Anda di halaman 1dari 50

BAB I

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. IR
TL : 8 Juli 1978
Umur : 39 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : SKIP
No. RM : 11.78.48
Tanggal MRS : 12/07/2017

2. SUBJEKTIF
ANAMNESIS
a. Keluhan Utama: Sesak nafas
b. Keluhan Tambahan: nyeri dada, mual, muntah, lemas, pusing, kaki
bengkak.
c. Anamnesis Terpimpin : Pasien datang dengan keluhan sesak nafas
dirasakan ± 1 bulan SMRS dan dirasakan semakin berat. Sesak nafas
dirasakan bersama dengan adanya nyeri dada yang hilang timbul.
Pasien juga mengeluh lemas, mual, muntah dan sering merasa pusing
dan cepat lelah. Pasien mengaku ada pembengkakan pada kedua kaki.
Nafsu makan pasien berkurang, minum baik, belum BAB sudah 3 hari,
BAK sedikit, jernih dan tidak ada darah. Pasien sempat dirawat di RS.
Bhakti Rahayu sejak tanggal 06/07/2017 dan dirujuk ke RSUD M.
Haulussy untuk dilakukan cuci darah.
d. Riwayat Penyakit Dahulu: Hipertensi (+), DM (-)
e. Riwayat Pengobatan:
Amlodipine, ranitidine, ceftriaxone, ketorolac.

1
3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum: Tampak sakit berat
b. Status Gizi: Cukup (BB: 54 kg, TB: 154 cm, IMT: 22,78 kg/m2 )
c. Kesadaran: Compos Mentis
d. Tanda Vital:
- Tekanan Darah : 180/100 mmHg
- Nadi : 110x/menit, lemah, regular
- Pernapasan : 28x/menit
- Suhu : 37,1° Celcius
e. Kepala:
- Bentuk kepala : normocephal
- Simetris Wajah : simetris
- Rambut : hitam, merata, tidak mudah tercabut

f. Mata:
- Bola mata: eksoftalmus/endoftalmus (-/-)
- Gerakan: bisa ke segala arah, strabismus (-/-)
- Kelopak mata: xanthelasma (-/-), edema (+/-)
- Konjungtiva: Anemis (+), ikterus (-/-)
- Pupil: isokor (3 mm/3 mm), refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+)
- Kornea: pterigium (-/-), injeksi siliaris (-/-)

g. Telinga:
- Aurikula: tofus (-/-), sekret (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-)
- Pendengaran: kesan normal
- Prosesus mastoideus: nyeri tekan (-/-)
h. Hidung:
- Cavum nasi: lapang (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
i. Mulut:
- Bibir: sianosis (-), tampak kering
- Tonsil: T1/T1 tenang, hiperemis (-)

2
- Gigi: intak (-)
- Faring: sulit dievaluasi
- Gusi: perdarahan (-)
- Lidah: kandidiasis oral (-), lidah kotor (-)
j. Leher:
- Kelenjar getah bening: pembesaran (-)
- Kelenjar tiroid: Tidak teraba
- DVS: JVP = 5-2 cmH2O
- Pembuluh darah: Venektasi (-), pulsasi abnormal (-)
- Kaku kuduk: negatif
- Tumor: tidak ada
k. Dada:
- Inspeksi: simetris ki = ka, pembengkakan abnormal (-), gerakan
dada kiri tertinggal saat bernapas dan pergerakan dada kanan
mengikuti pola bernapas.
- Bentuk: Normochest
- Pembuluh darah: venektasi (-), spider naevi (-),
- Buah dada: simetris ki = ka, tanda radang (-)
- Sela iga: pelebaran (-), retraksi (-)
- Atrofi M. Pectoralis Mayor (-)
l. Paru:
- Palpasi: Fremitus raba simetris ki = ka, nyeri tekan (-), pelebaran
iga (-)
- Perkusi: Paru kanan sonor, paru kiri bagian depan pekak pada ICS
V sampai ICS X, batas paru hepar di ICS IV, batas paru belakang
kanan di vertebra torakalis X, batas paru belakang kiri di vertebra
torakalis XI
- Auskultasi: bunyi pernapasan vesikuler, bunyi tambahan ronki (-),
Wheezing (-)
m. Jantung:
- Inspeksi: ictus cordis tidak tampak

3
- Palpasi: ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicula sinistra
- Perkusi: redup, batas jantung di ICS III-IV linea parasternalis
dextra, pinggang jantung di ICS III sinistra (2-3 cm dari mid
sternum), batas kiri jantung di ICS V linea midclavicularis sinistra.
- Auskultasi: bunyi jantung I, II regular murni, murmur(-), gallop (-).
n. Perut:
- Inspeksi: datar, striae (+), caput medusae (-)
- Palpasi: nyeri tekan epigastrium (+), hepar teraba tidak teraba
pembesaran, ginjal tidak teraba, tidak teraba masa tumor
Shiffting Dullness (-),
- Perkusi: timpani
- Auskultasi: bising usus (+) normal

o. Alat kelamin:
Tidak dilakukan pemeriksaan

p. Anus dan rectum:


Tidak dilakukan pemeriksaan

q. Punggung:
- Palpasi: Nyeri tekan (-), Nyeri ketok CVA (-/-)

r. Ekstremitas:
- Akral hangat (+/+)
- Sianosis (-/-)
- Edema: Edema pretibial (-/-), Edema tungkai atas dan bawah (-/+)
- tanda radang (-), ulkus (-)
- Kelenjar getah bening aksila dan inguinal: Pembesaran (-)
- 5 5
kekuatan motorik
3 3

4
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Darah Rutin (Tanggal 12/07/2017)


PARAMETER NILAI SATUAN NILAI RUJUKAN
RBC 2,91 106/ᶣl 3,8-6,50
Hemoglobin 8,5 g/dL 11,5-17,0
Hematokrit 24,6 % 37-54,0
MCV 85 ᶣm3 80-100
MCH 29,1 Pg 27,0-32,0
MCHC 34,4 g/dL 32,0-36,0
RDW 14,6 % 11,0-16,0
Trombosit 167 103/ᶣl 150-500
PDW 14,5 % 11-18
PCT 0,137 % 0,150-0,500
MPV 8,2 ᶣm3 6-11
Leukosit 12,2 103/ᶣl 4,0-10,0
Neutrofil 85,6 103/ᶣl 0-9
Limfosit 4,9 103/ᶣl 1-4
Monosit 5,6 103/ᶣl 0,2-1,0
Eosinofil 3,4 103/ᶣl 0-0,5
Basofil 0,5 103/ᶣl 0-0,2

b. Darah kimia
PARAMETER NILAI SATUAN NILAI RUJUKAN
Fungsi Hati
Albumin 3,4 mg/dl 3,5 – 5
Bilirubin Total 0,4 mg/dl < 1,5
Bilirubin Direct 0,2 mg/dl < 0,5
Bilirubin Indirect 0,2 mg/dl < 1,1
SGOT 10 U/L < 33 U/L
SGPT 14 U/L < 50 U/L
Fungsi Ginjal
Ureum 112 mg/dl 10-50
Creatinin 6,9 mg/dl 0,7 – 1,2
Asam Urat 2,7 mg/dl < 7 (p), < 6 (w)
Lemak
Kolestrol total 156 mg/dl 140-200
Glukosa
Gula Darah Puasa 132 mg/dl 70-100
Serologis
HbsAg Reaktif Non reaktif
Anti HBs Reaktif
Anti HCV Non reaktif Non reaktif
VDRL Non reaktif

5
b. Hasil tes Anti HIV
Nama reagen Hasil pemeriksaan
SD Bio Line Non reaktif
Intec -
Oncopprobe -
Hasil akhir Non reaktif

5. DIAGNOSIS

a. CKD st.V
b. Hipertensi gr. II
c. Anemia

6. RENCANA PENGOBATAN

- Tirah baring elevasi 30o


- O2 3 liter/menit nasal via kanul
- IVFD Nacl 0,9% 12 tpm
- Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr
- Injeksi furosemide 2 x 2 amp
- Injeksi ondancentron 2 x 1 amp
- Injeksi ketorolac 2 x 1 amp
- Amlodipin tab 10 mg 1 x 1
- Hemodialisa

6
4. PERJALANAN PENYAKIT
Tanggal Follow-Up Tatalaksana
13/07/2017

TD: 160/100 mmHg S: Sesak napas (+), nyeri dada (+), lemas (+), - O2 Canul 3lpm
pusing (-), mual (+), muntah(-), kaki - IVFD RL 14 tpm
N: 104x/mnt regular, lemah bengkak (+) - Injeksi furosemide 2
X 2 amp
P: 24x/mnt O: Mata: CA +/+, SI -/- - Amlodipine tab 10
mg 0-1-0
S: 36,5°C Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Clonidin 2x1
- Bicnat 3x1
Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
- Ketocid 3x1
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal - Transfuse PRC 1 kolf

Ext: Edema (-/+)

A: CKD st. V

Hipertensi gr. II

Anemia

14/07/2017

TD: 160/90 mmHg S: Sesak napas (+), nyeri dada (+), lemas (+), - O2 Canul 3lpm
pusing (-), mual (+), muntah(-), kaki - IVFD RL 14 tpm
N: 102x/mnt regular, lemah bengkak (+) - Injeksi furosemide 2
X 2 amp
P: 22 x/mnt O: Mata: CA +/+, SI -/- - Amlodipine tab 10
mg 0-1-0
S: 36,7°C Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Clonidin 2x1
- Bicnat 3x1
Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
- Ketocid 3x1
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal - Cek post Hb

Ext: Edema (-/+)

A: CKD st. V

Hipertensi gr. II

Anemia

15/07/2017

TD: 160/90 mmHg S: Sesak napas (-), nyeri dada (-), lemas (+), - IVFD RL 14 tpm
pusing (-), mual (+), muntah(-), kaki - Injeksi furosemide 2
N: 98x/mnt reguler dan kuat bengkak mulai berkurang X 2 amp
angkat - Amlodipine tab 10
O: Mata: CA +/+, SI -/- mg 0-1-0
P: 24x/mnt - Clonidin 2x1
Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Bicnat 3x1
S: 36,8°C - Ketocid 3x1

7
Hb = 8,9 mg/dL Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)

Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal

Ext: Edema (-/+)

