Anda di halaman 1dari 1164

DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. RETNO | DR.

ORYZA
DR. REZA | DR. RESTHIE | DR. CEMARA

OFFICE ADDRESS:
Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan Medan :
(belakang pasaraya manggarai) Jl. Setiabudi no. 65 G, medan
phone number : 021 8317064 Phone number : 061 8229229
pin BB D3506D3E / 5F35C3C2 Pin BB : 24BF7CD2
WA 081380385694 / 081314412212 WA 082122727364
I L MU
P E N YA K I T
DALAM
1. Dengue Hemorrhagic Fever
• Transfusi trombosit:
• Hanya diberikan pada
DBD dengan
perdarahan masif (4-5
ml/kgBB/jam) dengan
jumlah trombosit
<100.000/uL, dengan
atau tanpa DIC.
• Pasien DBD
trombositopenia tanpa
perdarahan masif tidak
diberikan transfusi
trombosit.
2. Infeksi Dengue
• Secara laboratoris, kasus DBD diklasifikasikan
menjadi:
– presumtif positif/kemungkinanan demam dengue:
apabila ditemukan kriteria klinis infeksi dengue, uji
hemaglutinasi inhibisi ≥1:1280 dan/atau IgM
antidengue positif, atau pasien berasal dari daerah
yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed
dengue infection
– confirmed DBD (pasti DBD): deteksi antigen dengue,
peningkatan titer antibodi >4 kali pada pasangan
serum akut, dan/atau isolasi virus.

Tatalaksana demam berdarah dengue di Indonesia.


2. Infeksi Dengue
• NS1:
– antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi sejak
hari pertama demam.
– Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak
terdeteksi hari ke 5-6.

• Untuk membedakan infeksi dengue primer atau sekunder


digunakan pemeriksaan IgM & IgG antidengue.
– Infeksi primer IgM (+) setelah hari ke 3-6 & hilang dalam 2 bulan, IgG
muncul mulai hari ke-12.
– Pada infeksi sekunder IgG dapat muncul sebelum atau bersamaan
dengan IgM
– IgG bertahan berbulan-bulan & dapat (+) seumur hidup sehingga
diagnosis infeksi sekunder dilihat dari peningkatan titernya. Jika titer
awal sangat tinggi 1:2560, dapat didiagnosis infeksi sekunder.

WHO SEARO, Dengue prevention & management. 2011.


2. Infeksi Dengue

Shock
Bleeding
Primary infection: Secondary infection:
• IgM: detectable by days 3–5 after the onset of • IgG: detectable at high levels in the initial phase,
illness,  by about 2 weeks & undetectable after persist from several months to a lifelong period.
2–3 months.
• IgG: detectable at low level by the end of the first • IgM: significantly lower in secondary infection
week & remain for a longer period (for many cases.
years).
3. SLE
• Klasi•
fikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria
tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
• Kriteria SLE ringan:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat,
sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

• SLE dengan tingkat keparahan sedang:


1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
• Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa:
a. Jantung : endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade
jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru,
fibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal : pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal : nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit : vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis,
polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 ,
purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.
3. SLE
4. Artritis
Gout:
– Artritis akut diinisiasi
oleh kristalisasi urat di
dalam & sekitar sendi,

– Lama kelamaan
menjadi chronic gouty
arthritis & muncul
tophi.

– Tophi: agregat kristal


urat dengan inflamasi
di sekelilingnya.

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.


McGraw-Hill; 2011.
Robbins’ pathologic basis of disease. 2007.
Acute Gout Tophy in chronic gout
Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.
4. Artritis

• Osteoarthritis:  Gout arthritis:


– space narrowing (white arrow),  Acute gouty arthritis: soft tissue swelling.
– osteophytes/spur (arrowhead),  Advanced gout: the erosion are slightly
removed from the joint space, have a
– subchondral cysts, rounded or oval shape, & are
characterized by a hypertrophic calcified
– subchondral "overhanging edge." The joint space may
sclerosis/eburnation (black be preserved or show osteoarthritic type
arrow). narrowing.
Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
4. Artritis
• Tujuan penanganan serangan akut untukmeredakan nyeri
dengan cepat.
– NSAID: indometasin 150-200 mg/hari, 2-3 hari, lalu 75-100 mg
sampai minggu berikutnya/radang berkurang. Harrison’s: 3 x 25-
50 mg/hari.
– Colchicine: 0,5-0,6 mg, 3-4 kali/hari, maksimal 6 mg
– Kortikosteroid, jika NSAID kontraindikasi.

• Pencegahan serangan dengan menurunkan asam urat:


– Allopurinol (lini 1): 300 mg/hari, maksimal 800 mg dosis terbagi
– Probenecid: 2x250 mg/hari minggu pertama, selanjutnya 2x500
mg, maksimal 2-3 g/hari.

• Agen penurun asam urat tidak diberikan saat serangan akut,


kecuali sudah rutin diminum dari sebelum serangan.

Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV.


Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.
Physician drug handbook.
5. Gastrointestinal Bleeding
• Bleeding from the gastrointestinal (GI) tract may present in 5 ways:
– Hematemesis: vomitus of red blood or "coffee-grounds" material.
– Melena: black, tarry, foul-smelling stool.
– Hematochezia: the passage of bright red or maroon blood from the rectum.
– Occult GI bleeding: may be identified in the absence of overt bleeding by a
fecal occult blood test or the presence of iron deficiency.
– Present only with symptoms of blood loss or anemia such as lightheadedness,
syncope, angina, or dyspnea.

Harrison’s principles of internal medicine


5. Gastrointestinal Bleeding
• Specific causes of upper GI bleeding may be suggested
by the patient's symptoms:
– Peptic ulcer:
• epigastric or right upper quadrant pain
– Esophageal ucer:
• odynophagia, gastroesophageal reflux, dysphagia
– Mallory-Weiss tear:
• emesis, retching, or coughing prior to hematemesis
– Variceal hemorrhage or portal hypertensive gastropathy:
• jaundice, weakness, fatigue, anorexia, abdominal distention
– Malignancy:
• dysphagia, early satiety, involuntary weight loss, cachexia
5. Gastrointestinal Bleeding
• Epigastric pain described as a burning or gnawing discomfort can
be present in both duodenal ulcer & gastric ulcer.
• H. pylori and NSAID-induced injury account for the majority of Dus

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. 2011.


5. Gastrointestinal Bleeding
Management
ABC
NGT Bleeding evaluation.
Gastric wash is still controversial, but useful in
cirrhosis case to prevent encephalopathy.

Fluid rescucitation NaCl 0,9% before PRC available


Active & massive bleeding: whole blood (contain
coagulation factor)
Drugs Acid supressor: ranitidin, omeprazol IV
Gastric acid may disturb coagulation process or fibrin
formation.
Nutrition Active bleeding: parenteral
Endoscopy Diagnostic & therapeutic.

Penatalaksanaan kedaruratan di bidang ilmu penyakit dalam.


SIGN: Management of acute upper and lower gastrointestinal bleeding.
Tatalaksana Perdarahan
Saluran Cerna
• Tatalaksana perdarahan • Tatalaksana perdarahan
variseal non-variseal (ulkus peptik)
• NGT  lavase lambung • NGT  lavase lambung
• Tamponade balon dalam 24 • Endoskopi
jam • Perdarahan aktif  terapi
• Obat vasoaktif endoskopik dan PPI IV
• Vasopresin 0,5-1mg/menit • Bekuan adheren 
selama 20-60 menit pertimbangkan terapi
endoskopi dan PPI IV
• Somatostatin 250 mcg bolus
diikuti drip 250 mcg/jam • Dasar bersih  tanpa terapi
endoskopik dan PPI oral
• Ocreotide drip 50 mcg/jam
• PPI IV  bolus 80 mg
• Endoskopi
dilanjutkan drip 8 mg/jam
• Profilaksis antibiotik selama 72 jam.
6. Penyakit Hepatobilier
• Kolelitiasis:
– Nyeri kanan atas/epigastrik
mendadak, hilang dalam 30
menit-3 jam, mual, setelah makan
berlemak.
• Kolesistitis:
– Nyeri kanan atas 
bahu/punggung, mual, muntah,
demam
– Nyeri tekan kanan atas (murphy
sign)
• Koledokolitiasis:
– Nyeri kanan atas, ikterik, pruritis,
mual.
• Kolangitis:
– Triad Charcot: nyeri kanan atas,
ikterik, demam/menggigil
– Reynold pentad: charcot + syok &
penurunan kesadaran
Pathophysiology of disease. 2nd ed. Springer; 2006.
6. Penyakit Hepatobilier
• Batu empedu asimtomatik  bukan
indikasi operasi.

• Pada pasien simtomatik:


– Mual/rasa tidak nyaman/nyeri
di abdomen kanan atas setelah
makan makanan berlemak.

– Faktor risiko: female, fertile, fat,


fourty.

– Indikasi operasi.

Pathophysiology of disease. 2nd ed. Springer; 2006.


TLC: therapeutic lifestyle change
6. Penyakit Hepatobilier
• UDCA (ursodeoxycholic acid): untuk melarutkan batu empedu.
• Untuk menurunkan TG pasien ini dipilih statin karena golongan
fibrat memiliki efek samping membentuk batu empedu.

Pocket medicine. 5th ed. 2014.


7-8. Anemia Makrositik

Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.


7-8. Anemia Makrositik
• Anemia makrositik megaloblastik disebabkan oleh defisiensi vit B12 dan
asam folat. Keduanya memberi gambaran makro-ovalosit dan neutrofil
hipersegmentasi.

• Gangguan pembentukan DNA akibat defisiensi vitamin tersebut


mengakibatkan kematian sel darah di sumsum tulang, yang dapat
memberi gambaran pansitopenia serta ikterus (hiperbilirubinemia indirek)

• Gejala anemia yang timbul, antara lain cepah lelah dan pucat, kekuningan.

• Gangguan neurologi hanya terjadi pada defisiensi vitamin B12, tidak


pada defisiensi folat. Gejala neurologi yang ditemukan:
– Neuropati perifer: kesemutan, kebas, lemas
– Kehilangan sensasi proprioseptif (posisi) dan getaran
– Gangguan memori, depresi, iritabilitas
– Neuropati optik: penglihatan kabur, gangguan lapang pandang
Hipersegmentasi (segmen 5/lebih)

Makro-ovalosit pada anemia


makrositik megaloblastik
7-8. Anemia Makrositik

• Folate is present in most foods including


eggs, milk, yeast, mushrooms, and liver
but is especially abundant in green leafy
vegetables.
• Cobalamin is present in most foods of
animal origin including milk, eggs, and
meat.
Clinical laboratory hematology. 3rd ed.
9. Tuberkulosis
• Pada pasien TB kasus baru, jika hasil pemeriksaan pada
akhir tahap awal positif :
– Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila
tidak teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya
berobat teratur.
– Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT
sisipan).
– Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian
OAT tahap lanjutan satu bulan.
– Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan
pemeriksaan uji kepekaan obat.
– Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat,
lanjutkan pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada
akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).

Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014.


9. Tuberkulosis
• Pada bulan ke 5 atau lebih:
– Dahak BTA negatif  lanjutkan pengobatan sampai selesai
– Dahak BTA positif  pengobatan gagal  terduga pasien
TB MDR
– Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR
• Pada pasien kasus baru, bila belum bisa dilakukan uji kepekaan atau
dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR  berikan OAT kategori 2.
• Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan
dengan paduan OAT kategori 2)  harus diupayakan semaksimal
mungkin agar bisa dilakukan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat
Rujukan TB MDR.

Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014.


10. Asma
• Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
– Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.
– Reversibilitas: perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu.
– Menilai derajat berat asma

• Manfaat arus puncak ekspirasi dengan spirometri atau peak


expiratory flow meter:
– Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau
respons terapi kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu
– Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Juga dapat digunakan menilai derajat
asma.

PDPI. Asma: pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. 2004


11. Pulmonologi

• Obstruktif:
– FEV1 (volume ekspirasi paksa detik pertama) menurun lebih berat dari FVC (kapasitas vital
paksa).
– Normalnya, FEV1/FVC lebih besar dari 75% untuk usia 60 tahun dan yang lebih muda.
– Normalnya, FEV1 prediksi antara 80-120%.

• Restriktif:
– Penurunan semua volume dan kapasitas.
– Temuan klasik TLC (kapasital total paru) atau FRC (kapasitas residu fungsional) < 75% prediksi
– penurunan RV (volume residu) dan VC (kapasitas vital)
– rasio FEV1/FVC yang normal/tinggi.
11. Pulmonologi

Current diagnosis & treatment in pulmonary medicine.


11. Pulmonologi
• Pada pasien ini kelainan paru adalah obstruksi
yang reversibel atas dasar:
– penurunan FEV1 & rasio FEV1/FVCobstruktif.
– FEV1 membaik lebih dari 15% secara
spontan/postbronkodilator, pada pasien ini
perbaikannya 30%Reversibiliti
12.
EKG
Atrial flutter

Atrial fibrilasi

Ventricular tachycardia:
The rate >100 bpm
Broad QRS complex (>120 ms)
Regular or may be slightly irregular
13. Nyeri Sendi
• Kartilago: bantalan antara tulang untuk menyerap tekanan & agar
tulang dapat digerakkan.
• Osteoarthritis: degenerasi sendi  fungsi bantalan menghilang 
tulang bergesekan satu sama lain.

Harrison’s principles of internal medicine.


Pembebanan repetitif, obesitas, usia tua
Heberden’s & Bouchard’s nodes

Penyempitan celah sendi

Penipisan kartilago

Osteofit (spur formation)

Sklerosis

Harrison’s principles of internal medicine.


Ciri OA RA Gout Spondilitis
Ankilosa
Prevalens Arthritis
Female>male, >50
tahun, obesitas
Female>male
40-70 tahun
Male>female, >30
thn, hiperurisemia
Male>female,
dekade 2-3
Awitan gradual gradual akut Variabel

Inflamasi - + + +

Patologi Degenerasi Pannus Mikrotophi Enthesitis

Jumlah Sendi Poli Poli Mono-poli Oligo/poli

Tipe Sendi Kecil/besar Kecil Kecil-besar Besar

Predileksi Pinggul, lutut, MCP, PIP, MTP, kaki, Sacroiliac


punggung, 1st CMC, pergelangan pergelangan kaki & Spine
DIP, PIP tangan/kaki, kaki tangan Perifer besar

Temuan Sendi Bouchard’s nodes Ulnar dev, Swan Kristal urat En bloc spine
Heberden’s nodes neck, Boutonniere enthesopathy
Perubahan Osteofit Osteopenia erosi Erosi
tulang erosi ankilosis

Temuan - Nodul subkutan, Tophi, Uveitis, IBD,


Extraartikular pulmonari cardiac olecranon bursitis, konjungtivitis, insuf
splenomegaly batu ginjal aorta, psoriasis

Lab Normal RF +, anti CCP Asam urat


14. EKG
• Sekitar 50% pasien tirotoksikosis
memiliki frek. nadi > 100 x/menit.

• Atrial tachyarrhythmias adalah


kelainan tersering karena atrium
sangat sesitif terhadap hormon
tiroid.

• Atrial fibrillation adalah aritmia


tersering kedua. Terutama
dijumpai pada lansia, laki-laki,
kadar hormon tiroid sangat tinggi,
hipertrofi atrium kiri, atau kelainan
intrinsik jantung lainnya.

ABC of clinical electrocardiography. Conditions not primarily affecting the heart. Corey Slovis, Richard Jenkins. BMJ volume 324. June 2004.
15. Influenza

• TIV: inactivated influenza vaccine


• LAIV: live, attenuated influenza vaccine

Prevention and Control of Seasonal Influenza with Vaccines Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), 2009
16. Farmakologi

Allopurinol Mechanism of Action Coiffier B, et al. J Clin Oncol. 2008.


16. Farmakologi
• Alkali fosfatase adalah enzim penanda kolestasis dan
kerusakan tulang.

• Sitokrom oksidase adalah enzim di mitokondria yang


berperan pada rantai tranpor elektron.

• Siklooksigenase-2: enzim yang mengubah asam arakidonat


menjadi prostaglandin. Dihambat oleh NSAID & COX-2
selective inhibitor (coxib).

• Monoamin oksidase: enzim yang memecah norepinefrin,


serotonin, & dopamin di otak. Dihambat oleh MAO
inhibitor (selegilin, fenelzin) untuk pengobatan depresi.
17. Sindrom Koroner Akut
• Gejala khas
– Rasa tertekan/berat di bawah dada, menjalar ke lengan
kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati.
– Dapat disertai berkeringat, mual/muntah, nyeri perut, sesak napas, & pingsan.

• Gejala tidak khas:


– Nyeri dirasakan di daerah penjalaran (lengan kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati).
– Gejala lain berupa rasa gangguan pencernaan, sesak napas atau rasa lemah
yang sulit dijabarkan.
– Terjadi pada pasien usia 25-40 tahun / >75thn / wanita / diabetes / penyakit
ginjal kronik/demensia.

• Angina stabil:
– Umumnya dicetuskan aktivtas fisik atau emosi (stres, marah, takut),
berlangsung 2-5 menit,
– Angina karena aktivitas fisik reda dalam 1-5 menit dengan beristirahat &
nitrogliserin sublingual.

Penatalaksanaan STEMI, PERKI


Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
Sindrom Koroner Akut
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
18. Aritmia
18. Aritmia
• How To Do Carotid Massage:
– Auscultate for carotid bruits. If there is evidence of
significant carotid disease, do not perform carotid
massage.
– With the patient lying flat, extend the neck and
rotate the head slightly away from you.
– Palpate the carotid artery at the angle of the jaw
and apply gentle pressure for 10 to 15 seconds.
– Never compress both carotid arteries
simultaneously!
– Try the right carotid first because the rate of
success is somewhat better on this side. If it fails,
however, go ahead and try the left carotid next.
– Have a rhythm strip running during the entire
procedure, so that you can see what is happening.
Always have equipment for resuscitation available;
in rare instances, carotid massage may induce
sinus arrest.
19. Penyakit Endokrin
Wayne’s index untuk
diagnosis hipertiroidisme:
• Skor > 19:
– hipertiroidisme.
• Skor < 11:
– eutiroidism.
• Skor antara 11-19:
– equivocal
19. Penyakit Endokrin
• Billewicz index
untuk hipotiroid.
• Skor > 25:
– hipotiroid.
• A score < - 30:
– Eksklusi
hipotiroid
20. H. pylori
20. H. pylori

Konsensus Nasional. Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014.


20. H. pylori
21. Pankreatitis Akut
• Diagnosis pankreatitis akut:
– Klinis
• Nyeri epigastrium akut menjalar ke punggung, adanya
faktor risiko alkoholisme atau penyakit bilier
– Pemeriksaan laboratorium
• Peningkatan amilase dan/atau lipase lebih dari 3 kali
– Evaluasi radiologi.
• CT scan bermanfaat untuk menemukan inflamasi &
menyingkirkan penyakit lain.
21. Pankreatitis Akut

Robbins & Cotran Pathologic basis of diseases.


21. Pankreatitis Akut
• Treatment 1, fluid rescucitation:
– Intravenous fluids of lactated Ringer’s or normal saline are initially
bolused at 15–20 cc/kg (1050–1400 mL), followed by 3 mg/kg per hour
(200–250 mL/h), to maintain urine output >0.5 cc/kg per hour.

– Serial bedside evaluations are required every 6–8 h to assess vital


signs, oxygen saturation, and change in physical examination.

– A targeted resuscitation strategy with measurement of hematocrit and


BUN every 8–12 h is recommended to ensure adequacy of fluid
resuscitation.

– A decrease in hematocrit and BUN during the first 12–24 h is strong


evidence that sufficient fluids are being administered.
21. Pankreatitis Akut
• Treatment 2, nutritional therapy:
– A low-fat solid diet can be administered to subjects
with mild acute pancreatitis after the abdominal pain
has resolved.

– Enteral nutrition should be considered 2–3 days after


admission in subjects with more severe pancreatitis
instead of total parenteral nutrition (TPN).

– Enteral feeding maintains gut barrier integrity, limits


bacterial translocation, is less expensive, and has
fewer complications than TPN.
21. Pankreatitis Akut
Lokasi Nyeri Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan Diagnosis Terapi
Fisis Penunjang
Nyeri epigastrik Membaik dgn Tidak spesifik Urea breath test Dispepsia PPI:
Kembung makan (ulkus (+): H. pylori ome/lansoprazol
duodenum), Endoskopi: H. pylori:
Memburuk dgn eritema (gastritis klaritromisin+amok
makan (ulkus akut) silin+PPI
gastrikum) atropi (gastritis
kronik)
luka sd submukosa
(ulkus)
Nyeri epigastrik Gejala: mual & Nyeri tekan & Peningkatan enzim Pankreatitis Resusitasi cairan
menjalar ke muntah, Demam defans, perdarahan amylase & lipase di Nutrisi enteral
punggung Penyebab: alkohol retroperitoneal darah Analgesik
(30%), batu (Cullen:
empedu (35%) periumbilikal, Gray
Turner: pinggang),
Hipotensi
Nyeri kanan atas/ Prodromal Ikterus, Transaminase, Hepatitis Akut Suportif
epigastrium (demam, malaise, Hepatomegali Serologi HAV,
mual)  kuning. HBSAg, Anti HBS
Nyeri kanan atas/ Risk: Female, Fat, Nyeri tekan USG: hiperekoik Kolelitiasis Kolesistektomi
epigastrium Fourty, Hamil abdomen dgn acoustic Asam
Prepitasi makanan Berlangsung 30-180 window ursodeoksikolat
berlemak, Mual, menit
TIDAK Demam
Nyeri epigastrik/ Mual/muntah, Murphy Sign USG: penebalan Kolesistitis Resusitasi cairan
kanan atas Demam dinding kandung AB: sefalosporin
menjalar ke bahu/ empedu (double gen. 3 +
punggung rims) metronidazol
Kolesistektomi
22. Penyakit Ginjal
22. Penyakit ginjal
• Routine clinical and serologic
examination of patients with
nephrotic syndrome usually
allows the clinician to determine
whether a systemic disorder is
present.

• In adults and in adolescents


beyond puberty without
systemic disease, there is no
reliable way to predict the
glomerular pathologic process
with confidence by noninvasive
criteria alone; therefore a renal
biopsy should be performed.
23. Alcoholic Hepatitis
23. Alcoholic Hepatitis
23. Alcoholic Hepatitis
• Gambaran klinis mirip
dengan penyakit hati
tahap akhir linnya.

• Spider angiomata
sering ditemukan pada
populasi ini, juga
palmar erythema,
pembesaran kelenjar
parotid & lakrimal,
atrofi testis, asites,
kolateral vena, ikterus,
& ensefalopati.

https://gi.jhsps.org/GDL_Disease.aspx?CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=024CC2E1-2AEB-4D50-9E02-C79825C9F9BF&GDL_Disease_ID=FE859301-
360B-4201-959B-3256E859CD01
23. Alcoholic Hepatitis
23. Alcoholic Hepatitis
24. PPOK
24. PPOK
24. Penyakit Paru
• Radiologi PPOK:
– Pada emfisema terlihat:
• Hiperinflasi
• Hiperlusen
• Ruang retrosternal melebar
• Diafragma mendatar
• Jantung menggantung (jantung pendulum)
– Pada bronkitis kronik:
• Normal
• Corakan bronkovaskular bertambah pada 21% kasus.
24. Penyakit Paru
• Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau
faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.

• Gejala eksaserbasi :
– Sesak bertambah
– Produksi sputum meningkat
– Perubahan warna sputum

• Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :


a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline

1. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011


25. Pneumonia Atipik
Pneumonia Atipik
• Gejala umum pneumonia atipik:
– Demam, batuk nonproduktif, & gejala konstitusi dominan (sakit
kepala berat, malaise, myalgia), onset perlahan, ronki.
– Roentgen: interstitial patchy bronchopneumonic infiltrates.
Pneumonia Atipik
• Penentuan kuman penyebab dipikirkan berdasarkan penyebab
tersering, epidemiologi, gambaran klinis, radiologi, & temuan lab
 presumptive diagnosis.
• Diagnosis definitif biasanya membutuhkan pemeriksaan serologi.
25. Pneumonia Atipik
• Etiologi pneumonia atipikal
– Bakteri
• Mycoplasma pneumoniae - tersering
• Legionella sp. (Legionnaire's disease)
• Francisella tularensis (tularemia)
• Bacillus anthracis (anthrax)
• Chlamydia psittaci (psittacosis)
• Chlamydia trachomatis*
• Chlamydia pneumoniae
• Coxiella burnetii (Q fever)
– Virus
• Influenza
• Parainfluenza*
• Respiratory syncytial virus*
• Adenovirus
– Fungi
• Histoplasma capsulatum (histoplasmosis)
• Coccidioides immitis (coccidioidomycosis) *
*Terutama pada pediatrik
25. Pneumonia Atipik
26. Infeksi HIV
• Untuk memulai terapi antiretroviral perlu
dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia)
dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya.

• Rekomendasi :
– Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah
CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium
klinisnya.
– Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB
aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa
memandang jumlah CD4.

Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa Kementerian. Kemenkes 2011.
26. Infeksi HIV

Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa Kementerian. Kemenkes 2011.
Guidelines HIV WHO (2013)

• Pedoman terbaru merekomendasikan terapi ARV jika


CD4 <500 sel/mm3
HIV/AIDS

• TDF: tenofovir, AZT: zidovudin, 3TC: lamivudin, EFV: efavirenz,


NVP: nevirapine, ABC: abacavir, LPV/r: lopinavir/ritonavir
Perbandingan Pedoman Terapi HIV
Konsensus HIV WHO 2013 WHO 2015
2011
Stadium klinis 1 Jika CD 4 <350 Jika CD4 < 500, Semua CD4,
dan 2 prioritas < 350 prioritas < 350
Stadium klinis 3 Semua CD4 Semua CD4 Semua CD4 dan
dan 4 prioritas
TB Semua CD4 Semua CD4 Semua CD4
Hepatitis B Semua CD4 Jika CD4<500 Semua CD4 pada
kecuali terdapat penyakit hati berat
penyakit hati
kronik berat
27. Leukemia
CLL CML ALL AML
The bone marrow makes abnormal leukocyte  dont die when they
should  crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets. This
makes it hard for normal blood cells to do their work.
Prevalence Over 55 y.o. Mainly adults Common in Adults &
children children
Symptoms & Grows slowly  may Grows quickly  feel sick & go to
Signs asymptomatic, the disease is found their doctor.
during a routine test.
Fever, swollen lymph nodes, frequent infection, weak,
bleeding/bruising easily, hepatomegaly/splenomegaly, weight loss,
bone pain.
Lab Mature Mature granulocyte, Lymphoblas Myeloblast
lymphocyte, dominant myelocyte t >20% >20%, aeur rod
smudge cells & segment may (+)
Therapy Can be delayed if asymptomatic Treated right away
CDC.gov
Sel blas dengan Auer rod pada leukemia Leukemia mielositik kronik
mieloblastik akut

Limfosit matur & smudge cell


Sel blas pada leukemia limfoblastik akut
pada leukemia limfositik kronik
28. Dispepsia
• Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas.

• Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala
berikut yaitu:
– nyeri epigastrium,
– rasa terbakar di epigastrium,
– rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna
atas, mual, muntah, dan sendawa.

• Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik &


fungsional.
– Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi,
gastritis, duodenitis dan proses keganasan
– Untuk dispepsia fungsional, keluhan berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014.


28. Dispepsia
29. Hipertensi

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed. 2015.


29. Hipertensi
JNC VIII
30. Diabetes
• Hipoglikemia iatrogenik adalah yang paling sering
terjadi.

• Hipoglikemia adalah kejadian yang umum pada DM


tipe 1. Pada DM tipe 2, pasien yang mendapat insulin
lebih berisiko mengalami episode hipoglikemia.

• Insidens hipoglikemia berat (episode per 100


pasien/tahun):
• Pada pasien DM tipe 1: 11,5
• Pasien DM tipe 2 dengan terapi insulin: 11,8
• Pasien DM tiper 2 dengan obat oral: 0,05.

Hypoglycemia in diabetes: Common, often unrecognized. Cleveland clinical journal of medicine. Vol 71. 4 April 2004.
30. Diabetes
meglitinide

TZD

Glucose undergoes oxidative metabolism in the β cell to yield ATP. ATP inhibits an
inward rectifying K+ channel receptor on the β-cell surface. Inhibition of this receptor
leads to membrane depolarization, influx of Ca [2]+ ions, and release of stored insulin
from β cells. The sulfonylurea class of oral hypoglycemic agents bind to the SUR1
receptor protein.
30. Diabetes

PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia. 2006.
30. Diabetes
• Cara Pemberian obat antidiabetik oral, terdiri dari:
– Obat dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat
diberikan sampai dosis optimal
– Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
– Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
– Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
– Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan
suapan pertama
– Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
– DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau
sebelum makan.

PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia. 2006.
31. Papilloma Intraduktal
• Papilloma intraduktal
– pertumbuhan menyerupai kutil dengan disertai
tangkai yang tumbuh dari dalam payudara yang
berasal dari jaringan glandular dan jaringan
fibrovaskular.
• Epidemiologi:
– terjadi pada wanita pada masa reproduktif akhir,
atau post-menopause
– Usia rerata 48 tahun.
Gejala dan Tanda
• Hampir 90% dari Papilloma Intraduktus
– tipe soliter dengan diameternya kurang dari 1cm
– sering timbul pada duktus laktiferus
– hampir 70% dari pasien datang dengan nipple discharge yang serous
dan bercampur darah.
• Ada juga pasien yang datang dengan keluhan massa pada area
subareola
– massa ini lebih sering ditemukan pada pemeriksaan fisis
– Massa yang teraba sebenarnya adalah duktus yang berdilatasi.
• Papilloma Intraduktus multiple
– biasanya tidak ada gejala nipple discharge dan biasanya terjadi pada
duktus yang kecil
– Diperkirakan hampir 25% dari Papilloma Intraduktus multiple adalah
bilateral

http://radiopaedia.org/
Etiologi dan Patogenesis
• Etiologi dan patogenesis dari penyakit ini masih
belum jelas.
• Dari kepustakaan dikatakan bahwa, Papilloma
Intraduktus ini terkait dengan proliferasi dari
epitel fibrokistik yang hiperplasia.
• Ukurannya adalah 2-3 mm dan terlihat seperti
broad-based atau pedunculated polypoid
epithelial lesion yang bisa mengobstruksi dan
melebarkan duktus terkait.
• Kista juga bisa terbentuk hasil dari duktus yang
mengalami obstruksi.
http://radiopaedia.org/
Pemeriksaan Radiologis
• Mammografi
– Biasanya gambaran normal
– Gambaran yang dapat ditemukan dilatasi duktus soliter maupun
multipel, massa jinak sirkumskripta (sering di subareola), atau
kalsifikasi.
• Galactography
– Gambaran abnormalitas ductus: filling defect, ectasia, obstruksi,
atau irregularitas. Tidak spesifik
– Dapat evaluasi jumlah, lokasi, penyebaran, dan jarak dari areola.
• USG
– Gambaran terlihat jelas sebagai nodul padat atau massa
intraduktal dapat pula berupa kista dalam duktus.
– Colour doppleruntuk melihat vaskularisasi.

http://radiopaedia.org/
• Galactogram
USG
• Atas: nodul solid dalam
duktus
• Bawah: nodul
bertangkai dengan
dilatasi duktus
Tatalaksana dan Prognosis
• Papilloma intraduktal solitereksisi
• Menurut komuniti dari College of American
Pathologist, wanita dengan lesi ini mempunyai
risiko 1,5 – 2 kali untuk terjadinya karsinoma
mammae.
32. Hydrocele
http://urology.iupui.edu/papers/reconstructive_bph/s0094014305001163.pdf

33. Trauma Uretra


• Curiga adanya trauma
pada traktus urinarius
bag.bawah, bila:
– Terdapat trauma
disekitar traktus
urinarius terutama
fraktur pelvis
– Retensi urin setelah
kecelakaan
– Darah pada muara OUE
– Ekimosis dan hematom
perineal
Uretra Anterior:
• Anatomy:
– Bulbous urethra
Uretra Posterior :
– Pendulous urethra • Anatomy
– Fossa navicularis – Prostatic urethra
• Etiologi: – Membranous urethra

– Straddle type injuries • Etiologi:


– Intrumentasi – Fraktur tulang Pelvis
– Fractur penis • Gejala klinis:
• Gejala Klinis: – Darah pada muara OUE
– Disuria, hematuria – Nyeri Pelvis/suprapubis
– Hematom skrotal – Perineal/scrotal hematom
– Hematom perineal akan timbul bila terjadi robekan – RT Prostat letak tinggi atau
pada fasia Buck’s sampai ke dalam fasia melayang
Colles‘‘butterfly’’ hematoma in the perineum • Radiologi:
– will be present if the injury has disrupted Buck’s – Pelvic photo
fascia and tracks deep to Colles’ fascia, creating a
– Urethrogram
characteristic ‘‘butterfly’’ hematoma in the
perineum • Therapy:
• Therapy: – Cystostomi
– Cystostomi – Delayed Repair
– Immediate Repair
• Don't pass a diagnostic • Retrograde
catheter up the patient's urethrography
urethra because: – Modalitas pencitraan yang
– The information it will give utama untuk mengevaluasi
will be unreliable. uretra pada kasus trauma
– May contaminate the dan inflamasi pada uretra
haematoma round the
injury.
– May damage the slender
bridge of tissue that joins
the two halves of his
injured urethra

Posterior urethral rupture above the


intact urogenital diaphragm
following blunt trauma

http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/68._Urinary
34. Dis.Bahu (D.Glenohumeralis)
• Keluarnya caput humerus dari cavum gleinodalis
• Etio : 99% trauma

• Pembahagian
• Dis. Anterior (98 %)

• Dis.Posterior (2 %)

• Dis. Inferior

• Mekanisme Trauma
• Puntiran sendi bahu tiba-tiba

• Tarikan sendi bahu tiba-tiba

• Tarikan & puntiran tiba-tiba


Dislokasi Anterior
 Lengkung (contour) bahu berobah,

 Posisi bahu abduksi & rotasi ekterna

 Teraba caput humeri di bag anterior

 Prominent acromion, sulcus sign

 Back anestesi  ggn n axilaris

 Radiologis  memperjelas Diagnosis

 Rontgen Foto

 CT Scan
Sulcus Sign test
• a shoulder stability
examination to determine
if there is anterior or
multidirectional instability
observed between the
acromion and the humeral Prominent
head. acromion
• With the arm straight and
relaxed to the side of the
patient, the elbow is
grasped and traction is Sulcus
applied in an inferior Sign
direction
Dislokasi
Posterior: Klinis
• Lengan dipegang di
depan dada
• Adduksi
• Rotasi interna
• Bahu anterio tampak
lebih datar (flat and
squared off)
35.
36. GIT Congenital Malformation
Disorder Clinical Presentation
Hirschprung Congenital aganglionic megacolon (Auerbach's Plexus)
Fails to pass meconium within 24-48 hours after birth,chronic constipation
since birth, bowel obstruction with bilious vomiting, abdominal distention,
poor feeding, and failure to thrive, Chronic Enterocolitis.
RT:Explosive stools .
Criterion standardfull-thickness rectal biopsy.
Treatment  remove the poorly functioning aganglionic bowel and create
an anastomosis to the distal rectum with the healthy innervated bowel
(with or without an initial diversion)

Anal Atresia Anal opening (-), The anal opening in the wrong place,abdominal
distention, failed to pass meconium,meconium excretion from the fistula
(perineum, rectovagina, rectovesica, rectovestibuler).
Low lesionthe colon remains close to the skin stenosis anus, or the
rectum ending in a blind pouch.
High lesionthe colon is higher up in the pelvis fistula
Hypertrophic Hypertrophy and hyperplasia of the muscular layers of the pylorus
Pyloric functional gastric outlet obstruction
Stenosis Projectile vomiting, visible peristalsis, and a palpable pyloric tumor(Olive
Disorder Clinical Presentation

Oesophagus Congenitally interrupted esophagus


Atresia Drools and has substantial mucus, with excessive oral secretions,.
Bluish coloration to the skin (cyanosis) with attempted feedings
Coughing, gagging, and choking, respiratory distressPoor feeding
Intestine Atresia Malformation where there is a narrowing or absence of a portion
of the intestine
Abdominal distension (inflation), fails to pass stools, Bilious
vomiting

http://en.wikipedia.org/wiki/ http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth
36. Malformasi Kongenital
Pemeriksaan Penunjang
Abdominal radiograph Fluoroscopy: contrast study
• can be variable depending on the • to detect recto-urinary, recto-
site of atresia (e.g high or low), vaginal or rectoperineal fistula
level of impaction with meconium
and physiological effects such as Ultrasound
straining
• may show multiple dilated bowel • the anus may be seen as an
loops with with absence of rectal echogenic spot at the level of the
gas perineum and in an atresia this
echogenic spot may be absent 4
• may show bowel dilatation
Invertogram • an infra coccygeal or
• A coin/metal piece is placed over transperineal approach may allow
the expected anus and the baby is differentiation between a high or
turned upside down (for a low subtype
minimum 3 minutes).
• Distance of gas bubble in rectum
from the metal piece is noted:
– >2 cm: denotes high type
– <2 cm: denotes low type
37. Gastroskisis
37.
Gastroskisis vs Omphalocele
38. DVT
38.
American College of Emergency Physicians (ACEP)
Trombosis Vena Dalam
• Skoring Wells
– Kanker aktif (sedang terapi dalam 1-6 bulan atau paliatif) (skor 1)
– Paralisis, paresis, imobilisasi (skor 1)
– Terbaring selama > 3 hari (skor 1)
– Nyeri tekan terlokalisir sepanjang vena dalam (skor 1)
– Seluruh kaki bengkak (skor 1)
– Bengkak betis unilateral 3 cm lebih dari sisi asimtomatik (skor 1)
– Pitting edema unilateral (skor 1)
– Vena superfisial kolateral (skor 1)
– Diagnosis alternatif yang lebih mungkin dari DVT (skor -2)
• Interpretasi:
– >3: risiko tinggi (75%)
– 1-2: risiko sedang (17%)
– < 0: risiko rendah (3%)

Sudoyo A dkk. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. 2015
39. Ileus Obstruksi
Obstruction
Adanya sumbatan mekanik yang disebabkan karena
adanya kelainan struktural sehingga menghalangi gerak
peristaltik usus.
Partial or complete
Simple or strangulated
Ileus
Kelainan fungsional atau terjadinya paralisis dari gerakan
peristaltik usus
Penyebab- Usus Halus
Luminal Mural Extraluminal
Benda asing Neoplasims Postoperative
Bezoars lipoma adhesions
Batu Empedu polyps
Sisa-sisa leiyomayoma Congenital
makanan hematoma adhesions
A. Lumbricoides
lymphoma
carcimoid Hernia
carinoma
secondary Tumors Volvulus
Crohns
Kolitis Ulseratif
TB
Stricture
Intussusception
Congenital
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
40. Management of Trauma Patient
http://www.aaos.org/

Treatment
• Survei primer (ABC) selalu
didahulukan
• Setelah pasien stabil dan
diamankanperiksa
fraktur/dislokasi yang dialami
• Tatalaksana terpenting untuk
fraktur dan
dislokasiPembidaian,
terutama sebelum transport
Controlling External Bleeding
• Pertolongan pertama yang harus segera
dilakukan untuk menghentikan perdarahan
– Memberikan tekanan langsung
– Menekan langsung sumber perdarahan dengan
kassa steril
Pressure Bandages
• Apply over wound on
extremity to maintain
direct pressure
• Use roller bandage to
completely cover
wound and maintain
pressure

Make sure it doesn’t cut off circulation


Check victim’s fingers and toes for circulation
41. Penanganan Fraktur
1. Tempat kejadian (Injury Disarter) 

Masyarakat, Sosial worker, Polisi,

petugas medis dll

2. Pra Hospital (Transportation)

3. Hospital  Emergency Room, Operating

Room, ICU, Ward Care

4. Rehabilitasi  Physical, Psycological


Tujuan Penanganan Fraktur

1. Life saving  Prioritas utama

2. Limb saving

 Penanganan Nyeri (Relieve pain)

 Mengembalikan fungsi (Restore optimum function)

 Tindakan Non Operatif

 Tindakan Operative
Yang Mempengaruhi Penanganan
 Umur

 Kelamin

 Pekerjaan

 Keadaan Fraktur Patologis non Patologis

 Penyakit penyerta
Emergency Orthopaedi
 Jika tak ditolong segera  bisa terjadi †

1. Fraktur terbuka

 Fraktur disertai hancurnya jaringan (Major crush


injury)

 Fraktur dengan amputasi

2. Fraktur dengan ggn neurovaskuler (Compartmen


Syndrome)

3. Dislokasi sendi
Pertolongan Pertama (First Aid)
 Life Saving  ABCD
 Obstructed Airway
 Shock : Perdarahan Interna /External
Balut tekan, IV fluid
 Limb Saving
 Reliave pain Splint & analgetic
 Pergerakan fragmen fr
 Spasme otot
 Udema yang progresif.
 Transportasi penderita Dont do harm
Pengelolaan Fraktur di RS
Prinsip : 4 R
 R 1 = Recognizing = Diagnosa
 Anamnesa, PE, Penunjang
 R 2 = Reduction = Reposisi
 Mengembalikan posisi fraktur keposisi sebelum
fraktur
 R 3 = Retaining = Fiksasi /imobilisasi
 Mempertahankan hasil fragmen yg direposisi
 R 4 = Rehabilitation
 Mengembalikan fungsi kesemula
Retaining (Imobilisasi)
 Mempertahankan hasil reposisi sampai tulang
menyambung

 Kenapa ssd reposisi harus retaining

 Manusia bersifat dinamis

 Adanya tarikan tarikan otot

 Agar penyembuhan lebih cepat

 Menghilangkan nyeri
Cara Retaining (Imobilisasi)
 Isitrahat

 Pasang splint / Sling

 Casting / Gips

 Traksi  Kulit atau tulang

 Fiksasi pakai inplant


Sling / Split
 Sling : Mis Arm Sling

 Splint/ Pembidaian
Cara Imobilisasi
 Casting / Gips

 Hemispica gip

 Long Leg Gip

 Below knee cast

 Umbrical slab
Retaining (Imobilisasi)
Traksi

 Cara imobilisasi dengan menarik

bahagian proksimal dan distal

secara terus menerus.

1. Kulit

2. Tulang
Retaining (Imobilisasi)
 Fiksasi pakai inplant

■ Internal fikasasi

■ Plate/ skrew

■ Intra medular nail  Kuntsher Nail

■ Ekternal fiksasi
42. Paronikia
• Reaksi inflamasi mengenai lipatan kulit disekitar
kuku
• Paronikia dapat akut atau kronik
– Paronikia akut oleh staphylococcus aureus
• ditandai timbulnya nyeri atau eritema diposterior atau lateral
lipatan kuku,diikuti oleh pembentukan abses superfisial
– Paronikia kronik oleh candida albicans
• sering oleh pemisahan abnormal lipatan kuku proximal dari
lempeng kuku yg memungkinkan kolonisasi
• Paronikia bakteri akut sering bersamaan dengan
bakteri jamur kronik
ANATOMI KUKU

a. nail plate e. nail fold lateral


b. lunula f. nail bed
c. eponikiam g. Nail plate
d. Nail fold posterior
GEJALA KLINIS
• Paronikia akut & kronik memberi gambaran di
lipatan kuku berupa nyeri, merah, dan bengkak,
namun pada paronikia kronik gejala diatas tidak
terlalu jelas.
Paronikia akut
• Dapat disertai demam dan nyeri kelenjar di
bawah tangan, biasanya ada nanah berwarna
kuning di bawah kutikula
Paronikia kronik
• Lempeng kuku kelihatan lebih gelap, cembung,
kadang – kadang lebih tipis
• kutikula biasanya terlepas dari lempeng kuku.
• Tidak ada pus atau nanah dan pada perabaan
kurang hangat dibanding paronikia akut.
• Perlangsungannya 6 minggu atau lebih.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pewarnaan Gram
– untuk mengetahui adanya staphylococcus atau
streptococcus
• Apusan potassium hidroksida
– untuk menemukan hifa yg menunjukkan adanya
jamur
• Tapi tidak menutup kemungkinan ditemukan
jamur dan bakteri pada satu kasus paronikia
PENCEGAHAN
• Cegah trauma dengan menjaga agar kulit yang
kena tetap kering
• Jika akan mencuci sebaiknya memakai sarung
tangan karet
TERAPI
• Terapi sistemik pilihan paronikia akut
– antibiotik spt clindamycin 150-450 mg, 3-4 kali sehari
– amoxicillin-asam klavulanat 250-500 mg 3 kali sehari
efektif untuk bakteri yang resisten terhadap beta
laktamase
– Dicloxacillin maupun cephalexin juga efektif
• Paronikia kronik
– antimikotik seperti ketokonazole 200 mg per hari
– Terapi topikal dapat diberi miconazole krim 2 kali sehari
selama 2-6 minggu.
– Losion atau krim Amfoterisin B ( fungizone ) biasanya efektif,
tapi tidak dapat digunakan bersamaan dengan imidazole
karena dapat memberikan efek menetralkan antara satu
sama lain.
• Pembedahan
– dilakukan atas dasar indikasi
– jika infeksi akut sudah teratasi,
• Irisan (Insisi) dapat dilakukan jika ada abses.
• Jika upaya di atas tidak berhasil dan kuku
menancap ke dalam kulit maka dapat dilakukan
pengangkatan kuku. (Roserplasty)
– Roserplasty hanya dapat dilakukan apabila infeksi telah
teratasi agar penyembuhan luka dapat berjalan baik
• Insisi paronikia dengan mata pisau langsung
pada kuku
Komplikasi dan Prognosis
• Komplikasi jarang terjadi, tapi jika terjadi dapat
menyebabkan :
– Abses
– Infeksi Menyebar ke tendo, tulang ( osteomyelitis ) atau
pembuluh darah. .
• Prognosis sangat baik dengan pengobatan yang tepat.
• Paronikia akut sembuh dalam 5 sampai 10 hari dengan
kerusakan kuku yang tidak permanen.
• Paronikia kronik butuh waktu berminggu – minggu untuk
sembuh, kulit & kuku akhirnya akan kembali normal.
• Harus diingat untuk mengobati jika berulang, dan tetap
menjaga agar daerah tersebut tetap kering
43. FRAKTUR HUMERUS

1. Fraktur kolum
2. Fraktur tuberkulum mayus
3. Fraktur diafisis
4. Fraktur suprakondiler
5. Fraktur kondiler
6. Fraktur epikondilus medialis
Gambar Skematik Lokalisasi Fraktur Humerus

2
Fraktur Tuberkulum Mayus

Fraktur Kolum

Fraktur Diafisis

Fraktur Kondiler
Fraktur Suprakondiler

Fraktur Epikondilus Medialis


Fraktur Epicondilus Medial
• Jenis fraktur epicondilus tersering dan terjadi ketika adanya
avulsi dari epicondilus medial.
• Tipikal pada anak-anak, dan sangat sulit untuk identifikasi.
Kegagalan diagnosis dapat menyebabkan disabilitas dalam
jangka waktu panjang.
• Mekanisme trauma
– Terjatuh dengan keadaan tangan teregang dengan siku ekstensi penuh,
menghasilkan traksi seketika pada kelompok otot fleksor pronator
lengan bawah.
– Dislokasi siku posterior, memberikan gaya pada epicondilus medial via
ligamentum kolateral ulnaris (2/3 kasus fraktur epicondilus medial)
– Hantaman langsung (jarang terjadi)
– Cedera kronik
Medial Epicondyle Fractures
• Represent 5% to 10% of pediatric elbow fractures
– usually occur in children between the ages of 9 and 14 years
– Rare in adult
• Mechanism of injury:
– Direct blow to the elbow
• Occurs with valgus stress to the elbow, which avulses the medial
epicondyledirect blow to elbow or arm
– fall on outstretched arm
• most common
– elbow dislocation
• associated with elbow dislocations in up to 50%
• most spontaneously reduce but fragment may be incarcerated in joint
– traumatic avulsion
• usually occurs in overhead throwing athletes

Landin. Elbow fractures in children. An epidemiological analysis of 589 cases. Acta Orthop Scand. 1986;57:309.
Medial Humerus Fracture
www2.aofoundation.org

ANATOMY

• Nerves on both sides of the distal humerus run very closely to the bone, especially the ulnar
nerve
• Ulnar nerveperforates the medial intermuscular septum runs and then in its sulcus
behind the medial epicondyle
• It can be directly compressed in distal humeral fractures
• Radial nerve perforates the lateral intermuscular septum as it loares the spiral groove
on the humerus, to run anteriorly and distally
• At the level of the radial head it divides into its deep and superficial branches.
• Median nerve crosses the anterior capsule of the elbow joint, running into the
forearm between the two heads of the pronator teres muscle.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2758175/
Presentation
•Symptoms
• medial elbow pain
•Physical exam
• tenderness over medial epicondyle
• valgus instability

Treatment
•Nonoperative
• brief immobilization (1 to 2 weeks) in a long arm cast or splint
• indications
• isolated fractures of the medial epicondyle with between 5 to 15 mm of
displacement heal well.
• fibrous union of the fragment is not associated with significant symptoms or
diminished function
• < 5mm displacement usually treated non-operatively, 5-15 mm remains
controversial
•Operative
• open reduction internal fixation
• indications
• absolute
• displaced fx with entrapment of medial epicondyle fragment in joint
• relative
• ulnar nerve dysfunction
• > 5-15mm displacement
• displacement in high level athletes
Complications of Surgery
•Nerve injury
• ulnar nerve can become entrapped
• neuropathy with dislocatoin which usually resolves
•Missed incarceration
• missed incarceration of fragment in elbow joint
•Elbow stiffness
• loss of elbow extension, avoid prolonged immobilization
•Non-union

http://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/fractures/Medial_epicondyle_emerg/
Pemeriksaan Radiologis
• Assesmen X-rays
• Pembengkakan jaringan lunak
– Dapat merupakan satu-satunya tanda pada undisplaced injury
– Dapat merupakan satu-satunya tanda pada ana-anak <7thn, dimana
belum terjadi kalsifikasi dari apophysis medial.
• Pelebaran growth plate (dibandingkan sisi kontralateral)
• Perubahan posisi apophysis
• Fraktur melalui metafisis humeri yang berdekatan
• Dislokasi siku
Anatomi lengan
3 1
1. Caput humeri
4 2 2. Collum anatomicum
6 3. Tuberculum majus
4. Tuberculum minus
7 5 5. Collum chirurgicum
6. Crista tuberculi minoris
7. Crista tuberculi majoris
8 9 8. Tuberositas deltoidea
10 9. Sulcus nervi radialis
10. Facies posterior
11. Facies anterior lateralis
12 12. Facies anterior medialis
13. Margo lateralis
11 13 14. Margo medialis
14 15. Fossa radialis
16. Fossa coronoidea
15 17 17. Fossa olecrani
16 18 18. Epicondylus lateralis
19. Epicondylus medialis
20 19 20. Capitulum humeri
21 22 21. Trochlea humeri
22. Sulcus nervi ulnaris
1. M brachialis i: os pisiforme
1 o: pertengahan bwh f: fleks, abd ulnar tgn
2 dataran ventral hum 6. M fleksor digitorum sup
i: tuberositas ulnae o: cap hum uln: epic med
4
f: fleksi LB hum, proc coronoideus
3 2. M brachiradialis ; cap rad: dat ventral
o: margo lat hum prox epic rad
5
lat hum i: sisi2 phalanx media
6 f: fleksLB, fleks phalanx,
i: proc stiloideus radii
f: fleksi, supinasi LB fleks tgn, abd ulnar tgn
3. M fleksor carpi radialis 7. M pronator teres
o: epic med hum, proc o: cap hum: epic med hum
coronoideus cap ulnare: proc coron
I : basis ossis metacarpalis i: pertnghn ventral rad
3 II & III f: fleks, pronasi LB
f: fleks& pron LB, fleks & 8. M fleksor pollicis longus
abd rad tangan o: dataran ventral rad
4
4. M palmaris longus i: phalanx dist jari I
o: epic med hum, proc f: fleks phal, opposisi jr I,
7 coronoideus ulnae flek tgn, abd rad tgn
6 i: aponeurosis palmaris 9. M fleksor digitorum
f: fleks, pron LB, flek tgn profundus
5. M fleksor carpi ulnaris 0: dat ventral ulnae
8 o: capit hum, epic med i: phalanx dist jari II-V
hum, cap & margo f: fleks phal, fleks tgn, abd
dorsale ulnae ulnar tgn
9
1 1. M brachioradialis 7. M extensor carp ulnaris
2 2. M anconeus o: cap hum: epic lat hum,
3. M extensor carpi rad long cap ulnare: margo dors
3 ulnae
o: marg lat hum, prox epic
4 lat humeri i: basis ossis metacarp V
5 i: basis ossis metacarp II f: ext LB, ext tgn, abd ulnar
f: ext & sup LB, ext tgn, tgn
6
abd rad tgn 8. M supinator
7 4. M ext carp rad brevis o: epic lat hum, crista m
o: epic lat humeri supinatoris ulnae
i: basis ossis metacarp III i: dataran ventr rad sebelah
distal tuberositas radii
f: ext & supin LB, ext tgn,
abd rad tgn f: supinasi LB
1 5. M abd pollicis longus 9. M ext pollicis brevis
o: dat dorsal ulnae&radius, o: margo dors uln, dat dors
3
membr interossea rad, membr interossea
2 i: basis phlx prox jr I
i: basis ossis metacarp I
6 f: sup LB, abd jr I abd rad f: ext phlx prox jr I, ext tgn,
tgn abd rad tgn sup LB
4
6. M extensor digitorum 10. M ext pollicis longus
8 o: margo dors ulnae
o: epic lat humeri
5 10 i: phalanx med & distalis ji i: basis phlx dist jr I
11 II-V f: ext phalx, ext tgn, abd
f: ext LB, ext tgn, ext rad tgn, supinasi LB
9 11. M extensor indicis
phalanx
10
44. Dislokasi Sendi Siku
• Dislokasi siku merupakan dislokasi pada sendi besar
yang paling sering kedua pada orang dewasa. (paling
sering dislokasi bahu).
• Simple dislocation
– dislokasi tanpa fraktur
• Complex dislocation
– dengan fraktur, paling sering caput radialis.
• Terrible triad of elbow
– dislokasi posterior + fraktur prosesus koronoideus + fraktur
caput radialis
– Cedera berat, penyembuhan lama, dengan outcome yang
buruk.

http://orthoinfo.aaos.org/
http://orthoinfo.aaos.org/
Patologis
• Epidemiologi 10-25% pada kasus cedera siku
pada orang dewasa.
• Kebanyakan dislokasi sendi adalah cedera
tertutup
• Paling sering dislokasi posterior (terkadang
posterolateral atau posteromedial)
– biasanya terjadi akibat jatuh pada posisi lengan
ekstensi, baik hiperektensi atau posterolateral
rotatory mechanism
• Dislokasi anterior, medial, alteral, atau
divergentjarang terjadi.

http://orthoinfo.aaos.org/
Pemeriksaan Radiologis
• Plain X-rays (AP dan lateral) cukup membantu
diagnosis, sedangkan CT-scan sering digunakan untuk
evaluasi pre-operatif dari intra-artikularis.
• Hal-hal yang perlu diperhatikan foto polos sendi siku:
– Arah dislokasi, posterior, posterolateral, posteromedial,
lateral, medial, atau divergent.
– Fraktur
• Tersering fraktur: caput radialis, prosesus koronoideus
• Fraktur lain yang sering menyertai: condilus lateral, capitellum,
olecranon
– Foto polos pergelangan tangan dan bahu perlu dievaluasi,
apabila terdapat gejala klinis.
http://radiopaedia.org/
• Atas (2 gambar):
dislokasi posterior
• Kanan:
– dislokasi disertai
fraktur collum radialis

http://radiopaedia.org/
• Atas kiri: dislokasi dengan
fraktur prosesus
koronoideus
• Atas kanan: terrible triad
olf elbow
• Kiri: dislokasi medial
http://radiopaedia.org/
Tatalaksana
• Simple dislocation
– Closed reduction (prone technique) sebaiknya dilakukan
spesialis orthopedi, menggunakan sedasi dan analgetik
– Dilanjutkan dengan imobilisasi (min 2minggu), lengan
fleksi 90o.
• Complex dislocation
– ORIF
– Outcome biasanya buruk
– Komplikasi
• osteoartritis, ROM terbatas, instabilitas, dan dislokasi rekuren.
• Pada dislokasi dengan luka terbuka sering terjadi jejas
pada arteri brakialis.
45. Fraktur Humerus
46. Fraktur Nasal
• Patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat
trauma dengan bengkak, dan krepitus pada
jembatan hidung. Pasien mungkin mengalami
epistaksis, namun tidak harus selalu bercampur
dengan CSF.
• Fraktur nasal sering menyebabkan deformitas
septum nasal karena adanya pergeseran septum
dan fraktur septum.
• Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti
patah hidung dengan telecanthus, pelebaran
jembatan hidung dengan canthus medial
terpisah, dan epistaksis atau rhinorrhea CSF.
• Method of palpating the nasal complex
for fractures. The nasal pyramid should
be moved right and left to detect
mobility.
• Patient with naso-orbitoethmoid
fracture and cerebrospinal fluid
rhinorrhea (A). The fluid leaves a
double ring where it drips onto fabric
(B).
• Lateral radiographic view of a displaced
nasal bone fracture in a patient who
sustained this injury because of a punch to
the face during a hockey game.
• A patient with naso-
orbitoethmoid fracture.
Note the increase in the
intercanthal distance and
the rounded shape of the
medial palpebral fissure
on the right. The normal
palpebral fissure on the
patient's left has an
angular relationship
between the upper and
lower eyelids.
Fraktur Nasal
• KONSERVATIF
– Pasien dengan perdarahan hebat, dikontrol dengan vasokonstriktor topikal.
– Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain
dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan.
– Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah
vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai
perdarahan berhenti.
– Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya
– Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian.
– Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa
nyaman pada pasien.

