
4. Tuberculum minus
7 5 5. Collum chirurgicum
6. Crista tuberculi minoris
7. Crista tuberculi majoris
8 9 8. Tuberositas deltoidea
10 9. Sulcus nervi radialis
10. Facies posterior
11. Facies anterior lateralis
12 12. Facies anterior medialis
13. Margo lateralis
11 13 14. Margo medialis
14 15. Fossa radialis
16. Fossa coronoidea
15 17 17. Fossa olecrani
16 18 18. Epicondylus lateralis
19. Epicondylus medialis
20 19 20. Capitulum humeri
21 22 21. Trochlea humeri
22. Sulcus nervi ulnaris
1. M brachialis i: os pisiforme
1 o: pertengahan bwh f: fleks, abd ulnar tgn
2 dataran ventral hum 6. M fleksor digitorum sup
i: tuberositas ulnae o: cap hum uln: epic med
4
f: fleksi LB hum, proc coronoideus
3 2. M brachiradialis ; cap rad: dat ventral
o: margo lat hum prox epic rad
5
lat hum i: sisi2 phalanx media
6 f: fleksLB, fleks phalanx,
i: proc stiloideus radii
f: fleksi, supinasi LB fleks tgn, abd ulnar tgn
3. M fleksor carpi radialis 7. M pronator teres
o: epic med hum, proc o: cap hum: epic med hum
coronoideus cap ulnare: proc coron
I : basis ossis metacarpalis i: pertnghn ventral rad
3 II & III f: fleks, pronasi LB
f: fleks& pron LB, fleks & 8. M fleksor pollicis longus
abd rad tangan o: dataran ventral rad
4
4. M palmaris longus i: phalanx dist jari I
o: epic med hum, proc f: fleks phal, opposisi jr I,
7 coronoideus ulnae flek tgn, abd rad tgn
6 i: aponeurosis palmaris 9. M fleksor digitorum
f: fleks, pron LB, flek tgn profundus
5. M fleksor carpi ulnaris 0: dat ventral ulnae
8 o: capit hum, epic med i: phalanx dist jari II-V
hum, cap & margo f: fleks phal, fleks tgn, abd
dorsale ulnae ulnar tgn
9
1 1. M brachioradialis 7. M extensor carp ulnaris
2 2. M anconeus o: cap hum: epic lat hum,
3. M extensor carpi rad long cap ulnare: margo dors
3 ulnae
o: marg lat hum, prox epic
4 lat humeri i: basis ossis metacarp V
5 i: basis ossis metacarp II f: ext LB, ext tgn, abd ulnar
f: ext & sup LB, ext tgn, tgn
6
abd rad tgn 8. M supinator
7 4. M ext carp rad brevis o: epic lat hum, crista m
o: epic lat humeri supinatoris ulnae
i: basis ossis metacarp III i: dataran ventr rad sebelah
distal tuberositas radii
f: ext & supin LB, ext tgn,
abd rad tgn f: supinasi LB
1 5. M abd pollicis longus 9. M ext pollicis brevis
o: dat dorsal ulnae&radius, o: margo dors uln, dat dors
3
membr interossea rad, membr interossea
2 i: basis phlx prox jr I
i: basis ossis metacarp I
6 f: sup LB, abd jr I abd rad f: ext phlx prox jr I, ext tgn,
tgn abd rad tgn sup LB
4
6. M extensor digitorum 10. M ext pollicis longus
8 o: margo dors ulnae
o: epic lat humeri
5 10 i: phalanx med & distalis ji i: basis phlx dist jr I
11 II-V f: ext phalx, ext tgn, abd
f: ext LB, ext tgn, ext rad tgn, supinasi LB
9 11. M extensor indicis
phalanx
10
44. Dislokasi Sendi Siku
• Dislokasi siku merupakan dislokasi pada sendi besar
yang paling sering kedua pada orang dewasa. (paling
sering dislokasi bahu).
• Simple dislocation
– dislokasi tanpa fraktur
• Complex dislocation
– dengan fraktur, paling sering caput radialis.
• Terrible triad of elbow
– dislokasi posterior + fraktur prosesus koronoideus + fraktur
caput radialis
– Cedera berat, penyembuhan lama, dengan outcome yang
buruk.
http://orthoinfo.aaos.org/
http://orthoinfo.aaos.org/
Patologis
• Epidemiologi 10-25% pada kasus cedera siku
pada orang dewasa.
• Kebanyakan dislokasi sendi adalah cedera
tertutup
• Paling sering dislokasi posterior (terkadang
posterolateral atau posteromedial)
– biasanya terjadi akibat jatuh pada posisi lengan
ekstensi, baik hiperektensi atau posterolateral
rotatory mechanism
• Dislokasi anterior, medial, alteral, atau
divergentjarang terjadi.
http://orthoinfo.aaos.org/
Pemeriksaan Radiologis
• Plain X-rays (AP dan lateral) cukup membantu
diagnosis, sedangkan CT-scan sering digunakan untuk
evaluasi pre-operatif dari intra-artikularis.
• Hal-hal yang perlu diperhatikan foto polos sendi siku:
– Arah dislokasi, posterior, posterolateral, posteromedial,
lateral, medial, atau divergent.
– Fraktur
• Tersering fraktur: caput radialis, prosesus koronoideus
• Fraktur lain yang sering menyertai: condilus lateral, capitellum,
olecranon
– Foto polos pergelangan tangan dan bahu perlu dievaluasi,
apabila terdapat gejala klinis.
http://radiopaedia.org/
• Atas (2 gambar):
dislokasi posterior
• Kanan:
– dislokasi disertai
fraktur collum radialis
http://radiopaedia.org/
• Atas kiri: dislokasi dengan
fraktur prosesus
koronoideus
• Atas kanan: terrible triad
olf elbow
• Kiri: dislokasi medial
http://radiopaedia.org/
Tatalaksana
• Simple dislocation
– Closed reduction (prone technique) sebaiknya dilakukan
spesialis orthopedi, menggunakan sedasi dan analgetik
– Dilanjutkan dengan imobilisasi (min 2minggu), lengan
fleksi 90o.
• Complex dislocation
– ORIF
– Outcome biasanya buruk
– Komplikasi
• osteoartritis, ROM terbatas, instabilitas, dan dislokasi rekuren.
• Pada dislokasi dengan luka terbuka sering terjadi jejas
pada arteri brakialis.
45. Fraktur Humerus
46. Fraktur Nasal
• Patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat
trauma dengan bengkak, dan krepitus pada
jembatan hidung. Pasien mungkin mengalami
epistaksis, namun tidak harus selalu bercampur
dengan CSF.
• Fraktur nasal sering menyebabkan deformitas
septum nasal karena adanya pergeseran septum
dan fraktur septum.
• Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti
patah hidung dengan telecanthus, pelebaran
jembatan hidung dengan canthus medial
terpisah, dan epistaksis atau rhinorrhea CSF.
• Method of palpating the nasal complex
for fractures. The nasal pyramid should
be moved right and left to detect
mobility.
• Patient with naso-orbitoethmoid
fracture and cerebrospinal fluid
rhinorrhea (A). The fluid leaves a
double ring where it drips onto fabric
(B).
• Lateral radiographic view of a displaced
nasal bone fracture in a patient who
sustained this injury because of a punch to
the face during a hockey game.
• A patient with naso-
orbitoethmoid fracture.
Note the increase in the
intercanthal distance and
the rounded shape of the
medial palpebral fissure
on the right. The normal
palpebral fissure on the
patient's left has an
angular relationship
between the upper and
lower eyelids.
Fraktur Nasal
• KONSERVATIF
– Pasien dengan perdarahan hebat, dikontrol dengan vasokonstriktor topikal.
– Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain
dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan.
– Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah
vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai
perdarahan berhenti.
– Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya
– Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian.
– Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa
nyaman pada pasien.
• OPERATIF
– Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang,
penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan.
– Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi
dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.
FRAKTUR NASAL
• ELEVATING A
FRACTURE OF THE
NOSE.
• A, inflitrating the site
of the fracture.
• B, raising the
depressed bones with
curved artery forceps.
Always suspect a
fracture after any blow
on the nose. Swelling
of the soft tissues can
easily hide it.
Blow Out Fracture
• Blow-out fracture
– fraktur dinding orbita yang disebabkan peningkatan tiba-
tiba dari tekanan intraorbital tanpa keterlibatan rima
orbita.
– terjadi pada dasar orbita dan sebagian kecil terjadi pada
dinding medial dengan atau tanpa disertai
fraktur dasar orbita.
• Blow-out fracture umumnya terjadi pada orang dewasa
dan jarang terjadi pada anak-anak
– Dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas) kecelakaan
kerja) kecelakaan olahraga)terjatuh atau karena kekerasan.
Gejala Klinis
• Penderita blow-out fracture sering mengeluh:
– nyeri intraokula
– mati rasa pada area tertentu diwajah
– tidak mampu menggerakkan bola mata
– melihat ganda bahkan kebutaanblow-out fracture
– Edema, hematoma, enophtalmus
– trauma nervus cranialis
– emphysema dari orbita dan palpebra
47. Urolithiasis
Nyeri Alih
48. Septic Arthritis
• Infeksi synovium
dan cairan synovial
• Ditemukan pada semua umur
• Sendi panggul (anak-anak)
• Sendi lutut (dewasa) Sering }
https://medicine.med.unc.edu
Etiologi
• S. aureus → pada semua umur
• H. influenzae → 6 bulan – 5 thn
• N. gonorrhoeae → >10 tahun, dewasa (populasi barat)
• Gram negative bacilli → imunodefisiensi, prosedur invasif
pada sistem gastrointestinal dan saluran kemih, geriatri,
pasien dengan gagal ginjal, kelainan sendi kronik, dan
diabetes.
• S. epidermidis → Prosthetic joint
• S. aureus/Pseudomonas → i.v. drug use
• S. pneumoniae → Alcoholism, pneumonia, meningitis
• L. monocytogenes → Immune deficiency
• Atypical mycobacteria → Chronic infection
https://medicine.med.unc.edu
Patogenesis
• Penyebaran hematogen
• Penyebaran melalui jaringan sekitar
• Inokulasi langsung (aspirasi/arthrotomy)
*Penyakit rematik dapat menjadi penyakit
yang mendasari septik arttritis
-Struktur sendi abnormal
-Penggunaan steroid (abnormal phagocytosis…)
*DM, immune def, hematological diseases, trauma,
systemic infections…
https://medicine.med.unc.edu
Gejala Klinis
• Riwayat trauma atau infeksi sebelumnya
• Sering mengenai sendi panggul dan lutut
• Sendi sakroiliaka dapat terinfeksi pada
brucellosis
• Interphalangeal joints: human and animal bites
https://medicine.med.unc.edu
Pemeriksaan Penunjang
• Synovial fluid sampling:
• >50.000 leukocytes/ml, (crystal arthropathies and RA)
• Leukocytes <50.000/ml (Malignancy, steroid use)
• Gram staining and culture: Gram-positive bacteria
60%, Gram-negative bacteria 40%
• Blood culture / urethral discharge culture
• Yield rate of microorganism 70%
• Antigen detection (S. pyogenes, S. pneumoniae, H.
influenzae)
• PCR (B. burgdorferi, N. gonorrhoeae)
• Leukocytosis, ESR, and CRP increase
Analisis Cairan Sinovial
Pemeriksaan Radiologis
• PLAIN X-RAY
-Expansion in joint space
-Edema around the joint
-Late structural findings
• Ultrasound
-Collection of fluid in the joint and aspiration
• CT
- Detection of associated osteomyelitis, joint fluid
• MRI
- Pyogenic sacroiliitis and spread of joint infection to
surrounding structures
Diagnosis Banding
• Rheumatic fever
• Acute juvenile arthritis
• RA, gout, reactive arthritis
• Viral arthritis
• Fungal arthritis
• Tuberculous arthritis
• Osteomyelitis
• Cellulitis
• Bleeding into the joint (hemarthrosis)
Tatalaksana
• <5 year-old: 2nd and 3rd generation cephalosporins
• >5 year-old and adults: cefazolin, 2nd gen. cephalosporins
• S. aureus→cefazolin/vancomycin
• Adults: ciprofloxacin+rifampin
• N. gonorrhoeae→cefriaxone,
• Gram-negative bacilli→3rd gen. cephalosporin+ aminoglycoside
• Gram-positive
– Streptococcus, methicillin-sensitive staphylococcus
• Cefazolin 3x2 gram, Sulbactam/ampicillin 4x2 gram
– Meticillin-resistant staphylococcus
• Vancomycin 2x1 gram
• Gram-negative
– Ceftriaxone 1x2 gram
Tatalaksana
• Cairan dalam
sinus maksilaris
• Rontgen kepala tampak depan memperlihatkan tanda alis mata hitam
pada mata kiri &tanda panah panjang-. tap dari sinus maksilaris
memperlihatkan irregularitas ringan dibandingkan mata kanan
namunfraktur tidak tampak jelas. rea lucent di sebelah lateral
memperlihatkan udara ekstrakranial di fossa temporaldan
infratemporal
Fraktur nasal
• Kiri: water’s position
• Kanan: CT-Scan
• CT-Scan modalitas pilihan.
– Ideal thin slice volumetric scanning with 3-
plane orthogonal reconstructions melihat
struktur tulang dan jaringan lunak dengan jelas
• Evaluasi lokasi dan luas fraktur
• Perdarahan intraorbital
• Jejas secara global
• Extraocular muscle entrapment
• Prolaps jaringan lemak orbita
CT scan potongan koronal pada pasien anak
anak menunjukkan soft tissue yang
terjepit dan distorsimuskulus rektus inferior
pada fraktur tipe trapdoor pada medial dasar
orbita
• CT-Scan:
Mucoepidermoid
carcinoma
51.51Osteomielitis
52. Luka Bakar
52
• Luas Luka Bakar:
• Dada : 9%
18 %
• Perut : 9%
53. Urolithiasis
Nyeri Alih
54. Fibrocystic Disease
• Benjolan ini harus dibedakan dengan
keganasan
• Penyakit fibrokistik pada umumnya terjadi
pada wanita berusia 25-50 tahun (>50%).
• Kelainan fibrokistik pada payudara adalah
kondisi yang ditandai penambahan jaringan
fibrous dan glandular.
Gejala dan Tanda
• biasanya multipel, keras, adanya kista, fibrosis,
benjolan konsistensi lunak, terdapat penebalan,
dan rasa nyeri.
• nyeri payudara siklik berkaitan dengan adanya
perubahan hormon estrogen dan progesteron.
• Biasanya payudara teraba lebih keras dan
benjolan pada payudara membesar sesaat
sebelum menstruasi
– menghilang seminggu setelah menstruasi selesai.
• Benjolan biasanya menghilang setelah wanita
memasuki fase menopause.
Diagnosis
• Evaluasi pada wanita dengan penyakit fibrokistik harus
dilakukan dengan seksama untuk membedakannya
dengan keganasan.
• Apabila melalui pemeriksaan fisik didapatkan benjolan
difus (tidak memiliki batas jelas), terutama berada di
bagian atas-luar payudara tanpa ada benjolan yang
dominan, maka diperlukan pemeriksaan USG,
mammogram dan pemeriksaan ulangan setelah
periode menstruasi berikutnya.
• Apabila keluar cairan dari puting, baik bening, cair, atau
kehijauan, sebaiknya diperiksakan tes hemoccult untuk
pemeriksaan sel keganasan.
• USG:
– Multiple cysts
– Well circumscribed
thins walls
– Increased fibrous
stroma
• Mammogram
– Gambaran
kista dengan
penambahan
jaringan
fibrosa.
The Breast Lump
55. Hernia
Tipe Hernia Definisi
Reponible Kantong hernia dapat dimasukan kembali ke dalam rongga
peritoneum secara manual atau spontan
Irreponible Kantong hernia tidak adapat masuk kembali ke rongga peritoneum
Inkarserata Obstruksi dari pasase usus halus yang terdapat di dalam kantong
hernia
Strangulata Obstruksi dari pasase usus dan obstruksi vaskular dari kantong
hernia tanda-tanda iskemik usus: bengkak, nyeri, merah,
demam
Hernia Inkarserata dengan Ileus
Kanalis inguinalis
Kanalis inguinalis dibatasi:
• Kraniolateral : oleh anulus inguinalis
internus yang merupakan bagian
terbuka dari fasia transversalis dan
aponeurosis m.transversus abdominis.
• Medial bawah : di atas tuberkulum
pubikum, kanal ini dibatasi oleh anulus
inguinalis eksternus, bagian terbuka
dari aponeurosis m.oblikus eksternus.
• Atap: aponeurosis m.obliqus eksternus
• Dasar: ligamentum inguinale
Foveola
Fovea
Umbo
Para-foveal zone
Peri-foveal zone
• Macula
• Diameter 5 mm
• 4 mm temporal, 0.8 inferior to optic disc
• Fovea
• Depression of ~1 disc diameter (1.5 mm) at centre of macula
• Foveola
• Central point of fovea
• 0.35 mm in diameter
• Thinnest part of retina
• Cones only Foveola
RPE • Anatomy
High levels of visual acuity
Choroid
ANATOMY OF RETINA
• Bruch membrane (which separates the choroid from the RPE/retina) become less
permeable
– Blocks nutrition from RPE, prevent waste product from retina escaping
• The quality of retina deteriorate (dry armd)
• New blood vessel are stimulated into retina to clear away the waste products (wet
armd) These new blood vessels leak fluid and bleed, further impairing the function of
the retina.
Damage to overlying
Age-related Interferes with Causing deposition of
RPE/photoreceptors
thickening of Bruch’s photoreceptor/RPE metabolites /
and underlying
membrane metabolism formation of drusen
choriocapillaris
Drusen
Pathophysiology
• Drusen (colloid bodies)
• Earliest clinical sign
• Lipid or collagen rich deposits (waste)
• Lie between Bruch’s membrane and RPE
• Further disruption of RPE/photoreceptor metabolism
• Cause variable amount of depigmentation and eventually atrophy of
overlying RPE
• Drusen
• Can become calcified (glistening appearance)
• Can become confluent – representing widespread RPE abnormality
• Increase risk of vision loss!
• Can be inherited as a dominant trait
• Hard Drusen
• No progression / consequence
Pathophysiology
• Hard Drusen
• Small localised collection of
hyaline material within or on
Bruch’s membrane
Hard Drusen
• Sharp, well demarcated
boundaries
• Soft Drusen
• Involve overlying focal RPE
detachment
• Poorly demarcated
boundaries
• Larger/commonly become
confluent
Soft Drusen
Early stage ARMD
SIGN
• Drusen
– Discrete yellow spot at macula
– The accumulation occurs as bruch's membrane becomes
thicker
• prevents the free flow of materials to and from photoreceptors
layer.