A: CKD st. V

Hipertensi gr. II

Anemia

16/07/2017 S: Sesak napas (-), nyeri dada (-), lemas (+), - IVFD RL 14 tpm
pusing (-), mual (-), muntah(-), kaki - Injeksi furosemide 2
TD: 160/90 mmHg bengkak mulai berkurang X 2 amp
- Amlodipine tab 10
N: 98x/mnt reguler dan kuat O: Mata: CA +/+, SI -/- mg 0-1-0
angkat - Clonidin 2x1
Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Bicnat 3x1
P: 24x/mnt
- Ketocid 3x1
Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
S: 36,8°C
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal

Ext: Edema (-/+)

A: CKD st. V

Hipertensi gr. II

Anemia

17/07/2017 S: Sesak napas (-), nyeri dada (-), lemas (+), - IVFD RL 14 tpm
pusing (-), mual (-), muntah(-), kaki - Injeksi furosemide 2
TD: 160/80 mmHg bengkak mulai berkurang X 2 amp
- Amlodipine tab 10
N: 80x/mnt reguler dan kuat O: Mata: CA +/+, SI -/- mg 0-1-0
angkat - Clonidin 2x1
Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Bicnat 3x1
P: 24x/mnt
- Ketocid 3x1
Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
S: 36,5°C
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal

Ext: Edema (-/+)

A: CKD st. V

Hipertensi gr. II

Anemia

8
18/07/2017
- IVFD RL 14 tpm
TD: 160/80 mmHg S: Sesak napas (-), nyeri dada (-), lemas (+), - Injeksi furosemide 2
pusing (-), mual (-), muntah(-), kaki X 2 amp
N: 80x/mnt reguler dan kuat bengkak mulai berkurang - Amlodipine tab 10
angkat mg 0-1-0
O: Mata: CA +/+, SI -/- - Clonidin 2x1
P: 24x/mnt - Bicnat 3x1
Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Ketocid 3x1
S: 36,5°C
Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)

Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal

Ext: Edema (-/+)

A: CKD st. V

Hipertensi gr. II

Anemia

19/07/2017
- IVFD RL 14 tpm
TD: 160/90 mmHg S: Sesak napas (-), nyeri dada (-), lemas (+), - Injeksi furosemide 2
pusing (-), mual (-), muntah(-), kaki X 2 amp
N: 98x/mnt reguler dan kuat bengkak mulai berkurang - Amlodipine tab 10
angkat mg 0-1-0
O: Mata: CA +/+, SI -/- - Clonidin 2x1
P: 24x/mnt - Bicnat 3x1
Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Ketocid 3x1
S: 36,8°C
Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)

Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal

Ext: Edema (-/+)

A: CKD st. V

Hipertensi gr. II

Anemia

20/07/2017
- IVFD RL 14 tpm
TD: 160/90 mmHg S : Sesak napas membaik, sedikit lemas, kaki - Injeksi furosemide 2
bengkak berkurang, belum BAB ± 1 minggu. X 2 amp
N: 98x/mnt reguler dan kuat - Amlodipine tab 10
angkat O : Mata: CA +/+, SI -/- mg 0-1-0
- Clonidin 2x1
P: 24x/mnt Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Bicnat 3x1
- Ketocid 3x1
S: 36,8°C Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
- Dulcolax sup 1x1
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal

Ext: Edema (-/+)

9
A: CKD st. V

Hipertensi gr. II

Anemia

21/07/2017
- IVFD RL 14 tpm
TD: 160/90 mmHg S : Sesak napas membaik, sedikit lemas, kaki - Injeksi furosemide 2
bengkak (-), BAB baik. X 2 amp
N: 98x/mnt reguler dan kuat - Amlodipine tab 10
angkat O : Mata: CA +/+, SI -/- mg 0-1-0
- Clonidin 2x1
P: 24x/mnt Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) - Bicnat 3x1
- Ketocid 3x1
S: 36,8°C Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)

Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal

Ext: Edema (-/+)

A: CKD st. V

Hipertensi gr. II

Anemia

22/07/2017 S : Sesak napas membaik, keluhan berkurang - IVFD RL 14 tpm


- Injeksi furosemide 2
TD: 160/90 mmHg O: Mata: CA +/+, SI -/- X 2 amp
- Amlodipine tab 10
N: 98x/mnt reguler dan kuat Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-) mg 0-1-0
angkat - Clonidin 2x1
Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-) - Bicnat 3x1
P: 24x/mnt - Ketocid 3x1
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal
S: 36,8°C
Ext: Edema (-/+)

A: CKD st. V

Hipertensi gr. II

Anemia

10
23/07/2017 S : Sesak napas membaik
TD: 160/90 mmHg - IVFD RL 14 tpm
N: 98x/mnt reguler dan O: Mata: CA +/+, SI -/- - Injeksi furosemide 2 X
kuat angkat Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop 2 amp
P: 24x/mnt (-) - Amlodipine tab 10 mg
S: 36,8°C Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-) 0-1-0
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal - Clonidin 2x1
Ext: Edema (-/+) - Bicnat 3x1
- Ketocid 3x1
A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia

24/07/2017 S : Sesak napas membaik


TD: 160/90 mmHg - Aff infuse
N: 98x/mnt reguler dan O: Mata: CA +/+, SI -/- - Kontrol di poli
kuat angkat Cor: BJ I & II regular, murmur (-), gallop penyakit dalam
P: 24x/mnt (-)
S: 36,8°C Paru: BP vesikuler, Rh(-), Wh (-)
Abd: Supel, NT/NTE (-), BU (+) Normal
Ext: Edema (-/+)

A: CKD st. V
Hipertensi gr. II
Anemia

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI GINJAL
Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada
dinding abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12
hingga L3. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena besarnya
lobus hepar. Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam
adalah kapsula renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan
jaringan terluar adalah fascia renal. Ketiga lapis jaringan ini berfungsi sebagai
pelindung dari trauma dan memfiksasi ginjal.1
Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat
terang dan medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap.
Korteks ginjal mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap
nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa
massa-massa triangular disebut piramida ginjal dengan basis menghadap
korteks dan bagian apeks yang menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna
untuk mengumpulkan hasil ekskresi yang kemudian disalurkan ke tubulus
kolektivus menuju pelvis ginjal.1

Gambar 1. Anatomi Ginjal1

12
B. FISIOLOGI GINJAL
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi
kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan
air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang
sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan
keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin.
Beberapa fungsi ginjal yaitu: 1
a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
b. Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui
regulasi keseimbangan H2O. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-
fluks osmotik masuk atau keluar sel, yang masing-masing dapat
menyebabkan pembengkakan atau penciutan sel yang merugikan.
c. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk
natrium, ion hidrogen, bikarbonat, fosfat, sulfat, dan magnesium. Bakhan
fluktuasi kecil konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat
berpengaruh besar. Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K+ CES dapat
menyebabkan disfungsi jantung yang mematikan.
d. Mempertahankan volume plasma yang tepat, yang penting dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri.
e. Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh yang tepat
dengan menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- di urin.
f. Mengeluarkan (mengekskresikan) produk-produk akhir metabolisme
tubuh, seperti urea, asam urat, dan kreatinin.
g. Mengeluarkan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan,
pestisida, dan bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh.
h. Menghasilkan eritropoietin, suatu hormon yang merangsang produksi sel
darah merah.
i. Menghasilkan renin, suatu hormon enzim yang memicu suatu reaksi
berantai yang penting dalam penghematan garam oleh ginjal.
j. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

13
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian
akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari
darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke
ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila
orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka
urin yang ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra.
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu
filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi
sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke
kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara
bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman
hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler
glomerulus tetapi tidak difiltrasi, kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi
lengkap dan kemudian akan dieksresi.

C. GAGAL GINJAL KRONIK


I. DEFINISI
Menurut Kidney Disease Outcomes Quality Initiative/National kidney
Foundation (K/DOQI) Gagal Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease
(CKD) harus mencakup kriteria sebagai berikut:2
1. Kerusakan ginjal selama lebih dari 3 bulan, seperti yang ditemukan
secara struktur ataupun abnormalitas fungsi dari ginjal, dengan atau
tanpa penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR), dengan gejala
a. Abnormalitas patologis
b. Pertanda kerusakan ginjal, termasuk abnormalitas dari
komposisi darah atau urin atau kelainan pada pemeriksaan
imaging.
2. GFR < 60 mL/min/1.73 m2 untuk > 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.

14
II. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ginjal merupakan penyakit yang palking sering ditemukan
pada masyarakat. Merujuk data dari PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi
Indonesia), 8,6% dari penduduk Indonesia menderita Penyakit Ginjal
Kronis (PGK). Penyakit ginjal dapat bermanifestasi dalam dua bentuk
yaitu 1. Penyakit Ginjal Kronik; 2. Gangguan ginjal akut atau Acute
Kidney Injury (AKI).3

III. ETIOLOGI
 Diabetin nephropathy
 Hypertensive nephropathy
 Nephrosclerosis from vascular disease
 Radang ginjal menahun
 Sumbatan/batu dan infeksi
 Penggunaan obat-obatan yang nefrotoksik

Dengan faktor resiko :

 Hipertensi
 Diabetes Mellitus
 Penyakit autoimun
 Usia lanjut
 Keturunan Afrika
 Riwayat keluarga dengan gagal ginjal
 Riwayat gagal ginjal akut dengan adanya proteinuri,
 Sedimen urin abnormal
 Atau abnormalitas struktur dari traktus urinarius 1

15
IV. KLASIFIKASI

Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit 2

Klasifikasi penyakit ginjal kronik


Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥ 90
meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat berat 15-29
5 Gagal ginjal <15

Dalam menentukan stage dari , penting untuk memperkirakan GFR. Ada


dua rumus yang sering digunakan untuk mengestimasikan GFR, yaitu

1. Rumus dari Modification of Diet in renal disease study


Estimated GFR (mL/min per 1,73 m2) = 1,86
2. Cockcroft-Gault modification
Estimated creatinine clearance (mL/min)
= (140 – age x body weight, kg)
72xPcr (mg/dL)
Dikalikan 0,85 for women