• OPERATIF
– Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang,
penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan.
– Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi
dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.
FRAKTUR NASAL
• ELEVATING A
FRACTURE OF THE
NOSE.
• A, inflitrating the site
of the fracture.
• B, raising the
depressed bones with
curved artery forceps.
Always suspect a
fracture after any blow
on the nose. Swelling
of the soft tissues can
easily hide it.
Blow Out Fracture
• Blow-out fracture
– fraktur dinding orbita yang disebabkan peningkatan tiba-
tiba dari tekanan intraorbital tanpa keterlibatan rima
orbita.
– terjadi pada dasar orbita dan sebagian kecil terjadi pada
dinding medial dengan atau tanpa disertai
fraktur dasar orbita.
• Blow-out fracture umumnya terjadi pada orang dewasa
dan jarang terjadi pada anak-anak
– Dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas) kecelakaan
kerja) kecelakaan olahraga)terjatuh atau karena kekerasan.
Gejala Klinis
• Penderita blow-out fracture sering mengeluh:
– nyeri intraokula
– mati rasa pada area tertentu diwajah
– tidak mampu menggerakkan bola mata
– melihat ganda bahkan kebutaanblow-out fracture
– Edema, hematoma, enophtalmus
– trauma nervus cranialis
– emphysema dari orbita dan palpebra
47. Urolithiasis
Nyeri Alih
48. Septic Arthritis

• Infeksi synovium
dan cairan synovial
• Ditemukan pada semua umur
• Sendi panggul (anak-anak)
• Sendi lutut (dewasa) Sering }

https://medicine.med.unc.edu
Etiologi
• S. aureus → pada semua umur
• H. influenzae → 6 bulan – 5 thn
• N. gonorrhoeae → >10 tahun, dewasa (populasi barat)
• Gram negative bacilli → imunodefisiensi, prosedur invasif
pada sistem gastrointestinal dan saluran kemih, geriatri,
pasien dengan gagal ginjal, kelainan sendi kronik, dan
diabetes.
• S. epidermidis → Prosthetic joint
• S. aureus/Pseudomonas → i.v. drug use
• S. pneumoniae → Alcoholism, pneumonia, meningitis
• L. monocytogenes → Immune deficiency
• Atypical mycobacteria → Chronic infection
https://medicine.med.unc.edu
Patogenesis
• Penyebaran hematogen
• Penyebaran melalui jaringan sekitar
• Inokulasi langsung (aspirasi/arthrotomy)
*Penyakit rematik dapat menjadi penyakit
yang mendasari septik arttritis
-Struktur sendi abnormal
-Penggunaan steroid (abnormal phagocytosis…)
*DM, immune def, hematological diseases, trauma,
systemic infections…
https://medicine.med.unc.edu
Gejala Klinis
• Riwayat trauma atau infeksi sebelumnya
• Sering mengenai sendi panggul dan lutut
• Sendi sakroiliaka dapat terinfeksi pada
brucellosis
• Interphalangeal joints: human and animal bites

• Demam, malaise, anoreksia, nausea


• Inflamasi lokal

https://medicine.med.unc.edu
Pemeriksaan Penunjang
• Synovial fluid sampling:
• >50.000 leukocytes/ml, (crystal arthropathies and RA)
• Leukocytes <50.000/ml (Malignancy, steroid use)
• Gram staining and culture: Gram-positive bacteria
60%, Gram-negative bacteria 40%
• Blood culture / urethral discharge culture
• Yield rate of microorganism 70%
• Antigen detection (S. pyogenes, S. pneumoniae, H.
influenzae)
• PCR (B. burgdorferi, N. gonorrhoeae)
• Leukocytosis, ESR, and CRP increase
Analisis Cairan Sinovial
Pemeriksaan Radiologis
• PLAIN X-RAY
-Expansion in joint space
-Edema around the joint
-Late structural findings
• Ultrasound
-Collection of fluid in the joint and aspiration
• CT
- Detection of associated osteomyelitis, joint fluid
• MRI
- Pyogenic sacroiliitis and spread of joint infection to
surrounding structures
Diagnosis Banding
• Rheumatic fever
• Acute juvenile arthritis
• RA, gout, reactive arthritis
• Viral arthritis
• Fungal arthritis
• Tuberculous arthritis
• Osteomyelitis
• Cellulitis
• Bleeding into the joint (hemarthrosis)
Tatalaksana
• <5 year-old: 2nd and 3rd generation cephalosporins
• >5 year-old and adults: cefazolin, 2nd gen. cephalosporins
• S. aureus→cefazolin/vancomycin
• Adults: ciprofloxacin+rifampin
• N. gonorrhoeae→cefriaxone,
• Gram-negative bacilli→3rd gen. cephalosporin+ aminoglycoside

• Gram-positive
– Streptococcus, methicillin-sensitive staphylococcus
• Cefazolin 3x2 gram, Sulbactam/ampicillin 4x2 gram
– Meticillin-resistant staphylococcus
• Vancomycin 2x1 gram
• Gram-negative
– Ceftriaxone 1x2 gram
Tatalaksana

• Parenteral tx: 5-7 hari dilanjutkan oral tx (2-4


minggu)
• Gram-negative bacilli and S. aureus→ 3 minggu
• Needle aspiration and irrigation → Septic arthritis
needs intervention (emergency) !
• Hip joint septic arthritis →surgical drainage
(Arthritis may disrupt the blood supply of the hip
joint)
49. Pemeriksaan Radiologis Fraktur
Wajah
• Pada kasus fraktur wajah (dalam kasus ini, os
nasal dan fraktur blow out), dapat dilakukan
pemeriksaan water’s atau CT-scan.
• Pemeriksaan X-rays, mis: Water’s, jarang dipakai
lagi dalam menentukan trauma wajah.
– Pada fraktur dinding orbita inferior dan medial, dapat
terlihat gambaran cairan pada sinus maksilaris, serta
ethmoidalis air cell.
– Gambaran emfisema orbital black eyebrow sign
– Tear drop sign herniasi jaringan lemak orbita
• Herniasi Jaringan

• Cairan dalam
sinus maksilaris
• Rontgen kepala tampak depan memperlihatkan tanda alis mata hitam
pada mata kiri &tanda panah panjang-. tap dari sinus maksilaris
memperlihatkan irregularitas ringan dibandingkan mata kanan
namunfraktur tidak tampak jelas. rea lucent di sebelah lateral
memperlihatkan udara ekstrakranial di fossa temporaldan
infratemporal
Fraktur nasal
• Kiri: water’s position
• Kanan: CT-Scan
• CT-Scan modalitas pilihan.
– Ideal thin slice volumetric scanning with 3-
plane orthogonal reconstructions melihat
struktur tulang dan jaringan lunak dengan jelas
• Evaluasi lokasi dan luas fraktur
• Perdarahan intraorbital
• Jejas secara global
• Extraocular muscle entrapment
• Prolaps jaringan lemak orbita
CT scan potongan koronal pada pasien anak
anak menunjukkan soft tissue yang
terjepit dan distorsimuskulus rektus inferior
pada fraktur tipe trapdoor pada medial dasar
orbita

CT scan pasien dewasa dengan >50% fraktur


tulang dasar orbita dan herniasi soft tissue
Pemeriksaan Penunjang Trauma Wajah
50. Tumor Kelenjar Liur
• Bervariasi dari lokasi, asal, dan potensi
malignasi.
• Rasio terjadinya malignansi proporsional
terhadap ukuran kelenjar
– kelenjar parotis cenderung mengalami perubahan
neoplastik jinak
– kelenjar submandibula 50:50
– kelenjar sublingual dan aksesorius kebanyakan
ganas.
1. Kelenjar parotis
2. Kelenjar submandibula
3. Kelenjar sublingual
Klasifikasi
• Benign • Malignant
– Epithelial – mucoepidermoid carcinoma: lesi
• Pleiomorphic adenoma, paling malignan tersering
sering (50% tumor kelenjar parotis) – adenoid cystic carcinoma
• Warthin tumor, hanya ditemukan – myoepithelioma
pada kelenjar parotis, usia lanjut, – adenocarcinoma (not otherwise
biasanya laki-laki, bilateral pada specified)
10-15% kasus
– acinic cell carcinoma of salivary glands
• Papiloma intraduktal kelenjar liur
– squamous cell carcinoma of salivary
• Oncocytoma kelenjar liur glands
• Myoepithelioma, subtipe dari – malignant mixed tumours of the
pleiomorphic adenoma, dapat juga salivary glands
berasal dari payudara atau bronkus
– carcinoma ex pleomorphic adenoma
– Non-epithelial – carcinosarcoma (true mixed tumour
• Hemangioma, limfangioma, lipoma of the salivary glands)
– metastasising pleomorphic adenoma
•  CT-Scan:
Pleiomorphic adenoma

• CT-Scan:
Mucoepidermoid
carcinoma
51.51Osteomielitis
52. Luka Bakar
52
• Luas Luka Bakar:
• Dada : 9%
18 %
• Perut : 9%
53. Urolithiasis
Nyeri Alih
54. Fibrocystic Disease
• Benjolan ini harus dibedakan dengan
keganasan
• Penyakit fibrokistik pada umumnya terjadi
pada wanita berusia 25-50 tahun (>50%).
• Kelainan fibrokistik pada payudara adalah
kondisi yang ditandai penambahan jaringan
fibrous dan glandular.
Gejala dan Tanda
• biasanya multipel, keras, adanya kista, fibrosis,
benjolan konsistensi lunak, terdapat penebalan,
dan rasa nyeri.
• nyeri payudara siklik berkaitan dengan adanya
perubahan hormon estrogen dan progesteron.
• Biasanya payudara teraba lebih keras dan
benjolan pada payudara membesar sesaat
sebelum menstruasi
– menghilang seminggu setelah menstruasi selesai.
• Benjolan biasanya menghilang setelah wanita
memasuki fase menopause.
Diagnosis
• Evaluasi pada wanita dengan penyakit fibrokistik harus
dilakukan dengan seksama untuk membedakannya
dengan keganasan.
• Apabila melalui pemeriksaan fisik didapatkan benjolan
difus (tidak memiliki batas jelas), terutama berada di
bagian atas-luar payudara tanpa ada benjolan yang
dominan, maka diperlukan pemeriksaan USG,
mammogram dan pemeriksaan ulangan setelah
periode menstruasi berikutnya.
• Apabila keluar cairan dari puting, baik bening, cair, atau
kehijauan, sebaiknya diperiksakan tes hemoccult untuk
pemeriksaan sel keganasan.
• USG:
– Multiple cysts
– Well circumscribed
thins walls
– Increased fibrous
stroma
• Mammogram
– Gambaran
kista dengan
penambahan
jaringan
fibrosa.
The Breast Lump
55. Hernia
Tipe Hernia Definisi
Reponible Kantong hernia dapat dimasukan kembali ke dalam rongga
peritoneum secara manual atau spontan
Irreponible Kantong hernia tidak adapat masuk kembali ke rongga peritoneum

Inkarserata Obstruksi dari pasase usus halus yang terdapat di dalam kantong
hernia
Strangulata Obstruksi dari pasase usus dan obstruksi vaskular dari kantong
hernia  tanda-tanda iskemik usus: bengkak, nyeri, merah,
demam
Hernia Inkarserata dengan Ileus
Kanalis inguinalis
Kanalis inguinalis dibatasi:
• Kraniolateral : oleh anulus inguinalis
internus yang merupakan bagian
terbuka dari fasia transversalis dan
aponeurosis m.transversus abdominis.
• Medial bawah : di atas tuberkulum
pubikum, kanal ini dibatasi oleh anulus
inguinalis eksternus, bagian terbuka
dari aponeurosis m.oblikus eksternus.
• Atap: aponeurosis m.obliqus eksternus
• Dasar: ligamentum inguinale

Kanal berisi tali sperma pada lelaki, dan


ligamentum rotundum pada perempuan
Hernia Inguinalis Direk vs Indirek
Hernia Inguinalis Indirek/ Lateralis
• Kantung dari hernia inguinalis indirek berjalan melalui
anulus inguinalis profunda menuju ke skrotum.
• Pada bayi dan anak, hernia lateralis disebabkan oleh
kelainan bawaan berupa tidak menutupnya prosesus
vaginalis peritoneum sebagai akibat proses penurunan
testis ke skrotum.
• Paling sering penyebabnya adalah masalah kongenital.
• Lebih sering daripada hernia direk. Lebih banyak pada
pria daripada wanita.
• PF: Pasien diminta mengedan atau batuk, jari telunjuk
pemeriksa di annulus inguinalis eksternus. Tonjolan
dirasakan menyentuh ujung jari.
• Palpate the cord
structures in male or
the round ligament in
female
• palpable thickening of
the cord (or ligament of
the ovary), termed silk
glove sign suggestive
presence of hernia sac
Hernia Inguinalis Direk/ Medialis
• Isi hernia menonjol langsung ke depan melalui segitiga
Hasselbach.
• Dasar segitiga hasselbach dibentuk oleh fasia
transversal yang diperkuat oleh serat aponeurosis
m.transversus abdominis yang kadang-kadang tidak
sempurna sehingga daerah ini potensial untuk menjadi
lemah.
• Tidak keluar melalui kanalis inguinalis dan tidak ke
skrotum, umumnya tidak disertai strangulasi karena
cincin hernia longgar.
• Disebabkan peninggian tekanan intraabdomen kronik
dan kelemahan otot dinding di trigoum Hasselbach.
Oleh karena itu, hernia ini umumnya terjadi bilateral,
khususnya pada lelaki tua.
Indirek/ HIL Direk/ HIM

Usia pasien Usia berapapun, terutama Lebih tua


muda
Penyebab Dapat kongenital Didapat
Bilateral 20 % 50 %
Penonjolan saat batuk Oblik Lurus

Muncul saat berdiri Tidak segera mencapai Mencapai ukuran terbesar


ukuran terbesarnya dengan segera

Reduksi saat berbaring Dapat tidak tereduksi Tereduksi segera


segera
Penurunan ke skrotum Sering Jarang

Oklusi cincin internus Terkontrol Tidak terkontrol

Leher kantong Sempit Lebar


Strangulasi Tidak jarang Tidak biasa
Hubungan dengan Lateral Medial
pembuluh darah
epigastric inferior
56. Hemangioma
• A benign skin lesion Classification
consisting of dense, • Strawberry
usually elevated masses (capillary)Hemangioma
of dilated blood vessels. • Cavernous (Deep)
Hemangioma
• Compound
Hemangioma
Histologi
• True neoplasms • Mast cells abundant
– Proliferasi endothelial (40x normal)
• Consistency in histology – Mensekresi heparin
despite depth – Menginduksi migrasi dari
– Proliferating lobules of sel endotelial
endothelial cells • Multilaminated
basement membrane
Penampakan Klinis
Berbeda berdasarkan: • Strawberry (capillary)
• Stage Hemangioma
• Ukuran – Bintik merah yang terus
bertambah ukuran dan
• Lokasi ketebalannya
• Kedalaman – Biasanya terdapat
unilateral, kelopak mata
atau alis bagian
superonasal
– Memucat bila ditekan
– Terkadang mengalami
ulserasi
• Cavernous (Deep) • Compound
Hemangioma Hemangioma
– deeply situated red-blue – contains both superficial
spongy mass of tissue and deep parts
filled with blood found – these are often the
– Pertumbuhan cepat largest and the most
pada 6 bulan pertama spreading
– Terdiri dari elemen – Characteristics combine
vaskular yang lebih besar capillary and deep
dan lebih matur hemangioma
Natural Progression
• Tanda awal
– “Herald” macular patch
with surrounding pale
halo
– Seen shortly after birth
• Initial growth
– Pertumbuhan cepat
selama 4-8 bulan
– May become deeper
– New feeding and
draining vessels form
• Growth plateau • Typical involution
– 6-12 months breakdown
– Well circumscribed, bright – By 5 years, 50% involuted
red and tense – By 7 years, 75% involuted
• Involution – By 9 years, 90% involuted
– Can begin as early as 6
months • Oral tumors regress less
– Color fades, gray-white than elsewhere
areas appear
– Gradual decrease in • Size unrelated to
thickness and volume regression
– Atrophic wrinkled pale skin • Best results when
results involuted by age 4
Types of ARMD
57. AGE RELATED • Early stage
• Late stage
MACULAR – Non-exudative (Dry ARMD)
• Most common (90%)
DEGENERATION • Advanced disease: Geographic
atrophy
• Definition: – Exudative (Wet ARMD)
• Neo-vascularisation
– A chronic degenerative eye • Causes more devastating and
disease of unknown sudden vision affects
pathogenesis that affect macula • Risk Factor
which responsible to the central – Aging
vision – Smoking
– Also called as age related – Obesity and inactivity
maculopathy (ARM) – Hypertension
– Was referred as senile macular – Hereditary/genetic
degeneration – Race: Fair skin/blue eyes
– thought to be due to destruction – Family history
– Female
of the fatty acids in the rods and
– High-fat diet / High cholesterol
cones of the eyes
MACULA: ANATOMY
MACULA

Foveola
Fovea

Umbo

Para-foveal zone

Peri-foveal zone
• Macula
• Diameter 5 mm
• 4 mm temporal, 0.8 inferior to optic disc
• Fovea
• Depression of ~1 disc diameter (1.5 mm) at centre of macula
• Foveola
• Central point of fovea
• 0.35 mm in diameter
• Thinnest part of retina
• Cones only Foveola
RPE • Anatomy
High levels of visual acuity

Choroid
ANATOMY OF RETINA

The retinal pigment epithelium (RPE) is a single layer of hexagonally


shaped cells & attached to the photoreceptor layer.
Bruch’s membrane
• Bruch’s membrane separates the RPE from vascular choroid. Functions:
• Maintain the photoreceptors
• Function of Bruch’s membrane is to provide support to the retina. • Absorption of stray light
• Choroid capillaries are a layer of fine blood vessels that nourishes • Formation of the outer blood retinal barrier
the retina and provides O 2. • Phagocytosis and regeneration of visual pigment
Pathophysiology

• Bruch membrane (which separates the choroid from the RPE/retina) become less
permeable
– Blocks nutrition from RPE, prevent waste product from retina escaping
• The quality of retina deteriorate (dry armd)
• New blood vessel are stimulated into retina to clear away the waste products (wet
armd)  These new blood vessels leak fluid and bleed, further impairing the function of
the retina.
Damage to overlying
Age-related Interferes with Causing deposition of
RPE/photoreceptors
thickening of Bruch’s photoreceptor/RPE metabolites /
and underlying
membrane metabolism formation of drusen
choriocapillaris

Drusen
Pathophysiology
• Drusen (colloid bodies)
• Earliest clinical sign
• Lipid or collagen rich deposits (waste)
• Lie between Bruch’s membrane and RPE
• Further disruption of RPE/photoreceptor metabolism
• Cause variable amount of depigmentation and eventually atrophy of
overlying RPE
• Drusen
• Can become calcified (glistening appearance)
• Can become confluent – representing widespread RPE abnormality
• Increase risk of vision loss!
• Can be inherited as a dominant trait
• Hard Drusen
• No progression / consequence
Pathophysiology
• Hard Drusen
• Small localised collection of
hyaline material within or on
Bruch’s membrane
Hard Drusen
• Sharp, well demarcated
boundaries
• Soft Drusen
• Involve overlying focal RPE
detachment
• Poorly demarcated
boundaries
• Larger/commonly become
confluent

Soft Drusen
Early stage ARMD
SIGN
• Drusen
– Discrete yellow spot at macula
– The accumulation occurs as bruch's membrane becomes
thicker
• prevents the free flow of materials to and from photoreceptors
layer.
– Also, the retinal pigment cells accumulate lipofuscin.
• This pigment will also slow down the passage of chemicals to
and from the retina.
SYMPTOM
• Patients with early and intermediate AMD can have
unimpaired visual acuity (VA) but may report
difficulty with activities performed at night and
under low illumination (eg, driving, reading at night)
due to degeneration of rod photoreceptors (earlier
than cones)
• Usually has normal vision
• Difficult driving, recognizing dimly
road sign
– Loss of rod photoreceptors
Late stage: DRY ARMD
• Slowly progressive atrophy of photoreceptor, RPE
(retinal pigment epithelium ), and
choriocappilaries
• Tissue has thinned and lost pigment
• Also known as atrophic AMD,
nonexudatives AMD,
nonvascular AMD
• Progress over month, years
• Bilateral
– Severity and progress may
different between BE
• SIGN
– Usually assoc with hard drusen
• Small, round, discrete, yellow white
spot asocc with focal disfunction of
RPE

– Atrophy of RPE
Dry ARMD

– Enlargement of atrophic area,


pre-existing drusen appear,
choroidal vessel visible 
geographic atrophy

Geographic atrophy
• SYMPTOM
– Slow and progressive loss central vision
• Called central scotoma
– Vision distorted
• Called metamhorphopsia
• Drusen has expand and increase in no.
Late stage: Wet ARMD
• New blood vessel growth
underneath the retina

• body's misguided way of


attempting to create a new
network of blood vessels
– to supply more nutrients and
oxygen to the retina.

• Called choroidal
neovascularization (CNV)
– leak fluid under the macula
– then form scar tissue leading to
central vision loss.

• Also known as exudatives AMD,


neovascular AMD
Sign
• Soft drusen appear
– Larger and have indistinct margin
– May slowly enlarged and coalesce to form solid
drusenoid detachment of RPE

• area of the macula is elevated by subretinal fluid


or blood, often associated clumps of exudates

Soft drusen in wet ARMD Wet ARMD or neovascular ARMD


• Symptom

– Profound central vision impairment


• Sudden decrease (weeks)
– Vision distorted
Complications of ARMD
1. Decreased contrast sensitivity
• It occurs at early phase of onset.
• The macular at this stage has discrete yellow spots or drusen.
• The hyperpigmentation of RPE can decreased contrast sensitivity
of the eye.
2. Decreased visual acuity
• Common in late stage.
• It is due to slowly progressive atrophy of photoreceptors, RPE and
choriocapillaries.
• RPE detachment can occur.
• The gradual vision impairment occurs gradually over months or years.
• Normally both eye is affected but asymmetry
3. Metamorphopsia
• It occurs due to thickened Bruch membrane of the eye.
• It may cause unilateral metamorphosia and lead to
impairment of central vision.

Patient complains of all the object seen smaller than actual size. (micropsia)
4. Central scotoma
– It occurs when the
foveal area is affected.
– The scotoma, or
central blind spot, can
be due to geographic
atrophy or to the
damage of
photoreceptor cells
from choroidal
neovascularization
(leaking blood
vessels).
Patient complaints of difficult to recognize the face
Clinical manifestations of age-related macular degeneration
Phase Clinical manifestation Associated visual defect

Early Focal drusen Good visual function


stage Irregular pigmentations of the Abnormal dark adaptation
retinal pigment epithelium Reading problem in dark room
Blue-yellow defect
Driving car at night is impaired

Late Detachment of the retinal pigment Decreased visual acuity


stage epithelium Metamorphopsia
Rip in the retinal pigment Central scotoma
epithelium
Choroidal neovascularization
(CNV)
Disciform scar
Geographic atrophy of the RPE
Ocular Examination
• Visual acuity
– Pinhole visual acuity test
• Visual field
• Contrast sensitivity (can be – These include:
measured with the use of a contrast • Facial Amsler
sensitivity chart or neutral density
filters) • Amsler grid
– loss of peak contrast sensitivity • Goldmann perimetry
with increasing drusen severity
• Automated Perimetry
– Patient with ARMD usually
demonstrates profound loss of – No one type of visual field is
acuity on contrast sensitivity test. good for all situations.
• Pupillary responses • All Fundus Related
– To differentiate the central scotoma Procedures
due to optic nerve disease or
macular disease – Fundus Biomicroscopy
• Color Vision – Fundus photography
– Most of the ARMD patient suffered – Opthalmoscopy
yellow-blue defect. – Fundus Fluorescein
– But patient must be differentiate angiography
with other macular disease such as – Optical coherence tomography
diabetic retinopathy. (OCT)
Amsler Grid
• Purpose:
– It can give useful
information regarding
central scotoma, areas of
missing, blurred, or
distorted lines.
– It is sensitive to small
scotoma within central 10°
of visual field.
– The test is also useful for
differentiating neuro-
ophthalmic and macular
disease.

Patient experienced deep dark spot at the center of the Amsler Grid
• Instruction:
1. Hold the chart at a reading distance
of 30 cm; adequate and even lighting
is important.
2. You should wear your fully prescribed
spectacles and for elderly, their
reading glasses, during the test.
3. Cover the left eye, and use your right
eye to focus on the center dot.
4. If patient difficult to see the white dot
at the center, ask them to imagine the
intersect of the two line at the center.
5. Ask patient: Do you notice any wavy, It is a 10 x 10 cm square grid formed
broken or distorted lines or blurred or by multiple white lines on a black
missing areas of vision within the background and with a white dot at
chart? the center.
6. Repeated the above examining on
your left eye.
Fundus Related Examinations
• Purpose:
– To see fundus and macula for both eyes.
• Clinical findings:
Clinical features Signs

Hard drusen Small, round, discrete, yellow-white lesions, and usually located at
(nodular) the macula.

Soft drusen Larger lesions with ill-defined edges associated with exudative
(Exudative) ARMD.

Non-exudative Hyperplastic changes of RPE associated with slowly progressive


ARMD degeneration of the overlying neuroretina and underlying
choriocapillaries.
Exudative ARMD Present with elevated macular area with subretinal fluid or blood
associated with clumps of exudates. If the lesion recover, it will leave
with subretinal ‘disciform’ scarring.
Basic Treatment
• There is NO CURE
• T(x) : slow the progression of disease & prevent the vision loss
• Wet AMD :
– a lot of treatments are available
– mainly for stopping the growth of new blood vessels
– if delayed t(x), scar formation
– Ex: anti-vascular endothelial growth factor (anti-VEGF), Photodynamic Therapy (PDT, a laser
treatment), Anti-angiogenic drug (Intravitreal steroid (triamcinolone acetonide)), Surgery
– Age-Related Eye Disease Study (AREDS) showed that for certain individuals, antioxidants can
decrease the risk of vision loss in patients with intermediate to advanced dry age-related macular
degeneration, such as
– 500 g of vitamin C
– 400 IU of Vitamin E
– 15 mg of beta-carotene
– 80 mg of Zinc oxide
– 2 mg of Copper
• Dry AMD:
– no treatment available
– does not involve new blood vessels growing
– Low vision aids may be helpful
58. Blepharitis
• Terdiri dari blefaritis anterior dan • Tx blefaritis seboroik: perbaikan
hygiene mata dengan cara:
posterior – kompres hangat untuk evakuasi dan
melancarkan sekresi kelenjar
• Blefaritis anterior: radang – tepi palpebra dicuci + digosok perlahan
bilateral kronik di tepi palpebra dengan shampoo bayi untuk
membersihkan skuama
– Blefaritis stafilokokus: sisik – pemberian salep antibiotik eritromisin
kering, palpebra merah, (bisa digunakan kombinasi antibioti-KS)

terdapat ulkus-ulkus kecil


• Blefaritis posterior: peradangan
sepanjang tepi palpebra, bulu palpebra akibat difungsi kelenjar
mata cenderung rontok  meibom bersifat kronik dan bilateral
antibiotik stafilokokus • Kolonisasi stafilokokus
• Terdapat peradangan muara meibom,
– Blefaritis seboroik: sisik sumbatan muara oleh sekret kental
berminyak, tidak terjadi
ulserasi, tepi palpebra tidak
begitu merah
– Blefaritis tipe campuran
Blepharitis
Definisi Gejala Tatalaksana

Blefaritis superfisial Infeksi kelopak superfisial yang Terdapat krusta dan bila Salep antibiotik
diakibatkan Staphylococcus menahun disertai dengan (sulfasetamid dan
meibomianitis sulfisoksazol), pengeluaran
pus

Hordeolum Peradangan supuratif kelenjar Kelopak bengkak, sakit, rasa Kompres hangat, drainase
kelopak mata mengganjal, merah, nyeri bila nanah, antibiotik topikal
ditekan

Blefaritis Blefaritis diseratai skuama atau Etiologi: kelainan metabolik Membersihkan tepi kelopak
skuamosa/seboroik krusta pada pangkal bulu mata atau jamur. Gejala: panas, dengan sampo bayi, salep
yang bila dikupas tidak terjadi luka gatal, sisik halus dan mata, dan topikal steroid
pada kulit, berjalan bersamaan penebalan margo palpebra
dengan dermatitis sebore disertai madarosis

Meibomianitis Infeksi pada kelenjar meibom Tanda peradangan lokal pada Kompres hangat, penekanan
(blefaritis posterior) kelenjar tersebut dan pengeluaran pus,
antibiotik topikal
Blefaritis Angularis Infeksi Staphyllococcus pada tepi Gangguan pada fungsi Dengan sulfa, tetrasiklin,
kelopak di sudut kelopak atau pungtum lakrimal, rekuren, sengsulfat
kantus dapat menyumbat duktus
lakrimal sehingga mengganggu
fungsi lakrimalis

Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas


Medical Conditions
• Blepharoptosis
– abnormal low-lying upper eyelid margin with the eye in
primary gaze. Normally, the upper lid covers 1.5 mm of the
superior part of the cornea.
• Blepharospasme
– abnormal contraction of the eyelid muscles.
• Blepharochalasis
– a rare syndrome consisting of recurrent bouts of upper
eyelid edema associated with thinning, stretching, and fine
wrinkling of the involved skin.
– The lower eyelids are not commonly involved.
– These episodes often result in eyelid skin redundancy
59. Ectopia Lentis
a hereditary or acquired displacement Pathophysiology
of the lens from its normal position. • Disruption or dysfunction of the
• Completely dislocated  Luksasi zonular fibers of the lens,
• partially displaced  Subluksasi regardless of cause (trauma or
heritable condition).
Etiology • The degree of zonular
impairment determines the
• Acquired : trauma, pseudoexfoliation,
inflamation, hypermature cataract, degree of lens displacement.
high myopia, anterior uveal tumours.
• Familial ectopia lentis
• Aniridia
• Marfan syndrome
• Weill–Marchesani syndrome
• Homocystinuria

Bowling B. Kanski Cllinical of Opthalmology. 8 th edition. New York : Elsevier; 2016


Luksasi / Dislokasi Lensa
Ketika lensa mata berada secara Tanda dan gejala
komplit di luar dari fossa hyaloid, • Visual Loss
terbagi menjadi : • Skotoma
• Edema kornea
Internal • Inflamasi
• Di dalam bilik mata depan • Peningkatan IOP
• Suprakoroid • Perdarahan vitreous
• Intravitreus • Retinal detachment

Eksternal Tatalaksana
• Subconjungtiva • Refractive correction
• Completely loss • Operatif

Kuhn F, Pieramici DJ. Ocular Trauma : Principles and Practice. 11 th edition. New York : Thieme; 2002
Kuhn F, Pieramici DJ. Ocular Trauma : Principles and Practice. 11 th edition. New York : Thieme; 2002
60. Komplikasi Pascaoperasi Katarak
EARLY COMPLICATION LATE COMPLICATION
• Corneal edema (10%) • Posterior capsule
• Elevated IOP (2–8%) opacification (10–50% by
• Increased anterior 2 years)
inflammation (2–6%). • Cystoid macular edema
• Wound leak (1%) (1–12%)
• Iris prolapse (0.7%) • Retinal detachment
(0.7%)
• Endophthalmitis (0.1%)
• Corneal decompensation
• Chronic endophthalmitis
Acute postoperative endophthalmitis
• Komplikasi yg mengancam • Faktor risiko
penglihatan yg harus segera
diobati. – Pasien dengan blepharitis,
• Onset biasanya 1–7 hari setelah konjungtivitis, penyakit
op. nasolakrimal,
• Etiologi tersering Staphylococcus komorbid(diabetes), dan
epidermidis, Staphylococcus complicated surgery (PC rupture
aureus, & Streptococcus species. with vitreous loss, ACIOL,
• Gejala: prolonged surgery).
– a painful red eye;
– reduced visual acuity, usually • Diagnosis
within a few days of surgery
– pemeriksaan mikrobiologi dari
– a collection of white cells in the
anterior chamber (hypopyon). Anterior chamber tap dan biopsi
– posterior segment inflammation vitreous (dgn antibiotik
– lid swelling. intravitreus scr simultan utk
pengobatan)
Acute postoperative endophthalmitis
TATALAKSANA Pertimbangkan:

• Antibiotic intravitreus: vancomycin 1 • Moxifloxacin atau gatifloxacin oral


mg dlm 0.1 mL (gram positive (broad spectrum dan penetrasi
coverage) dikombinasikan dengan intraokular baik)
amikacin 0.4 mg dlm 0.1 mL atau • Antibiotik topikal (per jam):
ceftazidime 2 mg dlm 0.1 mL (gram- (moxifloxacin or gatifloxacin) atau
negative coverage). vancomycin DS (50 mg/mL), amikacin
• Ceftazidime bisa menimbulkan (20 mg/mL), atau ceftazidime (100
presipitasi dengan vankomisin shg spuit mg/mL)
harus dipisah • Corticosteroids topikal (cth
dexamethasone 0.1%/ jam), intravitreal
• Vitrectomy: jika tajam penglihatan
(dexamethasone 0.4 mg in 0.1 mL),
hanya berupa light perception atau
atau sistemic (prednisone PO 1
lebih buruk
minggu) untuk mengurangi inflamasi.

Oxford American Handbook of Ophthalmology


61. Ulkus Kornea
ULKUS KORNEA
• Gejala Subjektif
• Ulkus kornea adalah hilangnya – Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
sebagian permukaan kornea akibat – Sekret mukopurulen
kematian jaringan kornea – Merasa ada benda asing di mata
– Pandangan kabur
• ditandai dengan adanya infiltrat – Mata berair
– Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
supuratif disertai defek kornea
– Silau
bergaung, dan diskontinuitas – Nyeri
jaringan kornea yang dapat terjadi – nfiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit
dari epitel sampai stroma. nyeri, jika ulkus terdapat pada perifer kornea
dan tidak disertai dengan robekan lapisan
epitel kornea.
• Etiologi: Infeksi, bahan kimia,
trauma, pajanan, radiasi, sindrom • Gejala Objektif
– Injeksi siliar
sjorgen, defisiensi vit.A, obat-
– Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan
obatan, reaksi hipersensitivitas, adanya infiltrat
neurotropik – Hipopion
ULKUS KORNEA
• Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2 Penatalaksanaan :
– harus segera ditangani oleh spesialis
: mata
1. Ulkus kornea sentral – Pengobatan tergantung penyebabnya,
diberikan obat tetes mata yang
mengandung antibiotik, anti virus, anti
– Ulkus kornea bakterialis jamur,
– Ulkus kornea fungi – sikloplegik (to prevent formation of
adhesions between the iris and the lens
– Ulkus kornea virus or cornea; relax any ciliary muscle
spasm that can cause a deep aching
– Ulkus kornea acanthamoeba pain and photophobia)
– Mengurangi reaksi peradangan dengan
2.Ulkus kornea perifer steroid (kontroversial, terutama pada
kasus dgn penyebab virus)
– Ulkus marginal – Berikan analgetik oral jika nyeri tidak
berkurang
– Ulkus mooren (ulkus – Jangan menggosok-gosok mata yang
serpinginosa kronik/ulkus meradang
– Mencegah penyebaran infeksi dengan
roden) mencuci tangan
– Ulkus cincin (ring ulcer)
An inflammatory or more seriously, infective condition of the cornea
involving disruption of its epithelial layer with involvement of the
corneal stroma
Causative Agent Feature Treatment
Fungal Fusarium & candida species, conjungtival Natamycin,
injection, satellite lesion, stromal infiltration, amphotericin B,
hypopion, anterior chamber reaction Azole derivatives,
Flucytosine 1%
Protozoa infection associated with contact lens users swimming in
(Acanthamoeba) pools
Viral HSV is the most common cause, Dendritic Acyclovir
lesion, decrease visual accuity
Staphylococcus Rapid corneal destruction; 24-48 hour, stromal Tobramycin/cefazol
(marginal ulcer) abscess formation, corneal edema, anterior in eye drops,
segment inflammation. Centered corneal ulcers. quinolones
Pseudomonas
Traumatic events, contact lens, structural (moxifloxacin)
Streptococcus malposition
connective tissue RA, Sjögren syndrome, Mooren ulcer, or a
disease systemic vasculitic disorder (SLE)
62. Astenopia
• Asthenopia/eyestrain (fatigue of eyes) is caused
mainly due to prolonged near work,leading to
fatigue of eyes.

• The strain thrown on eyes is similar to that


imposed on leg muscles in a long forced march.

• And if our physical condition or environmental


factors are not conducive to rapid recovery,
symptoms of distress are produced

Smitha V. Asthenopia. Kerala journal of ophtalmology. Vol. XXIV, No.1, Mar. 2012
• Asthenopia can be divided into two types:
– Refractive
• Caused by uncorrected refractive errors (anisometropia, myopia, hypermetropia,
astigmatism)
• which is due to strain on ciliary muscles.
• Berkurang dengan penggunaan kacamata
– Muscular
• Caused by neuromuscular anomalies or weakness of extra ocular muscles.
• It is commonly seen in squints and nerve palsies.
• Terkait dengan kelainan akomodasi dan ketidakcukupan konvergensi, gejala akan
berkurang dengan latihan konvergensi dan akomodasi

Abdi S. Asthenopia in schoolchildren. 2007. Karolinska Institut


• Etiology :

1. Uncorrected refractive errors:


• Mainly seen with hypermetropia & astigmatism.
• In hyperopes accomodation is already compromised & strain is put on ciliary
muscles during prolonged near work. If the refractive error goes uncorrected
we can have:
– a) Temporary failure of ciliary muscle leading toblurring of vision.
– b) Excessive spasm of accomodation, leading to artificial myopia.
• In astigmatism, continuous strain is thrown on the accomodation in the
attempt to see clearly.
2. Uncorrected presbyopia
3. Prolonged near work in people without refractive error
4. Inadequate illumination
5. Muscular imbanlance
6. Retinal problems
7. Using Cathod ray monitors, both for television & computer screens
with a refresh rate <70 Hz,cause strain due flickering images. That is
where LCD monitors have an advantage
• Symptoms range from mild
discomfort to severe headaches.
They can be divided as:
Symptoms
• External
– Caused by manually holding open
the eyelids. Blinks interfere with
acquiring visual information while
reading & are thus reduced during
use of computers. This leads to,
• Tired, dry eyes
– Watering
– Burning sensation
– Redness, itching
• Internal
– Induced by accomodation &
convergence
– Frequent styes
– Pain in & around the eyes
– Headache
– Neck pain
– Twitching around the eye(Myokymia)
Computer Vision Syndrome
• Eyestrain,tired eyes, irritation,
burning sensations, redness of
eyes, dry eyes, blurred, and
double vision associated with
operating a computer and looking
at a computer monitor in a
temporal association

Bali J, Neeraj N, Bali RT. Computer Vision Syndrome: A Review. Journal of Clinical Ophthalmology
and Research - Jan-Apr 2014. http://www.jcor.in on Thursday, July 28, 2016
Treatment and Prevention
• Limiting the computer and screen time the 20/20/20 rule
– After working on a computer for 20min, gaze into the distance in
excess of 20 feet for at least 20 s
• Ergonomic position
– One arm distance or 40 inches away with a downward gaze of 14° or
more placing the monitor so that the top line of screen is at or below
eye level
– Preferred viewing distance  20-40 inches and the letter size may be
increased for smaller monitors
– The monitor should be kept directly in front of the user’s chair
• Single-vision lenses with a focal length designed for computer work
are to be preferred over bifocals
• The lighting intensity should be half of normal room illumination when computers are
used
– The brightness of the monitor should be turned up to the levels of the surroundings.
– In general, lighting levels between 200 and 700 lux (approximately 20-70 foot
candles)
• Monitors or screens should be free of dust
– Dust can affect clarity of screen and cause glare
Penyakit Khas

Astenopia akomodasi Kelelahan mata akibat aktivitas mata fokus pada benda
yang dekat dalam jangka waktu lama
Astenopia anisometropi Kondisi kedua mata memiliki perbedaan kekuatan refraksi
biasanya lebih dari 2 dioptri. Hal ini menyebabkan diplopia
dan astenopia
Astenopia anesikonia Perbedaan besar gambar pada retina masing-masing
mata. Ketika hal ini menjadi bermakna maka dapat terjadi
diplopia, disorientasi, astenopia, sakit kepala, pusing dan
kelainan keseimbangan.
Astenopia miopia Cahaya yg masuk ke mata difokuskan di depan retina 
kesulitan melihat jauh  membutuhkan kacamata
minus/konkaf
Astenopia hipermetropia Cahaya yg masuk ke mata difokuskan di belakang retina
 kesulitan melihat dekat  membutuhkan kacamata
plus/konveks
63. Keratitis/ulkus Fungal
• Gejala  nyeri biasanya dirasakan diawal, namun lama-lama
berkurang krn saraf kornea mulai rusak.
• Pemeriksaan oftalmologi :
– Grayish-white corneal infiltrate with a rough, dry texture and feathery
borders; infiltrat berada di dalam lapisan stroma
– Lesi satelit, hipopion, plak/presipitat endotelilal
– Bisa juga ditemukan epitel yang intak atau sedikit meninggi di atas
infiltrat stroma
• Faktor risiko meliputi :
– Trauma mata (terutama akibat tumbuhan)
– Terapi steroid topikal jangka panjang
– Preexisting ocular or systemic immunosuppressive diseases

Sumber: American Optometric Association. Fungal Keratitis. / Vaughan Oftalmologi Umum 1995.
Keratitis/ ulkus Fungal
• Meskipun memiliki karakteristik, terkadang sulit membedakan
keratitis fungal dengan bakteri.
– Namun, infeksi jamur biasanya localized, dengan “button appearance”
yaitu infiltrat stroma yang meluas dengan ulserasi epitel relatif kecil.
• Pd kondisi demikian sebaiknya diberikan terapi antibiotik
sampai keratitis fungal ditegakkan (mis. dgn kultur, corneal
tissue biopsy).

Stromal infiltrate
Ulkus kornea Jamur

Lesi satelit (panah merah) pada


keratitis jamur

Keratitis fungi bersifat indolen, dengan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion,
peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi-lesi satelit (umumnya
infiltrat di tempat-tempat yang jauh dari daerah utama ulserasi).

Vaughan DG, dkk. Oftalmologi Umum Edisi 14. 1996.