– Also, the retinal pigment cells accumulate lipofuscin.
• This pigment will also slow down the passage of chemicals to
and from the retina.
SYMPTOM
• Patients with early and intermediate AMD can have
unimpaired visual acuity (VA) but may report
difficulty with activities performed at night and
under low illumination (eg, driving, reading at night)
due to degeneration of rod photoreceptors (earlier
than cones)
• Usually has normal vision
• Difficult driving, recognizing dimly
road sign
– Loss of rod photoreceptors
Late stage: DRY ARMD
• Slowly progressive atrophy of photoreceptor, RPE
(retinal pigment epithelium ), and
choriocappilaries
• Tissue has thinned and lost pigment
• Also known as atrophic AMD,
nonexudatives AMD,
nonvascular AMD
• Progress over month, years
• Bilateral
– Severity and progress may
different between BE
• SIGN
– Usually assoc with hard drusen
• Small, round, discrete, yellow white
spot asocc with focal disfunction of
RPE
– Atrophy of RPE
Dry ARMD
Geographic atrophy
• SYMPTOM
– Slow and progressive loss central vision
• Called central scotoma
– Vision distorted
• Called metamhorphopsia
• Drusen has expand and increase in no.
Late stage: Wet ARMD
• New blood vessel growth
underneath the retina
• Called choroidal
neovascularization (CNV)
– leak fluid under the macula
– then form scar tissue leading to
central vision loss.
Patient complains of all the object seen smaller than actual size. (micropsia)
4. Central scotoma
– It occurs when the
foveal area is affected.
– The scotoma, or
central blind spot, can
be due to geographic
atrophy or to the
damage of
photoreceptor cells
from choroidal
neovascularization
(leaking blood
vessels).
Patient complaints of difficult to recognize the face
Clinical manifestations of age-related macular degeneration
Phase Clinical manifestation Associated visual defect
Patient experienced deep dark spot at the center of the Amsler Grid
• Instruction:
1. Hold the chart at a reading distance
of 30 cm; adequate and even lighting
is important.
2. You should wear your fully prescribed
spectacles and for elderly, their
reading glasses, during the test.
3. Cover the left eye, and use your right
eye to focus on the center dot.
4. If patient difficult to see the white dot
at the center, ask them to imagine the
intersect of the two line at the center.
5. Ask patient: Do you notice any wavy, It is a 10 x 10 cm square grid formed
broken or distorted lines or blurred or by multiple white lines on a black
missing areas of vision within the background and with a white dot at
chart? the center.
6. Repeated the above examining on
your left eye.
Fundus Related Examinations
• Purpose:
– To see fundus and macula for both eyes.
• Clinical findings:
Clinical features Signs
Hard drusen Small, round, discrete, yellow-white lesions, and usually located at
(nodular) the macula.
Soft drusen Larger lesions with ill-defined edges associated with exudative
(Exudative) ARMD.
Blefaritis superfisial Infeksi kelopak superfisial yang Terdapat krusta dan bila Salep antibiotik
diakibatkan Staphylococcus menahun disertai dengan (sulfasetamid dan
meibomianitis sulfisoksazol), pengeluaran
pus
Hordeolum Peradangan supuratif kelenjar Kelopak bengkak, sakit, rasa Kompres hangat, drainase
kelopak mata mengganjal, merah, nyeri bila nanah, antibiotik topikal
ditekan
Blefaritis Blefaritis diseratai skuama atau Etiologi: kelainan metabolik Membersihkan tepi kelopak
skuamosa/seboroik krusta pada pangkal bulu mata atau jamur. Gejala: panas, dengan sampo bayi, salep
yang bila dikupas tidak terjadi luka gatal, sisik halus dan mata, dan topikal steroid
pada kulit, berjalan bersamaan penebalan margo palpebra
dengan dermatitis sebore disertai madarosis
Meibomianitis Infeksi pada kelenjar meibom Tanda peradangan lokal pada Kompres hangat, penekanan
(blefaritis posterior) kelenjar tersebut dan pengeluaran pus,
antibiotik topikal
Blefaritis Angularis Infeksi Staphyllococcus pada tepi Gangguan pada fungsi Dengan sulfa, tetrasiklin,
kelopak di sudut kelopak atau pungtum lakrimal, rekuren, sengsulfat
kantus dapat menyumbat duktus
lakrimal sehingga mengganggu
fungsi lakrimalis
Eksternal Tatalaksana
• Subconjungtiva • Refractive correction
• Completely loss • Operatif
Kuhn F, Pieramici DJ. Ocular Trauma : Principles and Practice. 11 th edition. New York : Thieme; 2002
Kuhn F, Pieramici DJ. Ocular Trauma : Principles and Practice. 11 th edition. New York : Thieme; 2002
60. Komplikasi Pascaoperasi Katarak
EARLY COMPLICATION LATE COMPLICATION
• Corneal edema (10%) • Posterior capsule
• Elevated IOP (2–8%) opacification (10–50% by
• Increased anterior 2 years)
inflammation (2–6%). • Cystoid macular edema
• Wound leak (1%) (1–12%)
• Iris prolapse (0.7%) • Retinal detachment
(0.7%)
• Endophthalmitis (0.1%)
• Corneal decompensation
• Chronic endophthalmitis
Acute postoperative endophthalmitis
• Komplikasi yg mengancam • Faktor risiko
penglihatan yg harus segera
diobati. – Pasien dengan blepharitis,
• Onset biasanya 1–7 hari setelah konjungtivitis, penyakit
op. nasolakrimal,
• Etiologi tersering Staphylococcus komorbid(diabetes), dan
epidermidis, Staphylococcus complicated surgery (PC rupture
aureus, & Streptococcus species. with vitreous loss, ACIOL,
• Gejala: prolonged surgery).
– a painful red eye;
– reduced visual acuity, usually • Diagnosis
within a few days of surgery
– pemeriksaan mikrobiologi dari
– a collection of white cells in the
anterior chamber (hypopyon). Anterior chamber tap dan biopsi
– posterior segment inflammation vitreous (dgn antibiotik
– lid swelling. intravitreus scr simultan utk
pengobatan)
Acute postoperative endophthalmitis
TATALAKSANA Pertimbangkan:
Smitha V. Asthenopia. Kerala journal of ophtalmology. Vol. XXIV, No.1, Mar. 2012
• Asthenopia can be divided into two types:
– Refractive
• Caused by uncorrected refractive errors (anisometropia, myopia, hypermetropia,
astigmatism)
• which is due to strain on ciliary muscles.
• Berkurang dengan penggunaan kacamata
– Muscular
• Caused by neuromuscular anomalies or weakness of extra ocular muscles.
• It is commonly seen in squints and nerve palsies.
• Terkait dengan kelainan akomodasi dan ketidakcukupan konvergensi, gejala akan
berkurang dengan latihan konvergensi dan akomodasi
Bali J, Neeraj N, Bali RT. Computer Vision Syndrome: A Review. Journal of Clinical Ophthalmology
and Research - Jan-Apr 2014. http://www.jcor.in on Thursday, July 28, 2016
Treatment and Prevention
• Limiting the computer and screen time the 20/20/20 rule
– After working on a computer for 20min, gaze into the distance in
excess of 20 feet for at least 20 s
• Ergonomic position
– One arm distance or 40 inches away with a downward gaze of 14° or
more placing the monitor so that the top line of screen is at or below
eye level
– Preferred viewing distance 20-40 inches and the letter size may be
increased for smaller monitors
– The monitor should be kept directly in front of the user’s chair
• Single-vision lenses with a focal length designed for computer work
are to be preferred over bifocals
• The lighting intensity should be half of normal room illumination when computers are
used
– The brightness of the monitor should be turned up to the levels of the surroundings.
– In general, lighting levels between 200 and 700 lux (approximately 20-70 foot
candles)
• Monitors or screens should be free of dust
– Dust can affect clarity of screen and cause glare
Penyakit Khas
Astenopia akomodasi Kelelahan mata akibat aktivitas mata fokus pada benda
yang dekat dalam jangka waktu lama
Astenopia anisometropi Kondisi kedua mata memiliki perbedaan kekuatan refraksi
biasanya lebih dari 2 dioptri. Hal ini menyebabkan diplopia
dan astenopia
Astenopia anesikonia Perbedaan besar gambar pada retina masing-masing
mata. Ketika hal ini menjadi bermakna maka dapat terjadi
diplopia, disorientasi, astenopia, sakit kepala, pusing dan
kelainan keseimbangan.
Astenopia miopia Cahaya yg masuk ke mata difokuskan di depan retina
kesulitan melihat jauh membutuhkan kacamata
minus/konkaf
Astenopia hipermetropia Cahaya yg masuk ke mata difokuskan di belakang retina
kesulitan melihat dekat membutuhkan kacamata
plus/konveks
63. Keratitis/ulkus Fungal
• Gejala nyeri biasanya dirasakan diawal, namun lama-lama
berkurang krn saraf kornea mulai rusak.
• Pemeriksaan oftalmologi :
– Grayish-white corneal infiltrate with a rough, dry texture and feathery
borders; infiltrat berada di dalam lapisan stroma
– Lesi satelit, hipopion, plak/presipitat endotelilal
– Bisa juga ditemukan epitel yang intak atau sedikit meninggi di atas
infiltrat stroma
• Faktor risiko meliputi :
– Trauma mata (terutama akibat tumbuhan)
– Terapi steroid topikal jangka panjang
– Preexisting ocular or systemic immunosuppressive diseases
Sumber: American Optometric Association. Fungal Keratitis. / Vaughan Oftalmologi Umum 1995.
Keratitis/ ulkus Fungal
• Meskipun memiliki karakteristik, terkadang sulit membedakan
keratitis fungal dengan bakteri.
– Namun, infeksi jamur biasanya localized, dengan “button appearance”
yaitu infiltrat stroma yang meluas dengan ulserasi epitel relatif kecil.
• Pd kondisi demikian sebaiknya diberikan terapi antibiotik
sampai keratitis fungal ditegakkan (mis. dgn kultur, corneal
tissue biopsy).
Stromal infiltrate
Ulkus kornea Jamur
Keratitis fungi bersifat indolen, dengan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion,
peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi-lesi satelit (umumnya
infiltrat di tempat-tempat yang jauh dari daerah utama ulserasi).
Oklusi arteri Penyumbataan arteri sentralis retina dapat disebabkan oleh radang arteri, thrombus dan
sentral emboli pada arteri, spsame pembuluh darah, akibat terlambatnya pengaliran darah, giant
retina cell arthritis, penyakit kolagen, kelainan hiperkoagulasi, sifilis dan trauma. Secara
oftalmoskopis, retina superficial mengalami pengeruhan kecuali di foveola yang
memperlihatkan bercak merah cherry(cherry red spot). Penglihatan kabur yang hilang
timbul tanpa disertai rasa sakit dan kemudian gelap menetap. Penurunan visus
mendadak biasanya disebabkan oleh emboli
Oklusi vena Kelainan retina akibat sumbatan akut vena retina sentral yang ditandai dengan
sentral penglihatan hilang mendadak.
retina Vena dilatasi dan berkelok, Perdarahan dot dan flame shaped , Perdarahan masif pada ke
4 kuadran , Cotton wool spot, dapat disertai dengan atau tanpa edema papil
Ablatio suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen retina (RIDE). Gejala:floaters,
retina photopsia/light flashes, penurunan tajam penglihatan, ada semacam tirai tipis berbentuk
parabola yang naik perlahan-lahan dari mulai bagian bawah hingga menutup
Perdarahan Perdarahan pada selaput vitreous sampai ke dalam vitreous. Gejala: penglihatan buram
vitreous tiba-tiba, peningkatan floaters,dan kilatan cahaya
Treatment
• Oral steroids
• Immunosuppressive agents (cyclophosphamide, azathioprine, cyclosporin)
• Combined intravenous steroids and cyclophosphamide if unresponsive
Applied anatomy of vascular coats
Normal Episcleritis Scleritis
Redness Chemosis
67. Trichiasis
• Suatu kelainan dimana bulu mata
mengarah pada bola mata yang
akan menggosok kornea atau
konjungtiva
• Biasanya terjadi bersamaan
dengan penyakit lain seperti
pemfigoid, trauma kimia basa dan
trauma kelopak lainnya, blefaritis,
trauma kecelakaan, kontraksi
jaringan parut di konjungtiva dan
tarsus pada trakoma
• Gejala :
– Konjungtiva kemotik dan hiperemi,
keruh
– Erosis kornea, keratopati dan ulkus
– Fotofobia, lakrimasi dan terasa
seperti kelilipan
– blefarospasme
Trichiasis
• Tatalaksana:
– Yang utama: bedah • Tatalaksana bedah
– Lubrikan seperti artificial tears dan salep
untuk mengurasi iritasi akibat gesekan untuk trikiasis yg
– Atasi penyakit penyebab trikiasis, cth SSJ,
ocular cicatrical pemphigoid)
disebabkan krn
• Tatalaksana Bedah trikiasis kelainan anatomi:
segmental (fokal) – Entropion: dilakukan
– Epilasi: dengan forsep dilakukan tarsotomi
pencabutan beberapa silia yang salah
letak, dilakukan 2-3 kali. Biasanya dicoba – Posterior lamellar
untuk dilakukan epilasi terlebih dahulu. scarring: Grafting
Trikiasis bisa timbul kembali.
– Elektrolisis/ elektrokoagulasi, ES: nyeri
– Bedah beku (krioterapi): banyak
komplikasi
– Ablasi denga radiofrekuensi: sangat
efektif, cepat , mudah, bekas luka minimal
68. TRAUMA KIMIA MATA
• Merupakan trauma yang mengenai bola mata akibat terpaparnya bahan
kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur bola
mata tersebut
• Keadaan kedaruratan oftalmologi karena dapat menyebabkan cedera pada
mata, baik ringan, berat bahkan sampai kehilangan penglihatan
• Etiologi : 2 macam bahan yaitu yang bersifat asam (pH < 7) dan yang
bersifat basa (pH > 7,6)
• Pemeriksaan Penunjang :
Kertas Lakmus : cek pH berkala
Slit lamp : cek bag. Anterior mata dan lokasi luka
Tonometri
Funduskopi direk dan indirek
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf
Klasifikasi Trauma Kimia
Derajat I Derajat II
• Prognosis baik. • Prognosa baik
• Terdapat erosi epitel kornea • Pada kornea terdapat kekeruhan
(kornea Jernih) yang ringan. kornea berkabut
• Tidak ada iskemia dan nekrosis dengan gambaran iris yang masih
kornea. ataupun konjungtiva terlihat
• Iskemia < 1/3 limbus
Klasifikasi Trauma Kimia
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf
TRAUMA KIMIA MATA - TATALAKSANA
SYMPTOMS TREATMENT
• Unilateral or bilateral involvement Options include one of the following:
• Purulent discharge, crusting of lashes, • Azithromycin 1000mg single dose
swollen lids, or lids "glued together" • Doxycycline 100mg BID for 7 days
• Patient may also complain of: • Tetracycline 100mg QID x 7 days (avoid in
◦ red eyes pregnant women and in children)
◦ irritation • Erythromycin 500 mg QID x 7 days
◦ tearing Patient and sexual contacts should be
◦ photophobia evaluated and treated for other STDs.
◦ blurred vision
http://www.aao.org/theeyeshaveit/red-eye/chlamydial-conjunctivitis.cfm
Etiologi Diagnosis Karakteristik
Viral Konjungtivitis folikuler Merah, berair mata, sekret minimal, folikel sangat
akut mencolok di kedua konjungtiva tarsal
Klamidia Trachoma Seringnya pd anak, folikel dan papil pd konjungtiva
tarsal superior disertai parut, perluasan pembuluh
darah ke limbus atas
Konjungtivitis inklusi Mata merah, sekret mukopurulen (pagi hari), papil
dan folikel pada kedua konjungtiva tarsal (terutama
inferior)
Alergi/hiper- Konjungtivitis vernalis Sangat gatal, sekret berserat-serat, cobblestone pd
sensitivitas konjungtiva tarsal superior, horner-trantas dots
(limbus)
Konjungtivitis atopik Sensasi terbakar, sekret berlendir, konjungtiva
putih spt susu, papil halus pada konjungtiva tarsal
inferior
Konjungtivitis Reaksi hipersensitif tersering akibat protein TB,
fliktenularis nodul keabuan di limbus atau konjungtiva bulbi,
mata merah dan berair mata
Autoimun Keratokonjungtivitis sicca Akibat kurangnya film air mata, tes shcirmer
abnormal, konjungtiva bulbi hiperemia, sekret
mukoid, semakin sakit menjelang malam dan
berkurang pagi
70. Normal Funduscopy
normal
Normal Ocular Fundus
Vessels:
Arterial/venous
Arterioles
diameter ratio 2 to 3;
the arteries appear a
bright red, the veins a
slightly purplish Optic cup
colour.
Fovea
Optic disc
Vein
Disc: Clear outline
optic cup is pale and
centrally located.
Normal cup/disc ratio <
0.5
http://cms.revoptom.com/osc/3146/Analysis.jpg
Retina: Normal red/orange
colour, macula is dark. The
macula is approximately 2
disc diameters away from disc
and 1.5 degrees below
horizon.
What to observe
Boat Rupture of large superficial retinal veins into the space between the
Hemorrhage retina and vitreous; sometimes these bleeds break into the vitreous
cavity. Causes: Sudden increase in intracranial pressure, anemia,
thrombocytopenia, trauma
drusen Tiny yellow or white accumulations of extracellular material that build
up between Bruch's membrane and the retinal pigment epithelium of
the eye; scattered around the macular region They are the most
common early sign of dry age-related macular degeneration. Drusen are
made up of lipids
http://www.aao.org/theeyeshaveit/optic-fundus/hemorrhages-table.cfm
Flame-shaped hemorrhage
• Nyeri • Tremor
• Gangguan tidur • Sulit untuk berbalik badan
•Ansietas dan depresi di kasur
•Berpakaian menjadi lambat •Berjalan menyeret
•Berjalan lambat •Berbicara lebih lambat
• Generalised seizures
(include absance
type)
• Unclassified seizures
76. Tension Type Headache
• (TTH) adalah sakit kepala yang terasa seperti
tekanan atau ketegangan di dalam dan disekitar
kepala.
• Nyeri kepala karena tegang yang menimbulkan
nyeri akibat kontraksi menetap otot- otot kulit
kepala, dahi, dan leher yang disertai dengan
vasokonstriksi ekstrakranium.
• Nyeri ditandai dengan rasa kencang seperti pita di
sekitar kepala dan nyeri tekan didaerah
oksipitoservikalis.
The International Classification of Headache Disorders: 2nd
edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.
Menurut International Headache Society Classification, TTH
terbagi atas 3 yaitu:
• Episodik tension-type headache,
• Chronik-tension type Headache, dan
• Headache of the tension type not fulfilling above criteria
Etiologi
• Tension (keteganggan) dan stress.