V. PATOFISIOLOGI

Hipertensi adalah penyebab utama kedua dari End-stage Renal Disease


(ESRD). Sebagai contoh, menurut United States Renal Data System (U.S.
Renal Data System, 2009), sekitar 51-63% dari semua pasien dengan Gagal
ginjal kronik juga menderita hipertensi. Angka ini meningkat pada pasien di
atas 65 tahun menjadi 90%.4

Pada Hipertensi lama dan tidak terkontrol menyebabkan adanya


peningkatan tekanan intraglomerular, rusaknya filtrasi glomerular. Kerusakan
pada glomeruli menyebabkan meningkatnya filtrasi protein, menyebabkan
peningkatan abnormal pada protein di urin (mikroalbuminuria atau
proteinuria). Mikroalbuminuria merupakan sebuah presentasi dari jumlah kecil

16
albumin di urin dan seringkali merupakan pertanda utama CKD. Proteinuria
(protein dan kreatinin ratio > 200 mg/g) berkembang seiring perjalanan CKD,
dan berhubungan dengan prognosis untuk penyakit ginjal. Tidak hanya itu,
hipertensi juga dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah dalam ginjal,
begitu juga di seluruh tubuh. Kerusakan ini merusak kemampuan ginjal untuk
menyaring cairan dan sampah dari darah, menyebabkan peningkatan volume
cairan dalam darah, yang kemudian menyebabkan peningkatan tekanan
darah.4

Hipertensi menyebabkan nephrosclerotic glomerulonephropathy yang


dikarakterisasikan dengan renal vasculopathy yang mempengaruhi
preglomerular arteries, disfungsi endotelial, penebalan dinding dan fibrosis,
penyakit microvaskular dari kapiler glomerular, glomerulosklerosis difus dan
yang jarang terjadi, fokal dan segmental glomerulosklerosis (FSGS),
melibatkan kerusakan dari barier filtrasi seperti podosit, sel mesangial dan
membrana basalis, fibrosis interstisial. Secara keseluruhan penurunan aliran
darah ke ginjal (renal blood flow) disebabkan adanya arterial vasculopathy,
obstruksi vaskular dan penurunan densitas vaskular. Namun, GFR secara
relatif tetap konstan. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya tekanan kapiler
glomerular karena defisiensi atau upwardly reset renal autoregulation dan
kerusakan filtrasi barier yang menyebabkan peningkatan permeabilitas.
Berikutnya, GFR menurun sebagai konsekuensi dari kehilangan permukaan
yang progresif, hipertrofi mesangial dan meningkatnya fibrosis glomerular dan
peritubular. Bersamaan dengan ini, perubahan membrana basalis
menghasilkan albuminuria dan hiperfiltrasi protein.4

Autoregulasi renal sesungguhnya berfungsi untuk menjaga GFR agar tetap


konstan ketika terjadi perubahan tekanan perfusi ginjal dan sistemik dengan
melakukan vasokonstriksi atau vasodilatasi dari arteri preglomerular/afferent.
Namun, kenyataannya autoregulasi (refleks myogenik dan feedback
tubuloglomerular) ini membutuhkan waktu. Sebagai konsekuensinya terjadi
aliran darah renal yang tak pasti dan fluktuasi tekanan kapiler glomerular

17
terjadi. Hal ini menjelaskan bagaimana hipertensi sistemik menjadi hipertensi
intrarenal dan terjadi kerusakan progresif pada kumparan pembuluh darah
glomerular dan barier filtrasi (bahkan mencapai area tubular proximal).4

Diambil dari : Jose MLN, Carlos MS, Ana BRP, Fransisco JLH. Common pathophysiological mechanisms of
chronic kidney disease: Therapeutic perspectives. Pharmacology and Therapeutics 2010; 128(): 61-81.

Hal ini menyebabkan adanya overload mekanis, sel glomerular


mengadaptasi fenotipe sekretori dan memproduksi sitokin dan growth factor, yang
akhirnya terkait dalam penggantian sel fungsional menjadi jaringan ikat fibrotik.
Mechanical stretch (peregangan mekanik terjadi akibat meningkatnya tekanan
intraglomerular menyebabkan perubahan langsung pada struktur glomerular.3

18
Peregangan pada struktur glomerulus menyebabkan peningkatan
permeabilitas dari barier filtrasi. Sebagai tambahan, peregangan mungkin
memediasi respons dari struktur glomerular untuk mencoba mengkompensasi
meningkatnya stress dan kerusakan barier filtrasi; bagaimanapun, hal ini menjadi
patologis dan malignan. Proses patologis disini dimaksudkan dalam jangka waktu
cepat (kontrasi, aktivitas transkripsional, dll) dan medium (proliferasi,
remodelling, fibrosis) pada sel endotel glomerular, sel mesangial, podosit dan
membrana basalis, serta matriks ekstrasel. Sebagai konsekuensi dari peregangan,
maka terjadi proliferasi sel endotel, matriks ekstrasel yang terus disintesis,
reorientasi sitoskleteton, perubahan bentuk, perubahan secretory dan signaling
patterns. Proliferasi sel mesangial dan peningkatan produkasi dari faktor yang
diketahui berperan dalam perkembangan penyakit ini, seperti vascular
permeability factor, transforming growth factor beta, dan fibronectin, renin-
angiotensin system dan matriks ekstraselular, podosit mengurangi proliferasi dan
mengalami hipertrofi, mengaktifkan RAS lokal dan juga memodifikasi pola sinyal
dengan konsekuensi yang tidak tentu pada filtrasi glomerular.3

Terlepas dari etiologi, jumlah nefron berkurang saat proses CKD


berlangsung. Tempat yang dulunya didiami oleh glomerulus diganti dengan ECM
(Extracellular Matrix) melalui proses fibrotik. Nefron yang tersisa meningkatkan
angka filtrasi untuk dapat memenuhi fungsi ekskretori. Disfungsi renal terjadi
ketika nefron yang tersisa tidak dapat mengatasi ekstraload yang terjadi.3

Seiring hilangnya nefron, banyak produk metabolisme, seperti urea dan


kreatinin terakumulasi sesuai dengan jumlah nefron yang hilang. Hal ini terjadi
karena ekskresi produk ini tergantung pada filtrasi glomerulus dan mereka tidak
diabsorbsi sebanyak elektrolit.Kreatinin contohnya, tidak direabsorbsi sama sekali
dan jumlah yang diekskresikan sesuai dengan jumlah filtrasi yang diekskresikan.3

Creatinine Filtration Rate =

GFR x konsentrasi kreatinin plasma

= creatinine excretion rate

19
Beberapa solut, seperti fosfat, urate dan ion hidrogen dapat tetap berada
dalam kadar yang normal sampai fungsi GFR menurun sampai 20-30% normal.

Hilangnya masa renal (Renal Mass Reduction) menyebabkan berbagai


derajat hipertensi glomerular dan sistemik dan proteinuria yang berbeda, awalnya
terjadi secara fokal yang berkembang menjadi global disertai penurunan GFR
secara bertahap dan kerusakan tubulointerstitial yang progresif. Ini menyebabkan
gagal ginjal dan kematian. Telah ditentukan, bahwa proteinuri muncul sebagai
hasil dari defek proliferatif dari sel epitel setelah perluasan glomerular dan
permukaan filtrasi dan apoptosis podosit yang disebabkan TGF-β menyebabkan
perpisahan pada lapisan podosit dan menambah permeabilitas.4

Filter glomerular (endotel yang terfenestrasi, membrana basalis, slit


membrane diantara podosit) tidak permeabel untuk semua komponen darah.
Molekul yang lebih besar dari pori-pori tidak dapat melalui filter sama sekali.
Molekul yang lebih kecil tentunya dapat masuk, seperti air.4

Namun, permeabilitas tidak hanya dipengaruhi oleh ukuran namun juga


muatan dari komponen tersebut. Normalnya, molekul bermuatan negatif lebih
sulit lewat dibandingkan dengan komponen netral ataupun positif.4

Pada kasus glomerulonefritis, rusaknya filter glomerulus menyebabkan


terjadinya proteinuri dan hematuri. Namun, apabila hanya proteinuria yang terjadi
maka hal ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas untuk protein yang
bermuatan negatif.3

Efek dari gagal ginjal pada tubuh tergantung pada intake air dan makanan
dan derajat kerusakan fungsi ginjal. Efek yang penting terjadi termasuk edema
generalisata karena adanya retensi sodium dan air, gagalnya tubuh untuk
membuang produk yang bersifat asam, konsentrasi tinggi dari non-protein
nitrogen—khususnya urea, kreatinin, asam urat—yang disebabkan gagalnya tubuh
dalam membuang hasil akhir dari protein. Konsentrasi tinggi dari zat-zat yang
dihasilkan oleh ginjal seperti fenol, sulfat, fosfat, potasium dan basa guanida.
Kondisi ini disebut uremia karena tingginya kadar ureum dalam darah.4

20
Hilangnya masa renal, menyebabkan timbulnya hipoproteinemia.
Elektroforesis serum menunjukkan hal ini disebabkan oleh hilangnya albumin,
disaat konsentrasi dari protein yang lebih besar cenderung meningkat. Hal ini
disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik pada sistem vaskular yang
menyebabkan meningkatnya filtrasi air dalam plasma di perifer dan konsentasi
dari konstituen plasma darah lainnya. Filtrasi pada perifer tidak hanya difasilitasi
oleh tekanan onkotik, namun juga oleh kerusakan dinding kapilar yang juga
karena inflamasi. Sebagai hasil filtrasi protein di perifer, konsentrasi protein dan
peningkatan tekanan onkotik di interstitial. Apabila pembuangan protein melalui
limfatik inadekuat, terjadi edema.4

Penurunan ekskresi ginjal terutama sangat bermakna. Penurunan GFR


secara berbanding terbalik meningkatkan kadar kreatinin di plasma. Konsentrasi
plasma terhadap zat yang direabsorbsi juga meningkat, tetapi tidak terlalu tinggi
karena reabsorbsi di tubulus ginjal juga terganggu pada gagal ginjal. Pada gagal
ginjal, reabsorpsi Na+ di tubulus proksimal dan air dihambat oleh berbagai faktor,
seperti hormon natriuretik, PTH dan vanadat. Penurunan absorpsi Na+ di tubulus
proksimal juga secara langsung atau tidak langsung menurunkan reabsorpsi zat
lainnya, seperti fosfat, asam urat, HCO3-, Ca2+, urea, glukosa dan asam amino.
Reabsorpsi fosfat juga dihambat oleh PTH.3