• Ulkus kornea pneumokokal Ulkus kornea
– Streptokokus pneumonia
– Muncul 24-48 jam setelah
inokulasi pd kornea yg abrasi
Bakterial
– Khas sebagai ulkus yang • Ulkus kornea stafilokokus
menjalar dari tepi ke arah – Ulkus sering indolen, mungkin disertai
tengah kornea (serpinginous). sedikit infiltrat dan hipopion
– Ulkus seringkali superfisial
– Ulkus bewarna kuning keabu-
– Obat: vankomisin
abuan berbentuk cakram
dengan tepi ulkus yang • Ulkus kornea pseudomonas
– Pseudomonas aeruginosa
menggaung.
– Awalnya berupa infiltrat kelabu/ kuning di
– Ulkus cepat menjalar ke tempat yang retak
dalam dan menyebabkan – Terasa sangat nyeri
perforasi kornea, karena – Menyebar cepat ke segala arah krn adanya
eksotoksin yang dihasilkan enzim proteolitik dr organisme
oleh streptokok pneumonia. – Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna
hijau kebiruan
– Efek merambat  ulkus – Berhubungan dengan penggunaan soft
serpiginosa akut lens

– Obat: mofifloxacin, Obat: mofifloxacin, gatifloxacin,
siprofloksasin, tobramisin, gentamisin
gatifloxacin, cefazolin
An inflammatory or more seriously, infective condition of the cornea
involving disruption of its epithelial layer with involvement of the
corneal stroma
Causative Agent Feature Treatment
Fungal Fusarium & candida species, conjungtival Natamycin,
injection, satellite lesion, stromal infiltration, amphotericin B,
hypopion, anterior chamber reaction Azole derivatives,
Flucytosine 1%
Protozoa infection associated with contact lens users swimming in
(Acanthamoeba) pools
Viral HSV is the most common cause, Dendritic Acyclovir
lesion, decrease visual accuity
Staphylococcus Rapid corneal destruction; 24-48 hour, stromal Tobramycin/cefazol
(marginal ulcer) abscess formation, corneal edema, anterior in eye drops,
segment inflammation. Centered corneal ulcers. quinolones
Pseudomonas
Traumatic events, contact lens, structural (moxifloxacin)
Streptococcus malposition
connective tissue RA, Sjögren syndrome, Mooren ulcer, or a
disease systemic vasculitic disorder (SLE)
64. OKLUSI ARTERI RETINA
• Kelainan retina akibat sumbatan akut arteri retina
sentral yang ditandai dengan hilangnya penglihatan
mendadak.
• Predisposisi
– Emboli paling sering (hipertensi, aterosclerosis, penyakit
katup jantung, trombus pasca MCI, tindakan angiografi,
– Penyakit spasme pembuluh darah karena endotoksin
(keracunan alkohol, tembakau, timah hitam
– Trauma(frakturorbita)
– Koagulopati (kehamilan, oral kontrasepsi)
– Neuritis optik, arteritis, SLE

Kuliah SUB BAG. VITREORETINA


ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
Gejala Klinis :
• Visus hilang mendadak tanda nyeri
• Amaurosis Fugax (transient visual loss)
• Lebih sering laki-laki diatas 60thn
• Fase awal setelah obstruksi gambaran fundus
normal.
• Setelah 30 menit retina polusposterior pucat
kecuali di daerah foveola dimana RPE dan koroid
dapat terlihat  Cherry Red Spot
• Setelah 4-6 minggu : fundus normal kembali
kecuali arteri halus, dan berakhir papil atropi

Kuliah SUB BAG. VITREORETINA


ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
Kuliah SUB BAG. VITREORETINA
ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
Penatalaksanaan :
• Tx berkaitan dengan • Gradient perfusion
penyakit sistemik pressure :
• Untuk memperbaiki visus – Parasentesis sumbatan di
harus waspada sebab 90 bawah 1 jam 0,1 – 0,4cc
menit setelah sumbatan – Masase bola mata (dilatasi
kerusakan retina arteri retina)
ireversible. – ß blocker
– acetazolamide
• Prinsip “gradient – Streptokinase (fibrinolisis)
perfusion pressure”
(menurunkan TIO secara – Mixtur O2 95% dengan
CO2 5% (vasodilatasi)
mendadak sehingga
terjadi referfusi dengan
menggeser sumbatan)

Kuliah SUB BAG. VITREORETINA


ILMU P. MATA FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
OKLUSI VENA RETINA SENTRALIS (CENTRAL
RETINA VEIN OCCLUSION)
• Kelainan retina akibat • Predisposisi :
sumbatan akut vena – Usia diatas 50 thn
retina sentral yang – Hipertensi sistemik 61%
ditandai dengan – DM 7% -Kolestrolemia
penglihatan hilang – TIO meningkat
mendadak. – Periphlebitis (Sarcoidosis,
Behset disease)
– Sumbatan trombus vena
retina sentralis pada
daerah posterior lamina
cribrosa)
Gejala Klinis
1. Tipe Noniskemik : 2. Tipe Iskemik :
• FFA (Fundus Fluorescein • FFA area nonperfusi diatas
Angiography) area nonperfusi 10 disc
kecil 10 disc - Gejala lebih ringan.
• Vena dilatasi ringan dan • Vena dilatasi lebih nyata
sedikit berkelok • Perdarahan masif pada ke 4
• Perdarahan dot dan flame kuadran
shaped • Cotton wool spot
• dapat disertai dengan atau • Rubeosis iridis
tanpa edama papil • Marcus Gunn +
• Perdarahan vitreous
• Edama retina dan edama
makula
• Pemeriksaan : • Penatalaksanaan :
– FFA (Fundus Fluorescein • Memperbaiki
Angiography) underlying disease
– ERG
(Electroretinogram)
• Fotokoagulasi laser
– Tonometri • Vitrektomi
• Kortikosteroid belum
terbuti efektivitasnya
• Anti koagulasi sistemik
tidak direkomendasikan
Defini dan gejala

Oklusi arteri Penyumbataan arteri sentralis retina dapat disebabkan oleh radang arteri, thrombus dan
sentral emboli pada arteri, spsame pembuluh darah, akibat terlambatnya pengaliran darah, giant
retina cell arthritis, penyakit kolagen, kelainan hiperkoagulasi, sifilis dan trauma. Secara
oftalmoskopis, retina superficial mengalami pengeruhan kecuali di foveola yang
memperlihatkan bercak merah cherry(cherry red spot). Penglihatan kabur yang hilang
timbul tanpa disertai rasa sakit dan kemudian gelap menetap. Penurunan visus
mendadak biasanya disebabkan oleh emboli
Oklusi vena Kelainan retina akibat sumbatan akut vena retina sentral yang ditandai dengan
sentral penglihatan hilang mendadak.
retina Vena dilatasi dan berkelok, Perdarahan dot dan flame shaped , Perdarahan masif pada ke
4 kuadran , Cotton wool spot, dapat disertai dengan atau tanpa edema papil

Ablatio suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen retina (RIDE). Gejala:floaters,
retina photopsia/light flashes, penurunan tajam penglihatan, ada semacam tirai tipis berbentuk
parabola yang naik perlahan-lahan dari mulai bagian bawah hingga menutup

Perdarahan Perdarahan pada selaput vitreous sampai ke dalam vitreous. Gejala: penglihatan buram
vitreous tiba-tiba, peningkatan floaters,dan kilatan cahaya

Amaurosis Kehilangan penglihatan tiba-tiba secara transient/sementara tanpa adanya nyeri,


Fugax biasanya monokular, dan terkait penyakit kardiovaskular
65. Scleritis
• Sclera is a relatively avascular structure except for
some vessels that pass through the emissary
canals.
• The low vascularity of sclera can be explained by
the low metabolic demand of the tissue because
of the slow turnover rate of its collagen and cells.
• Scleritis occurs more commonly anterior to the
equator because of the more abundant anterior
vascular supply.
• The circulation overlying the sclera can be divided
into three vascular layers
Lalit Varma. Scleral Inflammations: An update. 2013
Lalit Varma. Scleral Inflammations: An update. 2013
Classification of Scleral inflmamations

Lalit Varma. Scleral Inflammations: An update. 2013


Scleritis
• Scleritis is a severe inflammation of the scleral
tissue.
• Characterized by edema and cellular infiltration
of the sclera and episclera.
• Scleritis affects women more often than men,
with a peak incidence in the fifth decade.
• It frequently starts in one eye and becomes
bilateral in more than half of the cases.
• Bilaterality is more commonly encountered in
scleritis associated with systemic rheumatic
disorders.
Lalit Varma. Scleral Inflammations: An update. 2013
Etiology
1. Idiopathic:
• These autoimmune reactions are usually idiopathic and mostly mediated by
type IV delayed type of hypersensitivity reaction.
2. Systemic rheumatic diseases or collagen vascular disorders:
• Half of patients with scleritis have evidence of an underlying systemic
disease.
• Rheumatoid arthritis is the most common systemic condition associated
with scleritis.
• Scleral inflammations in such systemic rheumatic disorders are mostly due
to vascular involvement which results from deposition of circulating
immune complexes in superfi cial and deeper episcleral vessels.
3. Infectious:
• Endogenous spread of microorganisms can give rise to scleral infections.
• Neurotropic viruses like Herpes viruses can invade the scleral nerves and
causes scleral infl ammation.
4. Surgery induced scleritis (SINS)
• rare but serious complication of ocular surgery
• SINS typically occurs after surgery as intense scleral infl ammation
associated with necrosis near the site of scleral incision.
Diagnosis of scleritis
• Symptoms • Signs
– Redness and pain  The – sine qua non of scleritis is
onset is usually gradual, the presence of scleral
extending over several edema and congestion of
– Ocular pain is severe and the deep episcleral plexus
typically dull and boring
(piercing) in nature,
exacerbated by eye
movement, and
occasionally may worsen at
night and waken the
patient from sleep.
– The pain often radiates to
the ear, scalp, face, temple
and jaw.
Nodular skleritis
Diffuse skleritis
Necrotizing scleritis with inflammation
• Painful and most severe type
• Complications - uveitis, keratitis, cataract and glaucoma
Progression

Avascular patches Scleral necrosis and Spread and coalescence


visibility of uvea of necrosis

Treatment
• Oral steroids
• Immunosuppressive agents (cyclophosphamide, azathioprine, cyclosporin)
• Combined intravenous steroids and cyclophosphamide if unresponsive
Applied anatomy of vascular coats
Normal Episcleritis Scleritis

• Radial superficial episcleral • Maximal congestion • Maximal congestion of


vessels of episcleral vessels deep vascular plexus
• Deep vascular plexus • Slight congestion of
adjacent to sclera episcleral vessels
Scleritis vs episcleritis
66. Konjungtivitis
Conjunctivitis is swelling (inflammation) or infection of
the membrane lining the eyelids (conjunctiva)

Pathology Etiology Feature Treatment


Bacterial staphylococci Acute onset of redness, grittiness, topical antibiotics
streptococci, burning sensation, usually bilateral Artificial tears
gonocci eyelids difficult to open on waking,
Corynebacter diffuse conjungtival injection,
ium strains mucopurulent discharge, Papillae
(+)
Viral Adenovirus Unilateral watery eye, redness, Days 3-5 of → worst, clear
herpes discomfort, photophobia, eyelid up in 7–14 days without
simplex virus edema & pre-auricular treatment
or varicella- lymphadenopathy, follicular Artificial tears →relieve
zoster virus conjungtivitis, pseudomembrane dryness and inflammation
(+/-) (swelling)
Antiviral →herpes simplex
virus or varicella-zoster
http://www.cdc.gov/conjunctivitis/about/treatment.html virus
Pathology Etiology Feature Treatment
Fungal Candida spp. can Not common, mostly occur in Topical antifungal
cause immunocompromised patient,
conjunctivitis after topical corticosteroid and
Blastomyces antibacterial therapy to an
dermatitidis inflamed eye
Sporothrix
schenckii
Vernal Allergy Chronic conjungtival bilateral Removal allergen
inflammation, associated atopic Topical antihistamine
family history, itching, Vasoconstrictors
photophobia, foreign body
sensation, blepharospasm,
cobblestone pappilae, Horner-
trantas dots
Inclusion Chlamydia several weeks/months of red, Doxycycline 100 mg PO
trachomatis irritable eye with mucopurulent bid for 21 days OR
sticky discharge, acute or Erythromycin 250 mg
subacute onset, ocular irritation, PO qid for 21 days
foreign body sensation, watering, Topical antibiotics
unilateral ,swollen lids,chemosis
,Follicles
Conjunctivitis

Papillae Follicles Purulent discharge

Redness Chemosis
67. Trichiasis
• Suatu kelainan dimana bulu mata
mengarah pada bola mata yang
akan menggosok kornea atau
konjungtiva
• Biasanya terjadi bersamaan
dengan penyakit lain seperti
pemfigoid, trauma kimia basa dan
trauma kelopak lainnya, blefaritis,
trauma kecelakaan, kontraksi
jaringan parut di konjungtiva dan
tarsus pada trakoma
• Gejala :
– Konjungtiva kemotik dan hiperemi,
keruh
– Erosis kornea, keratopati dan ulkus
– Fotofobia, lakrimasi dan terasa
seperti kelilipan
– blefarospasme
Trichiasis
• Tatalaksana:
– Yang utama: bedah • Tatalaksana bedah
– Lubrikan seperti artificial tears dan salep
untuk mengurasi iritasi akibat gesekan untuk trikiasis yg
– Atasi penyakit penyebab trikiasis, cth SSJ,
ocular cicatrical pemphigoid)
disebabkan krn
• Tatalaksana Bedah trikiasis kelainan anatomi:
segmental (fokal) – Entropion: dilakukan
– Epilasi: dengan forsep dilakukan tarsotomi
pencabutan beberapa silia yang salah
letak, dilakukan 2-3 kali. Biasanya dicoba – Posterior lamellar
untuk dilakukan epilasi terlebih dahulu. scarring: Grafting
Trikiasis bisa timbul kembali.
– Elektrolisis/ elektrokoagulasi, ES: nyeri
– Bedah beku (krioterapi): banyak
komplikasi
– Ablasi denga radiofrekuensi: sangat
efektif, cepat , mudah, bekas luka minimal
68. TRAUMA KIMIA MATA
• Merupakan trauma yang mengenai bola mata akibat terpaparnya bahan
kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur bola
mata tersebut
• Keadaan kedaruratan oftalmologi karena dapat menyebabkan cedera pada
mata, baik ringan, berat bahkan sampai kehilangan penglihatan
• Etiologi : 2 macam bahan yaitu yang bersifat asam (pH < 7) dan yang
bersifat basa (pH > 7,6)
• Pemeriksaan Penunjang :
 Kertas Lakmus : cek pH berkala
 Slit lamp : cek bag. Anterior mata dan lokasi luka
 Tonometri
 Funduskopi direk dan indirek

http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf
Klasifikasi Trauma Kimia

Derajat I Derajat II
• Prognosis baik. • Prognosa baik
• Terdapat erosi epitel kornea • Pada kornea terdapat kekeruhan
(kornea Jernih) yang ringan. kornea berkabut
• Tidak ada iskemia dan nekrosis dengan gambaran iris yang masih
kornea. ataupun konjungtiva terlihat
• Iskemia < 1/3 limbus
Klasifikasi Trauma Kimia

Derajat III Derajat IV


• Prognosis kurang • Prognosis buruk
• epitel kornea hilang total, stroma • Kekeruhan kornea yang opak,
berkabut dengan gambaran iris & pupil pupil tidak dapat dilihat
tidak jelas • Konjungtiva dan sclera pucat.
• Terdapat iskemia 1/3 sampai ½ limbus & • Iskemia > ½ limbus
nekrosis ringan kornea dan konjungtiva
TRAUMA KIMIA MATA
TRAUMA BASA LEBIH BERBAHAYA DIBANDINGKAN ASAM; gejala: epifora, blefarosasme, nyeri

Trauma Asam : Trauma Basa :


• Bahan asam mengenai mata maka • Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel
akan segera terjadi koagulasi protein dan terjadi proses safonifikasi, disertai
epitel kornea yang mengakibatkan dengan dehidrasi
kekeruhan pada kornea, sehingga bila • Basa akan menembus kornea, kamera
konsentrasi tidak tinggi maka tidak okuli anterior sampai retina dengan
akan bersifat destruktif cepat, sehingga berakhir dengan
• Biasanya kerusakan hanya pada kebutaan.
bagian superfisial saja • Pada trauma basa akan terjadi
• Bahan kimia bersifat asam : asam penghancuran jaringan kolagen kornea.
sulfat, air accu, asam sulfit, asam • Lebih sering menyebabkan glaukoma
hidrklorida, zat pemutih, asam • Bahan kimia bersifat basa: NaOH, CaOH,
asetat, asam nitrat, asam kromat, amoniak, Freon/bahan pendingin lemari
asam hidroflorida es, sabun, shampo, kapur gamping,
semen, tiner, lem, cairan pembersih
dalam rumah tangga, soda kuat.

http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf
TRAUMA KIMIA MATA - TATALAKSANA

Tatalaksana Emergensi : Tatalaksana Medikamentosa :


 Irigasi : utk meminimalkan  Steroid : mengurangi
durasi kontak mata dengan inflamasi dan infiltrasi
bahan kimia dan neutrofil
menormalkan pH mata; dgn  Siklopegik : mengistirahatkan
larutan normal saline (atau iris, mencegah iritis (atropine
setara) atau scopolamin) → dilatasi
 Double eversi kelopak mata : pupil
utk memindahkan material  Antibiotik : mencegah infeksi
 Debridemen : pada epitel oleh kuman oportunis
kornea yang nekrotik

http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/trauma-kimia-pada-mata.pdf; Ilmu Penyakit Mata, Sidarta Ilyas


TRAUMA KIMIA MATA -
TATALAKSANA

• Removing the offending agent


– Immediate copious irrigation
• With a sterile balanced buffered solution
normal saline solution or ringer's lactate
solution
• Until the ph (acidity) of the eye returns to
normal
– Pain relief → Topical anesthetic
• Promoting ocular surface(epithelial)healing
– artificial tears
– Ascorbate → collagen remodeling
– Placement of a therapeutic bandage contact
lens until the epithelium has regenerated
• Controlling inflammation
– Inflammatory inhibits reepithelialization
and increases the risk of corneal ulceration
and perforation
– Topical steroids
– Ascorbate (500 mg PO qid)
• Preventing infection
– Prophylactic topical antibiotics
• Controlling IOP
– In initial therapy and during the later
recovery phase, if IOP is high (>30 mm Hg)
• Control pain
– Cycloplegic agents → ciliary spasm
– Oral pain medication
69. Conjunctivitis
Konjungtivitis Inklusi
• Disebabkan oleh infeksi Chlamydia trachomatis, biasanya
terdapat pada dewasa muda yang aktif secara seksual.
• Gejala dan tanda :
– Mata merah, pseudoptosis, bertahi mata (terutama pagi hari)
– Papila dan folikel pada kedua konjungtiva tarsus (terutama inferior)
– Keratitis superfisial mungkin ditemukan tapi jarang
CHLAMYDIAL KONJUNGTIVITIS
EPIDEMIOLOGY SIGNS
• Adult chlamydial conjunctivitis is a • Preauricular lymphadenopathy
sexually transmitted disease (STD) • Mucopurulent discharge
• All ages but particularly young adults • Conjunctival injection
• More women than men affected C. • Chemosis
trachomatis serotypes D-K • Follicular reaction (especially bulbar or
plica semilunaris follicles)
Histopathology: basophilic intracytoplasmic • Superior micropannus
epithelial inclusion bodies (on Giemsa • Fine or coarse epithelial or subepithelial
staining) corneal infiltrates

SYMPTOMS TREATMENT
• Unilateral or bilateral involvement Options include one of the following:
• Purulent discharge, crusting of lashes, • Azithromycin 1000mg single dose
swollen lids, or lids "glued together" • Doxycycline 100mg BID for 7 days
• Patient may also complain of: • Tetracycline 100mg QID x 7 days (avoid in
◦ red eyes pregnant women and in children)
◦ irritation • Erythromycin 500 mg QID x 7 days
◦ tearing Patient and sexual contacts should be
◦ photophobia evaluated and treated for other STDs.
◦ blurred vision
http://www.aao.org/theeyeshaveit/red-eye/chlamydial-conjunctivitis.cfm
Etiologi Diagnosis Karakteristik
Viral Konjungtivitis folikuler Merah, berair mata, sekret minimal, folikel sangat
akut mencolok di kedua konjungtiva tarsal
Klamidia Trachoma Seringnya pd anak, folikel dan papil pd konjungtiva
tarsal superior disertai parut, perluasan pembuluh
darah ke limbus atas
Konjungtivitis inklusi Mata merah, sekret mukopurulen (pagi hari), papil
dan folikel pada kedua konjungtiva tarsal (terutama
inferior)
Alergi/hiper- Konjungtivitis vernalis Sangat gatal, sekret berserat-serat, cobblestone pd
sensitivitas konjungtiva tarsal superior, horner-trantas dots
(limbus)
Konjungtivitis atopik Sensasi terbakar, sekret berlendir, konjungtiva
putih spt susu, papil halus pada konjungtiva tarsal
inferior
Konjungtivitis Reaksi hipersensitif tersering akibat protein TB,
fliktenularis nodul keabuan di limbus atau konjungtiva bulbi,
mata merah dan berair mata
Autoimun Keratokonjungtivitis sicca Akibat kurangnya film air mata, tes shcirmer
abnormal, konjungtiva bulbi hiperemia, sekret
mukoid, semakin sakit menjelang malam dan
berkurang pagi
70. Normal Funduscopy

normal
Normal Ocular Fundus

Vessels:
Arterial/venous
Arterioles
diameter ratio 2 to 3;
the arteries appear a
bright red, the veins a
slightly purplish Optic cup
colour.
Fovea

Optic disc

Vein
Disc: Clear outline
optic cup is pale and
centrally located.
Normal cup/disc ratio <
0.5

http://cms.revoptom.com/osc/3146/Analysis.jpg
 Retina: Normal red/orange
colour, macula is dark. The
macula is approximately 2
disc diameters away from disc
and 1.5 degrees below
horizon.
What to observe

• Optic disc- colour/size/edges


• Cup – size
• Blood vessels – number/width/tortuosity
• Macular / fovea
• Other findings –hemorrhages, soft and hard
exudates, edema
hard exudate, Hard exudate (infiltrasi lipid ke dalam retina akibat dari peningkatan
permeabiitas kapiler), warna kekuningan
soft exudate/ Soft exudate (cotton wall patches) adalah iskemia retina tampak sebagai
cotton wool spot bercak kuning bersifat difus / warna putih

flame Rupture of superficial pre-capillary arterioles, small veins. Causes:


hemorrhage Systemic hypertension, leukemia, severe anemia, thrombocytopenia,
retinal vein occlusion, trauma
Dot(blot) Rupture of deep capillaries or venules. They are common in diabetes.
hemorrhage Pada retina terjadi mikroaneurisma (penonjolan dinding kapiler)
Perdarahan dalam bentuk titik, garis, bercak yang letaknya dekat dengan
mikroaneurisma di polus posterior (dot hemorrhage)

Boat Rupture of large superficial retinal veins into the space between the
Hemorrhage retina and vitreous; sometimes these bleeds break into the vitreous
cavity. Causes: Sudden increase in intracranial pressure, anemia,
thrombocytopenia, trauma
drusen Tiny yellow or white accumulations of extracellular material that build
up between Bruch's membrane and the retinal pigment epithelium of
the eye; scattered around the macular region They are the most
common early sign of dry age-related macular degeneration. Drusen are
made up of lipids
http://www.aao.org/theeyeshaveit/optic-fundus/hemorrhages-table.cfm
Flame-shaped hemorrhage

Microaneurysm / dot blot hemorrhage


Exudates
Macular edema
Cotton-wool spot
Vitreous hemorrhage
Neovascularization
N EU R OLOGI
7171. Spondilitis TB
72. Tekanan Intra Kranial

• Normal : 4-14 mmHg.


• Tekanan intrakranial
diatas 20mmHg :
kerusakan otak.
• Doktrin Monro-Kellie.
• Isi kavitas kranial : otak,
darah, & cairan
cerebrospinal.
Doktrin Monro-Kellie
Kompliance Otak : Tekanan Intrakranial ~ Volume
Intrakranial.
• TTIK  kerusakan otak.
• Lesi massa fokal  pergeseran garis tengah dan
herniasi otak.
• 4 macam herniasi otak :
1. herniasi subfalcine
2. herniasi uncal
3. herniasi transtentorial
4. herniasi tonsillar
• Tekanan perfusi otak : pertukaran oksigen dan nutrisi
dari pembuluh darah ke jaringan otak.

Tekanan Perfusi Otak =


Tekanan Arteri Rata-Rata – Tekanan Intrakranial.

Tekanan intrakranial > 30 mmHg


Tekanan arteri rata-rata < 90 mmHg
Tekanan perfusi otak < 50 mmHg

Morbiditas dari penderita.
Herniasi Otak

Types of brain herniation[3]


1) Uncal 2) Central 3)
Cingulate 4) Transcalvarial
5) Upward 6) Tonsillar
PATOFISIOLOGI CEDERA OTAK

• Cedera otak primer : iskemia & berbagai perubahan


fisiologis & metabolik akibat langsung trauma.

• Cedera otak sekunder dapat terjadi sesaat setelah


trauma terjadi atau sebagai akibat dari cedera otak
primernya tersebut.
Cedera otak primer

Insult sekunder

Cedera otak sekunder.

Mencegah terjadinya cedera otak sekunder.


Pengelolaan peningkatan TIK
• Tindakan umum
– Elevasi kepala 30°
• Meningkatkan venous return  CBV menurun  TIK turun
– Hiperventilasi ringan
• Menyebabkan PCO2   vasokonstriksi  CBV  TIK 
– Pertahankan tekanan perfusi otak
• (CPP) > 70 mmHg
• (CPP=MAP-ICP)
– Pertahankan normovolemia
• Tidak perlu dilakukan dehidrasi, karena menyebabkan CPP  
hipoperfusi iskemia
– Pertahankan normothermia
• Suhu dipertahankan 36-37°C
• Terapi hipothermia (ruangan berAC)
• Setiap kenaikan suhu tubuh 1°C meningkatkan kebutuhan cairan ±
10%

PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006


– Pencegahan kejang – Manitol
• Diphenil hidantoin loading • Osmotik diuresis, bekerja
dose 13-18mg/kgBB diikuti intravaskuler pada BBB yang
dosis pemeliharaan 6- utuh
8mg/kgBB/hari • Efek
– Diuretika – Dehidrasi (osmotik diuresis)
• Menurunkan produksi CSS – Rheologis
• Tidak efektif dalam jangka – Antioksidan (free radical
scavenger)
lama
• Dosis 0,25-
– Kortikosteroid 1g/kgBB/pemberian, diberikan
• Tidak dianjurkan untuk cedera 4-6x/hari
otak • Diberikan atas indikasi:
• Bermanfaat untuk anti edema – Ada tanda klinis terjadinya
pada peningkatan TIK non herniasi
trauma, misal tumor/abses – Klinis & radiologis TIK
otak meningkat

PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006


• Terapi primer peningkatan TIK
– Evakuasi/eksisi massa (hematoma)
• Kraniotomi
– Memperbaiki BBB
– Mengurangi penekanan CBF   iskemia
– Drainase CSS
• Dengan ventrikulostomi
• 100-200 cc/hari
73. Radikulopati
• Radikulopati adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan gangguan
fungsi dan struktur radiks akibat proses patologik yang dapat mengenai
satu atau lebih radiks saraf dengan pola gangguan bersifat dermatomal.
• Etiologi
– Proses kompresif, Kelainan-kelainan yang bersifat kompresif sehingga
mengakibatkan radikulopati adalah seperti : hernia nucleus pulposus
(HNP) atau herniasi diskus, tumor medulla spinalis, neoplasma tulang,
spondilolisis dan spondilolithesis, stenosis spinal, traumatic dislokasi,
kompresif fraktur, scoliosis dan spondilitis tuberkulosa, cervical
spondilosis
– Proses inflammatori, Kelainan-kelainan inflamatori sehingga
mengakibatkan radikulopati adalah seperti: Gullain-Barre Syndrome
dan Herpes Zoster
– Proses degeneratif, Kelainan-kelainan yang bersifat degeneratif
sehingga mengakibatkan radikulopati adalah seperti Diabetes Mellitus
Tipe-tipe Radikulopati
• Radikulopati lumbar
– Radikulopati lumbar merupakan problema yang sering terjadi yang disebabkan
oleh iritasi atau kompresi radiks saraf daerah lumbal. Ia juga sering disebut
sciatica. Gejala jarang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa sebab seperti
bulging diskus (disk bulges), spinal stenosis, deformitas vertebra atau herniasi
nukleus pulposus. Radikulopati dengan keluhan nyeri pinggang bawah sering
didapatkan (low back pain)
• Radikulopati cervical
– Radikulopati cervical umunya dikenal dengan “pinched nerve” atau saraf terjepit
merupakan kompresi [ada satu atau lebih radix saraf uang halus pada leher.
Gejala pada radikulopati cervical seringnya disebabkan oleh spondilosis cervical.
• Radikulopati torakal
– Radikulopati torakal merupakan bentuk yang relative jarang dari kompresi saraf
pada punggung tengah. Daerah ini tidak didesain untuk membengkok sebanyak
lumbal atau cervical. Hal ini menyebabkan area thoraks lebih jarang
menyebabkan sakit pada spinal. Namun, kasus yang sering yang ditemukan pada
bagian ini adalah nyeri pada infeksi herpes zoster.
Lasegue’s Test
• Prosdur: pasien supine.
Fleksikan sendi pinggul
pasien dengan lutut
tertekuk. Jaga pinggul tetap
dalam keadaan fleksi,
kemudian ekstensikan
tungkai bawah.
• Tes positif: radikulopati
sciatik (+), jika:
– Nyeri tidak ada pada kondisi
pinggul dan lutut fleksi.
– Nyeri muncul saat pinggul
fleksi, dan kemudian lutut
diekstensikan.
Bragard’s Test
• Prosedur: pasien supine. Kaki
pasien lurus kemudian elevasi
hingga titik dimana rasa nyeri
dirasakan. Turunkan 5o dan
dorsofleksi kaki.
• Positive Test: nyeri akibat
traksi nervus sciatik.
– Nyeri dengan dorsiflexion 0° to
35° – extradural sciatic nerve
irritation.
– Nyeri dengan dorsiflexion from
35° – 70° – intradural problem
(usually IVD lesion).
– Nyeri tumpul paha posterior -
tight hamstring.
Lhermitte’s Test (or Phenomenon)

• Sensasi seperti tersengat listrik


yang menjalar ke secara radikuler
menuju ke arah bawah sepanjang
medula spinalis atau dapat pula
menjalar ke arah ekstrimitas yang
muncul saat dilakukan fleksi pada
leher (Lhermitte sign +).
• Hasil positif didapatkan pada
pasien dengan keterlibatan
cervical cord atau spondilitis
servikal, juga pada pasien dengan
tumor dan multiple sklerosis.
• Patrick Test (FABER) and contra-patrick test
– Deteksi kondisi patologis dari sendi paggul dan sakroiliaka.
– Pemeriksaan (+) jika terasa nyeri pada salah satu atau kedua
sendi tersebut.

Patrick Test Contra-patrick Test


74. Parkinson
• Parkinson:
– Penyakit neuro degeneratif karena gangguan pada ganglia
basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman
dopamine dari substansia nigra ke globus palidus.
– Gangguan kronik progresif:
• Tremor  resting tremor, mulai pd tangan, dapat meluas hingga
bibir & slrh kepala
• Rigidity  cogwheel phenomenon, hipertonus
• Akinesia/bradikinesia  gerakan halus lambat dan sulit, muka
topeng, bicara lambat, hipofonia
• Postural Instability  berjalan dengan langkah kecil, kepala dan
badan doyong ke depan dan sukar berhenti atas kemauan sendiri
• Hemibalismus/sindrom balistik
– Gerakan involunter ditandai secara khas oleh
gerakan melempar dan menjangkau keluar yang
kasar, terutama oleh otot-otot bahu dan pelvis.
– Terjadi kontralateral terhadaplesi
• Chorea Huntington
– Gangguan herediter autosomal dominan, onset
pada usia pertengahan dan berjalan progresif
sehingga menyebabkan kematian dalam waktu 10
± 12 tahun
Parkinson Disease
Gejala dan Tanda Parkinson
Gejala awal tidak spesifik Gejala Spesifik

• Nyeri • Tremor
• Gangguan tidur • Sulit untuk berbalik badan
•Ansietas dan depresi di kasur
•Berpakaian menjadi lambat •Berjalan menyeret
•Berjalan lambat •Berbicara lebih lambat

Tanda Utama Parkinson :

1. Rigiditas : peningkatan tonus otot


2. Bradykinesia : berkurangnya gerakan spontan (kurangnya kedipan mata, ekspresi
wajah berkurang, ayunan tangan saat berjalan berkurang ), gerakan
tubuh menjadi lambat terutama untuk gerakan repetitif
3. Tremor : tremor saat istirahat biasanya ditemukan pada tungkai, rahang dan
saat mata agak menutup
4. Gangguan berjalan dan postur tubuh yang membungkuk
Penatalaksanaan Parkinson
• Prinsip pengobatan parkinson adalah
meningkatkan aktivitas dopaminergik di
jalur nigrostriatal dengan memberikan :
– Levodopa  diubah menjadi dopamine
di substansia nigra
– Antagonis dopamine
– Menghambat metabolisme dopamine
oleh monoamine oxydase dan cathecol-
O-methyltransferase
– Obat- obatan yang memodifikasi
neurotransmiter di striatum seperti
amantadine dan antikolinergik

Wilkinson I, Lennox G. Essential Neurology 4th edition. 2005


75. Epilepsi
• Definisi: suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan (seizure) berulang akibat dari
adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten, yang disebabkan oleh lepas
muatan listrik abnormal dan berlebihan di
neuron-neuron secara paroksismal, dan
disebabkan oleh berbagai etiologi.

Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010


Kejang
• Kejang merupakan perubahan fungsi otak
mendadak dan sementara sebagai dari
aktivitas neuronal yang abnormal dan
pelepasan listrik serebral yang berlebihan.
(Betz & Sowden,2002)
Manifestasi Klinik
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a) Kejang parsial sederhana : Kesadaran tidak terganggu, dapat
mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
– Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi .
Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah,
dilatasi pupil.
– Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik,
merasa seakan jtuh dari udara, parestesia.
– Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
– Kejang tubuh; umumnya gerakan setiap kejang sama.
b) Parsial kompleks
– Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks
– Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap –
ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang –
ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
– Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
a) Kejang absens
– Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
– Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik
– Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh
b) Kejang mioklonik
– Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak.
– Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan keduatn sinkron
dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
– Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
– Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c) Kejang tonik klonik
– Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang
tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
– Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
– Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
– Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d) Kejang atonik
– Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala
menunduk,atau jatuh ke tanah.
– Singkat dan terjadi tanpa peringatan.
EEG
• Elektro Enselo Grafi (EEG) adalah suatu alat yang
mempelajari gambar dari rekaman aktifitas listrik
di otak, termasuk teknik perekaman EEG dan
interpretasinya.
• Pembacaan EEG oleh dokter dijadikan acuan
untuk tindakan dan penanganan selanjutnya
kepada pasien.
• Elektroensefalogram (EEG) dipakai untuk
membantu menetapkan jenis dan focus dan
kejang.
Epilepsy - Classification
• Focal seizures – account
for 80% of adult epilepsies
- Simple partial seizures
- Complex partial seizures
- Partial seizures secondarilly
generalised

• Generalised seizures
(include absance
type)

• Unclassified seizures
76. Tension Type Headache
• (TTH) adalah sakit kepala yang terasa seperti
tekanan atau ketegangan di dalam dan disekitar
kepala.
• Nyeri kepala karena tegang yang menimbulkan
nyeri akibat kontraksi menetap otot- otot kulit
kepala, dahi, dan leher yang disertai dengan
vasokonstriksi ekstrakranium.
• Nyeri ditandai dengan rasa kencang seperti pita di
sekitar kepala dan nyeri tekan didaerah
oksipitoservikalis.
The International Classification of Headache Disorders: 2nd
edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.
Menurut International Headache Society Classification, TTH
terbagi atas 3 yaitu:
• Episodik tension-type headache,
• Chronik-tension type Headache, dan
• Headache of the tension type not fulfilling above criteria

Etiologi
• Tension (keteganggan) dan stress.
• Tiredness (Kelelahan).
• Ansietas (kecemasan).
• Lama membaca, mengetik atau konsentrasi
(eye strain)
• Posture yang buruk.
• Jejas pada leher dan spine.
• Tekanan darah yang tinggi.
• Physical dan stress emotional

The International Classification of Headache Disorders: 2nd


edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.
Diagnosis TTH
• Diagnosis nyeri kepala sebahagian besar didasarkan atas keluhan, maka
anamnesis memegang peranan penting.
• Dari anamnesis, biasanya gejala terjadinya TTH terjadi setiap hari dan
terjadi dalam 10 kali serangan dalam satu hari.
• Durasi atau lamanya TTH tersebut dapat terjadi selama antara 30 menit
sampai dengan 7 hari.
• Nyerinya dapat bersifat unilateral atau bilateral, dan pada TTH tidak
adanya pulsating pain serta intensitas TTH biasanya bersifat ringan.
• Pada TTH pun terdapat adanya mual, muntah dan kelaian visual seperti
adanya fonofobia dan fotofobia
• Pemeriksaan tambahan pada TTH adalah pemeriksaan umum seperti
tekanan darah, fungsi cirkulasi, fungsi ginjal, dan pemeriksaan lain seperti
pemeriksaan neurologi (pemeriksaan saraf cranial, dan intracranial
particular), serta pemeriksaan lainnya, seperti pemeriksaan mental status.
• Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi (foto rontgen, CT Scan), Elektrofisiologik (EEG, EMG)
The International Classification of Headache Disorders: 2nd
edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.
Tatalaksana
• TTH umumnya mempunyai respon yang baik
dengan pemberian analgesik seperti ibuprofen,
parasetamol / asetaminofen, dan aspirin.
• Kombinasi Analgesik/sedative digunakan secara
luas (contoh , kombinasi analgesik/antihistamine
seperti Syndol, Mersyndol and Percogesic).
• Pengobatan lain pada TTH
termasuk amitriptyline / mirtazapine /
dan sodium valproate (sebagai profilaksi).
The International Classification of Headache Disorders: 2nd
edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.
77. Meningoensefalitis TB
• Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan
piamater yang dapat terjadi secara akut dan kronis.
Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak.
• Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan
pada meningen dan otak yang disebabkan oleh
Mikobakterium tuberkulosis (TB).
• Penderita dengan meningoensefalitis dapat
menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan
ensefalitis.
Patologi
• Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi
otak. Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi
eksudat gelatinous.
• Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. Secara
mikroskopik, eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear
(PMN), leukosit, sel darah merah, makrofag, limfosit diantara benang benang
fibrin.
• Selain itu peradangan juga mengenai pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah
ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi
fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang
berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark
serebral karena iskemia.
• Gangguan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS) mengakibatkan hidrosefalus
obstruktif (karena eksudat yang menyumbat akuaduktus spinalis atau foramen
luschka, ditambah lagi dengan edema yang terjadi pada parenkim otak yang akan
semakin menyumbat.
• Adanya eksudat, vaskulitis, dan hidrosefalus merupakan karakteristik dari
menigoensefalitis yang disebabkan oleh TB.
Gejala klinis meningitis TB dibagi 3 stadium:
Stadium I : Stadium awal (2-3 minggu)
• Gejala prodromal non spesifik : apatis, iritabilitas, nyeri
kepala, malaise, demam, anoreksia
Stadium II : Intermediate (transisi 1-3 minggu)
• Gejala menjadi lebih jelas: mengantuk, kejang
• Defisit neurologik fokal : hemiparesis, paresis saraf
kranial(terutama N.III dan N.VII, gerakan involunter
• Hidrosefalus, papil edema
Stadium III : Advanced (± 3 minggu setelah gejala awal)
• Penurunan kesadaran
• Disfungsi batang otak, dekortikasi, deserebrasi
Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara :8
1. Anamnese: ditegakkan berdasarkan gejala klinis, riwayat kontak dengan
penderita TB
2. Lumbal pungsi:
Gambaran LCS pada meningitis TB : Warna jernih / xantokrom, jumlah Sel
meningkat MN > PMN, Limfositer, protein meningkat, glukosa menurun
<50 % kadar glukosa darah.
Pemeriksaan tambahan lainnya : Tes Tuberkulin, Ziehl-Neelsen ( ZN ), PCR
3. Rontgen thorax: TB apex paru, TB milier
4. CT scan otak
Penyengatan kontras ( enhancement ) di sisterna basalis
Tuberkuloma : massa nodular, massa ring-enhanced
Komplikasi : hidrosefalus
5. MRI

Diagnosis dapat ditegakkan secara cepat dengan PCR, ELISA dan aglutinasi
Latex. Baku emas diagnosis meningitis TB adalah menemukan M. tb dalam
kultur CSS. Namun pemeriksaan kultur CSS ini membutuhkan waktu yang
lama dan memberikan hasil positif hanya pada kira-kira setengah dari
penderita
• Regimen terapi: 2RHZE / 7-10RH
• Indikasi Steroid : Kesadaran menurun, defisit
neurologist fokal
• Dosis steroid : Deksametason 10 mg bolus
intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena
selama 2 minggu selanjutnya turunkan
perlahan selama 1 bulan.
CSF Finding in Meningitis

Bamberger DM. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of Meningitis. Am Fam Physician. 2010;82(12):1491-1498
78. Head Injury
78. Airway Management

ATLS Coursed 9th Edition


Cervical in-lin immobilization
Indikasi Airway definitif
79. Etiologi Stroke:

1. Stroke Hemoragik
a. Intra cerebral hemoragik (ICH)
OK : Hypertensi, Aneurysma dan arterioveneus Malformasi (AVM)
b. Sub Arachnoid Hemoragik (SAH)
 diagnosis medis : CT brain scan
2. Stroke Non Hemoragik (Iskemik)
OK : Arteriosklerosis & sering dikaitkan dengan : DM,
Hypercolesterolemia, Asam urat, hyperagregasi trombosit
3. Emboli  Sumber dari tronkus di arteria carotis communis di jantung 
Lepas  trombus embolus  otak.
Vaskularisasi Otak

1. Sistem Karotis Sinistra dan Dextra


- Masuk Cavum Cranii
Carotis Interna  Carotis Cerebre Media
2. Sistem Vertebra Basilaris
3. Sistem Vaskularisasi Yang Terganggu Menentukan Topis
Lesi
Intracerebral Haemorrhage
Subarachnoid Haemorrhage
80. Cerebellum
Terdiri dari 2 hemisfer yg dihubungkan oleh vermis
Terbagi atas 3 lobus:
1. Lobus anterior corpus cerebelli
2. Lobus posterior
3. Lobus flokulonodularis

Fungsi Cerebellum:
1. Koordinasi gerakan volunter
2. Keseimbangan tubuh
3. Tonus otot
4. Mekanisme memori & motor learning
Control of body posture &
equilibrium.

Monday, July 03, 2017


Control of muscle tone & stretch
reflex.

Monday, July 03, 2017


Control of voluntary movements.

Monday, July 03, 2017


Signs of cerebellar dysfunction.
• Tone & posture disturbance
– Atonia or hypotonia
– Attitude changes.
• Rotation of face to opposite side
• Lowering of shoulder.
• Outward rotation & abduction of leg.
– Deviation movements.
– Effect on deep reflexes. (weak & pendular)

Monday, July 03, 2017


Signs of cerebellar dysfunction.

• Equilibrium disturbance. (drunken gait)


• Movements disturbance.
– Ataxia
– Intention tremors
– Nystagmus.
– Dysarthria.
– Astasia.

Monday, July 03, 2017


Clinical tests of cerebellar
dysfunction.
• Upper limb • Lower limb.
– Finger nose test – Rombergs test.
– Diadokokinesia. – Tandem gait.
– Rebound phenomenon.
– Past pointing.

Monday, July 03, 2017


Tests .

Monday, July 03, 2017


81. Cedera Medulla Spinalis

• Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf


yang terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan
sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang
vertebra.
• Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis,
masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari
tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat
terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan
sementara ataupun permanen terjadi akibat dari
kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut
sebagai cedera medula spinalis.
PATOFISIOLOGI
• Kompresi karena tulang,
ligamen,herniasi diskus • 2 jam pasca cedera terjadi
intervertebralis & hematom invasi sel-sel inflamasi
paling berat akibat kompresi tulang, dimulai oleh microglia dan
trauma hiperekstensi corpus leukosit polimorfonuklear.
dislokasi ke posterior.
• 4 jam pasca cedera hampir
• Regangan jaringan.biasanya terjadi
pada hiperpleksi, toleransi medula
separuh medula spinalis
spinalis terhadap regangan menjadi nekrotik.
tergantung usia • 6 jam pasca cedera terjadi
• Edema.timbul segera setelah edema primer vaskogenik.
trauma
• 48 jam terjadi edema dan
• Sirkulasi terganggu.
nekrotik kros-sektional pada
tempat cedera.
Manifestasi lesi traumatik
• Komusio ,Kontusio,Laserasio,Perdarahan
Kompresi, Hemiseksi ,Transeksi medula spinalis
• Sindrom medula spinalis bagian anterior &
posterior
• Shok spinal
• Aktivitas refleks yg meningkat
Transeksi medula spinalis akan terjadi
masa Spinal Shok

• Semua gerakan volunter dibawah lesi hilang


secara mendadak
• Semua sensibilitas bawah lesi hilang
• Semua refleks hilang.
• Berlangsung 3-6 mg
KLASIFIKASI

ASIA (American Spinal Injury Association) dan


IMSOP (International Medical Society of
Paraplegia) pada tahun 1990 dan 1991.
• Berdasarkan fungsi:
• Berdasarkan tipe dan lokasi:
Berdasarkan fungsi:
– Grade A – complete – Grade C – incomplete
• tidak ada fungsi • fungsi motorik masih ada
motorik atau sensorik dibawah level cedera spinal dan
sampai sefmen S4-S5 sebagian besar 10 otot
ektrimitas dibawah level cedera
– Grade B – incomplete spinal mempunyai kekuatan
motorik <3
• tidak ada fungsi
sensorik tapi fingsi – Grade D – incomplete :
motorik masik ada di • seperti grade C, tapi kekuatan
motorik ≥3
bawah level cedera
spinal sampai segmen – Grade E – normal
S4-S5 • fungsi motorik dan sensorik
normal
GEJALA KLINIK
• Cervico-Medullary
Syndrome
– Respiratory arrest, Sacral sparing
hipotensi, tetraplegia.
– C1 – C4
– ggn sensibilitas wajah,
– Lengan lebih berat dari
tungkai
• Central cord syndrome
– Gangguan motorik pada
ekstrimitas atas lebih berat
dari tungkai dengan
gangguan sensibilitas
– sembuh spontan
GEJALA KLINIK
• Anterior Cord Syndrome
– Paralisis komplit yang
mendadak dengan
hiperestesia pada tingkat
lesi, dibawah lesi ada rasa
raba, merupakan kasus
yang harus dintervensi
operasi secara dini.
• Posterior cord syndrome
– Jarang ada, kelemahan dr
batas lesi kebawah
Gangguan proprioseptik
GEJALA KLINIK
• Brown-sequard syndrome
– Gangguan motorik dan
propioseptik sisi ipsilateral
dan gangguan sensasi rasa
suhu dan nyeri pada sisi
kontralateral
– Cedera hiperekstensi
• Conus Medullaris
syndrome
– Daerah T11-T12 dan T12-L1
24% dari kasus
– Gangguan lower motor
neuron, flaksid tungkai &
sfingter ani,
spastisitas(kronik).
PENATALAKSANAAN
1.Tentukan cedera medula spinalis akut?
2.Lakukan stabilisasi medula spinalis
3. Atasi gangguan fungsi vital yaitu airways, breathing
4.Perhatikan perdarahan dan sirkulasi,
hipotensi, shok neurogenik
5.Medical:
– methylprednisolon 30mg/kgBB iv bolus dalam 15
menit
– dilanjutkan 5,4mg/kgBB/jam iv hingga 24 jam bila
dosis inisial diberikan <3jam setelah trauma
– Atau dilanjutkan hingga 48 jam bila dosis inisial
diberikan 3-8jam post trauma
– Di atas 8 jam tidak ada pengaruh pemberian steroid.
82. Afasia
• Kelainan yang terjadi • Afasia menimbulkan
karena kerusakan dari problem dalam bahasa
bagian otak yang lisan (bicara dan
mengurus bahasa. pengertian) dan bahasa
• yaitu kehilangan tulisan (membaca dan
kemampuan untuk menulis). Biasanya
membentuk kata-kata membaca dan menulis
atau kehilangan lebih terganggu dari pada
kemampuan untuk bicara dan pengertian.
menangkap arti kata-kata • Afasia bisa ringan atau
sehingga pembicaraan berat. Beratnya gangguan
tidak dapat berlangsung tergantung besar dan
dengan baik. lokasi kerusakan di otak.
Pembagian Afasia :
1. Afasia Motorik (Broca)
2. Afasia Sensorik (Wernicke)
3. Afasia Global
Afasia Motorik :
- Terjadi karena rusaknya area Broca di
gyrus frontalis inferior.
- Mengerti isi pembicaraan, namun tidak
bisa menjawab atau mengemukakan
pendapat
- Disebut juga Afasia Expressif atau Afasia
Broca
- Bisa mengeluarkan 1 – 2 kata(nonfluent)
Afasia Sensorik
- Terjadi karena rusaknya area Wernicke di
girus temporal superior.
- Tidak mengerti isi pembicaraan, tapi bisa
mengeluarkan kata-kata(fluent)
- Disebut juga Afasia reseptif atau Afasia
Wernicke
• Afasia Global
- Mengenai area Broca dan Wernicke
- Tidak mengerti dan tida bisa
mengeluarkan kata kata
• Afasia transkortikal, disebabkan lesi di sekitar
pinggiran area pengaturan bahasa.

• Terdiri dari: afasia transkortikal motorik, afasia


transkortikal sensorik, dan afasia transkortikal
campuran.

• Ketiga tipe afasia memiliki jenis gangguan


sesuai dengan penamaannya namun
penderita mampu mengulangi kata/ kalimat
lawan biacaranya.
Summary of Aphasias
Type of Spontaneous
Paraphasias Comprehension Repetition Naming
Aphasia speech

Broca’s Nonfluent - Good Poor Poor

Global Nonfluent - Poor Poor Poor

Transcortical
Nonfluent - Good Good Poor
motor

Wernicke’s
Fluent + Poor Poor Poor
Aphasia
Transcortical
Fluent + Poor Good Poor
sensory

Conduction Fluent + Good Poor Poor

Anomic Fluent + Good Good Poor


28/02/2006
83. ORBITA
• RUANGAN BERBENTUK PIRAMIDA
• APEX DI POSTERIOR
• MEDIAL DIPISAHKAN HIDUNG
• LATERAL DAN MEDIAL BENTUK SUDUT 45°
• LINGK. ANT < POST., UNTUK PROTEKSI
• CAVUM ORBITA BERHUB. SINUS PARANASALIS
• ORBITA ATAS – SINUS FRONTALIS
• ORBITA BAWAH – SINUS MAKSILARIS
• MEDIAL – SIN. ETHMOIDALIS &
SPHENOIDALIS, BILA INFEKSI, MERUSAK
LAMINA PAPIRASEA
• DASAR RELATIF TIPIS, MUDAH RUSAK O/K
TRAUMA BOLA MATA = BLOW OUT FRACTURE,
HERNIASI ISI CAVUM ORBITA KE SINUS
MAKSILARIS
• EROSI ATAP O/K TUMOR OTAK ATAU TROMBOSIS
PEMBULUH DARAH, DENYUTAN BOLA MATA
Identify the elements of the bony orbit on a skull or x-ray.
Indicate the nerve supply to each.

Supra trochlear n.
Supra -orbital n.

La cri mal n.

Infra trochlear n.

Ethmoi dal nn. La cri mal n.

Fronta l n.
Short ci liary nn.
V1 VI
Long ci liary nn.
V2 Na s ociliary n.
II Ci l iary ga nglion
V3
V II Fronta l n. (cut)
III
III
IV V
VI IV
VI
Sensory nerves are branches of the Motor nerves are branches of cranial
ophthalmic division of the nerves III, IV, and VI
trigeminal- V1
Ethmoid Fracture
• Fracture of the lamina
papyracea
– Communication to nasal
cavity
– exophtalmos

Ethmoid bone in orbit (brown)lamina


papyracea
• Fracture of the
Cribriform plate (lamina
cribrosa)
– May lead to disruption
of olfactory (n I) bulb or
fascicles anosmia
– If duramater tear
occurred CSF
rhinorrheae
• Cranial nerve III,IV, and
VI passes through
superior orbital fissure
into the orbit (fissure in
the sphenoid bone)
• In the event of orbital
wall fracture these
structures may be
involved
84. Tumor Intrakranial
• Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang
bersifat jinak (benigna) ataupun ganas
(maligna), membentuk massa dalam ruang
tengkorak kepala (intra cranial) atau di sumsum
tulang belakang (medulla spinalis).

• Neoplasma pada jaringan otak dan selaputnya


dapat berupa tumor primer maupun metastase
Epidemiologi Etiologi
• Laki-laki (60,74 persen) > • Belum diketahui secara jelas
• Faktor-faktor:
perempuan (39,26 persen)
– Herediter
• Usia terbanyak 51 sampai – Sisa-sisa embrional
– Radiasi
≥60 tahun (31,85 persen)
– Virus
• Kelompok usia yang – Substansi-substansi
Karsinogenik
bervariasi dari 3 bulan - usia
50 tahun
Patofisiologi
• Tumor intrakranial = massa baru TIK
• Gangguan fokal (tergantung lokalisasi tumor)
• Peningkatan TIK – mengganggu sirkulasi otak =
nekrosis di otak.
• Penambahan massa atupun oedem otak
(sirkulasi yg terhambat)  herniasi.
Manifestasi Klinis

• Gangguan kesadaran akibat tekanan


intrakranium yang meninggi:
• Fenomena peningkatan tekanan intrakranium
dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
– Sindroma unkus atau sindroma kompresi
diansefalon ke lateral
– Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap
batang otak
– Herniasi serebelum di foramen magnum
• Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang
tinggi:
– Sakit kepala
– Muntah
– Gangguan mental
– Kejang fokal
Diagnosis
• Anamnesis
• Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan Penunjang:
– Elektroensefalografi (EEG)
– Foto polos kepala
– Arteriografi
– Computerized Tomografi (CT Scan)
– Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Penilaian CT Scan pada
tumor otak:
• Tanda proses desak
ruang:
• Pendorongan struktur
garis tengah otak
• Penekanan dan
perubahan bentuk
ventrikel
Gambaran MRI Tumor Otak

MRI dapat mendeteksi tumor dengan jelas dan dapat mendeteksi kelainan
jaringan sebelum terjadinya kelainan morfologi.
Diagnosa Banding

• Abses intraserebral
• Epidural hematom
• Hipertensi intrakranial benigna
• Meningitis kronik
Penatalaksanaan

Terapi Suportif Terapi Definitif


 Antikonvulsan • Pembedahan
 Kortikosteroid • Radiasi
• Kemoterapi
• Imunoterapi
Prognosis
• Tergantung jenis tumor spesifik atau tipe tumor.
• Angka ketahanan hidup 5 tahun (5 years
survival) berkisar 50-60% dan angka ketahanan
hidup 10 tahun (10 years survival) berkisar 30-
40%.
• Prognosis di Indonesia masih buruk.
85. Klasifikasi Nyeri
1. Nyeri Nosiseptif
• Nyeri dengan stimulasi singkat dan tidak menimbulkan
kerusakan jaringan.
• Pada umumnya, tipe nyeri ini tidak memerlukan terapi
khusus karena perlangsungannya yang singkat.
• Nyeri ini dapat timbul jika ada stimulus yang cukup
kuat sehingga akan menimbulkan kesadaran akan
adanya stimulus berbahaya, dan merupakan sensasi
fisiologis vital.
• Intensitas stimulus sebanding dengan intensitas nyeri.
• Contoh: nyeri pada operasi, nyeri akibat tusukan jarum,
dll.
Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management,
Ann Intern Med; 140:441-451
2. Nyeri Inflamatorik
• Nyeri dengan stimulasi kuat atau berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan atau lesi jaringan.
• Nyeri tipe II ini dapat terjadi akut dan kronik dan pasien
dengan tipe nyeri ini, paling banyak datang ke fasilitas
kesehatan.
• Contoh: nyeri pada rheumatoid artritis.

3. Nyeri Neuropatik
• Merupakan nyeri yang terjadi akibat adanya lesi sistem
saraf perifer
• Seperti pada neuropati diabetika, post-herpetik neuralgia,
radikulopati lumbal, dll) atau sentral (seperti pada nyeri
pasca cedera medula spinalis, nyeri pasca stroke, dan nyeri
pada sklerosis multipel).
Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management,
Ann Intern Med; 140:441-451
4. Nyeri Fungsional

• Bentuk sensitivitas nyeri ini ditandai dengan tidak


ditemukannya abnormalitas perifer dan defisit neurologis.
• Nyeri disebabkan oleh respon abnormal sistem saraf
terutama hipersensitifitas aparatus sensorik.
• Beberapa kondisi umum memiliki gambaran nyeri tipe ini
yaitu fibromialgia, iritable bowel syndrome, beberapa
bentuk nyeri dada non-kardiak, dan nyeri kepala tipe
tegang.
• Tidak diketahui mengapa pada nyeri fungsional susunan
saraf menunjukkan sensitivitas abnormal atau hiper-
responsifitas

Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management,
Ann Intern Med; 140:441-451
Nosiseptor pada otot
• Sebanyak 75% dari inervasi sensorik pada otot rangka disuplai oleh ujung
saraf bebas yang terdapat di fascia otot, dinding pembuluh darah, tendon,
dan di antara serat otot.
• Tipe-tipe dari ujung-ujung saraf bebas ini yaitu, yaitu serat saraf aferen A-
delta (grup III) yang tipis bermielin dan tipe C (grup IV) yang tidak
bermielin. Setelah kehilangan selubung mielinnya, terminal dari ujung
saraf bebas tersebut dapat memanjang sekitar 1 mm sebagai ujung akson
tanpa myelin dan mempersarafi daerah seluas 25 x 200 mikrometer.
• Nyeri otot terutama disebabkan oleh aktivasi serat aferen tipe IV karena
serat tersebut memiliki ambang yang lebih tinggi terhadap stimulasi
mekanik dan dapat dieksitasi oleh kontraksi iskemik dari otot. Perannya
cenderung ergoreseptif dibandingkan nosiseptif.
• Namun serat A-delta grup III juga berkontribusi terhadap nyeri otot.
Walaupun hanya sebagian kecil dari serat saraf C tidak bermielin ini yang
berespon terhadap peregangan dan kontraksi otot, beberapa dari serat ini
berespon saat terjadi iskemia dan kontraksi otot di saat yang bersamaan.
• Noxious stimulation dari otot, fascia, dan tendon menghasilkan derajat
yang beragam dari rasa nyeri yang dalam, yang menyebar dan sulit untuk
dicari lokasi tepatnya.
ILM U
PSIK IATR I
86. Bipolar Disorder

1 or more history of one


Mood episodes of or more major Bipolar
disorder mania or depressive disorder
hypomania episodes

can be mixed

Increase suicide With/without


risk psychosis
Epidemiology
Bipolar disorder

Mean age onset: 20

Bipolar disorder I Bipolar disorder II

one or more major


one or more manic
affects men and depressive episodes more common in
or mixed mood
women equally and at least one women
episodes
hypomanic episode
Etiology

Environmental
Trauma
factors

Anatomic
Genetic
abnormalities

Exposure to
Others chemicals or
drugs

Remain unclear
Secondary Cause of Bipolar Mania
Acute Manic Algorithm Therapy
Acute Depressive Episode
Pharmacological Therapy of Bipolar
Disorder
Pharmacological Therapy of Bipolar
Disorder Cont...
87. Fobia
F40. GGN ANSIETAS FOBIK
• Agorafobia: Ansietas dicetuskan oleh adanya situasi berupa banya
orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah dan
bepergian sendiri, yg sbnrnya pada saat kejadian ini tidak
membahayakan
– Pasien menghindari situasi fobik (house bound)

• Fobia Sosial: Ansietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi


sosial ertentu (outside the family circle)

• Fobia Khas: Ansietas terbatas pada adanya objek atau situasi fobik
tertentu
– Klaustrofobia (tempat sempit), xenofobia (orang/sesuatu yg asing),
akrofobia (tempat tinggi)
Ansietas
• Acrophobia fear of heights
• Agoraphobia fear of open places
• Ailurophobia fear of cats
• Hydrophobia fear of water
• Claustrophobia fear of closed spaces
• Cynophobia fear of dogs
• Mysophobia fear of dirt and germs
• Pyrophobia fear of fire
• Xenophobia fear of strangers
Terapi Fobia
• Desensitisasi sistematik (serial), ketika klien
secara progresif dipajankan pada objek yang
mengancam, di lingkungan yang aman, sampai
ansietas berkurang.