• Tiredness (Kelelahan).
• Ansietas (kecemasan).
• Lama membaca, mengetik atau konsentrasi
(eye strain)
• Posture yang buruk.
• Jejas pada leher dan spine.
• Tekanan darah yang tinggi.
• Physical dan stress emotional
Diagnosis dapat ditegakkan secara cepat dengan PCR, ELISA dan aglutinasi
Latex. Baku emas diagnosis meningitis TB adalah menemukan M. tb dalam
kultur CSS. Namun pemeriksaan kultur CSS ini membutuhkan waktu yang
lama dan memberikan hasil positif hanya pada kira-kira setengah dari
penderita
• Regimen terapi: 2RHZE / 7-10RH
• Indikasi Steroid : Kesadaran menurun, defisit
neurologist fokal
• Dosis steroid : Deksametason 10 mg bolus
intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena
selama 2 minggu selanjutnya turunkan
perlahan selama 1 bulan.
CSF Finding in Meningitis
Bamberger DM. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of Meningitis. Am Fam Physician. 2010;82(12):1491-1498
78. Head Injury
78. Airway Management
1. Stroke Hemoragik
a. Intra cerebral hemoragik (ICH)
OK : Hypertensi, Aneurysma dan arterioveneus Malformasi (AVM)
b. Sub Arachnoid Hemoragik (SAH)
diagnosis medis : CT brain scan
2. Stroke Non Hemoragik (Iskemik)
OK : Arteriosklerosis & sering dikaitkan dengan : DM,
Hypercolesterolemia, Asam urat, hyperagregasi trombosit
3. Emboli Sumber dari tronkus di arteria carotis communis di jantung
Lepas trombus embolus otak.
Vaskularisasi Otak
Fungsi Cerebellum:
1. Koordinasi gerakan volunter
2. Keseimbangan tubuh
3. Tonus otot
4. Mekanisme memori & motor learning
Control of body posture &
equilibrium.
Transcortical
Nonfluent - Good Good Poor
motor
Wernicke’s
Fluent + Poor Poor Poor
Aphasia
Transcortical
Fluent + Poor Good Poor
sensory
Supra trochlear n.
Supra -orbital n.
La cri mal n.
Infra trochlear n.
Fronta l n.
Short ci liary nn.
V1 VI
Long ci liary nn.
V2 Na s ociliary n.
II Ci l iary ga nglion
V3
V II Fronta l n. (cut)
III
III
IV V
VI IV
VI
Sensory nerves are branches of the Motor nerves are branches of cranial
ophthalmic division of the nerves III, IV, and VI
trigeminal- V1
Ethmoid Fracture
• Fracture of the lamina
papyracea
– Communication to nasal
cavity
– exophtalmos
MRI dapat mendeteksi tumor dengan jelas dan dapat mendeteksi kelainan
jaringan sebelum terjadinya kelainan morfologi.
Diagnosa Banding
• Abses intraserebral
• Epidural hematom
• Hipertensi intrakranial benigna
• Meningitis kronik
Penatalaksanaan
3. Nyeri Neuropatik
• Merupakan nyeri yang terjadi akibat adanya lesi sistem
saraf perifer
• Seperti pada neuropati diabetika, post-herpetik neuralgia,
radikulopati lumbal, dll) atau sentral (seperti pada nyeri
pasca cedera medula spinalis, nyeri pasca stroke, dan nyeri
pada sklerosis multipel).
Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management,
Ann Intern Med; 140:441-451
4. Nyeri Fungsional
Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management,
Ann Intern Med; 140:441-451
Nosiseptor pada otot
• Sebanyak 75% dari inervasi sensorik pada otot rangka disuplai oleh ujung
saraf bebas yang terdapat di fascia otot, dinding pembuluh darah, tendon,
dan di antara serat otot.
• Tipe-tipe dari ujung-ujung saraf bebas ini yaitu, yaitu serat saraf aferen A-
delta (grup III) yang tipis bermielin dan tipe C (grup IV) yang tidak
bermielin. Setelah kehilangan selubung mielinnya, terminal dari ujung
saraf bebas tersebut dapat memanjang sekitar 1 mm sebagai ujung akson
tanpa myelin dan mempersarafi daerah seluas 25 x 200 mikrometer.
• Nyeri otot terutama disebabkan oleh aktivasi serat aferen tipe IV karena
serat tersebut memiliki ambang yang lebih tinggi terhadap stimulasi
mekanik dan dapat dieksitasi oleh kontraksi iskemik dari otot. Perannya
cenderung ergoreseptif dibandingkan nosiseptif.
• Namun serat A-delta grup III juga berkontribusi terhadap nyeri otot.
Walaupun hanya sebagian kecil dari serat saraf C tidak bermielin ini yang
berespon terhadap peregangan dan kontraksi otot, beberapa dari serat ini
berespon saat terjadi iskemia dan kontraksi otot di saat yang bersamaan.
• Noxious stimulation dari otot, fascia, dan tendon menghasilkan derajat
yang beragam dari rasa nyeri yang dalam, yang menyebar dan sulit untuk
dicari lokasi tepatnya.
ILM U
PSIK IATR I
86. Bipolar Disorder
can be mixed
Environmental
Trauma
factors
Anatomic
Genetic
abnormalities
Exposure to
Others chemicals or
drugs
Remain unclear
Secondary Cause of Bipolar Mania
Acute Manic Algorithm Therapy
Acute Depressive Episode
Pharmacological Therapy of Bipolar
Disorder
Pharmacological Therapy of Bipolar
Disorder Cont...
87. Fobia
F40. GGN ANSIETAS FOBIK
• Agorafobia: Ansietas dicetuskan oleh adanya situasi berupa banya
orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah dan
bepergian sendiri, yg sbnrnya pada saat kejadian ini tidak
membahayakan
– Pasien menghindari situasi fobik (house bound)
• Fobia Khas: Ansietas terbatas pada adanya objek atau situasi fobik
tertentu
– Klaustrofobia (tempat sempit), xenofobia (orang/sesuatu yg asing),
akrofobia (tempat tinggi)
Ansietas
• Acrophobia fear of heights
• Agoraphobia fear of open places
• Ailurophobia fear of cats
• Hydrophobia fear of water
• Claustrophobia fear of closed spaces
• Cynophobia fear of dogs
• Mysophobia fear of dirt and germs
• Pyrophobia fear of fire
• Xenophobia fear of strangers
Terapi Fobia
• Desensitisasi sistematik (serial), ketika klien
secara progresif dipajankan pada objek yang
mengancam, di lingkungan yang aman, sampai
ansietas berkurang.
http://pedsinreview.aappublications.org/content/27/6/204.full
PPDGJ-III
• Ketentuan subtipe retardasi mental meliputi:
– F70: Ringan (IQ 50-69)
– F71: Sedang (IQ 35-49)
– F72: Berat (IQ 20-34)
– F73: Sangat Berat (<20)
89. Gangguan Disosiatif (Konversi)
PPDGJ
Diagnosis Karakteristik
Amnesia Gangguan Disosiatif
Hilang daya ingat mengenai kejadian stressful atau traumatik yang
baru terjadi (selektif)
Fugue Melakukan perjalanan tertentu ke tempat di luar kebiasaan, tapi
tidak mengingat perjalanan tersebut.
Stupor Sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan volunter & respons
normal terhadap rangsangan luar (cahay, suara, raba)
Trans Kehilangan sementara penghayatan akan identitias diri &
kesadaran, berperilaku seakan-akan dikuasai kepribadian lain.
Motorik Tidak mampu menggerakkan seluruh/sebagian anggota gerak.
Konvulsi Sangat mirip kejang epileptik, tapi tidak dijumpai kehilangan
kesadaran, mengompol, atau jatuh.
Anestesi & Anestesi pada kulit yang tidak sesuai dermatom.
kehilangan Penurunan tajam penglihatan atau tunnel vision (area lapang
sensorik pandang sama, tidak tergantung jarak). Contoh: buta konversi dan
tuli konversi
PPDGJ
Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa. Rujukan ringkas dari PPDGJ-III.
Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.
PPDGJ
93. Gangguan Somatoform
Diagnosis Karakteristik
Gangguan somatisasi Banyak keluhan fisik (4 tempat nyeri, 2 GI tract, 1
seksual, 1 pseudoneurologis).
Hipokondriasis Keyakinan ada penyakit fisik.
PPDGJ
Gangguan Hipokondrik
Untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus ada:
• Keyakinan yang menetap adanya sekurang-
kurangnya 1 penyakit fisik yang serius,
meskipun pemeriksaan yang berulang tidak
menunjang
• Tidak mau menerima nasehat atau dukungan
penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak
ditemukan penyakit/abnormalitas fisik
94. Gangguan Kepribadian
95. Sexual Dysfunction
• Sexual desire disorders
– Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD);
• Persistently or recurrently deficient (or absent) sexual
fantasies and desire for sexual activity
– Sexual Aversion Disorder (SAD)
• Persistent or recurrent extreme aversion to, and avoidance
of, all (or almost all) genital sexual contact with a sexual
partner.
• Sexual arousal disorders
– Female Sexual Arousal Disorder (FSAD)
• Persistent or recurrent inability to attain, or to maintain until
completion of the sexual activity, an adequate lubrication-
swelling response of sexual excitement.
– Male Erectile Disorder
• Persistent or recurrent inability to attain, or to maintain until
completion of the sexual activity, an adequate erection.
(APA, 2000)
• Orgasmic disorders
– Female Orgasmic Disorder (Inhibited Female Orgasm)
– Male Orgasmic Disorder (Inhibited Male Orgasm)
– Premature Ejaculation
• Sexual pain disorders
– Dyspareunia: recurrent or persistent genital pain associated with
sexual intercourse.
– Vaginismus: involuntary muscle constriction of the outer third of
the vagina that interferes with penile insertion and intercourse.
• Sexual dysfunction due to general medical condition
• Substance-Induced Sexual Dysfunction
– With impaired desire/With impaired arousal/With impaired
orgasm/With sexual pain/With onset during intoxication
• Sexual Dysfunction Not Otherwise Specified (NOS)
96. Depresi
• Gejala utama: • Gejala lainnya:
1. afek depresif, 1. konsentrasi menurun,
2. hilang minat & 2. harga diri & kepercayaan diri
berkurang,
kegembiraan,
3. rasa bersalah & tidak berguna
3. mudah lelah & yang tidak beralasan,
menurunnya 4. merasa masa depan suram &
aktivitas. pesimistis,
5. gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh
diri,
6. tidur terganggu,
7. perubahan nafsu makan (naik
atau turun).
PPDGJ
Depresi
• Episode depresif ringan: 2 gejala utama + 2 gejala lain > 2
minggu
PPDGJ
DSM-IV Criteria
Terapi Depresi
• Sasarannya adalah perubahan biologis/efek
berupa mood pasien.
• Karena mood pasien dipengaruhi kadar
serotonin dan nor-epinefrin di otak, maka
tujuan pengobatan depresi adalah modulasi
serotonin dan norepinefrin otak dengan agen-
agen yang sesuai.
• Dapat berupa terapi farmakologis dan non
farmakologis.
Terapi Non Farmakologis
• PSIKOTERAPI
– interpersonal therapy: berfokus pada konteks sosial
depresi dan hub pasien dengan orang lain
– cognitive - behavioral therapy „: berfokus pada mengoreksi
pikiran negatif, perasaan bersalah yang tidak rasional dan
rasa pesimis pasien
99. Skizofrenia
Skizofrenia Gangguan isi pikir, waham, halusinasi, minimal 1
bulan
Paranoid merasa terancam/dikendalikan
Hebefrenik 15-25 tahun, afek tidak wajar, perilaku tidak dapat diramalkan,
senyum sendiri
Katatonik stupor, rigid, gaduh, fleksibilitas cerea
Skizotipal perilaku/penampilan aneh, kepercayaan aneh, bersifat magik, pikiran
obsesif berulang
Waham menetap hanya waham
Psikotik akut gejala psikotik <2 minggu.
Skizoafektif gejala skizofrenia & afektif bersamaan
Residual Gejala negatif menonjol, ada riwayat psikotik di masa lalu yang
memenuhi skizofrenia
Simpleks Gejala negatif yang khas skizofrenia (apatis, bicara jarang, afek
tumpul/tidak wajar) tanpa didahului halusinasi/waham/gejala
psikotik lain. Disertai perubahan perilaku pribadi yang bermakna
(tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, penarikan diri).
100. Gangguan Short Term Memory
• Gangguan short term memory merupakan
gangguan memori terhadap suatu kejadian yang
terjadi dari 30 detik yang lalu hingga 5-7 hari.
~70 x 45 m ~55 m
(up to 200 m)
Balantidiasis: Gejala
• Biasanya asimptomatik
• Kista atau trofozoit dalam feses
• Gejala umum
– Diare kronik, disentri, mual, napas berbau, kolitis,
nyeri perut
Balantidiasis: Terapi
Terapi Balantidiasis
• Antibiotik tetrasiklin, metronidazol, dan iodoquinol
http://www.cdc.gov/dpdx/balantidiasis/tx.html
102. Infeksi Cestoda: Taenia Sp.
Proglotid Keluar sendiri scr aktif Keluar bersama tinja 2-3 progl.
satu-satu
Matang Ovarium 2 lobus Ovarium trilobus
Gravid 15-30 cabang lateral 7-12 cabang lateral
∑ telur/proglotid 100.000 30.000-50.000
Larva Cystisercus bovis Cystisercus cellulose
Hospes perantara Sapi Babi dan manusia
Cara infeksi Makan daging sapi yg Makan daging babi yg mengandung
mengandung cystisercus cystisercus cellulose (mjd taeniasis)
bovis dan tertelan telur (mjd sistiserkosis)
Taenia sp. : Sistiserkosis
• Menghinggapi jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot, jantung, hati,
paru dan rongga perut
• Keterlibatan mata dan SSPNeurosistiserkosis
• Dapat mengalami kalsifikasi pada jaringan otak atau medula spinalis
(jarang bergejala bila bergejala epilepi, meningo-ensefalitis, nyeri
kepala, kelainan jiwa
• Diagnosis
– Ekstirpasi benjolan periksa histopatologi
– Radiologis: CT scan atau MRI
– Deteksi antibodi: ELISA, Western blot,
uji hemaglutinasi, coproantigen pada tinja
– Deteksi DNA dengan PCR
Neurocysticercosis
• Cysticercosispenyakit akibat infeksi T. Solium
• Neurocysticercosis penyakit akibat infeksi T. solium
ke CNS
• Terbagi menjadi parenkimal dan ekstraparenkimal
- Pada parenkimal, penyakit terjadi karena T. solium menginfeksi
parenkim otak
- Pada ekstraparenkimal, penyakit terjadi karena T. solium bermigrasi ke
dalam CSF dan masuk ke ventrikel, sisterna, subarachnoid, dan juga
mata dan medulla spinalis
• Akan tetapi, 80% asimptomatik
• Gejala umum: kejang, peningkatan TIK,
meningoensefalitis, gangguan psikiatri, stroke, dan
radikulopati dan/atau myelopati
Neurocysticercosis
• Neurocysticercosis parenkimal
- Kejang fokal, fokal dengan parsial umum, atau umum
- Nyeri kepala seperti migrain atau tension
- Defisit neurokognitifsulit mempelajari sesuatu, depresi, bahkan
psikotik
• Neurocysticercosis ekstraparenkimal
- Nyeri kepala
- Hidrosefalus
- Peningkatan TIK (mual, muntah, nyeri kepala, penurunan
kesadaran, dsb)
- Jika terdapat di basilar cisterns bisa menyebabkan hidrosefalus
komunikans atau bahkan lacunar infarct
- Jika ada di spinalradiculopaty
- Jika di matagangguan penglihatan
Neurocysticercosis
• Tatalaksana
- Operasi eksisi pada lesi
- Antikonvulsan jika kejang
- Kortikosteroidjika ada edema serebri atau vaskulitis
(prednisone 1mg/kgBB/hari)
- Antihelmintik (hanya dipakai jika tidak ada edema
serebri, jika ada ditangani dulu dengan kortikosteroid):
Albendazole 2x400 mg selama 8-30 hari atau
praziquantel 3x 50-100 mg/kgBB/ hari selama 14 hari
Infeksi Cestoda lain: Kista Hidatid
• Etiologi: Echinococcus granulosus
LARVA :
HIDATID
BENTUK
GELEMBUNG
TELUR
Daur hidup E. garanulosus
Patologi dan Gejala Klinis
Gejala dan Tanda
• Tergantung kepada tempat dan ukuran kista
hidatid.
• Pada stadium awal >>> asimtomatik.
• Apabila ukuran kista membesar :
1. Desakan kista hidatid,
2. Cairan kista yang dapat menimbulkan reaksi
alergi,
3. Bila kista pecah, cairan kista masuk peredaran
darah anaphylactic shock- †
Diagnosis Klinis
1. Menemukan protoskoleks
2. Menemukan brood capsule
3. Menemukan kista baru pada pasca operasi
4. Menemukan fragmen hidatid dari pecahan kista di
dalam sputum dan urin.
5. Menemukan skoleks dari cairan kista.
6. Reaksi Casoni (skin tes, hasil tes memperlihatkan
positif palsu 14 %)
7. Tes serologi (ELISA, IHA, IFA, & IEF)
Pengobatan, Prognosis, Epidemiologi
• Prognosis
• Bila kista unilokuler dapat dioperasi dan diangkat
• Epidemiologi
– Daerah peternakan domba dan berhubungan
erat dengan anjing
Pencegahan penyakit hidatidosis oleh E. granulosus
1. Menghindari/mencegah anjing memakan sisa
daging/bangkai hewan ternak.
2. Mengurangi populasi anjing.
3. Pengobatan massal thdp anjing utk membunuh cacing
dewasanya.
Proteksi perorang :
1. Hindari hubungan yg erat dg anjing, kucing & hewan
karnivora lainnya.
2. Hindari makanan sayuran mentah/yg terkontaminasi
tinja anjing.
3. Pemeriksaan secara periodik trhdp orang-orang di
daerah endemik/erat hubungannya dgn anjing, utk tes
serologis tentang zat anti Echinoccocus.
103. Malaria
Malaria the disease
• Lini pertama
– Menggunakan ACT: artesunat + amodiakuin atau
dihydroartemisinin piperakuin (DHP)
– Dosis: sama seperti malaria falciparum, namun primakuin
diberikan selama 14 hari dengan dosis 0.25 mg/kgBB
• Malaria malariae
– ACT 1x/hari selama 3 hari
• Malaria Mix
– ACT selama 3 hari ditambah
– Hari 1-14 primakuin dosis 0.25 mg/kgBB
Leishmaniasis
• Definition:
– the collective name for a number of diseases caused by
protozoan flagellates of genous leishmania , which have
diverse clinical manifestations
• Transmitted by the bite of sand fly
• Leshmaniasis protozoan pathogens are about 20
different species and can be categorized into 3 groups:
– Leshmania Donovani
– Leshmania Tropica
– Leshmania Braziliensis
Gomes CM, et all. Complementary exams in the diagnosis of american tegumentary leishmaniasis. An.
