Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Cerebral Palsy (CP) atau Palsi Serebral merupakan penyebab utama


disabilitas anak, dan pertama kali dijelaskan oleh James Little, seorang ahli bedah
ortopedi pada tahun 1862. CP berdasarkan hasil International Worshop on
Definition and Classification of CP dijelaskan sebagai suatu kelompok penyakit
yang menetap/permanen pada perkembangan gerakan dan postural dan
menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik, yang disebabkan karena gangguan non-
progresif pada perkembangan otak fetus atau anak.1,2

Sekitar 17 juta penduduk di dunia menderita CP. Prevalensi secara umum


dari CP mencapai 2 – 2,5 per 1000 kelahiran hidup pada negara maju. Pada negara
berkembang, prevalensi CP diperkirakan mencapai 1,5 – 1,6 per 1000 kelahiran
hidup. Kelahiran preterm meningkatkan angka kejadian CP. Penyebab/etiologi CP
bervariasi, dan sebagian besar (50%) belum diketahui. Faktor risiko CP
multifaktorial, di antaranya adalah kelahiran preterm, intrauterine growth
restriction (IUGR), jenis kelamin laki-laki, infeksi intrauterin, kelainan tiroid
maternal, skor APGAR rendah, dan asfiksia.3,4

CP merupakan suatu kondisi yang tidak jarang dijumpai di klinik. Kondisi


ini meliputi banyak spektrum klinis yang berbeda. CP disebabkan oleh banyak
penyebab dan faktor risiko. Sangatlah penting untuk mengetahui interaksi dari
berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan CP. Dalam banyak kasus,
penyebab CP mungkin tidak dapat ditelusuri sepenuhnya. Kondisi tersebut
menimbulkan tantangan diagnostik dan terapeutik kepada dokter dengan tingkat
keterlibatan mulai dari ringan dengan cacat minimal sampai berat, terkait dengan
beberapa kondisi komorbiditas.3,6

Manifestasi klinis pada penderita CP tidak hanya tampak pada kelainan


motorik. Seringkali pasien dengan CP juga mengalami kelainan pada sensasi,
persepsi, kognisi, komunikasi, perilaku, epilepsi, dan kelainan muskuloskeletal
sekunder. CP sering dikaitkan dengan banyak defisit seperti keterbelakangan

1
mental, gangguan bicara, bahasa, dan oromotor. Hal ini perlu mendapat perhatian
sebagai bagian dari pemeriksaan awal. Penilaian menyeluruh terhadap
perkembangan saraf anak dengan CP harus mencakup evaluasi terkait defisit
sehingga program intervensi dini yang komprehensif dapat direncanakan dan
dilaksanakan. Pemerikaan penunjang dengan teknik pencitraan radiologi juga
dapat membantu pemeriksa untuk mengetahui adanya kelainan otak yang
mendasari.3,4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
CP menurut International Worshop on Definition and Classification of CP
pada tahun 2007 adalah suatu kelompok penyakit yang menetap/permanen
pada perkembangan gerakan dan postural dan menyebabkan keterbatasan
aktivitas fisik, yang disebabkan oleh gangguan non-progresif pada
perkembangan otak fetus atau anak.1 Brunner dan Suddarth mengartikan
kata cerebral itu sendiri adalah otak, sedangkan palsy adalah kelumpuhan,
kelemahan, atau kurangnya pengendalian otot dalam setiap pergerakan
atau bahkan tidak terkontrol. Gangguan motorik yang tampak dapat
disertai gangguan pada sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi dan
perilaku, epilepsi, dan gangguan muskuloskeletal sekunder. Spektrum
klinis CP dapat bervariasi mulai dari disabilitas motorik ringan sampai
berat.1,2

2.2 Epidemiologi
Prevalensi CP pada beberapa tahun terakhir tidak banyak mengalami
perubahan. Sekitar 17 juta penduduk di dunia menderita CP. Prevalensi CP
di negara maju mencapai 2 – 2,5 per 1000 kelahiran hidup. Pada negara
berkembang, prevalensi CP belum banyak diketahui, namun diperkirakan
melebihi 1,5 – 1,6 per 1000 kelahiran hidup.3,4 Kelahiran preterm
meningkatkan angka kejadian CP. Pada bayi sangat preterm (<32 minggu)
dengan berat sangat rendah (<1500 gram), ditemukan nilai psikomotor
(Bayley Scales of Infant Development) yang lebih rendah 1 standar deviasi
(SD) dibanding bayi aterm.5