• Flooding, bentuk desensitisasi cepat yang


dilakukan oleh terapis, ketika individu
dihadapkan dengan objek fobia sampai objek
tsb tidak menimbulkan ansietas.
Fobia Spesifik
• Terapi yang menjadi pilihan pada fobia spesifik adalah
terapi paparan/terapi desensitisasi:
– Terapis melakukan desensitisasi pada pasien menggunakan
beberapa seri paparan dan terapis akan mengajari pasien
berbagai teknik untuk mengatasi ansietas, termasuk relaksasi,
breathing control, and cognitive approaches.
– Pendekatan perilaku kognitif meliputi realisasi bahwa situasi
yang menimbulkan fobia sebenarnya merupakan situasi yang
aman.
– In the special situation of blood-injection-injury phobia, some
therapists recommend that patients tense their bodies and
remain seated during the exposure to help avoid the possibility
of fainting from a vasovagal reaction to the phobic stimulation.
– Beta blocker may be useful in the treatment of specific phobia,
especially when the phobia is associated with panic attacks.

Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.


88. Mental Retardation

Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.


American
Association on
Mental
Retardation
(AAMR)

http://pedsinreview.aappublications.org/content/27/6/204.full
PPDGJ-III
• Ketentuan subtipe retardasi mental meliputi:
– F70: Ringan (IQ 50-69)
– F71: Sedang (IQ 35-49)
– F72: Berat (IQ 20-34)
– F73: Sangat Berat (<20)
89. Gangguan Disosiatif (Konversi)

• Gejala utama adalah adanya kehilangan dari


integrasi normal, antara:
• ingatan masa lalu,
• kesadaran identitas dan penginderaan segera, &
• kontrol terhadap gerakan tubuh
• Terdapat bukti adanya penyebab psikologis,
kejadian yang stressful atau hubungan
interpersonal yang terganggu
• Tidak ada bukti adanya gangguan fisik.

PPDGJ
Diagnosis Karakteristik
Amnesia Gangguan Disosiatif
Hilang daya ingat mengenai kejadian stressful atau traumatik yang
baru terjadi (selektif)
Fugue Melakukan perjalanan tertentu ke tempat di luar kebiasaan, tapi
tidak mengingat perjalanan tersebut.
Stupor Sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan volunter & respons
normal terhadap rangsangan luar (cahay, suara, raba)
Trans Kehilangan sementara penghayatan akan identitias diri &
kesadaran, berperilaku seakan-akan dikuasai kepribadian lain.
Motorik Tidak mampu menggerakkan seluruh/sebagian anggota gerak.
Konvulsi Sangat mirip kejang epileptik, tapi tidak dijumpai kehilangan
kesadaran, mengompol, atau jatuh.
Anestesi & Anestesi pada kulit yang tidak sesuai dermatom.
kehilangan Penurunan tajam penglihatan atau tunnel vision (area lapang
sensorik pandang sama, tidak tergantung jarak). Contoh: buta konversi dan
tuli konversi

PPDGJ
Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa. Rujukan ringkas dari PPDGJ-III.
Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.

90. Sexual Disorder (Parafilia)


Diagnosis Karakteristik
Fetishism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the
use of nonliving objects (e.g., female undergarments).
Frotteurism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving
touching and rubbing against a nonconsenting person.
Masochism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the
act (real, not simulated) of being humiliated, beaten, bound, or
otherwise made to suffer.
Sadism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving acts
(real, not simulated) in which the psychological or physical suffering
(including humiliation) of the victim is sexually exciting to the person.
Voyeurism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the
act of observing an unsuspecting person who is naked, in the process
of disrobing, or engaging in sexual activity.
Necrophilia Necrophilia is an obsession with obtaining sexual gratification from
cadavers.
Diagnosis Karakteristik
Pedophilia Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving
sexual attraction to prepubescent children (generally 13 years or
younger) and the pedophilia must at least 16 years or older and at
least 5 years older than the child
Eksibisionis Seseorang yang selalu ingin memperlihatkan kemaluannya/genital
kepada orang lain (biasanya orang asing) untuk mendapatkan
kepuasan seksual
Fetishism and Transvestic Fetishism
• Fetishism
– Mendapatkan kepuasaan seksual dari benda-benda mati
(i.e., inanimate and/or tactile)
– Numerous targets of fetishistic arousal, fantasy, urges, and
desires
• Transvestic Fetishism
– Mendapatkan rangsangan seksual dengan memakai
pakaian dari lawan jenis
– Laki-laki yang mengalami gangguan ini biasa menunjukkan
perilaku yang lebih maskulin sebagai kompensasi
– Sebagian besar tidak didapatkan perilaku kompensasi
– Many are married and the behavior is known to spouse
91. Gangguan Waham Menetap
KRITERIA DIAGNOSIS
• Waham merupakan satu-satunya ciri klinis yang khas atau gejala
yang paling menonjol. Waham tersebut harus sudah ada sedikitnya
tiga bulan lamanya dan harus bersifat khas pribadi bukan budaya
setempat.
• Gejala depresif atau bahkan suatu episode depresif lengkap
mungkin terjadi secara intermitten, dengan syarat bahwa waham-
waham tersebut menetap pada saat-saatp tidak terdapat gangguan
afektif itu.
• Tidak boleh ada bukti-bukti tentang adanya penyakit otak.
• Tidak boleh ada halusinasi auditorik atau hanya kadang-kadang saja
ada dan bersifat sementara.
• Tidak ada riwayat gejala-gejala skizofrenia (waham dikendalikan,
siar pikiran, penumpukan afek, dsb)
92. Ansietas
Diagnosis Characteristic
Gangguan panik Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan
perasaan akan datangnya kejadian menakutkan.
Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa adanya
provokasi dari stimulus apapun & ada keadaan yang relatif
bebas dari gejala di antara serangan panik.
Gangguan fobik Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau
situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit,
cedera, dan kematian.
Gangguan Gejala emosional (ansietas/afek depresif ) atau perilaku
penyesuaian dalam waktu <3 bulan dari awitan stresor. Tidak
berhubungan dengan duka cita akibat kematian orang lain.
Gangguan cemas Ansietas berlebih terus menerus disertai ketegangan motorik
menyeluruh (gemetar, sulit berdiam diri, dan sakit kepala), hiperaktivitas
otonomik (sesak napas, berkeringat, palpitasi, & gangguan
gastrointestinal), kewaspadaan mental (iritabilita).
Gangguan Fobik
Diagnosis Karakteristik
Fobia Khas Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau
situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit, cedera,
dan kematian.
Fobia sosial Rasa takut yang berlebihan akan dipermalukan atau melakukan
hal yang memalukan pada berbagai situasi sosial, seperti bicara di
depan umum, berkemih di toilet umum, atau makan di tempat
umum.
Agorafobia Kecemasan timbul di tempat atau situasi di mana menyelamatkan
diri sulit dilakukan atau tidak tersedia pertolongan pada saat
terjadi serangan panik. Situasi tersebut mencakup berada di luar
rumah seorang diri, di keramaian, atau bepergian dengan bus,
kereta, atau mobil.

PPDGJ
93. Gangguan Somatoform
Diagnosis Karakteristik
Gangguan somatisasi Banyak keluhan fisik (4 tempat nyeri, 2 GI tract, 1
seksual, 1 pseudoneurologis).
Hipokondriasis Keyakinan ada penyakit fisik.

Disfungsi otonomik Bangkitan otonomik: palpitasi, berkeringat,


somatoform tremor, flushing.

Nyeri somatoform Nyeri menetap yang tidak terjelaskan.

Gangguan Dismorfik Preokupasi adanya cacat pada tubuhnya


Tubuh Jika memang ada kelainan fisik yang kecil,
perhatian pasien pada kelainan tersebut akan
dilebih-lebihkan

PPDGJ
Gangguan Hipokondrik
Untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus ada:
• Keyakinan yang menetap adanya sekurang-
kurangnya 1 penyakit fisik yang serius,
meskipun pemeriksaan yang berulang tidak
menunjang
• Tidak mau menerima nasehat atau dukungan
penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak
ditemukan penyakit/abnormalitas fisik
94. Gangguan Kepribadian
95. Sexual Dysfunction
• Sexual desire disorders
– Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD);
• Persistently or recurrently deficient (or absent) sexual
fantasies and desire for sexual activity
– Sexual Aversion Disorder (SAD)
• Persistent or recurrent extreme aversion to, and avoidance
of, all (or almost all) genital sexual contact with a sexual
partner.
• Sexual arousal disorders
– Female Sexual Arousal Disorder (FSAD)
• Persistent or recurrent inability to attain, or to maintain until
completion of the sexual activity, an adequate lubrication-
swelling response of sexual excitement.
– Male Erectile Disorder
• Persistent or recurrent inability to attain, or to maintain until
completion of the sexual activity, an adequate erection.

(APA, 2000)
• Orgasmic disorders
– Female Orgasmic Disorder (Inhibited Female Orgasm)
– Male Orgasmic Disorder (Inhibited Male Orgasm)
– Premature Ejaculation
• Sexual pain disorders
– Dyspareunia: recurrent or persistent genital pain associated with
sexual intercourse.
– Vaginismus: involuntary muscle constriction of the outer third of
the vagina that interferes with penile insertion and intercourse.
• Sexual dysfunction due to general medical condition
• Substance-Induced Sexual Dysfunction
– With impaired desire/With impaired arousal/With impaired
orgasm/With sexual pain/With onset during intoxication
• Sexual Dysfunction Not Otherwise Specified (NOS)
96. Depresi
• Gejala utama: • Gejala lainnya:
1. afek depresif, 1. konsentrasi menurun,
2. hilang minat & 2. harga diri & kepercayaan diri
berkurang,
kegembiraan,
3. rasa bersalah & tidak berguna
3. mudah lelah & yang tidak beralasan,
menurunnya 4. merasa masa depan suram &
aktivitas. pesimistis,
5. gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh
diri,
6. tidur terganggu,
7. perubahan nafsu makan (naik
atau turun).
PPDGJ
Depresi
• Episode depresif ringan: 2 gejala utama + 2 gejala lain > 2
minggu

• Episode depresif sedang: 2 gejala utama + 3 gejala lain, >2


minggu.

• Episode depresif berat: 3 gejala utama + 4 gejala lain > 2


minggu. Jika gejala amat berat & awitannya cepat,
diagnosis boleh ditegakkan meski kurang dari 2 minggu.

• Episode depresif berat dengan gejala psikotik: episode


depresif berat + waham, halusinasi, atau stupor depresif.

PPDGJ
DSM-IV Criteria
Terapi Depresi
• Sasarannya adalah perubahan biologis/efek
berupa mood pasien.
• Karena mood pasien dipengaruhi kadar
serotonin dan nor-epinefrin di otak, maka
tujuan pengobatan depresi adalah modulasi
serotonin dan norepinefrin otak dengan agen-
agen yang sesuai.
• Dapat berupa terapi farmakologis dan non
farmakologis.
Terapi Non Farmakologis
• PSIKOTERAPI
– interpersonal therapy: berfokus pada konteks sosial
depresi dan hub pasien dengan orang lain
– cognitive - behavioral therapy „: berfokus pada mengoreksi
pikiran negatif, perasaan bersalah yang tidak rasional dan
rasa pesimis pasien

• ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT): aman dan


efektif, namun masih kontroversial „
– diindikasikan pada : ™
depresi yang berat ™diperlukan respons
yang cepat, ™™respon terhadap obat jelek
Terapi Farmakologis
Dosis Obat Antidepresan
97. Zat Psikoaktif
• Opioid
• Ganja
• Hipnotik sedatif
• Amfetamin
• Alkohol
• Kokain
• Halusinogen
Intoksikasi vs Putus Obat
• Intoksikasi adalah gejala yang timbul akibat
mengkonsumsi NAPZA dalam jumlah yang
menimbulkan tanda dan gejala.

• Putus obat adalah gejala yang timbul akibat


mengurangi atau menghentikan konsumsi
NAPZA.

• Toleransi adalah kebutuhan dosis zat NAPZA lebih


besar untuk menimbulkan gejala.
Tatalaksana Intoksikasi
• Intoksikasi gol. Opioid: Naloxone 0,4-2 mg IV,
dapat pula diulang setiap 2-3 menit, sampai dosis
maksimal 10 mg.
• Intoksikasi ganja/ kanabis: Reassurance, bila perlu
dapat diberikan obat golongan benzodiazepin
(diazepam, clobazam).
• Intoksikasi kokain/ amfetamin: Diazepam 10-30
mg po atau iv, atau clobazam 3x10 mg. Bila
terdapat palpitasi, dapat diberikan propranolol.
• Intoksikasi gol. Hipnotik sedatif: waspadai tanda
depresi pernafasan, oksigen.
98. F50 Gangguan Makan
F50.0 Anoreksia Nervosa
 u/ diagnosis dibutuhkan :
 BB dipertahankan 15 % dibawah yang seharusnya
 Berkurangnya BB dilakukan sendiri dengan cara
menghindari makanan

• Distorsi ‘body image’ takut gemuk terus menerus.

• Adanya gangguan endokrin yang meluas

• Jk terjadi pada masa pra-pubertas maka perkembangan


pubertas tertunda
 F50.2 Bulimia Nervosa
 u/ diagnosis pasti dibutuhkan:
 Terdapat pre-okupasi yang menetap u/
makan dan ketagihan.
 Pasien berusaha melawan efek kegemukan
dengan :
▪ Merangsang muntah o/ diri sendiri
▪ Menggunakan pencahar berlebihan
▪ Menggunakan obat penekan nafsu makan
 Merasa ketakutan yang luar biasa u/ gemuk
PPDGJ

99. Skizofrenia
Skizofrenia Gangguan isi pikir, waham, halusinasi, minimal 1
bulan
Paranoid merasa terancam/dikendalikan
Hebefrenik 15-25 tahun, afek tidak wajar, perilaku tidak dapat diramalkan,
senyum sendiri
Katatonik stupor, rigid, gaduh, fleksibilitas cerea
Skizotipal perilaku/penampilan aneh, kepercayaan aneh, bersifat magik, pikiran
obsesif berulang
Waham menetap hanya waham
Psikotik akut gejala psikotik <2 minggu.
Skizoafektif gejala skizofrenia & afektif bersamaan
Residual Gejala negatif menonjol, ada riwayat psikotik di masa lalu yang
memenuhi skizofrenia
Simpleks Gejala negatif yang khas skizofrenia (apatis, bicara jarang, afek
tumpul/tidak wajar) tanpa didahului halusinasi/waham/gejala
psikotik lain. Disertai perubahan perilaku pribadi yang bermakna
(tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, penarikan diri).
100. Gangguan Short Term Memory
• Gangguan short term memory merupakan
gangguan memori terhadap suatu kejadian yang
terjadi dari 30 detik yang lalu hingga 5-7 hari.

• Gangguan short term memory umumnya terjadi


akibat gangguan pada lobus frontal.

• Faktor risiko gangguan short term memory antara


lain hipoksia kronik, alkoholisme, epilepsi, riwayat
CABG, depresi.
DD/ Gangguan Obsesi Kompulsi
• Berdasarkan PPDGJ-III, Gejala-gejala obsesif-
kompulsif harus mencakup hal-hal sebagai berikut :
– Harus disadari sebagai pikiran atau implus dari diri sendiri.
– Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak
berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi
dilawan oleh penderita.
– Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan
merupakan hal yang memberi kepuasan atau
kesenangan, melainkan disebabkan oleh rasa cemas yang
berlebihan.
– Gagasan, bayangan pikiran, atau implus tersebut harus
merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan
(unpleasantly repetitive).
KULIT & KELAMIN,
MIKROBIOLOGI,
PARASITOLOGI
101. Balantidiasis
Balantidium coli

~70 x 45 m ~55 m
(up to 200 m)
Balantidiasis: Gejala

• Biasanya asimptomatik
• Kista atau trofozoit dalam feses
• Gejala umum
– Diare kronik, disentri, mual, napas berbau, kolitis,
nyeri perut
Balantidiasis: Terapi
Terapi Balantidiasis
• Antibiotik tetrasiklin, metronidazol, dan iodoquinol

– Tetracycline: Dewasa 500 mg, PO, 4x/hari selama 10 hari;


Anak ≥ 8 tahun, 40 mg/kg/hari (max. 2 gram), PO, 4x/hari
selama 10 hari
• Note: kontraindikasi pada wanita hamil dan anak < 8 tahun

– Metronidazole: Dewasa, 500-750 mg, PO, 3x/hari selama 5


hari; Anak, 35-50 mg/kg/hari, PO, 3x/hari selama 5 hari

– Iodoquinol: Dewasa, 650 mg, PO, 3x/hari selama 20 hari;


Anak, 30-40 mg/kg/hari (max 2 g), PO, 3x/hari selama 20
hari

http://www.cdc.gov/dpdx/balantidiasis/tx.html
102. Infeksi Cestoda: Taenia Sp.

• Berasal dari hospes perantara sapi dan babi


• Sebaran: Eropa, Timur Tengah, Afrika, Asia,
Amerika Utara, Amerika Latin, Rusia, Indonesia
• Morfologi
– T. saginata: Panjang sekitar 3-5 m, terdiri dari 2000
proglotida. Scolexnya mempunyai 4 batil isap
– T. Solium: 1,8-3 m, memiliki duri yang menancap,
dapat menimbulkan sistiserkosis bila telur tertelan
P E R B E DAAN KAR AKTE R I STI K
T. s a g i n a t a T. s o l i u m
Penyakit Taeniasis Taeniasis dan sistiserkosis
Panjang cacing dws 4-12 m 2-4 m & 8 m
∑ proglotid 1000-2000 800-1000
Skolek Tanpa rostelum/kait-kait Punya rostelum + kait-kait

Proglotid Keluar sendiri scr aktif Keluar bersama tinja 2-3 progl.
satu-satu
Matang Ovarium 2 lobus Ovarium trilobus
Gravid 15-30 cabang lateral 7-12 cabang lateral
∑ telur/proglotid 100.000 30.000-50.000
Larva Cystisercus bovis Cystisercus cellulose
Hospes perantara Sapi Babi dan manusia
Cara infeksi Makan daging sapi yg Makan daging babi yg mengandung
mengandung cystisercus cystisercus cellulose (mjd taeniasis)
bovis dan tertelan telur (mjd sistiserkosis)
Taenia sp. : Sistiserkosis
• Menghinggapi jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot, jantung, hati,
paru dan rongga perut
• Keterlibatan mata dan SSPNeurosistiserkosis
• Dapat mengalami kalsifikasi pada jaringan otak atau medula spinalis
(jarang bergejala  bila bergejala  epilepi, meningo-ensefalitis, nyeri
kepala, kelainan jiwa

• Diagnosis
– Ekstirpasi benjolan  periksa histopatologi
– Radiologis: CT scan atau MRI
– Deteksi antibodi: ELISA, Western blot,
uji hemaglutinasi, coproantigen pada tinja
– Deteksi DNA dengan PCR
Neurocysticercosis
• Cysticercosispenyakit akibat infeksi T. Solium
• Neurocysticercosis  penyakit akibat infeksi T. solium
ke CNS
• Terbagi menjadi parenkimal dan ekstraparenkimal
- Pada parenkimal, penyakit terjadi karena T. solium menginfeksi
parenkim otak
- Pada ekstraparenkimal, penyakit terjadi karena T. solium bermigrasi ke
dalam CSF dan masuk ke ventrikel, sisterna, subarachnoid, dan juga
mata dan medulla spinalis
• Akan tetapi, 80% asimptomatik
• Gejala umum: kejang, peningkatan TIK,
meningoensefalitis, gangguan psikiatri, stroke, dan
radikulopati dan/atau myelopati
Neurocysticercosis
• Neurocysticercosis parenkimal
- Kejang fokal, fokal dengan parsial umum, atau umum
- Nyeri kepala seperti migrain atau tension
- Defisit neurokognitifsulit mempelajari sesuatu, depresi, bahkan
psikotik
• Neurocysticercosis ekstraparenkimal
- Nyeri kepala
- Hidrosefalus
- Peningkatan TIK (mual, muntah, nyeri kepala, penurunan
kesadaran, dsb)
- Jika terdapat di basilar cisterns bisa menyebabkan hidrosefalus
komunikans atau bahkan lacunar infarct
- Jika ada di spinalradiculopaty
- Jika di matagangguan penglihatan
Neurocysticercosis
• Tatalaksana
- Operasi eksisi pada lesi
- Antikonvulsan jika kejang
- Kortikosteroidjika ada edema serebri atau vaskulitis
(prednisone 1mg/kgBB/hari)
- Antihelmintik (hanya dipakai jika tidak ada edema
serebri, jika ada ditangani dulu dengan kortikosteroid):
Albendazole 2x400 mg selama 8-30 hari atau
praziquantel 3x 50-100 mg/kgBB/ hari selama 14 hari
Infeksi Cestoda lain: Kista Hidatid
• Etiologi: Echinococcus granulosus

• Hospes definitif: Anjing dan carnivora lainnya.

• Manusia terinfeksi oleh stadium larva 


hidatidosis (tipe unilokular)

• Penyebaran : Australia, Afrika, Amerika, Eropa,


RRC, Jepang, Filipina dan Arab.
Morfologi dan Siklus Hidup
• Panjang 3 – 6 mm (cacing pita terkecil dari kelompok Cestoda)

• Terdiri atas skoleks , leher dan 3 buah proglotid(1 imatur, 1


matur dan 1 gravid)

• Proglotid gravidnya paling besar dan paling panjang.

• Cacing dewasa hidup melekat pd vilus usus halus anjing,


karnivora dan Hospes definitif lainnya.

• Telur dikeluarkan bersama tinja anjing

• Hospes Perantara: kambing, domba, babi, unta,& manusia.


Morfologi dan Siklus Hidup

• Bila telur tertelan oleh hospes perantara, maka telur


menetas di rongga duodenum dan embrio yang keluar
menembus dinding usus aliran limfe dan peredaran
darah  alat-alat dalam spt. hati, paru, otak, ginjal,
limpa, otot, tulang dll.

• Dalam organ terbentuk kista hidatid (tipe unilokular).


• Ukuran dapat sebesar buah kelapa dalam 10-20 thn.
Echinococcus granulosus

LARVA :
HIDATID
BENTUK
GELEMBUNG

TELUR
Daur hidup E. garanulosus
Patologi dan Gejala Klinis
Gejala dan Tanda
• Tergantung kepada tempat dan ukuran kista
hidatid.
• Pada stadium awal >>> asimtomatik.
• Apabila ukuran kista membesar :
1. Desakan kista hidatid,
2. Cairan kista yang dapat menimbulkan reaksi
alergi,
3. Bila kista pecah, cairan kista masuk peredaran
darah anaphylactic shock- †
Diagnosis Klinis

1. Diagnosis klinik berdasarkan pertumbuhan


kista/tumor yg lambat (khususnya di hepar)

2. DD: keganasan, abses amouba, dan kista kongenital

3. Pemeriksaan Rontgen bermanfaat untuk kista


pulmonal & kista yang mengalami kalsifikasi

4. USG hepar bermanfaat untuk mendeteksi kista


hidatid
Diagnosis Laboratorium

1. Menemukan protoskoleks
2. Menemukan brood capsule
3. Menemukan kista baru pada pasca operasi
4. Menemukan fragmen hidatid dari pecahan kista di
dalam sputum dan urin.
5. Menemukan skoleks dari cairan kista.
6. Reaksi Casoni (skin tes, hasil tes memperlihatkan
positif palsu 14 %)
7. Tes serologi (ELISA, IHA, IFA, & IEF)
Pengobatan, Prognosis, Epidemiologi

• Terapi Definitif: Operasi

• Prognosis
• Bila kista unilokuler dapat dioperasi dan diangkat

• Epidemiologi
– Daerah peternakan domba dan berhubungan
erat dengan anjing
Pencegahan penyakit hidatidosis oleh E. granulosus
1. Menghindari/mencegah anjing memakan sisa
daging/bangkai hewan ternak.
2. Mengurangi populasi anjing.
3. Pengobatan massal thdp anjing utk membunuh cacing
dewasanya.

Proteksi perorang :
1. Hindari hubungan yg erat dg anjing, kucing & hewan
karnivora lainnya.
2. Hindari makanan sayuran mentah/yg terkontaminasi
tinja anjing.
3. Pemeriksaan secara periodik trhdp orang-orang di
daerah endemik/erat hubungannya dgn anjing, utk tes
serologis tentang zat anti Echinoccocus.
103. Malaria
Malaria the disease

• 9-14 day incubation


period
• Fever, chills, headache,
back and joint pain
• Gastrointestinal
symptoms (nausea,
vomiting, etc.)
Malaria the disease

• Malaria tertiana: 48h


between fevers (P. vivax
and ovale)

• Malaria quartana: 72h


between fevers (P.
malariae)

• Malaria tropica: irregular


high fever (P. falciparum)
Tatalaksana Malaria Vivaks dan Ovale

• Lini pertama
– Menggunakan ACT: artesunat + amodiakuin atau
dihydroartemisinin piperakuin (DHP)
– Dosis: sama seperti malaria falciparum, namun primakuin
diberikan selama 14 hari dengan dosis 0.25 mg/kgBB

• Lini kedua (bila resisten terhadap lini pertama)


– Kina + primakuin
– Dosis:
• Kina: 10 mg/kgBB/kali, 3x/hari, PO, selama 7 hari
• Primakuin: 0.25 mg/kgBB/hari selama 14 hari (0.5 mg bila relaps)
Tatalaksana Malaria Malariae dan Malaria Mix
(Falciparum + Vivaks)

• Malaria malariae
– ACT 1x/hari selama 3 hari

• Malaria Mix
– ACT selama 3 hari ditambah
– Hari 1-14 primakuin dosis 0.25 mg/kgBB
Leishmaniasis
• Definition:
– the collective name for a number of diseases caused by
protozoan flagellates of genous leishmania , which have
diverse clinical manifestations
• Transmitted by the bite of sand fly
• Leshmaniasis protozoan pathogens are about 20
different species and can be categorized into 3 groups:
– Leshmania Donovani
– Leshmania Tropica
– Leshmania Braziliensis

Gomes CM, et all. Complementary exams in the diagnosis of american tegumentary leishmaniasis. An.
Bras.Dermatol. vol.89 no.5 Rio de Janeiro Sept./Oct. 2014. in http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S0365-
05962014000500701&script=sci_arttext
www.pitt.edu/~super7/22011-23001/22291.ppt
www.ssu.ac.ir/fileadmin/.../Power_point/.../Leish
nia_parasites.ppt

Morphology of leishmania parasites

*in vertebrate hosts * in sandfly vectors


Amastigote Promastigote
(Leishman body) (Leptomonad)
Promastigote
(leptomonad) form
Siklus Hdup
Kala-azar/Black fever
http://www.slideshare.net/jasonwalkeratl/chpt-23-for-students-ppt
Diagnostic
• Direct visualization
– Sample from peripheral blood or aspirates from marrow, spleen,
lymph nodes, or skin lesions should be spread on a slide to make a
thin smear and stained with Leishman stain or Giemsa stain
• Amastigotes (Leishman-Donovan bodies)
• Amastigotes are seen within monocytes or, less commonly in neutrophils, of
peripheral blood and in macrophages of aspirates
• They are small, round bodies 2–4 μm in diameter with indistinct cytoplasm, a
nucleus, and a small, rod-shaped kinetoplast
• Indirect immunological methodsinsufficient sensitivity and
specificity
– enzyme-linked immunosorbent assay
– antigen-coated dipsticks
– direct agglutination test
• PCR specific and sensitive diagnostic procedure

https://en.wikipedia.org/wiki/Leishmaniasis
Microscopy finding

A B
TREATMENT
• SODIUM ANTIMONY STIBO GLUCONATE
• PENTAMIDINE ISTHIONATE
• AMPHOTERICIN-B
• Miltefosine (Impavido ®) (approval by the Indian and
German Regulatory Authorities (2003)
• Phase III Trials with a first-generation vaccine (killed
Leishmania organism mixed with a low concentration of
BCG as an adjuvant) have also yielded promising results
• Leishmania major mixed with BCG have been successful
in preventing infection with Leishmania donovani.
104. Eritrasma
• Etiologi: Corynebacterium minutissimum (coral
red pada lampu Wood)
• Predileksi: pada daerah lipatan kulit
• Efloresensi: Plak berwarna pink kemerahan
dengan skuama halus  berubah menjadi coklat
dan bersisik
Tatalaksana
• Infection may be treated with topical and/or
oral agents.
• C minutissimum is generally susceptible to
penicillins, first-generation cephalosporins,
erythromycin, clindamycin, ciprofloxacin,
tetracycline, and vancomycin.
• Erythromycin is the drug of choice.
105. Infeksi Parasit
Organisme Penyakit Gambaran Klinis
Dermatophagoides Asma, Reaksi alergi
(tungau debu Dermatitis
rumah) Alergi
Sarcoptes scabei Scabies 4 tanda kardinal: Pruritus nocturna, riwayat terinfeksi
skabies dalam keluarga, adanya terowongan, dan
ditemukannya tungau
Trichuris triciura Trichuriasis Anemia (hidup di sekum- colon asendens) gejala
diare-disentri atau tanpa gejala
Ancylostoma Cutaneus Larva Stadium larva: eritem, papul, eritema berkelok-
brazilience Migran kelok, pustule, gatal

Ankilostomiasis Anemia (usus halus)


Trichinella spiralis trikiniasis Mialgia, miosistis, demama, hipereosinofilia
Cutaneus larva migrans
• Peradangan berbentuk linear, berkelok-kelok,
menimbul dan progresif

• Etiologi: Ancylostoma braziliense dan


Ancylostoma caninum

• Larva masuk ke kulit menimbulkan rasa gatal


dan panas, diikuti lesi linear berkelok-kelok,
menimbul, serpiginosa membentuk
terowongan

• Gatal hebat pada malam hari

• Terapi
• Tiabendazole (DOC)  sediaan oral sulit
didapat & ditoleransi  dipilih sediaan krim
atau lotion 15% 2-3x/hari selama 5 hari
• Albendazole 1x400 mg selama 3 hari,
Cryotherapy, Kloretil
Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI Hal 125-126
106. Tinea kapitis
• Kelainan pada kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh dermatofit

• Bentuk klinis:
– Grey patch ringworm (biasanya disebabkan
Microsporum)
• Papul merah yang melebar, membentuk bercak, pucat,
bersisik. Rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat, mudah
patah dan tercabut. Lampu Wood: hijau kekuningan.
– Kerion (Microsporum atau Tricophyton)
• Reaksi peradangan berat pada tinea kapitis, pembengkakan
menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang.
Dapat menimbulkan jaringan parut dan alopesia menetap.
Fluoresensi (+/-)
– Black dot ringworm (biasanya disebabkan
Tricophyton tonsurans dan Trycophyton violaceum)
• Rambut yang terkena infeksi patah pada muara folikel, dan
yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora
(black dot). Fluoresensi (-)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
3 Pola Invasi Rambut pada Tinea Kapitis
E C TO T H R I X E NDOTHRI X
• Fluoresen kuning • Tanpa fluoresen • Fluoresen abu • Tanpa fluoresen
kehijauan terang – M. fulvum kehijauan kusam – T. gourvillii
– Microsporum – M. Gypseum – Trichophyton – T. Soudanense
audouinii – T. Megninii schoenleinii – T. tonsurans
– M. canis – T. Mentagrophytes – T. Violaceum
– M. Ferrugineum – T. Rubrum – T. Yaoundei
– T. verrucosum
Drug of Choice Dermatofita

D E R M ATO F I TA DOC
Tinea Kapitis • Griseofulvin: DOC untuk spesies Microsporum
• Terbinafin: DOC untuk spesies Trichophyton

Tinea barbae, tinea manum, • Mengenai struktur kulit bagian dalam  butuh terapi
Tinea korporis luas sistemik
• DOC: Terbinafin, itrakonazol, flukonazol

Tinea facialis, Tinea korporis, • Mengenai struktur kulit superfisial  terapi topikal
tinea kruris, tinea pedis • DOC: grup alilamin (terbinafin, naftifin)

Tinea Unguium • Oral lebih baik dibanding topikal


• DOC: Terbinafin
Medications Used to Treat Tinea Kapitis
Tinea Kapitis: Gambaran
107. Herpes zoster

Herpes Zoster Lesi Kulit pada Herpes Zoster


• Penemuan utama dari PF:
kemerahan yang terdistribusi
unilateral sesuai dermatom
• Rash dapat berupa eritematosa,
makulopapular, vesikular, pustular,
atau krusta tergantung tahapan
penyakit
• Terapi nyeri: Gabapentine
oral/NSAID topikal/Lidocaine topikal
• Anti-Viral (diberikan < 72 jam
setelah onset, atau pada
manula/imunokompromais)
– Acyclovir (5x800mg) selama 7 hari
– Valgancyclovir, Famcyclovir
• Komplikasi
– Neuralgia pasca herpes, herpes zoster
oftalmika, sindrom Ramsay-Hunt
108. Ulkus Molle (Chancroid)
• Ulkus Molle: Penyakit infeksi pada alat kelamin yang akut,
setempat disebabkan oleh Haemophillus ducreyi

• Ulkus: kecil, lunak, tidak ada indurasi, bergaung, kotor (tertutup


jaringan nekrotik dan granulasi)

PATOGENESIS :
• Masa inkubasi : 1-3 hari
• Port d’entrée  merah  papul  pustula  pecah  ulkus
• Ulkus :
 Multiple
 Tidak teratur
 Dinding bergaung
 Indurasi +
 Nyeri (dolen)
 Kotor
ULKUS MOLE: DIAGNOSIS BANDING
Ulkus Durum Ulkus Mole
Etiologi T. Pallidum H. Ducreyi
Masa inkubasi 10 – 90 hari 1 – 14 hari
Jumlah lesi Soliter Multipel
Bentuk Bulat, bulat lonjong Bulat atau lonjong, bentuk cawan
Tepi lesi Tepi rata, tanda radang (-) Tidak rata / ≠ teratur, tanda radang (+)
Dinding Tegak lurus Bergaung

Dasar Bersih, merah Jaringan granulasi yg mudah berdarah


Isi Serum Jaringan nekrotik, pus
Perabaan / konsistensi Indurasi (+) Indurasi (-)
Nyeri atau tidak Indolen / tidak nyeri Dolen / nyeri
Pembesaran KGB Tanda supurasi (-) Tanda supurasi (+)
Terapi Ulkus Mole

• Recommended regimen (CDC, 2015):


– Azitromycin 1 gr, oral, single dose.
– Seftriakson 250 mg dosis tunggal, injeksi IM
– Siprofloksasin 2x500 mg selama 3 hari
– Eritromisin 3x500 mg selama 7 hari

• Topikal: Kompres dengan larutan normal salin


(NaCl 0,9%) 2 kali sehari selama 15 menit.
109. Neurodermatitis
• Nama lain: Liken Simplek kronikus sebuah
peradangan kulit kronis, gatal, sirkuskripta

• Ditandai dengan kulit tebal dan likenifikasi

• Etiologi: pruritus yang diakibatkan oleh gagal ginjal


kronis, obstruksisaluran empedu, limfoma hodgkin,
dermatitis atau aspek psikologi

• Gejala klinis: pruritus, plak eritematosa, likenifikasi


dan ekskoriasi.

Buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin FKUI edisi kelima
Neurodermatitis: Tatalaksana
• Tata laksana neurodermatitis:
– Edukasi bahwa garukan akan memperburuk lesi
– Antipruritus: antihistamin dengan efek sedatif
– Kortikosteroi topikal atau intalesi
– Ter yang mempunyai efek antiinflamasi
Dermatitis Numularis

Sinonim
Ekzem numular
Ekzem diskoid

Etiopatogenesis
Tidak diketahui : Multi Faktor
Peningkatan koloni Staphylococcus &
Micrococcus

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Dermatitis Numularis: Etiologi

• Mekanisme → Hipersensitifitas, infeksi oleh


bakteri
• Dermatitis kontak ( nikel, krom, kobalt )
• Trauma fisik / kimiawi
• Kelembaban kurang → kulit kering
• Stres emosional

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Dermatitis Numularis: Gejala Klinis
• >> pada laki-laki
– awitan 55 th – 65 th/ 15 th – 25 th
• Subjektif : gatal hebat
• Objektif
• Lesi awal: vesikel / papulovesikel 
bergabung  Coin berbatas tegas, edematosa
& eritematosa
• Vesikel pecah : krusta kekuningan  melebar :
ukuran ± 5 cm

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Dermatitis Numularis: Morfologi
• Lesi lama: Likenifikasi, skuama

• Predileksi: Tungkai bawah, lengan bawah, badan


dan punggung tangan

• Distribusi: Bilateral, simetris

• Jumlah: 1 atau lebih tersebar

• Ukuran: Bervariasi milier – plakat

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Dermatitis Numularis: Perjalanan Penyakit

• Perjalanan Penyakit
– Papula, makula, vesikula  bergabung menjadi
bulatan batas tegas, eritematosa  vesikel pecah
 eksudasi & krusta  likenifikasi & skuama

Atlas Penyakit Kulit & Kelamin


Airlangga University Press
Dermatitis Numularis: Terapi

UMUM
• Cari faktor provokasi
• Fokal infeksi
• Kulit kering
• Hindari bahan iritan / alergen

KHUSUS
• Sistemik: Antibiotika
Kortikosteroid
• Topikal: Kompres PK 1/10.000 (lesi basah)
Kortikosteroid (lesi kering)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Dermatitis Numularis: Diagnosis Banding
110. Reaksi Kusta
• Interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik

• Dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama


gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat
menimbulkan kecacatan pada pasien kusta

• Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat


pengobatan, pada saat pengobatan, maupun sesudah
pengobatan  paling sering terjadi pada 6 bulan sampai
satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.
Morbus Hansen: Istilah
Reaksi Deskripsi

Pure neuritis leprosy Jenis lepra yang gejalanya berupa neuritis saja

Bentuk stabil dari lepra, lesi minimal, gejala lebih


Lepra Tuberkuloid ringan. Tipe yg termasuk TT (Tuberkuloid polar), Ti (
Tuberkuloid indenfinite), BT (Borderline Tuberkuloid)

Lesi bertambah aktif (timbul lesi baru, lesi lama


Reaksi Reversal menjadi kemerahan), +/- gejala neuritis. Umum pada
tipe PB

Eritema Nodusum Nodul Eritema, nyeri, tempat predileksi lengan dan


Leprosum tungkai, Umum pada MB
Reaksi berat, eritematous, purpura, bula, nekrosis
Fenomena Lucio serta ulserasi yg nyeri
Reaksi Kusta: Klasifikasi (Terbaru)
ERITEMA NODOSUM LEPROSUM REAKSI REVERSAL/ REAKSI
(ENL) UPGRADING
• Respon Imun humoral • Reaksi hipersensitivitas tipe
(kompleks imun) lambat
• Tidak terjadi perubahan tipe • Reaksi borderline (dapat
• Klinis berubah tipe)
– Nodus eritema (penanda)
• Klinis
– Nyeri (predileksi lengan &
tungkai) – Sebagian/seluruh lesi yang
– Gejala konstitusi ringan sd telah ada bertambah aktif dan/
berat timbul lesi baru dalam waktu
– Dapat mengenai organ lain relatif singkat
(iridosiklitis, neuritis akut, – Dapat disertai neuritis akut
artritis, limfadenitis dll) • Pada pengobatan 6 bulan
• Pada pengobatan tahun kedua pertama

Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Reaksi Kusta: Tipe 1
(Reaksi Reversal)

• Rekasi hipersensitivitas tipe IV


(Delayed Type Hypersensitivity Reaction)

• Terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL)

• Biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat


pengobatan

• Patofisiologi
– Terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman
kusta dikulit dan syaraf  berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati
akibat pengobatan yang diberikan
Reaksi Kusta: Tipe 2

• Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)

• Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III

• Terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL)



• Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami
episode ENL

• Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul
pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT)

• Patofisiologi: Manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada


pembuluh darah.
Morbus Hansen
REAKSI LESI
• Pada tipe MB (BL,LL)
Eritema nodosum • Nodus eritema dan nyeri
leprosum (reaksi • Predileksi : lengan dan tungkai
kusta tipe 2) • Tidak terjadi perubahan tipe
• Hipersensitivitas tipe 3
• Pada tipe borderline (Li,BL,BB,BT,Ti)
Reaksi • Terjadi perubahan tipe
reversal/borderline/ • Lesi menjadi lebih aktif/timbul lesi baru
upgrading (reaksi • Peradangan pada saraf dan kulit
kusta tipe 1) • Pada pengobatan 6 bulan pertama
• Hipersensitivitas tipe 4
• Reaksi kusta yang sangat berat
• Pada tipe lepromatosa non-nodular difus
Fenomena lucio • Plak/infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, nyeri
(+). Jika lebih berat dapat disertai purpura dan bula
• Dimulai dari ekstremitas lalu menyebar ke seluruh tubuh
Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI hal 82-83
Faktor Pencetus Reaksi Kusta

Buku Panduan Praktik Klinis. IDI


Perbedaan Reaksi Kusta 1 dan 2

Buku Panduan Praktik Klinis. IDI


Reaksi Kusta: Pengobatan
ERITEMA NODOSUM LEPROSUM REAKSI REVERSAL/ REAKSI
(ENL) UPGRADING
• Kortikosteroid • Tanpa neuritis akut
– Prednison 15-30 mg/hari – Tidak ada pengobatan selain
(dapat timbul ketergantungan)
MDT

• Klofazimin
– 200-300 mg/hari • Dengan neuritis akut
– Khasiat lebih lambat dari – Prednison 40 mg/hari  lihat
kortikosteroid skema
– Dapat melepaskan
ketergantungan steroid
– Efek samping: kulit berwarna
merah kecoklatan (reversible)

Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Reaksi Reversal: Pengobatan
Minggu Pemberian Prednison Dosis Harian yang Dianjurkan
• Minggu 1-2 40 mg
• Minggu 3-4 30 mg
• Minggu 5-6 20 mg
• Minggu 7-8 15 mg
• Minggu 9-10 10 mg
• Minggu 11-12 5 mg

• Pemberian Lampren
– 300 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 200 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 100 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 50 mg/hari bila pasien masih dalam pengobatan MDT, atau stop bila
penderita sudah dinyatakan RFT

Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
E.N.L

Lucio’s phenomenone
Reversal reaction of leprosy
111. Moluskum
Kontagiosum
• Penyakit yang disebabkan oleh poxvirus berupa papul-papul, pada
permukaannya terdapat lekukan, berisi massa yang mengandung badan
moluskum
• Transmisi: kontak langsung, autoinokulasi
• Gejala:
– Masa inkubasi: satu hingga beberapa minggu
– Papul miliar, kadang-kadang lentikular dan berwarna putih seperti lilin, berbentuk
kubah yang ditengahnya terdapat lekukan, jika dipijat keluar massa yang berwarna
putih seperti nasi
– Predileksi: muka, badan, ekstremitas, pubis (hanya pada dewasa)
• Pemeriksaan:
– Sebagian besar berdasarkan klinis
– Pemeriksaan mikroskopik badan moluskum (Henderson-Paterson bodies) –
menggunakan pewarnaan Giemsa atau gram
– Diagnosis pasti: biopsi kulit menggunakan pewarnaan HE
• Tata laksana: mengeluarkan massa (manual, elektrokauterisasi, bedah beku)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Bhatia AC. Molluscum contagiosum. http://emedicine.medscape.com/article/910570-overview
112. Schistosoma

• Penyakit : skistosomiasis= bilharziasis


• Spesies tersering: S. japonicum dan S. haematobium

• Morfologi dan Daur Hidup


– Hidup in copula di dalam pembuluh darah vena-vena usus,
vesikalis dan prostatika.
– Di bagian ventral cacing jantan terdapat canalis
gynaecophorus, tempat cacing betina.
– Telur tidak mempunyai operkulum dan berisi mirasidium,
mempunyai duri dan letaknya tergantung spesies.
– Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah,
bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus
atau kandung kencing
– Telur menetas di dalam air mengeluarkan mirasidium
Daur Hidup Schistosoma sp.
Schistosoma Haematobium
• Tersebar terutama di Afrika dan Timur Tengah
• Ukuran telur: panjang 110-170 µm dan lebar 40-70
µm, memiliki tonjolan spinal
• Telur mengandung mirasidium matur yang tersebar
di urin
Schistosoma japonicum

TELUR
BENTUK : BULAT AGAK LONJONG DNG
TONJOLAN DI BAGIAN
LATERAL DEKAT KUTUB
UKURAN : 100 x 65 µm
TELUR BERISI EMBRIO
TANPA OPERKULUM
Tersebar di daerah Timur (termasuk
Indonesia)

SERKARIA
Schistosoma sp
EKOR BERCABANG
Gejala Klinis dan Px Penunjang
– Efek patologis tergantung jumlah telur yang dikeluarkan
dan jumlah cacing
– Keluhan :
• S. mansoni & japonicum: demam Katamaya, fibrosis periportal,
hipertensi portal, granuloma pada otak & spinal
• S. haematobium: hematuria, skar, kalsifikasi, karsinoma sel
skuamosa, granuloma pada otak dan spinal
– Pada infeksi berat → Sindroma disentri
– Hepatomegali timbul lebih dini disusul splenomegali;
terjadi 6-8 bulan setelah infeksi

– Px Penunjang:
• Mikroskopik feses: semua spesies
• Mikroskopik urin: spesies haematobium

Sumber: http://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/dx.html
Terapi Schistosomiasis

Sumber: http://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/dx.html
113. Vaginitis Differentiation
Normal Bacterial Vaginosis Candidiasis Trichomoniasis

Itch, discomfort,
Symptom Itch, discharge, 50%
Odor, discharge, itch dysuria, thick
presentation asymptomatic
discharge
Homogenous,
Clear to adherent, thin, milky Thick, clumpy, white Frothy, gray or yellow-
Vaginal discharge
white white; malodorous “cottage cheese” green; malodorous
“foul fishy”
Inflammation and Cervical petechiae
Clinical findings
erythema “strawberry cervix”

Vaginal pH 3.8 - 4.2 > 4.5 Usually < 4.5 > 4.5

KOH “whiff” test Negative Positive Negative Often positive

Motile flagellated
Clue cells (> 20%),
NaCl wet mount Lacto-bacilli Few WBCs protozoa, many
no/few WBCs
WBCs

Pseudohyphae or
KOH wet mount spores if non-albicans
species 678
Karakteristik beberapa IMS
Penyakit Karakteristik Gambaran

Gonorrhea Duh purulen kadang-kadang disertai darah.


Diplokokus gram negatif.

Trikomoniasis Duh seropurulen kuning/kuning kehijauan, berbau


tidak enak, berbusa. Strawberry appearance.

Vaginosis bakterial Duh berbau tidak enak (amis), warna abu-abu


homogen, jarang berbusa. Clue cells.

Kandidosis vaginalis Duh berwarna kekuningan, disertai gumpalan seperti


kepala susu berwarna putih kekuningan. Sel ragi,
blastospora, atau hifa semu.
Trikomoniasis
• Merupakan salah satu penyakit menular seksual yang disebabkan
oleh infeksi Trichomonas vaginalis
• T. Vaginalis  patogen pada traktus genitourinaria
• Manifestasi Klinis :
– Wanita : sekret vagina berbau warna kekuningan, eritema vulvar,
pruritus, disuria atau dyspareunia
– Inkubasi 5 -28 hari
• Gejala dan Tanda
– Keputihan kuning-kehijauan, berbusa, berbau tidak enak
– Strawberry cervix: abses kecil pada dinding vagina dan serviks 
dispareunia dan perdarahan pasca koitus
– pH > 4,5
• Diagnosis
– Pemeriksaan sekret vagina dengan preparat basah  menemukan
trikomonas motile
– Imunofluoresen direk  lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan
preparat basah (sensitifitas 70 – 90%)
Tatalaksana Trikomoniasis (CDC, 2015)
114. Miasis
• Miasis adalah kontaminasi tubuh oleh larva
lalat ordo Diptera

• Biasanya pada luka terbuka yang tidak bersih


dan menyebabkan larva bisa sampai ke luka
tersebut

• Secara klinis dikelompokkan menjadi


– (Myasis sanguinivorus (penyedot darah)
– Kutaneus (furunkular dan migratorik) 
paling sering
– Myasis pada luka (wound myasis)
– Myasis pada kavitas

• Penanganan larva adalah dengan menjaga


kebersihan diri dan luka. Larva harus
dibersihkan dan luka juga dibesihkan.
Apabila dicurigai terdapat infeksi bakteri
dapat diberikan antiobiotik.
Miasis: Faktor Risiko
• Adanya nekrosis, pH luka basa, higienitas buruk, serta
status sosioekonomi rendah

• Wound myasis umumnya ditemui pada pasien lanjut usia,


penderita kelainan jiwa, pecandu alkohol, dan korban
bencana alam

• Beberapa kelainan kulit dapat menjadi faktor predisposisi


(terutama yang disertai ulkus dan hiperkeratosis)
– Ulkus neuropatik, psoriasis, keratosis seboroik, onikomikosis,
ulkus stasis, karsinoma sel basal, lipedema, infeksi virus
herpes zoster, noma, limfedema filaria, kondiloma akuminata,
pedikulosis, impetigo, dan lepra
Miasis: Perjalanan Penyakit
• Telur menetas  mengeluarkan larva 
mengkonsumsi jaringan di bawah kulit  timbul
kerusakan jaringan luas dan luka bergaung

• Selama larva masih terdapat dalam luka, maka luka


akan mengeluarkan cairan bercampur darah yang
berbau busuk

• Diagnosis: melalui pemeriksaan klinis


– Kecurigaan adanya infeksi oleh larva harus timbul jika
terdapat luka dengan pus yang berbau busuk disertai
sensasi pergerakan dan nyeri, serta adanya faktor risiko

http://www.kalbemed.com/Portals/6/11_219Wound%20Myasis%20pada%20Anak.pdf
Miasis: Tatalaksana
• Prinsip tatalaksana myasis adalah
– Menciptakan kondisi hipoksia lokal untuk memaksa pengeluaran larva
– Mengaplikasikan bahan-bahan yang toksik terhadap larva dan telur
– Mengeluarkan semua larva secara mekanik atau bedah

• Tujuan terapi: Pembersihan luka dari larva secara total dan mengontrol infeksi
sekunder

• Semua larva yang tampak harus segera dikeluarkan, diikuti dengan debridemen
jaringan nekrotik yang tersisa dan irigasi luka yang bergaung

• Irigasi dapat dilakukan menggunakan cairan saline, hidrogen peroksida, larutan


antimikroba, atau kloroform 5–15% dalam minyak

• Pada myasis furunkular, dapat dilakukan penekanan dengan jari-jari pada tepi
luka untuk mengeluarkan larva

• Kondisi hipoksia lokal dapat memicu larva untuk keluar dari luka; hal ini dapat
dilakukan dengan penggunaan bahan-bahan oklusif seperti kloroform, minyak
zaitun, minyak paraffin, bacon, beeswax atau petroleum jelly
115. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS)
• Kemerahan dan nyeri pada wajah,
dada, dan lipatan kulit

• Bula yang cepat pecah

• Terbentuk krusta sekitar mulut

• Menyerang usia muda (bayi), lebih


superfisial, tanpa lesi oral, waktu
singkat

• Etiologi: berhubungan dengan toksin


staphilococcus

• Lesi steril bila dibandingkan dengan


impetigo bulosa

• Dapat disertai konjungtivitis, rinorea,


otitis media, faringitis
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS): Patogenesis

• Staphylococcus Aureus 3a, 3b, 55 dan 57 phage II  menghasilkan


eksfoliatin toksin A (ETA) & eksfoliatin toksin B (ETB) bersifat
epidermolitik

• SSSS vs impetigo bulosa: impetigo bulosa hanya terdapat pada area


lokal sedangkan pada SSSS kerusakan epidermal menyebar luas
keseluruh tubuh (penyebaran secara hematogen)

• SSSS vs TEN: SSSS hanya sebatas intraepidermal sedangkan infeksi


TEN pada seluruh lapisan epidermis (sampai membran basal)

Mekanisme SSSS secara umum

ETA dan ETB disekresikan Staphylococcus Aureus phage II



Toksin menyebar lewat sirkulasi

Epidermolisis
(Pemecahan stratum granulosum dan stratum spinosum pada protein desmoglein)
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS): Terapi
• Dicloxacillin
– Dosis dewasa 125-500 mg PO setiap 6 jam (maksimal 2 g per hari)
– Dosis neonatal 4-8 mg/ kg berat badan per oral setiap 6 jam (<40 kg
12,5-50 mg/ kg/ hari per oral dan > 40 kg 125-500 mg per oral setiap
6 jam)
• Cloxacillin
– Dosis cloxacillin pada dewasa yaitu 250-500 mg per oral setiap 6 jam
dan dosis pada pediatrik yaitu pasien < 20 kg sebanyak 50-100 mg/
kg/ hari per oral dibagi setiap 6 jam (tidak boleh melebihi 4 g per
hari)
– Pada anak > 20 kg diberikan dosis sesuai dengan dosis dewasa
• Salep Mupirocin
– Dioleskan tipis pada area yang terkena 2-5 kali per hari selama 5-14
hari dan pada anak-anak cara penggunaan sama seperti pada pasien
dewasa
• Imunoglobulin (IVIG)
– Terapi pada neonatal premature dengan pemberian dosis tunggal
sebanyak 1 g/ kg dapat membantu mempercepat penyembuhan
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS): Komplikasi

• Sepsis
• Superinfeksi
• Dehidrasi akibat gangguan keseimbangan
elektrolit
• Selulitis
• Pneumonia
ILMU
K E S E H ATAN
ANAK
116. Demam Tifoid
• Etiologi : 96% disebabkan Salmonella typhi, sisanya ole S. paratyphi
• Prevalens 91% kasus terjadi pada usia 3-19 tahun
• Penularan : fekal-oral
• Masa inkubasi : 10-14 hari
• Gejala
– Demam naik secara bertahap (stepwise) setiap hari, suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama. Minggu kedua demam terus menerus tinggi
– Delirium (mengigau), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut,
diare, atau konstipasi, muntah, perut kembung,
– Pada kasus berat: penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus
• Pemeriksaan Fisik
– Kesadaran menurun, delirium, lidah tifoid (bagian tengah kotor, pinggir
hiperemis), meteorismus, hepatomegali, sphlenomegali (jarang). Kadang
terdengar ronki pada pemeriksaan paru

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


• Clinical features:
– Step ladder fever in
the first week, the
persist
– Abdominal pain
– Diarrhea/constipation
– Headache
– Coated tongue
– Hepatosplenomegaly
– Rose spot
– Bradikardia relatif

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.


