Lapsus
Lapsus
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. IR
TL : 8 Juli 1978
Umur : 39 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : SKIP
No. RM : 11.78.48
Tanggal MRS : 12/07/2017
2. SUBJEKTIF
ANAMNESIS
a. Keluhan Utama: Sesak nafas
b. Keluhan Tambahan: nyeri dada, mual, muntah, lemas, pusing, kaki
bengkak.
c. Anamnesis Terpimpin : Pasien datang dengan keluhan sesak nafas
dirasakan ± 1 bulan SMRS dan dirasakan semakin berat. Sesak nafas
dirasakan bersama dengan adanya nyeri dada yang hilang timbul.
Pasien juga mengeluh lemas, mual, muntah dan sering merasa pusing
dan cepat lelah. Pasien mengaku ada pembengkakan pada kedua kaki.
Nafsu makan pasien berkurang, minum baik, belum BAB sudah 3 hari,
BAK sedikit, jernih dan tidak ada darah. Pasien sempat dirawat di RS.
Bhakti Rahayu sejak tanggal 06/07/2017 dan dirujuk ke RSUD M.
Haulussy untuk dilakukan cuci darah.
d. Riwayat Penyakit Dahulu: Hipertensi (+), DM (-)
e. Riwayat Pengobatan:
Amlodipine, ranitidine, ceftriaxone, ketorolac.
1
3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum: Tampak sakit berat
b. Status Gizi: Cukup (BB: 54 kg, TB: 154 cm, IMT: 22,78 kg/m2 )
c. Kesadaran: Compos Mentis
d. Tanda Vital:
- Tekanan Darah : 180/100 mmHg
- Nadi : 110x/menit, lemah, regular
- Pernapasan : 28x/menit
- Suhu : 37,1° Celcius
e. Kepala:
- Bentuk kepala : normocephal
- Simetris Wajah : simetris
- Rambut : hitam, merata, tidak mudah tercabut
f. Mata:
- Bola mata: eksoftalmus/endoftalmus (-/-)
- Gerakan: bisa ke segala arah, strabismus (-/-)
- Kelopak mata: xanthelasma (-/-), edema (+/-)
- Konjungtiva: Anemis (+), ikterus (-/-)
- Pupil: isokor (3 mm/3 mm), refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+)
- Kornea: pterigium (-/-), injeksi siliaris (-/-)
g. Telinga:
- Aurikula: tofus (-/-), sekret (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-)
- Pendengaran: kesan normal
- Prosesus mastoideus: nyeri tekan (-/-)
h. Hidung:
- Cavum nasi: lapang (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
i. Mulut:
- Bibir: sianosis (-), tampak kering
- Tonsil: T1/T1 tenang, hiperemis (-)
2
- Gigi: intak (-)
- Faring: sulit dievaluasi
- Gusi: perdarahan (-)
- Lidah: kandidiasis oral (-), lidah kotor (-)
j. Leher:
- Kelenjar getah bening: pembesaran (-)
- Kelenjar tiroid: Tidak teraba
- DVS: JVP = 5-2 cmH2O
- Pembuluh darah: Venektasi (-), pulsasi abnormal (-)
- Kaku kuduk: negatif
- Tumor: tidak ada
k. Dada:
- Inspeksi: simetris ki = ka, pembengkakan abnormal (-), gerakan
dada kiri tertinggal saat bernapas dan pergerakan dada kanan
mengikuti pola bernapas.
- Bentuk: Normochest
- Pembuluh darah: venektasi (-), spider naevi (-),
- Buah dada: simetris ki = ka, tanda radang (-)
- Sela iga: pelebaran (-), retraksi (-)
- Atrofi M. Pectoralis Mayor (-)
l. Paru:
- Palpasi: Fremitus raba simetris ki = ka, nyeri tekan (-), pelebaran
iga (-)
- Perkusi: Paru kanan sonor, paru kiri bagian depan pekak pada ICS
V sampai ICS X, batas paru hepar di ICS IV, batas paru belakang
kanan di vertebra torakalis X, batas paru belakang kiri di vertebra
torakalis XI
- Auskultasi: bunyi pernapasan vesikuler, bunyi tambahan ronki (-),
Wheezing (-)
m. Jantung:
- Inspeksi: ictus cordis tidak tampak
3
- Palpasi: ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicula sinistra
- Perkusi: redup, batas jantung di ICS III-IV linea parasternalis
dextra, pinggang jantung di ICS III sinistra (2-3 cm dari mid
sternum), batas kiri jantung di ICS V linea midclavicularis sinistra.
- Auskultasi: bunyi jantung I, II regular murni, murmur(-), gallop (-).