3
2.3 Etiologi
2.3.1 Etiologi Kongenital
Seluruh kelompok kelainan perkembangan kongenital
menyebabkan CP dimasukkan ke dalam kelompok ini. Kelainan ini
diakibatkan oleh gangguan yang terjadi pada perkembangan
normal dan mengikuti pola berdasarkan kegagalan formasi normal.
Neural tube defect adalah kelainan bentuk yang paling awal yang
menyebabkan kelangsungan hidup dengan cacat motorik. Neural
tube defect yang paling umum terjadi di tulang belakang dan
dikenal dengan meningomyelocele. Namun, lesi ini biasanya tidak
menyebabkan CP, namun justru menyebabkan kelumpuhan tulang
belakang. Di otak biasanya terjari ensefalokel. Ensefelokel anterior
terjadi paling sering di Asia, sedangkan ensefalokel posterior
paling sering terjadi di Eropa Barat dan Amerika dan
mempengaruhi oksiput posterior.3,8
2.3.2 Etiologi Neonatal
Penyebab neonatal dan prenatal CP terutama terkait dengan
prematuritas dan masalah persalinan, yang menyebabkan berbagai
pola cedera. Namun, otak yang belum matang memiliki lebih
banyak kelenturan atau plastisitas. Potensi otak yang seperti ini
membuat respons terhadap cedera jauh berbeda dari pada otak yang
matang.3,8
Prematuritas dan perdarahan pada otak yang saat inijauh
lebih baik dipahami karena meluasnya penggunaan Ultrasonografi
(USG) kranial, di mana otak bayi dapat diperiksa melalui fontanel
anterior yang terbuka. Gambaran ini memberikan pengertian yang
baik mengenai ventrikel dan white matter periventrikular. Ini
adalah daerah di mana perdarahan terjadi, dan faktor risiko utama
untuk dapat menyebabkan perdarahan adalah usia gestasi dan
ventilasi mekanis pada usia yang lebih muda.8

4
2.4 Faktor Risiko
CP adalah kondisi heterogen dengan banyak penyebab; beberapa tipe
klinis; beberapa pola neuropatologi pada pencitraan otak (brain imaging);
beberapa perkembangan terkait patologi, seperti: cacat intelektual,
autisme, epilepsi, dan gangguan penglihatan; dan baru-baru ini beberapa
variasi genetik patogen langka (mutasi). CP memiliki beberapa faktor
risiko, diantaranya:8
a. Birth asphyxia (asfiksia pada saat proses melahirkan)
b. Preterm delivery (bayi lahir prematur)
c. Infeksi intrauterin
d. Respon inflamasi fetus abnormal dan trombofilia
e. Multiple pregnancy
f. Kelainan kongenital bawaan

2.5 Manifestasi Klinik dan Klasifikasi


Manifestasi klinik CP bergantung pada lokalisasi dan luasnya jaringan
otak yang mengalami kerusakan, apakah pada korteks serebri, ganglia
basalis atau serebelum. Dengan demikian secara klinik dapat dibedakan 3
bentuk dasar gangguan motorik pada CP, yaitu: spastisitas, atetosis dan
ataksia. Spastisitas terjadi terutama bila sistem piramidal yang mengalami
kerusakan, meliputi 50-65% kasus CP. Spastisitas ditandai dengan
hipertoni, hiperrefleksi, klonus, refleks patologik positif. Kelumpuhan
yang terjadi mungkin monoplegi, diplegi/hemiplegi, triplegi atau
tetraplegi. Kelumpuhan tidak hanya mengenai lengan dan tungkai, tetapi
juga otot-otot leher yang berfungsi menegakkan kepala. Di bawah ini
dijabarkan 3 bentuk dasar tersebut:2
a. Atetosis meliputi 25% kasus CP, merupakan gerakan- gerakan
abnormal yang timbul spontan dari lengan, tungkai atau leher yang
ditandai dengan gerakan memutar mengelilingi sumbu "kranio-
kaudal", gerakan bertambah bila dalam keadaan emosi. Kerusakan
terletak pada ganglia basalis dan disebabkan oleh asfiksi berat atau
jaundice.