Pemeriksaan Penunjang
• Darah tepi perifer
– Anemia, terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus
– Leukopenia, Limfositosis reaktif, Trombositopenia (pada kasus berat)
• Pemeriksaan serologis
– Serologi widal : kenaikan titer S.typhi O 1:160 atau kenaikan 4x titer fase akut ke
konvalesens, banyak positif-negatif palsu. Bahkan kadar baku normal di berbagai tempat
endemis cenderung berbeda-beda dan perlu penyesuaian
– Kadar IgG-IgM (Typhi-dot)
– Tubex Test
• Pemeriksaan biakan Salmonella
– The criterion standard for diagnosis of typhoid fever has long been culture isolation of
the organism. Cultures are widely considered 100% specific
– Biakan darah pada 1-2 minggu perjalanan penyakit. Biakan sumsum tulang masih positif
hingga munggu ke-4
• Pemeriksaan radiologis
– Foto toraks (kecurigaan pneumonia)
– Foto polos abdomen (kecurigaan perforasi) Pedoman Pelayanan Medis IDAI
Tatalaksana Demam Tifoid
Tatalaksana Demam Tifoid
117. Infeksi Saluran Kemih
• UTI pada anak perempuan 3-5%, laki-laki 1% (terutama yang
tidak disirkumsisi)
• Banyak disebabkan oleh bakteri usus: E. coli (75-90%),
Klebsiella, Proteus. Biasanya terjadi secara ascending.
• Gejala dan tanda klinis, tergantung pada usia pasien:
– Neonatus: Suhu tidak stabil, irritable, muntah dan diare, napas tidak
teratur, ikterus, urin berbau menyengat, gejala sepsis
– Bayi dan anak kecil: Demam, rewel, nafsu makan berkurang, gangguan
pertumbuhan, diare dan muntah, kelainan genitalia, urin berbau
menyengat
– Anak besar: Demam, nyeri pinggang atau perut bagian bawah,
mengedan waktu berkemih, disuria, enuresis, kelainan genitalia, urin
berbau menyengat
Fisher DJ. Pediatric urinary tract infection. http://emedicine.medscape.com/article/969643-overview
American Academic of Pediatrics. Urinary tract infection: clinical practice guideline for the diagnosis and
management of the initial UTI in febrile infants and children 2 to 24 months. Pediatrics 2011; 128(3).
ISK
• 3 bentuk gejala UTI:
– Pyelonefritis (upper UTI): nyeri abdomen, demam, malaise, mual,
muntah, kadang-kadang diare
– Sistitis (lower UTI): disuria, urgency, frequency, nyeri suprapubik,
inkontinensia, urin berbau
– Bakteriuria asimtomatik: kultur urin (+) tetapi tidak disertai gejala
• Pemeriksaan Penunjang :
– Urinalisis : Proteinuria, leukosituria (>5/LPB), Hematuria
(Eritrosit>5/LPB)
– Biakan urin dan uji sensitivitas
– Kreatinin dan Ureum
– Pencitraan ginjal dan saluran kemih untuk mencari kelainan
anatomis maupun fungsional
• Diagnosa pasti : Bakteriuria bermakna pada biakan urin (>10 5 koloni
kuman per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) yang diambil
pagi hari)

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. & PPM IDAI


Tatalaksana
• Tujuan : Memberantas kuman penyebab, mencegah dan menangani komplikasi dini, mencari
kelainan yang mendasari
• Umum (Suportif)
– Masukan cairan yang cukup
– Edukasi untuk tidak menahan berkemih
– Menjaga kebersihan daerah perineum dan periurethra
– Hindari konstipasi
• Khusus
– Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empirik
selama 7-10 hari
– Obat rawat jalan : kotrimoksazol oral 24 mg/kgBB setiap 12 jam, alternatif ampisilin,
amoksisilin, kecuali jika :
• Terdapat demam tinggi dan gangguan sistemik
• Terdapat tanda pyelonefritis (nyeri pinggang/bengkak)
• Pada bayi muda
– Jika respon klinis kurang baik, atau kondisi anak memburuk berikan gentamisin (7.5
mg/kg IV sekali sehari) + ampisilin (50 mg/kg IV setiap 6 jam) atau sefalosporin gen-3
parenteral
– Antibiotik profilaksis diberikan pada ISK simpleks berulang, pielonefritis akut, ISK pada
neonatus, atau ISK kompleks (disertai kelainan anatomis atau fungsional)
– Pertimbangkan komplikasi pielonefritis atau sepsis
Interpretasi Hasil Biakan Urin
Algoritme
Penanggulangan
dan Pencitraan
Anak dengan ISK
Dosis Obat Pada UTI Anak

Rentang dosis setriakson pada anak dgn


infeksi berat: 50-75 mg/kg/hari
118. GENETIC DISORDER
Patau Mental retardation, heart defects, CNS abnormalities,
Syndrome microphthalmia, polydachtyly, a cleft lip with or without a cleft
Trisomi 13 palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands (with outer
noninherit fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears,
ed Single palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia),
cryptorchidism, Hernia

Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of
life.
Sindrom cryptorchidism, hypospadias, or micropenis, small testes, delayed or
Klinefelter incomplete puberty, gynecomastia, reduced facial and body hair, and
47,XXY an inability to have biological children (infertility).
noninherit Older children and adults tend to be taller. Increased risk of
ed developing breast cancer and SLE.
May have learning disabilities and delayed speech; tend to be quiet,
sensitive, and unassertive.
Sindrom Down mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck,
Trisomi 21 Flattened nose, Separated sutures, Single palm crease, Small
noninherited ears, small mouth, Upward slanting eyes, Wide, short hands
with short fingers, White spots on the colored part of the eye
(Brushfield spots), heart defects (ASD, VSD)

Physical development is often slower than normal (Most


never reach their average adult height), delayed mental and
social development (Impulsive behavior, Poor judgment,
Short attention span, Slow learning)
Sindrom Clenched hands, Crossed legs, abnormally shaped head;
Edward Trisomi micrognathia, Feet with a rounded bottom (rocker-bottom
18 feet), Low birth weight & IUGR, Low-set ears, Mental delay,
Noninherited microcephaly, Undescended testicle, coloboma iris, Umbilical
hernia or inguinal hernia, congenital heart disease (ASD, PDA,
VSD), kidney problems (i.e: Horseshoe kidney, Hydronephrosis,
Polycystic kidney), severe intellectual disability

It is three times more common in girls than boys. Many


individuals with trisomy 18 die before birth or within their first
month.
Sindrom turner The most common feature is short stature, which becomes
45 + XO evident by about age 5. Ovarian hypofunction. Many
noninherited affected girls do not undergo puberty and infertile.
About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back
of the neck, limfedema ekstrimitas, skeletal abnormalities,
or kidney problem, 1/3 have heart defect, such as
coarctation of the aorta.

Most of them have normal intelligence. Developmental


delays, nonverbal learning disabilities, and behavioral
problems are possible
Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh).
3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and
bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum,
Teeth that are too crowded, Flat feet.
Fragile X syndrome Fragile X syndrome is a genetic condition that causes a
Diturunkan secara X- range of developmental problems including learning
linked dominan disabilities and cognitive impairment.

Usually, males are more severely affected by this disorder


than females.
Edward Syndrome
• Higher in females compared to males
• Trisomy 18 is the second most common
autosomal trisomy syndrome after trisomy 21
• Types: full, partial, mosaic
• There is a high percentage of fetuses dying during
labor (38.5%), and the preterm frequency (35%)
• Approximately 50% of babies with trisomy 18 live
longer than 1 week, and 5-10% of children
survive beyond the first year
Clinical description
• Prenatal growth deficiency
• Specific craniofacial features
• minor, major malformations,
• marked psychomotor and cognitive
developmental delay
• The growth delay starts in prenatal period and
continues after the birth
• Associated with feeding problems that may
require enteral nutrition.
PROMINENT
OCCIPUT
SMALL MOUTH
AND JAW DYSPASTIC EARS

SMALL
NECK WIDE SHORT
NIPPLES STERNUM
SHIELD CHEST

CLENCHED HANDS

FLEXED BIG PROMINENT HEELS


TOE
smooth 'rocker
bottom' feet
(with a rounded
base)
clenched
fist with overriding fingers (index finger
overlapping the
third and 5th finger overlapping the 4th
anomalies
dolicocephaly
of the ears

Short
palpebral
fissures micrognathia
short
sternum

small
fingernails,
club feet underdevelop
ed
thumbs
Findings
CARDIOVASCULAR
• 80%-100%
• ventricular and atrial septal defects, patent
• ductus arteriosus and polyvalvular disease
RESPIRATORY
• upper airway obstruction
• (in some case due to a laryngomalacia or
tracheobronchomalacia)
• and central apnea
Findings
CENTRAL NERVOUS SYSTEM GASTROINTESTINAL
• cerebellar hypoplasia, Omphalocele
• agenesis of corpus oesophageal atresia
callosum, tracheo-oesophageal fistula
• polymicrogyria, umbilical or inguinal hernia
• spina bifida imperforate anus
• craniofacial orofacial clefts pyloric stenosis
• eye microphthalmia,
• coloboma, cataract,
• corneal opacities
Developmental and behavior
• Developmental delay is always present
– marked to profound degree of psychomotor and
intellectual disability
– slow gaining of some skills
– Expressive language and independently walk are
not achieved
119. Spina Bifida: Etiology
• The etiology multifactorial, involving genetic,
racial, and environmental factors (teratogen),
nutrition folic acid intake).
• Neural tube defects are the result of a
teratogenic process that causes failed closure
and abnormal differentiation of the embryonic
neural tube.
• Neural tube defects occur between the 17th
and 30th day of gestation.
Classification
• Spina bifida occulta • Meningocele
– This is the mildest form of – the meninges are forced into
spina bifida. the gaps between the
– In occulta, the outer part of vertebrae.
some of the vertebrae is not – With meningocele a sac of
completely closed. fluid comes through an
– The splits in the vertebrae are opening in the baby’s back.
so small that the spinal cord But, the spinal cord is not in
does not protrude. this sac.
– The skin at the site of the – There is usually little or no
lesion may be normal, or it nerve damage. This type of
may have some hair growing spina bifida can cause minor
from it; there may be a disabilities.
dimple in the skin
– asymptomatic in most cases
• Myelomeningocele • Myeloschisis
– the unfused portion of the – the involved area is
spinal column allows the represented by a flattened,
spinal cord to protrude plate-like mass of nervous
through an opening. tissue with no overlying
– The meningeal membranes membrane.
that cover the spinal cord – more prone to life-
form a sac enclosing the threatening infections such as
spinal elements. meningitis.
– The protruding portion of the
spinal cord and the nerves
that originate at that level of
the cord are damaged or not
properly developed  some
degree of paralysis and loss of
sensation below the level of
the spinal cord defect.
Prevention
• T400 micrograms (mcg) of folic acid every day.
If already have had a pregnancy affected by
spina bifida  4,000 mcg (4.0 milligrams).
120. Hepatitis Viral Akut
• Hepatitis viral: Suatu proses peradangan pada hati atau kerusakan
dan nekrosis sel hepatosit akibat virus hepatotropik. Dapat
akut/kronik. Kronik → jika berlangsung lebih dari 6 bulan
• Perjalanan klasik hepatitis virus akut
– Fase inkubasi
– Stadium prodromal/ preikterik: flu like syndrome,
– Stadium ikterik: gejala-gejala pada stadium prodromal berkurang
disertai munculnya ikterus, urin kuning tua
– Stadium konvalesens/penyembuhan
• Anamnesis Hepatitis A :
– Manifestasi hepatitis A:
• Anak dicurigai menderita hepatitis A jika ada gejala sistemik yang
berhubungan dengan saluran cerna (malaise, nausea, emesis, anorexia, rasa
tidak nyaman pada perut) dan ditemukan faktor risiko misalnya pada keadaan
adanya outbreak atau diketahui sumber penularan.

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Hepatitis A
• Virus RNA (Picornavirus)
ukuran 27 nm
• Kebanyakan kasus pada usia
<5 tahun asimtomatik atau
gejala nonspesifik
• Rute penyebaran: fekal oral;
transmisi dari orang-orang
dengan memakan makanan
atau
minumanterkontaminasi,
kontak langsung.
• Inkubasi: 2-6 minggu (rata-
rata 28 hari)

Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.


Hepatitis
Hepatitis Jenis virus Antigen Antibodi Keterangan
HAV RNA HAV Anti-HAV Ditularkan
secara fekal-
oral
HBV DNA HBsAg Anti-HBs •Ditularkan
HBcAg Anti-HBc lewat darah
HBeAg Anti-HBe •Karier
HCV RNA HCV Anti-HCV Ditularkan
C100-3 lewat darah
C33c
C22-3
NS5
HDV RNA HBsAg Anti-HBs Membutuhkan
HDV antigen Anti-HDV perantara HBV
(hepadnavirus)
HEV RNA HEV antigen Anti-HEV Ditularkan
secara fekal-
oral
Hepatitis A
• Self limited disease dan • Diagnosis
tidak menjadi infeksi kronis – Deteksi antibodi IgM di darah
• Gejala: – Peningkatan ALT (enzim hati
– Fatique Alanine Transferase)
– Demam • Pencegahan:
– Mual – Vaksinasi
– Nafsu makan hilang – Kebersihan yang baik
– Jaundice  karena – Sanitasi yang baik
hiperbilirubin • Tatalaksana:
– Bile keluar dari peredaran – Simptomatik
darah dan dieksresikan ke
urin  warna urin gelap – Istirahat, hindari makanan
berlemak dan alkohol
– Feses warna dempul (clay-
coloured) – Hidrasi yang baik
– Diet
Serologi Hepatitis A, B, C
Penanda
Serologis
Hepatitis
Hepatitis relaps didefinisikan sebagai meningkatnya kembali konsentrasi aminotransferase dan
bilirubin yang sudah kembali normal dalam masa penyembuhan.
121. Wilm’s Tumor
• Wilms tumor/nephroblastoma merupakan
keganasan abdomen paling sering pada masa
kanak.
• Survival rates kurang lebih 80-90%.
• Wilms tumor diperkirakan akibat adanya
kelainan pada gen yang bertanggung jawab
dalam perkembangan genitourinari. (WT1
gene, tumor suppressor gene)
Arnold C Paulino. Wilms Tumor. http://emedicine.medscap e.com /articl e/989398
• Anamnesis
– Massa abdomen tidak bergejala
– Nyeri abdomen atau hematuria pada 25% kasus
– Hipertensi, gross hematuria, dan demam pada 5- 30%
• Pemeriksaan fisik
– Teraba massa abdomen
– Pay special attention to features of those syndromes
(WAGR syndrome and Beckwith-Wiedemann syndrome
[BWS]) associated with Wilms tumor (ie, aniridia,
genitourinary malformations, and signs of overgrowth)
• Diagnosis Banding : Neuroblastoma, Polycystic Kidney
Disease, Rhabdomyosarcoma
Diagnosis
• Laboratorium : darah perifer lengkap, kimia darah termasuk
fungsi ginjal, elektrolit, urinalisis, dan fungsi pembekuan
darah.
• Radiologi :
– USG: pemeriksaan awal, it does not expose children to the
detrimental effects of radiation
– CT Scan Abdomen: untuk menentukan asal tumor, keterlibatan
KGB, keterlibatan ginjal bilateral, invasi ke pembuluh darah, dan
metastasis hepar.
• Penatalaksanaan (Berdasarkan staging)
– Nephrectomy
– Chemotherapy (Vincristine, dactinomycin, doxorubicin,
cyclophosphamide, etoposide)
– Radiasi
122. Acquired Prothrombine Complex
Deficiency (APCD) dengan Perdarahan
Intrakranial
• Sebelumnya disebut sebagai Hemorrhagic Disease of
the Newborn (HDN) atau Vitamin K Deficiency Bleeding
• Etiologinya adalah defisiensi vitamin K yang dialami
oleh bayi karena : (1) Rendahnya kadar vitamin K dalam
plasma dan cadangan di hati, (2) Rendahnya kadar
vitamin K dalam ASI, (3) Tidak mendapat injeksi vitamin
K1 pada saat baru lahir
• Mulai terjadi 8 hari-6 bulan, insidensi tertinggi 3-8
minggu
• 80-90% bermanifestasi menjadi perdarahan
intrakranial

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


Hemorrhagic disease of newborn (HDN)
Acquired prothrombrin complex deficiency (APCD)
Stadium Characteristic
Early HDN Occurs within 2 days and not more than 5 days of life. Baby
born of mother who has been on certain drugs: anticonvulsant,
antituberculous drug, antibiotics, VK antagonist anticoagulant.
Classic HDN Occurs during 2 to 7 day of life when the prothrombin complex
is low. It was found in babies who do not received VKP or
VK supplemented.
Vit K deficiency Occurs within 2 days and not more than 5 days of life. Definite
etiology inducing VKP is found in association with bleeding:
malabsorption of VK ie gut resection, biliary atresia, severe liver
disease-induced intrahepatic biliary obstruction.
Late HDN / APCD Acquired bleeding disorder in the 2 week to 6 month age infant
caused by reduced vitamin K dependent clotting factor (II, VII,
IX, X) with a high incidence of intracranial hemorrhage and
responds to VK.
Diagnosis APCD
• Diagnosis
– Anamnesis : Bayi kecil yang sebelumnya sehat, tiba-tiba
tampak pucat, malas minum, lemah. Tidak mendapat
vitamin K saat lahir, konsumsi ASI, kejang fokal
– PF : Pucat tanpa perdarahan yang nyata. Tanda
peningkatan tekanan intrakranial (UUB membonjol,
penurunan kesadaran, papil edema), defisit neurologis
fokal
– Pemeriksaan Penunjang : Anemia dengan trombosit
normal, PT memanjang, APTT normal/memanjang. USG/CT
Scan kepala : perdarahan intrakranial
– Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, disertai UUB
membonjol harus difikirkan APCD sampai terbukti bukan

Buku PPM Anak IDAI


Tatalaksana APCD
• Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, dan UUB membonjol,
berikan tatalaksana APCD sampai terbukti bukan
• Vitamin K1 1 mg IM selama 3 hari berturut-turut
• Transfusi FFP 10-15 ml/kgBB selama 3 hari berturut-turut
• Transfusi PRC sesuai Hb
• Tatalaksana kejang dan peningkatan tekanan intrakranial
(Manitol 0,5-1 g/kgBB/kali atau furosemid 1 mg/kgBB/kali)
• Konsultasi bedah syaraf
• Pencegahan : Injeksi Vitamin KI 1 mg IM pada semua bayi
baru lahir

Buku PPM Anak IDAI


123. Defisiensi vitamin A
• Vitamin A meliputi retinol, retinil ester, retinal
dan asam retinoat. Provitamin A adalah semua
karotenoid yang memiliki aktivitas biologi β-
karoten
• Sumber vitamin A: hati, minyak ikan, susu &
produk derivat, kuning telur, margarin, sayuran
hijau, buah & sayuran kuning
• Fungsi: penglihatan, diferensiasi sel, keratinisasi,
kornifikasi, metabolisme tulang, perkembangan
plasenta, pertumbuhan, spermatogenesis,
pembentukan mukus

Kliegman RM. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011


Defisiensi Vitamin A
• Konjungtiva normalnya memiliki sel goblet.
Hilangnya/ berkurangnya sel goblet secara
drastis bisa ditemukan pada xerosis
konjungtiva.
• Gejala defisiensi:
– Okular (xeroftalmia): rabun senja, xerosis
konjungtiva & kornea, keratomalasia, bercak Bitot,
hiperkeratosis folikular, fotofobia
– Retardasi mental, gangguan pertumbuhan,
anemia, hiperkeratosis folikular di kulit
Xerophthalmia (Xo)
Stadium :
XN : night blindness (hemeralopia)
X1A : xerosis conjunctiva
X1B : xerosis conjunctiva (with bitot’s spot)
X2 : xerosis cornea
X3A : Ulcus cornea < 1/3
X3B : Ulcus cornea > 1/3, keratomalacea
XS : Corneal scar
XF : Xeroftalmia fundus
Pemeriksaan Penunjang
• A serum retinol study is a costly • The serum retinol level may be
but direct measure using high- low during infection because of a
performance liquid transient decrease in the RBP.
chromatography. • A zinc level is useful because zinc
– A value of less than 0.7 mg/L in deficiency interferes with RBP
children younger than 12 years is production.
considered low.
• A serum RBP study • An iron panel is useful because
iron deficiency can affect the
– easier to perform and less metabolism of vitamin A.
expensive than a serum retinol
study, because RBP is a protein and • Albumin levels are indirect
can be detected by an measures of vitamin A levels.
immunologic assay.
• Obtain a complete blood count
– RBP is also a more stable (CBC) with differential if anemia,
compound than retinol
– However, RBP levels are less
infection, or sepsis is a possibility.
accurate, because they are
affected by serum protein
concentrations and because types
of RBP cannot be differentiated.
Therapy & Prevention
• Therapy :
- Day 1 : 100.000 IU im or 200.000 IU oral
- Day 2 : 100.000 IU im or 200.000 IU oral
- Day 14 / worsened / before discharge :
200.000 IU im / oral

• Prevention (every 6 months):


– < 6 months : 50.000 IU oral
– 6 – 12 months : 100.000 IU oral
– > 1 year : 200.000 IU oral
Bitot’s Spot Xerophtalmia

Follicular hyperkeratosis
124. Defisiensi Vitamin B
Beriberi - a disease whose symptoms include weight loss,
Vitamin B1 (Thiamine) body weakness and pain, brain damage, irregular heart rate,
heart failure, and death if left untreated
Causes distinctive bright pink tongues, although other
Vitamin B2 (Riboflavin) symptoms are cracked lips, throat swelling, bloodshot eyes,
and low red blood cell count
Pellagra - symptoms included diarrhea, dermatitis, dementia,
Vitamin B3 (Niacin)
and finally death (4D)
Vitamin B5
Acne and Chronic paresthesia
(Pantothenic Acid)
Microcytic anemia, depression, dermatitis, high blood
Vitamin B6
pressure (hypertension), water retention, and elevated levels
(Pyridoxine)
of homocysteine
Causes rashes, hair loss, anaemia, and mental conditions
Vitamin B7 (Biotin)
including hallucinations, drowsiness, and depression
Causes gradual deterioration of the spinal cord and very
Vitamin B12
gradual brain deterioration, resulting in sensory or motor
(Cobalamin)
deficiencies
Defisiensi Biotin (Vitamin B7)
• Defisiensi biotin (Vitamin B7) jarang terjadi karena :
– Kebutuhan harian yang sedikit (150-300 μg)
– biotin terdapat hampir di semua jenis makanan
– Flora normal usus mensintesis biotin
– Biotin mengalami proses recycle.
• Penyebab defisiensi Biotin :
– Konsumsi antikonvulsan tertentu (phenytoin, primidone,
carbamazepine)
– Penggunaan antibiotik spektrum luas
– Konsumsi putih-telur mentah dalam jumlah cukup banyak (Egg-white
injury syndrome). putih telur mentah berisi glycoprotein avidin yang
mempunyai afinitas tinggi terhadap biotin  berikatan secara
ireversibel  tidak bisa diserap usus  defisiensi
– Defisiensi enzim biotinidase (defek genetik)
Scheinfeld, NS. Biotin Deficiency. http://emedicine.medscape.com/article/984803-overview
Defisiensi biotin
Manifestasi Klinik
Timbul 3-5 minggu setelah onset defisiensi biotin:
• Kulit Kering
• Dermatitis seboroik
• Infeksi jamur
• Rash
• Brittle hair (mudah patah), rambut rontok, alopecia
• Gejala traktus gastrointestinal (Mual, muntah, anoreksia)

Dalam 1-2 minggu kemudian, timbul gejala neurologis :


• Depresi ringan
• Perubahan status mental
• Generalized Myalgia
• Hyperesthesia, paresthesia
Penatalaksanaan
• Deteksi dini dan pengobatan dengan biotin
• Dosis biotin terdapat dua pendapat :
– Injeksi Biotin IM 150 μg per hari gejala mulai hilang
dlm 3-5 hari, sembuh total dalam 3-5 bulan
– Dosis lebih tinggi 5-20 mg per hari IM. Gejala lebih
cepat tertangani
• Makanan kaya biotin : swiss chard, kuning-telur
mentah, hati, saskatoon berries, sayuran hijau,
dan kacang-kacangan
• Hentikan konsumsi telur setengah matang
Defisiensi Vitamin Lainnya
124. Defisiensi Mineral
125. Pubertas Prekoks
• Definisi: tanda-tanda • GnRH dependent
maturasi seksual sebelum (central) : early
usia 8 tahun pada reactivation of
perempuan dan 9 tahun Hypothalamus-pitutary-
pada laki-laki gonad axis
• Lebih banyak pada • GnRH independent
perempuan (peripheral): autonom
• Perempuan  idiopatik; sex steroid , not affected
laki-laki  kelainan CNS by Hypothalamus-
pitutary-gonad axis
• Variant
– thelarche prematur
– adrenarche prematur
Etiologi
GnRH dependent (sentral) GnRH independent (perifer)
• idiopatik • Lelaki (isoseksual)
• kelainan SSP – adrenal: tumor, CAH
– tumor – testes : tumor sel Leydig,
– non-tumor: pasca infeksi, familial testotoksikosis
radiasi, trauma, kongenital – gonadotropin-secreting
tumor:
• Iatrogenik • non SSP: hepatoma,
• keterlambatan diagnosis germinoma, teratoma
pada GIPP • SSP: germinoma, adenoma
(LH secreting)
• Heteroseksual
– peningkatan aromatisasi
perifer
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Etiologi
GnRH independent Stadium Tanner
(perifer)
• perempuan (isoseksual)
– McCune Albright
– Hipotiroid berat
• heteroseksual
– adrenal: tumor, CAH
– Tumor
ovarium:arrhenoblasto
ma
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Gejala + Tanda
GnRH Dependent Precoccious GnRH Independent Precoccious
Puberty (komplit) Puberty (inkomplit)
• Selalu isoseksual • Isoseksual atau heteroseksual
• perkembangan tanda-tanda (late onset CAH, tumor
pubertas adrenal)
• mengikuti pola stadium • perkembangan seks sekunder
pubertas normal tidak sinkron (volume testes
• gambaran hormonal: tidak sesuai dengan stadium
pubertas - lebih kecil)
peningkatan aktivitas
hormonal di seluruh poros • peningkatan kadar seks steroid
tanpa disertai peningkatan
kadar GnRH dan LH/FSH

Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Gejala Klinis akibat Peningkatan
Hormon Seks Steroid
• Efek estrogen →
– ”tall child but short adult” -
karena penutupan epifisis
tulang dini
– ginekomastia
• Efek testosteron
– hirsutism
– Acne
– male habitus
• Efek umum
– sexual behavior
– agresif
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
PENDEKATAN PUBERTAS PREKOKS
PADA PEREMPUAN
Anamnesis
• Usia awitan saat terjadi pubertas dan progresivitas
perubahan fisik pubertal.
• Pola pertumbuhan (kecepatan tumbuh) anak sejak bayi.
• Adanya kelainan SSP atau gejala kelainan SSP
• Riwayat penyakit dahulu
– kemoterapi, radiasi, operasi, trauma atau infeksi SSP, riwayat
konsumsi obat-obatan jangka panjang (obat yang mengandung
hormon steroid seks)
• Riwayat penyakit keluarga
– riwayat pubertas anggota keluarga yang lain, tinggi badan, dan
rerata pertumbuhan orangtua dan saudara kandungnya.
• Adanya paparan kronik terhadap hormon seks steroid
eksogen.
Pemeriksaan fisis
• Pengukuran tinggi badan, berat badan, rasio segmen
atas/bawah tubuh.
• Palpasi tiroid: ukuran, ada tidaknya nodul, konsistensi, dan
bruit
• Status pubertas sesuai dengan skala maturasi Tanner
– Perempuan: rambut aksila (A), payudara atau mammae (M), dan
rambut pubis (P).
– Laki-laki: rambut aksila (A), rambut pubis (P), dan genital (G).
• Lesi kulit hiperpigmentasi menunjukkan neurofibromatosis
atau sindrom McCune- Albright.
• Palpasi abdomen untuk mendeteksi adanya tumor
intraabdomen.
• Pemeriksaan status neurologis, funduskopi, visus.
Pemeriksaan laboratorium + Radiologi
• Nilai basal LH dan FSH. • RUTIN:
– Kadar basal LH basal >0,83 U/L
menunjang diagnosis pubertas – Usia tulang/bone age
prekoks sentral. – USG pelvis pada anak
– rasio LH/FSH lebih dari satu
menunjukkan stadium pubertas. perempuan
• Hormon seks steroid: estradiol • ATAS INDIKASI:
pada anak perempuan dan
testosteron pada anak laki- laki. – Ultrasonografi testis pada
• Kadar DHEA anak laki-laki jika terdapat
(dehydroepiandrosterone) atau asimetri pembesaran testis.
DHEAS (DHEA sulfate) jika – USG atau CT-Scan abdomen.
terdapat bukti adrenarke.
• Tes stimulasi GnRH/GnRHa: kadar – MRI kepala untuk mencari lesi
puncak LH 5-8 U/L menunjukkan hipotalamus
pubertas prekoks progresif.
Tatalaksana
• ditujukan langsung pada penyebab
• Tumor SSP atau tumor yang memproduksi hormon seks
steroid: bedah, radiasi atau kemoterapi yang sesuai.
• Terapi subsitusi kortisol dengan hidrokortison suksinat
pada HAK.
• Terapi substitusi hormon tiroid pada hipotiroid primer.
• Pubertas prekoks sentral idiopatik: penggunaan GnRH
agonis.
• Pubertas prekoks perifer: keberhasilan tata laksana
penyakit yang mendasarinya
126. Skor APGAR
Skor APGAR dievaluasi menit ke-1 dan menit ke-5
Tanda 0 1 2
A Activity Tidak ada tangan dan aktif
(tonus otot) kaki fleksi
sedikit
P Pulse Tidak ada < > 100 x/menit
100x/menit
G Grimace Tidak ada Menyeringai Reaksi melawan, batuk,
(reflex respon lemah, bersin
irritability) gerakan
sedikit
A Appearance Sianosis Kebiruan Kemerahan di seluruh
(warna kulit) seluruh pada tubuh
tubuh ekstremitas
R Respiration Tidak ada Lambat dan Baik, menangis kuat
(napas) ireguler
127. Malaria
Tatalaksana Malaria Vivaks dan Ovale

• Lini pertama
– Menggunakan ACT: artesunat + amodiakuin atau
dihydroartemisinin piperakuin (DHP)
– Dosis: sama seperti malaria falciparum, namun primakuin
diberikan selama 14 hari dengan dosis 0.25 mg/kgBB

• Lini kedua (bila resisten terhadap lini pertama)


– Kina + primakuin
– Dosis:
• Kina: 10 mg/kgBB/kali, 3x/hari, PO, selama 7 hari
• Primakuin: 0.25 mg/kgBB/hari selama 14 hari (0.5 mg bila relaps)
Tatalaksana Malaria Malariae dan Malaria Mix
(Falciparum + Vivaks)

• Malaria malariae
– ACT 1x/hari selama 3 hari

• Malaria Mix
– ACT selama 3 hari
– Primakuin dosis 0.25 mg/kgBB selama 14 hari
K RITERIA
M ALARIA BERAT
Pilihan utama Malaria Berat di RS:
Artesunat
• Artesunate parenteral • Artesunat (AS) diberikan
dengan dosis 2,4 mg/kgBB
tersedia dalam vial yang per-iv, sebanyak 3 kali jam ke
berisi 60 mg serbuk kering 0, 12, 24. Selanjutnya
dan pelarut dalam ampul diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv
setiap 24 jam sampai
yang berisi 0,6 ml natrium penderita mampu minum
bikarbonat 5%. obat.
• Larutan artesunat bisa
• Untuk membuat larutan diberikan secara intramuskular
artesunat dengan dengan dosis yang sama.
mencampur 60 mg serbuk • Apabila sudah dapat minum
kering dengan larutan 0,6 obat, pengobatan dilanjutkan
dengan dihydroartemisinin-
ml biknat 5%. Kemudian piperakuin atau ACT lainnya
ditambah larutan Dextrose selama 3 hari + primakuin
5% sebanyak 3-5 cc.
Pilihan lainnya: Artemeter
• Artemeter intramuskular • Apabila sudah dapat
tersedia dalam ampul minum obat, pengobatan
yang berisi 80 mg dilanjutkan dengan
artemeter dalam larutan dihydroartemisinin-
minyak. piperakuin atau ACT
• Artemeter diberikan lainnya selama 3 hari +
dengan dosis 3,2 primakuin
mg/kgBB intramuskular.
Selanjutnya artemeter
diberikan 1,6 mg/kgBB
intramuskular satu kali
sehari sampai penderita
mampu minum obat.
Pilihan lainnya: Kina
• Kina per-infus masih • Dosis anak-anak : Kina HCl 25
merupakan obat alternatif % (per-infus) dosis 10
untuk malaria berat pada mg/kgBB (jika umur <2 bulan :
daerah yang tidak tersedia 6-8 mg/kgBB) diencerkan
derivat artemisinin parenteral dengan dekstrosa 5% atau
dan pada ibu hamil trimester NaCl 0,9% sebanyak 5-10
pertama. cc/kgBB diberikan selama 4
• Dalam bentuk ampul kina jam, diulang setiap 8 jam
hidroklorida 25%. sampai penderita sadar dan
• Satu ampul berisi 500 mg/2 dapat minum obat.
ml. • Kina tidak boleh diberikan
secara bolus intra vena, karena
toksik bagi jantung dan dapat
menimbulkan kematian.

Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan artemeter ataupun kina hidroklorida
intramuscular sebagai dosis awal sebelum merujuk ke RS rujukan.
128. Duchenne Muscular Dystrophy
• An inherited progressive myopathic disorder; rapidly
progressing muscle weakness and wasting,
• X-linked recessive form of muscular dystrophy
• Affects 1 in 3600 boys
• Caused by mutations in the dystrophin gene, and
hence is termed “dystrophinopathy”
• Duchenne muscular dystrophy (DMD) is associated
with the most severe clinical symptoms
• Becker muscular dystrophy (BMD) has a similar
presentation to DMD, but typically has a later onset
and a milder clinical course
Four phases of DMD
• Early phase (<6 yrs): clumsy, fall frequently, difficulty jumping
or running, enlarged muscles, contractures.
• Transitional Phase (ages 6-9): Trunk weakness (Gowers
manouvre), muscle weakness, heart problems, fatigue.
• Loss of ambulation (ages 10-14): by 12 yrs most boys use a
powered wheelchair. Scoliosis due to constant sitting and back
weakness, upper limb weakness make ADL’s difficult (retain
use of fingers).
• Late stage (15+): life threatening heart and respiratory
problems more prevalent, dyspnea, oedema of the LL’s.
Average age of death is 19 yrs in untreated DMD
• Dystrophin links the muscle cells to
Pathogenesis the extracellular matrix stabilising the
membrane and protecting the
sarcolemma from the stresses that
develop during muscle contraction.
• Mechanically induced damage
through eccentric contractions puts a
high stress on fragile membranes and
provokes micro-lesions that could
eventually lead to loss of calcium
homeostasis, and cell death.
• Imbalance between necrotic and
regenerative processes: early phase
of disease.
• Later phases the regenerative
capacity of muscle fibers are
exhausted and fibers are gradually
replaced by connective tissue and
adipose tissue.
(Deconinck and Dan, 2007)
Clinical Manifestations
• Proximal before distal limb muscles
• Lower before upper extremities
• Difficulty running, jumping, and walking up steps
• Waddling gait
• Lumbar lordosis
• Pseudohypertrophy of calf muscles, due to fat
infiltration
• Patients are usually wheelchair-bound by the age
of 12
Diagnosis
• Characteristic age and sex
• Presence of symptoms and signs suggestive of
a myopathic process
• Markedly increased serum creatine kinase
values
• Myopathic changes on electromyography and
muscle biopsy
• A positive family history suggesting X-linked
recessive inheritance
Serum Muscle Enzyme
• Markedly raised serum CK level, 10-20 times
the upper limit of normal
– Levels peak at 2-3 years of age and then decline
with increasing age, due to progressive loss of
dystrophic muscle fibres
• Elevated serum ALT, AST, aldolase and LDH
129. Definition
• Wheeze: high-pitched continuous sounds with a dominant
frequency of 400 Hz or more.
– Continuous musical tones that are most commonly heard at
end inspiration or early expiration
– all mechanisms narrowing lower airway calibre  produce
wheezing such as bronchospasm, mucosal oedema, intraluminal
tumour or secretions, foreign body, external compression by a
tumour mass, etc
• Rhonchi are characterized as low-pitched continuous
sounds with a dominant frequency of about 200 Hz or less.
• Stridor is defined as a harsh, vibratory sound of varying
pitch caused by turbulent airflow through an obstructed
airway  obstruction in the portions of the airway that are
outside the chest cavity (upper airway tracts)
STRIDOR
• Harsh, high-pitched, musical sound produced by
turbulent airflow through a partially obstructed airway
• May be inspiratory, expiratory, or biphasic depending on
its timing in the respiratory cycle
• Inspiratory stridor suggests airway obstruction above the
glottis (extrathoracic lesion (eg, laryngeal))
– Laryngeal lesions often result in voice changes.
• Expiratory stridor is indicative of obstruction in the lower
trachea. (intrathoracic lesion (eg, tracheal, bronchial))
• A biphasic stridor suggests a glottic or subglottic lesion.

Emedicine
http://medschool.lsuhsc.edu
Inspiratory Stridor
• Partial supraglottic airway
obstruction
• Other aerodigestive tract
symptoms
– suprasternal and intercostal
retractions
– feeding difficulties
– muffled cry
Biphasic Stridor
• Partial obstruction at the
level of the
glottis/subglottic
• Primarily inspiratory stridor
• Other aerodigestive tract
symptoms
– Hoarseness
– Aphonia
– nasal flaring
– retractions
Expiratory Stridor
• Partial obstruction at the
level of the subglottis or
proximal trachea
• Other aerodigestive tract
symptoms
– xiphoid retractions
– barking cough
– nasal flaring
Causes of Stridor
neonate

Laryngomalacia 1st Chronic


Vocal cord dysfunction 2nd Chronic
Congenital tumours Chronic
Choanal atresia Chronic
Laryngeal webs Chronic
Chilld
Infection -epiglottitis -Laryngitis acute
Croup : 1-2 days duration less severe Acute
FB Acute
Laryngeal dyskinesia chronic
adult
Infection -epiglottitis -Laryngitis Acute
Trauma – acquired stenosis Acute
CA Larynx or Trachea or main bronchus chronic

http://medschool.lsuhsc.edu
http://dnbhelp.files.wordpress.com/2011/10/stridor.jpg?w=645
Laringomalasia
• Laringomalasia adalah kelainan kongenital dimana
epiglotis lemah
• Akibat epiglotis yang jatuh, akan menimbulkan stridor
kronik, yang diperparah dengan gravitasi (berbaring).
• Pada pemeriksaan dapat terlihat laring berbentuk
omega
• Laringomalasia biasanya terjadi pada anak dibawah 2
tahun, dimulai dari usia 4-6 minggu, memuncak pada
usia 6 bulan dan menghilang di usia 2 tahun.
• Sebagian besar kasus tidak memerlukan tatalaksana.
130. HERNIA DIAFRAGMA

Photograph of a one-day-old infant with congenital diaphragmatic hernia. Note the


scaphoid abdomen. This occurs if significant visceral herniation into the chest is
present.
http://emedicine.medscape.com/article/934824-overview
http://emedicine.medscape.com/article/934824-overview#a0104

Because of bowel Development of the


Because airspace pulmonary arterial system
herniation into the chest
development follows airway
during crucial stages of parallels development of the
development, alveolarization
lung development, airway bronchial tree, and, therefore,
divisions are limited is similarly reduced
fewer arterial branches

Pathogenesis
vicious cycle of progressive
Pulmonary hypertension resulting
hypoxemia, hypercarbia, acidosis,
from these arterial anomalies
leads to right-to-left shunting at and pulmonary hypertension
atrial and ductal levels observed in the neonatal period

The pathophysiology of congenital diaphragmatic hernia involves


pulmonary hypoplasia, pulmonary hypertension, pulmonary
immaturity, and potential deficiencies in the surfactant and antioxidant
enzyme system
Presentation
• In the physical examination, the abdomen is
scaphoid
• Upon auscultation, breath sounds are diminished,
bowel sounds may be heard in the chest, and
heart sounds are distant or displaced.
• Late presentation  variable respiratory distress
and cyanosis, feeding intolerance, intestinal
obstruction, bowel ischemia, and necrosis
following volvulus.
http://emedicine.medscape.com/article/934824-overview#a0104
Management
• Immediately following delivery, the infant is intubated
(bag and mask ventilation is avoided).
• A nasogastric tube is passed to decompress the
stomach and to avoid visceral distention.
• Adequate assessment involves continuous cardiac
monitoring, ABG and systemic pressure measurements
• Urinary catheterization to monitor fluid resuscitation,
• preductal (radial artery) and postductal (umbilical
artery) oximetry.
• Surfactant
http://emedicine.medscape.com/article/934824-overview#a0104
Management
• No ideal time for repair of congenital
diaphragmatic hernia is recognized, but the
authors suggest that the window of
opportunity is 24-48 hours after birth to
achieve normal pulmonary arterial pressures
and satisfactory oxygenation and ventilation
with minimal ventilator settings.
• Bisa semi-elektif pada pasien stabil
http://emedicine.medscape.com/article/934824-overview#a0104
Tekanan di dalam Jantung

131. Congenital Heart


Disease

Congenital HD

Acyanotic Cyanotic

With ↑ volume With ↓ With ↑


load: With ↑ pressure pulmonary blood pulmonary blood
load: flow: flow:
- ASD
- Valve stenosis - ToF - Transposition of
- VSD - Coarctation of - Atresia the great vessels
- PDA aorta pulmonal - Truncus
- Valve - Atresia tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Penyakit jantung kongenital
• Asianotik: L-R shunt
– ASD: fixed splitting S2,
murmur ejeksi sistolik
– VSD: murmur pansistolik
– PDA: continuous murmur
• Sianotik: R-L shunt
– TOF: AS, VSD, overriding
aorta, RVH. Boot like heart
pada radiografi
– TGA

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↓ pulmonary blood flow must include both:
an obstruction to pulmonary blood flow & a shunt from R to L

Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis

The degree of cyanosis depends on:


the degree of obstruction to pulmonary blood flow
If the obstruction is mild:
Cyanosis may be absent at rest
These patient may have hypercyanotic spells during condition of stress

If the obstruction is severe:


Pulmonary blood flow may be dependent on patency of the ductus arteriosus.
When the ductus closes  hypoxemia & shock
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↑ pulmonary blood flow is not associated
with obstruction to pulmonary blood flow

Cyanosis is caused by:


Total mixing of systemic venous &
Abnormal ventricular-arterial pulmonary venous within the heart:
connections: - Common atrium or ventricle
- Total anomolous pulmonary venous
- TGA return
- Truncus arteriosus

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Tetralogi Fallot
Tet Spell/ Hypercyanotic Spell
• serangan biru yang terjadi secara mendadak
• Anak tampak lebih biru, pernapasan cepat, gelisah,
kesadaran menurun, kadang-kadang disertai kejang.
• Serangan berlangsung 15-30 menit, biasanya teratasi secara
spontan, tetapi serangan yang hebat dapat berakhir dengan
koma, bahkan kematian
• Biasanya muncul usia 6-12 bulan, tapi bisa muncul usia 2-4
bulan
• ToF yang tipikal biasanya memiliki tekanan pada ventrikel
kiri dan kanan yang sama besar, sehinggan tingkat sianosis
dan terjadinya tet spell ditentukan dari systemic vascular
resistance dan derajat keparahan komponen stenosis
pulmonal.

PPM IDAI Jilid I


Pelepasan menangis, BAB, demam, VICIOUS
CYCLE
katekolamine aktivitas yg meningkat

takikardia aliran balik vena sistemik meningkat shg resistensi


vaskular pulmonal meningkat (afterload pulmonal
meningkat) + resistensi vaskular sistemik rendah

increased
myocardial
contractility + KEMATIAN
infundibular
stenosis.
Right-to-left shunt meningkat

aliran darah ke sianosis progresif


paru berkurang
secara tiba-tiba penurunan PO2 dan
peningkatan PCO2 arteri 
penurunan pH darah

TET SPELL
Stimulasi pusat pernapasan di
HYPERCYANOTIC SPELL reseptor karotis + nucleus hiperpnoea
batang otak
Tatalaksana Tet Spell
• Knee chest position/ squatting
– Diharapkan aliran darah paru bertambah karena
peningkatan resistensi vaskular sistemik dan afterload
aorta akibat penekukan arteri femoralis
• Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV
untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi
takipnea
• Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk
mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat
diulang dalam 10-15 menit.

PPM IDAI Jilid I


132. Malnutrisi Energi Protein
• Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan
energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya
(WHO)
• Dibagi menjadi 3:
– Overnutrition (overweight, obesitas)
– Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk)
– Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP):
– MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
– MEP derajat berat (gizi buruk)
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
– Marasmus
– Kwashiorkor
– Marasmik-kwashiorkor

Sjarif DR. Nutrition management of well infant, children, and


adolescents.
Scheinfeld NS. Protein-energy malnutrition.
http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview
Marasmus

 wajah seperti orang tua


 kulit terlihat longgar
 tulang rusuk tampak
terlihat jelas
 kulit paha berkeriput
 terlihat tulang belakang
lebih menonjol dan kulit
di pantat berkeriput
( baggy pant )
Kwashiorkor

 edema
 rambut kemerahan, mudah
dicabut
 kurang aktif, rewel/cengeng
 pengurusan otot
 Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90%  mild
• <-2 – moderate wasted malnutrition
• <-3 – severe wasted  gizi • ≥70-80%  moderate
buruk malnutrition
• ≤70%  severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutrition  Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor
Protein 

Serum Albumin 

Tekanan osmotik koloid serum 

Edema
Marasmus
Karbohidrat 

Pemecahan lemah + pemecahan protein

Lemak subkutan 

Muscle wasting, kulit keriput

Turgor kulit berkurang


Emergency Signs in Severe
Malnutrition
• Dibutuhkan tindakan resusitasi
• Tanda gangguan airway and breathing :
– Tanda obstruksi
– Sianosis
– Distress pernapasan
• Tanda dehidrasi berat → rehidrasi secara ORAL.
Dehidrasi berat sulit dinilai pada malnutrisi berat.
Terdapat risiko overhidrasi
• Tanda syok : letargis, penurunan kesadaran
– Berikan rehidrasi parenteral (Resusitasi Cairan)
Cause difference
Marasmus Kwashiorkor
Marasmus is multi nutritional Kwashiorkor occurs due to the lack of
deficiency proteins in a person's diet
Marasmus usually affects very young Kwashiorkor affects slightly older
children children mainly children who are
weaned away from their mother's
milk
Marasmus is usually the result of a Kwashiorkor can occur rapidly
gradual process
10 Langkah Utama Penatalaksaan Gizi Buruk
No Tindakan Stabilisasi Transisi Rehabilitasi Tindaklanjut
H 1-2 H 3-7 H 8-14 mg 3-6 mg 7-26
1. Atasi/cegah hipoglikemia

2. Atasi/cegah hipotermia

3. Atasi/cegah dehidrasi

4. Perbaiki gangguan elektrolit

5. Obati infeksi
6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe + Fe

7. Makanan stab & trans

8. Makanan Tumb.kejar
9. Stimulasi

10. Siapkan tindak lanjut


HIPOGLIKEMIA
• Semua anak dengan gizi • Jika anak tidak sadar, beri
buruk berisiko hipoglikemia larutan glukosa 10% IV
(< 54 mg/dl) bolus 5 ml/kg BB, atau
• Jika tidak memungkinkan larutan glukosa/larutan gula
periksa GDS, maka semua pasir 50 ml dengan NGT.
anak gizi buruk dianggap • Lanjutkan pemberian F-75
hipoglikemia setiap 2–3 jam, siang dan
• Segera beri F-75 pertama, malam selama minimal dua
bila tidak dapat disediakan hari.
dengan cepat, berikan 50 ml
glukosa/ gula 10% (1 sendok
teh munjung gula dalam 50
ml air) oral/NGT.
Ketentuan Pemberian Makan Awal
• Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah
osmolaritas serta rendah laktosa
• Berikal secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian
parenteral
• Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan
sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi
• Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan
bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi
• Apabila pemberian makan oral tidak mencapai kebutuhan
minimal, berikan sisanya melalui NGT
• Pada fase transisi, secara bertahap ganti F-75 dengan F-
100
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Pemberian Makanan
• Fase stabilisasi (Inisiasi)
– Energi: 80-100 kal/kg/hari
– Protein: 1-1,5 gram/kg/hari
– Cairan: 130 ml/kg/hari atau 100 ml/kg/hari (edema)
• Fase transisi
– Energi: 100-150 kal/kg/hari
– Protein: 2-3 gram/kg/hari
• Fase rehabilitasi
– Energi: 150-220 kal/kg/hari
– Protein: 3-4 gram/kg/hari
HIPOTERMIA (Suhu aksilar < 35.5° C)
• Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk
kepalanya). Tutup dengan selimut hangat dan
letakkan pemanas/ lampu di dekatnya, atau
lakukan metode kanguru.
• Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam s.d suhu
menjadi 36.5° C/lbh.
• Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap
setengah jam. Hentikan pemanasan bila suhu
mencapai 36.5° C
DEHIDRASI
• Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali
pada kasus dehidrasi berat dengan syok.
• Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT
– beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam
pertama
– setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10
ml/kgBB/jam berselang-seling dengan F-75
dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10
jam.
Atasi Infeksi
• Anggap semua anak dengan • Jika ada komplikasi (hipoglikemia,
gizi buruk mengalami infeksi hipotermia, atau anak terlihat
letargis atau tampak sakit berat),
saat mereka datang dan atau jelas ada infeksi 
segera diberi antibiotik. Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV/6
jam selama 2 hari), dilanjutkan
Amoksisilin PO (15 mg/kgBB/8 jam
PILIHAN ANTIBIOTIK
selama 5 hari) ATAU Ampisilin PO
SPEKTRUM LUAS (50 mg/kgBB/6 jam selama 5 hari)
• Jika tidak ada komplikasi sehingga total selama 7 hari,
atau tidak ada infeksi nyata DITAMBAH Gentamisin (7.5
mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari
 Kotrimoksazol PO (25 mg selama 7 hari.
SMZ + 5 mg TMP/kgBB/12
jam selama 5 hari.
• Jika anak tidak membaik dalam waktu 48 jam,
tambahkan Kloramfenikol (25 mg/kgBB IM/IV
setiap 8 jam) selama 5 hari.
• Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal
untuk memastikan dan obati dengan
Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama
10 hari.
Mikronutrien
• Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
• Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
• Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
• Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase
rehabilitasi)
• Vitamin A diberikan secara oral pada hari ke 1 dengan:

• Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2,
dan 15.
133. Atelectasis
• Atelectasis is defined as diminished volume affecting all
or part of a lung
• 2 types:
– Obstructive:
• the most common type and results from reabsorption of gas from
the alveoli when communication between the alveoli and the
trachea is obstructed at the level of the larger or smaller bronchus.
• Causes of obstructive atelectasis include foreign body, tumor, and
mucous plugging.
– Nonobstructive
• caused by loss of contact between the parietal and visceral
pleurae, compression, loss of surfactant, and replacement of
parenchymal tissue by scarring or infiltrative disease.
• Chest radiographs and CT scans may demonstrate
direct and indirect signs of lobar collapse.
• Direct signs include displacement of fissures and
opacification of the collapsed lobe.
• Indirect signs include
– displacement of the hilum,
– mediastinal shift toward the side of collapse,
– loss of volume on ipsilateral hemithorax,
– elevation of ipsilateral diaphragm,
– crowding of the ribs,
– compensatory hyperlucency of the remaining lobes,
– silhouetting of the diaphragm or the heart border.
Atelectasis
Chest radiographs and CT scans may
demonstrate direct and indirect signs of
lobar collapse.
Direct signs include displacement of
fissures and opacification of the collapsed
lobe.
Indirect signs include
• displacement of the hilum,
• mediastinal shift toward the side
of collapse,
• loss of volume on ipsilateral
hemithorax,
• elevation of ipsilateral diaphragm,
• crowding of the ribs,
• compensatory hyperlucency of
the remaining lobes,
• silhouetting of the diaphragm or
the heart border.
Kelainan Radiologis pada Paru
Pneumonia lobaris Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The
opacification can be sharply defined at the fissures, although more
commonly there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus
within a consolidated lobe will result in the appearance of air
bronchograms.

