Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam pembahasan etika seorang muslim disebutkan bahwa bila akan memulai
sesuatu yang berguna maka dianjurkan dengan sangat untuk membaca
bismillahirrahmanirrahim. Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya mengatakan bahwa
setiap akan memulai sesuatu yang baik tanpa membaca basmallah maka
kemanfaatannya akan terputus.
Dari pernjelasan diatas sepintas maka dapat disimpulkan bahwa setiap orang
yang akan melakukan atau berbuat sesuatu maka etikaya harus memulai dengan
mengucap nama Allah SWT. Kenapa ini dilakukan? Dengan menyebut dan mengucap
nama Allah SWT dalam ajaran Islam memberikan upaya penting dalam memberikan
pelajaran etika bagi manuia bahwa hanya dengan menyebut nama Allah SWT
merupakan manifestadi dari ajaran islam untuk berbuat sesuatu dengan menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat pula, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Maka etis inilah yang dibangun oleh Rasulallah dalam menyampaikan kata
bismillahirrahmanirrahum sekaligus menjadi nilai-nilai Islami dalam menyebarkan
etika Qur’an bagi siapa saja yang ingin menyebarkan perdamaian dam keselamatan atas
perbuatan manusia. Pada bahasan ini setidanya meningatkan bagi kita bahwa
berproduksi merupak sesuatu kegiatan dan aktifitas manusia dalam menggali, membuat
suatu produk yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan semua.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan ruang lingkup produksi menurut Islam?
2. Apa nilai-nilai Islam dalam produksi?
3. Bagaimana etika dalam produksi barang dan jasa?
4. Bagaimana berproduksi dalam lingkaran halal?
5. Bagaimana etika Islam dalam berproduksi?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Produksi Menurut Islam


Produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang jasa yang kemudian
dimanfaatakan oleh konsumen.1 Berproduksi (istishna’) adalah apabila ada seseorang
memproduksi bejana, mobil, atau apa saja yang termasuk dalam katagori produksi.
Berproduksi itu hukumnya mubah dan jelas berdasarkan as-sunnah. Sebab Rasulullah
SAW pernah membuat cincin. Diriwayatkan dari Anas yang mengatakan: “Nabi SAW
telah membuat sebuah cincin” (H.R. Imam Bukhori). Dari Ibnu Mas’ud: “bahwa Nabi
SAW telah membuat sebuah cincin tang terbuat dari emas” (H.R. Imam Bukhori).
Beliau juga pernah membuat mimbar. Dari Sahal berkata: “Rasulullah SAW telah
mengutus kepada seorang wanita, (kata beliau): ‘perintahkan anakmu si tukang kayu
itu untuk membuatkan sandaran tempat dudukku sehingga aku bias duduk diatasnya’
(H.R. Imam Bukhori).2
Pada masa Rasulullah, orang-orang bisa memproduksi barang dan beliaupun
mendiamkan aktifitas mereka. Sehingga diamnya beliau menunjukkan adanya
pengakuan taqrir beliau terhadap aktifitas produksi mereka. Status taqrir dan
perbuatan Rasul itu sama dengan sabda beliau, artiya sama-sama merupakan dalil
syara’.
Pada saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan
konsumsi sering kali dilakukan oleh seseorang sendiri. Seseorang memproduksi
sendiri barang dan jasa yang dikonsumsinya. Seiring dengan semakin beragamnya
kebutuhan konsumsi dan keterbatasan sumber daya yang ada (termasuk
kemampuannya), maka seseorang tidak dapat lagi menciptakan sendiri barang dan
jasa yang dibutuhkannya, tetapi memperoleh dari pihak lain yang mampu
menghasilkannya.
Secara teknis produksi adalah proses mentransformasi input menjadi output, tetapi
definisi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas. Pendenfinisikan
produksi mencakup tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter-karakter yang
melekat padanya. Beberapa ahli ekonomi Islam memberikan definisi yang berbeda

1
Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi Islam, “Ekonomi Islam”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008) hlm. 230-231
2
Abdu Aziz, Etika Bisnis Perpestif Islam, Cirebon: Alfabet, 2013, hlm.142
mengenai pengertian produksi, meskipun substansinya sama. Berikut ini beberapa
pengertian produksi, meskipun para ekonom Muslim Kontemprer:
1. Kahf (1992) mendefinisikan kegiatan produksi dalam perpesif Islam sebagai
usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi
juga moralitas, sebagai sarana agama Islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Mannan (1992) menekannya pentingnya motif altruism (altruism) bagi produsen
yang Islami sehingga ia menyikapi dengan hati-hati konsep Pareto Optimality dan
Given Demand Hypothcsis yang banyak dijadikan sebagai konsep dasar produksi
dalam ekonomi konvensional.
3. Rahman (1995) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi
(distribusi produksi secara merata)
4. Ul Haq (1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi
kebutuhan barang dan jasa yang merupakan fardlu kifayah, yaitu, kebutuhan yang
bagi banyak orang pemenuhannya bersifat wajib.
5. Saddiqi (1992) mendefinisikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan
jasa dengan memerhatikan nilai keadilan dan kebijkan atau kemanfaatan
(mashlahah) bagi masyarakat. Dalam pandangannya, sepanjang produsen telah
bertindak adil dan membawa kebijakan bagi masyarakat maka ia telah bertindak
Islami.3
B. Nilai-Nilai Islam Dalam Produksi
Para ahli ekonomi kapitalis menyatakan bahwa motifasi untuk mendapatkan
keuntungan merupakann tujuan yang terbaik, sebanding dengan tujuan untuk
memaksimumkan produksi. Upaya produsen untuk memperoleh mashlahah yang
maksimum dapat terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai Islam.
Secara rinci nilai-nilai Islam dalam produksi meliputi:
1. Berwawasan jangka panjang, yaitu berorienasi kepada tujuan akhirat;
2. Menepati janji dan kontrak, baik dalam lingkup internal atau eksternal;
3. Memenuhi takaran, ketepatan, kelugasan, dan kebenaran;
4. Berpegang teguh pada kedisiplinan dan dinamis;
5. Memuliakan prestasi atau produktivitas;
6. Mendorng ukhuwah anatar sesame pelaku eknomi;
7. Menghormati hak milik individu;