5
b. Ataksia. Bayi/anak dengan ataksia menunjukkan gangguan koordinasi,
gangguan keseimbangan dan adanya nistagmus. Anak berjalan dengan
langkah lebar, terdapat intention tremor meliputi 5%. Lokalisasi lesi
yakni di serebelum.
c. Rigiditas, merupakan' bentuk campuran akibat kerusakan otak yang
difus. Di samping gejala-gejala motorik, juga dapat disertai gejala-
gejala bukan motorik, misalnya gangguan perkembangan mental,
retardasi pertumbuhan, kejang-kejang, gangguan sensibilitas,
pendengaran, bicara dan gangguan mata.
Berdasarkan manifestasi klinik CP, American Acedemy for Cerebral
Palsy mengemukakan klasifikasi sebagai berikut:2,9
a. Klasifikasi neuromotorik
- Spastik, ialah adanya penambahan pada stretch reflex dan deep
tendon reflex meninggi pada bagian-bagian yang terkena.
- Atetosis, karakteristik ialah gerakan-gerakan lembut menyerupai
cacing, involunter, tidak terkontrol dan tidak bertujuan.
- Rigiditas. Jika bagian yang terkena digerakkan akan ada tahanan
kontinu, baik dalam otot agonis maupun antagonis.
Menggambarkan adanya sensasi lead pipe rigidity.
- Ataksia. Menunjukkan adanya gangguan keseimbangan dalam
ambulasi.
- Tremor. Gerakan-gerakan involunter, tidak terkendali reciprocal
dengan irama yang teratur.
- Mixed.
b. Distribusi topografik dari keterlibatan neuromotorik
- Monoplegi. Terkena salah satu ekstremitas.
- Paraplegi. Yang terkena ialah ekstremitas inferior, selalu tipe
spastik.
- Hemiplegi. Terkena hanya 1 ekstremitas inferior dan 1 superior
pada pihak yang sama. Hampir selalu spastik, kadang-kadang ada
yang atetosis.
- Triplegi. Terkena 3 ekstremitas, biasanya spastik.

6
- Quadriplegi atau tetraplegi. Terkena semua ekstremitas.
- Diplegia. Terkena keempat ekstremitas, ekstremitas inferior lebih
berat.
Klasifikasi berdasarkan beratnya gejala yaitu berdasarkan beratnya
keterlibatan neuromotorik yang membatasi kemampuan penderita untuk
menjalankan aktifitas untuk keperluan hidup (activities of daily living):2,9
a. Ringan. Penderita tidak memerlukan perawatan oleh karena ia tidak
mempunyai problem bicara dan sanggup mengerjakan keperluan
sehari-hari dan dapat bergerak tanpa memakai alat-alat penolong.
b. Sedang. Penderita memerlukan perawatan oleh karena ia tidak cakap
untuk memelihara diri, ambulasi dan bicara. Pasien memerlukan brace
dan alat-alat penolong diri.
c. Berat. Penderita memerlukan perawatan. Derajat keterlibatan demikian
hebat, sehingga prognosis ADL buruk.
Empat sistem klasifikasi fungsional yang umum digunakan dalam CP
yaitu: Sistem Klasifikasi Fungsi Motorik Kasar (GMFCS), Sistem
Klasifikasi Kemampuan Manual (MACS), Sistem Klasifikasi Fungsi
Komunikasi (CFCS), dan Sistem Klasifikasi Kemampuan Makan dan
Minum (EDACS). Langkah-langkah ini terstandarisasi, dapat diandalkan,
dan saling melengkapi satu sama lain.9
A. Sistem Klasifikasi Fungsi Motorik Kasar (GMFCS)
GMFCS adalah yang paling diakui dalam klasifikasi fungsional
CP. GMFCS adalah sistem penilaian ordinal sederhana lima
tingkat yang dibuat untuk menggambarkan motor kasar fungsi
seorang individu dengan CP. GMFCS menjelaskan gerakan yang
dimulai sendiri dan penggunaan alat bantu (pejalan kaki, kruk,
tongkat, kursi roda) untuk mobilitas selama aktivitas biasa
seseorang. Sistem klasifikasi ini awalnya dirancang untuk
digunakan dengan anak-anak usia 2-12 tahun. GMFCS kemudian
diperluas dan direvisi pada tahun 2007 untuk memasukkan usia 12-
18.

7
Berdasarkan versi GMFCS yang direvisi dan diperluas,
individu yang tergabung dalam GMFCS I (tanpa keterbatasan)
individu yang berusia < 2 tahun dapat merangkak di tangan dan
lutut, tarik berdiri, berlayar saat memegang perabotan, dan bisa
berjalan dengan mandiri usia 18 bulan - dua tahun. Antara usia 2-4
tahun, keterampilan termasuk duduk mandiri dan transisi antara
duduk dan berdiri mandiri. Antara 4-6 tahun, individu bisa berjalan
di dalam rumah dan di luar rumah secara mandiri, menaiki tangga,
dan mulai berlari dan melompat. Antara usia 6-12 tahun,
kemampuan tambahan termasuk berjalan di medan yang lebih
curam, berjalan di jarak yang lebih jauh, menaiki tangga tanpa
pegangan/railing, dan berlari dan melompat (yang mungkin
termasuk beberapa keterbatasan). Antara usia 12-18 tahun sama
dengan usia 6-12 tahun.
Seorang anak dalam kelompok GMFCS II bisa berjalan
dengan keterbatasan. Keterbatasan bisa termasuk keseimbangan
atau daya tahan, penggunaan perangkat mobilitas genggam
sebelum usia 4, penggunaan pagar di tangga, atau ketidakmampuan
berlari atau melompat. Seorang anak < 2 tahun dapat duduk dengan
dukungan ekstremitas atas, merangkak di perut mereka, dan
mungkin juga dapat menarik sesuatu untuk berdiri. Antara usia 2-4
tahun, anak dapat beralih ke duduk tanpa dukungan (tapi mungkin
perlu menggunakan ekstremitas atas mereka untuk keseimbangan),
dapat merangkak di tangan dan lutut, dan berjalan dengan
perangkat mobilitas. Antara usia 4-6 tahun, individu dapat
melakukan transisi masuk dan keluar tanpa dukungan, berjalan
menempuh jarak pendek yang rata tanpa alat bantu, tapi tidak
mampu berlari atau melompat. Dari usia 6-12 tahun, individu dapat
berjalan di kebanyakan medan namun memiliki keterbatasan jarak
atau permukaan yang tidak rata, bisa menggunakan mobilitas
beroda untuk jarak jauh, bisa menaiki tangga dengan railing, tapi
mampu melakukan minimal atau tidak berlari dan melompat.