Pneumonia associated with suppurative peribronchiolar inflammation and subsequent


lobularis/ patchy consolidation of one or more secondary lobules of a lung in
bronkopneumonia response to a bacterial pneumonia: multiple small nodular or
reticulonodular opacities which tend to be patchy and/or confluent.
Asthma pulmonary hyperinflation Increased Bronchial wall markings (most
characteristic)  Associated with thicker Bronchial wall, inflammation
Flattening of diaphragm (Associated with chronic inflammation or
Associated with accessory muscle use)
Hyperinflation (variably present)
Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis

bronkiolitis Hyperexpansion (showed by diaphragm flattening), hyperluscent,


Peribronchial thickening, hilar prominence
Variable infiltrates or Viral Pneumonia
Acute bronchitis Interstitial shadowing, signs of hyperinflation, hila prominence with hazy
outlines, hazy peribronchial markings
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris

Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Bronchiolitis

The x-ray shows lung hyperinflation with a flattened diaphragm and opacification in the right lung apex (red
circle) and left lung base (blue circle) from atelectasis. Obviously, the same changes can be seen in the x-ray
of a child with acute asthma. This is one reason why children with acute asthma are often misdiagnosed as
having pneumonia.
134. Demam rematik
• Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat
GABHS (Streptococcus pyogenes)
• Usia rerata penderita: 10 tahun
• Komplikasi: penyakit jantung reumatik
• Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis
GABHS setelah 1-5 minggu
• Pengobatan:
– Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
– Dalam kasus demam rematik:
• Antibiotik: penisilin/eritromisin
• Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
• Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview
Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ket: ASO=ASTO
Physical Findings
• Migratory Polyarthritis • Characteristic murmurs of acute
– is the most common symptom carditis include
– (polyarticular, fleeting, and – the high-pitched, blowing,
involves the large joints) holosystolic, apical murmur of mitral
– frequently the earliest regurgitation;
manifestation of acute – the low-pitched, apical, mid-
rheumatic fever (70-75%). diastolic, flow murmur (Carey-
• Carditis: Coombs murmur);
– and a high-pitched, decrescendo,
– (40% of patients) diastolic murmur of aortic
– and may include cardiomegaly, regurgitation heard at the aortic
new murmur, congestive heart area.
failure, and pericarditis, with or – Murmurs of mitral and aortic
without a rub and valvular stenosis are observed in chronic
disease. valvular heart disease.
• Valvulitis merupakan tanda utama
karditis reumatik :
– katup mitral (76%),
– katup aorta (13%),
– dan katup mitral+ aorta (97%).
Physical Findings
• Subcutaneous nodules (ie, Aschoff bodies):
– 10% of patients and are edematous, fragmented collagen fibers.
– They are firm, painless nodules on the extensor surfaces of the wrists,
elbows, and knees.
• Erythema marginatum:
– 5% of patients.
– The rash is serpiginous and long lasting.
• Chorea (also known as Sydenham chorea and "St Vitus dance"):
– occurs in 5-10% of cases
– consists of rapid, purposeless movements of the face and upper
extremities.
– Onset may be delayed for several months and may cease when the
patient is asleep.
Penyakit Jantung Rematik
• Sekuelae demam reumatik akut yang tidak di-
tx adekuat
• Manifestasi 10-30 th pasca DRA
• Penyakit jantung katup
– MS: fusi komisura  fish mouth
– AI + MS
– AS + AI + MS

Source: Valvular Heart Disease. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. 2007.
Sabatine MS. Pocket Medicine. 4th ed. 2011.
Rheumatic Fever - Treatment
• Bed rest 2-6 weeks(till inflammation subsided)
• Supportive therapy - treatment of heart failure
• Anti-streptococcal therapy - Benzathine penicillin(long acting) 1.2
million units once(IM injection) or oral penicillin V 10 days, if allergic to
penicillin  erythromycin 10 days (antibiotic is given even if throat culture
is negative)
• Anti-inflammatory agents
Aspirin in anti-inflammatory doses effectively reduces all
manifestations of the disease except chorea, and the response
typically is dramatic.
• Aspirin 100 mg/kg per day for arthritis and in the absence of carditis- for 4-6 weeks to
be tapered off
• Corticosteroids If moderate to severe carditis is present as indicated by cardiomegaly,
third-degree heart block, or CHF, add PO prednisone to salicylate therapy -2 mg/kg per day –
for 2-6 weeks to be tapered off
Tatalaksana
• Terapi antiinflamasi harus segera dimulai setelah diagnosis demam
reumatik ditegakkan.
• Hanya artritis
– aspirin 100 mg/kg/ hari sampai 2 minggu
– dosis diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari seiama 2-3 minggu
berikutnya.
• Karditis ringan sampai sedang
– aspirin 100 mg/kg/hari dibagi 4-6 dosis seiama 4-8 minggu, tergantung
pada respons klinis
– Bila ada perbaikan maka dosis diturunkan bertahap seiama 4-6 minggu
berikutnya.
• Karditis berat dengan gagal jantung, AV blok total, kardiomegali
– Prednison 2 mg/kg/hari diberikan seiama 2 minggu dilanjutkan
dengan aspirin 75 mg/kg/hari.
• Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Rheumatic Fever -Pprevention
Secondary prevention – prevention of recurrent attacks
• Benzathine penicillin G 1.2 million units IM SD every 4
week
• Penicillin V 250 mg twice daily orally
• Or If allergic – Erythromycin 250 mg twice daily orally

AHA Scientific Statement


Rheumatic Fever - Prevention

Duration of secondary rheumatic fever prophylaxis


• Rheumatic fever + carditis + persistent valve disease - 10
years since last episode or until 40 years of age (whichever
is longer), sometimes life long
• Rheumatic fever + carditis + no valvar disease – 10 years or
well into adulthood whichever is longer
• Rheumatic fever without carditis - 5 years or until 21 years
whichever is longer
(Continous prophylaxis is important since patient may have
asymptomatic GAS infection)

AHA Scientific Statement


135. Kejang pada Neonatus
• Kejang pada neonatus adalah • Angka kematian berkisar 21-
perubahan paroksimal dari 58%, sebanyak 30% yang
fungsi neurologik misalnya berhasil hidup menderita
perilaku, sensorik, motorik dan kelainan neurologis.
fungsi autonom sistem saraf. • Penyebab
• Angka kejadian kejang di – hipoksik-iskemik-ensefalopati
negara maju berkisar antara (30-50%),
0,8-1,2 setiap 1000 neonatus – Perdarahan intrakranial (10-
per tahun. 17%),
• Kejang merupakan keadaan – kelainan metabolik misalnya
kegawatan, karena dapat hipoglikemi (6-10%),
hipokalsemia (6-15%),
mengakibatkan hipoksia otak
yang berbahaya bagi – infeksi SSP (5-14%), infark
serebral (7%),
kelangsungan hidup bayi atau – inborn errors of metabolism
dapat mengakibatkan gejala (3%),
sisa di kemudian hari. – malformasi SSP (5%).
Kejang pada Neonatus

• Neonatal seizures are a manifestation of neurological dysfunction.


• Neonatal seizures are paroxysmal electroencephalograph (EEG) activity
often with motor manifestations and sometimes with autonomic or
behavioural clinical manifestations including effects on respiration, heart
rate and blood pressure.
• Frequent or prolonged seizures may contribute to a worsening of brain
injury.
• Seizures may be an:
– Electro clinical seizure with both clinical signs and an EEG seizure2, or an
– Electrographic seizure with no clinical signs
• Some apparent clinical seizure-like activity, e.g. jitteriness and irritability, is
not associated with EEG abnormality. These are not seizures and do not
require treatment.
• Seizures occur more frequently in the neonatal period (the
first 28 days of life) than at any other time.
• Incidence in the newborn baby is:
– 1.5-3.5 per 1000 live term births
– 10-130 per 1000 live preterm births
• Seizures are very common and occur in up to 70% of preterm
infants with intraventricular haemorrhage or periventricular
leukomalacia
• Clinically diagnosed status epilepticus (continuous seizure
activity or recurrent seizures lasting greater than 30
minutes3,11 without definite return to the baseline
neurologic condition between seizures14) is less common and
occurs in only 5% of babies with seizures
• Recognition is more frequent with the use of continuous EEG
monitoring3
Cause of Neonatal seizure
WHO Recommendations for Neonatal Seizure

• Recommendation
– Phenobarbital should be used as the first-line agent
for treatment of neonatal seizures
• Commonly used first-line AEDs for treatment of NS are
phenobarbital and phenytoin.
• Phenobarbital is also cheaper and more easily available than
phenytoin.
• Only about 55% of newborns respond to either of the two
medications.
• Phenobarbital is easier to administer with a one daily dose being
sufficient following attainment of therapeutic levels.
• Phenytoin has more severe adverse effects than phenobarbital
including cardiac side effects and extravasation (although these
have been mitigated by the introduction of fosphenytoin).
• The therapeutic range of phenytoin is very narrow
136. Infant Feeding Practice
Rekomendasi WHO dan UNICEF, 2002, dalam Global Strategy
for Infant and Young Child Feeding :
• Memberikan ASI segera setelah lahir-1jam pertama
• Memberikan hanya ASI saja atau ASI Eksklusif sejak lahir
sampai umur 6 bulan
• Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi
mulai umur 6 bulan
• Diberikan karena ASI tidak lagi mencukupi kebutuhan zat
gizi
• Pengaturan MP-ASI agar tidak diberikan terlalu
dini/terlambat/terlalu sedikit/kurang nilai gizi
• Tetap memberikan ASI sampai anak umur 2 tahun atau
lebih
Pemberian ASI
ASI eksklusif : - “on demand” • Tanda perlekatan bayi yang baik
adalah:
• monitor kenaikan BB : – Lebih banyak areola yang terlihat di
– trimester 1 : 25-30 g/h = 200 atas mulut bayi
g/mg = 750-900 g/bln – Mulut bayi terbuka lebar
– trimester 2 : 20 g/h = 150 – Bibir bawah bayi membuka keluar
– Dagu bayi menyentuh payudara ibu.
g/mg = 600 g/bln
– Trimester 3: 15 g/h = 100 • Cara ibu menyangga bayinya.
– Bayi digendong merapat ke dada ibu
g/mg = 400 g/bln
– Wajah bayi menghadap payudara ibu
– Trimester 4: 10 g/h = 50-75 – Tubuh dan kepala bayi berada pada
g/mg = 200-300 g/bln satu garis lurus
– Seluruh tubuh bayi harus tersangga.
Tahap Penyapihan
Panduan praktis mengenai kualitas, frekuensi, dan jumlah
makanan yang dianjurkan untuk bayi dan anak berusia 6-23
bulan yang diberi ASI on demand

Energi yang Jumlah rata-


Usia Tekstur Frekuensi
Dibutuhkan rata makanan
2-3 sendok
Mulai dengan bubur
makan,
6-8 kental/makanan yang 2-3 kali/hari Plus
200 kkal/hari tingkatkan
bulan dihaluskan. 1-2 kali snack
bertahap sampai
Buah dapat diberikan
125 ml
Makanan yang
dicincang halus dan
9-11 3-4 kali/hari Plus
300 kkal/hari makanan yang dapat 125 ml
bulan 1-2 kali snack
diambil sendiri oleh
bayi
Tiga perempat
12-23 3-4 kali/hari Plus
550 kkal/hari Makanan keluarga sampai satu
bulan 1-2 kali snack
cangkir 250 m
Pemberian Buah sebagai MP-ASI
• Jangan dimulai dengan pemberian jus buah yangasam
• Pada tahap awal, berikanlah kira-kira 30-50 ml jus buah sebagai
pengenalan pada organ pencernaan bayi. Lihat reaksi yang timbul.
Bila tidak ada alergi yang timbul maka bisa diteruskan
• Jumlah jus buah yang diberikan sebaiknya tidak melebihi 120- 180
ml dalam sehari. Apabila bayi minum jus buah terlalu banyak dapat
mengakibatkan kembung dan terkena diare
• Selalu cuci bersih setiap buah sebelum diberikan
• Sebaiknya jus buah yang Anda berikan adalah 100 % dari buah asli,
bukan minuman buah yang mengandung pemanis buatan.
• Berikan jus buah kepada bayi di cangkir minumnya, bukan diberikan
lewat botol
• Makanan lumat adalah jenis makanan yang
konsistensinya paling halus seperti bubur
susu dan nasi tim/bubur saring.
• Pada usia 9 bulan jenis buah yang boleh
diberikan: pisang, jeruk, alpukat, apel,
mangga harum manis, papaya, melon.
• Bubur Susu:
• Campurkan tepung beras 1-2 sdm dan
gula pasir 1-2 sdm menjadi satu ,
tambahkan susu/santan 5 sdm yang
sudah dicairkan dengan air 200 cc
sedikit-sedikit aduk sampai rata ,
kemudian masak di atas api kecil
sambil diaduk-aduk sampai matang.
Perkembangan Makanan Bayi
• Bayi umur 5 bulan baru belajar menggerakkan sendi
rahangnya dan makin kuat refleks hisapnya.
• Bayi umur 7 bulan bisa membersihkan sendok
menggunakan bibirnya, menggerakkan sendi rahang naik-
turun, baru punya gigi seri yang bertugas memotong bukan
menggilas makanan, sehingga proses mengunyah dan hasil
partikel kunyahan masih kasar.
• Mulai umur 8 bulan bayi telah mampu menggerakkan lidah
ke samping dan mendorong makanan ke gigi-geliginya,
makin stabil menjaga keseimbangan dan memegang
sehingga dia sudah bisa menerima makanan finger food.
Perkembangan Makanan Bayi
• Umur 10 bulan merupakan waktu kritis bayi diharapkan
sudah bisa memakan tekstur makanan MPASI semi-padat
(“lumpy” solid food) sehingga mulai kenalkan makanan
lembek tanpa saring di umur 9 bulan.
• Jika terlambat menaikkan tekstur makanan maka anak akan
semakin sulit memakan makanan yang lebih padat.
• Umur 12 bulan sendi rahang bayi telah stabil dan mampu
melakukan gerakan rotasi sehingga sudah bisa lebih
canggih dalam mengunyah tekstur makanan MPASI kasar.
– Pada saat ini bayi telah siap memakan makanan keluarga.
Analisis Soal
• Pada soal ini, makanan pada anak usia 6 bulan adalah dengan
memberikan MPASI karena pemberian ASI saja tidak dapat memenuhi
kebutuhan zat gizi.
• Karena pada usia 6-7 bulan bayi belum bisa menggiling makanan, maka
MPASI yang diberikan adalah yang halus seperti bubur susu atau nasi
tim/bubur saring.
• Selain itu, pada bayi yang berusia 6 bulan ke atas, jenis MPASI yang
diberikan diutamakan yang bersifat hipoalergenik sehingga dipilih yang
berasal dari beras.
• Dengan demikian yang diberikan terlebih dahulu adalah bubur susu, tim
saring juga bisa menjadi pilihan akan tetapi karena sudah mengandung
protein beresiko alergi, oleh karena itu pemberian tim saring lebih
diutamakan jika bayi sudah di atas 7 bulan.
• Sedangkan istilah untuk bubur tim saring lunak dan kasar tidak ada,
karena yang dimaksud dengan tim saring hanya tim saring halus, tidak ada
lunak atau kasar.
137. HMD

Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
Neonatal Asphyxia

• Deprivation of oxygen to a newborn infant that


lasts long enough during the birth process to
cause physical harm, usually to the brain
• Etiology:
– Intrauterine hypoxia
– Infant respiratory distress syndrome
– Transient tachypnea of the newborn
– Meconium aspiration syndrome
– Pleural disease (Pneumothorax,
Pneumomediastinum)
– Bronchopulmonary dysplasia
http://en.wikipedia.org/wiki/Perinatal_asphyxia
HMD
• gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan
defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia
gestasi<34 minggu atau berat lahir <1500 gram
• Gejala Klinis
– Sesak, merintih, takipnea, retraksi interkostal dan
subkostal, napas cuping hidung, dan sianosis yang terjadi
dalam beberapa jam pertama kehidupan.
– Bila gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan,
adanya PMH dapat disingkirkan.
• Lung immaturity  salah satu penyebab Chronic Lung Disease
(bronchopulmonary dysplasia)
• Penyakit membran hialin RESPIRATORY DISTRESS
(PMH) merupakan gangguan SYNDROME (Hyaline
pernapasan yang disebabkan membrane disease)
imaturitas paru dan defisiensi
surfaktan, terutama terjadi
pada neonatus usia gestasi <34
minggu atau berat lahir <1500
gram
• Etiology:
– Defisiensi surfaktan (produksi
dan sekresi menurun)
• Surfactant
– Berperan untuk pengembangan
alveolus
– Komposis utama surfaktan :
• dipalmitoyl phosphatidylcholine
(lecithin)
• Phosphatidylglycerol
• apoproteins (surfactant proteins
SP-A, -B, -C, -D)
• Cholesterol
Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Nelson Textbook of http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/010/102
Pediatrics 91-0550x0475.jpg
Patomekanisme
HMD
Pathogenesis of hyaline membrane disease
(HMD). Vascular disruption causes leakage of
plasma into the alveolar spaces and layering of
fibrin and necrotic cells arise from type II
pneumocytes (“hyaline membranes”) along the
surface of alveolar ducts and respiratory
bronchioles partially denuded of their normal
cell lining.
Pneumosit sebagai Penghasil
Surfaktan
• Pada dinding alveolus dibedakan atas 2
macam sel:
– sel epitel gepeng ( squamous pulmonary epitheal
atau sel alveolar kecil atau pneumosit tipeI).
– sel kuboid yang disebut sel septal atau alveolar
besar atau pneumosit tipe II.
• Menghasilkan surfaktan untuk menurunkan tegangan
permukaan dan mempertahankan bentuk dan besar
alveolus
Komplikasi
– Septicemia
– Bronchopulmonary dysplasia (BPD)
– Patent ductus arteriosus (PDA)
– Pulmonary hemorrhage
– Apnea/bradycardia
– Necrotizing enterocolitis (NEC)
– Retinopathy of prematurity (ROP)
– Hypertension
– Failure to thrive
– Intraventricular hemorrhage (IVH)
Tatalaksana HMD
• Endotracheal (ET) tube
• Continuous positive airway pressure (CPAP)
• Surfactant replacement
• Broad spectrum antibiotic (Ampicillin) stop if there is no proof
of infection
• Corticosteroid  reduced overall incidence of death or chronic lung
disease
– Early Postnatal Corticosteroids (<96 hours)  not suggested because
risk> benefit (CP, development delay, Hyperglicemia, hypertension, GI
bleeding)
– Moderately Early Postnatal Corticosteroids (7-14 days)  not
suggested because risk> benefit
– Delayed Postnatal Corticosteroids (> 3 weeks)  can be used for
ventilator dependant infants in whom it is felt that steroids are
essential to facilitate extubation.
KLASIFIKASI HMD

Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan
bronchogram air bronchogram

Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak),
airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat,
Gambaran jantung menjadi kabur. disebut juga “White lung”
Di stre s Pe rnapasan pada Ne onatus
KELAINAN GEJALA
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat
Sindrom aspirasi staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar.
mekonium Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy
opacity, terkadang atelektasis.
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC,
Respiratory distress
gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak
syndrome (penyakit
gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air
membran hyalin)
bronkogram, ekspansi paru jelek.
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah
Transient tachypnea of lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi
newboorn tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru
perifer bersih.

Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan amnion


Pneumonia neonatal berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala sepsis.
Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous infiltrates

Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
encephalopathy)
138. Sumbatan Jalan Napas akibat
Benda Asing
Tatalaksana
Cricothyroidotomy/ Cricothyrotomy
• Jalan napas buatan dengan
insisi pada membran krikoid
• Diindikasikan pada situasi
dimana usaha lain untuk
mempertahankan jalan
napas gagal
– Trauma yg meliputi daerah
oral, faringeal, atau nasal
– Spasme otot wajah atau
laringospasme
– Stenosis jalan napas atas
– Gigi yg terkatup
– Obstruksi jalan napas: edema
orofaringeal (anafilaksis),
obstruksi benda asing

POSISI KRIKOTIROTOMI
Krikotirotomi VS Trakeostomi
• Cricotirotomi:
– biasa dilakukan pada kasus
emergensi/ darurat krn lbh
mudah utk dilakukan
– Insisi pada membran krikoid
• Trakeostomi:
– untuk jangka waktu lama
– Insisi di antara cincin trakea

POSISI TRAKEOSTOMI
139. Limfoma Non-Hodgkin
• Limfoma non Hodgkin merupakan bagian dari limfoma maligna
(keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat) yang berupa
tumor ganas yang disebabkan proliferasi ganas sel-sel jaringan limfoid
dari seri limfosit.
• Meski limfoma maligna umumnya terbatas pada jaringan limfoid, pada
anak tidak jarang ditemukan keterlibatan sumsum tulang, sedangkan
keterlibatan tulang dan susunan saraf jarang terjadi.
• Sebanyak 35% tumor primernya berlokasi di daerah abdomen, 13% di
daerah kepala dan leher.
• Faktor risiko berupa genetik, imunosupresi pasca transplantasi, obat-
obatan (difenilhidantoin), radiasi, dan infeksi virus (EBV, HIV).
Non-Hodgkin Lymphoma Classification
in Pediatric
• Adult non-Hodgkin lymphomas are characterized as low,
intermediate, or high grade, and they can have a diffuse or nodular
appearance.
• In contrast, childhood non-Hodgkin lymphomas are almost always
high grade and diffuse.
• According to the National Cancer Institute (NCI) formulation, most
childhood non-Hodgkin lymphomas can be classified as one of the
following types:
– Lymphoblastic lymphomas
• indistinguishable from the lymphoblasts of acute lymphoblastic leukemia (ALL)
– Small noncleaved cell lymphomas (SNCCLs) –
• can be classified as Burkitt lymphomas and non-Burkitt lymphomas (Burkittlike
lymphomas)
– Large cell lymphomas (LCLs)
Limfoma Non-Hodgkin
Anamnesis Pemeriksaan Fisik
• Abdomen: nyeri perut, mual dan
muntah, konstipasi atau diare, teraba • Massa di daerah tumor
massa, perdarahan saluran cerna akut, primer
ikterus, gejala-gejala intususepsi
• Kepala dan leher: limfadenopati servikal • Limfadenopati
dan pembengkakan kelenjar parotis,
pembengkakan rahang, obstruksi
hidung, rinore
• Sesak nafas
• Mediastinum: sesak nafas, ortopneu, • Anemia
pusing, nyeri kepala, disfagia, epistaksis,
sinkop, penurunan kesadaran (sindrom
vena cava superior)
• Perdarahan
• Keluhan umum: demam, penurunan • Nyeri tulang
berat badan, anemia.
• Hepatosplenomegali
Pemeriksaan Penunjang Limfoma Non
Hodgkin
• Tujuan: untuk menegakkan • Aspirasi sumsum tulang
diagnosis pasti dan staging.
• Pemeriksaan cairan serebrospinal
• Biopsi (histopatologis) untuk
menegakkan diagnosis pasti: • Sitologi cairan pleura,
ditemukan limfosit, atau sel stem peritoneum atau perikardium
yang difus, tanpa
diferensiasi/berdiferensiasi buruk • Bone scan (survey tulang)
• Laboratorium: pemeriksaan darah • Ct scan (atas indikasi)
lengkap, LDH, asam urat, • MRI (atas indikasi)
pemeriksaan fungsi hati, fungsi
ginjal, elektrolit untuk memeriksa • Pemeriksaan imunofenotiping
marker tidak spesifik dan tanda • Pemeriksaan sitogenetik dan
tumor lisis sindrom.
• USG abdomen biologi molekular
• Foto toraks
Burkitt lymphoma

• Bulky, fleshy tumors, ± necrotic areas


• Peripheral lymphadenopathy is rare; Bone marrow
involvement late, leukemia rare
• Responsive to chemotherapy (especially African), 50%
relapse
• Strong association with EBV.
• Another important feature of BL is that nearly 100% of
nuclei of the neoplastic cells are Ki-67-positive.
Cytoplasmic immunoglobulin may be present.
• Differential diagnosis: Diffuse large B cell lymphoma, B
cell lymphoma unclassified.
881
Burkitt lymphoma is a high-grade malignant lymphoma composed of germinal
center B cells which can present in three clinical settings:

1. Endemic. This occurs in the equatorial strip of Africa and is the most
common form of childhood malignancy in this area. The patients
characteristically present with jaw and orbital lesions. Involvement of
the gastrointestinal tract, ovaries, kidney, and breast are also common.

2. Sporadic. This is seen throughout the world. It affects mainly children


and adolescents, and has a greater tendency for involvement of the
abdominal cavity than the endemic form.

3. Immunodeficiency-associated. This is seen primarily in association with


HIV infection and often occurs as the initial manifestation of the disease.

882
Burkitt’s Lymphoma
• The tumor cells are monotonous small (10-25μm) round cells. The nuclei
are round or oval and have several prominent basophilic nucleoli. The
chromatin is coarse and the nuclear membrane is rather thick.
• The cytoplasm is easily identifiable; Mitoses are numerous, and a
prominent starry sky pattern is the rule, although by no means
pathognomonic.
• In well-fixed material, the cytoplasm of individual cells ‘squares off’,
forming acute angles in which the membranes of adjacent cells abut on
each other.
• Occasionally, the tumor is accompanied by a florid granulomatous
reaction.
• Numerous fat vacuoles in cytoplasm (Oil Red O positive)

883
Burkitt lymphoma with characterstic starry sky appearance.
884
Limfoma Hodgkin
• Limfoma Hodgkin merupakan bagian dari limfoma maligna
(keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat).
• Sel ganas pada penyakit Hodgkin berasal dari sistem
limforetikular ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg
pada organ yang terkena.
• Limfosit yang merupakan bagian integral proliferasi sel
pada penyakit ini diduga merupakan manifestasi reaksi
kekebalan selular terhadap sel ganas tersebut.
• Lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan limfoma non
Hodgkin.
• Faktor risiko diduga berhubungan dengan infeksi virus
Eipstein-Barr, radiasi, dan faktor genetik.
• Histopatologi : ditemukan sel Reed-Sternberg.
Limfoma Hodgkin
Anamnesis Pemeriksaan Fisik
• Pembengkakan yang tidak nyeri • Limfadenopati, dapat sebagian
dari 1 atau lebih kelenjar getah ataupun generalisata dengan
bening superfisial. Pada 60-80% predileksi terutama daerah
kasus mengenai kelenjar getah servikal, yang tidak terasa nyeri,
bening servikal, pada 60% kasus diskret, elastik, dan biasanya
berhubungan dengan keterlibatan kenyal
mediastinum • Splenomegali
• demam hilang timbul (intermiten) • Gejala-gejala penyakit paru (bila
• Berkeringat malam yang terkena kelenjar getah
• Anoreksia, penurunan berat bening mediastinum dan hilus)
badan • Gejala-gejala penyakit susunan
• Rasa lelah saraf (biasanya muncul lambat).
887
888
Ameloblastoma
• Tumor jinak odontogenic yang
berasal dari lamina dental
pada daerah mandibula
• Gejala klinis khas: benjolan
keras tanpa nyeri di daerah
mandibula
• Predileksi terutama pada area
molar 3
• Pada beberapa kasus dapat
juga berada di maxilla
140. Penyakit Chagas
• Nama lain American trypanosomiasis.
• Etiologi: parasit Trypanosoma cruzi, ditransmisikan oleh
vektor serangga
• Terdapat di amerika, terutama Amerika Latin
• Bisa menular lewat congenital transmission, transfusi
darah, makanan yang terkontaminasi kotoran serangga yg
terinfeksi
• Complications of chronic
Sign & Symptomps Chagas:
– heart rhythm abnormalities
• Acute Chagas disease that can cause sudden death;
– last up to a few weeks or months – a dilated heart that doesn’t
pump blood well;
– parasites may be found in the
blood. – a dilated esophagus or colon,
leading to difficulties with
– fever or swelling around the site eating or passing stool.
of inoculation
– Rarely, acute infection may result
in severe inflammation of the
heart muscle or the brain
• prolonged asymptomatic form
of disease (called "chronic
indeterminate")
– few or no parasites are found in
the blood.
– asymptomatic for life
– 20 - 30% of infected people will
develop debilitating and Romaña's sign, the swelling of the child's eyelid, is
a marker of acute Chagas disease. The swelling is
sometimes life-threatening due to bug feces being accidentally rubbed into the
medical problems eye, or because the bite wound was on the same
side of the child's face as the swelling. Photo courtesy of
WHO/TDR.
Diagnosis
• The diagnosis of Chagas
disease can be made by
observation of the
parasite in a blood
smear by microscopic
examination. A thick
and thin blood smear
are made and stained
for visualization of
parasites.
Tatalaksana
Drug Age group Dosage and duration
Benznidazole < 12 years 5-7.5 mg/kg per day orally in 2 divided doses
for 60 days

12 years or 5-7 mg/kg per day orally in 2 divided doses


older for 60 days

Nifurtimox ≤ 10 years 15-20 mg/kg per day orally in 3 or 4 divided


doses for 90 days

12.5-15 mg/kg per day orally in 3 or 4 divided


11-16 years
doses for 90 days

17 years or 8-10 mg/kg per day orally in 3 or 4 divided


older doses for 90 days
Babesiosis
• Penyakit yang ditransmisikan oleh
kutu
• Etiologi: protozoa (Babesia microti)
• Memiliki gejala klinis dan
pemeriksaan laboratorium yang
serupa dengan malaria
• Sebagian besar asimptomatik, tidak
memiliki gejala klinis yang khas
• Manifestasi paling sering adalah
anemia hemolitik karena protozoa ini
menginfeksi eritrosit
Sleeping disease

• Atau lebih tepatnya sleeping sickness


• Disebabkan oleh parasit, yaitu Trypanosoma brucei
• Transmisi melalui lalat tse-tse
• Gejala klinis utama berupa demam intermitten, nyeri
kepala, pembesaran KGB selama 1-2 minggu
– Jika terinfeksi Trypanosoma brucei rhodensiense: progresi
gejala cepat dan cepat menginvasi CNS lethal
– Jika terinfeksi Trypanosoma brucei gambiense: progresi
gejala klinis cenderung lebih lambat + gejala neurologis
berupa paralisis parsial dan gangguan berjalan dan
keseimbangan
141. Hymenoptera (Bee/Wasp) Sting
• Wasp venoms contain molecules such as
phospholipases A and B, hyaluronidases, and
invertebrate neurotoxin.
• Bee venoms contain hyaluronidase,
phospholipase A2, acid phosphatase, meletin,
and other kinins.
• Target organs are the skin, vascular system, and
respiratory system.
• Pathology is similar to other immunoglobulin E
(IgE)–mediated allergic reactions.
Hymenoptera (Bee/Wasp) Sting
• The release of histamine (a potent vasodilator) in
response to venom exposure accounts for the
majority of reactions.
• In local reactions, this leads to swelling, oedema, and
pain.
• Anaphylaxis may occur and is typically a result of
sudden systemic release of mast cells and basophil
mediators.
• Urticaria, vasodilation, bronchospasm, laryngospasm,
and angioedema are prominent symptoms of the
reaction.
• Respiratory arrest may result in refractory cases.
Wasp Sting: Local Reaction

produces increased
localized ischemia
phospholipase A, capillary
direct mast cell increases the
phospholipase B, permeability and
degranulation inflammatory
as well as localized swelling
with the release response with
mastoparan and redness at the
of histamine. subsequent
peptide, site of the wasp
vasodilation
sting
Fase Dini/ Initial Response
TERJADI BEBERAPA MENIT SETELAH TERPAPAR ALERGEN YANG
SAMA UNTUK KEDUA KALINYA
PUNCAKNYA 15-20 MENIT PASCA PAPARAN
BERAKHIR 60 MENIT KEMUDIAN

REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE I

Fase Lanjut/ Late Phase Reaction


DISEBABKAN AKUMULASI DAN INFILTRASI EOSINOFIL,
NEUTROFIL, BASOFIL, LIMFOSIT DAN MAKROFAG SEHINGGA
TERJADI INFLAMASI
BERLANGSUNG 4-8 JAM, DAPAT MENETAP BEBERAPA HARI
Tipe I (IgE-Mediated type)
Table 6-3. Summary of the Action of Mast Cell Mediators in
Immediate (Type I) Hypersensitivity
Action Mediator
Vasodilation, increased Histamine
vascular permeability PAF
Leukotrienes C4, D4, E4
Neutral proteases that activate complement
and kinins
Prostaglandin D2
Smooth muscle spasm Leukotrienes C4, D4, E4
Histamine
Prostaglandins
PAF
Cellular infiltration Cytokines, e.g., TNF
Leukotriene B4
Eosinophil and neutrophil chemotactic
factors (not defined biochemically)
PAF
OBSTETRI &
GINEKOLOGI
142. Persalinan Lama
• Waktu persalinan memanjang karena
kemajuan persalinan yang terhambat.

• Definisi berbeda sesuai fase


kehamilan, klasifikasi diagnosisnya:
– Distosia pada kala I fase aktif: grafik
pembukaan serviks pada partograf
antara garis waspada - garis
bertindak/ sudah memotong garis
bertindak, ATAU
– Fase ekspulsi (kala II) memanjang:
Bagian terendah janin pada persalinan
kala II tidak maju. Batasan waktu:
• Maks 2 jam untuk nulipara dan 1
jam untuk multipara, ATAU
• Maks 3 jam untuk nulipara dan 2
jam untuk multipara bila
menggunakan analgesia epidural
Partograf
Tujuan Utama Tidak boleh digunakan pada:
• Mencatat hasil observasi 1. Wanita pendek, tinggi
dan menilai kemajuan kurang dari 145 cm
persalinan 2. Perdarahan antepartum
• Mendeteksi apakah 3. Pre-eklampsia – eklampsia
persalinan berjalan normal 4. Persalinan prematur
atau terdapat 5. Bekas sectio sesarea
• penyimpangan, dengan 6. Kehamilan ganda
demikian dapat melakukan 7. Kelainan letak janin
deteksi dini setiap 8. Fetal distress
kemungkinan terjadinya 9. Dugaan distosia karena
partus lama panggul sempit
Partograf: Umum
• Denyut jantung janin: setiap 1⁄2 jam
• Frekuensi dan lamanya kontraksi uterus: setiap
1⁄2 jam
• Nadi: setiap 1⁄2 jam
• Pembukaan serviks: setiap 4 jam
• Penurunan: setiap 4 jam
• Tekanan darah dan temperatur tubuh: setiap 4
jam
• Produksi urin, aseton dan protein: setiap 2-4 jam
Kriteria Diagnosis untuk Gangguan proses Persalinan
Analisis Soal
• G1P0A0  Pembukaan 3 cm setelah
diobservasi selama 2 jam pembukaan tetap 3
cm. Setelah 4 jam pembukaan menjadi 4 cm
 kecepatan dilatasi 1 cm dalam 4 jam = 0,25
cm/jam  sudah masuk ke dalam protracted
active phase dilatation (termasuk ke dalam
kala 1 aktif memanjang  tatalaksana rujuk
143. Distosia Bahu

• Keadaan dimana setelah kepala dilahirkan, bahu


anterior tidak dapat lewat dibawah simfisis pubis

• Diagnosis:
– Kesulitan melahrikan wajah dan dagu
– “Turtle Sign”: kepala bayi melekat erat di vulva atau
bahkan tertarik kembali
– Kegagalan paksi luar kepala bayi
– Kegagalan turunnya bahu
Distosia Bahu: Faktor Predisposisi
Manuver
McRobert

Penekanan
Suprasimfisis
Manuver Lain

Manuver Kegunaan Kegunaan


Andrew
Manuver Brandt Andrew Penarikan tali pusat secara terkendali
Penarikan saatsecara
tali pusat ada ter
kontraksi uterus dan kontraksi
menahanuterus
bagiandan bawah
menahan
uterus kearah kepala pasien
uterus kearah kepala pasien
Manuver Lovset Termasuk salah satu Termasuk
prosedur salah
partialsatu
breech
prosedu
extraction extraction
n Manuver Simpson - -
er Manuver Kristeller Suatu tindakan mendorong perut ibu
Suatu tindakan saat
mendorong
persalinan untuk membantu kekuatan
persalinan untuk kontraksi
membantu ke
agar bayi bisa lahir agar bayi bisa lahir
erts Manuver McRoberts Digunakan saat terjadiDigunakan
distosia bahu
saatdengan
terjadi cara
distosia b
hiperfleksi tungkai bawah ibu kearah
hiperfleksi abdomen
tungkai bawah ibu ke
144. Organ Reproduksi Wanita: Vaginitis
• Etiologi
– Perubahan keseimbangan bakteri vagina atau infeksi, penurunan kadar
estrogen setelah menopause

• Gejala
– Perubahan warna, bau, atau jumlah dari cairan vagina; gatal atau nyeri,
dispareunia, nyeri berkemih, perdarahan pervaginam ringan atau spotting

• Tipe vaginitis yang sering terjadi:


- Bakterial vaginosis: overgrowth flora
normal vagina
- Infeksi jamur: pertumbuhan berlebihan
candida sp.
- Trichomoniasis: penyakit menular seksual
akibat trichomonas vaginalis
- Vaginitis atropik: akibat penurunan kadar
estrogen setelah menopause
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/vaginitis/basics/symptoms/con-20022645
Organ Reproduksi Wanita: Servisitis
• Etiologi
– Penyakit menular seksual, alergi, iritasi, ketidakseimbangan
bakteri dan hormonal, kanker, radioterapi

• Gejala & Tanda


– Keputihan berwarna keabuan atau kuning pucat, perdarahan
pervaginam abnormal, dispareunia; sulit, nyeri, dan sering
berkemih; nyeri pelvis atau perut
– Keputihan pada serviks, perdarahan, nyeri, atau pembengkakan
serviks

• Terapi
– Antibiotik,
antifungal (sesuai etiologi)

http://www.webmd.com/women/guide/cervicitis
Organ Reproduksi Wanita: Vulvitis
• Etiologi
– Alergi, infeksi, iritasi
• Gejala & Tanda
– Kemerahan dan pembengkakan labia & vulva, gatal,
lepuh, lecet, bersisik pada vulva
Organ Reproduksi Wanita: Salpingitis
• Etiologi: terutama bakteri
• Gejala & Tanda
– Nyeri perut bagian bawah, nyeri adneksa, nyeri
saat uterus digerakkan, demam, keputihan, teraba
massa pada pemeriksaan bimanual
145. Bakterial Vaginosis
• Bakterial vaginosis atau nonspesifik vaginitis adalah suatu istilah
yang menjelaskan adanya infeksi bakteri sebagai penyebab
inflamasi pada vagina

• Etiologi
– Bakteri yang sering didapatkan adalah Gardnerella vaginalis,
Mobiluncus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Mycoplasma hominis,
Ureaplasma urealyticum , Eubacterium, Fusobacterium, Veilonella,
Streptococcus viridans, dan Atopobium vaginae

• Gejala klinis
– Keputihan, vagina berbau, iritasi vulva, disuria, dan dispareuni

• Faktor risiko
– Penggunaan antibiotik, penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim,
promiskuitas, douching, penurunan estrogen.
Bakterial Vaginosis: Pemeriksaan
• Didapatkan keputihan yang homogen
• Labia, introitas, serviks dapat normal maupun didapatkan tanda
servisitis.
• Keputihan biasanya terdapat banyak di fornix posterior
• Dapat ditemukan gelembung pada keputihan
• Pemeriksaan mikroskopis cairan keputihan harus memenuhi 3 dari 4
kriteria Amsel untuk menegakkan diagnosis bakterial vaginosis
– Didapatkan clue cell.
– pH > 4,5
– Keputihan bersifat thin, gray, and homogenous
– Whiff test + (pemeriksaan KOH 10%
didapatkan fishy odor sebagai akibat dari
pelepasan amina yang merupakan produk
metabolisme bakteri)
Bakterial Vaginosis: Tatalaksana

• Pada infeksi asimtomatik tidak perlu diberikan


terapi

• Pada infeksi simtomatik: antibiotik merupakan


pilihan utama

• Pilihan obat: metronidazole 2 x 500 mg selama 7


hari. Pada perempuan hamil 2 x 500 mg selama 7
hari atau 3 x 250 mg selama 7 hari
Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/254342
Bakterial Vaginosis: Komplikasi
• Komplikasi Umum
– Endometritis, penyakit radang panggul, sepsis
paskaaborsi, infeksi paskabedah, infeksi
paskahisterektomi, peningkatan risiko penularan HIV
dan IMS lain

• Komplikasi obstetrik
– Keguguran, lahir mati, perdarahan, kelahiran
prematur, persalinan prematur, ketuban pecah dini,
infeksi cairan ketuban, endometritis paskapersalinan
dan kejadian infeksi daerah operasi (IDO)
146. Ginekologi
Kista Bartholin Kista pada kelenjar bartholin yang terletak di kiri-kanan bawah
vagina,di belakang labium mayor. Terjadi karena sumbatan muara
kelenjar e.c trauma atau infeksi
Kista Nabothi (ovula) Terbentuk karena proses metaplasia skuamosa, jaringan endoserviks
diganti dengan epitel berlapis gepeng. Ukuran bbrp mm, sedikit
menonjol dengan permukaan licin (tampak spt beras)
Polip Serviks Tumor dari endoserviks yang tumbuh berlebihan dan bertangkai,
ukuran bbrp mm, kemerahan, rapuh. Kadang tangkai panjang sampai
menonjol dari kanalis servikalis ke vagina dan bahkan sampai
introitus. Tangkai mengandung jar.fibrovaskuler, sedangkan polip
mengalami peradangan dengan metaplasia skuamosa atau ulserasi
dan perdarahan.
Karsinoma Serviks Tumor ganas dari jaringan serviks. Tampak massa yang berbenjol-
benjol, rapuh, mudah berdarah pada serviks. Pada tahap awal
menunjukkan suatu displasia atau lesi in-situ hingga invasif.
Mioma Geburt Mioma korpus uteri submukosa yang bertangkai, sering mengalami
nekrosis dan ulserasi.
Kista Gartner
• Etiologi
• Suatu kista vagina yang disebabkan oleh sisa jaringan embrional (duktus
Wolffian)

• Letak & Ukuran


• Biasanya didapatkan di dinding anterolateral superior vagina.
• Ukuran pada umumnya < 2cm, namun dapat berkembang hingga lebih
besar

• Gejala & tanda


• Bila ukuran kista besar: disuria, gatal,
dispareunia, nyeri pelvis, protusi dari vagina

• Pemeriksaan
• PA: Didapatkan epitelial kuboid yang selapis/
epitel batang pendek

• Terapi: Drainase
http://journals.lww.com/em-news/Fulltext/2011/05000/Case_Report__Gartner_s_Duct_Cyst.15.aspx
KISTA BARTHOLIN
Kelenjar Bartholin: Kista Duktus Bartholin:
• Bulat, kelenjar seukuran kacang • Kista yang paling sering
terletak didalam perineum pintu
masuk vagina arah jam 5 & jam 7 • Disebabkan oleh obstruksi
• Normal: tidak teraba sekunder pada duktus akibat
• Duktus: panjang 2 cm & terbuka inflamasi nonspesifik atau
pada celah antara selaput himen trauma
& labia minora di dinding lateral
posterior vagina • Kebanyakan asimptomatik
Kista & Abses Bartholin: Terapi
• Pengobatan tidak diperlukan pada wanita usia
< 40 tahun kecuali terinfeksi atau simptomatik

• Simptomatik
– Kateter Word selama 4-6 minggu
– Marsupialization: Alternatif kateter Word  tidak
boleh dilakukan bila masih terdapat abses  obati dulu Kateter Word
dengan antibiotik spektrum luas
– Eksisi: bila tidak respon terhadap terapi sebelumnya 
dilakukan bila tidak ada infeksi aktif

• Pada wanita > 40 tahun


• Biopsi dilakukan untuk
menyingkirkan adenocarcinoma
kelenjar Bartholin

http://www.aafp.org/afp/2003/0701/p135.html
Kista Nabothi
• Etiologi
– Terjadi bila kelenjar
penghasil mukus di
permukaan serviks
tersumbat epitel skuamosa

• Gejala & Tanda


– Berbentuk seperti beras
dengan permukaan licin

• Pemeriksaan
- Pemeriksaan pelvis, kadang dengan kolposkopi

• Terapi: Bila simptomatik  drainase


https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001514.htm
147. Hormon Masa Kehamilan
• Hormon HCG
– Mendukung pertumbuhan plasenta
• Hormon HPL (Human Placental Lactogen)
– Menstimulasi pertumbuhan dan perubahan metabolisme
lemak dan karbohidrat
– Berperan dalam produksi ASI
• Hormon Relaksin
– Efek relaksasi pada sendi panggul dan melunakkan rahim
• Estrogen
– Perkembangan kelenjar mamae, memicu kontraksi rahim,
vagina dan serviks lebih lentur, memperkuat dinding rahim
• Progesteron
– Mencegah kontraksi, menyiapkan payudara memproduksi ASI
• MSH
– Warna puting susu lebih gelap, melasma, linea nigra
MSH: Reseptor Estrogen
• Melanosit mengandung
reseptor estrogen

• Bereaksi terhadap
peningkatan estrogen selama
kehamilan

• Daerah hiperpigmentasi pada


kehamilan: tidak ada
peningkatan jumlah melanosit,
namun melanosit menjadi
lebih besar, lebih dendritik,
dan terjadi peningkatan
melanogenesis (terutama
eumelanin)
148. Sectio Caesarea

Isthmus:
Bagian uterus antar korpus dan serviks uteri,
yang diliputi oleh peritoneum viserale  akan
melebar selama kehamilan dan disebut segmen
bawah rahim.
Sectio Caesarea: Indikasi
• Malpresentasi janin:
– Letak Lintang
Semua primigravida dengan letak janin lintang harus ditolong
dengan operasi seksio sesaria
Seksio sesaria dilakukan pada ibu dengan janin letak lintang
yang memilki panggul yang sempit

– Letak Bokong, dianjurkan seksio sesaria bila:


• Panggul sempit
• Primigravida
• Janin besar dan Berharga
• Presentasi dahi dan muka(letak defleksi) bila reposisi dan cara-cara
lain tidak berhasil
• Presentasi rangkap, bila reposisi tidak berhasil
• Gemelli
Sectio Caesarea: Kontra Indikasi
• Kontra Indikasi Absolut
– Pasien menolak.
– Infeksi pada tempat suntikan
– Hipovolemia berat, syok
– Koagulapati atau mendapat terapi antikagulan
– Tekanan intrakranial meninggi
– Fasilitas resusitasi minimal
– Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anesthesia.