Penurunan reabsorpsi NaCl di bagian asendens ansa henle menganggu


mekanisme pemekatan urin. Suplai volume dan NaCl yang besar dari nefron di
bagian proksimal meningkatkan reabsorpsi Na+ di bagian distal serta membantu
sekresi K+ dan H+ di bagian nefron distal dan duktus koligentes. Akibatnya,
konsentrasi elektrolit di plasma, tetap dapat normal, meskipun GFR menurun
(insufisiensi ginjal terkompensasi). Gangguan baru terjadi jika penurunan GFR
lebih rendah dari seperempat nilai yang normal. Namun, kompensasi ini terjadi
mengorbankan rentang pengaturan, yang artinya ginjal yang rusak tidak dapat
meningkatkan ekskresi air, Na+, K+. Fosfat, dll misalnya apabila intake
meningkat secara adekuat.3

21
Diduga bahwa gangguan pada ekskresi air dan elektrolit berperan, paling
tidak sebagian, terhadap munculnya sebagian besar gejala gagal ginjal kronis.
Volume yang berlebihan dan perubahan konsentrasi elektrolit menimbulkan
edema, hipertensi, osteomalasia, asidosis, pruritus dan artritis, baik secara
langsung maupun melalui pengaktifan hormon.3

Hal di atas juga dapat menyebabkan gangguan pada sel eksitatorik


(polineuropati, kehilangan kesadaran, koma, kejang, edema serebri), fungsi
pencernaan (mual, tukak lambung dan diare), dan sel darah (hemolisis, gangguan
fungsi leukosit, gangguan pembekuan darah).3

Berkurangnya eliminasi air dan elektrolit di ginjal terutama penting dalam


timbulnya gejala gagal ginjal. Volume ekstrasel meningkat jika terdapat kelebihan
Nacl dan air. Sehingga terjadi hipervolemia serta edema.3

Hipervolemia menimbulkan pelepasan atrial natriuretic factor (ANF) dan


mungkin juga ouabain. Ouabain menghambat Na+/K+-ATPase. Vanadat yang
banyak diekskresikan melalui ginjal memiliki efek serupa. Klinrensnya kurang
lebih sama dengan GFR dan kadarnya di dalam darah akan meningkat pada gagal
ginjal. Penghambatan Na+/K+-ATPase menyebabkan penurunan reabsorpsi Na+ di
ginjal, selain itu konsentrasi K+ di intrasel juga menurun di berbagai jaringan dan
sel akan terdepolarisasi. Konsentrasi Na+ intrasel meningkat, mengganggu
pertukaran 3Na+/Ca2+ sehingga Ca2+ intrasel meningkat sehingga terjadi gangguan
eksitbilitas neuromuskular, akumulasi Cl- dalam sel dan edema sel.3

Jika GFR menurun lebih dari 20% dari nilai normal, maka fosfat yang
difiltrasi akan lebih sedikit dibandingkan yang diserap melalui usus. Sehingga,
konsentrasi fosfat di plasma akan meningkat . Jika kelarutannya terlampaui maka
akan bergabung dengan Ca+ untuk membentuk kalsium fosfat yang akan
mengendap di kulit dan sendi menyebabkan nyeri sendi dan pruritus.3

Pada konsentrasi yang tinggi, asam urat dapat mengendap, terutama di


sendi, sehingga menyebabkan gout. Namun, konsentrasi asam urat yang sangat
tinggi jarang terjadi pada gagal ginjal. Peranan berkurangnya pembuangan zat,

22
yang disebut toksin uremia (misal, aseton 2,3-butileneglikol, asam
guanidinosuksinat, metilguanidin, indol, fenol, amin, aromatik dan alifatik, dll)
dan molekul berukuran sedang (lipid/peptida dengan berat molekul antara 2000-
3000 Da), dalam menimbulkan gejala gagal ginjal masih menjadi perdebatan.
Konsentrasi urea yang tinggi dapat membuat protein menjadi tidak stabil sehingga
terjadi penyusutan sel. Tetapi pengaruh ini sebagian dapat diatasi melalui
pengambilan sejumlah osmolit penstabil (terutama betain, gliserofosforilkolin )
oleh sel.3

Gangguan pembentukan eritropoietin yang menstimulasi sumsum tulang


belakang untuk hasil sel darah merah di tubulus proximal ginjal menyebabkan
anemia. Sementara, penurunan pembenrukan kalsitriol menimbulkan ganggguan
metaboolisme mineral. Pembentukan renin dan prostaglandin di ginjal dapat
meningkat atau menurun (kematian sel penghasil renin atau prostaglandin),
bergantung pada penyebab dan lama penyakit, mendorong terjadi hipertensi,
sangat sering ditemukan pada gagal ginjal, sedangkan menurunnya menyebabkan
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Penurunan penggunaan asam lemak
oleh ginjal berperan dalam hiperlipidemia, sedangkan penurunan glukoneogenesis
mendorong terjadinya hipoglikemia.2

Gagal ginjal yang berkepanjangan dapat menyebabkan osteomalasia


dimana kalsium tulang diabsorpsi dan menyebabkan melemahnya tulang. Hal ini
disebabkan oleh Vitamin D yang harusnya dikonversi dalam 2 tingkatan yaitu
pertama di hepar dan kemudian di ginjal, menjadi 1,25-dihidroksikolekalsiferol
sebelum diabsorpsi dari usus. Namun, pada kerusakan serius pada ginjal
menurunkan kadar vitamin D aktif dalam darah, yang mengakibatkan menurunnya
absorbsi intestinal dan tersedianya kalsium untuk tulang. Karena meningkatnya
fosfat dalam darah disebabkan menurunnya GFR, menimbulkan demineralisasi
tulang. Meningkatnya fosfat serum, menyebabkan meningkatnya ikatan fosfat
dengan kalsium dalam plasma, menurunnya kalsium plasma yang terionisasi
menyebabkan peningkatan PTH. Hiperparatiroidisme sekunder ini menyebabkan
pelepasan kalsium dari tulang, menyebabkan demineralisasi lebih lanjut.3

23
VI. MANIFESTASI KLINIK
Pada penyakit ginjal, tanda dan gejala tidak selalu nampak kecuali
apabila pasien sudah menderita gagal ginjal kronik. Penting untuk
mengetahui riwayat hipertensi pasien, diabetes mellitus, abnormalitas
urinalisis, dan kelainan pada kehamilan seperti pre-eklampsia ataupun
keguguran yang abnormal. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti
NSAID, emas, penisilamin, antimikrobial, antiretrovirus, proton pump
inhibitors dan lithium. Untuk mengetahui mengenai sindrom uremia,
penting ditanyakan mengenai nafsu makan, kehilangan berat bedan,
cegukan, edema perifer, kram perut dan lemah pada kaki.
Pemeriksaan fisik fokus pada pemeriksaan tekanan darah dan target
organ dari hipertensi. Pemeriksaan lainnya, penemuan edema,
polineuropati, dan pleural friction rub dapat ditemukan pada pasien dengan
DM dan sindrom uremia.
 Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
 Gejala pada Sindrom uremia yaitu mencakup lemah, letargi,
anoreksia, mual dan muntah, nokturia, kelebihan volum cairan,
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.
 Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit.2,3

VII. PEMERIKSAAN
Dalam menentukan diagnosis pada gagal ginjal kronis, dapat dilakukan
berbagai pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tersebut dapat mencakup:

24
Pemeriksaan Faal Ginjal
Tes pemeriksaan fungsi ginjal adalah pemeriksaan yang umum
dilakukan untuk mengevaluasi fungsi ginjal. Pemeriksaaan fungsi ginjal,
termasuk :5,6,7
a. BUN (Blood Urea Nitrogen)
Urea Nitrogen merupakan produk daripada pemecahan protein.
Kadar ureum yang tinggi dalam plasma darah disebut uremia. Nilai normal
daripada BUN berkisar antara 6-20 mg/dL. Peningkatan nilai BUN dapat
merupakan indikasi dari gagal jantung kongestif, hipovolemia atau
dehidrasi, penyakit ginjal termasuk glomerulonefritis, pielonefritis dan
Acute Tubular Necrosis, serta pada gagal ginjal kronis, obstruksi saluran
kemih, dan lain-lain. Penurunan dalam kadar BUN mengindikasikan
kegagalan fungsi hepar, malnutrisi dan overhidrasi.5
b. Kreatinine serum
Kreatinin merupakan produk dari pemecahan kreatin, yang
berperan penting dalam otot. Maka, apabila pada serum ditemukan
peningkatan kreatinin tanpa peningkatan kreatinin maka penyebab
peningkatan ureum disebabkan oleh sebab non-renal.6
c. Kreatinin urin
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan
merupakan bagian dari pemeriksaan. Kreatinin urin yang normal berkisar
antara 500-2000 mg/hari tergantung dari lean body mass masing-masing
individu.7

Hasil abnormal pada kreatinin urin menunjukkan bahwa pasien


banyak mengkonsumsi daging, penyakit ginjal, gagal ginjal, sedikitnya
jumlah aliran menuju ginjal (gangguan filtrasi), infeksi ginjal, pemecahan
otot (rhabdomyolisis) atau hilangnya massa otot (myasthenia gravis),
obstruksi traktus urinarius.8

25
d. Creanitinine Clearance/Kreatinin Klirens
Pemeriksaan ini membantu mengetahui bagaimana kerja ginjal,
apakah masih baik atau sudah menurun. Pemeriksaan ini membandingkan
hasil kreatinin dalam darah dengan urin. Kreatinin klirens ini merupakan
salah satu cara untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus / glomerular
filtration rate (GFR). GFR berfungsi untuk mengetahui bagaimana kerja
filtrasi pada glomerulus/ginjal. Kreatinin dikeluarkan seutuhnya melalui
ginjal. Apabila terdapat abnormalitas dalam fungsi ginjal, maka terdapat
peningkatan hasil creatinine clearance. Clearance dihitung menggunakan
satuan mL/menit, nilai normal daripada pemeriksaan ini adalah:
1. 97-137 ml/menit pada laki-laki
2. 88-128 mm/menit pada perempuan