3
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam., Op.cit, hlm.252
8. Mengikuti syarat sah dan rukun akad atau transaksi;
9. Adil dalam berinteraksi;
10. Memiliki wawasan social;
11. Pembayaran upah tepat waktu dan layak;
12. Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam Islam.4
C. Etika Dalam Produksi Barang Dan Jasa
Kegiatan berproduksi berarti membuat nilai manfaat atas suatu barang atau jasa,
produksi dalam hal ini tidak diartikan dengan membentuk fisik saja sehingga kegiatan
produksi mempunyai fungsi menciptakan barang dan jasa yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat pada waktu, harga, dan jumlah yang tepat. Oleh karena itu,
dalam proses produksi biasanya perusahaan meneksnksn agar produk yang dihasilkan
mengeluarkan biaya yang murah, melalui pendaygunaan sumber daya-sumber daya
yang dibutuhkan, didukung dengan inovasi yang kreatifitas untuk menghasilkan
barang dan jasa tersebut. Misalnya berproduksi dengan cara konvensional atau
tradisional, tetapi sekarang dengan pemanfaatan teknologi yang tepat guna. Langkah-
langkahnya adalah berdasarkan pada kode etik yang mencakup tanggung jawab dan
akuntabilitas koorporasi yang diawasi ketat oleh asosiasi-asosiasi perusahaan dan
masyarakat umum. Hokum harus dijadikan sarana pencegahan bagi pelaku bisnis.
Perilaku pelaku bisnis yang dapat membahayakan masyarakat dalam memproduksi
barang dan jasa harus dijerat dengan norma-norma hokum yang berlaku sehingga
masyarakat umum tidak dirugikan, dan pemerintah juga ikut membna pelaku-pelaku
bisnis di Indonesia agar memiliki moral dan etika bisnis yang baik sehingga
diharapkan dapat bermanfaat.5
D. Berproduksi Dalam Lingkaran Halal
Prisip etika dalam produksi yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim baik individu
maupun komunitas adalah berpegang pada semua yang dihalalkan Allah dan tidak
melewati batas.
Benar bahwa daerah halal itu luas, tetapi mayoritas jiwa manusia yang ambisius
merasa kurangpuas dengan hal itu walaupun banyak jumlahnya. Maka kita temukan
jiwa manusia tergiur kepada sesuatu yang haram dengan melanggar hokum-hukum
Allah. “Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang
zalim”

4
Afzalur Rahman, “Doktrin Ekonomi Islam Jilid 1”, (Yogyakarta: PT Dana Bakti Wakaf, 1995) hlm. 3
5
Agus Arijanto, Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 52
Pada dasarnya, produsen pada tatanan ekonomi konvensional tidak mengenal istilah
halal dan haram. Yang menjadi prioritas kerja mereka adalah memenuhi keinginan
pribadi dengan menggumulkan laba, harta dan uang. Ia tidak mementingkan apakah
yang diproduksinya itu bermanfaat atau berbahaya, baik atau buruk, atis atau tidak
etis.
Adapun sikap seorang musli sengat bertolak belakang, ia tidak boleh menanam apa-
apa yang diharamkan seperti poppy yang diperoleh dari buah opium, demikian pula
cannabis atau heroin. Seorang muslim tidak boleh menanam segala jenis tumbuhan
yang membahayakan manusia, seprti tembakau yang menurut keterangan WHO,
sains, dan hasil riset berbahaya bagi manusia.
Selain dilarang menanam tanaman-tanaman diatas, seorang muslim juga dilarang
memproduksi barang-barang haram, baik haram dikenakan ataupun haram dikoleksi.
Misalnya membuat patung atau cawan dari bahan emas dan perak dan membuat
gelang emas untuk laki-laki.
Jika manusia masih memproduksi barang-barang yang dilarang beredar, mka ias turut
berdosa. Jika orang yang memanfaatkan barang yang dilarang beredar ini jumlah
ribuan atau jutaan, maka ia mendapat dosa dari mereka karena ia memudahkan jalan
untuk berbuat dosa. Jika seorang manusia enggan memikul dosanya sendiri, lalu
bagaimana pula ia harus memikul dosa ribuan atau jutaan orang?
Adapun jika suatu hasil produksi dapat digunakan untuk berbuat baik dan buruk
secara bersamaan, seperti pakaian you can see yang halal dekenakan wanita dirumah
untuk menghibur suami tetapi haram dikenakan diluar rumah maka hak yang itu tidak
diharamkan, walaupun kaum sufi menganjurkan untuk menjauinya.6
E. Etika Islam Dalam Berproduksi

6
Yusuf Qadharwi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gama Insani Press, 1997, hlm.117

Anda mungkin juga menyukai