8
Antara usia 12-18 tahun, kemampuannya adalah sama seperti usia
6-12 tahun.
Seorang anak yang tergabung dalam GMFCS III sering
dapat berjalan dengan perangkat mobilitas genggam di dalam
rumah, namun menggunakan mobilitas beroda untuk jarak yang
lebih jauh. Fungsi level GMFCS III menunjukkan kemampuan
untuk duduk dengan sedikit atau tidak ada dukungan eksternal dan
berdiri. Anak di GMFCS III yang berumur < 2 tahun bisa berguling
dan sesekali merangkak maju saat berbaring perut mereka, dan
juga duduk dengan sedikit dukungan rendah. Antara usia 2-4
tahun, seorang anak bisa duduk di lantai dengan beberapa bantuan
masuk ke posisi, merangkak di perutnya atau merayap pada semua
merangkak, dan mungkin menarik sesuatu berdiri dan berjalan
jarak pendek dengan menggunakan perangkat genggam (baby
walker) dengan beberapa bantuan untuk manuver. Dari usia 4-6
tahun, seorang anak bisa duduk dalam standar kursi tapi mungkin
memerlukan dukungan ekstra untuk memungkinkan fungsi
ekstremitas sepenuhnya, berjalan dengan perangkat mobilitas
genggam dan melakukan tangga dengan bantuan. Biasanya,
mobilitas roda digunakan untuk jarak yang lebih jauh. Pada
GMFCS III, anak-anak berusia 6-12 tahun berjalan dengan
perangkat mobilitas genggam di dalam ruangan dan menggunakan
mobilitas beroda (manual atau bertenaga) untuk jarak jauh,
memerlukan bantuan untuk bergerak di antara lantai, duduk dan
berdiri, dan naik tangga dengan bantuan. Untuk usia 12-18 tahun,
kemampuannya sama dengan usia 6-12, namun variabilitas lebih
banyak ditunjukkan.
Individu yang tergabung dalam GMFCS IV dapat duduk
didukung, namun mobilitas personal seringkali terbatas, diangkut
di kursi roda manual atau menggunakan mobilitas bertenaga.
Anak-anak < 2 tahun mampu memutar balik badan, tapi butuh
dukungan untuk duduk. Antara usia 2-4 tahun, seorang anak di

9
GMFCS IV bisa duduk dengan dukungan ekstremitas atas,
memerlukan bantuan untuk beralih ke duduk, dan mungkin
memerlukannya peralatan adaptif untuk duduk atau berdiri. Dari
usia 4-6 tahun, anak-anak memerlukan peralatan adaptif untuk
memungkinkan duduk dan bantuan untuk berpindah posisi. Anak-
anak dapat berjalan jauh dengan perangkat mobilitas dengan
bantuan, menggunakan mobilitas beroda, dan/atau mandiri dengan
mobilitas bertenaga. Anak-anak pada GMFCS IV usia 6-12 tahun
membutuhkan tempat duduk dan bantuan yang disesuaikan, dan
memanfaatkan mobilitas beroda, mobilitas mandiri, atau manual
dengan bantuan di kebanyakan setting. Kebanyakan dapat
melakukan mobilitas di lantai secara independen dengan
merangkak atau bergulir, atau mungkin berjalan jarak dekat dengan
bantuan. Untuk usia 12-18, kemampuannya sama dengan usia 6-12
tahun.
Anak yang tergolong dalam GMFCS V memiliki
keterbatasan yang lebih berat dengan mobilitas diri hanya
dimungkinkan dengan menggunakan kursi roda. Anak-anak
GMFCS V usia < 2 tahun tidak memiliki kontrol yang independen
dan memerlukan bantuan untuk berguling. Antara usia 2-4 tahun,
seorang anak kecil tidak memiliki gerakan independen dan
memerlukan bantuan transportasi dengan menggunakan perangkat
mobilitas manual. Peralatan adaptif diperlukan untuk duduk dan
berdiri, namun fungsinya masih terbatas. Dari usia 4 tahun dan
seterusnya, kemampuan anak-anak di GMFCS V stabil dengan
kebutuhan untuk bantuan lengkap dengan transfer muncul setelah
usia 6 tahun.