Bras.Dermatol. vol.89 no.5 Rio de Janeiro Sept./Oct. 2014. in http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S0365-
05962014000500701&script=sci_arttext
www.pitt.edu/~super7/22011-23001/22291.ppt
www.ssu.ac.ir/fileadmin/.../Power_point/.../Leish
nia_parasites.ppt
https://en.wikipedia.org/wiki/Leishmaniasis
Microscopy finding
A B
TREATMENT
• SODIUM ANTIMONY STIBO GLUCONATE
• PENTAMIDINE ISTHIONATE
• AMPHOTERICIN-B
• Miltefosine (Impavido ®) (approval by the Indian and
German Regulatory Authorities (2003)
• Phase III Trials with a first-generation vaccine (killed
Leishmania organism mixed with a low concentration of
BCG as an adjuvant) have also yielded promising results
• Leishmania major mixed with BCG have been successful
in preventing infection with Leishmania donovani.
104. Eritrasma
• Etiologi: Corynebacterium minutissimum (coral
red pada lampu Wood)
• Predileksi: pada daerah lipatan kulit
• Efloresensi: Plak berwarna pink kemerahan
dengan skuama halus berubah menjadi coklat
dan bersisik
Tatalaksana
• Infection may be treated with topical and/or
oral agents.
• C minutissimum is generally susceptible to
penicillins, first-generation cephalosporins,
erythromycin, clindamycin, ciprofloxacin,
tetracycline, and vancomycin.
• Erythromycin is the drug of choice.
105. Infeksi Parasit
Organisme Penyakit Gambaran Klinis
Dermatophagoides Asma, Reaksi alergi
(tungau debu Dermatitis
rumah) Alergi
Sarcoptes scabei Scabies 4 tanda kardinal: Pruritus nocturna, riwayat terinfeksi
skabies dalam keluarga, adanya terowongan, dan
ditemukannya tungau
Trichuris triciura Trichuriasis Anemia (hidup di sekum- colon asendens) gejala
diare-disentri atau tanpa gejala
Ancylostoma Cutaneus Larva Stadium larva: eritem, papul, eritema berkelok-
brazilience Migran kelok, pustule, gatal
• Terapi
• Tiabendazole (DOC) sediaan oral sulit
didapat & ditoleransi dipilih sediaan krim
atau lotion 15% 2-3x/hari selama 5 hari
• Albendazole 1x400 mg selama 3 hari,
Cryotherapy, Kloretil
Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI Hal 125-126
106. Tinea kapitis
• Kelainan pada kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh dermatofit
• Bentuk klinis:
– Grey patch ringworm (biasanya disebabkan
Microsporum)
• Papul merah yang melebar, membentuk bercak, pucat,
bersisik. Rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat, mudah
patah dan tercabut. Lampu Wood: hijau kekuningan.
– Kerion (Microsporum atau Tricophyton)
• Reaksi peradangan berat pada tinea kapitis, pembengkakan
menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang.
Dapat menimbulkan jaringan parut dan alopesia menetap.
Fluoresensi (+/-)
– Black dot ringworm (biasanya disebabkan
Tricophyton tonsurans dan Trycophyton violaceum)
• Rambut yang terkena infeksi patah pada muara folikel, dan
yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora
(black dot). Fluoresensi (-)
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
3 Pola Invasi Rambut pada Tinea Kapitis
E C TO T H R I X E NDOTHRI X
• Fluoresen kuning • Tanpa fluoresen • Fluoresen abu • Tanpa fluoresen
kehijauan terang – M. fulvum kehijauan kusam – T. gourvillii
– Microsporum – M. Gypseum – Trichophyton – T. Soudanense
audouinii – T. Megninii schoenleinii – T. tonsurans
– M. canis – T. Mentagrophytes – T. Violaceum
– M. Ferrugineum – T. Rubrum – T. Yaoundei
– T. verrucosum
Drug of Choice Dermatofita
D E R M ATO F I TA DOC
Tinea Kapitis • Griseofulvin: DOC untuk spesies Microsporum
• Terbinafin: DOC untuk spesies Trichophyton
Tinea barbae, tinea manum, • Mengenai struktur kulit bagian dalam butuh terapi
Tinea korporis luas sistemik
• DOC: Terbinafin, itrakonazol, flukonazol
Tinea facialis, Tinea korporis, • Mengenai struktur kulit superfisial terapi topikal
tinea kruris, tinea pedis • DOC: grup alilamin (terbinafin, naftifin)
PATOGENESIS :
• Masa inkubasi : 1-3 hari
• Port d’entrée merah papul pustula pecah ulkus
• Ulkus :
Multiple
Tidak teratur
Dinding bergaung
Indurasi +
Nyeri (dolen)
Kotor
ULKUS MOLE: DIAGNOSIS BANDING
Ulkus Durum Ulkus Mole
Etiologi T. Pallidum H. Ducreyi
Masa inkubasi 10 – 90 hari 1 – 14 hari
Jumlah lesi Soliter Multipel
Bentuk Bulat, bulat lonjong Bulat atau lonjong, bentuk cawan
Tepi lesi Tepi rata, tanda radang (-) Tidak rata / ≠ teratur, tanda radang (+)
Dinding Tegak lurus Bergaung
Buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin FKUI edisi kelima
Neurodermatitis: Tatalaksana
• Tata laksana neurodermatitis:
– Edukasi bahwa garukan akan memperburuk lesi
– Antipruritus: antihistamin dengan efek sedatif
– Kortikosteroi topikal atau intalesi
– Ter yang mempunyai efek antiinflamasi
Dermatitis Numularis
Sinonim
Ekzem numular
Ekzem diskoid
Etiopatogenesis
Tidak diketahui : Multi Faktor
Peningkatan koloni Staphylococcus &
Micrococcus
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Dermatitis Numularis: Etiologi
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Dermatitis Numularis: Gejala Klinis
• >> pada laki-laki
– awitan 55 th – 65 th/ 15 th – 25 th
• Subjektif : gatal hebat
• Objektif
• Lesi awal: vesikel / papulovesikel
bergabung Coin berbatas tegas, edematosa
& eritematosa
• Vesikel pecah : krusta kekuningan melebar :
ukuran ± 5 cm
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Dermatitis Numularis: Morfologi
• Lesi lama: Likenifikasi, skuama
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Dermatitis Numularis: Perjalanan Penyakit
• Perjalanan Penyakit
– Papula, makula, vesikula bergabung menjadi
bulatan batas tegas, eritematosa vesikel pecah
eksudasi & krusta likenifikasi & skuama
UMUM
• Cari faktor provokasi
• Fokal infeksi
• Kulit kering
• Hindari bahan iritan / alergen
KHUSUS
• Sistemik: Antibiotika
Kortikosteroid
• Topikal: Kompres PK 1/10.000 (lesi basah)
Kortikosteroid (lesi kering)
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Dermatitis Numularis: Diagnosis Banding
110. Reaksi Kusta
• Interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik
Pure neuritis leprosy Jenis lepra yang gejalanya berupa neuritis saja
Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Reaksi Kusta: Tipe 1
(Reaksi Reversal)
• Patofisiologi
– Terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman
kusta dikulit dan syaraf berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati
akibat pengobatan yang diberikan
Reaksi Kusta: Tipe 2
• Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul
pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT)
• Klofazimin
– 200-300 mg/hari • Dengan neuritis akut
– Khasiat lebih lambat dari – Prednison 40 mg/hari lihat
kortikosteroid skema
– Dapat melepaskan
ketergantungan steroid
– Efek samping: kulit berwarna
merah kecoklatan (reversible)
Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Reaksi Reversal: Pengobatan
Minggu Pemberian Prednison Dosis Harian yang Dianjurkan
• Minggu 1-2 40 mg
• Minggu 3-4 30 mg
• Minggu 5-6 20 mg
• Minggu 7-8 15 mg
• Minggu 9-10 10 mg
• Minggu 11-12 5 mg
• Pemberian Lampren
– 300 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 200 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 100 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 50 mg/hari bila pasien masih dalam pengobatan MDT, atau stop bila
penderita sudah dinyatakan RFT
Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
E.N.L
Lucio’s phenomenone
Reversal reaction of leprosy
111. Moluskum
Kontagiosum
• Penyakit yang disebabkan oleh poxvirus berupa papul-papul, pada
permukaannya terdapat lekukan, berisi massa yang mengandung badan
moluskum
• Transmisi: kontak langsung, autoinokulasi
• Gejala:
– Masa inkubasi: satu hingga beberapa minggu
– Papul miliar, kadang-kadang lentikular dan berwarna putih seperti lilin, berbentuk
kubah yang ditengahnya terdapat lekukan, jika dipijat keluar massa yang berwarna
putih seperti nasi
– Predileksi: muka, badan, ekstremitas, pubis (hanya pada dewasa)
• Pemeriksaan:
– Sebagian besar berdasarkan klinis
– Pemeriksaan mikroskopik badan moluskum (Henderson-Paterson bodies) –
menggunakan pewarnaan Giemsa atau gram
– Diagnosis pasti: biopsi kulit menggunakan pewarnaan HE
• Tata laksana: mengeluarkan massa (manual, elektrokauterisasi, bedah beku)
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Bhatia AC. Molluscum contagiosum. http://emedicine.medscape.com/article/910570-overview
112. Schistosoma
TELUR
BENTUK : BULAT AGAK LONJONG DNG
TONJOLAN DI BAGIAN
LATERAL DEKAT KUTUB
UKURAN : 100 x 65 µm
TELUR BERISI EMBRIO
TANPA OPERKULUM
Tersebar di daerah Timur (termasuk
Indonesia)
SERKARIA
Schistosoma sp
EKOR BERCABANG
Gejala Klinis dan Px Penunjang
– Efek patologis tergantung jumlah telur yang dikeluarkan
dan jumlah cacing
– Keluhan :
• S. mansoni & japonicum: demam Katamaya, fibrosis periportal,
hipertensi portal, granuloma pada otak & spinal
• S. haematobium: hematuria, skar, kalsifikasi, karsinoma sel
skuamosa, granuloma pada otak dan spinal
– Pada infeksi berat → Sindroma disentri
– Hepatomegali timbul lebih dini disusul splenomegali;
terjadi 6-8 bulan setelah infeksi
– Px Penunjang:
• Mikroskopik feses: semua spesies
• Mikroskopik urin: spesies haematobium
Sumber: http://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/dx.html
Terapi Schistosomiasis
Sumber: http://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/dx.html
113. Vaginitis Differentiation
Normal Bacterial Vaginosis Candidiasis Trichomoniasis
Itch, discomfort,
Symptom Itch, discharge, 50%
Odor, discharge, itch dysuria, thick
presentation asymptomatic
discharge
Homogenous,
Clear to adherent, thin, milky Thick, clumpy, white Frothy, gray or yellow-
Vaginal discharge
white white; malodorous “cottage cheese” green; malodorous
“foul fishy”
Inflammation and Cervical petechiae
Clinical findings
erythema “strawberry cervix”
Vaginal pH 3.8 - 4.2 > 4.5 Usually < 4.5 > 4.5
Motile flagellated
Clue cells (> 20%),
NaCl wet mount Lacto-bacilli Few WBCs protozoa, many
no/few WBCs
WBCs
Pseudohyphae or
KOH wet mount spores if non-albicans
species 678
Karakteristik beberapa IMS
Penyakit Karakteristik Gambaran
http://www.kalbemed.com/Portals/6/11_219Wound%20Myasis%20pada%20Anak.pdf
Miasis: Tatalaksana
• Prinsip tatalaksana myasis adalah
– Menciptakan kondisi hipoksia lokal untuk memaksa pengeluaran larva
– Mengaplikasikan bahan-bahan yang toksik terhadap larva dan telur
– Mengeluarkan semua larva secara mekanik atau bedah
• Tujuan terapi: Pembersihan luka dari larva secara total dan mengontrol infeksi
sekunder
• Semua larva yang tampak harus segera dikeluarkan, diikuti dengan debridemen
jaringan nekrotik yang tersisa dan irigasi luka yang bergaung
• Pada myasis furunkular, dapat dilakukan penekanan dengan jari-jari pada tepi
luka untuk mengeluarkan larva
• Kondisi hipoksia lokal dapat memicu larva untuk keluar dari luka; hal ini dapat
dilakukan dengan penggunaan bahan-bahan oklusif seperti kloroform, minyak
zaitun, minyak paraffin, bacon, beeswax atau petroleum jelly
115. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS)
• Kemerahan dan nyeri pada wajah,
dada, dan lipatan kulit
• Sepsis
• Superinfeksi
• Dehidrasi akibat gangguan keseimbangan
elektrolit
• Selulitis
• Pneumonia
ILMU
K E S E H ATAN
ANAK
116. Demam Tifoid
• Etiologi : 96% disebabkan Salmonella typhi, sisanya ole S. paratyphi
• Prevalens 91% kasus terjadi pada usia 3-19 tahun
• Penularan : fekal-oral
• Masa inkubasi : 10-14 hari
• Gejala
– Demam naik secara bertahap (stepwise) setiap hari, suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama. Minggu kedua demam terus menerus tinggi
– Delirium (mengigau), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut,
diare, atau konstipasi, muntah, perut kembung,
– Pada kasus berat: penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus
• Pemeriksaan Fisik
– Kesadaran menurun, delirium, lidah tifoid (bagian tengah kotor, pinggir
hiperemis), meteorismus, hepatomegali, sphlenomegali (jarang). Kadang
terdengar ronki pada pemeriksaan paru
Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of
life.
Sindrom cryptorchidism, hypospadias, or micropenis, small testes, delayed or
Klinefelter incomplete puberty, gynecomastia, reduced facial and body hair, and
47,XXY an inability to have biological children (infertility).
noninherit Older children and adults tend to be taller. Increased risk of
ed developing breast cancer and SLE.
May have learning disabilities and delayed speech; tend to be quiet,
sensitive, and unassertive.
Sindrom Down mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck,
Trisomi 21 Flattened nose, Separated sutures, Single palm crease, Small
noninherited ears, small mouth, Upward slanting eyes, Wide, short hands
with short fingers, White spots on the colored part of the eye
(Brushfield spots), heart defects (ASD, VSD)
SMALL
NECK WIDE SHORT
NIPPLES STERNUM
SHIELD CHEST
CLENCHED HANDS
Short
palpebral
fissures micrognathia
short
sternum
small
fingernails,
club feet underdevelop
ed
thumbs
Findings
CARDIOVASCULAR
• 80%-100%
• ventricular and atrial septal defects, patent
• ductus arteriosus and polyvalvular disease
RESPIRATORY
• upper airway obstruction
• (in some case due to a laryngomalacia or
tracheobronchomalacia)
• and central apnea
Findings
CENTRAL NERVOUS SYSTEM GASTROINTESTINAL
• cerebellar hypoplasia, Omphalocele
• agenesis of corpus oesophageal atresia
callosum, tracheo-oesophageal fistula
• polymicrogyria, umbilical or inguinal hernia
• spina bifida imperforate anus
• craniofacial orofacial clefts pyloric stenosis
• eye microphthalmia,
• coloboma, cataract,
• corneal opacities
Developmental and behavior
• Developmental delay is always present
– marked to profound degree of psychomotor and
intellectual disability
– slow gaining of some skills
– Expressive language and independently walk are
not achieved
119. Spina Bifida: Etiology
• The etiology multifactorial, involving genetic,
racial, and environmental factors (teratogen),
nutrition folic acid intake).
• Neural tube defects are the result of a
teratogenic process that causes failed closure
and abnormal differentiation of the embryonic
neural tube.
• Neural tube defects occur between the 17th
and 30th day of gestation.
Classification
• Spina bifida occulta • Meningocele
– This is the mildest form of – the meninges are forced into
spina bifida. the gaps between the
– In occulta, the outer part of vertebrae.
some of the vertebrae is not – With meningocele a sac of
completely closed. fluid comes through an
– The splits in the vertebrae are opening in the baby’s back.
so small that the spinal cord But, the spinal cord is not in
does not protrude. this sac.
– The skin at the site of the – There is usually little or no
lesion may be normal, or it nerve damage. This type of
may have some hair growing spina bifida can cause minor
from it; there may be a disabilities.
dimple in the skin
– asymptomatic in most cases
• Myelomeningocele • Myeloschisis
– the unfused portion of the – the involved area is
spinal column allows the represented by a flattened,
spinal cord to protrude plate-like mass of nervous
through an opening. tissue with no overlying
– The meningeal membranes membrane.
that cover the spinal cord – more prone to life-
form a sac enclosing the threatening infections such as
spinal elements. meningitis.
– The protruding portion of the
spinal cord and the nerves
that originate at that level of
the cord are damaged or not
properly developed some
degree of paralysis and loss of
sensation below the level of
the spinal cord defect.
Prevention
• T400 micrograms (mcg) of folic acid every day.
If already have had a pregnancy affected by
spina bifida 4,000 mcg (4.0 milligrams).
120. Hepatitis Viral Akut
• Hepatitis viral: Suatu proses peradangan pada hati atau kerusakan
dan nekrosis sel hepatosit akibat virus hepatotropik. Dapat
akut/kronik. Kronik → jika berlangsung lebih dari 6 bulan
• Perjalanan klasik hepatitis virus akut
– Fase inkubasi
– Stadium prodromal/ preikterik: flu like syndrome,
– Stadium ikterik: gejala-gejala pada stadium prodromal berkurang
disertai munculnya ikterus, urin kuning tua
– Stadium konvalesens/penyembuhan
• Anamnesis Hepatitis A :
– Manifestasi hepatitis A:
• Anak dicurigai menderita hepatitis A jika ada gejala sistemik yang
berhubungan dengan saluran cerna (malaise, nausea, emesis, anorexia, rasa
tidak nyaman pada perut) dan ditemukan faktor risiko misalnya pada keadaan
adanya outbreak atau diketahui sumber penularan.