Hasil yang abnormal, selain mengindikasikan adanya gangguan


ginjal juga bisa sebagai penanda bahwa adanya dehidrasi/hipovolemia,
gagal jantung dan obstruksi pada saluran kandung kemih.7

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus mencakup pemeriksaan untuk
mencari sebab daripada penyakit yang menyababkan kerusakan ginjal dan
konsekuensinya. Jika mendukung, dilakukan pemeriksaan untuk
Systematous Lupus Erythematosus dan vaskulitis dapat dilakukan.
Elektroforesis protein serum dan urin wajib didapatkan pada pasien di atas
usia 35 tahun dengan CKD yang tidak jelas sebabnya, khususnya apabila
ada anemia yang terhubung. Pada kasus dengan glomerulonefritis, etiologi
infeksi yang mendasari juga penting untuk diperiksa, seperti hepatitis B
dan C dan HIV. Pemeriksaan secara berseri fungsi renal penting untuk
mengetahui perburukan fungsi ginjal dan untuk memastikan bahwa
penyakit yang diderita benar-benar kronik, bukan subakut atau reversible.
Konsentrasi kalsium, fosfor, dan PTH harus diukur untuk mengevaluasi
metabolic bone disease. Konsentrasi Hb, besi, B12, dan folat juga perlu

26
dievaluasi. Urin 24 jam mungkin membantu, ekskresi protein >300 mg/dl
dapat menjadi indikasi terapi dengan ACE inhibitor atau ARB.2

Urinalisis
Anuria menunjukkan adanya obstruksi total dari traktus urinarius,
namun dapat memperberat pasien dengan gagal ginjal akut. Pada gagal
ginjal akut prerenal dapat ditemukan sedimen dengan karakteristik aseluler
dan mengandung serat hyalin. Hyalin terbentuk dari konsentrasi urin
normal, yakni dari protein Tamm-Horsfall yang disekresi epitel pada loop
of henle. Gagal ginjal akut post-renal dapat ditemukan adanya sedimen
inaktif. Kristal granular berpigmen cokelat seperti lumpur dan kristal yang
mengandung sel epitel tubulus khas pada pasien dengan ATN dan
menunjukkan etiologi adanya iskemik atau nefrotoksik. Adanya sel darah
merah pada urin menunjukkan adanya kerusakan pada glomerular atau
adanya nefritis tubulointerstitial akut namun jarang ditemukan. Sel darah
putih menunjukkan adanya nefritis interstitial, dimana granular dalam
jumlah yang banyak menunjukkan adanya gagal ginjal kronik dan
kemungkinan merupakan refleksi dari fibrosis interstisial dan dilatasi
tubulus. Eosinofiluria merupakan nefritis interstisial karena alergi obat
antibiotik dan dapat dideteksi dengan pewarnaan Hensel’s. Proteinuria
menunjukkan adanya kerusakan pada flitrasi glomerulus (>1g/hari).2

Pemeriksaan imaging

Pemeriksaan yang paling berguna adalah dengan menggunakan


renal ulstrasound, yang dapat memverifikasikan kedua ginjal, memastikan
apabila keduanya simetris, memperkirakan ukuran ginjal dan
menghapuskan kemungkinan adanya masa pada ginjal dan adanya bukti
obstruksi. Karena dibutuhkan waktu untuk ginjal mengecil sebagai bukti
dari adanya penyakit kronik, penemuan adanya ginjal kecil mendukung
diagnosis CKD, dengan kemungkinan pembentukan scar yang irreversible.

27
Apabila ukuran ginjal normal, maka kemungkinan penyakit yang diderita
masih dalam keadaan akut atau subakut. Pengecualian pada nefropati
diabetik (dimana ukuran ginjal meningkat pada saat diabetes nefropati
sebelum CKD dengan kehilangan GFR muncul), amyloidosis dan
nefropati HIV, dimana ukuran ginjal normal pada CKD. Ginjal polikistik
akan selalu muncul gambaran pembesaran ginjal dengan kista multipel.
Perbedaan ukuran ginjal > 1 cm pada panjang ginjal menunjukkan adanya
abnormalitas perkembangan atau proses penyakit atau penyakit
renovaskular dengan insufisiensi arterial mempengaruhi lebih pada salah
satu ginjal.

Pada pasien dengan gagal ginjal tidak diperbolehkan pemeriksaan


menggunakan kontras, terlebih lagi pada pasien dengan nefropati
diabetika, karena resiko daripada pemberian kontras sendiri adalah gagal
ginjal.Ketika harus dilakukan, maka dilakukan perhitungan terlebih dahulu
akan resiko hipovolemia, minimalisir kontras dan pemilihan daripada
kontras tersebut yang paling kecil resiko perusakan ginjal.2

Biopsi renal

Pada pasien dengan kedua ginjal kecil, biopsi renal tidak


dianjurkan, karena sulit untuk dilakukan dan memiliki resiko tinggi
perdarahan dan berbagai komplikasi lainnya, terlalu banyak scar sehingga
sebab sesungguhnya yang melatar belakangi terjadinya gagal ginjal tidak
terlihat dengan jelas, jendela kesempatan untuk atasi penyakit sudah
terlewat. Kontraindikasi lainnya pada biopsi renal adalah hipertensi yang
tidak terkontrol, infeksi saluran kemih yang aktif, perdarahan diathesis dan
obesitas morbid. Ultrasound-guided percutaneous biopsy adalah
pendekatan yang disukai, namun pendekatan pembedahan atau
laparoskopik dapat dipertimbangkan, khususnya pada pasien dengan satu
ginjal dimana visualisasi langsung dan pengendalian perdarahan
diperhitungkan penting.2

28
VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik mencakup perlambatan
dari progresivitas proses daripada CKD dan mengendalikan komplikasi
lain dari gagal ginjal kronik.2,9
1. Memperlambat progresivitas dari CKD dengan cara
a. Melakukan restriksi protein
KDOQI menganjurkan asupan protein antara 0,60 sampai 0,75
g/kg/hari, tergantung dari adherence dari pasien, faktor komorbid,
adanya proteinuria dan status nutrisi. Ketika pasien mencapai CKD
stage 5, intake protein cenderung berkurang dan pasien memasuki
keadaan malnutrisi energi protein. Pada kasus ini, intake dapat
ditingkatkan menjadi 0,90 g/kg/hari. Diet protein juga berfungsi untuk
mengurangi gejala yang berhubungan dengan uremia.
Intake energi sangat penting untuk cegah malnutrisi, direkomendasikan
intake 35kcal/kg.
b. Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria
Meningkatnya tekanan filtrasi intraglomerular dan timbulnya hipertrofi
glomerular sebagai respons dari hilangnya nefron pada penyakit ginjal.
Pengendalian hipertensi glomerular dan sistemik sama pentingnya
dengan diet protein untuk mengahambat jalannya proses CKD. Pada
pasien denga proteinuri penting untuk mencapai target tekanan darah
sampai 125/75 mmHg.
Ace inhibitor dan ARBs menghambat vasokontriksi yang dimediasi
oleh angiotensin, Inhibisi ini menyebabkan berkurangnya filtrasi
intraglomerular dan proteinuria. Efek samping daripada pemberian obat
ini antara lain adalah batuk dan angioedema.

2. Memperlambat progresivitas dari diabetik renal disease


a. Mengontrol kadar glukosa darah
Pada pasien dengan diabetes tipe 1 dan 2 diharapkan dapat menjaga
kadar glukosa darah preprandial pada kadar 90-130 mg/dL dan HbA1C

29
< 7%. Dengan menurunnya GFR, penggunaan obat dan dosis oral
hypoglycemics perlu dievaluasi ulang. Sebagai contoh chlorpramide
dengan prolonged hypoglycemia pada pasien dengan penurunan fungsi
ginjal. Metformin telah terbukti dapat menyebabkan laktat asidosis pada
pasien dengan kerusakan renal dan harus dihentikan ketika GFR
menurun. Dan thiazolidinediones (rosiglitazone, pioglitazone, dll)
menyebabkan meningkatnya reabsorpsi garam dan air dan menambah
keadaan volume overload. Akhirnya, seiring dengan penurunan, lebih
sedikit kadar insulin pula yang dibutuhkan untuk pengendalian
glikemik.
b. Kontrol tekanan darah dan proteinuri
Pada mayoritas pasien dengan Diabetes tipe 2 ditemukan hipertensi.
Penemuan ini berhubungan dengan timbulnya albuminuria dan
merupakan suatu prediktor kuat adanya kelainan kardiovaskular dan
nefropati. Pemeriksaan mikroalbuminuria direkomendasikan pada
pasien dengan Diabetes . Penggunaan ACE inhibitors dan ARB dapat
dikatakan sebagai pelindung ginjal (renoprotection) tambahan. Efek ini
terjadi didukung dengan menurunnya tekanan intraglomerular dan
inhibisi perjalanan sklerosis yang dimediasi oleh angiotensin, pada
bagian inihibisi dari perjalanan TGF-beta.

3. Mengatasi komplikasi lain dari CKD dengan cara


a. Menyesuaikan dosis medikasi
Penggunaan obat dengan jalur ekskresi >70% melalui hepar tidak
diperlukan penyesuaian dosis. Beberapa obat yang harus di hindari
seperti metformin, meperidine dan obat oral hipoglikemik yang
dieliminasi melalui ginjal. NSAID harus dihindari karena resiko
memperburuk fungsi ginjal. Banyak antibiotik, antihipertensi dan
antiaritmia yang membutuhkan penyesuaian dosis.