n. Perut:
- Inspeksi: datar, striae (+), caput medusae (-)
- Palpasi: nyeri tekan epigastrium (+), hepar teraba tidak teraba
pembesaran, ginjal tidak teraba, tidak teraba masa tumor
Shiffting Dullness (-),
- Perkusi: timpani
- Auskultasi: bising usus (+) normal
o. Alat kelamin:
Tidak dilakukan pemeriksaan
q. Punggung:
- Palpasi: Nyeri tekan (-), Nyeri ketok CVA (-/-)
r. Ekstremitas:
- Akral hangat (+/+)
- Sianosis (-/-)
- Edema: Edema pretibial (-/-), Edema tungkai atas dan bawah (-/+)
- tanda radang (-), ulkus (-)
- Kelenjar getah bening aksila dan inguinal: Pembesaran (-)
- 5 5
kekuatan motorik
3 3
4
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
b. Darah kimia
PARAMETER NILAI SATUAN NILAI RUJUKAN
Fungsi Hati
Albumin 3,4 mg/dl 3,5 – 5
Bilirubin Total 0,4 mg/dl < 1,5
Bilirubin Direct 0,2 mg/dl < 0,5
Bilirubin Indirect 0,2 mg/dl < 1,1
SGOT 10 U/L < 33 U/L
SGPT 14 U/L < 50 U/L
Fungsi Ginjal
Ureum 112 mg/dl 10-50
Creatinin 6,9 mg/dl 0,7 – 1,2
Asam Urat 2,7 mg/dl < 7 (p), < 6 (w)
Lemak
Kolestrol total 156 mg/dl 140-200
Glukosa
Gula Darah Puasa 132 mg/dl 70-100
Serologis
HbsAg Reaktif Non reaktif
Anti HBs Reaktif
Anti HCV Non reaktif Non reaktif
VDRL Non reaktif
5
b. Hasil tes Anti HIV
Nama reagen Hasil pemeriksaan
SD Bio Line Non reaktif
Intec -
Oncopprobe -
Hasil akhir Non reaktif
5. DIAGNOSIS
a. CKD st.V
b. Hipertensi gr. II
c. Anemia
6. RENCANA PENGOBATAN
6
4. PERJALANAN PENYAKIT
Tanggal Follow-Up Tatalaksana
13/07/2017
TD: 160/100 mmHg S: Sesak napas (+), nyeri dada (+), lemas (+), - O2 Canul 3lpm
pusing (-), mual (+), muntah(-), kaki - IVFD RL 14 tpm
N: 104x/mnt regular, lemah bengkak (+) - Injeksi furosemide 2
X 2 amp
P: 24x/mnt O: Mata: CA +/+, SI -/- - Amlodipine tab 10
mg 0-1-0
S: 36,5°C Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Clonidin 2x1
- Bicnat 3x1
Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
- Ketocid 3x1
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal - Transfuse PRC 1 kolf
A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia
14/07/2017
TD: 160/90 mmHg S: Sesak napas (+), nyeri dada (+), lemas (+), - O2 Canul 3lpm
pusing (-), mual (+), muntah(-), kaki - IVFD RL 14 tpm
N: 102x/mnt regular, lemah bengkak (+) - Injeksi furosemide 2
X 2 amp
P: 22 x/mnt O: Mata: CA +/+, SI -/- - Amlodipine tab 10
mg 0-1-0
S: 36,7°C Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Clonidin 2x1
- Bicnat 3x1
Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
- Ketocid 3x1
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal - Cek post Hb
A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia
15/07/2017
TD: 160/90 mmHg S: Sesak napas (-), nyeri dada (-), lemas (+), - IVFD RL 14 tpm
pusing (-), mual (+), muntah(-), kaki - Injeksi furosemide 2
N: 98x/mnt reguler dan kuat bengkak mulai berkurang X 2 amp
angkat - Amlodipine tab 10
O: Mata: CA +/+, SI -/- mg 0-1-0
P: 24x/mnt - Clonidin 2x1
Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Bicnat 3x1
S: 36,8°C - Ketocid 3x1
7
Hb = 8,9 mg/dL Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia
16/07/2017 S: Sesak napas (-), nyeri dada (-), lemas (+), - IVFD RL 14 tpm
pusing (-), mual (-), muntah(-), kaki - Injeksi furosemide 2
TD: 160/90 mmHg bengkak mulai berkurang X 2 amp
- Amlodipine tab 10
N: 98x/mnt reguler dan kuat O: Mata: CA +/+, SI -/- mg 0-1-0
angkat - Clonidin 2x1
Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Bicnat 3x1
P: 24x/mnt
- Ketocid 3x1
Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
S: 36,8°C
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal
A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia
17/07/2017 S: Sesak napas (-), nyeri dada (-), lemas (+), - IVFD RL 14 tpm
pusing (-), mual (-), muntah(-), kaki - Injeksi furosemide 2
TD: 160/80 mmHg bengkak mulai berkurang X 2 amp
- Amlodipine tab 10
N: 80x/mnt reguler dan kuat O: Mata: CA +/+, SI -/- mg 0-1-0
angkat - Clonidin 2x1
Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Bicnat 3x1
P: 24x/mnt
- Ketocid 3x1
Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
S: 36,5°C
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal
A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia
8
18/07/2017
- IVFD RL 14 tpm
TD: 160/80 mmHg S: Sesak napas (-), nyeri dada (-), lemas (+), - Injeksi furosemide 2
pusing (-), mual (-), muntah(-), kaki X 2 amp
N: 80x/mnt reguler dan kuat bengkak mulai berkurang - Amlodipine tab 10
angkat mg 0-1-0
O: Mata: CA +/+, SI -/- - Clonidin 2x1
P: 24x/mnt - Bicnat 3x1
Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Ketocid 3x1
S: 36,5°C
Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia
19/07/2017
- IVFD RL 14 tpm
TD: 160/90 mmHg S: Sesak napas (-), nyeri dada (-), lemas (+), - Injeksi furosemide 2
pusing (-), mual (-), muntah(-), kaki X 2 amp
N: 98x/mnt reguler dan kuat bengkak mulai berkurang - Amlodipine tab 10
angkat mg 0-1-0
O: Mata: CA +/+, SI -/- - Clonidin 2x1
P: 24x/mnt - Bicnat 3x1
Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Ketocid 3x1
S: 36,8°C
Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia
20/07/2017
- IVFD RL 14 tpm
TD: 160/90 mmHg S : Sesak napas membaik, sedikit lemas, kaki - Injeksi furosemide 2
bengkak berkurang, belum BAB ± 1 minggu. X 2 amp
N: 98x/mnt reguler dan kuat - Amlodipine tab 10
angkat O : Mata: CA +/+, SI -/- mg 0-1-0
- Clonidin 2x1
P: 24x/mnt Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Bicnat 3x1
- Ketocid 3x1
S: 36,8°C Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
- Dulcolax sup 1x1
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal
9
A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia
21/07/2017
- IVFD RL 14 tpm
TD: 160/90 mmHg S : Sesak napas membaik, sedikit lemas, kaki - Injeksi furosemide 2
bengkak (-), BAB baik. X 2 amp
N: 98x/mnt reguler dan kuat - Amlodipine tab 10
angkat O : Mata: CA +/+, SI -/- mg 0-1-0
- Clonidin 2x1
P: 24x/mnt Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Bicnat 3x1
- Ketocid 3x1
S: 36,8°C Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia
A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia
10
23/07/2017 S : Sesak napas membaik
TD: 160/90 mmHg - IVFD RL 14 tpm
N: 98x/mnt reguler dan O: Mata: CA +/+, SI -/- - Injeksi furosemide 2 X
kuat angkat Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop 2 amp
P: 24x/mnt (-) - Amlodipine tab 10 mg
S: 36,8°C Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-) 0-1-0
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal - Clonidin 2x1
Ext: Edema (-/+) - Bicnat 3x1
- Ketocid 3x1
A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia
A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI GINJAL
Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada
dinding abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12
hingga L3. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena besarnya
lobus hepar. Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam
adalah kapsula renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan
jaringan terluar adalah fascia renal. Ketiga lapis jaringan ini berfungsi sebagai
pelindung dari trauma dan memfiksasi ginjal.1
Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat
terang dan medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap.