Follicular hyperkeratosis
124. Defisiensi Vitamin B
Beriberi - a disease whose symptoms include weight loss,
Vitamin B1 (Thiamine) body weakness and pain, brain damage, irregular heart rate,
heart failure, and death if left untreated
Causes distinctive bright pink tongues, although other
Vitamin B2 (Riboflavin) symptoms are cracked lips, throat swelling, bloodshot eyes,
and low red blood cell count
Pellagra - symptoms included diarrhea, dermatitis, dementia,
Vitamin B3 (Niacin)
and finally death (4D)
Vitamin B5
Acne and Chronic paresthesia
(Pantothenic Acid)
Microcytic anemia, depression, dermatitis, high blood
Vitamin B6
pressure (hypertension), water retention, and elevated levels
(Pyridoxine)
of homocysteine
Causes rashes, hair loss, anaemia, and mental conditions
Vitamin B7 (Biotin)
including hallucinations, drowsiness, and depression
Causes gradual deterioration of the spinal cord and very
Vitamin B12
gradual brain deterioration, resulting in sensory or motor
(Cobalamin)
deficiencies
Defisiensi Biotin (Vitamin B7)
• Defisiensi biotin (Vitamin B7) jarang terjadi karena :
– Kebutuhan harian yang sedikit (150-300 μg)
– biotin terdapat hampir di semua jenis makanan
– Flora normal usus mensintesis biotin
– Biotin mengalami proses recycle.
• Penyebab defisiensi Biotin :
– Konsumsi antikonvulsan tertentu (phenytoin, primidone,
carbamazepine)
– Penggunaan antibiotik spektrum luas
– Konsumsi putih-telur mentah dalam jumlah cukup banyak (Egg-white
injury syndrome). putih telur mentah berisi glycoprotein avidin yang
mempunyai afinitas tinggi terhadap biotin berikatan secara
ireversibel tidak bisa diserap usus defisiensi
– Defisiensi enzim biotinidase (defek genetik)
Scheinfeld, NS. Biotin Deficiency. http://emedicine.medscape.com/article/984803-overview
Defisiensi biotin
Manifestasi Klinik
Timbul 3-5 minggu setelah onset defisiensi biotin:
• Kulit Kering
• Dermatitis seboroik
• Infeksi jamur
• Rash
• Brittle hair (mudah patah), rambut rontok, alopecia
• Gejala traktus gastrointestinal (Mual, muntah, anoreksia)
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Gejala Klinis akibat Peningkatan
Hormon Seks Steroid
• Efek estrogen →
– ”tall child but short adult” -
karena penutupan epifisis
tulang dini
– ginekomastia
• Efek testosteron
– hirsutism
– Acne
– male habitus
• Efek umum
– sexual behavior
– agresif
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
PENDEKATAN PUBERTAS PREKOKS
PADA PEREMPUAN
Anamnesis
• Usia awitan saat terjadi pubertas dan progresivitas
perubahan fisik pubertal.
• Pola pertumbuhan (kecepatan tumbuh) anak sejak bayi.
• Adanya kelainan SSP atau gejala kelainan SSP
• Riwayat penyakit dahulu
– kemoterapi, radiasi, operasi, trauma atau infeksi SSP, riwayat
konsumsi obat-obatan jangka panjang (obat yang mengandung
hormon steroid seks)
• Riwayat penyakit keluarga
– riwayat pubertas anggota keluarga yang lain, tinggi badan, dan
rerata pertumbuhan orangtua dan saudara kandungnya.
• Adanya paparan kronik terhadap hormon seks steroid
eksogen.
Pemeriksaan fisis
• Pengukuran tinggi badan, berat badan, rasio segmen
atas/bawah tubuh.
• Palpasi tiroid: ukuran, ada tidaknya nodul, konsistensi, dan
bruit
• Status pubertas sesuai dengan skala maturasi Tanner
– Perempuan: rambut aksila (A), payudara atau mammae (M), dan
rambut pubis (P).
– Laki-laki: rambut aksila (A), rambut pubis (P), dan genital (G).
• Lesi kulit hiperpigmentasi menunjukkan neurofibromatosis
atau sindrom McCune- Albright.
• Palpasi abdomen untuk mendeteksi adanya tumor
intraabdomen.
• Pemeriksaan status neurologis, funduskopi, visus.
Pemeriksaan laboratorium + Radiologi
• Nilai basal LH dan FSH. • RUTIN:
– Kadar basal LH basal >0,83 U/L
menunjang diagnosis pubertas – Usia tulang/bone age
prekoks sentral. – USG pelvis pada anak
– rasio LH/FSH lebih dari satu
menunjukkan stadium pubertas. perempuan
• Hormon seks steroid: estradiol • ATAS INDIKASI:
pada anak perempuan dan
testosteron pada anak laki- laki. – Ultrasonografi testis pada
• Kadar DHEA anak laki-laki jika terdapat
(dehydroepiandrosterone) atau asimetri pembesaran testis.
DHEAS (DHEA sulfate) jika – USG atau CT-Scan abdomen.
terdapat bukti adrenarke.
• Tes stimulasi GnRH/GnRHa: kadar – MRI kepala untuk mencari lesi
puncak LH 5-8 U/L menunjukkan hipotalamus
pubertas prekoks progresif.
Tatalaksana
• ditujukan langsung pada penyebab
• Tumor SSP atau tumor yang memproduksi hormon seks
steroid: bedah, radiasi atau kemoterapi yang sesuai.
• Terapi subsitusi kortisol dengan hidrokortison suksinat
pada HAK.
• Terapi substitusi hormon tiroid pada hipotiroid primer.
• Pubertas prekoks sentral idiopatik: penggunaan GnRH
agonis.
• Pubertas prekoks perifer: keberhasilan tata laksana
penyakit yang mendasarinya
126. Skor APGAR
Skor APGAR dievaluasi menit ke-1 dan menit ke-5
Tanda 0 1 2
A Activity Tidak ada tangan dan aktif
(tonus otot) kaki fleksi
sedikit
P Pulse Tidak ada < > 100 x/menit
100x/menit
G Grimace Tidak ada Menyeringai Reaksi melawan, batuk,
(reflex respon lemah, bersin
irritability) gerakan
sedikit
A Appearance Sianosis Kebiruan Kemerahan di seluruh
(warna kulit) seluruh pada tubuh
tubuh ekstremitas
R Respiration Tidak ada Lambat dan Baik, menangis kuat
(napas) ireguler
127. Malaria
Tatalaksana Malaria Vivaks dan Ovale
• Lini pertama
– Menggunakan ACT: artesunat + amodiakuin atau
dihydroartemisinin piperakuin (DHP)
– Dosis: sama seperti malaria falciparum, namun primakuin
diberikan selama 14 hari dengan dosis 0.25 mg/kgBB
• Malaria malariae
– ACT 1x/hari selama 3 hari
• Malaria Mix
– ACT selama 3 hari
– Primakuin dosis 0.25 mg/kgBB selama 14 hari
K RITERIA
M ALARIA BERAT
Pilihan utama Malaria Berat di RS:
Artesunat
• Artesunate parenteral • Artesunat (AS) diberikan
dengan dosis 2,4 mg/kgBB
tersedia dalam vial yang per-iv, sebanyak 3 kali jam ke
berisi 60 mg serbuk kering 0, 12, 24. Selanjutnya
dan pelarut dalam ampul diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv
setiap 24 jam sampai
yang berisi 0,6 ml natrium penderita mampu minum
bikarbonat 5%. obat.
• Larutan artesunat bisa
• Untuk membuat larutan diberikan secara intramuskular
artesunat dengan dengan dosis yang sama.
mencampur 60 mg serbuk • Apabila sudah dapat minum
kering dengan larutan 0,6 obat, pengobatan dilanjutkan
dengan dihydroartemisinin-
ml biknat 5%. Kemudian piperakuin atau ACT lainnya
ditambah larutan Dextrose selama 3 hari + primakuin
5% sebanyak 3-5 cc.
Pilihan lainnya: Artemeter
• Artemeter intramuskular • Apabila sudah dapat
tersedia dalam ampul minum obat, pengobatan
yang berisi 80 mg dilanjutkan dengan
artemeter dalam larutan dihydroartemisinin-
minyak. piperakuin atau ACT
• Artemeter diberikan lainnya selama 3 hari +
dengan dosis 3,2 primakuin
mg/kgBB intramuskular.
Selanjutnya artemeter
diberikan 1,6 mg/kgBB
intramuskular satu kali
sehari sampai penderita
mampu minum obat.
Pilihan lainnya: Kina
• Kina per-infus masih • Dosis anak-anak : Kina HCl 25
merupakan obat alternatif % (per-infus) dosis 10
untuk malaria berat pada mg/kgBB (jika umur <2 bulan :
daerah yang tidak tersedia 6-8 mg/kgBB) diencerkan
derivat artemisinin parenteral dengan dekstrosa 5% atau
dan pada ibu hamil trimester NaCl 0,9% sebanyak 5-10
pertama. cc/kgBB diberikan selama 4
• Dalam bentuk ampul kina jam, diulang setiap 8 jam
hidroklorida 25%. sampai penderita sadar dan
• Satu ampul berisi 500 mg/2 dapat minum obat.
ml. • Kina tidak boleh diberikan
secara bolus intra vena, karena
toksik bagi jantung dan dapat
menimbulkan kematian.
Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan artemeter ataupun kina hidroklorida
intramuscular sebagai dosis awal sebelum merujuk ke RS rujukan.
128. Duchenne Muscular Dystrophy
• An inherited progressive myopathic disorder; rapidly
progressing muscle weakness and wasting,
• X-linked recessive form of muscular dystrophy
• Affects 1 in 3600 boys
• Caused by mutations in the dystrophin gene, and
hence is termed “dystrophinopathy”
• Duchenne muscular dystrophy (DMD) is associated
with the most severe clinical symptoms
• Becker muscular dystrophy (BMD) has a similar
presentation to DMD, but typically has a later onset
and a milder clinical course
Four phases of DMD
• Early phase (<6 yrs): clumsy, fall frequently, difficulty jumping
or running, enlarged muscles, contractures.
• Transitional Phase (ages 6-9): Trunk weakness (Gowers
manouvre), muscle weakness, heart problems, fatigue.
• Loss of ambulation (ages 10-14): by 12 yrs most boys use a
powered wheelchair. Scoliosis due to constant sitting and back
weakness, upper limb weakness make ADL’s difficult (retain
use of fingers).
• Late stage (15+): life threatening heart and respiratory
problems more prevalent, dyspnea, oedema of the LL’s.
Average age of death is 19 yrs in untreated DMD
• Dystrophin links the muscle cells to
Pathogenesis the extracellular matrix stabilising the
membrane and protecting the
sarcolemma from the stresses that
develop during muscle contraction.
• Mechanically induced damage
through eccentric contractions puts a
high stress on fragile membranes and
provokes micro-lesions that could
eventually lead to loss of calcium
homeostasis, and cell death.
• Imbalance between necrotic and
regenerative processes: early phase
of disease.
• Later phases the regenerative
capacity of muscle fibers are
exhausted and fibers are gradually
replaced by connective tissue and
adipose tissue.
(Deconinck and Dan, 2007)
Clinical Manifestations
• Proximal before distal limb muscles
• Lower before upper extremities
• Difficulty running, jumping, and walking up steps
• Waddling gait
• Lumbar lordosis
• Pseudohypertrophy of calf muscles, due to fat
infiltration
• Patients are usually wheelchair-bound by the age
of 12
Diagnosis
• Characteristic age and sex
• Presence of symptoms and signs suggestive of
a myopathic process
• Markedly increased serum creatine kinase
values
• Myopathic changes on electromyography and
muscle biopsy
• A positive family history suggesting X-linked
recessive inheritance
Serum Muscle Enzyme
• Markedly raised serum CK level, 10-20 times
the upper limit of normal
– Levels peak at 2-3 years of age and then decline
with increasing age, due to progressive loss of
dystrophic muscle fibres
• Elevated serum ALT, AST, aldolase and LDH
129. Definition
• Wheeze: high-pitched continuous sounds with a dominant
frequency of 400 Hz or more.
– Continuous musical tones that are most commonly heard at
end inspiration or early expiration
– all mechanisms narrowing lower airway calibre produce
wheezing such as bronchospasm, mucosal oedema, intraluminal
tumour or secretions, foreign body, external compression by a
tumour mass, etc
• Rhonchi are characterized as low-pitched continuous
sounds with a dominant frequency of about 200 Hz or less.
• Stridor is defined as a harsh, vibratory sound of varying
pitch caused by turbulent airflow through an obstructed
airway obstruction in the portions of the airway that are
outside the chest cavity (upper airway tracts)
STRIDOR
• Harsh, high-pitched, musical sound produced by
turbulent airflow through a partially obstructed airway
• May be inspiratory, expiratory, or biphasic depending on
its timing in the respiratory cycle
• Inspiratory stridor suggests airway obstruction above the
glottis (extrathoracic lesion (eg, laryngeal))
– Laryngeal lesions often result in voice changes.
• Expiratory stridor is indicative of obstruction in the lower
trachea. (intrathoracic lesion (eg, tracheal, bronchial))
• A biphasic stridor suggests a glottic or subglottic lesion.
Emedicine
http://medschool.lsuhsc.edu
Inspiratory Stridor
• Partial supraglottic airway
obstruction
• Other aerodigestive tract
symptoms
– suprasternal and intercostal
retractions
– feeding difficulties
– muffled cry
Biphasic Stridor
• Partial obstruction at the
level of the
glottis/subglottic
• Primarily inspiratory stridor
• Other aerodigestive tract
symptoms
– Hoarseness
– Aphonia
– nasal flaring
– retractions
Expiratory Stridor
• Partial obstruction at the
level of the subglottis or
proximal trachea
• Other aerodigestive tract
symptoms
– xiphoid retractions
– barking cough
– nasal flaring
Causes of Stridor
neonate
http://medschool.lsuhsc.edu
http://dnbhelp.files.wordpress.com/2011/10/stridor.jpg?w=645
Laringomalasia
• Laringomalasia adalah kelainan kongenital dimana
epiglotis lemah
• Akibat epiglotis yang jatuh, akan menimbulkan stridor
kronik, yang diperparah dengan gravitasi (berbaring).
• Pada pemeriksaan dapat terlihat laring berbentuk
omega
• Laringomalasia biasanya terjadi pada anak dibawah 2
tahun, dimulai dari usia 4-6 minggu, memuncak pada
usia 6 bulan dan menghilang di usia 2 tahun.
• Sebagian besar kasus tidak memerlukan tatalaksana.
130. HERNIA DIAFRAGMA
Pathogenesis
vicious cycle of progressive
Pulmonary hypertension resulting
hypoxemia, hypercarbia, acidosis,
from these arterial anomalies
leads to right-to-left shunting at and pulmonary hypertension
atrial and ductal levels observed in the neonatal period
Congenital HD
Acyanotic Cyanotic
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↓ pulmonary blood flow must include both:
an obstruction to pulmonary blood flow & a shunt from R to L
Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis
increased
myocardial
contractility + KEMATIAN
infundibular
stenosis.
Right-to-left shunt meningkat
TET SPELL
Stimulasi pusat pernapasan di
HYPERCYANOTIC SPELL reseptor karotis + nucleus hiperpnoea
batang otak
Tatalaksana Tet Spell
• Knee chest position/ squatting
– Diharapkan aliran darah paru bertambah karena
peningkatan resistensi vaskular sistemik dan afterload
aorta akibat penekukan arteri femoralis
• Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV
untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi
takipnea
• Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk
mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat
diulang dalam 10-15 menit.
edema
rambut kemerahan, mudah
dicabut
kurang aktif, rewel/cengeng
pengurusan otot
Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90% mild
• <-2 – moderate wasted malnutrition
• <-3 – severe wasted gizi • ≥70-80% moderate
buruk malnutrition
• ≤70% severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutrition Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor
Protein
Serum Albumin
Edema
Marasmus
Karbohidrat
Lemak subkutan
2. Atasi/cegah hipotermia
3. Atasi/cegah dehidrasi
5. Obati infeksi
6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe + Fe
8. Makanan Tumb.kejar
9. Stimulasi
• Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2,
dan 15.
133. Atelectasis
• Atelectasis is defined as diminished volume affecting all
or part of a lung
• 2 types:
– Obstructive:
• the most common type and results from reabsorption of gas from
the alveoli when communication between the alveoli and the
trachea is obstructed at the level of the larger or smaller bronchus.
• Causes of obstructive atelectasis include foreign body, tumor, and
mucous plugging.
– Nonobstructive
• caused by loss of contact between the parietal and visceral
pleurae, compression, loss of surfactant, and replacement of
parenchymal tissue by scarring or infiltrative disease.
• Chest radiographs and CT scans may demonstrate
direct and indirect signs of lobar collapse.
• Direct signs include displacement of fissures and
opacification of the collapsed lobe.
• Indirect signs include
– displacement of the hilum,
– mediastinal shift toward the side of collapse,
– loss of volume on ipsilateral hemithorax,
– elevation of ipsilateral diaphragm,
– crowding of the ribs,
– compensatory hyperlucency of the remaining lobes,
– silhouetting of the diaphragm or the heart border.
Atelectasis
Chest radiographs and CT scans may
demonstrate direct and indirect signs of
lobar collapse.
Direct signs include displacement of
fissures and opacification of the collapsed
lobe.
Indirect signs include
• displacement of the hilum,
• mediastinal shift toward the side
of collapse,
• loss of volume on ipsilateral
hemithorax,
• elevation of ipsilateral diaphragm,
• crowding of the ribs,
• compensatory hyperlucency of
the remaining lobes,
• silhouetting of the diaphragm or
the heart border.
Kelainan Radiologis pada Paru
Pneumonia lobaris Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The
opacification can be sharply defined at the fissures, although more
commonly there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus
within a consolidated lobe will result in the appearance of air
bronchograms.
Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Bronchiolitis
The x-ray shows lung hyperinflation with a flattened diaphragm and opacification in the right lung apex (red
circle) and left lung base (blue circle) from atelectasis. Obviously, the same changes can be seen in the x-ray
of a child with acute asthma. This is one reason why children with acute asthma are often misdiagnosed as
having pneumonia.
134. Demam rematik
• Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat
GABHS (Streptococcus pyogenes)
• Usia rerata penderita: 10 tahun
• Komplikasi: penyakit jantung reumatik
• Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis
GABHS setelah 1-5 minggu
• Pengobatan:
– Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
– Dalam kasus demam rematik:
• Antibiotik: penisilin/eritromisin
• Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
• Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview
Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ket: ASO=ASTO
Physical Findings
• Migratory Polyarthritis • Characteristic murmurs of acute
– is the most common symptom carditis include
– (polyarticular, fleeting, and – the high-pitched, blowing,
involves the large joints) holosystolic, apical murmur of mitral
– frequently the earliest regurgitation;
manifestation of acute – the low-pitched, apical, mid-
rheumatic fever (70-75%). diastolic, flow murmur (Carey-
• Carditis: Coombs murmur);
– and a high-pitched, decrescendo,
– (40% of patients) diastolic murmur of aortic
– and may include cardiomegaly, regurgitation heard at the aortic
new murmur, congestive heart area.
failure, and pericarditis, with or – Murmurs of mitral and aortic
without a rub and valvular stenosis are observed in chronic
disease. valvular heart disease.