• Kontra Indikasi Relatif


– Infeksi sisitemik (sepsis, bakteremia)
– Infeksi sekitar suntikan
– Kelainan neurologis
– Kelainan psikis
– Bedah lama
– Penyakit jantung
– Hipovolemia ringan
– Nyeri punggung kronis
Insisi pada Sectio Caesarea
• SC melibatkan insisi abdominal & insisi uterus
• Insisi abdominal: insisi horizontal lebih sering
• Insisi uterus: Low tranverse
incision paling sering
Insisi Transversal VS Insisi Klasik
149. Abortus Septik
• Keguguran disertai infeksi berat dengan
penyebaran kuman atau toksinnya ke dalam
peredaran darah atau peritoneum

• Sering ditemukan pada abortus inkompletus atau


abortus buatan, terutama yang kriminalis tanpa
memperhatikan syarat-syarat asepsis dan
antisepsis

• Etiologi
– Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Proteus
vulgaris, Hemolytic streptococci dan Staphylococci
(Mochtar, 2000; Dulay, 2010).
Abortus Septik: Diagnosis

• Adanya abortus : amenore, perdarahan, keluar jaringan


yang telah ditolong di luar rumah sakit

• Pemeriksaan : kanalis servikalis terbuka, teraba jaringan,


perdarahan dan sebagainya

• Tanda-tanda infeksi alat genital : demam, nadi cepat,


perdarahan, nyeri tekan dan leukositosis

• Pada abortus septik : kelihatan sakit berat, panas tinggi,


menggigil, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun
sampai syok
Abortus Septik: Tatalaksana
• Keseimbangan cairan tubuh dengan NS atau RL IV

• Riwayat abortus tidak aman: beri ATS dan TT

• Pemberian antibiotik yang adekuat sesuai hasil


kultur darah dan cairan fluksus/fluor yang keluar
pervaginam
Abortus • Tahap pertama
Septik • Penisilin 4x 1,2 juta unit atau Ampisilin 4x 1
gram Gentamisin 2 x 80mg dan Metronidazol 2
x 1 gram

• Selanjutnya: antibiotik disesuaikan hasil kultur

• Tindakan kuretase dilaksanakan apabila keadaan


tubuh membaik minimal 6 jam setelah pemberian
antibiotik yang adekuat
Penatalaksanaan Abortus Septik (Bantuk, 2009).
Abortus Septik: Tatalaksana
Abortus Septik: Komplikasi

• Perforasi uterus saat dilakukan pengosongan


uterus
• Syok septik
• Kematian ibu
150. Abortus: Tatalaksana Umum

• Keseimbangan cairan melalui intravena


• Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan
abortus dengan komplikasi, berikan kombinasi
antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48
jam:
– Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam
– Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
– Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
– Segera rujuk ibu ke rumah sakit .
– Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan
konseling kontrasepsi pasca keguguran.
– Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus.
Tatalaksana Abortus Imminens
• Pertahankan kehamilan.
• Tidak perlu pengobatan khusus.
• Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan
seksual.
• Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya
pada pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar
Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan
penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi.
• Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan
USG. Nilai kemungkinan adanya penyebab lain.
Tatalaksana Abortus Insipiens
• Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu: lakukan evakuasi isi uterus (dengaan
AVM) Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera:
– Berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu)
– Rencanakan evakuasi segera.
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu:
– Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi sisa hasil konsepsi dari dalam
uterus (lakukan dengan AVM).
– Bila perlu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan
kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi
• Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan
produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24
jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan
pulang.
Tatalaksana Abortus Inkomplit
• Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kehamilan kurang dari 16
minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang
mencuat dari serviks.
• Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan evakuasi isi
uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan. Kuret tajam
sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak tersedia. Jika evakuasi tidak dapat segera
dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu).
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl
0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu
pengeluaran hasil konsepsi.
– Lebih disarankan untuk memakai kuret tajam jika usia kehamilan >16 minggu
• Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan
patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi
urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. BIla hasil
pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang
Tatalaksana Abortus Komplit
• Tidak diperlukan evakuasi lagi.
• Konseling untuk memberikan dukungan
emosional dan menawarkan KB pasca keguguran.
• Observasi keadaan ibu.
• Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 2 minggu, jika
anemia berat berikan transfusi darah.
• Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.
151. Kanker Serviks: Terapi
• Berdasarkan stadium kanker serviks
– Tahap 0: prosedur loop eksisi electrosurgical (LEEP), terapi laser,
conization, dan cryotherapy
– Tahap IA: operasi histerektomi-total, histerektomi radikal, conization.
Terapi radiasi panggul (rekomendasi National Comprehensive Cancer
Network)
– Tahap IB atau IIA: Gabungan radiasi pancaran eksternal dengan
brachytherapy atau histerektomi radikal dengan limfadenektomi
panggul bilateral, Radikal trachelectomy
– Tahap IIB-IVA: kemoterapi berbasis cisplatin dalam kombinasi
dengan radiasi
– Tahap IVB dan kanker berulang: kemoterapi (single agent
cisplatin), radiasi paliatif
Terapi Kanker Serviks: Metode
• Pembedahan
– Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling
luar), seluruh kanker seringkali dapat diangkat dengan bantuan pisau
bedah ataupun melalui LEEP  penderita masih bisa memiliki anak
– Pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama
dan selanjutnya setiap 6 bulan

• Terapi penyinaran
– Radiasi eksternal : sinar berasar dari sebuah mesin besar 
Penderita tidak
perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5
hari/minggu selama 5-6 minggu
– Radiasi internal : zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul
dimasukkan langsung ke dalam serviks

• Kemoterapi

• Terapi Biologis: interferon


Komplikasi Terapi Kanker Serviks:
Fistula Uretero-Vagina
• Saluran yang menghubungkan ureter dengan vagina
• Merupakan komplikasi paling sering dari histerektomi,
dapat juga akibat trauma pelvis, radiasi, atau
keganasan pelvis
• Sering bersamaan dengan fistula vesiko-vagina
• Gejala dan Tanda
– Inkontinensia uri, demam, menggigil
• Gambaran radiologis
– Ekstravasasi kontras pada ureter
• Terapi
– Pemasangan ureteral stent dan nefrostomi
152. Ketuban Pecah Dini
• Robeknya selaput korioamnion dalam kehamilan
(sebelum onset persalinan berlangsung)
• PPROM (Preterm Premature Rupture of
Membranes): ketuban pecah saat usia kehamilan
< 37 minggu
• PROM (Premature Rupture of Membranes): usia
kehamilan > 37 minggu

• Kriteria diagnosis :
– Usia kehamilan > 20 minggu
– Keluar cairan ketuban dari vagina
– Inspekulo : terlihat cairan keluar dari OUE
– Kertas nitrazin menjadi biru
– Mikroskopis : terlihat lanugo dan verniks kaseosa

• Pemeriksaan penunjang: USG (menilai jumlah cairan ketuban,


menentukan usia kehamilan, berat janin, letak janin, kesejahteraan janin
dan letak plasenta)
KPD: Diagnosis
• Inspeksi
• pengumpulan cairan di vagina atau mengalir keluar dari lubang
serviks saat pasien batuk atau saat fundus ditekan

• Kertas nitrazin (lakmus)


• Berubah menjadi biru (cairan amnion lebih basa)

• Mikroskopik
• Ferning sign (arborization, gambaran daun pakis)

• Amniosentesis
• Injeksi 1 ml indigo carmine + 9 ml NS  tampak
pada tampon vagina setelah 30 menit

http://www.aafp.org/afp/2006/0215/p659.html
KPD: Tatalaksana
KETUBAN PECAH DINI

MASUK RS
• Antibiotik
• Batasi pemeriksaan dalam
• Observasi tanda infeksi & fetal distress

PPROM
• Observasi:
PROM
• Temperatur
• Fetal distress
• Kelainan Obstetri
Kortikosteroid
• Fetal distress
Letak Kepala
• Letak sungsang
• CPD
• Riwayat obstetri buruk Indikasi Induksi
• Grandemultipara • Infeksi
• Elderly primigravida • Waktu
• Riwayat Infertilitas
• Persalinan obstruktif

Berhasil
• Persalinan pervaginam
Gagal
Sectio Caesarea • Reaksi uterus tidak ada
• Kelainan letak kepala
• Fase laten & aktif memanjang
• Fetal distress
• Ruptur uteri imminens
• CPD
Ketuban Pecah Prematur: Tatalaksana
• Tatalaksana Umum: Antibiotik profilaksis
• DOC: Penisilin dan makrolida
• Ampicillin 2 g IV/6 jam dan erythromycin 250 mg IV/6 jam selama 2 hari diikuti amoxicillin 250
mg PO/ 8 jam dan erythromycin 333 mg PO/8 jam selama 5 hari
• Atau eritromisin 250 mg PO/6 jam selama 10 hari
• Kombinasi amoksilin dengan asam klavulanat tidak digunakan karena dapat
memicu terjadinya enterokolitis nekrotikans

• Tatalaksana Khusus kehamilan 24-33 minggu


– Selama perawatan 2 hari dilakukan:
• Observasi adanya amnionitis/tanda infeksi (demam, takikardia, lekositosis, nyeri pada rahim,
sekret vagina purulen, takikardi janin)
• Pengawasan timbulnya tanda persalinan
• USG menilai kesejahteraan janin
– Bila terdapat amnionitis, abrupsio plasenta, dan kematian janin, lakukan persalinan
segera.
– Berikan deksametason 6 mg IM tiap 12 jam selama 48 jam atau betametason 12
mg IM tiap 24 jam selama 48 jam.
– Lakukan pemeriksaan serial untuk menilai kondisi ibu dan janin.
– Bayi dilahirkan di usia kehamilan 34 minggu, atau di usia kehamilan 32-33 minggu,
bila dapat dilakukan pemeriksaan kematangan paru dan hasil menunjukkan bahwa
paru sudah matang (komunikasikan dan sesuaikan dengan fasilitas perawatan bayi
preterm).
Tatalaksana Khusus
• <24 minggu:
– Pertimbangan dilakukan dengan melihat risiko ibu dan
janin.
– Lakukan konseling pada pasien. Terminasi kehamilan
mungkin menjadi pilihan.
– Jika terjadi infeksi (korioamnionitis), lakukan
tatalaksana korioamnionitis
• >34 minggu:
– Lakukan induksi persalinan dengan oksitosin bila tidak
ada kontraindikasi.
153. Pemeriksaan Ultrasound

Pengukuran Mulai dari Minggu


Gestational Sac (GS) Hingga usia 6 minggu

Crown-Lump Length (CRL) 6-12 minggu

Biparietal Diameter (BPD) 12 – 42 minggu

Femur Length (FL) 12 – 42 minggu

Abdominal Circumference (AC) 12 – 42 minggu

Estimated Fetal Weight (EFW) 12 – 42 minggu


Dislipidemia
Definition
• Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma.
• Hyperlipidemia may be a primary disorder, such as a familial dyslipidemia
syndrome, or secondary to another cause.
• Classification of dyslipidemia syndromes—Types IIA, IIB, and IV account for
over 80% of all of familial dyslipidemias.

Secondary causes of hyperlipidemia


• Endocrine disorders—hypothyroidism, DM, Cushing’s syndrome
• Renal disorders—nephrotic syndrome, uremia

Rumus Friedewald.
• 𝐿𝐷𝐿 =𝐾𝑜𝑙𝑒𝑠𝑡𝑒𝑟𝑜𝑙 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 −𝐻𝐷𝐿 − 𝑇𝐺/5

Sumber : Agabegi S, Agabegi E. Step-Up to medicine. 3 rd edition. New York : Lippincott Williams & Wilkins; 2013
Dyslipidemia Syndrome
Manifestasi Klinis Class Name Lipoprotein Treatment
Elevated
Type I Exogenous Chylomicrons Diet
• Most patients are hyperlipidemia

asymptomatic. Type IIa Familial


hypercholesterolemia
LDL Statins
Niacin
• The following may be Cholestyramine
Type IIb Combined LDL + VLDL Statins
manifestations of severe hyperlipoproteinemia Niacin
hyperlipidemia: Gemfibrozil
Type III Familial IDL Gemfibrozil
 Xanthelasma—yellow dysbetalipoproteinem Niacin
ia
plaques on eyelids
Type IV Endogenous VLDL Niacin
 Xanthoma—hard, hyperlipidemia Gemfibrozil
Statins
yellowish masses found
Type V Familial VLDL + Niacin
on tendons hypertriglyceridemia chylomicrons Gemfibrozil

• Pancreatitis can occur with


severe hypertriglyceridemia.
Agabegi S, Agabegi E. Step-Up to medicine. 3 rd edition. New York : Lippincott Williams & Wilkins; 2013
LDL goals and treatment cutpoints: Recommendations of the NCEP Adult Treatment
Panel III.

Risk Category LDL Goal (mg/dL) LDL Level at Which LDL Level at Which
to Initiate to Consider Drug
Lifestyle Changes Therapy (mg/dL)
(mg/dL)
High risk: CHD or CHD < 100 (optional goal: ≥ 100 ≥ 100 (< 100: consider
risk equivalents < 70 mg/dL) drug options)
(10-year risk > 20%)
Moderately high risk: < 130 ≥ 130 ≥ 130 (100–129;
2+ risk factors consider drug options)
(10-year risk 10% to
20%)
Moderate risk: 2+ risk < 130 ≥ 130 ≥ 160
factors
(10-year risk < 10%)
Low risk: 0–1 risk < 160 ≥ 130 ≥ 190 (160–189: LDL-
factors lowering drug
optional)

Sumber : Papadakis MA, McPhee SJ. Current Medical Diangnosis and Treatment.2014. New York : McGraw-Hill Companies
Summary of the Major Approved Drugs Used for the Treatment of Dyslipidemia
Drug Major Indications Starting Dose Maximal Mechanism Common Side Effects
Dose
HMG-CoA Elevated LDL-C; ↓ Cholesterol synthesis, Myalgias, arthralgias,
reductase increased CV risk ↑ Hepatic LDL receptors, elevated
inhibitors (statins) ↓ VLDL production transaminases,
dyspepsia
Lovastatin 20–40 mg daily 80 mg daily
Pravastatin 40–80 mg daily 80 mg daily
Simvastatin 20–40 mg daily 80 mg daily
Fluvastatin 20–40 mg daily 80 mg daily
Atorvastatin 20–40 mg daily 80 mg daily
Rosuvastatin 5–20 mg daily 40 mg daily
Pitavastatin 1–2 mg daily 4 mg daily
Cholesterol Elevated LDL-C ↓ Cholesterol absorption, Elevated
absorption ↑ LDL receptors transaminases
inhibitor
Ezetimibe 10 mg daily 10 mg daily
Bile acid Elevated LDL-C ↑ Bile acid excretion and Bloating, constipation,
sequestrants ↑ LDL receptors elevated triglycerides
Cholestyramine 4 g daily 32 g daily
Colestipol 5 g daily 40 g daily
Colesevelam 3750 mg daily 375 mg daily
MTP inhibitor HoFH ↓ VLDL production Nausea, diarrhea,
increased hepatic fat
Lomitapide 5 mg daily 60 mg daily
Summary of the Major Approved Drugs Used for the Treatment of Dyslipidemia
Drug Major Indications Starting Dose Maximal Mechanism Common Side Effects
Dose
ApoB inhibitor HoFH
Mipomersen 200 mg SC 200 mg SC ↓ VLDL production Injection site
weekly weekly reactions,
flu-like symptoms,
increased hepatic fat
Nicotinic acid Elevated LDL-C, ↓ VLDL production Cutaneous flushing, GI
elevated TG upset, elevated
glucose,
uric acid, and elevated
liver function tests
Immediate-release 100 mg tid 1 g tid
Sustained-release 250 mg bid 1.5 g bid
Extended-release 500 mg qhs 2 g qhs
Fibric acid Elevated TG ↑ LPL, ↓ VLDL synthesis Dyspepsia, myalgia,
derivatives gallstones,
elevated
transaminases
Gemfibrozil 600 mg bid 600 mg bid
Fenofibrate 145 mg qd 145 mg qd
Omega-3 fatty Elevated TG 4 g daily 4 g daily ↑ TG catabolism Dyspepsia, fishy odor
acids to
breath
Abbreviations: GI, gastrointestinal; HDL-C, high-density lipoprotein cholesterol; HoFH, homozygous familial hypercholesterolemia; LDL, low-density
lipoprotein; LDL-C, LDL-cholesterol; LPL, lipoprotein lipase; TG, triglyceride; VLDL, very-low-density lipoprotein.

Sumber : Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL et all. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19 th edition. New York : Mc Graw Hill; 2015
Management of dyslipidaemia in
women
Statin treatment is recommended for primary prevention of CAD in high-risk women.

Statins are recommended for secondary prevention in women with the same
indications and targets as in men.

Lipid-lowering drugs should not be given when pregnancy is planned, during


pregnancy or during the breastfeeding period because their safety is not established
and there would seem – as a rule – to be no disadvantage for the mother when
therapy is stopped. However, bile acid sequestrants (which are not absorbed) may be
considered.

Sumber : Guidelines on management of dyslipidaemia 2016. European Heart Journal 2016 . -doi:10.1093/eurheartj/ehv272
Obat Dislipidemia Pada Kehamilan
• Animal studies with HMG-CoA reductase inhibitors revealed an
Statin increase in the incidence of skeletal malformations.
• FDA pregnancy category : X

Fibrat • Fibrates should not be prescribed during pregnancy.


• FDA pregnancy category : C

Ezetimib • FDA pregnancy category : C

• Cholestyramine is not absorbed after oral administration, direct fetal harm is not
Colestiramin expected, should only be given during pregnancy when benefit outweighs risk.
• FDA pregnancy category: C

Niasin • FDA pregnancy category: C


155. Anemia pada Kehamilan
• Diagnosis
– Kadar Hb < 11 g/dl (pada trimester I dan III) atau
< 10,5 g/dl (pada trimester II)

• Faktor Predisposisi
– Diet rendah zat besi, B12, dan asam folat 
– Kelainan gastrointestinal
– Penyakit kronis
– Riwayat Keluarga

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Anemia pada Kehamilan: Tatalaksana
• Bila diagnosis telah tegak
– Pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat morfologi

– Bila tidak tersedia pemeriksaan apusan  beri


suplementasi besi + asam folat 3x/hari selama 90 hari 
bila ada perbaikan  lanjut hingga 42 hari pascasalin 
tidak ada perbaikan  rujuk

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


http://www.bcshguidelines.com/documents/UK_Guidelines_iron_deficiency_in_pregnancy.pdf

Anemia pada Kehamilan: Tatalaksana Khusus


• Mikrositik Hipokrom
– Defisiensi besi: lakukan pemeriksaan ferritin. Apabila ditemukan kadar ferritin < 15 ng/ml, berikan
terapi besi dengan dosis setara 180 mg besi elemental per hari. Apabila kadar ferritin normal,
lakukan pemeriksaan SI dan TIBC
– Thalassemia: Pasien dengan kecurigaan thalassemia perlu dilakukan tatalaksana bersama dokter
spesialis penyakit dalam untuk perawatan yang lebih spesifik
• Normositik Normokrom
– Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari tanda dan gejala aborsi, mola, kehamilan ektopik, atau
perdarahan pasca persalinan
– Infeksi kronik
• Makrositik hiperkrom
– Defisiensi asam folat dan vitamin B12: berikan asam folat 1 x 2 mg dan vitamin B12 1 x 250 – 1000
μg
• Tranfusi
– Kadar Hb <7 g/dl atau kadar hematokrit <20 %
– Kadar Hb >7 g/dl dengan gejala klinis: pusing, pandangan berkunang- kunang, atau takikardia
(frekuensi nadi >100x per menit)
– anemia perioperatif, anemia berat di kehamilan trimester akhir, atau anemia postpartum, bila
suplementasi besi parenteral tidak dapat diberikan
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
Suplementasi Besi: Tablet Besi
• Bentuk garam: Ferrous sulfat, ferrous glukonas,
dan ferrous fumarat
• Terabsorpsi sekitar 10-15%
• Setiap 500 mg besi bioavailabel yang terserap 
setara 500 mL PRC atau 2 g/dL Hb
Suplementasi Besi: Parenteral
• Venofer: Iron (III) hydroxide sucrose complex
• Mengandung 20 mg/ml besi elemental

• Indikasi
– Defisiensi besi yang tidak toleran terhadap preparat besi oral
– Sebagai alternatif transfusi darah saat peningkatan Hb yang cepat diperlukan
(anemia perioperatif, anemia berat di kehamilan trimester akhir, atau anemia
postpartum)
– Potensial menimbulkan keracunan jaringan anemia perlu dipastikan melalui
pemeriksaan kadar feritin

• Kontraindikasi
– reaksi anafilaksis, kehmailan trimester I, infeksi akut/ kronik, penyakit hati kronik

• Dosis
– Total dosis tunggal IV (slow) tidak lebih dari 200 mg  bisa diulang hingga 3x dalam
1 minggu

http://www.bcshguidelines.com/documents/UK_Guidelines_iron_deficiency_in_pregnancy.pdf
156. Solusio Plasenta
• Terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya

• Diagnosis
– Perdarahan kehitaman dan cair, syok tidak sesuai dengan jumlah
darah keluar (tersembunyi), anemia berat, gawat janin/
hilangnya DJJ, uterus tegang dan nyeri

• Faktor Predisposisi
– Hipertensi
– Versi luar
– Trauma abdomen
– Hidramnion
– Gemelli
– Defisiensi besi
Solusio Plasenta:
Solusio Plasenta: Tata Laksana
Tatalaksana
Tatalaksana
• Perdarahan hebat (nyata atau tersembunyi) dengan tanda- tanda awal syok pada ibu,
lakukan persalinan segera bergantung pembukaan serviks:
– Lengkap  ekstraksi vakum
– Belum ada/ lengkap  SC
– Kenyal, tebal, dan tertutup  SC

• Jika perdarahan ringan/ sedang dan belum terdapat tanda-tanda syok, tindakan
bergantung pada denyut jantung janin (DJJ):
• DJJ normal, lakukan seksio sesarea
• DJJ tidak terdengar namun nadi dan tekanan darah ibu normal: pertimbangkan
persalinan pervaginam
• DJJ tidak terdengar dan nadi dan tekanan darah ibu bermasalah:
– pecahkan ketuban dengan kokher:
– Jika kontraksi jelek, perbaiki dengan pemberian oksitosin
• DJJ abnormal (kurang dari 100 atau lebih dari 180/menit): lakukan persalinan
pervaginam segera, atau SC bila tidak memungkinkan
157. Indikasi VBAC

• Proses melahirkan normal setelah pernah melakukan seksio sesarea

Menurut Cunningham FG (2001) kriteria seleksinya adalah berikut :


• Riwayat 1 atau 2 kali seksio sesarea dengan insisi segmen bawah
• rahim.
• Secara klinis panggul adekuat atau imbang fetopelvik baik
• Tidak ada bekas ruptur uteri atau bekas operasi lain pada uterus
• Tersedianya tenaga yang mampu untuk melaksanakan monitoring,
• persalinan dan seksio sesarea emergensi.
• Sarana dan personil anastesi siap untuk menangani seksio sesarea
• darurat
Kontra Indikasi VBAC

Menurut Depp R (1996) kontra indikasi mutlak melakukan VBAC adalah


:
• Bekas seksio sesarea klasik
• Bekas seksio sesarea dengan insisi T
• Bekas ruptur uteri
• Bekas komplikasi operasi seksio sesarea dengan laserasi serviks
yang luas
• Bekas sayatan uterus lainnya di fundus uteri contohnya
miomektomi
• Disproporsi sefalopelvik yang jelas.
• Pasien menolak persalinan pervaginal
• Panggul sempit
• Ada komplikasi medis dan obstetrik yang merupakan kontra indikasi
persalinan pervaginal
Skor VBAC
VBAC: Angka Keberhasilan
Panggul Sempit
• Definisi
– Anatomi: Panggul yang satu atau lebih ukuran
diameternya berada di bawah angka normal sebanyak 1
cm atau lebih
– Obstetri: Panggul yang satu atau lebih diameternya kurang
sehingga mengganggu mekanisme persalinan normal

• Parameter
– Penyempitan pintu tengah panggul lebih sering
dibandingkan pintu atas panggul  apabila diameter
interspinarum + diameter sagitalis posterior panggul
tangah < 13,5 cm
– Distansia interspinarum < 9,5 cm  curiga CPD
– Penyempitan pintu bawah panggul  bila diameter
distantia intertuberosum berjarak < 8 cm
Panggul Sempit: Tatalaksana
• Konjugata vera 11 cm  dapat dipastikan partus biasa, dan bila ada
kesulitan persalinan, pasti tidak disebabkan oleh faktor panggul
– CV kurang dari 8,5 cm dan anak cukup bulan tidak mungkin melewati
panggul tersebut
– CV 8,5 – 10 cm dilakukan partus percobaan yang kemungkinan berakhir
dengan partus spontan atau dengan ekstraksi vakum, atau ditolong
dengan secio caesaria sekunder atas indikasi obstetric lainnya
– CV = 6 -8,5 cm dilakukan SC primer
– CV = 6 cm dilakukan SC primer mutlak

• Disamping hal-hal tersebut diatas juga tergantung pada :


– His atau tenaga yang mendorong anak.
– Besarnya janin, presentasi dan posisi janin
– Bentuk panggul
– Umur ibu dan anak berharga
– Penyakit ibu
158. Perubahan Hemodinamika selama Kehamilan

• Volume Darah
– Mulai 6 minggu kehamilan dan mencapai volume maksimal
4700-5200 ml dalam 32 minggu gestasi
– Peningkatan volume intersisial dan plasma
– Anemia fisiologis kehamilan

• Denyut Jantung
– Meningkat sebagai respon penurunan resistensi vaskuler
sistemik

• Tekanan Darah
– Turun 10% dalam 7-8 minggu kehamilan  terjadi secara
sekunder karena vasodilatasi perifer

• Cardiac Output
– Meningkat sebanyak 50% selama kehamilan
Hemodinamika Ginjal selama Kehamilan

• Ginjal membesar sekitar 1 cm  kaliks, renal pelvik


dan ureter berdilatasi
• GFR dan Renal Plasma Flow meningkat sekitar 50%
• Creatinin clearance meningkat setelah 4 minggu gestasi
dan bertahan hingga 36 minggu gestasi  lalu turun
15-20% di 4 minggu terakhir
• Perubahan pada permeabilitas glomerular dan
mempengaruhi reabsoprsi tubular yang memfiltrasi
protein  peningkatan ekskresi protein
• Setelah 20 minggu gestasi: total ekskresi protein sekitar
0,2 g dalam 24 jam dan 0,2 g albumin/24 jam 
normal
159. Persalinan Lama
• Waktu persalinan memanjang karena
kemajuan persalinan yang terhambat.

• Definisi berbeda sesuai fase


kehamilan, klasifikasi diagnosisnya:
– Distosia pada kala I fase aktif: grafik
pembukaan serviks pada partograf
antara garis waspada - garis
bertindak/ sudah memotong garis
bertindak, ATAU
– Fase ekspulsi (kala II) memanjang:
Bagian terendah janin pada persalinan
kala II tidak maju. Batasan waktu:
• Maks 2 jam untuk nulipara dan 1
jam untuk multipara, ATAU
• Maks 3 jam untuk nulipara dan 2
jam untuk multipara bila
menggunakan analgesia epidural
Kriteria Diagnosis untuk Gangguan proses Persalinan
Analisis Soal
• Kasus diatas merujuk kepada kasus kala II
lama dengan adanya gawat janin yang
ditandai dengan deselerasi DJJ hingga 100
x/menit dan terdapat mekonium, sehingga
penanganan diperlukan segera yaitu dengan
SC emergensi
160. Gangguan Menstruasi
Disorder Definition
Amenorrhea Primer Tidak pernah menstruasi setelah berusia 16 tahun, atau
berusia 14 tahun tanpa menstruasi sebelumnya dan tidak
terdapat tanda-tanda perkembangan seksual sekunder

Amenorrhea Tidak terdapat menstruasi selama 3 bulan pada wanita


Sekunder dengan sklus haid teratur, atau 9 bulan pada wanita dengan
siklus menstruasi tidak teratur
Oligomenorea Menstruasi yang jarang atau dengan perdarahan yang sangat
sedikit
Menorrhagia Perdarahan yang banyak dan memanjang pada interval
menstruasi yang teratur
Metrorrhagia Perdarahan pada interval yang tidak teratur, biasanya diantara
siklus
Menometrorrhagia Perdarahan yang banyak dan memanjang, lebih sering
dibandingkan dengan siklus normal
Gangguan Menstruasi:
Kelainan dan Diagnosis
Gangguan Menstruasi: Etiologi
Penyebab amenore primer:
1. Tertundanya menarke (menstruasi pertama)
2. Kelainan bawaan pada sistem kelamin (misalnya tidak memiliki
rahim atau vagina, adanya sekat pada vagina, serviks yang sempit,
lubang pada selaput yang menutupi vagina terlalu sempit/himen
imperforata)
3. Penurunan berat badan yang drastis (akibat kemiskinan, diet
berlebihan, anoreksia nervosa, bulimia, dan lain lain)
4. Kelainan bawaan pada sistem kelamin
5. Kelainan kromosom (misalnya sindroma Turner atau sindroma
Swyer) dimana sel hanya mengandung 1 kromosom X)
6. Obesitas yang ekstrim
7. Hipoglikemia
Gangguan Menstruasi: Etiologi

Penyebab amenore sekunder:


1. Kehamilan
2. Kecemasan akan kehamilan
3. Penurunan berat badan yang drastis
4. Olah raga yang berlebihan
5. Lemak tubuh kurang dari 15-17%
6. Mengkonsumsi hormon tambahan
7. Obesitas
8. Stres emosional
Algoritma Amenore Primer
Algoritma Amenore Sekunder
161. Abortus
• Definisi:
– ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan.
– WHO IMPAC menetapkan batas usia kehamilan
kurang dari 22 minggu, namun beberapa acuan
terbaru menetapkan batas usia kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram
Abortus
• Diagnosis  dengan bantuan USG
– Perdarahan pervaginam (bercak hingga berjumlah banyak)
– Perut nyeri & kaku
– Pengeluaran sebagian produk konsepsi
– Serviks dapat tertutup/ terbuka
– Ukuran uterus lebih kecil dari yang seharusnya

• Faktor Predisposisi Abortus Spontan


– Faktor dari janin: kelainan genetik (kromosom)
– Faktor dari ibu: infeksi, kelainan hormonal (hipotiroidisme,
DM), malnutrisi, obat-obatan, merokok, konsumsi alkohol,
faktor immunologis & defek anatomis seperti uterus didelfis,
inkompetensia serviks, dan sinekhiae uteri karena sindrom
Asherman
– Faktor dari ayah: Kelainan sperma
Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
Jenis Abortus
Abortus Imminens Abortus Insipiens Abortus Inkomplit

Abortus Komplit Missed Abortion


162-163. Deteksi Lesi Pra Kanker
• Deteksi Lesi Pra Kanker
– Pelayanan Primer: IVA, VILI (Visual inspection with
Lugol's iodine (VILI), a.k.a Schiller's test), sitologi
pap smear
– Pelayanan Sekunder: Liquid base cytology
– Pelayanan Tersier: DNA HPV
Deteksi Lesi Prakanker: Pap Smear
Pap Smear
• Sampel sel-sel diambil dari luar serviks dan dari liang serviks dengan
melakukan usapan dengan spatula yang terbuat dari bahan kayu atau
plastik
• Setelah usapan dilakukan, sebuah cytobrush (sikat kecil berbulu halus,
untuk mengambil sel-sel serviks) dimasukkan untuk melakukan usapan
dalam kanal serviks
• Setelah itu, sel-sel diletakkan dalam object glass (kaca objek) dan
disemprot dengan zat untuk memfiksasi, atau diletakkan dalam botol
yang mengandung zat pengawet, kemudian dikirim ke laboratorium
untuk diperiksa
ASC-H: atypical squamous cells cannot exclude high grade
ASC-US: atypical squamous cells of undetermined significance

Papsmear

Accuracy of the Papanicolaou Test in Screening for and Follow-up of Cervical Cytologic Abnormalities: A
Systematic Review
Kavita Nanda, MD, MHS; Douglas C. McCrory, MD, MHSc; Evan R. Myers, MD, MPH; Lori A. Bastian, MD, MPH; Vic
Hasselblad, PhD; Jason D. Hickey; and David B. Matchar, MD
Pemeriksaan
Lower 1/3 of Epithelium Middle 1/3 of Epithelium > 2/3 of Epithelium

Bethesda (NCI) squamous


LSIL HSIL HSIL
intraepithelial lesion

Cervical intraepithelial
CIN1 CIN2 CIN3
neoplasia

Reagan terminology mild moderate severe/CIS (dysplasia)


Deteksi Dini Kanker Serviks: Metode IVA
• Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) kadar 3-5%
– Pemeriksaan visual eksoserviks, SCJ (squamocolumnar junction),
dan kanal endocervix tanpa pembesaran dengan asam asetat.
– Hanya digunakan sebagai tes penapisan
• Laporan hasil : Tes-positif, Tes-negatif, Dicurigai kanker

• Inspeksi Visual Asam Asetat & Pembesaran gineskopi (IVAB)


– Menggunakan teleskop monokuler, ringan dengan pembesaran
2.5 x dapat digunakan untuk meningkatkan deteksi dini dengan
sitologi
– Biopsi atau pemeriksaan kolposkopi dapat segera disarankan bila
tampak daerah berwarna putih dengan pulasan asam asetat
Deteksi Dini Kanker Serviks: Metode IVA
• Manfaat
– Mudah dan murah
– Sebanding dengan pap smear dan kolposkopi (FK.UI.,dll., 2007)
– Dapat dilaksanakan oleh Tenaga Kesehatan bukan Dokter
Ginekologi
– Dilakukan oleh bidan disetiap tempat pemeriksaan kesehatan
ibu
– Alat-alat yang dibutuhkan sangat sederhana.
– Metode skrining IVA sesuai untuk pelayanan sederhana

• Sasaran
– Semua wanita yang sudah menikah atau diatas 30 tahun
– Dianjurkan setiap tahun atau paling lama 3-5 tahun
Zona transformasi

Pembentukan
Zona Transformasi
dan perubahan
serviks sesuai
tahapan usia

Zona Transformasi/TZ
merupakan tempat
karsinoma skuamosa
serviks.
Tes IVA
Tes IVA
Deteksi Dini Kanker Serviks: Kolposkopi
• Kolposkopi
– Mempelajari serviks saat hasil Pap
mendeteksi sel abnormal.
– Pemeriksaan porsio, vagina dan vulva
dengan pembesaran 10-15x; untuk
menampilkan porsio, dipulas terlebih
dahulu dengan asam asetat 3-5%
– Porsio dengan kelainan (infeksi HPV
atau Neoplasia Intraepitel Serviks)
terlebih bercak putih atau perubahan
corakan pembuluh darah
– Mahal dan ketersediaan alat terbatas
 hanya digunakan untuk
pemeriksaan lanjut dari hasil tes pap
abnormal
http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345
6789/24546/4/Chapter%20II.pdf
Pemeriksaan
• Biopsi Cone
Prosedur diagnostik dan terapeutik
Pemeriksaan
• HPV DNA testing
 Meningkatkan sensitifitas hingga 96% bersama
dengan Pap Smear.
 HPV tidak dapat dikultur di laboratorium sehingga
digunakan teknologi molekuler untuk mendeteksi
DNA HPV dari sampel servikal, misalnya, dengan PCR.
Tatalaksana Lesi Prakanker
• Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang
ada.
• Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat
dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA.
• Skrining dengan tes IVA dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau
see and treat program, yaitu bila didapatkan temuan IVA positif maka
selanjutnya dapat dilakukan pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh
dokter umum atau bidan yang sudah terlatih.
• Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal
direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan
kolposkopi.
• Bila diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter
Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ)
untuk kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik.
PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana LSIL

Skrining 12
bulan

Observasi
LSIL ulang test 3
bulan

(+) Kolposkopi

LSIL/HSIL

Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana HSIL

(-) Observasi
- Observasi
NIS I DNA HPV
+ Ablasi
NIS II + Ablasi

HSIL Kolposkopi NIS III + Ablasi

Konisasi

Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
164. Pil KB: Lupa Meminum
• Pil KB Andalan diminum di hari pertama haid

• Satu tablet setiap hari pada waktu yang sama untuk mengurangi
kemungkinan efek samping

• Bila lupa minum 1 butir pil hormonal (berwarna kuning) harus


minum 2 butir pil hormonal segera setelah mengingatnya

• Apabila lupa meminum 2 butir/ lebih pil hormonal (berwarna


kuning)  minum 2 pil selama 2 hari berturut-turut dan
gunakan kondom atau metode KB lain bila melakukan
hubungan seksual atau hindari hubungan seksual selama 7 hari

• Apabila lupa meminum 1 butir pil pengingat (berwarna putih)


maka buang pil pengingat yang terlupakan
Kontrasepsi Darurat: Indikasi
Mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki akibat :
• Kesalahan dalam pemakaian kontrasepsi, seperti :
– Kondom bocor, lepas atau salah penggunaannya
– Diaphragma pecah atau robek atau dilepas terlalu cepat
– Kegagalan senggama terputus
– Salah hitung masa subur
– Alat kontrasepsi dalam rahim (Spiral/IUD) ekspulsi
– Lupa minum pil KB lebih dari 2 hari berturut-turut
– Terlambat lebih dari 1 minggu untuk suntik KB 1 bulan
– Terlambat lebih dari 2 minggu untuk suntik KB 3 bulanan
• Wanita korban perkosaan kurang dari 72 jam
• Tidak menggunakan kontrasepsi, baik karena alasan medis
maupun belum bersedia, tetapi ingin mencegah kehamilan
• Wanita yang tidak sedang memakai kontrasepsi apapun,
karena tugas suaminya yang sering bepergian dalam jangka
waktu lama
http://med.unhas.ac.id/obgin/?p=108
Jenis Kontrasepsi Darurat: Mekanik
• IUD yang mengandung tembaga (misalnya: CuT 380A)
• Jika dipasang dalam waktu kurang dari 7 hari setelah senggama

• Cara kerja :
– Mencegah fertilisasi (pertemuan sel sperma dan sel telur)
• Mencegah tertanamnya hasil pembuahan pada endometrium (selaput dinding
rahim)

• Kegagalan : < 0,1%

• Kontra indikasi
– Hamil atau diduga hamil
– Infeksi Menular Seksual (IMS)

• Cara pemberian : 1 kali pemasangan dalam waktu < 7 hari pasca


senggama
Jenis Kontrasepsi Darurat: Medik
• 5 cara: Pil KB Kombinasi (mis: Microgynon), Pil Progestin (mis : Postinor-2), Pil
Estrogen (mis: Premarin), Mifepristone (mis : RU-486), Danazol (mis :
Danocrine)
• Cara kerja :
– Mengubah endometrium sehingga tidak memungkinkan implantasi hasil
pembuahan
– Mencegah ovulasi / menunda ovulasi
– Mengganggu pergerakan saluran telur (tuba fallopi)

• Cara pemberian
– Pil kombinasi
• 2x4 tab dalam 3 hari pasca senggama (dosis pertama 1x4 tab diulang 12 jam kemudian)
– Pil Progestin
• 2x1 tab dalam waktu 3 hari pasca senggama (jarak minum 12 jam)
– Pil Estrogen
• 2x10 mg selama 5 hari, dalam waktu 3 hari pasca senggama
– Mifepristone
• 1x600 mg dalam waktu 3 hari pasca senggama
– Pil Danazol
• 2x4 tab dalam waktu 3 hari pasca senggama (jarak minum 12 jam)
• Efek samping yang mungkin muncul : Mual, muntah, perdarahan bercak, nyeri payudara
Analisis Soal
• Pasien diatas lupa meminum pil Kb selama 2 hari
berturut-turut .
• Untuk mengatasinya, seharusnya pasien meminum 2
pil selama 2 hari berturut-turut dan menggunakan
metode kontrasepsi lain atau menghindari
berhubungan seksual selama min 7 hari.
• Namun pada pilihan diatas tidak terdapat jawaban
yang tepat mengenai cara meminum pil KB setelah
lupa sehingga dapat digunakan kontrasepsi darurat
lainnya yaitu IUD.
165. Endometritis Pasca Persalinan
• Gejala: Demam, menggigil, sakit perut bagian bawah, lokia berbau
busuk

• Faktor risiko
– Perangkat intrauterine, cairan menstruasi dalam rahim, cervisitis
sekunder, bakterial vaginosis, douching, aktivitas seksual tidak aman,
seks bebas, ektopi serviks

• Komplikasi: Luka infeksi, peritonitis, infeksi adneksa, parametrial


phlegmon, abses panggul, septic pelvic thrombophlebitis

• Terapi
– Antibiotik spektrum luas
– Kombinasi klindamisin dan gentamisin IV setiap 8 jam
– Endometritis post aborsi: cefoxitin dan doxycyxline IV
166. Desain Penelitian
STUDY
DESIGNS

Analytical Descriptive

Case report (E.g. Cholera)

Case series
Observational Experimental
Cross-sectional

1. Cross-sectional Clinical trial (parc vs.


aspirin in Foresterhill)
2. Cohort
3. Case-control Field trial (preventive
programmes )
4. Ecological
Main Observational Study Designs
Cross-sectional survey
Assess exposure and outcome simultaneously

Cohort study
Known exposure, assess (future) outcome

Case-control study
Known outcome, assess prior exposure
Main Observational Study Designs

PAST PRESENT FUTURE


Time
Assess exposure
Cross-sectional study and outcome

Assess Known
Case-control study exposure outcome

Known Assess
Prospective cohort exposure outcome

Known Assess
Retrospective cohort exposure outcome
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan
ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun
• Bila menggunakan desain cross sectional, maka dalam
satu waktu peneliti mengumpulkan data semua anak
berusia 1-3 tahun dan ditanyakan apakah mendapat
ASI eksklusif dan berapa frekuensi diare selama ini.

• Bila menggunakan desain case control, peneliti


menentukan subyek anak 1-3 tahun yang pernah
mengalami diare dengan yang tidak pernah mengalami
diare. Kemudian ibu diwawancara apakah sebelumnya
memberi ASI eksklusif atau tidak.
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan
ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun
• Bila menggunakan desain kohort, maka
peneliti mengumpulkan subyek penelitian
berusia 6 bulan yang diberi ASI eksklusif dan
yang tidak diberi ASI eksklusif. Kemudian,
subyek tersebut diamati selama 1 tahun untuk
dilihat apakah mengalami diare atau tidak.
167. Ukuran Asosiasi dalam Penelitian
• Mengukur kekuatan hubungan sebab-akibat
antara variabel paparan dengan variabel
outcome.

• Menunjukkan bagaimana suatu kelompok


lebih rentan mengalami sakit dibanding
kelompok lainnya.

• 2 ukuran asosiasi yang sering digunakan:


1. Relative risk (a.k.a. risk ratio, RR)  didapat dari
studi kohort
2. Odds ratio (a.k.a. OR)  didapat dari studi case
control
Tabel 2x2
Cara yang paling umum dan sederhana untuk
menghitung ukuran asosiasi.

Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d
Relative Risk
• Insidens penyakit pada kelompok terpapar dibagi
dengan insidens penyakit pada kelompok yang tidak
terpapar.

Outcome a
Yes No Total
Risk among a+b
Yes a b a+b the exposed
Exposure RR =
No c d c+d Risk among c
the unexposed
c+d
Interpretasi RR
RR= 1 menunjukkan insidens penyakit pada kelompok
terpapar sama dengan insidens penyakit pada kelompok
tidak terpapar  tidak ada hubungan antara paparan
dengan outcome.

RR lebih dari 1 menunjukkan asosiasi positif (semakin


tinggi paparan, semakin tinggi risiko mengalami penyakit).

RR kurang dari 1 menunjukkan bahwa paparan bersifat


protektif terhadap terjadinya outcome(semakin tinggi
paparan, semakin rendah risiko mengalami penyakit).
Odds Ratio
 Pada studi case control, tidak bisa
menghitung RR karena insidens penyakit tidak
dapat diketahui.

Oleh karena itu, digunakan OR untuk


mengukur asosiasi pada studi case control.

OR = ad/bc

1026
Interpretasi OR
OR= 1  tidak ada hubungan antara paparan
dengan outcome.

OR lebih dari 1  paparan merupakan faktor


risiko terjadinya outcome.

OR kurang dari 1  paparan bersifat protektif


terhadap terjadinya outcome
Hipertensi
Ya Tidak
Obesitas Ya 60 20 80
Tidak 15 100 115
75 120 195

OR= (100 x 60)/(20 x 15)


168. Bias dalam Penelitian
Apakah yang dimaksud dengan bias?
• Bias adalah kesalahan sistematik pada
penelitian yang menyebabkan distorsi estimasi
hubungan antara paparan dan hasil/outcome.

• Adanya bias dapat menyebabkan hubungan


paparan-outcome yang sebenarnya tidak ada
menjadi ada, atau sebaliknya.
Apa Saja Bias dalam Penelitian
Kedokteran?
• Ada puluhan macam bias dalam penelitian
kedokteran, namun secara umum, bias dibagi
menjadi 3 jenis:
– Selection bias (bias seleksi): sampel tidak
representatif
– Information/misclassification/measurement bias
(bias informasi/pengukuran): kesalahan dalam
pengukuran paparan
– Confounding (bias perancu): distorsi/ penyimpangan
hubungan antara paparan-penyakit oleh faktor lain
(confounder/perancu)
Selection Bias
• Kesalahan sistematis dalam pemilihan subjek penelitian.
• Misalnya:
– Subjek penelitian tidak merepresentasikan kondisi populasi
sebenarnya (contoh: penelitian tentang ca paru di mana subyek
yang direkrut lebih banyak ca paru stadium awal karena subyek ca
paru stadium lanjut kebanyakan cepat meninggal. Sedangkan yang
banyak dijumpai di populasi pada umumnya adalah pasien ca paru
stadium lanjut).
– Pemilihan subyek kasus dan kontrol tidak sebanding (contoh: di
kelompok kasus, subyek usianya lebih tua daripada di kelompok
kontrol, sehingga outcome di kelompok kasus lebih buruk )
– Banyak subjek yang loss to follow up (contoh: awal penelitian ada
100 subyek, tapi di akhir hanya ada 40 subyek  pengambilan
kesimpulan menjadi tidak valid)
Information/ Measurement Bias
• Kesalahan sistematis dalam : mengamati, memilih
instrumen, mengukur, membuat
klasifikasi,mencatat informasi, dan membuat
interpretasi tentang paparan maupun penyakit,
sehingga mengakibatkan distorsi penaksiran
pengaruh paparan terhadap penyakit.

• Jenisnya antara lain: Recall bias, Interviewer bias,


Instrument bias, Observer bias
Information/ Measurement Bias
• Recall bias: Pengetahuan akan status penyakit
mempengaruhi penentuan status paparan,
didapatkan dari wawancara/berdasarkan ingatan
subyek.
– Contoh: penelitian minum obat saat hamil dengan
kejadian kelainan kongenital. Ibu yang memiliki anak
kelainan kongenital akan lebih berusaha mengingat-
ingat obat apa saja yang diminumnya saat hamil,
dibandingkan dengan ibu yang anaknya sehat.
Sehingga lebih mungkin ibu-ibu yang memiliki anak
kelainan kongenital menyebutkan bahwa mereka
mengkonsumsi obat saat kehamilan.
Information/ measurement bias
• Bias pewawancara/Interviewer bias: terjadi jika
subjek diwawancara atau diinvestigasi rekam
medisnya oleh peneliti sendiri.
• Contoh: penelitian minum obat saat hamil
dengan kejadian kelainan kongenital. Pada ibu
yang memiliki anak kelainan kongenital, peneliti
menggali pertanyaan lebih banyak dan lebih
mendalam untuk mendapatkan faktor risikonya
dibanding saat mewawancarai ibu dengan anak
yang sehat.
Information/ measurement bias
• Instrument bias: kesalahan pada alat ukur yang
digunakan untuk memperoleh data. Misalnya alat
ukur tidak ditera dengan baik, atau menggunakan
alat ukur berbeda-beda untuk pengumpulan data
1 variabel.

• Observer bias: kesalahan pada orang yang


mengukur atau mencatat data. Misalnya: peneliti
mengukur tekanan darah 1000 orang dari pagi
hingga sore. Kemungkinan hasil tekanan darah
orang yang diukur di sore hari tidak seakurat hasil
orang diukur di pagi hari.
Confounding/ Bias Perancu
• Confounder adalah faktor ketiga yang
berhubungan dengan paparan dan outcome,
dan mempengaruhi sebagian/seluruh
hubungan antara keduanya.
Contoh: penelitian ingin mengetahui hubungan
konsumsi alkohol dengan PJK. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa konsumsi alkohol berhubungan
dengan PJK. Namun ternyata, orang yang
mengkonsumsi alkohol umumnya juga memiliki
kebiasaan merokok. Sementara merokok juga
menyebabkan PJK. Jadi sebenarnya apakah konsumsi
alkohol yang menyebabkan PJK? Atau kebiasaan
merokoknya yang menyebabkan PJK? Dalam hal ini,
kebiasaan merokok adalah confounding.
169. VALIDITAS
UJI DIAGNOSTIK
Skrining test harus dibandingkan dengan suatu
“gold standard” atau “reference standard”

Harus dibuat tabel 2x2 yang membandingkan uji


diagnostik yang diteliti dengan gold standardnya.
POPULATION
WITHOUT
TEST WITH DISEASE
DISEASE
Have Disease No Disease but
Have Positive Test Have Positive Test
POSITIVE = TRUE =FALSE
POSITIVES POSITIVES
(TP) (FP)
Have Disease No Disease but
Have Negative Test Have Negative Test
NEGATIVE = FALSE =TRUE
NEGATIVES NEGATIVES
(FN) TN)

TP TN
SENSITIVITAS =
SPESIFISITAS =
TP+FN TN+FP
Hasil Tes skrining/ Dikotomus

 Hasil tes skrining yang bersifat dikotomus dapat


berupa hasil tes yang positif dan hasil tes yang
negatif

 Konsep sensitifitas dan spesifisitas dari tes skrining dengan


hasil tes yang bersifat dikotomus :

 Contoh pada kalkulasi dibawah ini :


 Dari 100 orang sakit, 80 diidentifikasikan secara benar
(hasil tes positif ) oleh tes skrining
 Sensitifitas dari tes adalah 80%.
 Disini 20 orang tidak dapat diidentifikasikan
dengan benar oleh tes skrining tersebut.

 Dari 900 orang yang tidak sakit, 800 diidentifikasikan


secara benar (hasil tes negatif) oleh tes skrining
 Spesifisitas dari tes adalah 800/900 atau 89%.
 Disini ada 100 orang yang tidak dapat
diidentifikasikan dengan benar oleh tes
skrining tersebut
PREDICTIVE VALUE
• UNTUK MENILAI EFFICACY DARI SUATU
SKRINING TEST , DIUKUR PREDICTIVE
VALUE.

• DEFINISI: PROBABILITAS SAKIT TERHADAP


SUATU HASIL PEMERIKSAAN TEST

TERDIRI DARI POSITIVE PREDICTIVE VALUE


(PPV) DAN NEGATIVE PREDICTIVE VALUE (NPV).
Predictive Value of Tests
Test D+ D− Total
T+ TP FP TP+FP
T− FN TN FN+TN
Total TP+FN FP+TN N

• Predictive value positive (PVP) ≡ proportion of


positive tests that are actually cases
= TP / (TP+FP)
• Predictive value negative (PVN) ≡ proportion of
negative tests that are actually non-cases
= TN / (TN+FN)
Gerstman Chapter 4 1041
Gold Standar
Test baru Positif Negatif Total
Positif 132 985 1117
Negatif 47 62295 62342
Total 179 63280 63459
NPV= 62295/62342
170. Teknik Sampling
Probability Sampling Techique lebih baik
dibanding non-probability
• Simple Random Sampling: pengambilan sampel dari
semua anggota populasi dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata/tingkatan yang ada dalam
populasi itu.

• Stratified Sampling: Penentuan sampling tingkat


berdasarkan karakteristik tertentu (usia, jenis kelamin,
dsb). Misalnya untuk mengambil sampel dipisahkan
dulu jenis kelamin pria dan wanita. Baru kemudian dari
kelompok pria diambil sampel secara acak, demikian
juga dari kelompok wanita.
Probability Sampling Techique lebih
baik dibanding non-probability
• Cluster Sampling: disebut juga sebagai teknik sampling daerah.
Pemilihan sampel berdasarkan daerah yang dipilih secara acak.
Contohnya mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta.
Seluruh penduduk dari 20 kecamatan terpilih dijadikan sampel.

• Multistage random sampling: teknik sampling yang menggunakan 2


teknik sampling atau lebih secara berturut-turut. Contohnya
mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta (cluster sampling).
Kemudian dari masing-masing kecamatan terpilih, diambil 50
sampel secara acak (simple random sampling).