Korteks ginjal mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap
nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa
massa-massa triangular disebut piramida ginjal dengan basis menghadap
korteks dan bagian apeks yang menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna
untuk mengumpulkan hasil ekskresi yang kemudian disalurkan ke tubulus
kolektivus menuju pelvis ginjal.1
12
B. FISIOLOGI GINJAL
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi
kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan
air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang
sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan
keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin.
Beberapa fungsi ginjal yaitu: 1
a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
b. Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui
regulasi keseimbangan H2O. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-
fluks osmotik masuk atau keluar sel, yang masing-masing dapat
menyebabkan pembengkakan atau penciutan sel yang merugikan.
c. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk
natrium, ion hidrogen, bikarbonat, fosfat, sulfat, dan magnesium. Bakhan
fluktuasi kecil konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat
berpengaruh besar. Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K+ CES dapat
menyebabkan disfungsi jantung yang mematikan.
d. Mempertahankan volume plasma yang tepat, yang penting dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri.
e. Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh yang tepat
dengan menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- di urin.
f. Mengeluarkan (mengekskresikan) produk-produk akhir metabolisme
tubuh, seperti urea, asam urat, dan kreatinin.
g. Mengeluarkan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan,
pestisida, dan bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh.
h. Menghasilkan eritropoietin, suatu hormon yang merangsang produksi sel
darah merah.
i. Menghasilkan renin, suatu hormon enzim yang memicu suatu reaksi
berantai yang penting dalam penghematan garam oleh ginjal.
j. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
13
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian
akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari
darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke
ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila
orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka
urin yang ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra.
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu
filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi
sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke
kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara
bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman
hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler
glomerulus tetapi tidak difiltrasi, kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi
lengkap dan kemudian akan dieksresi.
14
II. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ginjal merupakan penyakit yang palking sering ditemukan
pada masyarakat. Merujuk data dari PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi
Indonesia), 8,6% dari penduduk Indonesia menderita Penyakit Ginjal
Kronis (PGK). Penyakit ginjal dapat bermanifestasi dalam dua bentuk
yaitu 1. Penyakit Ginjal Kronik; 2. Gangguan ginjal akut atau Acute
Kidney Injury (AKI).3
III. ETIOLOGI
Diabetin nephropathy
Hypertensive nephropathy
Nephrosclerosis from vascular disease
Radang ginjal menahun
Sumbatan/batu dan infeksi
Penggunaan obat-obatan yang nefrotoksik
Hipertensi
Diabetes Mellitus
Penyakit autoimun
Usia lanjut
Keturunan Afrika
Riwayat keluarga dengan gagal ginjal
Riwayat gagal ginjal akut dengan adanya proteinuri,
Sedimen urin abnormal
Atau abnormalitas struktur dari traktus urinarius 1
15
IV. KLASIFIKASI
V. PATOFISIOLOGI
16
albumin di urin dan seringkali merupakan pertanda utama CKD. Proteinuria
(protein dan kreatinin ratio > 200 mg/g) berkembang seiring perjalanan CKD,
dan berhubungan dengan prognosis untuk penyakit ginjal. Tidak hanya itu,
hipertensi juga dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah dalam ginjal,
begitu juga di seluruh tubuh. Kerusakan ini merusak kemampuan ginjal untuk
menyaring cairan dan sampah dari darah, menyebabkan peningkatan volume
cairan dalam darah, yang kemudian menyebabkan peningkatan tekanan
darah.4
17
terjadi. Hal ini menjelaskan bagaimana hipertensi sistemik menjadi hipertensi
intrarenal dan terjadi kerusakan progresif pada kumparan pembuluh darah
glomerular dan barier filtrasi (bahkan mencapai area tubular proximal).4
Diambil dari : Jose MLN, Carlos MS, Ana BRP, Fransisco JLH. Common pathophysiological mechanisms of
chronic kidney disease: Therapeutic perspectives. Pharmacology and Therapeutics 2010; 128(): 61-81.
18
Peregangan pada struktur glomerulus menyebabkan peningkatan
permeabilitas dari barier filtrasi. Sebagai tambahan, peregangan mungkin
memediasi respons dari struktur glomerular untuk mencoba mengkompensasi
meningkatnya stress dan kerusakan barier filtrasi; bagaimanapun, hal ini menjadi
patologis dan malignan. Proses patologis disini dimaksudkan dalam jangka waktu
cepat (kontrasi, aktivitas transkripsional, dll) dan medium (proliferasi,
remodelling, fibrosis) pada sel endotel glomerular, sel mesangial, podosit dan
membrana basalis, serta matriks ekstrasel. Sebagai konsekuensi dari peregangan,
maka terjadi proliferasi sel endotel, matriks ekstrasel yang terus disintesis,
reorientasi sitoskleteton, perubahan bentuk, perubahan secretory dan signaling
patterns. Proliferasi sel mesangial dan peningkatan produkasi dari faktor yang
diketahui berperan dalam perkembangan penyakit ini, seperti vascular
permeability factor, transforming growth factor beta, dan fibronectin, renin-
angiotensin system dan matriks ekstraselular, podosit mengurangi proliferasi dan
mengalami hipertrofi, mengaktifkan RAS lokal dan juga memodifikasi pola sinyal
dengan konsekuensi yang tidak tentu pada filtrasi glomerular.3
19
Beberapa solut, seperti fosfat, urate dan ion hidrogen dapat tetap berada
dalam kadar yang normal sampai fungsi GFR menurun sampai 20-30% normal.
Efek dari gagal ginjal pada tubuh tergantung pada intake air dan makanan
dan derajat kerusakan fungsi ginjal. Efek yang penting terjadi termasuk edema
generalisata karena adanya retensi sodium dan air, gagalnya tubuh untuk
membuang produk yang bersifat asam, konsentrasi tinggi dari non-protein
nitrogen—khususnya urea, kreatinin, asam urat—yang disebabkan gagalnya tubuh
dalam membuang hasil akhir dari protein. Konsentrasi tinggi dari zat-zat yang
dihasilkan oleh ginjal seperti fenol, sulfat, fosfat, potasium dan basa guanida.
Kondisi ini disebut uremia karena tingginya kadar ureum dalam darah.4
20
Hilangnya masa renal, menyebabkan timbulnya hipoproteinemia.