• Valvulitis merupakan tanda utama
karditis reumatik :
– katup mitral (76%),
– katup aorta (13%),
– dan katup mitral+ aorta (97%).
Physical Findings
• Subcutaneous nodules (ie, Aschoff bodies):
– 10% of patients and are edematous, fragmented collagen fibers.
– They are firm, painless nodules on the extensor surfaces of the wrists,
elbows, and knees.
• Erythema marginatum:
– 5% of patients.
– The rash is serpiginous and long lasting.
• Chorea (also known as Sydenham chorea and "St Vitus dance"):
– occurs in 5-10% of cases
– consists of rapid, purposeless movements of the face and upper
extremities.
– Onset may be delayed for several months and may cease when the
patient is asleep.
Penyakit Jantung Rematik
• Sekuelae demam reumatik akut yang tidak di-
tx adekuat
• Manifestasi 10-30 th pasca DRA
• Penyakit jantung katup
– MS: fusi komisura fish mouth
– AI + MS
– AS + AI + MS
Source: Valvular Heart Disease. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. 2007.
Sabatine MS. Pocket Medicine. 4th ed. 2011.
Rheumatic Fever - Treatment
• Bed rest 2-6 weeks(till inflammation subsided)
• Supportive therapy - treatment of heart failure
• Anti-streptococcal therapy - Benzathine penicillin(long acting) 1.2
million units once(IM injection) or oral penicillin V 10 days, if allergic to
penicillin erythromycin 10 days (antibiotic is given even if throat culture
is negative)
• Anti-inflammatory agents
Aspirin in anti-inflammatory doses effectively reduces all
manifestations of the disease except chorea, and the response
typically is dramatic.
• Aspirin 100 mg/kg per day for arthritis and in the absence of carditis- for 4-6 weeks to
be tapered off
• Corticosteroids If moderate to severe carditis is present as indicated by cardiomegaly,
third-degree heart block, or CHF, add PO prednisone to salicylate therapy -2 mg/kg per day –
for 2-6 weeks to be tapered off
Tatalaksana
• Terapi antiinflamasi harus segera dimulai setelah diagnosis demam
reumatik ditegakkan.
• Hanya artritis
– aspirin 100 mg/kg/ hari sampai 2 minggu
– dosis diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari seiama 2-3 minggu
berikutnya.
• Karditis ringan sampai sedang
– aspirin 100 mg/kg/hari dibagi 4-6 dosis seiama 4-8 minggu, tergantung
pada respons klinis
– Bila ada perbaikan maka dosis diturunkan bertahap seiama 4-6 minggu
berikutnya.
• Karditis berat dengan gagal jantung, AV blok total, kardiomegali
– Prednison 2 mg/kg/hari diberikan seiama 2 minggu dilanjutkan
dengan aspirin 75 mg/kg/hari.
• Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Rheumatic Fever -Pprevention
Secondary prevention – prevention of recurrent attacks
• Benzathine penicillin G 1.2 million units IM SD every 4
week
• Penicillin V 250 mg twice daily orally
• Or If allergic – Erythromycin 250 mg twice daily orally
• Recommendation
– Phenobarbital should be used as the first-line agent
for treatment of neonatal seizures
• Commonly used first-line AEDs for treatment of NS are
phenobarbital and phenytoin.
• Phenobarbital is also cheaper and more easily available than
phenytoin.
• Only about 55% of newborns respond to either of the two
medications.
• Phenobarbital is easier to administer with a one daily dose being
sufficient following attainment of therapeutic levels.
• Phenytoin has more severe adverse effects than phenobarbital
including cardiac side effects and extravasation (although these
have been mitigated by the introduction of fosphenytoin).
• The therapeutic range of phenytoin is very narrow
136. Infant Feeding Practice
Rekomendasi WHO dan UNICEF, 2002, dalam Global Strategy
for Infant and Young Child Feeding :
• Memberikan ASI segera setelah lahir-1jam pertama
• Memberikan hanya ASI saja atau ASI Eksklusif sejak lahir
sampai umur 6 bulan
• Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi
mulai umur 6 bulan
• Diberikan karena ASI tidak lagi mencukupi kebutuhan zat
gizi
• Pengaturan MP-ASI agar tidak diberikan terlalu
dini/terlambat/terlalu sedikit/kurang nilai gizi
• Tetap memberikan ASI sampai anak umur 2 tahun atau
lebih
Pemberian ASI
ASI eksklusif : - “on demand” • Tanda perlekatan bayi yang baik
adalah:
• monitor kenaikan BB : – Lebih banyak areola yang terlihat di
– trimester 1 : 25-30 g/h = 200 atas mulut bayi
g/mg = 750-900 g/bln – Mulut bayi terbuka lebar
– trimester 2 : 20 g/h = 150 – Bibir bawah bayi membuka keluar
– Dagu bayi menyentuh payudara ibu.
g/mg = 600 g/bln
– Trimester 3: 15 g/h = 100 • Cara ibu menyangga bayinya.
– Bayi digendong merapat ke dada ibu
g/mg = 400 g/bln
– Wajah bayi menghadap payudara ibu
– Trimester 4: 10 g/h = 50-75 – Tubuh dan kepala bayi berada pada
g/mg = 200-300 g/bln satu garis lurus
– Seluruh tubuh bayi harus tersangga.
Tahap Penyapihan
Panduan praktis mengenai kualitas, frekuensi, dan jumlah
makanan yang dianjurkan untuk bayi dan anak berusia 6-23
bulan yang diberi ASI on demand
Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
Neonatal Asphyxia
Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan
bronchogram air bronchogram
Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak),
airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat,
Gambaran jantung menjadi kabur. disebut juga “White lung”
Di stre s Pe rnapasan pada Ne onatus
KELAINAN GEJALA
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat
Sindrom aspirasi staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar.
mekonium Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy
opacity, terkadang atelektasis.
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC,
Respiratory distress
gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak
syndrome (penyakit
gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air
membran hyalin)
bronkogram, ekspansi paru jelek.
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah
Transient tachypnea of lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi
newboorn tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru
perifer bersih.
Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
encephalopathy)
138. Sumbatan Jalan Napas akibat
Benda Asing
Tatalaksana
Cricothyroidotomy/ Cricothyrotomy
• Jalan napas buatan dengan
insisi pada membran krikoid
• Diindikasikan pada situasi
dimana usaha lain untuk
mempertahankan jalan
napas gagal
– Trauma yg meliputi daerah
oral, faringeal, atau nasal
– Spasme otot wajah atau
laringospasme
– Stenosis jalan napas atas
– Gigi yg terkatup
– Obstruksi jalan napas: edema
orofaringeal (anafilaksis),
obstruksi benda asing
POSISI KRIKOTIROTOMI
Krikotirotomi VS Trakeostomi
• Cricotirotomi:
– biasa dilakukan pada kasus
emergensi/ darurat krn lbh
mudah utk dilakukan
– Insisi pada membran krikoid
• Trakeostomi:
– untuk jangka waktu lama
– Insisi di antara cincin trakea
POSISI TRAKEOSTOMI
139. Limfoma Non-Hodgkin
• Limfoma non Hodgkin merupakan bagian dari limfoma maligna
(keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat) yang berupa
tumor ganas yang disebabkan proliferasi ganas sel-sel jaringan limfoid
dari seri limfosit.
• Meski limfoma maligna umumnya terbatas pada jaringan limfoid, pada
anak tidak jarang ditemukan keterlibatan sumsum tulang, sedangkan
keterlibatan tulang dan susunan saraf jarang terjadi.
• Sebanyak 35% tumor primernya berlokasi di daerah abdomen, 13% di
daerah kepala dan leher.
• Faktor risiko berupa genetik, imunosupresi pasca transplantasi, obat-
obatan (difenilhidantoin), radiasi, dan infeksi virus (EBV, HIV).
Non-Hodgkin Lymphoma Classification
in Pediatric
• Adult non-Hodgkin lymphomas are characterized as low,
intermediate, or high grade, and they can have a diffuse or nodular
appearance.
• In contrast, childhood non-Hodgkin lymphomas are almost always
high grade and diffuse.
• According to the National Cancer Institute (NCI) formulation, most
childhood non-Hodgkin lymphomas can be classified as one of the
following types:
– Lymphoblastic lymphomas
• indistinguishable from the lymphoblasts of acute lymphoblastic leukemia (ALL)
– Small noncleaved cell lymphomas (SNCCLs) –
• can be classified as Burkitt lymphomas and non-Burkitt lymphomas (Burkittlike
lymphomas)
– Large cell lymphomas (LCLs)
Limfoma Non-Hodgkin
Anamnesis Pemeriksaan Fisik
• Abdomen: nyeri perut, mual dan
muntah, konstipasi atau diare, teraba • Massa di daerah tumor
massa, perdarahan saluran cerna akut, primer
ikterus, gejala-gejala intususepsi
• Kepala dan leher: limfadenopati servikal • Limfadenopati
dan pembengkakan kelenjar parotis,
pembengkakan rahang, obstruksi
hidung, rinore
• Sesak nafas
• Mediastinum: sesak nafas, ortopneu, • Anemia
pusing, nyeri kepala, disfagia, epistaksis,
sinkop, penurunan kesadaran (sindrom
vena cava superior)
• Perdarahan
• Keluhan umum: demam, penurunan • Nyeri tulang
berat badan, anemia.
• Hepatosplenomegali
Pemeriksaan Penunjang Limfoma Non
Hodgkin
• Tujuan: untuk menegakkan • Aspirasi sumsum tulang
diagnosis pasti dan staging.
• Pemeriksaan cairan serebrospinal
• Biopsi (histopatologis) untuk
menegakkan diagnosis pasti: • Sitologi cairan pleura,
ditemukan limfosit, atau sel stem peritoneum atau perikardium
yang difus, tanpa
diferensiasi/berdiferensiasi buruk • Bone scan (survey tulang)
• Laboratorium: pemeriksaan darah • Ct scan (atas indikasi)
lengkap, LDH, asam urat, • MRI (atas indikasi)
pemeriksaan fungsi hati, fungsi
ginjal, elektrolit untuk memeriksa • Pemeriksaan imunofenotiping
marker tidak spesifik dan tanda • Pemeriksaan sitogenetik dan
tumor lisis sindrom.
• USG abdomen biologi molekular
• Foto toraks
Burkitt lymphoma
1. Endemic. This occurs in the equatorial strip of Africa and is the most
common form of childhood malignancy in this area. The patients
characteristically present with jaw and orbital lesions. Involvement of
the gastrointestinal tract, ovaries, kidney, and breast are also common.
882
Burkitt’s Lymphoma
• The tumor cells are monotonous small (10-25μm) round cells. The nuclei
are round or oval and have several prominent basophilic nucleoli. The
chromatin is coarse and the nuclear membrane is rather thick.
• The cytoplasm is easily identifiable; Mitoses are numerous, and a
prominent starry sky pattern is the rule, although by no means
pathognomonic.
• In well-fixed material, the cytoplasm of individual cells ‘squares off’,
forming acute angles in which the membranes of adjacent cells abut on
each other.
• Occasionally, the tumor is accompanied by a florid granulomatous
reaction.
• Numerous fat vacuoles in cytoplasm (Oil Red O positive)
883
Burkitt lymphoma with characterstic starry sky appearance.
884
Limfoma Hodgkin
• Limfoma Hodgkin merupakan bagian dari limfoma maligna
(keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat).
• Sel ganas pada penyakit Hodgkin berasal dari sistem
limforetikular ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg
pada organ yang terkena.
• Limfosit yang merupakan bagian integral proliferasi sel
pada penyakit ini diduga merupakan manifestasi reaksi
kekebalan selular terhadap sel ganas tersebut.
• Lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan limfoma non
Hodgkin.
• Faktor risiko diduga berhubungan dengan infeksi virus
Eipstein-Barr, radiasi, dan faktor genetik.
• Histopatologi : ditemukan sel Reed-Sternberg.
Limfoma Hodgkin
Anamnesis Pemeriksaan Fisik
• Pembengkakan yang tidak nyeri • Limfadenopati, dapat sebagian
dari 1 atau lebih kelenjar getah ataupun generalisata dengan
bening superfisial. Pada 60-80% predileksi terutama daerah
kasus mengenai kelenjar getah servikal, yang tidak terasa nyeri,
bening servikal, pada 60% kasus diskret, elastik, dan biasanya
berhubungan dengan keterlibatan kenyal
mediastinum • Splenomegali
• demam hilang timbul (intermiten) • Gejala-gejala penyakit paru (bila
• Berkeringat malam yang terkena kelenjar getah
• Anoreksia, penurunan berat bening mediastinum dan hilus)
badan • Gejala-gejala penyakit susunan
• Rasa lelah saraf (biasanya muncul lambat).
887
888
Ameloblastoma
• Tumor jinak odontogenic yang
berasal dari lamina dental
pada daerah mandibula
• Gejala klinis khas: benjolan
keras tanpa nyeri di daerah
mandibula
• Predileksi terutama pada area
molar 3
• Pada beberapa kasus dapat
juga berada di maxilla
140. Penyakit Chagas
• Nama lain American trypanosomiasis.
• Etiologi: parasit Trypanosoma cruzi, ditransmisikan oleh
vektor serangga
• Terdapat di amerika, terutama Amerika Latin
• Bisa menular lewat congenital transmission, transfusi
darah, makanan yang terkontaminasi kotoran serangga yg
terinfeksi
• Complications of chronic
Sign & Symptomps Chagas:
– heart rhythm abnormalities
• Acute Chagas disease that can cause sudden death;
– last up to a few weeks or months – a dilated heart that doesn’t
pump blood well;
– parasites may be found in the
blood. – a dilated esophagus or colon,
leading to difficulties with
– fever or swelling around the site eating or passing stool.
of inoculation
– Rarely, acute infection may result
in severe inflammation of the
heart muscle or the brain
• prolonged asymptomatic form
of disease (called "chronic
indeterminate")
– few or no parasites are found in
the blood.
– asymptomatic for life
– 20 - 30% of infected people will
develop debilitating and Romaña's sign, the swelling of the child's eyelid, is
a marker of acute Chagas disease. The swelling is
sometimes life-threatening due to bug feces being accidentally rubbed into the
medical problems eye, or because the bite wound was on the same
side of the child's face as the swelling. Photo courtesy of
WHO/TDR.
Diagnosis
• The diagnosis of Chagas
disease can be made by
observation of the
parasite in a blood
smear by microscopic
examination. A thick
and thin blood smear
are made and stained
for visualization of
parasites.
Tatalaksana
Drug Age group Dosage and duration
Benznidazole < 12 years 5-7.5 mg/kg per day orally in 2 divided doses
for 60 days
produces increased
localized ischemia
phospholipase A, capillary
direct mast cell increases the
phospholipase B, permeability and
degranulation inflammatory
as well as localized swelling
with the release response with
mastoparan and redness at the
of histamine. subsequent
peptide, site of the wasp
vasodilation
sting
Fase Dini/ Initial Response
TERJADI BEBERAPA MENIT SETELAH TERPAPAR ALERGEN YANG
SAMA UNTUK KEDUA KALINYA
PUNCAKNYA 15-20 MENIT PASCA PAPARAN
BERAKHIR 60 MENIT KEMUDIAN
• Diagnosis:
– Kesulitan melahrikan wajah dan dagu
– “Turtle Sign”: kepala bayi melekat erat di vulva atau
bahkan tertarik kembali
– Kegagalan paksi luar kepala bayi
– Kegagalan turunnya bahu
Distosia Bahu: Faktor Predisposisi
Manuver
McRobert
Penekanan
Suprasimfisis
Manuver Lain
• Gejala
– Perubahan warna, bau, atau jumlah dari cairan vagina; gatal atau nyeri,
dispareunia, nyeri berkemih, perdarahan pervaginam ringan atau spotting
• Terapi
– Antibiotik,
antifungal (sesuai etiologi)
http://www.webmd.com/women/guide/cervicitis
Organ Reproduksi Wanita: Vulvitis
• Etiologi
– Alergi, infeksi, iritasi
• Gejala & Tanda
– Kemerahan dan pembengkakan labia & vulva, gatal,
lepuh, lecet, bersisik pada vulva
Organ Reproduksi Wanita: Salpingitis
• Etiologi: terutama bakteri
• Gejala & Tanda
– Nyeri perut bagian bawah, nyeri adneksa, nyeri
saat uterus digerakkan, demam, keputihan, teraba
massa pada pemeriksaan bimanual
145. Bakterial Vaginosis
• Bakterial vaginosis atau nonspesifik vaginitis adalah suatu istilah
yang menjelaskan adanya infeksi bakteri sebagai penyebab
inflamasi pada vagina
• Etiologi
– Bakteri yang sering didapatkan adalah Gardnerella vaginalis,
Mobiluncus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Mycoplasma hominis,
Ureaplasma urealyticum , Eubacterium, Fusobacterium, Veilonella,
Streptococcus viridans, dan Atopobium vaginae
• Gejala klinis
– Keputihan, vagina berbau, iritasi vulva, disuria, dan dispareuni
• Faktor risiko
– Penggunaan antibiotik, penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim,
promiskuitas, douching, penurunan estrogen.
Bakterial Vaginosis: Pemeriksaan
• Didapatkan keputihan yang homogen
• Labia, introitas, serviks dapat normal maupun didapatkan tanda
servisitis.
• Keputihan biasanya terdapat banyak di fornix posterior
• Dapat ditemukan gelembung pada keputihan
• Pemeriksaan mikroskopis cairan keputihan harus memenuhi 3 dari 4
kriteria Amsel untuk menegakkan diagnosis bakterial vaginosis
– Didapatkan clue cell.
– pH > 4,5
– Keputihan bersifat thin, gray, and homogenous
– Whiff test + (pemeriksaan KOH 10%
didapatkan fishy odor sebagai akibat dari
pelepasan amina yang merupakan produk
metabolisme bakteri)
Bakterial Vaginosis: Tatalaksana
• Komplikasi obstetrik
– Keguguran, lahir mati, perdarahan, kelahiran
prematur, persalinan prematur, ketuban pecah dini,
infeksi cairan ketuban, endometritis paskapersalinan
dan kejadian infeksi daerah operasi (IDO)
146. Ginekologi
Kista Bartholin Kista pada kelenjar bartholin yang terletak di kiri-kanan bawah
vagina,di belakang labium mayor. Terjadi karena sumbatan muara
kelenjar e.c trauma atau infeksi
Kista Nabothi (ovula) Terbentuk karena proses metaplasia skuamosa, jaringan endoserviks
diganti dengan epitel berlapis gepeng. Ukuran bbrp mm, sedikit
menonjol dengan permukaan licin (tampak spt beras)
Polip Serviks Tumor dari endoserviks yang tumbuh berlebihan dan bertangkai,
ukuran bbrp mm, kemerahan, rapuh. Kadang tangkai panjang sampai
menonjol dari kanalis servikalis ke vagina dan bahkan sampai
introitus. Tangkai mengandung jar.fibrovaskuler, sedangkan polip
mengalami peradangan dengan metaplasia skuamosa atau ulserasi
dan perdarahan.