B. Sistem Klasifikasi Kemampuan Manual (MACS)


Sistem Klasifikasi Kemampuan Manual (MACS) juga sederhana,
lima poin sistem klasifikasi ordinal, analog dan komplementer
dengan GMFCS, dan dirancang untuk digunakan pada anak usia 4-

10
18 tahun. MACS adalah ukuran yang divalidasi dalam CP yang
dapat digunakan untuk mengklasifikasikan penggunaan khas anak
dari kedua tangan dan tungkai atas.
Seseorang yang tergolong MACS I dapat menangani objek
dengan mudah dengan kemungkinan beberapa keterbatasan dengan
benda yang sangat kecil, rapuh atau berat, atau keterbatasan dengan
kontrol motorik halus, namun keterbatasan ini tidak membatasi
independensi dalam aktivitas sehari-hari. Klasifikasi MACS II
menunjukkan tingkat penurunan kinerja saat menangani benda;
kinerjanya mungkin lebih lambat dan mungkin dipengaruhi oleh
fungsi tangan asimetris. Seseorang dapat menggunakan cara
alternatif untuk menangani objek, namun tetap mandiri dalam
aktivitas sehari-hari. Seorang individu di MACS III menangani
objek secara perlahan dan seringkali dengan keberhasilan yang
terbatas, membutuhkan bantuan atau pengaturan untuk kegiatan.
Beberapa kegiatan bisa selesai mandiri dengan adaptasi dan
persiapan yang tepat, namun kegiatan lainnya tidak memadai
dilakukan tanpa bantuan. Fungsi MACS IV menunjukkan adanya
kebutuhan akan dukungan terus-menerus dan bantuan atau
penggunaan peralatan yang disesuaikan untuk melengkapi hanya
bagian dari aktivitas sehari-hari, dengan ketidakmampuan untuk
menyelesaikan aktivitas penuh. Individu di MACS V tidak dapat
melakukan kegiatan sehari-hari dan mungkin bisa berpartisipasi
minimal dengan gerakan sederhana atau mungkin memerlukan
bantuan total.

11
C. Sistem Klasifikasi Fungsi Komunikasi (CFCS)
Sebanyak 31% sampai 88% individu dengan CP diperkirakan
memiliki gangguan komunikasi. CFCS adalah sederhana, lima titik
sistem klasifikasi ordinal, dan dirancang untuk menjadi analog dan
komplementer GMFCS dan MACS. Menjadi komunikator yang
efektif membutuhkan pengiriman dan penerimaan informasi, dan
CFCS menilai secara baik bagaimana informasi diungkapkan dan
diterima. CFCS memungkinkan semua metode komunikasi
(vokalisasi, tanda tangan manual, tatapan mata, gambar, papan
komunikasi, alat penghubung suara) untuk disertakan saat menilai
klasifikasi individu.
Seseorang yang berkomunikasi pada tingkat CFCS I
dikenal sebagai "pengirim dan penerima yang efektif dengan mitra
yang tidak dikenal dan akrab". Individu mampu berkomunikasi
dengan kecepatan yang nyaman, mengirim dan menerima
informasi dengan pasangan yang familier dan tidak dikenal, dan
kesalahpahaman mudah dikoreksi. Seseorang yang berkomunikasi
pada tingkat CFCS II tetap efektif dalam berkomunikasi, namun
kecepatan komunikasi lebih lambat. Seseorang pada tingkat ini
dikenal sebagai "pengirim dan penerima yang efektif tapi lambat
dengan mitra yang tidak dikenal dan/atau familiar". Seseorang
yang berkomunikasi pada tingkat CFCS III dikenal sebagai
"pengirim dan pengirim yang efektif dengan mitra akrab". Pada
tingkat CFCS IV, seorang individu adalah "pengirim dan penerima
yang tidak konsisten dengan mitra akrab". Seseorang yang
berkomunikasi pada tingkat CFCS V adalah "pengirim atau
penerima yang jarang efektif sekalipun pada mitra akrab". Hal ini
berbeda dengan tingkat IV dimana pada tingkat V secara konsisten
memiliki komunikasi yang tidak efektif.
D. Sistem Klasifikasi Kemampuan Makan dan Minum (EDACS)
Selain gangguan fungsi motorik kasar, fungsi motorik halus dan
komunikasi, individu dengan CP juga dapat memiliki gangguan