Elektroforesis serum menunjukkan hal ini disebabkan oleh hilangnya albumin,
disaat konsentrasi dari protein yang lebih besar cenderung meningkat. Hal ini
disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik pada sistem vaskular yang
menyebabkan meningkatnya filtrasi air dalam plasma di perifer dan konsentasi
dari konstituen plasma darah lainnya. Filtrasi pada perifer tidak hanya difasilitasi
oleh tekanan onkotik, namun juga oleh kerusakan dinding kapilar yang juga
karena inflamasi. Sebagai hasil filtrasi protein di perifer, konsentrasi protein dan
peningkatan tekanan onkotik di interstitial. Apabila pembuangan protein melalui
limfatik inadekuat, terjadi edema.4
21
Diduga bahwa gangguan pada ekskresi air dan elektrolit berperan, paling
tidak sebagian, terhadap munculnya sebagian besar gejala gagal ginjal kronis.
Volume yang berlebihan dan perubahan konsentrasi elektrolit menimbulkan
edema, hipertensi, osteomalasia, asidosis, pruritus dan artritis, baik secara
langsung maupun melalui pengaktifan hormon.3
Jika GFR menurun lebih dari 20% dari nilai normal, maka fosfat yang
difiltrasi akan lebih sedikit dibandingkan yang diserap melalui usus. Sehingga,
konsentrasi fosfat di plasma akan meningkat . Jika kelarutannya terlampaui maka
akan bergabung dengan Ca+ untuk membentuk kalsium fosfat yang akan
mengendap di kulit dan sendi menyebabkan nyeri sendi dan pruritus.3
22
yang disebut toksin uremia (misal, aseton 2,3-butileneglikol, asam
guanidinosuksinat, metilguanidin, indol, fenol, amin, aromatik dan alifatik, dll)
dan molekul berukuran sedang (lipid/peptida dengan berat molekul antara 2000-
3000 Da), dalam menimbulkan gejala gagal ginjal masih menjadi perdebatan.
Konsentrasi urea yang tinggi dapat membuat protein menjadi tidak stabil sehingga
terjadi penyusutan sel. Tetapi pengaruh ini sebagian dapat diatasi melalui
pengambilan sejumlah osmolit penstabil (terutama betain, gliserofosforilkolin )
oleh sel.3
23
VI. MANIFESTASI KLINIK
Pada penyakit ginjal, tanda dan gejala tidak selalu nampak kecuali
apabila pasien sudah menderita gagal ginjal kronik. Penting untuk
mengetahui riwayat hipertensi pasien, diabetes mellitus, abnormalitas
urinalisis, dan kelainan pada kehamilan seperti pre-eklampsia ataupun
keguguran yang abnormal. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti
NSAID, emas, penisilamin, antimikrobial, antiretrovirus, proton pump
inhibitors dan lithium. Untuk mengetahui mengenai sindrom uremia,
penting ditanyakan mengenai nafsu makan, kehilangan berat bedan,
cegukan, edema perifer, kram perut dan lemah pada kaki.
Pemeriksaan fisik fokus pada pemeriksaan tekanan darah dan target
organ dari hipertensi. Pemeriksaan lainnya, penemuan edema,
polineuropati, dan pleural friction rub dapat ditemukan pada pasien dengan
DM dan sindrom uremia.
Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
Gejala pada Sindrom uremia yaitu mencakup lemah, letargi,
anoreksia, mual dan muntah, nokturia, kelebihan volum cairan,
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.
Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit.2,3
VII. PEMERIKSAAN
Dalam menentukan diagnosis pada gagal ginjal kronis, dapat dilakukan
berbagai pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tersebut dapat mencakup:
24
Pemeriksaan Faal Ginjal
Tes pemeriksaan fungsi ginjal adalah pemeriksaan yang umum
dilakukan untuk mengevaluasi fungsi ginjal. Pemeriksaaan fungsi ginjal,
termasuk :5,6,7
a. BUN (Blood Urea Nitrogen)
Urea Nitrogen merupakan produk daripada pemecahan protein.
Kadar ureum yang tinggi dalam plasma darah disebut uremia. Nilai normal
daripada BUN berkisar antara 6-20 mg/dL. Peningkatan nilai BUN dapat
merupakan indikasi dari gagal jantung kongestif, hipovolemia atau
dehidrasi, penyakit ginjal termasuk glomerulonefritis, pielonefritis dan
Acute Tubular Necrosis, serta pada gagal ginjal kronis, obstruksi saluran
kemih, dan lain-lain. Penurunan dalam kadar BUN mengindikasikan
kegagalan fungsi hepar, malnutrisi dan overhidrasi.5
b. Kreatinine serum
Kreatinin merupakan produk dari pemecahan kreatin, yang
berperan penting dalam otot. Maka, apabila pada serum ditemukan
peningkatan kreatinin tanpa peningkatan kreatinin maka penyebab
peningkatan ureum disebabkan oleh sebab non-renal.6
c. Kreatinin urin
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan
merupakan bagian dari pemeriksaan. Kreatinin urin yang normal berkisar
antara 500-2000 mg/hari tergantung dari lean body mass masing-masing
individu.7
25
d. Creanitinine Clearance/Kreatinin Klirens
Pemeriksaan ini membantu mengetahui bagaimana kerja ginjal,
apakah masih baik atau sudah menurun. Pemeriksaan ini membandingkan
hasil kreatinin dalam darah dengan urin. Kreatinin klirens ini merupakan
salah satu cara untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus / glomerular
filtration rate (GFR). GFR berfungsi untuk mengetahui bagaimana kerja
filtrasi pada glomerulus/ginjal. Kreatinin dikeluarkan seutuhnya melalui
ginjal. Apabila terdapat abnormalitas dalam fungsi ginjal, maka terdapat
peningkatan hasil creatinine clearance. Clearance dihitung menggunakan
satuan mL/menit, nilai normal daripada pemeriksaan ini adalah:
1. 97-137 ml/menit pada laki-laki
2. 88-128 mm/menit pada perempuan
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus mencakup pemeriksaan untuk
mencari sebab daripada penyakit yang menyababkan kerusakan ginjal dan
konsekuensinya. Jika mendukung, dilakukan pemeriksaan untuk
Systematous Lupus Erythematosus dan vaskulitis dapat dilakukan.
Elektroforesis protein serum dan urin wajib didapatkan pada pasien di atas
usia 35 tahun dengan CKD yang tidak jelas sebabnya, khususnya apabila
ada anemia yang terhubung. Pada kasus dengan glomerulonefritis, etiologi
infeksi yang mendasari juga penting untuk diperiksa, seperti hepatitis B
dan C dan HIV. Pemeriksaan secara berseri fungsi renal penting untuk
mengetahui perburukan fungsi ginjal dan untuk memastikan bahwa
penyakit yang diderita benar-benar kronik, bukan subakut atau reversible.