30
b. Penatalaksaan suportif
Pada penyakit ginjal, khususnya gagal ginjal didapatkan kesulitan
membuang elektrolit-elektrolit, seperti kalium, fosfat, dan lain
sebagainya. Hiponatremia dan hipoosmolalitas dapat dikendalikan
dengan membatasi intake air. Sebaliknya, pada kasus hipernatremia
ditangani dengan pemberian air ataupun saline atau isotonik yang
mengandung dekstrosa.
Asidosis metabolik tidak biasanya ditangani kecuali bikarbonat dalam
darah jatuh di bawah 15 mmol/L atau PH arteri dibawah 7,2. Asidosis
yang lebih berat dikoreksi dengan pemberian bikarbonat oral atau
intravena. Pada pasien yang mengkonsumsi sodium bikarbonat
biasanya dibutuhkan dialisis segera. Hiperpospatemia dikendalikan
dengan pembatasan asupan fosfat dan dengan pengikat fosfat oral,
seperti kalsium karbonat, kalsium asetat, sevalamar dan alumunium
hidroksida untuk mengurangi absorpsi fosfat di gastrointestinal.
Hipokalsemi biasanya tidak membutuhkan pengobatan kecuali kasus
gawat, dengan munculnya rhabdomyolysis atau pancreatitis atau setelah
pemberian bikarbonat. Hiperurisemia biasanya ringan (<890 umoL/L
atau < 15mg/dL) dan tidak membutuhkan intervensi.

c. Mempersiapkan Renal Replacement Therapy


Peredaan gejala sementara seperti dari adanya penumpukan urea dalam
darah, seperti anorexia, nausea, vomitus, dan pruritus terkadang dapat
terjadi dengan adanya restriksi protein. Bagaimanapun, hal ini memiliki
resiko secara signifikan akan terjadinya malnutrisi protein pada pasien.
Penatalaksanaan berupa dialisis dan transplantasi ginjal telah berhasil
memperpanjang hidup dari ratusan ribu pasien dengan gagal ginjal
klronik di seluruh dunia. Rekomendasi untuk waktu pemberian RRT
telah dikeluarkan oleh KDOQI dan berdasarkan bukti yang ada
pemberian RRT yang terlambat sehingga pasien menjadi malnutrisi dan

31
uremik membawa pasien menuju prognosis yang lebih buruk dengan
dialisis atau dengan transplantasi.

d. Edukasi pasien
Persiapan secara fisik, sosial dan psikologikal untuk RRT (Renal
Replacement Therapy). Penting untuk menjelaskan pada pasien
mengenai proses, waktu dan modalitas yang terbaik pada RRT.
Semakin baik pengetahuan pasien mengenai Hemodialisa, Peritoneal
Dialisa, dan transplantasi ginjal semakin mudah pasien dalam
memutuskan. Dukungan sosial dan keluarga juga penting untuk pasien
dalam meneruskan terapi yang dilakukan. Transplantasi ginjal
menawarkan terapi dengan potensial terbaik , karena dialisa hanya
menggantikan sebagian kecil dari fungsi filtrasi, namun tidak
menggantikan fungsi ginjal di bidang lain seperti endokrin dan efek anti
inflamasi.

B. HIPERTENSI

I. DEFINISI

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana dijumpai tekanan darah


lebih dari 140/90 mmHg atau lebih untuk usia 13-50 tahun dan tekanan
darah mencapai 160/95 mmHg untuk diatas usia 50 tahun. Dan harus
dilakukan pengukuran tekanan darah sebanyak minimal dua kali untuk
lebih memastikan keadaan tersebut.9
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah yang lebih tinggi
dari 140/90 mmHg dapat diklasifikasikan menurut derajat keparahannya,
mempunyai rentang dari tekanan darah normal, tinggi sampai hipertensi
maligna.9
World Health Organization (WHO) telah mengusulkan nilai
berikut untuk semua kelompok umur (mmHg/7,5 = kPa).

32
Tabel 2. Kriteria tekanan darah berdasarkan WHO 2
Normal Hipertensi ambang Hipertensi
batas
Tekanan diastolik <90 90-95 >95
Tekanan sistolik <140 140-160 >160

II. ETIOLOGI

Penyebab hipertensi dapat merupakan primer, dimana berkembang sebagai


hasil dari sebab lingkungan atau genetik. Selain itu, penyebab hipertensi juga
bisa sekunder, dimana penyebab hipertensi dapat terdiri dari berbagai etiologi,
termasuk renal (ginjal polikistik, gagal ginjal kronik, obstruksi saluran kemih,
tumor penghasil renin, sindrom liddle), vaskular (koasktasio aorta, vaskulitis
dan penyakit vaskuler kolagen) atau endokrin (hiperadosteronisme, sindrom
cushing, feokromasitoma, dan hiperplasia adrenal kongenital). Penggunaan
obat-obatan seperti NSAID, eritropoeitin, medikasi adrenergik, dekongestan
yang mengandung epinefrin dan lain sebagainya juga dapat menyebabkan
hipertensi. Hipertensi primer terdapat 90-95% dari kasus dewasa, dan
persentase kecil dari pasien dengan hipertensi (2-10%) disebabkan oleh
penyebab sekunder.9

Dengan faktor resiko


 Usia
 Jenis Kelamin
 Obesitas
 Etnis
 Merokok
 Pola asupan garam

III. EPIDEMIOLOGI

Walaupun peningkatan tekanan darah bukan merupakan bagian normal


dari ketuaan, insiden hipertensi pada lanjut usia adalah tinggi. Setelah umur 69
tahun, prevalensi hipertensi meningkat sampai 50%. Pada tahun 1988-1991

33
National Health and Nutririon Examination Survey menemukan prevalensi
hipertensi pada kelompok umur 65-74 tahun sebagai berikut: prevalensi
keseluruhan 49,6% untuk hipertensi derajat 1 (140-159/90-99 mmHg), 18,2%
untuk hipertensi derajat 2 (160-179mmHg), dan 6,5% untuk hipertensi derajat
3 (>180/110 mmHg). Prevalensi HST adalah sekitar berturut-turut 7%, 11%,
18%, dan 15% pada kelompok umur 60-69, 70-79, 80-89 dan diatas 90 tahun.2

IV. KLASIFIKASI

Hipertensi dapat dibedakan menurut sebabnya:9


1. Hipertensi primer/esensial
Diagnosa ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab, karena
tidak diketahui penyebabnya.

2. Hipertensi sekunder
Diagnosis ditegakkan pada hipertensi yang disebabkan oleh
penyakit lainnya, seperti pada hipertensi renal, hipertensi yang disebebkan
oleh kelainan endokrin, hipertensi yang disebabkan oleh obat, dan lain
sebagainya.
Ada beberapa klasifikasi dan pedoman penanganan hipertensi
diantaranya The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC 7). Berdasarkan JNC 7, klasifikasi tekanan darah adalah:

Tabel 3. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC-VII9


Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi
Derajat I 140-159 atau 90-99
Derajat II ≥ 160 atau ≥ 100

V. PATOFISIOLOGI

Hasil curah jantung dan resistensi perrifer total menentukan tekanan darah.
Jadi hipertensi terjadi setelah curah jantung atau TPR atau keduanya meningkat.

34
Curah jantung dengan peningkatan tekanan sistol lebih besar dari tekanan diastol.
Pada hipertensi resistansi, tekanan sitol dan diastol meningkat dalam jumlah yang
sama atau (lebih sering) tekanan diastol lebih dari tekanan sitol, Peningkatan
curah jantung pada hipertensi hiperdinamik disebabkan oleh peningkatan
frekuensi denyut jantung atau volume ekstrasel yang menyebabkan peningkatan
aliran balik vena sehingga meningkatkan volume sekuncup (mekanisme frank-
sterling). Begitu pula, peningkatan aktivitas simpatis dari sistem saraf pusat dan
atau peningkatan respons terhadap katekolamin (misal, akibat hormon kortisol
atau tiroid) dapat menyebabkan peningkatan curah jantung.

Hipertensi resistansi terutama disebabkan oleh vasokonstriksi perifer yang


luar biasa tinggi (arteriol) atau beberapa penyempitan pembuluh darah perifer lain.
Tetapi dapat juga akibat peningkatan viskositas darah (peningkatan hematokrit).
Vasokonstriksi terutama berasal dari peningkatan aktivitas simpatis (dari saraf
atau medula adrenal.), peningkatan respons terhadap katekolamin atau
peningkatan konsentrasi angiotensin II.

Pada hipertensi primer, berbagai faktor menjadi pendukung dari terjadinya


hipertensi, seperti adanya komponen genetik, stres psikologis, dan asupan NaCl
yang tinggi (sekitar 10-15 g/hari = 170-250 mmol/hari). Melalui peningkatan
aldosterone, organisme akan terlindungi dari kehilangan Na+ 9atau pengurangan
volume ekstrasel), sedanagkan orang yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap
garam tampaknya relatif tidak terlindung iterhadap asupan NaCl yang tinggi. Pada
pasien ini pelepasan aldosteron sangat terhambat, bahkan untuk asupan Na normal
(<100 mmol/hari).

Kenyataannya, konsentrasi selular NaCl meningkat pada H. Primer yang


menurunkan upaya pendorong penukar 3 Na+/Ca di dalam membran sel.
Akibatnya, terjadi peningkatan konsentrasi Kalsium dalam sel yang selanjutnya
meningkatkan tonus otot vasokonstriktor.9

35
VI. PENATALAKSANAAN

Tekanan darah sistolik optimal adalah <140 mmHg dan tekanan darah
diastolik optimal adalah <85mmHg. Untuk pasien dengan penyakit kardiovaskular
aterosklerosis, diabetes atau gagal ginjal kronik targert SBP menjadi 130 mmHg
dan DBP <80 mmHg.

Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid


(misalnya bendroflumetiazid), beta bloker (misalnya propanolol, atenolol),
ACEinhibitor (misalnya captopril, enalapril), antagonis Angiotensin II (misalnya
candesartan, losartan), calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin)
dan alpha bloker misalnya doksasozin.

Tabel 4. Tatalaksana Tekanan Darah

Klasifikasi Modifikasi Obat awal tanpa indikasi Obat awal


Tekanan gaya Hidup dengan
Darah indikasi
Normal Anjuran - Gunakan obat
yang sesuai
dnegan indikasi
(resiko)
Pre-hipertensi Ya - Gunakan obat
Hipertensi stage Ya Untuk semua kasus gunakan yang spesifiki
1 diuretik jenis thiazide. dengan indikasi
Pertimbangkan Aceinhibitorm (resiko).
ARB, BB, CCB, atau Kemudian
kombinasikan tambahkan obat
Hipertensi stage Ya Gunakan kombinasi 2 obat antihipertensi
2 (biasanya diuretik jenis thiazide (diuretik,
dan ACEinhibitor,
ACEinhibitor/ARB/BB/CCB ARB, BB,
CCB) seperti
yang
dibutuhkan

 ARB (Angiotensin Receptor Blocker)

Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan


target lainnya. Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2.
Reseptor AT1 memperantarai respons farmakologis angiotensin II,
seperti vasokonstriksi dan pelepasan aldosteron. Dan oleh karenanya

36
menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum
begitu jelas. Banyak jaringan mampu mengonversi angiotensin I
menjadi angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu, memblok
sistem renin-angiotensin melalui jalur antagonis AT1 dengan
pemberian antagonis reseptorangiotensin II.

