Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis dari Cerebral Palsy ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, perlu digali
dengan lengkap mengenai riwayat kehamilan, perinatal, pascanatal serta
memperhatikan faktor resiko terjadinya cerebral palsy. Selain itu pemeriksaan
fisik dengan memperhatikan perkembangan motorik juga harus dilakukan.
Berdasarkan definisi, Cerebral Palsy bukanlah merupakan suatu diagnosis tunggal
melainkan suatu sekelompok gangguan perkembangan gerakan dan postur yang
menyebabkan keterbatasan aktivitas yang dikaitkan dengan gangguan non-
progresif yang terjadi di otak janin atau bayi. Gangguan motorik cerebral palsy
sering disertai dengan gangguan sensasi, kognisi, komunikasi, persepsi dan atau
perilaku dan atau gangguan kejang.
Pada kasus ini, pasien inisial IKPA berjenis kelamin laki-laki umur 6
tahun 3 bulan, datang ke poliklinik anak RSUP Sanglah dengan keluhan utama
belum bisa berjalan normal, belum bisa berlari dan hanya bisa berbicara satu
kalimat saja. Dilihat dari usia pasien yaitu 6 tahun dimana seharusnya pasien
sudah bisa melakukan semua hal tersebut, disimpulkan pasien mengalami
keterlambatan dalam beberapa sektor perkembangan yaitu bahasa dan gerakan
motorik kasar. Hal ini sesuai dengan diagnosis Cerebral Palsy yaitu adanya
gangguan motorik dan bahasa yang dapat muncul pada pasien dengan Cerebral
Palsy.
Diagnosis Cerebral palsy dapat juga dapat ditegakkan dengan kriteria
Levine (POSTER) yang terdiri dari Posturing/ pergerakan yang abnormal,
masalah orofaringeal, strabismus, masalah tonus, evolutional maldevelopment,
dan refleks (meningkatnya refleks tendon/ menetapnya refleks babinski) dimana
apabila ditemukan empat keabnormalan dari enam kriteria tersebut sangat
mendukung diagnosis Cerebral palsy. Pada pasien ini ditemukan empat kriteria
dari enam kriteria diatas yaitu, pada pasien ini ditemukan adanya postur tubuh
yang tidak seperti anak noemal lainnya, masalah orofaringeal yaitu sering ngences

31
yang tidak disadari meskipun dalam keadaan beraktifitas, hipertonus, dan
ditemukan adalanya refleks babinski.
Dilihat dari onset dan kronologi, Cerebral Palsy merupakan suatu penyakit
kronik dan tidak progresif, hal ini dapat ditunjukkan di kasus dimana orang tua
pasien mengaku anaknya mengalami keterlambatan baik dari pertumbuhan dan
perkembangan dari usia 6 bulan sampai sekarang.
Spastik diplegia merupakan tipe anatomikal yang paling sering pada
pasien Cerebral palsy yaitu sekitar lebih dari 50%. Orang tua pasien mengaku
bahwa pasien mengalami kaki yang lemah dan sering jatuh saat berjalan serta
fungsi tangan yang kurang terampil yang merupakan salah satu gambaran
Cerebral Palsy tipe Spastik Diplegi yaitu mengenai keempat anggota gerak
dimana kondisi anggota gerak bawah lebih berat dan anggota gerak atas tidak
terlalu mengalami gangguan. Pasien ini masih sempat dapat berjalan meskipun
sedikit kesulitan hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
Selain itu, berdasarkan anamnesis, diketahui bahwa pasien sempat
menderita sakit kuning pada saat berusia 1 minggu dan hal ini berlangsung selama
1 bulan tanpa disertai pengobatan yang adekuat. Berdasarkan teori yang salah
satu, etiologi ataupun faktor resiko dari Cerebral Palsy adalah adanya riwayat
kuning atau ikterus pada masa neonates. Bilirubin yang tinggi yang mencapai
kadar toksik dapat memasuki sel-sel otak akan menyebabkan nekrosis dan lisis
neuron (disebut kern ikterus) kemudian akan diikuti oleh proliferasi neuroglia dan
sikatrik yang hebat yang menimbulkan manifestasi sesuai daerah yang terkena.
Dari pemeriksaan fisik status neurologi, ditemukan adanya refleks
patologis positif, yaitu refleks Babinski yang menunjukkan adanya lesi pada
upper motor neuron yang menghasilkan defisit neurologis system motorik. Selain
itu juga ditemukan adanya gangguan penglihatan berupa nistagmus pada kedua
mata pasien.
Neuroimaging direkomendasikan di lakukan pada pasien yang dicurigai
mengalami Celebral palsy terutama jika etiologinya belum pernah diketahui
sebelumnya, dimana pemeriksaan dengan menggunakan MRI lebih
dipertimbangkan dibanding pemeriksaan CT Scan. Hasil pemeriksaan penunjang
pasien ini, yaitu MRI kepala, ditemukan kesan gangguan myelinisasi dari deep