Konsentrasi kalsium, fosfor, dan PTH harus diukur untuk mengevaluasi
metabolic bone disease. Konsentrasi Hb, besi, B12, dan folat juga perlu
26
dievaluasi. Urin 24 jam mungkin membantu, ekskresi protein >300 mg/dl
dapat menjadi indikasi terapi dengan ACE inhibitor atau ARB.2
Urinalisis
Anuria menunjukkan adanya obstruksi total dari traktus urinarius,
namun dapat memperberat pasien dengan gagal ginjal akut. Pada gagal
ginjal akut prerenal dapat ditemukan sedimen dengan karakteristik aseluler
dan mengandung serat hyalin. Hyalin terbentuk dari konsentrasi urin
normal, yakni dari protein Tamm-Horsfall yang disekresi epitel pada loop
of henle. Gagal ginjal akut post-renal dapat ditemukan adanya sedimen
inaktif. Kristal granular berpigmen cokelat seperti lumpur dan kristal yang
mengandung sel epitel tubulus khas pada pasien dengan ATN dan
menunjukkan etiologi adanya iskemik atau nefrotoksik. Adanya sel darah
merah pada urin menunjukkan adanya kerusakan pada glomerular atau
adanya nefritis tubulointerstitial akut namun jarang ditemukan. Sel darah
putih menunjukkan adanya nefritis interstitial, dimana granular dalam
jumlah yang banyak menunjukkan adanya gagal ginjal kronik dan
kemungkinan merupakan refleksi dari fibrosis interstisial dan dilatasi
tubulus. Eosinofiluria merupakan nefritis interstisial karena alergi obat
antibiotik dan dapat dideteksi dengan pewarnaan Hensel’s. Proteinuria
menunjukkan adanya kerusakan pada flitrasi glomerulus (>1g/hari).2
Pemeriksaan imaging
27
Apabila ukuran ginjal normal, maka kemungkinan penyakit yang diderita
masih dalam keadaan akut atau subakut. Pengecualian pada nefropati
diabetik (dimana ukuran ginjal meningkat pada saat diabetes nefropati
sebelum CKD dengan kehilangan GFR muncul), amyloidosis dan
nefropati HIV, dimana ukuran ginjal normal pada CKD. Ginjal polikistik
akan selalu muncul gambaran pembesaran ginjal dengan kista multipel.
Perbedaan ukuran ginjal > 1 cm pada panjang ginjal menunjukkan adanya
abnormalitas perkembangan atau proses penyakit atau penyakit
renovaskular dengan insufisiensi arterial mempengaruhi lebih pada salah
satu ginjal.
Biopsi renal
28
VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik mencakup perlambatan
dari progresivitas proses daripada CKD dan mengendalikan komplikasi
lain dari gagal ginjal kronik.2,9
1. Memperlambat progresivitas dari CKD dengan cara
a. Melakukan restriksi protein
KDOQI menganjurkan asupan protein antara 0,60 sampai 0,75
g/kg/hari, tergantung dari adherence dari pasien, faktor komorbid,
adanya proteinuria dan status nutrisi. Ketika pasien mencapai CKD
stage 5, intake protein cenderung berkurang dan pasien memasuki
keadaan malnutrisi energi protein. Pada kasus ini, intake dapat
ditingkatkan menjadi 0,90 g/kg/hari. Diet protein juga berfungsi untuk
mengurangi gejala yang berhubungan dengan uremia.
Intake energi sangat penting untuk cegah malnutrisi, direkomendasikan
intake 35kcal/kg.
b. Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria
Meningkatnya tekanan filtrasi intraglomerular dan timbulnya hipertrofi
glomerular sebagai respons dari hilangnya nefron pada penyakit ginjal.
Pengendalian hipertensi glomerular dan sistemik sama pentingnya
dengan diet protein untuk mengahambat jalannya proses CKD. Pada
pasien denga proteinuri penting untuk mencapai target tekanan darah
sampai 125/75 mmHg.
Ace inhibitor dan ARBs menghambat vasokontriksi yang dimediasi
oleh angiotensin, Inhibisi ini menyebabkan berkurangnya filtrasi
intraglomerular dan proteinuria. Efek samping daripada pemberian obat
ini antara lain adalah batuk dan angioedema.
29
< 7%. Dengan menurunnya GFR, penggunaan obat dan dosis oral
hypoglycemics perlu dievaluasi ulang. Sebagai contoh chlorpramide
dengan prolonged hypoglycemia pada pasien dengan penurunan fungsi
ginjal. Metformin telah terbukti dapat menyebabkan laktat asidosis pada
pasien dengan kerusakan renal dan harus dihentikan ketika GFR
menurun. Dan thiazolidinediones (rosiglitazone, pioglitazone, dll)
menyebabkan meningkatnya reabsorpsi garam dan air dan menambah
keadaan volume overload. Akhirnya, seiring dengan penurunan, lebih
sedikit kadar insulin pula yang dibutuhkan untuk pengendalian
glikemik.
b. Kontrol tekanan darah dan proteinuri
Pada mayoritas pasien dengan Diabetes tipe 2 ditemukan hipertensi.
Penemuan ini berhubungan dengan timbulnya albuminuria dan
merupakan suatu prediktor kuat adanya kelainan kardiovaskular dan
nefropati. Pemeriksaan mikroalbuminuria direkomendasikan pada
pasien dengan Diabetes . Penggunaan ACE inhibitors dan ARB dapat
dikatakan sebagai pelindung ginjal (renoprotection) tambahan. Efek ini
terjadi didukung dengan menurunnya tekanan intraglomerular dan
inhibisi perjalanan sklerosis yang dimediasi oleh angiotensin, pada
bagian inihibisi dari perjalanan TGF-beta.
30
b. Penatalaksaan suportif
Pada penyakit ginjal, khususnya gagal ginjal didapatkan kesulitan
membuang elektrolit-elektrolit, seperti kalium, fosfat, dan lain
sebagainya. Hiponatremia dan hipoosmolalitas dapat dikendalikan
dengan membatasi intake air. Sebaliknya, pada kasus hipernatremia
ditangani dengan pemberian air ataupun saline atau isotonik yang
mengandung dekstrosa.