12
dalam makan dan minum, sebagai akibat dari kesulitan kontrol
motor. Antara 27% dan 90% orang dengan CP diperkirakan
mengalami beberapa tingkat kesulitan dengan makan atau minum.
EDACS merupakan ukuran yang valid untuk menilai makan dan
kemampuan minum untuk anak-anak dengan CP, usia 3 tahun ke
atas. Klasifikasi ini sederhana sistem ordinal lima titik, dirancang
untuk menjadi analog dan saling melengkapi dengan GMFCS,
MACS dan CFCS.
EDACS menilai keamanan makan dan minum (aspirasi dan
tersedak) serta efisiensi (jumlah makanan hilang dan waktu yang
dibutuhkan untuk makan). EDACS juga menambahkan tiga poin
ordinal tambahan skala yang membahas jumlah bantuan yang
dibutuhkan seseorang: mandiri, membutuhkan bantuan, atau
tergantung untuk makan dan minum.
Seorang individu di EDACS I dapat secara mandiri makan
dan minum dengan aman dan efisien, tidak berbeda dari teman
sebayanya. Batuk atau muntah bisa hadir. Seorang individu di
EDACS II makan dan minum dengan aman, mungkin memiliki
beberapa keterbatasan dalam hal kehilangan makanan, dan
umumnya membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyelesaikan
makanan daripada teman sebayanya. Batuk mungkin hadir dengan
cairan atau makanan keluar. Kedua EDACS I dan II mencakup
kemampuan untuk makan berbagai macam tekstur dan konsistensi
seuai dengan teman sebayanya. Pada EDACS III, seorang individu
makan dan minum dengan beberapa keterbatasan keamanan dan
efisiensi. Benjolan keras makanan mungkin sulit diatur, dengan
risiko tersedak. Banyak individu di EDACS III terutama memakan
makanan yang dihaluskan. Batuk mungkin hadir dengan cairan
atau bolus makanan. Sebagai perbandingan, seorang individu di
EDACS IV atau V tidak dapat menelan makanan dan minuman
tanpa risiko aspirasi. Pada EDACS IV, risiko aspirasi dapat
diantisipasi, dan pemberian makanan oral mungkin dilakukan.

13
Seorang individu di EDACS IV akan makan purees halus atau
makanan tumbuk saja. Koordinasi menelan dan bernapas yang
terganggu menjadi tanda aspirasi. Seorang individu di EDACS V
tidak dapat makan atau minum bergantung pada tabung memberi
makan nutrisi. Mereka yang berada di EDACS V berisiko tinggi
untuk aspirasi EDACS juga menilai tingkat bantuan yang
dibutuhkan untuk memberi makan, melalui tiga poin sederhana
sistem klasifikasi (independen, membutuhkan bantuan, atau sangat
tergantung).

2.6 Diagnosis
Diagnosis CP umumnya dibuat berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan
fisik dan neurologis yang lengkap adalah wajib untuk diagnosis yang
akurat. Evaluasi perkembangan serial mungkin diperlukan di anak muda
untuk diagnosis dan tindak lanjut yang tepat. Evaluasi genetik harus
dipertimbangkan pada pasien dengan malformasi genital (kromosom) atau
bukti kelainan metabolik.3
Pada anamnesis perlu diketahui mengenai riwayat prenatal,
persalinan dan postnatal yang dapat dikaitkan dengan adanya lesi otak.
Tahap-tahap perkembangan fisik anak harus ditanyakan, seperti kapan
mulai mengangkat kepala, membalik badan, duduk, merangkak, berdiri
dan berjalan.2,3
Pada pemeriksaan fisik diperhatikan adanya spastisitas
lengan/tungkai, gerakan involunter, ataksia dan lain-lain. Adanya refleks
fisiologik seperti refleks moro dan tonic neck reflex pada anak usia 4 bulan
harus dicurigai adanya CP. Demikian pula gangguan penglihatan,
pendengaran, bicara dan menelan, asimetri dari kelompok otot-otot,
kontraktur, dan tungkai yang menyilang menyerupai gunting.2,3

14
Diagnosis CP secara klinis menggunakan kriteria yang
diperkenalkan oleh Levine (POSTER). POSTER dapat diperjelas seperti di
bawah ini:10
 P : Posturing / pergerakan abnormal
 O : Oral motor patterns (contohnya: tongue thrust,
gangguan
Gangguan menelan
 S : Strabismus
 T : Tone (hiper / hipotonus
 E : Evolutional maldevelopment. (reflek primitif persisten,
reflek ekuilibirum gagal berkembang
 R : Reflexes. Peningkatan deep tendon reflex, reflex
Babinski
persisten