32
white matter pada area periventrikel lateralis kanan kiri yang menunjukkan
adanya gangguan prematuritas ataupun ketidakmatangan pembuluh darah otak
yang menyebabkan kecenderungan hipoperfusi ke white matter area. Dimana
bagian ini merupakan daerah-daerah yang membawa serat neuron yang
bertanggung jawab atas control motor dan tonus otot kaki dan dapat
bermanifestasi menjadi kelainan berupa diplegia spastik yaitu kelenturan dominan
dan kelemahan kaki, dengan atau tanpa keterlibatan lengan tingkat yang lebih
rendah.
Tidak terdapat pemeriksaan laboratorium khusus yang dilakukan untuk
pemeriksaan penunjang pada pasien CP, hanya saja dilakukan beberapa
pemeriksaan darah lengkap dan hormon tiroid ntuk menyingkirkan penyebab lain
retardasi metal. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap serta kadar
TSG dan FT4 serum dimana tidak terdapat kelainan sehingga menyingkirkan
penyebab lain retardasi mental.
Terapi yang diberikan pada pasien ini sudah mencakup penanganan
terhadap kondisi umum serta disfungsi motorik pasien itu sendiri. Terapi terhadap
kondisi umum pasien adalah memberikan edukasi kepada keluarga pasien agar
tetap menjaga pola makan yang baik dan higienitas yang baik agar kondisi umum
pasien tidak jatuh ke dalam kondisi yang buruk akibat disfunggsi motorik itu
sendiri. Sedangkan terapi untuk disfungsi motoriknya sendiri diberikan
neurovitamin serta vitamin B Compleks untuk menjaga tidak terdapat perburukan
dari disfungsi motoriknya itu sendiri, pada pasien ini tidak diberikan terapi
medikasi oral untuk penanganan spastisitas ototnya karena telah dilakukan terapi
fisioterapi yang sejauh ini telah cukup membantu mengurangi spastisitas otot
pasien. Tidak dilakukan terpai neurosurgikal pada pasien ini karena selain invasif,
terpai tersebut hanyalah dilakukan jika terapi yang diambil sebelumnya
mengalami kegagalan. Pada pasien ini tidak terdapat distonia sehingga tidak
diberikan pengobatan terhadap distonia. Berdasarkan teori sebaiknya dilakukan
terapi komunikasi dan kognitif untuk meningkatkan kemampuan komuikasi dan
kemampuan kognitif pasien sehingga diharapkan nantinya akan meningkatkan
kemampuan mandiri paisn dan kemampuan hidup di suatu komunitas, pada pasien
ini terapi tersebut sudah dilakukan melalui edukasi terhadap keluarga bagaimana

33
cara melatih pasien untuk berkomunikasi dan latihan-latihan yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan kognitifnya.

34

Anda mungkin juga menyukai