Asidosis metabolik tidak biasanya ditangani kecuali bikarbonat dalam
darah jatuh di bawah 15 mmol/L atau PH arteri dibawah 7,2. Asidosis
yang lebih berat dikoreksi dengan pemberian bikarbonat oral atau
intravena. Pada pasien yang mengkonsumsi sodium bikarbonat
biasanya dibutuhkan dialisis segera. Hiperpospatemia dikendalikan
dengan pembatasan asupan fosfat dan dengan pengikat fosfat oral,
seperti kalsium karbonat, kalsium asetat, sevalamar dan alumunium
hidroksida untuk mengurangi absorpsi fosfat di gastrointestinal.
Hipokalsemi biasanya tidak membutuhkan pengobatan kecuali kasus
gawat, dengan munculnya rhabdomyolysis atau pancreatitis atau setelah
pemberian bikarbonat. Hiperurisemia biasanya ringan (<890 umoL/L
atau < 15mg/dL) dan tidak membutuhkan intervensi.
31
uremik membawa pasien menuju prognosis yang lebih buruk dengan
dialisis atau dengan transplantasi.
d. Edukasi pasien
Persiapan secara fisik, sosial dan psikologikal untuk RRT (Renal
Replacement Therapy). Penting untuk menjelaskan pada pasien
mengenai proses, waktu dan modalitas yang terbaik pada RRT.
Semakin baik pengetahuan pasien mengenai Hemodialisa, Peritoneal
Dialisa, dan transplantasi ginjal semakin mudah pasien dalam
memutuskan. Dukungan sosial dan keluarga juga penting untuk pasien
dalam meneruskan terapi yang dilakukan. Transplantasi ginjal
menawarkan terapi dengan potensial terbaik , karena dialisa hanya
menggantikan sebagian kecil dari fungsi filtrasi, namun tidak
menggantikan fungsi ginjal di bidang lain seperti endokrin dan efek anti
inflamasi.
B. HIPERTENSI
I. DEFINISI
32
Tabel 2. Kriteria tekanan darah berdasarkan WHO 2
Normal Hipertensi ambang Hipertensi
batas
Tekanan diastolik <90 90-95 >95
Tekanan sistolik <140 140-160 >160
II. ETIOLOGI
III. EPIDEMIOLOGI
33
National Health and Nutririon Examination Survey menemukan prevalensi
hipertensi pada kelompok umur 65-74 tahun sebagai berikut: prevalensi
keseluruhan 49,6% untuk hipertensi derajat 1 (140-159/90-99 mmHg), 18,2%
untuk hipertensi derajat 2 (160-179mmHg), dan 6,5% untuk hipertensi derajat
3 (>180/110 mmHg). Prevalensi HST adalah sekitar berturut-turut 7%, 11%,
18%, dan 15% pada kelompok umur 60-69, 70-79, 80-89 dan diatas 90 tahun.2
IV. KLASIFIKASI
2. Hipertensi sekunder
Diagnosis ditegakkan pada hipertensi yang disebabkan oleh
penyakit lainnya, seperti pada hipertensi renal, hipertensi yang disebebkan
oleh kelainan endokrin, hipertensi yang disebabkan oleh obat, dan lain
sebagainya.
Ada beberapa klasifikasi dan pedoman penanganan hipertensi
diantaranya The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC 7). Berdasarkan JNC 7, klasifikasi tekanan darah adalah:
V. PATOFISIOLOGI
Hasil curah jantung dan resistensi perrifer total menentukan tekanan darah.
Jadi hipertensi terjadi setelah curah jantung atau TPR atau keduanya meningkat.
34
Curah jantung dengan peningkatan tekanan sistol lebih besar dari tekanan diastol.
Pada hipertensi resistansi, tekanan sitol dan diastol meningkat dalam jumlah yang
sama atau (lebih sering) tekanan diastol lebih dari tekanan sitol, Peningkatan
curah jantung pada hipertensi hiperdinamik disebabkan oleh peningkatan
frekuensi denyut jantung atau volume ekstrasel yang menyebabkan peningkatan
aliran balik vena sehingga meningkatkan volume sekuncup (mekanisme frank-
sterling). Begitu pula, peningkatan aktivitas simpatis dari sistem saraf pusat dan
atau peningkatan respons terhadap katekolamin (misal, akibat hormon kortisol
atau tiroid) dapat menyebabkan peningkatan curah jantung.
35
VI. PENATALAKSANAAN
Tekanan darah sistolik optimal adalah <140 mmHg dan tekanan darah
diastolik optimal adalah <85mmHg. Untuk pasien dengan penyakit kardiovaskular
aterosklerosis, diabetes atau gagal ginjal kronik targert SBP menjadi 130 mmHg
dan DBP <80 mmHg.
36
menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum
begitu jelas. Banyak jaringan mampu mengonversi angiotensin I
menjadi angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu, memblok
sistem renin-angiotensin melalui jalur antagonis AT1 dengan
pemberian antagonis reseptorangiotensin II.
ACE Inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor menghambat secara
kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang
inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung,
kelenjar adrenal dan otak. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat
yang memacu pelepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan
perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin II ini akan menurunkan
tekanan darah. Jika sistem RAS teraktivasi (misalnya, pada keadaan
penurunan sodium atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi
ACEinhibitor akan lebih besar.
ACE juga bertanggung jawab terhadap degradasi kinin, termasuk
bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi
ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat.
Beta blocker
Beta blocker memblok beta-adenoreseptor. Reseptor ini
diklasifikasikan menjadi resptor beta 1-beta 2. Reseptor beta-1 terutama
terdapat jantung, sedangkan reseptor beta-2 banyak ditemukan di paru-
paru, pembuluh darah perifer, dan otot lrik. Reseptor beta-2 juga dapat
ditemukan di jantung, sedangkan reseptro bera-1 juga dapat dijumpai pada
ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta
pada otak dan perifer akan memacu pelepasan neurotransmitter yang
meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta-1
pada nodus SA dan miokardia meningkatkan heart rate dan kekuatan
komtraksi dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan
37
menyebabkan pelepasan pelepasan renin, meningkatkan aktivitas RAS.
Efek akhirnya adalah peningkatan kardiak output, peningkatan tahanan
perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan resistensi
air.