• Systematical Sampling anggota sampel dipilh berdasarkan urutan


tertentu. Misalnya setiap kelipatan 10 atau 100 dari daftar pegawai
disuatu kantor, pengambilan sampel hanya nomor genap atau yang
ganjil saja.
Non-probability Sampling
• Purposive Sampling: sampel yang dipilih secara khusus
berdasarkan tujuan penelitiannya.
• Snowball Sampling: Dari sampel yang sedikit tersebut
peneliti mencari informasi sampel lain dari yang
dijadikan sampel terdahulu, sehingga makin lama
jumlah sampelnya makin banyak
• Quota Sampling:anggota sampel pada suatu tingkat
dipilih dengan jumlah tertentu (kuota) dengan ciri-ciri
tertentu
• Convenience sampling:mengambil sampel sesuka
peneliti (kapanpun dan siapapun yang dijumpai
peneliti)
171. FAMILY ASSESSMENT TOOL
• Family dynamic  interaksi dan hubungan antar anggota keluarga
• Family assesment tools alat yang digunakan untuk menilai family dynamic
Family Genogram
• Suatu alat bantu berupa peta skema dari silsilah keluarga pasien
yang berguna untuk mendapatkan informasi mengenai nama
anggota keluarga, kualitas hubungan antar anggota keluarga
• Berisi nama, umur, status menikah, riwayat perkawinan, anak-
anak, keluarga satu rumah, penyakit spesifik, tahun meninggal,
dan pekerjaan.
• Juga mengenai informasi tentang hubungan emosional,
jarak/konflik antar anggota keluarga, hubungan penting dengan
profesional yang lain serta informasi lain yang relevan.
Family Life Cycle/Circle
• Siklus Hidup Keluarga (Family Life Cycle) adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan perubahan-perubahan
dalam jumlah anggota, komposisi dan fungsi keluarga
sepanjang hidupnya.
• Siklus hidup keluarga juga merupakan gambaran rangkaian
tahapan yang akan terjadi atau diprediksi yang dialami
kebanyakan keluarga.
• Siklus hidup keluarga terdiri dari variabel yang dibuat
secara sistematis menggabungkan variable demografik
yaitu status pernikahan, ukuran keluarga, umur anggota
keluarga, dan status pekerjaan kepala keluarga.
TAHAPAN-TAHAPAN SIKLUS HIDUP KELUARGA
Menurut Duvall tahun 1977 siklus hidup keluarga dapat dikategorikan menjadi 8
golongan yakni:
1. Pasangan yang baru menikah ( tanpa anak ) lamanya ± 2 tahun
2. Keluarga dengan anak yang baru dilahirkan ( usia anak tertua adalah baru lahir –
30 bulan ) lamanya ± 2,5 tahun
3. Keluarga dengan anak pra sekolah ( usia anak tertua adalah 30 bulan – 6 tahun )
lamanya ± 3,5 tahun
4. Keluarga dengan anak yang bersekolah ( usia anak tertua adalah 6 – 13 tahun)
lamanya ± 7 tahun
5. Keluarga dengan anak usia remaja ( usia anak tertua adalah 13 – 20 tahun)
lamanya ± 7 tahun
6. Keluarga dengan anak meninggalkan keluarga ( anak pertama pergi dan anak
terakhir tinggal di rumah) lamanya ± 8 tahun
7. Keluarga dengan usia orang tua pertengahan ( tak berkumpul lagi hingga pensiun
) lamanya ± 15 tahun
8. Keluarga dengan usia orang tua jompo (pensiun hingga kedua suami istri
meninggal ) lamanya ± 10 - 15 tahun
Family APGAR
• APGAR Keluarga merupakan kuesioner
skrining singkat yang dirancang untuk
merefleksikan kepuasan anggota keluarga
dengan status fungsional keluarga dan untuk
mencatat anggota-anggota rumah tangga.
• APGAR ini merupakan singkatan dari;
Adaptation, Partnership, Growth, Affection
dan Resolve.
Saya puas dengan keluarga saya karena masing-masing
ADAPTATION
anggota keluarga sudah menjalankan kewajiban sesuai 0-2
Adaptasi
dengan seharusnya

Saya puas dengan keluarga saya karena dapat membantu


PARTNERSHIP
memberikan solusi terhadap permasalahan yang saya 0-2
Kemitraan
hadapi

GROWTH Saya puas dengan kebebasan yang diberikan keluarga saya


0-2
pertumbuhan untuk mengembangkan kemampuan yang saya miliki

AFFECTION Saya puas dengan kehangatan / kasih sayang yang


0-2
Kasih ssayang diberikan keluarga saya

RESOLVE Saya puas dengan waktu yang disediakan keluarga untuk


0-2
Kebersamaan menjalin kebersamaan

Interpretasi :
8-10 = Highly functional family (fungsi keluarga baik)
4-7 = Moderately dysfunctional family (disfungsi keluarga moderat)
0-3 = Severely dysfunctional family (keluarga sakit / tidak sehat)
• Garis kehidupan menggambarkan
Family Lifeline secara kronologis stress kehidupan,
sebagai contoh dari gambar
disamping menunjukkan tingkat
kesakitan berupa migrain yang naik
turun sesuai dengan tingkat stress
yang dialami oleh pasien
• Misal :
– pada tahun 1969 pasien berusia 22
tahun kejadian hidup yang dialami
adalah lulus dari kampus dan pasien
mengalami migrain yang cukup berat,
– sedangkan pada tahun 1972 saat
pasien berusia 25 dan menikah justru
pasien tidak mengalami migrain,
– akan tetapi pada tahun 1973 ketika
pasien berusia 26 tahun dan mulai
bekerja serta mengalami kesulitan
bekerja, pasien mengalami migrain
yang cukup berat.
Family SCREEM
RESOURCE PATHOLOGY
• Isolated from extra-
• social interaction is evident among family members
familial
SOCIAL • Family members have well-balanced lines of
• Problem of over
communication with extra-familial social groups
commitment
• Ethnic and cultural
CULTURAL • cultural pride and satisfaction can be identified
inferiority

• Offers satisfying spiritual experiences as well as contacts


RELIGIOUS • Rigid dogma/rituals
with an extra-familial support group

• Economic stability is sufficient to provide both reasonable • Economic deficiency


ECONOMIC satisfaction with financial status and an ability to meet • Inappropriate
economic demands of normative life events economic plan

• Education of members is adequate to allow members to


EDUCATIONA • handicapped to
solve or comprehend most problems that arise within the
L comprehend
format of the lifestyle established by the family

• Medical health care is available through channels that are • Not utilizing health
MEDICAL easily established and have previously been experienced care
in a satisfactory manner facilities/resources
172. Tabel Uji Hipotesis
TABEL UJI HIPOTESIS
VARIABEL
U J I S TAT I S T I K U J I A LT E R N AT I F
INDEPENDEN DEPENDEN

Fisher (digunakan untuk tabel


Kategorik Kategorik Chi square 2x2)*
Kolmogorov-Smirnov
(digunakan untuk tabel bxk)*

Kategorik T-test independen Mann-Whitney**


Numerik
(2 kategori)
T-test berpasangan Wilcoxon**

One Way Anova (tdk


Kruskal Wallis**
Kategorik berpasangan)
Numerik
(>2 kategori) Repeated Anova
Friedman**
(berpasangan)
Numerik Numerik Korelasi Pearson Korelasi Spearman**
Regresi Linier
Keterangan:
* : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi
**: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
Langkah Menentukan Uji Statistik
• Tentukan sifat variabel yang diuji (numerik atau kategorik)

• Bila ada variabel yang bersifat numerik, tentukan apakah


variabel tersebut terdistribusi normal atau tidak. Atau bila
kedua variabel bersifat kategorik, tentukan apakah
memenuhi persyaratan uji chi square. Untuk mengerjakan
soal UKDI, bila tidak disebutkan, maka diasumsikan bahwa
variabel tersebut terdistribusi normal atau memenuhi
persyaratan chi square.

• Lihat tabel untuk menentukan uji hipotesis apa yang sesuai.


173. Public Health Program
• Input: Sumber daya yang
dibutuhkan untuk menjalankan
program dengan efektif,
contohnya: orang-orang yang
berperan, sumber pendanaan,
data yang dibutuhkan.

• Process/ activities: Aksi yang


dilakukan berdasarkan input
untuk mencapai output dan
outcome. Contoh: training,
advokasi, kemitraan.

• Output: Hasil/ dampak


langsung dan jangka pendek
dari program yang dilakukan,
didefinisikan dengan jelas.
• Outcome: Dampak dari program tersebut dalam Misalnya: pada program TB-
kesehatan masyarakat. Outcome biasanya DOTS, outputnya adalah
berbentuk indikator kesehatan dan bersifat jangka jumlah LSM yang terlibat
panjang. Contoh: meningkatnya penemuan kasus membantu program, dibuatnya
TB, meningkatnya keberhasilan pengobatan panduan TB Nasional terbaru.
Contoh:
174. Ukuran-ukuran frekuensi penyakit yang
sering digunakan
• Insidens: merefleksikan jumlah kasus baru (insiden)
yang berkembang dalam suatu periode waktu di
antara populasi yang berisiko.

• Prevalens: merefleksikan jumlah seluruh kasus


(kasus lama+kasus baru) dalam suatu periode
waktu di antara populasi yang berisiko.

• Attack rate: sama dengan insidens, namun istilah


ini digunakan dalam kondisi epidemi atau KLB.
Ukuran-ukuran frekuensi yang digunakan
7/3/2017 1065
dalam epidemiologi
Rumus
• Insidens = jumlah kasus baru/jumlah populasi berisiko x100%

• Prevalens= jumlah seluruh kasus/jml populasi berisikox100%

• Attack rate= jumlah kasus baru/jumlah populasi berisiko


x100%

• Catatan: jumlah populasi berisiko tidak sama dengan jumlah


seluruh populasi. Misalnya, jumlah seluruh populasi adalah
500 orang, 400 orang di antaranya sudah diimunisasi campak.
Maka bila menghitung insidens/prevalens campak, yang
menjadi penyebut adalah sejumlah 100 orang.
Analisis Soal
• Jumlah kasus baru = 10 + 40 = 50
• Populasi berisiko adalah orang yang mendapat
susu kaleng yaitu sebanyak 250 anak.
• Maka attack ratenya 50/250.
175. Komunikasi Efektif
• Credibility (keterpercayaan) adalah rasa saling
percaya antara komunikator dan komunikan.
• Context (pertalian) adalah kesesuaian pesan
dengan kenyataan masyarakat.
• Content (isi) adalah penggunaan kata sesuai
dengan target audience dalam hal ini komunikan
dapat memahami maksud komunikator.
• Clarity (kejelasan) Adalah komunikator harus
menyampaikan pesan / berita secara jelas
istilahnya pun harus jelas sehingga tercapainya
tujuan.
• Continuity artinya pesan dilakukan secara
berulang-ulang, tetapi bervariasi dalam
penyampaian.
• Consistency artinya pesan tidak bertentangan
dari awal sampai akhir
• Capability adalah kemampuan komunikator untuk
menjelaskan dengan akurat, dirancang untuk
menarik perhatian, disampaikan menggunakan
symbol-simbol, memberikan motivasi dan solusi.
176. Uji Klinis
• Fase uji klinis:
– Fase 1 :bertujuan untuk meneliti keamanan serta toleransi
pengobatan, dengan mengikutsertakan 20-100 orang subjek
penelitian.
– Fase II : bertujuan untuk menilai system atau dosis pengobatan
yang paling efektif, biasanya dilaksanakan dengan
mengikutsertakan sebanyak 100-200 subjek penelitian.
– Fase III : bertujuan untuk mengevaluasi obat atau cara
pengobatan baru dibandingkan dengan pengobatan yang telah
ada (pengobatan standal). Uji klinis yang banyak dilakukan
termasuk dalam fase ini. Baku emas uji klinis fase III adalah uji
klinis acak terkontrol.
– Fase IV : bertujuan untuk mengevaluasi obat baru yang telah
dipakai dimasyarakat dalam jangka waktu yang relative lama (5
tahun atau lebih). Fase ini penting karena terdapat kemungkinan
efek samping obat timbul setelah lebih banyak pemakai. Fase ini
disebut juga sebagai uji klinis pascapasar (post marketing).
Tujuan Uji Klinis
• Uji klinis memiliki 2 tujuan utama, yaitu efficacy
dan safety.

• Efficacy adalah kemampuan obat secara biokimia


untuk mengatasi suatu penyakit atau untuk
memperbaiki kesehatan manusia.

• Safety adalah keamanan obat dalam tubuh


manusia, seberapa besar dan fatal efek samping
yang ditimbulkan.
Efficacy vs Effectiveness
• Efficacy adalah kemampuan obat secara biokimia untuk mengatasi
suatu penyakit atau untuk memperbaiki kesehatan manusia, tanpa
memperhitungkan harga, compliance pasien, dll. Efficacy dinilai dari
uji klinis.

• Effectiveness adalah kemampuan obat untuk mengatasi suatu


penyakit saat diterapkan di populasi.

• Contoh: efficacy tablet besi untuk meningkatkan Hb ibu hamil


sangat baik. Namun dalam praktiknya, tablet besi sering
menimbulkan mual dan konstipasi sehingga ibu hamil jarang
meminumnya  tidak efektif. Jadi tablet besi pada ibu hamil punya
efficacy yang baik, tetapi tidak efektif.
177. BENTUK KELUARGA
• Keluarga inti (nuclear family): Keluarga yang terdiri dari suami, istri serta anak-anak kandung.
• Keluarga besar (extended family): Keluarga yang disamping terdiri dari suami, istri, dan anak-anak
kandung, juga sanak saudara lainnya, baik menurut garis vertikal (ibu, bapak, kakek, nenek, mantu,
cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar) yang berasal dari pihak suami atau
pihak isteri.
• Keluarga campuran (blended family): Keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak kandung
serta anak-anak tiri.
• Keluarga orang tua tunggal (single parent family): Keluarga yang terdiri dari pria atau wanita,
mungkin karena bercerai, berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak pernah menikah, serta anak-
anak mereka tinggal bersama.
• Keluarga hidup bersama (commune family): Keluarga yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak
yang tinggal bersama, berbagi hak, dan tanggung jawab serta memiliki kekayaan bersama.
• Keluarga serial (serial family): Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah dan
mungkin telah punya anak, tetapi kemudian bercerai dan masing-masing menikah lagi serta
memiliki anak-anak dengan pasangan masing-masing, tetapi semuanya menganggap sebagai satu
keluarga.
• Keluarga komposit ( composite family): keluarga dari perkawinan poligami dan hidup bersama.
• Keluarga kohabitasi(Cohabitation): dua orang menjadi satu keluarga tanpa pernikahan, bisa
memiliki anak atau tidak.
178. Cara Menentukan Prioritas Masalah
Teknik yang Digunakan Definisi

Metode Hanlon/ Sistem Dasar Penilaian Memperhitungkan Ukuran/Besarnya


Prioritas (BPRS) masalah, tingkat keseriusan masalah,
perkiraan efektivitas solusi, PEARL faktor
(propriety, economic feasibility,
acceptability, resource availability,
legality). Semua komponen tersebut
dirata-rata untuk memberikan prioritas
utama penyakit / kondisi dengan skor
tertinggi.
Fish-bone diagram Menganalisa cause-effect, dimana bagian
kepala (sebagai effect) dan bagian tubuh
ikan berupa rangka serta duri-durinya
digambarkan sebagai penyebab (cause)
suatu permasalahan yang timbul.
Brainstorming Metode curah pendapat yang digunakan yang
secara efektif melibatkan seluruh anggota kelompok untuk
menentukan priioritas masalah.
Metode Delpie Penetapan prioritas masalah dilakukan melalui kesepakatan
sekelompok orang yang sama keahliannya. Pemilihan prioritas masalah
dilakukan melalui pertemuan khusus. Setiap peserta yang sama
keahliannya dimintakan untuk mengemukakan beberapa
masalah pokok, masalah yang paling banyak dikemukakan adalah
prioritas masalah yang dicari.

Metode Delbecq Penetapan prioritas masalah dilakukan melalui kesepakatan


sekelompok orang yang tidak sama keahliannya. Sehingga diperlukan
penjelasan terlebih dahulu untuk meningkatkan pengertian dan
pemahaman peserta tanpa mempengaruhi peserta. Lalu diminta untuk
mengemukakan beberapa masalah. Masalah yang banyak dikemukakan
adalah prioritas.

Nominal group Suatu metode untuk mencapai konsensus dalam suatu kelompok,
technique (NGT) dengan cara mengumpulkan ide-ide dari tiap peserta, yang kemudian
memberikan voting dan ranking terhadap ide-ide yang mereka pilih. Ide
yang dipilih adalah yang paling banyak skor-nya, yang berarti
merupakan konsensus bersama.
179. Informed Consent
• Informed Consent adalah persetujuan tindakan
kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut.

• Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan


Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2
menyebutkan dalam memberikan informasi kepada
pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat /
paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Yang Berhak Memberikan Informed Consent

• Pasien yang telah dewasa (>21 tahun menurut


UU perlindungan anak/ >18 tahun menurut
KKI) dan dalam keadaan sadar
• Bila tidak memenuhi syarat di atas, dapat
diwakilkan oleh keluarga/ wali dengan urutan:
– Suami/ istri
– Orang tua
– Anak
– Saudara kandung
Kasus Apa yang Membutuhkan
Informed Consent?
• Informed consent dibutuhkan pada kasus
tindakan kedokteran dengan risiko tinggi.

• Tindakan kedokteran yang mengandung risiko


tinggi adalah tindakan medis yang
berdasarkan tingkat probabilitas tertentu
dapat mengakibatkan kematian atau
kecacatan
Tujuan Informed Consent
• Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap
tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan
secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang
dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
• Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap
suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur
medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko

( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )


• Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan
sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal
351 (trespass, battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes
No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang
memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ).
Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan
secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

• Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum


dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:
– Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus
segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
– Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa
menghadapi situasi dirinya.
Bentuk Informed Consent
1. Dengan pernyataan (express)
– secara lisan (oral)
– secara tertulis (written)

2. Dianggap diberikan tersirat (implied or incit consent)


– Misalnya pasien datang ke poliklinik untuk berobat,
dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan dengan
stetoskop, pengukuran tekanan darah , pengambilan darah
di laboratorium
180. Pemeriksaan Sperma
• Pemeriksaan Sperma tanpa pewarnaan
– Tujuan: Untuk melihat motilitas spermatozoa.
Pemeriksaan ini paling bermakna untuk
memperkirakan saat terjadinya persetubuhan.
– Sperma didalam liang vagina masih dapat
bergerak dalam waktu 4 – 5 jam post-coitus;
sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak
sampai sekitar 24-36 jam post coital dan bila
wanitanya mati masih akan dapat ditemukan 7-8
hari.
Pemeriksaan Sperma
• Pemeriksaan dengan pewarnaan
– Bila sediaan dari cairan vagina, dapat diperiksa
dengan Pulas dengan pewarnaan gram, giemsa
atau methylene blue atau dengan pengecatan
Malachite-green.
– Bila berasal dari bercak semen (misalnya dari
pakaian), diperiksa dengan pemeriksaan Baechii.
Hasil: spermatozoa dengan kepala berwarna
merah dan ekor berwarna biru muda terlihat
banyak menempel pada serabut benang
Pewarnaan Malachite Green
• Keuntungan dengan pulasan
ini adalah inti sel epitel dan
leukosit tidak terdiferensiasi,
sel epitel berwarna merah
muda merata dan leukosit
tidak terwarnai. Kepala
spermatozoa tampak
berwarna ungu, bagian hidung
merah muda.

• Dikatakan positif, apabila


ditemukan sperma paling
sedikit satu sperma yang utuh.
Pewarnaan Baechii
• Reagen dapat dibuat dari : Acid
fuchsin 1 % (1 ml), Methylene
blue 1 % (1 ml), Asam klorida 1
% (40 ml).

• Hasil : Serabut pakaian tidak


berwarna, spermatozoa dengan
kepala berwarna merah dan ekor
berwarna biru muda terlihat
banyak menempel pada serabut
benang.
181. Visum et Repertum (VeR)
Dasar: PASAL 133 KUHAP
• Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya

Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna


Permintaan VeR menurut Ps.133 KUHAP

• WEWENANG PENYIDIK
• TERTULIS (RESMI)
• TERHADAP KORBAN, BUKAN TERSANGKA
• ADA DUGAAN AKIBAT PERISTIWA PIDANA
• BILA MAYAT :
– IDENTITAS PADA LABEL
– JENIS PEMERIKSAAN YANG DIMINTA
– DITUJUKAN KEPADA : AHLI KEDOKTERAN FORENSIK /
DOKTER DI RUMAH SAKIT

Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna


Ketentuan Lain dalam VeR Korban Hidup

• SURAT PERMINTAAN VER DAPAT “TERLAMBAT” :


– KORBAN LUKA DIBAWA KE DOKTER (RS) DULU SEBELUM KE
POLISI
– SPV MENYEBUTKAN PERISTIWA PIDANA YANG DIMAKSUD
– VER = SURAT KETERANGAN, JADI DAPAT DIBUAT
BERDASARKAN REKAM MEDIS (RM telah menjadi barang
bukti sejak datang SPV)
– PEMBUATAN VER TANPA IJIN PASIEN, SEDANGKAN SKM
LAIN HARUS DENGAN IJIN.
– SEBAIKNYA DIANTAR PETUGAS AGAR DAPAT DIPASTIKAN
IDENTITAS KORBAN DAN STATUSNYA SEBAGAI “BARANG
BUKTI”
Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
VeR dan Rekam Medis
• Seorang pasien yang datang berobat ke RS dengan
perlukaan dan/atau keracunan, apalagi dengan anamnesis
yang menunjukkan adanya kemungkinan kaitan dengan
suatu tindak pidana, pertama-tama harus DIANGGAP
sebagai kasus forensik, tanpa melihat ada atau tidaknya
Surat Permintaan VER dari polisi.
• Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan
pencatatan anamnesis secara lengkap dan detil.
Pemeriksaan fisik dilakukan seperti biasa, akan tetapi
pencatatan luka-lukanya dilakukan secara lengkap dan
mendetil.
• VER kasus forensik klinik dibuat berdasarkan rekam medis
korban, yang dibuat oleh dokter IGD, dokter yang merawat,
SpF maupun perawat. Suatu VER yang baik hanya dapat
dihasilkan dari Rekam Medis (RM) yang baik pula.
Cara Pencatatan Rekam Medis untuk Kasus Forensik Klinik,
Djaja Surya Atmadja
Sanksi Hukum Bila Menolak
Pembuatan VeR
PASAL 216 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau
permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh
pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh
pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi
kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana;
demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna
menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling
banyak sembilan ribu rupiah.

Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna


182. Pemeriksaan Forensik pada Bukti
Tersangka Semen
PEMERIKSAAN
SKRINING
Pemeriksaan Pada pakaian, bercak mani berbatas tegas dan warnanya lebih gelap
visual daripada sekitarnya. Dan Bercak yang sudah agak tua berwarna
kekuningan.

Perabaan dan Bercak mani teraba kaku seperti kanji. Pada tekstil yang tidak menyerap,
penciuman bila tidak teraba kaku, masih dapat dikenali dari permukaan bercak yang
teraba kasar. Pada penciuman, bau air mani seperti klorin (pemutih) atau
bau ikan
Ultraviolet (UV) Semen kering (bercak semen) berfluoresensi (bluish-white) putih
kebiruan di bawah iluminasi UV dan menunjukkan warna yang
sebelumnya tak nampak. Namun Pemeriksaan ini tidak spesifik,sebab
nanah, fluor albus, bahan makanan, urin, dan serbuk deterjen yang
tersisa pada pakaian sering berflouresensi juga.
PEMERIKSAAN
KIMIAWI
Metode Florence Cairan vaginal atau bercak mani yang
sudah dilarutkan, ditetesi larutan yodium
(larutan Florence) di atas objek glass
Hasil yang diharapkan: kristal-kristal
kholin peryodida tampak berbentuk
jarum-jarum / rhomboid yang berwarna
coklat gelap
Metode Berberio Cairan vagina atau bercak semen yang
sudah dilarutkan, diteteskan pada objek
glass, lalu ditambahkan asam pikrat dan
diamati di bawah mikroskop.
Hasil yang diharapkan: Kristal spermin
pikrat akan terbentuk rhomboik atau
jarum yang berwarna kuning kehijauan.

Fosfatase asam Dapat dilakukan pada cairan vagina dan


pada bercak semen di pakaian.
Hasil yang diharapkan: warna ungu
timbul dalam waktu kurang dari 30 detik,
berarti asam fosfatase berasal dari
prostat.
PEMERIKSAAN
KIMIAWI
Metode PAN Bercak pada pakaian diekstraksi dengan cara
menempelkan kertas saring Whatman no.2 yang
dibasahi dengan aquadest, selama 10 menit.
Hasil positif menunjukkan warna merah jambu.
PEMERIKSAAN CAIRAN MANI
Sampel :
1. Forniks posterior vagina
Fosfatase asam, PAN, Berberio, Florence

2. Bercak pada pakaian


Pemeriksaan Taktil, Visual, Sinar UV,
Fosfatase asam, PAN, Berberio, Florence
Pemeriksaan Sperma
• Pemeriksaan Sperma tanpa pewarnaan
– Tujuan: Untuk melihat motilitas spermatozoa.
Pemeriksaan ini paling bermakna untuk
memperkirakan saat terjadinya persetubuhan.
– Sperma didalam liang vagina masih dapat
bergerak dalam waktu 4 – 5 jam post-coitus;
sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak
sampai sekitar 24-36 jam post coital dan bila
wanitanya mati masih akan dapat ditemukan 7-8
hari.
Pemeriksaan Sperma
• Pemeriksaan dengan pewarnaan
– Bila sediaan dari cairan vagina, dapat diperiksa
dengan Pulas dengan pewarnaan gram, giemsa
atau methylene blue atau dengan pengecatan
Malachite-green.
– Bila berasal dari bercak semen (misalnya dari
pakaian), diperiksa dengan pemeriksaan Baechii.
Hasil: spermatozoa dengan kepala berwarna
merah dan ekor berwarna biru muda terlihat
banyak menempel pada serabut benang
183. Asfiksia
• Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan
berupa berkurangnya kadar oksigen (O2) dan
berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2)
secara bersamaan dalam darah dan jaringan
tubuh akibat gangguan pertukaran antara
oksigen (udara) dalam alveoli paru-paru
dengan karbon dioksida dalam darah kapiler
paru-paru.
Pemeriksaan Luar Post Mortem
• Luka dan ujung-ujung ekstremitas sianotik (warna biru keunguan)
yang disebabkan tubuh mayat lebih membutuhkan HbCO2 daripada
HbO2.

• Tardieu’s spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra. Tardieu’s spot


merupakan bintik-bintik perdarahan (petekie) akibat pelebaran
kapiler darah setempat.

• Lebam mayat cepat timbul, luas, dan lebih gelap karena


terhambatnya pembekuan darah dan meningkatnya
fragilitas/permeabilitas kapiler. Hal ini akibat meningkatnya kadar
CO2 sehingga darah dalam keadaan lebih cair. Lebam mayat lebih
gelap karena meningkatnya kadar HbCO2..

• Busa halus keluar dari hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan
adanya fenomena kocokan pada pernapasan kuat.
Pemeriksaan Dalam Post Mortem
• Organ dalam tubuh lebih gelap & lebih berat dan ejakulasi
pada mayat laki-laki akibat kongesti / bendungan alat tubuh
& sianotik.
• Darah termasuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih
cair.
• Tardieu’s spot pada pielum ginjal, pleura, perikard, galea
apponeurotika, laring, kelenjar timus dan kelenjar tiroid.
• Busa halus di saluran pernapasan.
• Edema paru.
• Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti
fraktur laring, fraktur tulang lidah dan resapan darah pada
luka.
Asfiksia Mekanik
• Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas:
– Pembekapan (smothering)
– Penyumbatan (gagging dan choking)
• Penekanan dinding saluran pernafasan:
– Penjeratan (strangulation)
– Pencekikan (manual strangulation)
– Gantung (hanging)
• External pressure of the chest yaitu penekanan dinding
dada dari luar.
• Drawning (tenggelam) yaitu saluran napas terisi air.
• Inhalation of suffocating gases.
Pencekikan
• Ada 3 penyebab kematian pada pencekikan,
yaitu:
– Asfiksia
– Iskemia
– Vagal reflex

• Ada 2 cara kematian pada kasus pencekikan,


yaitu:
– Pembunuhan (hampir selalu).
– Kecelakaan, biasanya mati karena vagal reflex.
Pemeriksaan Luar Post Mortem
• Tanda-tanda asfiksia pada pemeriksaan luar otopsi
yang dapat kita temukan antara lain adanya sianotik,
petekie, atau kongesti daerah kepala, leher atau otak.
Lebam mayat akan terlihat gelap.

• Tanda kekerasan pada leher yang penting kita cari,


yaitu bekas kuku dan bantalan jari. Bekas kuku dapat
kita kenali dari adanya crescent mark, yaitu luka lecet
berbentuk semilunar/bulan sabit. Terkadang kita dapat
menemukan sidik jari pelaku.
Pemeriksaan Dalam post Mortem
• Perdarahan atau resapan darah.
– Perdarahan atau resapan darah dapat kita cari pada
otot, kelenjar tiroid, kelenjar ludah, dan mukosa &
submukosa pharing atau laring.
• Fraktur.
– Fraktur yang paling sering kita temukan pada os hyoid.
Fraktur lain pada kartilago tiroidea, kartilago
krikoidea, dan trakea.
• Memar atau robekan membran hipotiroidea.
• Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan
ligamentum pada mugging.
184. Dilema Etis Mati Batang Otak (MBO)

KUHP Ps. 344


• Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan sunguh-
sunguh, dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
Pengecualian pada KUHP pasal 344
• Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan
lagi akan kehidupannya menurut ukuran medis,
yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya
• Usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini
sudah tidak berpotensi lagi
• Pasien dalam keadaan in a persistent vegetative
state
• Harus ada persetujuan dari pasien atau keluarga
• Mendapat persetujuan dari pengadilan.
Definisi Kematian Menurut UU
• Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun
2009, Pasal 117 berbunyi “seseorang
dikatakan mati apabila fungsi sistem jantung,
sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah
berhenti secara permanen, atau apabila
kematian batang otak telah dapat
dibuktikan.”
185. Antropologi Forensik
• Penentuan seks  dari kerangka panggul,
tengkorak
• Penentuan ras  dari tengkorak
• Perkiraan umur  berdasarkan pertumbuhan
tulang panjang
• Perkiraan tinggi badan  panjang tulang
panjang
Penentuan Usia
• Usia pada saat kematian dapat diperkirakan
dengan memeriksa perubahan biologis dari
orang tersebut.
• Penutupan sutura di tengkorak merupakan
salah satu indikator usia. Setelah 25-31 tahun,
estimasi umur menjadi lebih sulit.
Penentuan Jenis Kelamin
Analisis Soal
• Kerangka dapat digunakan untuk menentukan
ras, jenis kelamin, perkiraan usia saat
kematian, dan tinggi badan.
• Bila yang ditemukan adalah tulang panjang,
yang dapat diidentifikasi adalah tinggi badan
dan usia.
• Namun pada identifikasi usia dengan
menggunakan tulang, bila usia >25 tahun, sulit
untuk ditentukan spesifik usianya.
186-188. Kaidah Dasar Moral

Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Berbuat baik (beneficence) Tidak berbuat yang merugikan
•Selain menghormati martabat manusia, (nonmaleficence)
dokter juga harus mengusahakan agar pasien • Praktik Kedokteran haruslah memilih
yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya pengobatan yang paling kecil risikonya dan
(patient welfare). paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno:
•Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap first, do no harm, tetap berlaku dan harus
ramah atau menolong, lebih dari sekedar diikuti.
memenuhi kewajiban.
Keadilan (justice)
• Perbedaan kedudukan sosial, tingkat
Menghormati martabat manusia (respect ekonomi, pandangan politik, agama dan
for person) / Autonomy faham kepercayaan, kebangsaan dan
• Setiap individu (pasien) harus diperlakukan kewarganegaraan, status perkawinan,
serta perbedaan jender tidak boleh dan
sebagai manusia yang memiliki otonomi tidak dapat mengubah sikap dokter
(hak untuk menentukan nasib diri sendiri), terhadap pasiennya.
• Setiap manusia yang otonominya berkurang • Tidak ada pertimbangan lain selain
atau hilang perlu mendapatkan kesehatan pasien yang menjadi perhatian
perlindungan. utama dokter.
• Prinsip dasar ini juga mengakui adanya
kepentingan masyarakat sekitar pasien
yang harus dipertimbangkan
Beneficence
Kriteria
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan
orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter
4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya
5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
16. Menerapkan golden rule principle
Non-maleficence
Kriteria
1. Menolong pasien emergensi :
Dengan gambaran sbb :
- pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko
kehilangan sesuatu yang penting (gawat)
- dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut
- tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
- manfaat bagi pasien > kerugian dokter
2. Mengobati pasien yang luka
3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia )
4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien
5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
6. Mengobati secara proporsional
7. Mencegah pasien dari bahaya
8. Menghindari misrepresentasi dari pasien
9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
10. Memberikan semangat hidup
11. Melindungi pasien dari serangan
12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Autonomy
Kriteria
1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif)
3. Berterus terang
4. Menghargai privasi
5. Menjaga rahasia pasien
6. Menghargai rasionalitas pasien
7. Melaksanakan informed consent
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan
termasuk keluarga pasien sendiri
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien
13. Menjaga hubungan (kontrak)
Justice
Kriteria
1. Memberlakukan sesuatu secara universal
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
4. Menghargai hak sehat pasien
5. Menghargai hak hukum pasien
6. Menghargai hak orang lain
7. Menjaga kelompok yang rentan
8. Tidak melakukan penyalahgunaan
9. Bijak dalam makro alokasi
10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi)
secara adil
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan
kesehatan
16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
189. KODEKI
• Pasal 1:Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dokter.

• Pasal 2: Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya


sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.

• Pasal 3: Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh


dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.

• Pasal 4: Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.

• Pasal 5: Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.

• Pasal 6: Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan


menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
• Pasal 7:Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.

• Pasal 7a: Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih
sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

• Pasal 7b: Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien

• Pasal 7c: Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien

• Pasal 7d: Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani.

• Pasal 8: Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan


masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

• Pasal 9: Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
KODEKI-Kewajiban Dokter Terhadap Pasien

• Pasal 10:Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan


segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia
tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas
persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

• Pasal 11: Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien


agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

• Pasal 12: Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang


diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia.

• Pasal 13: Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai


suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia
dan mampu memberikannya.
KODEKI-Kewajiban Dokter Terhadap
Teman Sejawat
• Pasal 14: Setiap dokter memperlakukan
teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.

• Pasal 15: Setiap dokter tidak boleh mengambil


alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang
etis.
KODEKI-Kewajiban Dokter Terhadap
Diri Sendiri
• Pasal 16: Setiap dokter harus memelihara
kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik.

• Pasal 17: Setiap dokter harus senantiasa


mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran/kesehatan.
190. Derivat/Turunan dari Kaidah
Dasar Moral
• Veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka)
• Privacy (menghormati hak privasi pasien)
• Confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien)
• Fidelity (loyalitas dan promise keeping)
Pola dasar hubungan dokter dan pasien

• Mutual Participation
• Guidance – Cooperation
• Activity – passivity
Mutual Participation
• Berdasarkan pemikiran, setiap manusia
memiliki harkat & martabat yang sama
• pada pasien medical check up/penyakit kronis
• Pasien secara sadar aktif dan berperan dalam
pengobatan terhadap dirinya
• Tidak dapat diterapkan pada pasien
berpendidikan&sosial rendah, pada anak,
gangguan mental
Guidance – Cooperation
• Membimbing kerjasama seperti orang tua &
remaja
• Apabila keadaan pasien tidak terlalu berat
• Pasien tetap sadar dan memiliki perasaan
serta kemauan sendiri
• Dokter tidak semata-mata menjalankan
kekuasaan
• kerjasama pasien diwujudkan dg turuti
nasehat/anjuran dokter
Activity – passivity
• Pola hubungan seperti orang tua-anak
• Pola hubungan klasik
• Dokter seolah dapat sepenuhnya melaksanakan
ilmunya tanpa campur tangan pasien
• Motivasi altruistic (untuk kepentingan umum)
• Berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya
terancam,tidak sadar, gangguan mental berat
THT-KL
191. Rhinitis
Diagnosis Karakteristik
Rinitis alergi Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa
edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.

Rinitis Idiopatik & didiagnosis per eksklusionam. Gejala: kongesti nasal yang
vasomotor berpindah dipengaruhi posisi influenced by position, rhinorrea,
bersin. Tanda: edema mukosa, konka: merah gelap/pucat, konka
halus/hipertrofi.
Rinitis akut Hidung terasa hangat, kering, & gatal, diikuti gejala bersin,
(rhinovirus) tersumbat, & sekret serous disertai demam dan sakit kepala.
Rinoskopi: membran mukosa merah & bengkak.

Rinitis atrofi / Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa


ozaena pada pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau,
hidung tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media
& inferior, sekret & krusta hijau.
Rinitis Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan
medikamentosa vasokonstriktor topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma
edema,hipersekresi mukus. Rinoskopi: edema/hipertrofi konka
dengan sekret hidung yang berlebihan.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Rinitis Vasomotor
DESKRIPSI
keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, hormonal
BATASAN atau pajanan obat

belum diketahui; Dicetuskan oleh rangsang non-spesifik  asap, bau, alkohol, suhu,
ETIOLOGI
makanan, kelembaban, kelelahan, emosi/stres
Anamnesis: Hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan, tergantung posisi pasien
disertai sekret yang mukoid atau serosa yang dicetuskan oleh rangsangan non spesifik
Rinoskopi anterior: Edema mukosa hidung, konka merah gelap atau merah tua
DIAGNOSIS dengan permukaan konka dapat licin atau berbenjol (hipertrofi) disertai sedikit sekret
mukoid
Penunjang: Eosinofilia ringan, tes alergi hasil (-)

1. Menghindari stimulus
2. Simptomatis: dekongestan oral, kortikosteroid topikal, antikolinergik topikal,
TATALAKSANA kauterisasi konka, cuci hidung)
3. Operasi (bedah-beku, elektrokauter, atau konkotomi)
4. Neurektomi nervus vidianus bila cara lain tidak berhasil
Buku ajar ilmu THT 2007
192. Abses Leher Dalam
Diagnosis Clinical Features

Abses peritonsil Odynophagia, otalgia, vomit, foetor ex ore, hypersalivation, hot


potato voice, & sometimes trismus.

Abses parafaring 1.Trismus, 2. Angle mandible swelling, 3. Medial displacement of


lateral pharyngeal wall.

Abses Retrofaring In children: irritability,neck rigidity, fever,drolling,muffle cry,


airway compromise
In adult: fever, sore throat, odynophagia, neck tenderness,
dysnea
Submandibular Fever, neck pain, swelling below the mandible or tongue. Trismus
abscess often found. If spreading fast  bilateral, cellulitis  ludwig
angina
Ludwig/ludovici Swelling bilaterally, hypersalivation, airway obstrution caused by
angina retracted tongue, odynophagia, trismus, no purulence (no time
to develop)
1) Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. 3) Cummings otolaryngology. 4th ed. Mosby; 2005.
192. Abses Leher Dalam
Peritonsillar abscess
Inadequately treated tonsillitis  spread of infection  pus formation between the
tonsil bed & tonsillar capsule

Symptoms & Signs


Quite severe pain with referred otalgia
Odynophagia & dysphagia  drooling
Irritation of pterygoid musculature by pus & inflammation  trismus
unilateral swelling of the palate & anterior pillar  displace the tonsil downward & medially 
uvula toward the opposite side

Therapy
Needle aspiration: if pus (-)  cellulitis  antibiotic. If pus (+)  abscess .
If pus is found on needle aspirate, pus is drained as much as possible.
193-194. Otitis Media Akut
Otitis Media Akut
• Etiologi:
Streptococcus pneumoniae 35%,
Haemophilus influenzae 25%,
Moraxella catarrhalis 15%.
 Perjalanan penyakit otitis media akut:
1. Oklusi tuba: membran timpani retraksi atau suram.
2. Hiperemik/presupurasi: hiperemis & edema.
3. Supurasi: nyeri, demam, eksudat di telinga tengah, membran
timpani membonjol.
4. Perforasi: ruptur membran timpani, demam berkurang.
5. Resolusi: Jika tidak ada perforasi membran timpani kembali
normal. Jika perforasi  sekret berkurang.
1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, and throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Penatalaksanaan OMA
• Tatalaksana
– Oklusi tuba: Dekongestan topikal (ephedrine HCl)
– Hiperemis: AB selama 7 hari
(ampicylin/amoxcylin/ erythromicin) & analgetik.
– Supurasi: Miringotomi + AB
– Perforasi: Ear toilet (H2O2 3%) + AB
– Resolusi: Jika tidak terjadi fase resolusi, lanjutkan
AB sampai 3 minggu
195. Karsinoma Nasofaring
• Karsinoma nasofaring merupakan
keganasan pada nasofaring dengan
predileksi pada fossa Rossenmuller.
Prevalensi tumor ganas nasofaring
di Indonesia cukup tinggi, 4,7 per
100.000 penduduk.
• Faktor risiko meliputi: infeksi oleh
EBV, makanan berpengawet, dan
genetik
Karsinoma Nasofaring
Insepsi Invasi lokal
• Genetik • Mukus campur darah
Silent period • Sumbatan tuba
• Lingkungan
eustachius
• Viral

Kelenjar limfe
Penyebaran retrofaringeal/penyebaran
lokoregional
sistemik (paranasofaringeal/parafarin
geal, erosi dasar tengkorak)
Manifestasi Klinis
Gejala dapat dibagi dalam lima kelompok, yaitu:
1. Gejala nasofaring
2. Gejala telinga
3. Gejala mata
4. Gejala saraf
5. Metastasis atau gejala di leher
Manifestasi Klinis
• Gejala telinga:
– rasa penuh di telinga,
– rasa berdengung,
– rasa tidak nyaman di telinga
– rasa nyeri di telinga,
– otitis media serosa sampai perforasi membran
timpani
– gangguan pendengaran tipe konduktif, yang
biasanya unilateral
Manifestasi Klinis
• Gejala hidung:
– ingus bercampur darah,
– post nasal drip,
– epistaksis berulang
– Sumbatan hidung unilateral/bilateral

• Gejala telinga, hidung, nyeri kepala >3 minggu


 sugestif KNF
Manifestasi Klinis
• Gejala lanjut  Limfadenopati servikal
• Penyebaran limfogen
• Konsistensi keras, tidak nyeri, tidak mudah
digerakkan
• Soliter
• KGB pada leher bagian atas jugular superior,
bawah angulus mandibula
Manifestasi Klinis
• Gejala lokal lanjut  gejala saraf
• Penjalaran petrosfenoid  dapat mengenai
saraf anterior (N II-VI), sindroma petrosfenoid
Jacob
• Penjalaran petroparotidean  mengenai saraf
posterior (N VII-XII), sindrom horner, sindroma
petroparatoidean Villaret
DIAGNOSIS
• Rhinoskopi posterior • DPL
• Nasofaring direct/indirect • Evaluasi gigi geligi
• Biopsi • Audiometri
• CT Scan/ MRI • Neurooftalmologi
• FNAB KGB • Ro Torax
• Titer IgA anti : • USG Abdomen, Liver
– VCA: sangat sensitif, Scinthigraphy
kurang spesifik • Bone scan
– EA: sangat kurang sensitif,
spesifitas tinggi
PENGOBATAN
• Radioterapi
Stadium dini tumor primer
Stadium lanjut tumor primer (elektif),
KGB membesar
• Kemoterapi
Stadium lanjut / kekambuhan sandwich
• Operasi
– sisa KGB  diseksi leher radikal
– Tumor ke ruang paranasofaringeal/ terlalu besar 
nasofaringektomi
196. The Anatomy of the Larynx

Figure 23.4
pgmedicalworld.com
Vaezi, MF . Nature Clinical Practice Gastroenterology & Hepatology (2005) 2, 595-603
Anatomy – subdivision

Source: AJCC Cancer Staging Manual, 6th Ed (2002)


Laryngeal Cancer
Epidemiology
• Most common head and neck CA (excluding skin)
• The laryngeal cancer can develop mostly in three parts of the
larynx:
– The glottis
– The supraglottis
– The subglottis
• Male : Female = 4 : 1
• > 90% squamous cell cancer
Incidence by Site (US)
Supraglottic 40%
Glottic 59%
Subglottic 1%
American Cancer Society: Cancer Facts and Figures 2008. Atlanta, Ga: American Cancer Society, 2008.
Risk Factors
• Age. Cancer of the larynx occurs most often in people over the age of
55.
• Gender. Men are four times more likely than women to get cancer of
the larynx.
• Race. African Americans are more likely than whites to be diagnosed
with cancer of the larynx.
• Smoking. Smokers are far more likely to get cancer of the larynx.
• Alcohol. People who drink alcohol are more likely to develop laryngeal
cancer
• A personal history of head and neck cancer. Almost one in four people
who have had head and neck cancer will develop a second primary
head and neck cancer.
• Occupation. Workers exposed to sulfuric acid mist or nickel or asbestos
have an increased risk of laryngeal cancer.
• HPV, GERD implicated
Clinical Presentation
• Signs and symptoms • Gejala & tanda keganasan laring:
– Mass effect: hoarseness, – suara serak,
dysphagia, hemoptysis, neck – disfagia,
mass, airway compromise (difficulty
breathing), aspiration – hemoptisis,
– Throat pain, ear pain (referred
– massa di leher,
through CN X branch) – nyeri tenggorok,
• Suggests advanced stage – nyeri telinga,
– Hoarseness = allow for early – Batuk persisten
detection of glottic cancer – Bau mulut
– Supraglottic CA = tend to present – gangguan jalan napas, &
later
– aspirasi.
• Usually present w/bulkier tumors
before Si/Sx present
– Laringoskopi: laring tampak
penonjolan seperti jamur, friabel
• More likely to present w/node
mets d/t richer lymphatics
(mudah berdarah), nodular,
ulseratif, atau perubahan warna
– Weight loss saja.
Clinical Presentation – cont’

• Physical Exam
– Complete head and neck exam
• Palpation for nodes; restricted laryngeal crepitus.
– Quality of voice
• Breathy voice = cord paralysis
• Muffled voice = supraglottic lesion
– Laryngoscopy
• Laryngeal mirror
• Fiberoptic exam (lack depth perception)
• Note: contour, color, vibration, cord mobility, lesions.
– Stroboscopic video laryngoscopy
• Highlights subtle irregularities: vibration, periodicity, cord closure
Laryngeal cancer workup
• Radiology
– Contrast-enhanced CT scan and MRI 
extension of tumor into vita structure
– Chest X-ray  present metastasis
– PET-CT
• Laboratory
– CBC, blood gas, thyroid function, renal
and hepatic function
• Histopathology
– 96% squamous cell carcinoma
– squamous cell carcinoma means that
abnormal-appearing squamous cells,
and often keratin, are beneath the area
where the usual basement membrane
lies.
Imaging
• CT or MRI
– Evaluate pre-epiglottic or paraglottic space
– Laryngeal cartilage erosion
– Cervical node mets
• PET
– Role under investigation, currently not standard of care
– Specific application
• Identifying occult nodal mets
• Distinguish recurrence vs radionecrosis or other prior tx sequalae
• Ultrasound
– In Europe: used to identify cervical mets and laryngeal abn.
• Direct laryngoscopy with biopsy
• Histologic subtypes
– Squamous cell carcinoma
• > 90% of causes
• Linked to tobacco and excessive alcohol
(R) Source: http://www.medscape.com/content/2002/00/44/25/442595/442595_fig.html
(L) Source: http://www.som.tulane.edu/classware/pathology/medical_pathology/New_for_98/Lung_Review/Lung-62.html
Treatments – Options
• Surgery
– Microlaryngeal surgery
– Hemilargyngectomy
– Supraglottic laryngectomy
– Near-total laryngectomy
– Total laryngectomy
• Photodynamic Therapy
• Radiation
• Chemothrapy
– Cisplatin + 5-fluorouracil
196. Penyakit Laring

Papillomatosis

Ca laring

Nodul pita suara

Polip pita suara


Laringitis Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
196. Penyakit Laring
Diagnosis Karakteristik
Polip pita suara Penyebab: inflamasi kronik. Polip bertangkai, unilateral. Di
sepertiga anterior/medial/seluruhnya. Dapat terjadi di segala
usia, umumnya dewasa. Gejala: parau. Jenis: polip mukoid
(keabu-abuan & jernih) & polip angiomatosa (merah tua).
Papilloma laring Tumbuh pada pita suara anterior atau subglottik. Seperti buah
murbei, putih kelabu/kemerahan. Sangat rapuh, tidak
berdarah, & sering rekuren.
Gejala: parau, kadang batuk, sesak napas. Terapi: ekstirpasi.
Laringitis Gejala umum: demam, malaise. Gejala lokal: suara parau,
afoni, nyeri ketika menelan atau berbicara, gejala sumbatan
laring. Batuk kering atau kemudian berdahak.
PF: mukosa laring hiperemis, edema terutama di atas & di
bawah pita suara, biasanya juga ada tanda radang di hidung
atau sinus paranasal atau paru.
Nodul pita suara Penyebab: penyalahgunaan suara dalam waktu lama. Suara
parau. Laringoskopi: nodul kecil berwarna keputihan,
umumnya bilateral, di sepertiga anterior/medial.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
197. Radiologi
• Foto polos kepala AP jaringan lunak hanya memperlihatkan
distorsi jaringan, tapi tidak menentukan lokasi abses.

• Foto lateral untuk menyingkirkan abses retrofaringeal.

• Pemeriksaan yang lebih jelas adalah CT scan dengan


gambaran hipodens yang menandakan cairan pada tonsil
dan pembesaran asimetris.

• Pada pilihan jawaban dipilih A yang paling mendekati


karena foto kepala AP jaringan lunak menunjukkan bentuk
tonsil, meski tidak terlalu bermanfaat.
198. Otitis Media
Otitis Media Akut
• Etiologi:
Streptococcus pneumoniae 35%,
Haemophilus influenzae 25%,
Moraxella catarrhalis 15%.
 Perjalanan penyakit otitis media akut:
1. Oklusi tuba: membran timpani retraksi atau suram.
2. Hiperemik/presupurasi: hiperemis & edema.
3. Supurasi: nyeri, demam, eksudat di telinga tengah, membran
timpani membonjol.
4. Perforasi: ruptur membran timpani, demam berkurang.
5. Resolusi: Jika tidak ada perforasi membran timpani kembali
normal. Jika perforasi  sekret berkurang.
1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, and throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Media
Otitis Media Akut
• Th:
– Oklusi tuba: dekongestan topikal
(ephedrin HCl) Hyperaemic stage
– Presupurasi: AB minimal 7 hari
(ampicylin/amoxcylin/
erythromicin) & analgesik.
– Supurasi: AB, miringotomi.
– Perforasi: ear wash H2O2 3% & AB.
– Resolusi: jika sekret tidak
berhenti AB dilanjutkan hingga 3
minggu.
Suppuration stage
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
199. Kelainan Telinga Luar
• Hematoma of the auricle
– Severe blunt trauma to the auricle may cause hematoma.
– Edematous, fluctuant, & ecchymotic pinna.
– If left untreated may cause infection  perichondritis.
– Th/: incision & drainage/needle aspiration  pressure bandage

• Perichondritis of the Auricle


– Most often as a result of trauma, with penetration of the skin &
a contaminated wound.
– The auricle becomes hot, red, swollen, & tender after the
contaminating injury
– infection under the perichondrium  necrosis of the cartilage
 fibrosis  severe auricular deformity (cauliflower ear)
– Th/: antibiotics. If there is fluctuance from pus  drainage.

• Keloid
– May develop at the same piercing site on the lobe.
200. Tonsillitis
• Acute tonsillitis:
– Bacterial: GABHS, pneumococcus, S.
viridan, S. pyogenes.
• Detritus  follicular tonsillitits
• Detritus coalesce  lacunar tonsillitis.
• Sore throat, odinophagia, fever, malaise,
otalgia.
• Th: penicillin or erythromicin

• Chronic tonsillitis
– Persistent sore throat, anorexia, dysphagia, &
pharyngotonsillar erythema
– Lymphoid tissue is replaced by scar 
widened crypt, filled by detritus.
– Foul breath, throat felt dry.

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
200. Tonsillitis
• Komplikasi tonsillitis akut:
– Pada anak sering menimbulkan otitis media
akut, sinusitis, abses peritonsil (Quincy
throat), abses parafaring, bonkitis,
glomerulonefritis akut, miokarditis, artritis
serta septikemia. Hipertrofi tonsil
menyebabkan pasien bernapas lewat
mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur
karena obstructive sleep apnea.
• Komplikasi tonsilitis kronik:
– Komplikasi ke daerah sekitar, berupa rhinitis
kronik, sinusitis atau otitis media secara
perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen & limfogen:
endokiarditis, artritis, miositis, nefritis,
uveitis, dermatitis, urtikaria.

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.

Anda mungkin juga menyukai

  • Sepsis Neonatorum Rev
    Sepsis Neonatorum Rev
    Dokumen27 halaman
    Sepsis Neonatorum Rev
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Seminar Kesehatan Kader
    Seminar Kesehatan Kader
    Dokumen43 halaman
    Seminar Kesehatan Kader
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Dok Mei
    Dok Mei
    Dokumen24 halaman
    Dok Mei
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • FISHBONE
    FISHBONE
    Dokumen1 halaman
    FISHBONE
    MS
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Tropoblast Gestasional
    Penyakit Tropoblast Gestasional
    Dokumen16 halaman
    Penyakit Tropoblast Gestasional
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Media Informasi Di Pendaftaran
    Media Informasi Di Pendaftaran
    Dokumen4 halaman
    Media Informasi Di Pendaftaran
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Pembahasan UC 1 Agustus 2017
    Pembahasan UC 1 Agustus 2017
    Dokumen576 halaman
    Pembahasan UC 1 Agustus 2017
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Makalah Preskas Stase Jiwa-Meilani
    Makalah Preskas Stase Jiwa-Meilani
    Dokumen24 halaman
    Makalah Preskas Stase Jiwa-Meilani
    Rahma R S
    Belum ada peringkat
  • Distosia
    Distosia
    Dokumen22 halaman
    Distosia
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Preskas
    Preskas
    Dokumen33 halaman
    Preskas
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Lapkas
    Lapkas
    Dokumen14 halaman
    Lapkas
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Poa Fix
    Poa Fix
    Dokumen3 halaman
    Poa Fix
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Labor
     Labor
    Dokumen10 halaman
    Labor
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Pembahasan To 5 Agustus 2017
    Pembahasan To 5 Agustus 2017
    Dokumen606 halaman
    Pembahasan To 5 Agustus 2017
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Tugas
    Tugas
    Dokumen1 halaman
    Tugas
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Stase Ikm Undip
    Stase Ikm Undip
    Dokumen4 halaman
    Stase Ikm Undip
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Tanggap Bencana
    Tanggap Bencana
    Dokumen37 halaman
    Tanggap Bencana
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv KDK
    Bab Iv KDK
    Dokumen2 halaman
    Bab Iv KDK
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Bab V KDK
    Bab V KDK
    Dokumen1 halaman
    Bab V KDK
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Tutorial Klinik - SH
    Tutorial Klinik - SH
    Dokumen24 halaman
    Tutorial Klinik - SH
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • KDK Fix
    KDK Fix
    Dokumen28 halaman
    KDK Fix
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Bab Viii Alternatif
    Bab Viii Alternatif
    Dokumen7 halaman
    Bab Viii Alternatif
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Manajemen Puskesmas
    Manajemen Puskesmas
    Dokumen23 halaman
    Manajemen Puskesmas
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Kasus
    Presentasi Kasus
    Dokumen69 halaman
    Presentasi Kasus
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Gan Chart Fix
    Gan Chart Fix
    Dokumen2 halaman
    Gan Chart Fix
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • BAB VIII Kegiatan POA Dan G Chart
    BAB VIII Kegiatan POA Dan G Chart
    Dokumen6 halaman
    BAB VIII Kegiatan POA Dan G Chart
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Bab III SPM - Data Spm-1
    Bab III SPM - Data Spm-1
    Dokumen17 halaman
    Bab III SPM - Data Spm-1
    patylucu
    Belum ada peringkat
  • Kasus NPDR Dan Presbiopia
    Kasus NPDR Dan Presbiopia
    Dokumen35 halaman
    Kasus NPDR Dan Presbiopia
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat
  • Fisiologi Air Mata Dan Aqueous Humor
    Fisiologi Air Mata Dan Aqueous Humor
    Dokumen15 halaman
    Fisiologi Air Mata Dan Aqueous Humor
    Drosophila Meilani Gaster
    Belum ada peringkat