Karsinoma Serviks Tumor ganas dari jaringan serviks. Tampak massa yang berbenjol-
benjol, rapuh, mudah berdarah pada serviks. Pada tahap awal
menunjukkan suatu displasia atau lesi in-situ hingga invasif.
Mioma Geburt Mioma korpus uteri submukosa yang bertangkai, sering mengalami
nekrosis dan ulserasi.
Kista Gartner
• Etiologi
• Suatu kista vagina yang disebabkan oleh sisa jaringan embrional (duktus
Wolffian)
• Pemeriksaan
• PA: Didapatkan epitelial kuboid yang selapis/
epitel batang pendek
• Terapi: Drainase
http://journals.lww.com/em-news/Fulltext/2011/05000/Case_Report__Gartner_s_Duct_Cyst.15.aspx
KISTA BARTHOLIN
Kelenjar Bartholin: Kista Duktus Bartholin:
• Bulat, kelenjar seukuran kacang • Kista yang paling sering
terletak didalam perineum pintu
masuk vagina arah jam 5 & jam 7 • Disebabkan oleh obstruksi
• Normal: tidak teraba sekunder pada duktus akibat
• Duktus: panjang 2 cm & terbuka inflamasi nonspesifik atau
pada celah antara selaput himen trauma
& labia minora di dinding lateral
posterior vagina • Kebanyakan asimptomatik
Kista & Abses Bartholin: Terapi
• Pengobatan tidak diperlukan pada wanita usia
< 40 tahun kecuali terinfeksi atau simptomatik
• Simptomatik
– Kateter Word selama 4-6 minggu
– Marsupialization: Alternatif kateter Word tidak
boleh dilakukan bila masih terdapat abses obati dulu Kateter Word
dengan antibiotik spektrum luas
– Eksisi: bila tidak respon terhadap terapi sebelumnya
dilakukan bila tidak ada infeksi aktif
http://www.aafp.org/afp/2003/0701/p135.html
Kista Nabothi
• Etiologi
– Terjadi bila kelenjar
penghasil mukus di
permukaan serviks
tersumbat epitel skuamosa
• Pemeriksaan
- Pemeriksaan pelvis, kadang dengan kolposkopi
• Bereaksi terhadap
peningkatan estrogen selama
kehamilan
Isthmus:
Bagian uterus antar korpus dan serviks uteri,
yang diliputi oleh peritoneum viserale akan
melebar selama kehamilan dan disebut segmen
bawah rahim.
Sectio Caesarea: Indikasi
• Malpresentasi janin:
– Letak Lintang
Semua primigravida dengan letak janin lintang harus ditolong
dengan operasi seksio sesaria
Seksio sesaria dilakukan pada ibu dengan janin letak lintang
yang memilki panggul yang sempit
• Etiologi
– Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Proteus
vulgaris, Hemolytic streptococci dan Staphylococci
(Mochtar, 2000; Dulay, 2010).
Abortus Septik: Diagnosis
• Terapi penyinaran
– Radiasi eksternal : sinar berasar dari sebuah mesin besar
Penderita tidak
perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5
hari/minggu selama 5-6 minggu
– Radiasi internal : zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul
dimasukkan langsung ke dalam serviks
• Kemoterapi
• Kriteria diagnosis :
– Usia kehamilan > 20 minggu
– Keluar cairan ketuban dari vagina
– Inspekulo : terlihat cairan keluar dari OUE
– Kertas nitrazin menjadi biru
– Mikroskopis : terlihat lanugo dan verniks kaseosa
• Mikroskopik
• Ferning sign (arborization, gambaran daun pakis)
• Amniosentesis
• Injeksi 1 ml indigo carmine + 9 ml NS tampak
pada tampon vagina setelah 30 menit
http://www.aafp.org/afp/2006/0215/p659.html
KPD: Tatalaksana
KETUBAN PECAH DINI
MASUK RS
• Antibiotik
• Batasi pemeriksaan dalam
• Observasi tanda infeksi & fetal distress
PPROM
• Observasi:
PROM
• Temperatur
• Fetal distress
• Kelainan Obstetri
Kortikosteroid
• Fetal distress
Letak Kepala
• Letak sungsang
• CPD
• Riwayat obstetri buruk Indikasi Induksi
• Grandemultipara • Infeksi
• Elderly primigravida • Waktu
• Riwayat Infertilitas
• Persalinan obstruktif
Berhasil
• Persalinan pervaginam
Gagal
Sectio Caesarea • Reaksi uterus tidak ada
• Kelainan letak kepala
• Fase laten & aktif memanjang
• Fetal distress
• Ruptur uteri imminens
• CPD
Ketuban Pecah Prematur: Tatalaksana
• Tatalaksana Umum: Antibiotik profilaksis
• DOC: Penisilin dan makrolida
• Ampicillin 2 g IV/6 jam dan erythromycin 250 mg IV/6 jam selama 2 hari diikuti amoxicillin 250
mg PO/ 8 jam dan erythromycin 333 mg PO/8 jam selama 5 hari
• Atau eritromisin 250 mg PO/6 jam selama 10 hari
• Kombinasi amoksilin dengan asam klavulanat tidak digunakan karena dapat
memicu terjadinya enterokolitis nekrotikans
Rumus Friedewald.
• 𝐿𝐷𝐿 =𝐾𝑜𝑙𝑒𝑠𝑡𝑒𝑟𝑜𝑙 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 −𝐻𝐷𝐿 − 𝑇𝐺/5
Sumber : Agabegi S, Agabegi E. Step-Up to medicine. 3 rd edition. New York : Lippincott Williams & Wilkins; 2013
Dyslipidemia Syndrome
Manifestasi Klinis Class Name Lipoprotein Treatment
Elevated
Type I Exogenous Chylomicrons Diet
• Most patients are hyperlipidemia
Risk Category LDL Goal (mg/dL) LDL Level at Which LDL Level at Which
to Initiate to Consider Drug
Lifestyle Changes Therapy (mg/dL)
(mg/dL)
High risk: CHD or CHD < 100 (optional goal: ≥ 100 ≥ 100 (< 100: consider
risk equivalents < 70 mg/dL) drug options)
(10-year risk > 20%)
Moderately high risk: < 130 ≥ 130 ≥ 130 (100–129;
2+ risk factors consider drug options)
(10-year risk 10% to
20%)
Moderate risk: 2+ risk < 130 ≥ 130 ≥ 160
factors
(10-year risk < 10%)
Low risk: 0–1 risk < 160 ≥ 130 ≥ 190 (160–189: LDL-
factors lowering drug
optional)
Sumber : Papadakis MA, McPhee SJ. Current Medical Diangnosis and Treatment.2014. New York : McGraw-Hill Companies
Summary of the Major Approved Drugs Used for the Treatment of Dyslipidemia
Drug Major Indications Starting Dose Maximal Mechanism Common Side Effects
Dose
HMG-CoA Elevated LDL-C; ↓ Cholesterol synthesis, Myalgias, arthralgias,
reductase increased CV risk ↑ Hepatic LDL receptors, elevated
inhibitors (statins) ↓ VLDL production transaminases,
dyspepsia
Lovastatin 20–40 mg daily 80 mg daily
Pravastatin 40–80 mg daily 80 mg daily
Simvastatin 20–40 mg daily 80 mg daily
Fluvastatin 20–40 mg daily 80 mg daily
Atorvastatin 20–40 mg daily 80 mg daily
Rosuvastatin 5–20 mg daily 40 mg daily
Pitavastatin 1–2 mg daily 4 mg daily
Cholesterol Elevated LDL-C ↓ Cholesterol absorption, Elevated
absorption ↑ LDL receptors transaminases
inhibitor
Ezetimibe 10 mg daily 10 mg daily
Bile acid Elevated LDL-C ↑ Bile acid excretion and Bloating, constipation,
sequestrants ↑ LDL receptors elevated triglycerides
Cholestyramine 4 g daily 32 g daily
Colestipol 5 g daily 40 g daily
Colesevelam 3750 mg daily 375 mg daily
MTP inhibitor HoFH ↓ VLDL production Nausea, diarrhea,
increased hepatic fat
Lomitapide 5 mg daily 60 mg daily
Summary of the Major Approved Drugs Used for the Treatment of Dyslipidemia
Drug Major Indications Starting Dose Maximal Mechanism Common Side Effects
Dose
ApoB inhibitor HoFH
Mipomersen 200 mg SC 200 mg SC ↓ VLDL production Injection site
weekly weekly reactions,
flu-like symptoms,
increased hepatic fat
Nicotinic acid Elevated LDL-C, ↓ VLDL production Cutaneous flushing, GI
elevated TG upset, elevated
glucose,
uric acid, and elevated
liver function tests
Immediate-release 100 mg tid 1 g tid
Sustained-release 250 mg bid 1.5 g bid
Extended-release 500 mg qhs 2 g qhs
Fibric acid Elevated TG ↑ LPL, ↓ VLDL synthesis Dyspepsia, myalgia,
derivatives gallstones,
elevated
transaminases
Gemfibrozil 600 mg bid 600 mg bid
Fenofibrate 145 mg qd 145 mg qd
Omega-3 fatty Elevated TG 4 g daily 4 g daily ↑ TG catabolism Dyspepsia, fishy odor
acids to
breath
Abbreviations: GI, gastrointestinal; HDL-C, high-density lipoprotein cholesterol; HoFH, homozygous familial hypercholesterolemia; LDL, low-density
lipoprotein; LDL-C, LDL-cholesterol; LPL, lipoprotein lipase; TG, triglyceride; VLDL, very-low-density lipoprotein.
Sumber : Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL et all. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19 th edition. New York : Mc Graw Hill; 2015
Management of dyslipidaemia in
women
Statin treatment is recommended for primary prevention of CAD in high-risk women.
Statins are recommended for secondary prevention in women with the same
indications and targets as in men.
Sumber : Guidelines on management of dyslipidaemia 2016. European Heart Journal 2016 . -doi:10.1093/eurheartj/ehv272
Obat Dislipidemia Pada Kehamilan
• Animal studies with HMG-CoA reductase inhibitors revealed an
Statin increase in the incidence of skeletal malformations.
• FDA pregnancy category : X
• Cholestyramine is not absorbed after oral administration, direct fetal harm is not
Colestiramin expected, should only be given during pregnancy when benefit outweighs risk.
• FDA pregnancy category: C
• Faktor Predisposisi
– Diet rendah zat besi, B12, dan asam folat
– Kelainan gastrointestinal
– Penyakit kronis
– Riwayat Keluarga
• Indikasi
– Defisiensi besi yang tidak toleran terhadap preparat besi oral
– Sebagai alternatif transfusi darah saat peningkatan Hb yang cepat diperlukan
(anemia perioperatif, anemia berat di kehamilan trimester akhir, atau anemia
postpartum)
– Potensial menimbulkan keracunan jaringan anemia perlu dipastikan melalui
pemeriksaan kadar feritin
• Kontraindikasi
– reaksi anafilaksis, kehmailan trimester I, infeksi akut/ kronik, penyakit hati kronik
• Dosis
– Total dosis tunggal IV (slow) tidak lebih dari 200 mg bisa diulang hingga 3x dalam
1 minggu
http://www.bcshguidelines.com/documents/UK_Guidelines_iron_deficiency_in_pregnancy.pdf
156. Solusio Plasenta
• Terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya
• Diagnosis
– Perdarahan kehitaman dan cair, syok tidak sesuai dengan jumlah
darah keluar (tersembunyi), anemia berat, gawat janin/
hilangnya DJJ, uterus tegang dan nyeri
• Faktor Predisposisi
– Hipertensi
– Versi luar
– Trauma abdomen
– Hidramnion
– Gemelli
– Defisiensi besi
Solusio Plasenta:
Solusio Plasenta: Tata Laksana
Tatalaksana
Tatalaksana
• Perdarahan hebat (nyata atau tersembunyi) dengan tanda- tanda awal syok pada ibu,
lakukan persalinan segera bergantung pembukaan serviks:
– Lengkap ekstraksi vakum
– Belum ada/ lengkap SC
– Kenyal, tebal, dan tertutup SC
• Jika perdarahan ringan/ sedang dan belum terdapat tanda-tanda syok, tindakan
bergantung pada denyut jantung janin (DJJ):
• DJJ normal, lakukan seksio sesarea
• DJJ tidak terdengar namun nadi dan tekanan darah ibu normal: pertimbangkan
persalinan pervaginam
• DJJ tidak terdengar dan nadi dan tekanan darah ibu bermasalah:
– pecahkan ketuban dengan kokher:
– Jika kontraksi jelek, perbaiki dengan pemberian oksitosin
• DJJ abnormal (kurang dari 100 atau lebih dari 180/menit): lakukan persalinan
pervaginam segera, atau SC bila tidak memungkinkan
157. Indikasi VBAC
• Parameter
– Penyempitan pintu tengah panggul lebih sering
dibandingkan pintu atas panggul apabila diameter
interspinarum + diameter sagitalis posterior panggul
tangah < 13,5 cm
– Distansia interspinarum < 9,5 cm curiga CPD
– Penyempitan pintu bawah panggul bila diameter
distantia intertuberosum berjarak < 8 cm
Panggul Sempit: Tatalaksana
• Konjugata vera 11 cm dapat dipastikan partus biasa, dan bila ada
kesulitan persalinan, pasti tidak disebabkan oleh faktor panggul
– CV kurang dari 8,5 cm dan anak cukup bulan tidak mungkin melewati
panggul tersebut
– CV 8,5 – 10 cm dilakukan partus percobaan yang kemungkinan berakhir
dengan partus spontan atau dengan ekstraksi vakum, atau ditolong
dengan secio caesaria sekunder atas indikasi obstetric lainnya
– CV = 6 -8,5 cm dilakukan SC primer
– CV = 6 cm dilakukan SC primer mutlak
• Volume Darah
– Mulai 6 minggu kehamilan dan mencapai volume maksimal
4700-5200 ml dalam 32 minggu gestasi
– Peningkatan volume intersisial dan plasma
– Anemia fisiologis kehamilan
• Denyut Jantung
– Meningkat sebagai respon penurunan resistensi vaskuler
sistemik
• Tekanan Darah
– Turun 10% dalam 7-8 minggu kehamilan terjadi secara
sekunder karena vasodilatasi perifer
• Cardiac Output
– Meningkat sebanyak 50% selama kehamilan
Hemodinamika Ginjal selama Kehamilan
Papsmear
Accuracy of the Papanicolaou Test in Screening for and Follow-up of Cervical Cytologic Abnormalities: A
Systematic Review
Kavita Nanda, MD, MHS; Douglas C. McCrory, MD, MHSc; Evan R. Myers, MD, MPH; Lori A. Bastian, MD, MPH; Vic
Hasselblad, PhD; Jason D. Hickey; and David B. Matchar, MD
Pemeriksaan
Lower 1/3 of Epithelium Middle 1/3 of Epithelium > 2/3 of Epithelium
Cervical intraepithelial
CIN1 CIN2 CIN3
neoplasia
• Sasaran
– Semua wanita yang sudah menikah atau diatas 30 tahun
– Dianjurkan setiap tahun atau paling lama 3-5 tahun
Zona transformasi
Pembentukan
Zona Transformasi
dan perubahan
serviks sesuai
tahapan usia
Zona Transformasi/TZ
merupakan tempat
karsinoma skuamosa
serviks.
Tes IVA
Tes IVA
Deteksi Dini Kanker Serviks: Kolposkopi
• Kolposkopi
– Mempelajari serviks saat hasil Pap
mendeteksi sel abnormal.
– Pemeriksaan porsio, vagina dan vulva
dengan pembesaran 10-15x; untuk
menampilkan porsio, dipulas terlebih
dahulu dengan asam asetat 3-5%
– Porsio dengan kelainan (infeksi HPV
atau Neoplasia Intraepitel Serviks)
terlebih bercak putih atau perubahan
corakan pembuluh darah
– Mahal dan ketersediaan alat terbatas
hanya digunakan untuk
pemeriksaan lanjut dari hasil tes pap
abnormal
http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345
6789/24546/4/Chapter%20II.pdf
Pemeriksaan
• Biopsi Cone
Prosedur diagnostik dan terapeutik
Pemeriksaan
• HPV DNA testing
Meningkatkan sensitifitas hingga 96% bersama
dengan Pap Smear.
HPV tidak dapat dikultur di laboratorium sehingga
digunakan teknologi molekuler untuk mendeteksi
DNA HPV dari sampel servikal, misalnya, dengan PCR.
Tatalaksana Lesi Prakanker
• Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang
ada.
• Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat
dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA.
• Skrining dengan tes IVA dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau
see and treat program, yaitu bila didapatkan temuan IVA positif maka
selanjutnya dapat dilakukan pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh
dokter umum atau bidan yang sudah terlatih.
• Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal
direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan
kolposkopi.
• Bila diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter
Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ)
untuk kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik.
PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana LSIL
Skrining 12
bulan
Observasi
LSIL ulang test 3
bulan
(+) Kolposkopi
LSIL/HSIL
Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana HSIL
(-) Observasi
- Observasi
NIS I DNA HPV
+ Ablasi
NIS II + Ablasi
Konisasi
Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
164. Pil KB: Lupa Meminum
• Pil KB Andalan diminum di hari pertama haid
• Satu tablet setiap hari pada waktu yang sama untuk mengurangi
kemungkinan efek samping
• Cara kerja :
– Mencegah fertilisasi (pertemuan sel sperma dan sel telur)
• Mencegah tertanamnya hasil pembuahan pada endometrium (selaput dinding
rahim)
• Kontra indikasi
– Hamil atau diduga hamil
– Infeksi Menular Seksual (IMS)
• Cara pemberian
– Pil kombinasi
• 2x4 tab dalam 3 hari pasca senggama (dosis pertama 1x4 tab diulang 12 jam kemudian)
– Pil Progestin
• 2x1 tab dalam waktu 3 hari pasca senggama (jarak minum 12 jam)
– Pil Estrogen
• 2x10 mg selama 5 hari, dalam waktu 3 hari pasca senggama
– Mifepristone
• 1x600 mg dalam waktu 3 hari pasca senggama
– Pil Danazol
• 2x4 tab dalam waktu 3 hari pasca senggama (jarak minum 12 jam)
• Efek samping yang mungkin muncul : Mual, muntah, perdarahan bercak, nyeri payudara
Analisis Soal
• Pasien diatas lupa meminum pil Kb selama 2 hari
berturut-turut .