Thiazide
38
ANGINA PECTORIS
Angina pektoris adalah rasa tidak enak di dada sebagai akibat dari suatu
iskemik miokard tanpa adanya infark. Klasifikasi klinis angina pada dasarnya
berguna untuk mengevaluasi mekanisme terjadinya iskemik. Walaupun
patogenesa angina mengalami perubahan dari tahun ke tahun, akan tetapi pada
umumnya dapat dibedakan 3 tipe angina:
1. Classical effort angina (angina klasik)
Pada nekropsi biasanya didapatkan aterosklerosis koroner. Pada
keadaan ini, obstruksi koroner tidak selalu menyebabkan terjadinya
iskemik seperti waktu istirahat. Akan tetapi bila kebutuhan aliran darah
melebihi jumlah yang dapat melewati obstruksi tersebut, akan tetapi
iskemik dan timbul gejala angina. Angina pektoris akan timbul pada
setiap aktifitas yang dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah
dan atatus inotropik jantung sehingga kebutuhan O2 akan bertambah
seperti pada aktifitas fisik, udara dingin dan makan yang banyak.
2. Variant angina (angina Prinzmetal)
Bentuk ini jarang terjadi dan biasanya timbul pada saat istirahat,
akibat penurunan suplai O2 darah ke miokard secara tiba-tiba. Penelitian
terbaru menunjukkan terjadinya obsruksi yang dinamis akibat spasme
koroner baik pada arteri yang sakit maupun yang normal. Peningkatan
obstruksi koroner yang tidak menetap ini selama terjadinya angina waktu
istirahat jelas disertai penurunan aliran darah arteri koroner.
3. Unstable angina (angina tak stabil / ATS)
Istilah lain yang sering digunakan adalah Angina preinfark, Angina
dekubitus, Angina kresendo. Insufisiensi koroner akut atau Sindroma
koroner pertengahan. Bentuk ini merupakan kelompok suatu keadaan
yang dapat berubah seperti keluhan yang bertambah progresif,
sebelumnya dengan angina stabil atau angina pada pertama kali. Angina
dapat terjadi pada saat istirahat maupun bekerja. Pada patologi biasanya
ditemukan daerah iskemik miokard yang mempunyai ciri tersendiri.
39
Definisi
Angina pektoris tak stabil adalah suatu spektrum dari sindroma iskemik
miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil dan anfark miokard
akut. Terminologi angina tak stabil (ATS) harus tercakup dalam kriteria
penampilan klinis sebagai berikut :
1. Angina pertama kali
Angina timbul pada saat aktifitas fisik. Baru pertama kali dialami oleh
penderita dalam priode 1 bulan terakhir
2. Angina progresif
Angina timbul saat aktifitas fisik yang berubah polanya dalam 1 bulan
terakhir, yaitu menjadi lebih sering, lebih berat, lebih lama, timbul dengan
pencetus yang lebih ringan dari biasanya dan tidak hilang dengan cara
yang biasa dilakukan. Penderita sebelumnya menderita angina pektoris
stabil
3. Angina waktu istirahat
Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik ataupun hal-hal yang dapat
menimbulkan peningkatan kebutuhan O2 miokard. Lama angina sedikitnya
15 menit.
4. Angina sesudah IMA
Angina yang timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA. Kriteria
penampilan klinis tersebut dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersama-
bersama tanpa adanya gejala IMA. Nekrosis miokard yang terjadi pada
IMA harus disingkirkan misalnya dengan pemeriksaan enzim serial dan
pencatatan EKG.
Patofisiologi
Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut yang
tidak menetap akibat ketidak seimbangan antara kebutuhan dan suplai O2 miokard.
Beberapa keadaan yang dapat merupakan penyebab baik tersendiri ataupun
bersama-sama yaitu :
40
a. Faktor di luar jantung
Pada penderita stenosis arteri koroner berat dengan cadangan aliran
koroner yang terbatas maka hipertensi sistemik, takiaritmia, tirotoksikosis
dan pemakaian obat-obatan simpatomimetik dapat meningkatkan
kebutuhan O2 miokard sehingga mengganggu keseimbangan antara
kebutuhan dan suplai O2. Penyakit paru menahun dan penyakit sistemik
seperti anemi dapat menyebabkan tahikardi dan menurunnya suplai O2 ke
miokard.
b. Sklerotik arteri koroner
Sebagian besar penderita ATS mempunyai gangguan cadangan
aliran koroner yang menetap yang disebabkan oleh plak sklerotik yang
lama dengan atau tanpa disertai trombosis baru yang dapat memperberat
penyempitan pembuluh darah koroner. Sedangkan sebagian lagi disertai
dengan gangguan cadangan aliran darah koroner ringan atau normal yang
disebabkan oleh gangguan aliran koroner sementara akibat sumbatan
maupun spasme pembuluh darah.
c. Agregasi trombosit
Stenosis arteri koroner akan menimbulkan turbulensi dan stasis
aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan agregasi trombosit yang
akhirnya membentuk trombus dan keadaan ini akan mempermudah
terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah.
d. Trombosis arteri koroner
Trombus akan mudah terbentuk pada pembuluh darah yang
sklerotik sehingga penyempitan bertambah dan kadang-kadang terlepas
menjadi mikroemboli dan menyumbat pembuluh darah yang lebih distal.
Trombosis akut ini diduga berperan dalam terjadinya ATS.
e. Pendarahan plak ateroma
Robeknya plak ateroma ke dalam lumen pembuluh darah
kemungkinan mendahului dan menyebabkan terbentuknya trombus yang
menyebabkan penyempitan arteri koroner.
41
f. Spasme arteri koroner
Peningkatan kebutuhan O2 miokard dan berkurangnya aliran
koroner karena spasme pembuluh darah disebutkan sebagai penyeban
ATS. Spame dapat terjadi pada arteri koroner normal atupun pada stenosis
pembuluh darah koroner. Spasme yang berulang dapat menyebabkan
kerusakan artikel, pendarahan plak ateroma, agregasi trombosit dan
trombus pembuluh darah.
Beberapa faktor risiko yang ada hubungannya dengan proses aterosklerosis antara
lain adalah:
1) Faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi umur, jenis kelamin dan
riwayat penyakit dalam keluarga.
2) Faktor risiko yang dapat diubah meliputi merokok, hiperlipidemi,
hipertensi, obesitas dan DM.
Diagnosis angina pectoris
Gejala
Didapatkan rasa tidak enak di dada yang tidak selalu sebagai rasa
sakit, tetapi dapat pula sebagai rasa penuh di dada, tertekan, nyeri, tercekik
atau rasa terbakar. Rasa tersebut dapat terjadi pada leher, tenggorokan,
daerah antara tulang skapula, daerah rahang ataupun lengan. Sewaktu
angina terjadi, penderita dapat sesak napas atau rasa lemah yang
menghilang setelah angina hilang. Dapat pula terjadi palpitasi, berkeringat
dingin, pusing ataupun hampir pingsan.