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Untuk menyingkirkan diagnosis banding maupun untuk keperluan
penanganan penderita, diperlukan beberapa pemeriksaan khusus.
Pemeriksaan yang sering dilakukan ialah:3
a. USG kranial dilakukan pada periode neonatal awal dapat
menggambarkan kelainan struktural yang jelas dan menunjukkan
bukti perdarahan atau cedera hipoksia iskemik.
b. CT-Scan otak membantu mengidentifikasi malformasi, perdarahan
intrakranial, dan periventrikular leukomalacia pada bayi lebih jelas
daripada ultrasonografi.
c. MRI lebih disukai daripada CT-scan karena mendefinisikan
kortikal dan struktur white matter dan kelainannya lebih jelas
daripada metode lainnya. Hal ini juga memungkinkan penentuan
mielinasi yang tepat untuk usia tertentu. Hasil dari MRI janin telah
membuahkan hasil memahami banyak kelainan otak. Semua anak
dengan CP harus dilakukan MRI untuk memberikan informasi
tentang waktu dan luasnya lesi. Neuro-imaging saat ini

15
direkomendasikan sebagai standar evaluasi pada anak dengan CP,
dengan MRI sebagai studi neuro-imaging diagnostik pilihan.

2.8 Tatalaksana
Terdapat dua pembagian besar untuk melakukan terapi terhadap pasien
dengan CP, yaitu berdasarkan jenis permasalahan yang dihadapi. Perlu
dilakukan beberapa pendekatan terapi yang dilakukan guna meningkatkan
kondisi umum pasien, disfungsi motorik, aktivitas sehari hari, dan
permasalahan komunikasi dan kemampuan kognitifnya.
2.8.1. Kondisi Umum
Pasien CP dapat jatuh ke dalam gangguan gizi pada beberapa
kelompok pasien CP, sehingga banyak pasien akan jatuh ke dalam
kondisi gizi buruk yang berakhir pada kegagalan pertumbuhan dan
perburukan dari kondisi pasien. Sehingga perlu dilakukan
pengaturan dan pemantauan diet yang baik sehingga status gizi
pasien dapat dikontrol. Selain itu menjaga higienitas pasien perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi terutama pasien-
pasien yang belum mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara
mandiri.11
Suatu model intervensi berupa familly centered intervention
merupakan skema gabungan keluarga dengan berbagai
multidipliner yang berfokus pada pasien dan keluarga. Pendekatan
ini bermanfaat untuk kelanjutan dari terapi pasien dan peningkatan
penanganan pasien secara komprehensif yang berdampak pada
pencegahan perburukan pada pasien dengan CP. Sehingga
monitoring terhadap gangguan lain seperti: gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, kejang, gangguan asupan nutrisi, gangguan
higienitas, serta komplikasi seperti: dislokasi sendi dapat dikenali
dan ditangani dengan tepat.14

16
2.8.2. Terapi disfungsi motorik
Pasien dengan CP memiliki gangguan disfungsi motorik berupa
spasme otot dan distonia motorik. Pada pasien yang mengalami
spastik fokus terapi adalah mengurangi spastik dan mencegah
terjadinya kontraktur dan meningkatkan fungsi motorik pasien.
Target terapi pada pasien yang mengalami distonia adalah
mengurangi kejadian distonia pada pasien.12,13
A. Terapi Spastik
- Terapi Fisik
Hipertonus dan berkurangnya motror kontrol akan
menyebabkan berkurangnya fungsi sendi dan meningkatkan
terjadinya kontraktur pada sendi-sendi. Maka dari itu perlu
dilakukan berbagai macam fisioterapi untuk mencegah
timbulnya kontraktur pada pasien CP. Terdapat beberapa
metoda yang terbukti telah mencegah dan mengurangi
terjadinya spastik pada pasien CP.12,13
a. Fisioterapi dan terapi okupasi
Tujuan terapi fisioterapi ini adalah untuk meningkatkan
fungsi motorik kasar dan kemampuan mobilitas pasien
seperti mengatur posisi, duduk tegak, berjalan, dan
menggunakan kursi roda. Pada terapi okupasi bertujuan
untuk melatih fungsi motorik halus, fungsi motor-
visual, fungsi sensoris, dan fungsi proses yang
berdampak pada kemampuan pasien CP untuk
melakukan aktivias sehari-hari (activity daily living)
seperti: mandi, makan, mengganti baju, menjaa
kebersihan diri, bahkan hingga kemampuan menulis.
Dengan terapi ini diharapkan pasien akan mampu hidup
secara mandiri.13