• Untuk mengatasinya, seharusnya pasien meminum 2
pil selama 2 hari berturut-turut dan menggunakan
metode kontrasepsi lain atau menghindari
berhubungan seksual selama min 7 hari.
• Namun pada pilihan diatas tidak terdapat jawaban
yang tepat mengenai cara meminum pil KB setelah
lupa sehingga dapat digunakan kontrasepsi darurat
lainnya yaitu IUD.
165. Endometritis Pasca Persalinan
• Gejala: Demam, menggigil, sakit perut bagian bawah, lokia berbau
busuk
• Faktor risiko
– Perangkat intrauterine, cairan menstruasi dalam rahim, cervisitis
sekunder, bakterial vaginosis, douching, aktivitas seksual tidak aman,
seks bebas, ektopi serviks
• Terapi
– Antibiotik spektrum luas
– Kombinasi klindamisin dan gentamisin IV setiap 8 jam
– Endometritis post aborsi: cefoxitin dan doxycyxline IV
166. Desain Penelitian
STUDY
DESIGNS
Analytical Descriptive
Case series
Observational Experimental
Cross-sectional
Cohort study
Known exposure, assess (future) outcome
Case-control study
Known outcome, assess prior exposure
Main Observational Study Designs
Assess Known
Case-control study exposure outcome
Known Assess
Prospective cohort exposure outcome
Known Assess
Retrospective cohort exposure outcome
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan
ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun
• Bila menggunakan desain cross sectional, maka dalam
satu waktu peneliti mengumpulkan data semua anak
berusia 1-3 tahun dan ditanyakan apakah mendapat
ASI eksklusif dan berapa frekuensi diare selama ini.
Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d
Relative Risk
• Insidens penyakit pada kelompok terpapar dibagi
dengan insidens penyakit pada kelompok yang tidak
terpapar.
Outcome a
Yes No Total
Risk among a+b
Yes a b a+b the exposed
Exposure RR =
No c d c+d Risk among c
the unexposed
c+d
Interpretasi RR
RR= 1 menunjukkan insidens penyakit pada kelompok
terpapar sama dengan insidens penyakit pada kelompok
tidak terpapar tidak ada hubungan antara paparan
dengan outcome.
OR = ad/bc
1026
Interpretasi OR
OR= 1 tidak ada hubungan antara paparan
dengan outcome.
TP TN
SENSITIVITAS =
SPESIFISITAS =
TP+FN TN+FP
Hasil Tes skrining/ Dikotomus
Interpretasi :
8-10 = Highly functional family (fungsi keluarga baik)
4-7 = Moderately dysfunctional family (disfungsi keluarga moderat)
0-3 = Severely dysfunctional family (keluarga sakit / tidak sehat)
• Garis kehidupan menggambarkan
Family Lifeline secara kronologis stress kehidupan,
sebagai contoh dari gambar
disamping menunjukkan tingkat
kesakitan berupa migrain yang naik
turun sesuai dengan tingkat stress
yang dialami oleh pasien
• Misal :
– pada tahun 1969 pasien berusia 22
tahun kejadian hidup yang dialami
adalah lulus dari kampus dan pasien
mengalami migrain yang cukup berat,
– sedangkan pada tahun 1972 saat
pasien berusia 25 dan menikah justru
pasien tidak mengalami migrain,
– akan tetapi pada tahun 1973 ketika
pasien berusia 26 tahun dan mulai
bekerja serta mengalami kesulitan
bekerja, pasien mengalami migrain
yang cukup berat.
Family SCREEM
RESOURCE PATHOLOGY
• Isolated from extra-
• social interaction is evident among family members
familial
SOCIAL • Family members have well-balanced lines of
• Problem of over
communication with extra-familial social groups
commitment
• Ethnic and cultural
CULTURAL • cultural pride and satisfaction can be identified
inferiority
• Medical health care is available through channels that are • Not utilizing health
MEDICAL easily established and have previously been experienced care
in a satisfactory manner facilities/resources
172. Tabel Uji Hipotesis
TABEL UJI HIPOTESIS
VARIABEL
U J I S TAT I S T I K U J I A LT E R N AT I F
INDEPENDEN DEPENDEN
Nominal group Suatu metode untuk mencapai konsensus dalam suatu kelompok,
technique (NGT) dengan cara mengumpulkan ide-ide dari tiap peserta, yang kemudian
memberikan voting dan ranking terhadap ide-ide yang mereka pilih. Ide
yang dipilih adalah yang paling banyak skor-nya, yang berarti
merupakan konsensus bersama.
179. Informed Consent
• Informed Consent adalah persetujuan tindakan
kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut.
• WEWENANG PENYIDIK
• TERTULIS (RESMI)
• TERHADAP KORBAN, BUKAN TERSANGKA
• ADA DUGAAN AKIBAT PERISTIWA PIDANA
• BILA MAYAT :
– IDENTITAS PADA LABEL
– JENIS PEMERIKSAAN YANG DIMINTA
– DITUJUKAN KEPADA : AHLI KEDOKTERAN FORENSIK /
DOKTER DI RUMAH SAKIT
Perabaan dan Bercak mani teraba kaku seperti kanji. Pada tekstil yang tidak menyerap,
penciuman bila tidak teraba kaku, masih dapat dikenali dari permukaan bercak yang
teraba kasar. Pada penciuman, bau air mani seperti klorin (pemutih) atau
bau ikan
Ultraviolet (UV) Semen kering (bercak semen) berfluoresensi (bluish-white) putih
kebiruan di bawah iluminasi UV dan menunjukkan warna yang
sebelumnya tak nampak. Namun Pemeriksaan ini tidak spesifik,sebab
nanah, fluor albus, bahan makanan, urin, dan serbuk deterjen yang
tersisa pada pakaian sering berflouresensi juga.
PEMERIKSAAN
KIMIAWI
Metode Florence Cairan vaginal atau bercak mani yang
sudah dilarutkan, ditetesi larutan yodium
(larutan Florence) di atas objek glass
Hasil yang diharapkan: kristal-kristal
kholin peryodida tampak berbentuk
jarum-jarum / rhomboid yang berwarna
coklat gelap
Metode Berberio Cairan vagina atau bercak semen yang
sudah dilarutkan, diteteskan pada objek
glass, lalu ditambahkan asam pikrat dan
diamati di bawah mikroskop.
Hasil yang diharapkan: Kristal spermin
pikrat akan terbentuk rhomboik atau
jarum yang berwarna kuning kehijauan.
• Busa halus keluar dari hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan
adanya fenomena kocokan pada pernapasan kuat.
Pemeriksaan Dalam Post Mortem
• Organ dalam tubuh lebih gelap & lebih berat dan ejakulasi
pada mayat laki-laki akibat kongesti / bendungan alat tubuh
& sianotik.
• Darah termasuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih
cair.
• Tardieu’s spot pada pielum ginjal, pleura, perikard, galea
apponeurotika, laring, kelenjar timus dan kelenjar tiroid.
• Busa halus di saluran pernapasan.
• Edema paru.
• Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti
fraktur laring, fraktur tulang lidah dan resapan darah pada
luka.
Asfiksia Mekanik
• Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas:
– Pembekapan (smothering)
– Penyumbatan (gagging dan choking)
• Penekanan dinding saluran pernafasan:
– Penjeratan (strangulation)
– Pencekikan (manual strangulation)
– Gantung (hanging)
• External pressure of the chest yaitu penekanan dinding
dada dari luar.
• Drawning (tenggelam) yaitu saluran napas terisi air.
• Inhalation of suffocating gases.
Pencekikan
• Ada 3 penyebab kematian pada pencekikan,
yaitu:
– Asfiksia
– Iskemia
– Vagal reflex
Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Berbuat baik (beneficence) Tidak berbuat yang merugikan
•Selain menghormati martabat manusia, (nonmaleficence)
dokter juga harus mengusahakan agar pasien • Praktik Kedokteran haruslah memilih
yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya pengobatan yang paling kecil risikonya dan
(patient welfare). paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno:
•Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap first, do no harm, tetap berlaku dan harus
ramah atau menolong, lebih dari sekedar diikuti.
memenuhi kewajiban.
Keadilan (justice)
• Perbedaan kedudukan sosial, tingkat
Menghormati martabat manusia (respect ekonomi, pandangan politik, agama dan
for person) / Autonomy faham kepercayaan, kebangsaan dan
• Setiap individu (pasien) harus diperlakukan kewarganegaraan, status perkawinan,
serta perbedaan jender tidak boleh dan
sebagai manusia yang memiliki otonomi tidak dapat mengubah sikap dokter
(hak untuk menentukan nasib diri sendiri), terhadap pasiennya.
• Setiap manusia yang otonominya berkurang • Tidak ada pertimbangan lain selain
atau hilang perlu mendapatkan kesehatan pasien yang menjadi perhatian
perlindungan. utama dokter.
• Prinsip dasar ini juga mengakui adanya
kepentingan masyarakat sekitar pasien
yang harus dipertimbangkan
Beneficence
Kriteria
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan
orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter
4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya
5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
16. Menerapkan golden rule principle
Non-maleficence
Kriteria
1. Menolong pasien emergensi :
Dengan gambaran sbb :
- pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko
kehilangan sesuatu yang penting (gawat)
- dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut
- tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
- manfaat bagi pasien > kerugian dokter
2. Mengobati pasien yang luka
3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia )
4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien
5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
6. Mengobati secara proporsional
7. Mencegah pasien dari bahaya
8. Menghindari misrepresentasi dari pasien
9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
10. Memberikan semangat hidup
11. Melindungi pasien dari serangan
12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Autonomy
Kriteria
1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif)
3. Berterus terang
4. Menghargai privasi
5. Menjaga rahasia pasien
6. Menghargai rasionalitas pasien
7. Melaksanakan informed consent
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan
termasuk keluarga pasien sendiri
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien
13. Menjaga hubungan (kontrak)
Justice
Kriteria
1. Memberlakukan sesuatu secara universal
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
4. Menghargai hak sehat pasien
5. Menghargai hak hukum pasien
6. Menghargai hak orang lain
7. Menjaga kelompok yang rentan
8. Tidak melakukan penyalahgunaan
9. Bijak dalam makro alokasi
10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi)
secara adil
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan
kesehatan
16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
189. KODEKI
• Pasal 1:Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dokter.
• Pasal 4: Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.
• Pasal 5: Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.
• Pasal 7a: Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih
sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
• Pasal 7b: Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien
• Pasal 7c: Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
• Pasal 7d: Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani.
• Pasal 9: Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
KODEKI-Kewajiban Dokter Terhadap Pasien
• Mutual Participation
• Guidance – Cooperation
• Activity – passivity
Mutual Participation
• Berdasarkan pemikiran, setiap manusia
memiliki harkat & martabat yang sama
• pada pasien medical check up/penyakit kronis
• Pasien secara sadar aktif dan berperan dalam
pengobatan terhadap dirinya
• Tidak dapat diterapkan pada pasien
berpendidikan&sosial rendah, pada anak,
gangguan mental
Guidance – Cooperation
• Membimbing kerjasama seperti orang tua &
remaja
• Apabila keadaan pasien tidak terlalu berat
• Pasien tetap sadar dan memiliki perasaan
serta kemauan sendiri
• Dokter tidak semata-mata menjalankan
kekuasaan
• kerjasama pasien diwujudkan dg turuti
nasehat/anjuran dokter
Activity – passivity
• Pola hubungan seperti orang tua-anak
• Pola hubungan klasik
• Dokter seolah dapat sepenuhnya melaksanakan
ilmunya tanpa campur tangan pasien
• Motivasi altruistic (untuk kepentingan umum)
• Berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya
terancam,tidak sadar, gangguan mental berat
THT-KL
191. Rhinitis
Diagnosis Karakteristik
Rinitis alergi Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa
edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.
Rinitis Idiopatik & didiagnosis per eksklusionam. Gejala: kongesti nasal yang
vasomotor berpindah dipengaruhi posisi influenced by position, rhinorrea,
bersin. Tanda: edema mukosa, konka: merah gelap/pucat, konka
halus/hipertrofi.
Rinitis akut Hidung terasa hangat, kering, & gatal, diikuti gejala bersin,
(rhinovirus) tersumbat, & sekret serous disertai demam dan sakit kepala.
Rinoskopi: membran mukosa merah & bengkak.
belum diketahui; Dicetuskan oleh rangsang non-spesifik asap, bau, alkohol, suhu,
ETIOLOGI
makanan, kelembaban, kelelahan, emosi/stres
Anamnesis: Hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan, tergantung posisi pasien
disertai sekret yang mukoid atau serosa yang dicetuskan oleh rangsangan non spesifik
Rinoskopi anterior: Edema mukosa hidung, konka merah gelap atau merah tua
DIAGNOSIS dengan permukaan konka dapat licin atau berbenjol (hipertrofi) disertai sedikit sekret
mukoid
Penunjang: Eosinofilia ringan, tes alergi hasil (-)
1. Menghindari stimulus
2. Simptomatis: dekongestan oral, kortikosteroid topikal, antikolinergik topikal,
TATALAKSANA kauterisasi konka, cuci hidung)
3. Operasi (bedah-beku, elektrokauter, atau konkotomi)
4. Neurektomi nervus vidianus bila cara lain tidak berhasil
Buku ajar ilmu THT 2007
192. Abses Leher Dalam
Diagnosis Clinical Features
Therapy
Needle aspiration: if pus (-) cellulitis antibiotic. If pus (+) abscess .
If pus is found on needle aspirate, pus is drained as much as possible.
193-194. Otitis Media Akut
Otitis Media Akut
• Etiologi:
Streptococcus pneumoniae 35%,
Haemophilus influenzae 25%,
Moraxella catarrhalis 15%.
Perjalanan penyakit otitis media akut:
1. Oklusi tuba: membran timpani retraksi atau suram.
2. Hiperemik/presupurasi: hiperemis & edema.
3. Supurasi: nyeri, demam, eksudat di telinga tengah, membran
timpani membonjol.
4. Perforasi: ruptur membran timpani, demam berkurang.
5. Resolusi: Jika tidak ada perforasi membran timpani kembali
normal. Jika perforasi sekret berkurang.
1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, and throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Penatalaksanaan OMA
• Tatalaksana
– Oklusi tuba: Dekongestan topikal (ephedrine HCl)
– Hiperemis: AB selama 7 hari
(ampicylin/amoxcylin/ erythromicin) & analgetik.
– Supurasi: Miringotomi + AB
– Perforasi: Ear toilet (H2O2 3%) + AB
– Resolusi: Jika tidak terjadi fase resolusi, lanjutkan
AB sampai 3 minggu
195. Karsinoma Nasofaring
• Karsinoma nasofaring merupakan
keganasan pada nasofaring dengan
predileksi pada fossa Rossenmuller.
Prevalensi tumor ganas nasofaring
di Indonesia cukup tinggi, 4,7 per
100.000 penduduk.
• Faktor risiko meliputi: infeksi oleh
EBV, makanan berpengawet, dan
genetik
Karsinoma Nasofaring
Insepsi Invasi lokal
• Genetik • Mukus campur darah
Silent period • Sumbatan tuba
• Lingkungan
eustachius
• Viral
Kelenjar limfe
Penyebaran retrofaringeal/penyebaran
lokoregional
sistemik (paranasofaringeal/parafarin
geal, erosi dasar tengkorak)
Manifestasi Klinis
Gejala dapat dibagi dalam lima kelompok, yaitu:
1. Gejala nasofaring
2. Gejala telinga
3. Gejala mata
4. Gejala saraf
5. Metastasis atau gejala di leher
Manifestasi Klinis
• Gejala telinga:
– rasa penuh di telinga,
– rasa berdengung,
– rasa tidak nyaman di telinga
– rasa nyeri di telinga,
– otitis media serosa sampai perforasi membran
timpani
– gangguan pendengaran tipe konduktif, yang
biasanya unilateral
Manifestasi Klinis
• Gejala hidung:
– ingus bercampur darah,
– post nasal drip,
– epistaksis berulang
– Sumbatan hidung unilateral/bilateral
Figure 23.4
pgmedicalworld.com
Vaezi, MF . Nature Clinical Practice Gastroenterology & Hepatology (2005) 2, 595-603
Anatomy – subdivision
• Physical Exam
– Complete head and neck exam
• Palpation for nodes; restricted laryngeal crepitus.
– Quality of voice
• Breathy voice = cord paralysis
• Muffled voice = supraglottic lesion
– Laryngoscopy
• Laryngeal mirror
• Fiberoptic exam (lack depth perception)
• Note: contour, color, vibration, cord mobility, lesions.
– Stroboscopic video laryngoscopy
• Highlights subtle irregularities: vibration, periodicity, cord closure
Laryngeal cancer workup
• Radiology
– Contrast-enhanced CT scan and MRI
extension of tumor into vita structure
– Chest X-ray present metastasis
– PET-CT
• Laboratory
– CBC, blood gas, thyroid function, renal
and hepatic function
• Histopathology
– 96% squamous cell carcinoma
– squamous cell carcinoma means that
abnormal-appearing squamous cells,
and often keratin, are beneath the area
where the usual basement membrane
lies.
Imaging
• CT or MRI
– Evaluate pre-epiglottic or paraglottic space
– Laryngeal cartilage erosion
– Cervical node mets
• PET
– Role under investigation, currently not standard of care
– Specific application
• Identifying occult nodal mets
• Distinguish recurrence vs radionecrosis or other prior tx sequalae
• Ultrasound
– In Europe: used to identify cervical mets and laryngeal abn.
• Direct laryngoscopy with biopsy
• Histologic subtypes
– Squamous cell carcinoma
• > 90% of causes
• Linked to tobacco and excessive alcohol
(R) Source: http://www.medscape.com/content/2002/00/44/25/442595/442595_fig.html
(L) Source: http://www.som.tulane.edu/classware/pathology/medical_pathology/New_for_98/Lung_Review/Lung-62.html
Treatments – Options
• Surgery
– Microlaryngeal surgery
– Hemilargyngectomy
– Supraglottic laryngectomy
– Near-total laryngectomy
– Total laryngectomy
• Photodynamic Therapy
• Radiation
• Chemothrapy
– Cisplatin + 5-fluorouracil
196. Penyakit Laring
Papillomatosis
Ca laring
• Keloid
– May develop at the same piercing site on the lobe.
200. Tonsillitis
• Acute tonsillitis:
– Bacterial: GABHS, pneumococcus, S.
viridan, S. pyogenes.
• Detritus follicular tonsillitits
• Detritus coalesce lacunar tonsillitis.
• Sore throat, odinophagia, fever, malaise,
otalgia.
• Th: penicillin or erythromicin
• Chronic tonsillitis
– Persistent sore throat, anorexia, dysphagia, &
pharyngotonsillar erythema
– Lymphoid tissue is replaced by scar
widened crypt, filled by detritus.
– Foul breath, throat felt dry.