Pemeriksaan fisik
Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi
dapat terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah
apeks. Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap atau meningkat
pada waktu serangan angina.
42
EKG
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG
istirahat normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun
sepeda ergometer.
Tujuan dari stress test adalah :
1. Menilai sakit dada apakah berasal dari jantung atau tidak.
2. Menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh
darah utama akan memberi hasil positif kuat.
3. Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST,
depresi segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST,
hambatan cabang ikatan His dan tanpa perubahan segmen ST dan
gelombang T. Perubahan EKG pada ATS bersifat sementara dan
masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun sersamaan.
Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali ke
gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam
waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau
terjadi evolusi gelombang Q, maka disebut sebagai IMA.
4. Enzim LDH, CPK dan CK-MB
Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau meningkat
tetapi tidak melebihi nilai 50% di atas normal. CK-MB merupakan
enzim yang paling sensitif untuk nekrosis otot miokard, tetapi dapat
terjadi positif palsu. Hal ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan
kadar enzim secara serial untuk menyingkirkan adanya IMA.
Perjalanan Penyakit
Dengan pengobatan farmakologis, berbagai penelitian menunjukkan
bahwa dalam 1 tahun pertama, variasi presentase penderita ATS yang mengalami
IMA berkisar antara 6-60% dengan tingkat kematian 1-40%. Penelitian Heng dkk
melaporkan bahwa selama perawatan di rumah sakit terdapat 26% penderita ATS
dengan angina berulang mengalami IMA. Sedangkan tanpa angina berulang hanya
10%.
43
Demikian juga Julian melaporkan dalam 1 tahun, 8% penderita ATS
mengalami IMA dengan tingkat kematian 12%. Yetty (1985-1987) di RS Jantung
Harapan Kita meneliti 12 faktor risiko tinggi untuk terjadinya IMA pada ATS
antara lain umur 60 tahun, stres, riwayat angina, riwayat infark, hipertensi, DM,
riwayat keluarga, kebiasaan merokok, rasio torak jantung (CIR) 60% dan angina
berulang. Ternyata didapatkan kebiasaan merokok. CIR 60% dan angina berulang
mempunyai hubungan bermakna terhadap terjadinya IMA pada ATS dan
kombinasi dari ketiga faktor tersebut meningkatkan kejadian IMA. Juga
dilaporkan kejadian IMA pada fase perawatan dari rumah sakit adalah 6,25%
dengan tingkat kematian 2,08% sedangkan pada fase pemeriksaan tindak lanjut
20,45% dengan tingkat kematian 0%.
Pengobatan
Pada dasarnya bertujuan untuk memperpanjang hidup dan memperbaiki
kualitas hidup dengan mencegah serangan angina baik secara medikal atau
pembedahan.
a. Pengobatan medikal
Bertujuan untuk mencegah dan menghilangkan serangan angina. Ada 3
jenis obat yaitu :
1. Golongan nitrat
Nitrogliserin merupakan obat pilihan utama pada serangan angina
akut. Mekanisme kerjanya sebagai dilatasi vena perifer dan pembuluh
darah koroner. Efeknya langsung terhadap relaksasi otot polos
vaskuler. Nitrogliserin juga dapat meningkatkan toleransi exercise
padapenderita angina sebelum terjadi hipoktesia miokard. Bila di
berikan sebelum exercise dapat mencegah serangan angina
2. Ca- Antagonis
Dipakai pada pengobatan jangka panjang untuk mengurangi
frekwensi serangan pada beberapa bentuk angina.
44
Cara kerjanya :
Memperbaiki spasme koroner dengan menghambat tonus vasometer
pembuluh darah arteri koroner (terutama pada angina Prinzmetal).
Dilatasi arteri koroner sehingga meningkatkan suplai darah ke miokard
Dilatasi arteri perifer sehingga mengurangi resistensi perifer dan
menurunkan afterload.
Efek langsung terhadap jantung yaitu dengan mengurangi denyut, jantung
dan kontraktilitis sehingga mengurangi kebutuhan O2.
3. Beta Bloker
Cara kerjanya menghambat sistem adrenergenik terhadap miokard yang
menyebabkan kronotropik dan inotropik positif, sehingga denyut jantung dan
curah jantung dikurangi. Karena efeknya yang kadiorotektif, obat ini sering
digunakan sebagai pilihan pertama untuk mencegah serangan angina pektoris pada
sebagian besar penderita.
Pembedahan
Prinsipnya bertujuan untuk memberi darah yang lebih banyak kepada otot
jantung dan memperbaiki obstruksi arteri koroner. Ada 4 dasar jenis pembedahan:
1) Ventricular aneurysmectomy : Rekonstruksi terhadap kerusakan ventrikel
kiri
2) Coronary arteriotomy : Memperbaiki langsung terhadap obstruksi arteri
koroner
3) Internal thoracic mammary : Revaskularisasi terhadap miokard.
4) Coronary artery baypass grafting (CABG) : Hasilnya cukup memuaskan
dan aman yaitu 80%-90% dapat menyembuhkan angina dan mortabilitas
hanya 1 % pada kasus tanpa kompilasi.
5) Metode terbaru lain di samping pembedahan adalah percutanecus
transluminal coronary angioplasty (PCTA), Percutaneous ratational
coronary angioplasty (PCRA) dan laser angioplasty.
45
Pengobatan bertujuan untuk mempepanjang hidup dan memperbaiki
kualitas hidup baik secara medikal maupun pembedaan. Prinsipnya menambah
suplai O2 ke daerah iskemik atau mengurangi kebutuhan O2. Pencegahan terhadap
faktor risiko terjadinya angina pekrotis lebih penting dilakukan dan sebaiknya
dimulai pada usia muda seperti menghindarkan kegemukan, menghindarkan
stress, diet rendah lemak, aktifitas fisik yang tidak berlebihan dan tidak merokok.
46
BAB III
KESIMPULAN
47
darah. Mungkin pula kelaianan ginjal pada stadium awal atau kelainan yang tak
dapat dibuktikan merupakan penyebab yang berperan dalam proses hipertensi
primer, dan hipertensi yang berlangsung lama serta makin berat akan
menyebabkan nefroslerosis.
48
The kidney Disease Outcome Quality Initiative (K-DOQI) memberikan
petunjuk bahwa pemberian antihipertensi untuk hipertensi pada penyakit ginjal
dengan tujuan untuk mengurangi progresivitas penyakit ginjal dan mengurangi
perburukan kondisi kardiovaskular.
49
50