 ACE Inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor menghambat secara
kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang
inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung,
kelenjar adrenal dan otak. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat
yang memacu pelepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan
perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin II ini akan menurunkan
tekanan darah. Jika sistem RAS teraktivasi (misalnya, pada keadaan
penurunan sodium atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi
ACEinhibitor akan lebih besar.
ACE juga bertanggung jawab terhadap degradasi kinin, termasuk
bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi
ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat.

 Beta blocker
Beta blocker memblok beta-adenoreseptor. Reseptor ini
diklasifikasikan menjadi resptor beta 1-beta 2. Reseptor beta-1 terutama
terdapat jantung, sedangkan reseptor beta-2 banyak ditemukan di paru-
paru, pembuluh darah perifer, dan otot lrik. Reseptor beta-2 juga dapat
ditemukan di jantung, sedangkan reseptro bera-1 juga dapat dijumpai pada
ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta
pada otak dan perifer akan memacu pelepasan neurotransmitter yang
meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta-1
pada nodus SA dan miokardia meningkatkan heart rate dan kekuatan
komtraksi dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan

37
menyebabkan pelepasan pelepasan renin, meningkatkan aktivitas RAS.
Efek akhirnya adalah peningkatan kardiak output, peningkatan tahanan
perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan resistensi
air.

 Calcium Channel Blocker

CCB menurunkan influx ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel


dalam sistem konduksi jantung dan sel-sel otot polos pembuluh darah.
Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan
dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas
vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah.
Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium.
Terdapat tiga kelas CCB

o Dihidropiridin (nifedipin dan amlodipin)


o Fenilkalamin (verapamil)
o Benzotiazipin (diltiazem)

 Thiazide

Diuretik dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan


darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah tubulus
distal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga
mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol , sehingga dapat
mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik
pada pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati.

38
ANGINA PECTORIS
Angina pektoris adalah rasa tidak enak di dada sebagai akibat dari suatu
iskemik miokard tanpa adanya infark. Klasifikasi klinis angina pada dasarnya
berguna untuk mengevaluasi mekanisme terjadinya iskemik. Walaupun
patogenesa angina mengalami perubahan dari tahun ke tahun, akan tetapi pada
umumnya dapat dibedakan 3 tipe angina:
1. Classical effort angina (angina klasik)
Pada nekropsi biasanya didapatkan aterosklerosis koroner. Pada
keadaan ini, obstruksi koroner tidak selalu menyebabkan terjadinya
iskemik seperti waktu istirahat. Akan tetapi bila kebutuhan aliran darah
melebihi jumlah yang dapat melewati obstruksi tersebut, akan tetapi
iskemik dan timbul gejala angina. Angina pektoris akan timbul pada
setiap aktifitas yang dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah
dan atatus inotropik jantung sehingga kebutuhan O2 akan bertambah
seperti pada aktifitas fisik, udara dingin dan makan yang banyak.
2. Variant angina (angina Prinzmetal)
Bentuk ini jarang terjadi dan biasanya timbul pada saat istirahat,
akibat penurunan suplai O2 darah ke miokard secara tiba-tiba. Penelitian
terbaru menunjukkan terjadinya obsruksi yang dinamis akibat spasme
koroner baik pada arteri yang sakit maupun yang normal. Peningkatan
obstruksi koroner yang tidak menetap ini selama terjadinya angina waktu
istirahat jelas disertai penurunan aliran darah arteri koroner.
3. Unstable angina (angina tak stabil / ATS)
Istilah lain yang sering digunakan adalah Angina preinfark, Angina
dekubitus, Angina kresendo. Insufisiensi koroner akut atau Sindroma
koroner pertengahan. Bentuk ini merupakan kelompok suatu keadaan
yang dapat berubah seperti keluhan yang bertambah progresif,
sebelumnya dengan angina stabil atau angina pada pertama kali. Angina
dapat terjadi pada saat istirahat maupun bekerja. Pada patologi biasanya
ditemukan daerah iskemik miokard yang mempunyai ciri tersendiri.

39
Definisi
Angina pektoris tak stabil adalah suatu spektrum dari sindroma iskemik
miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil dan anfark miokard
akut. Terminologi angina tak stabil (ATS) harus tercakup dalam kriteria
penampilan klinis sebagai berikut :
1. Angina pertama kali
Angina timbul pada saat aktifitas fisik. Baru pertama kali dialami oleh
penderita dalam priode 1 bulan terakhir
2. Angina progresif
Angina timbul saat aktifitas fisik yang berubah polanya dalam 1 bulan
terakhir, yaitu menjadi lebih sering, lebih berat, lebih lama, timbul dengan
pencetus yang lebih ringan dari biasanya dan tidak hilang dengan cara
yang biasa dilakukan. Penderita sebelumnya menderita angina pektoris
stabil
3. Angina waktu istirahat
Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik ataupun hal-hal yang dapat
menimbulkan peningkatan kebutuhan O2 miokard. Lama angina sedikitnya
15 menit.
4. Angina sesudah IMA
Angina yang timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA. Kriteria
penampilan klinis tersebut dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersama-
bersama tanpa adanya gejala IMA. Nekrosis miokard yang terjadi pada
IMA harus disingkirkan misalnya dengan pemeriksaan enzim serial dan
pencatatan EKG.

Patofisiologi
Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut yang
tidak menetap akibat ketidak seimbangan antara kebutuhan dan suplai O2 miokard.
Beberapa keadaan yang dapat merupakan penyebab baik tersendiri ataupun
bersama-sama yaitu :

40
a. Faktor di luar jantung
Pada penderita stenosis arteri koroner berat dengan cadangan aliran
koroner yang terbatas maka hipertensi sistemik, takiaritmia, tirotoksikosis
dan pemakaian obat-obatan simpatomimetik dapat meningkatkan
kebutuhan O2 miokard sehingga mengganggu keseimbangan antara
kebutuhan dan suplai O2. Penyakit paru menahun dan penyakit sistemik
seperti anemi dapat menyebabkan tahikardi dan menurunnya suplai O2 ke
miokard.
b. Sklerotik arteri koroner
Sebagian besar penderita ATS mempunyai gangguan cadangan
aliran koroner yang menetap yang disebabkan oleh plak sklerotik yang
lama dengan atau tanpa disertai trombosis baru yang dapat memperberat
penyempitan pembuluh darah koroner. Sedangkan sebagian lagi disertai
dengan gangguan cadangan aliran darah koroner ringan atau normal yang
disebabkan oleh gangguan aliran koroner sementara akibat sumbatan
maupun spasme pembuluh darah.
c. Agregasi trombosit
Stenosis arteri koroner akan menimbulkan turbulensi dan stasis
aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan agregasi trombosit yang
akhirnya membentuk trombus dan keadaan ini akan mempermudah
terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah.
d. Trombosis arteri koroner
Trombus akan mudah terbentuk pada pembuluh darah yang
sklerotik sehingga penyempitan bertambah dan kadang-kadang terlepas
menjadi mikroemboli dan menyumbat pembuluh darah yang lebih distal.
Trombosis akut ini diduga berperan dalam terjadinya ATS.
e. Pendarahan plak ateroma
Robeknya plak ateroma ke dalam lumen pembuluh darah
kemungkinan mendahului dan menyebabkan terbentuknya trombus yang
menyebabkan penyempitan arteri koroner.

41
f. Spasme arteri koroner
Peningkatan kebutuhan O2 miokard dan berkurangnya aliran
koroner karena spasme pembuluh darah disebutkan sebagai penyeban
ATS. Spame dapat terjadi pada arteri koroner normal atupun pada stenosis
pembuluh darah koroner. Spasme yang berulang dapat menyebabkan
kerusakan artikel, pendarahan plak ateroma, agregasi trombosit dan
trombus pembuluh darah.

Beberapa faktor risiko yang ada hubungannya dengan proses aterosklerosis antara
lain adalah:
1) Faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi umur, jenis kelamin dan
riwayat penyakit dalam keluarga.
2) Faktor risiko yang dapat diubah meliputi merokok, hiperlipidemi,
hipertensi, obesitas dan DM.
Diagnosis angina pectoris
 Gejala
Didapatkan rasa tidak enak di dada yang tidak selalu sebagai rasa
sakit, tetapi dapat pula sebagai rasa penuh di dada, tertekan, nyeri, tercekik
atau rasa terbakar. Rasa tersebut dapat terjadi pada leher, tenggorokan,
daerah antara tulang skapula, daerah rahang ataupun lengan. Sewaktu
angina terjadi, penderita dapat sesak napas atau rasa lemah yang
menghilang setelah angina hilang. Dapat pula terjadi palpitasi, berkeringat
dingin, pusing ataupun hampir pingsan.
 Pemeriksaan fisik
Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi
dapat terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah
apeks. Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap atau meningkat
pada waktu serangan angina.

42
 EKG
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG
istirahat normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun
sepeda ergometer.
Tujuan dari stress test adalah :
1. Menilai sakit dada apakah berasal dari jantung atau tidak.
2. Menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh
darah utama akan memberi hasil positif kuat.
3. Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST,
depresi segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST,
hambatan cabang ikatan His dan tanpa perubahan segmen ST dan
gelombang T. Perubahan EKG pada ATS bersifat sementara dan
masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun sersamaan.
Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali ke
gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam
waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau
terjadi evolusi gelombang Q, maka disebut sebagai IMA.
4. Enzim LDH, CPK dan CK-MB
Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau meningkat
tetapi tidak melebihi nilai 50% di atas normal. CK-MB merupakan
enzim yang paling sensitif untuk nekrosis otot miokard, tetapi dapat
terjadi positif palsu. Hal ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan
kadar enzim secara serial untuk menyingkirkan adanya IMA.