17
b. Edukasi konduktif
Terapi konduktif adalah kombinasi antara edukasi dan
pendekatan dengan memberi tugas sehari-hari terhadap
pasien CP. Diharapkan dari terapi ini adalah untuk
melatih fungsi koordinasi tangan dan aktivitas sehari-
hari.13
c. Terapi exercise
Terdapat berbagai metode yang dapat digunakan untuk
mengurangi spastisitas pada pasien CP, antara lain:
terapi passive streching, static weight bearing, strength
trainings, dan fitness traineng. Passive streching dapat
dilakukan dengan manual ataupun dengna bantuan alat.
Tujuan dari passive streching ini adalah untuk
meningkatkan jangkauan pergerakan sendi dan
mengurangi spastisitas. Static weight bearing bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan
mineralisasi tulang, mencegah dislokasi, meningkatkan
nafsu makan dan meningkatkan fungsi pengaturan
sfingter. Strength training berfokus untuk menguatkan
otot antagonis pada otot yang mengalami spastik,
sehingga meningkatkan kemampuan gerak dari pasien.
Fitness training merupakan perpaduan latihan aerobik
dan latihan anaerobik yang bertujuan untuk
meningkatkan postur tubuh, perbaikan fungsi berjalan,
dan meningkatkan kualitas hidup pasien.13
- Terapi Medikasi Oral
Spastisitas merupakan manifestasi dari sindrom upper
motor neuron. Gangguan ini mengakibatkan defisiensi
kekuatan otot, gangguan postur, gangguan berjalan, dan
meningkatkan resiko kontraktus dan sublaksasi. Terdapat
beberapa jenis medikasi yang dapat digunakan untuk terapi

18
spastik, antara lain diazepam, baclofen, dantrolene, dan
tiazanidine.12
Tabel 1. Terapi Medikasi Oral Spastik11

- Terapi Medikasi Intramuskular


Merupakan terapi yang langsung menargetkan otot-otot
yang bersifat lokal. Prosedur ini bekerja dengan
memblikade sistem neuromuscular. Terdapat dua jenis
medikasi intramuskular yang tersedia adalah: phenol dan
botolinum A.12,13

19
Tabel 2. Terapi Medikasi Intramuskular Spastik12

- Terapi Neurosurgical
Terapi neurosurgikal diambil jika pasien mengalami
kegagalan terapi pada terapi fisik, terapi oral maupun terapi
injeksi intramuskular atau pada pasien-pasien yang
mengalami spastisitas yang berat. Terdapat dua teknik
adalah dorsal rhizotomi dan intratecal baclofen.12
B. Terapi Distonia
- Terapi Medikasi Oral
Terdapat dua medikasi yang dapat digunakan untuk
mengobati distonia pada pasien CP, yaitu levodopa dan
triheksipenidil (Tabel xx). Kedua jenis obat ini bekerja
pada tempat yang berbeda di sistem saraf pusat, levodopa
bekerja dengan menghibisi decarboksilasi dopamin perifer,
sedangkan triheksipenidil bekerja sebagai antagonis dari
reseptor asetilkolin.12

20
Tabel 3. Terapi Medikasi Oral Distonia12

- Terapi Medikasi Intramuskular


Terapi intramuskular yang dapat diberikan adalah
Botulinum toxin. Terapi ini dapat diberikan kepada pasien
yang mengalami distonia secara lokal maupun secara
generalisata. Pemberian Botulinum toxin diberikan kepada
otot yang mengalami distosi paling berat ataupun pada otot
yang dirasa paling nyeri.12,13
- Terapi Neurosurgical
Terapi neurosurgical dapat dilakukan pada pasien CP yang
mengalami resisten terhadap pengobatan oral maupun
intramuskular ataupun pada pasien yang mengalami
distonia berat. terdapat dua prosedur yang dapat dilakukan,
yaitu intrathecal baclofen pump placement dan deep brain
stimulation.12
2.8.3. Terapi Komunikasi dan kognitif
Perlu diberikan terapi bicara maupun terapi kognitif. Terapi ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan
kemampuan kognitif pasien sehingga diharapkan nantinya akan
meningkatkan kemampuan mandiri pasien, dan kemampuan hidup
di dalam suatu komunitas. Terapi ini memerlukan gabungan dari

21
orang tua dan berbagai disiplin ilmu, antara lain: guru pengajar
khusus, terapis bicara, psikolog dan psikiater. Selain itu perlu
diberikan pengatan keluarga untuk mengajar dan merawat pasien
CP.14,15

2.9 Prognosis
Mortalitas dari pasien dengan CP sangat bergantung kepada seberapa besar
gangguan yang dialami oleh pasien, baik gangguan motorik seperti
maupun gangguan non motorik, seperti: penglihatan dan pendengaran.
Selain itu kemampuan kognitif pasien juga berpengaruh terhadap
kemampuan bertahan hidup pasien hingga dewasa.15
Prognosis kemandirian pasien sangat tergantung pada fungsi motor
secara keseluruhan, baik dalam fungsi motorik kasar dan motorik halus.
Setelah dewasa kemampuan bekerja pasien sangat bergantung pada
kemampuan motorik, kemampuan kognitif, kemampuan komunikasi, dan
kemampuan tangan.15

22

Anda mungkin juga menyukai