Perjalanan Penyakit
Dengan pengobatan farmakologis, berbagai penelitian menunjukkan
bahwa dalam 1 tahun pertama, variasi presentase penderita ATS yang mengalami
IMA berkisar antara 6-60% dengan tingkat kematian 1-40%. Penelitian Heng dkk
melaporkan bahwa selama perawatan di rumah sakit terdapat 26% penderita ATS
dengan angina berulang mengalami IMA. Sedangkan tanpa angina berulang hanya
10%.

43
Demikian juga Julian melaporkan dalam 1 tahun, 8% penderita ATS
mengalami IMA dengan tingkat kematian 12%. Yetty (1985-1987) di RS Jantung
Harapan Kita meneliti 12 faktor risiko tinggi untuk terjadinya IMA pada ATS
antara lain umur 60 tahun, stres, riwayat angina, riwayat infark, hipertensi, DM,
riwayat keluarga, kebiasaan merokok, rasio torak jantung (CIR) 60% dan angina
berulang. Ternyata didapatkan kebiasaan merokok. CIR 60% dan angina berulang
mempunyai hubungan bermakna terhadap terjadinya IMA pada ATS dan
kombinasi dari ketiga faktor tersebut meningkatkan kejadian IMA. Juga
dilaporkan kejadian IMA pada fase perawatan dari rumah sakit adalah 6,25%
dengan tingkat kematian 2,08% sedangkan pada fase pemeriksaan tindak lanjut
20,45% dengan tingkat kematian 0%.

Pengobatan
Pada dasarnya bertujuan untuk memperpanjang hidup dan memperbaiki
kualitas hidup dengan mencegah serangan angina baik secara medikal atau
pembedahan.
a. Pengobatan medikal
Bertujuan untuk mencegah dan menghilangkan serangan angina. Ada 3
jenis obat yaitu :
1. Golongan nitrat
Nitrogliserin merupakan obat pilihan utama pada serangan angina
akut. Mekanisme kerjanya sebagai dilatasi vena perifer dan pembuluh
darah koroner. Efeknya langsung terhadap relaksasi otot polos
vaskuler. Nitrogliserin juga dapat meningkatkan toleransi exercise
padapenderita angina sebelum terjadi hipoktesia miokard. Bila di
berikan sebelum exercise dapat mencegah serangan angina
2. Ca- Antagonis
Dipakai pada pengobatan jangka panjang untuk mengurangi
frekwensi serangan pada beberapa bentuk angina.

44
Cara kerjanya :
 Memperbaiki spasme koroner dengan menghambat tonus vasometer
pembuluh darah arteri koroner (terutama pada angina Prinzmetal).
 Dilatasi arteri koroner sehingga meningkatkan suplai darah ke miokard
 Dilatasi arteri perifer sehingga mengurangi resistensi perifer dan
menurunkan afterload.
 Efek langsung terhadap jantung yaitu dengan mengurangi denyut, jantung
dan kontraktilitis sehingga mengurangi kebutuhan O2.

3. Beta Bloker
Cara kerjanya menghambat sistem adrenergenik terhadap miokard yang
menyebabkan kronotropik dan inotropik positif, sehingga denyut jantung dan
curah jantung dikurangi. Karena efeknya yang kadiorotektif, obat ini sering
digunakan sebagai pilihan pertama untuk mencegah serangan angina pektoris pada
sebagian besar penderita.

Pembedahan
Prinsipnya bertujuan untuk memberi darah yang lebih banyak kepada otot
jantung dan memperbaiki obstruksi arteri koroner. Ada 4 dasar jenis pembedahan:
1) Ventricular aneurysmectomy : Rekonstruksi terhadap kerusakan ventrikel
kiri
2) Coronary arteriotomy : Memperbaiki langsung terhadap obstruksi arteri
koroner
3) Internal thoracic mammary : Revaskularisasi terhadap miokard.
4) Coronary artery baypass grafting (CABG) : Hasilnya cukup memuaskan
dan aman yaitu 80%-90% dapat menyembuhkan angina dan mortabilitas
hanya 1 % pada kasus tanpa kompilasi.
5) Metode terbaru lain di samping pembedahan adalah percutanecus
transluminal coronary angioplasty (PCTA), Percutaneous ratational
coronary angioplasty (PCRA) dan laser angioplasty.

45
Pengobatan bertujuan untuk mempepanjang hidup dan memperbaiki
kualitas hidup baik secara medikal maupun pembedaan. Prinsipnya menambah
suplai O2 ke daerah iskemik atau mengurangi kebutuhan O2. Pencegahan terhadap
faktor risiko terjadinya angina pekrotis lebih penting dilakukan dan sebaiknya
dimulai pada usia muda seperti menghindarkan kegemukan, menghindarkan
stress, diet rendah lemak, aktifitas fisik yang tidak berlebihan dan tidak merokok.

Pada kasus diatas diketahui bahwa pasien mempunyai riwayat tekanan


darah tinggi (hipertensi). Penyakit Ginjal kronik merupakan salah satu penyakit
yang penyebabnya dapat disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah
hipertensi yang lama dan tidak terkontrol. Pada kasus ini juga pasien mengaku
sudah lama menderita tekanan darah tinggi dan pasien tidak pernah/jarang berobat
ke dokter. Pasien hanya berobat ketika ada keluhan. Sampai suatu hari, badan
pasien menjadi bengkak kemudian pasien berobat dan diketahui bahwa pasien
menderita penyakit ginjal kronik/gagal ginjal kronik.

Diagnosis ini dapat ditegakkan selain melalui keluhan pasien dan


pemeriksaan fisik pada pasien, hal yang penting untuk diperhatikan adalah kadar
ureum dan kreatinin pasien yang tinggi pada pemeriksaan fungsi ginjal. Melalui
hasil ureum serum dapat dilakukan penghitungan perkiraan laju filtrasi glomerulus
pada pasien, dimana didapatkan pasien telah didapatkan penurunan laju filtrasi
glomerulus yang signifikan.

46
BAB III

KESIMPULAN

Hipertensi merupakan penyebab penyakit ginjal dan hipertensi dapat pula


terjadi akibat penyakit ginjal menahun. Beberapa penelitian membuktikan bahwa
penurunan tekanan darah memberikan keuntungan mengurangi kerusakan organ
target atau mengurangi progresivitas penyakit ginjal. Tingkat mortalitas akibat
kardiovaskuler penderita penyakit ginjal menahun makin lama makin tinggi
karena penyakit ginjal menahun hampir tidak dapat dipisahkan dari penyakit
kardiovaskuler. Tingginya prevalensi hipertensi sebagai faktor risiko
kardiovaskuler dan penderita penyakit ginjal menahun sering disertai hipertensi
sehingga menambah faktor risiko kerusakan organ.

Dari data Indonesian Renal Registry (Registrasi penyaki ginjal di


Indonesia) prevalensi hipertensi pada penderita yang dilakukan tindakan
hemodialisis sebesar 34%. Di Amerika didapatkan tiga orang dewasa menderita
hipertensi. Prevalensi makin meningkat bila disertai penyakit ginjal menahun
(kronik) dan makin meningkat sesuai dengan penurunan fungsi ginjal.

Patofisologi terjadinya peningkatan tekanan darah pada pasien dengan


penyakit ginjal kronik yakni karena secara alami tubuh mempunyai system
autoregulasi yang mengatur tingginya tekanan darah agar perfusi jaringan tetap
tercukupi. Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan tekanan darah untuk
mempertahakan perfusi jaringan tubuh meliputi mediator humoral, kemampuan
adaptasi dan elastisitas vaskular, volume dan viskositas darah, curah jantung dan
stimulasi neural. Selain itu juga tejkana darah dipengaruhi oleh faktor predisposisi
genetik dan asupan natrium.

Ginjal mempunyai beberapa fungsi di dalam tubuh, diantaranya system


Renin Angiotensin dan pengaturan natrium dalam tubuh, kedua faktor itu
mempunyai peranan yang dominan dalam pengaturan keseimbangan tekanan

47
darah. Mungkin pula kelaianan ginjal pada stadium awal atau kelainan yang tak
dapat dibuktikan merupakan penyebab yang berperan dalam proses hipertensi
primer, dan hipertensi yang berlangsung lama serta makin berat akan
menyebabkan nefroslerosis.

Tabel 5. Faktor Penyebab Hipertensi pada Penyakit Ginjal Menahun

Faktor Risiko Mekanisme


Gangguan ekskresi natrium Peningkatan volume ekstraselular
Aktivasi Renin-Angiotensin Vasokonstriksi peningkatan simpatis
Aktivitas simpatis Vasokonstriksi langsung pelepasan renin
Keseimbangan prostaglandin kinin Vasokonstriksi
Endotelin Vasokonstriksi gangguan ginjal
NO berkurang Hilangnya vasodilator

Salah satu cara untuk mengurangi progresivitas penyakit ginjal menahun


adalah dengan :

1. Mengendalikan tekanan darah

2. Menilai kelainan ginjal dan mengurangi progresivitas.

Terapi non farmakologi untuk mencapai target penurunan tekanan darah


terutama dengan kontrol yang baik terhadap cairan dan natrium. Kelebihan cairan
dan natrium berperan penting dalam patogenesis hipertensi pada pasien penyakit
ginjal menahun untuk melalukan kontrol terhadap cairan ekstraseluler dan natrium
yang berlebih dapat dilakukan melalui restriksi asupan garam, meningkatkan
ultrafiltrasi dan resep kadar natrium dialisat.

Beberapa jenis antihipertensi direkomendasikan untuk beberapa jenis


penyakit ginjal menahun tertentu. Namun, secara alami tubuh mempunyai system
autoregulasi yang mengatur tingginya tekanan darah agar perfusi jaringan tetap
tercukupi. Selain itu tekanan darah juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi
genetik dan asupan natrium.

48
The kidney Disease Outcome Quality Initiative (K-DOQI) memberikan
petunjuk bahwa pemberian antihipertensi untuk hipertensi pada penyakit ginjal
dengan tujuan untuk mengurangi progresivitas penyakit ginjal dan mengurangi
perburukan kondisi kardiovaskular.

49
50

Anda mungkin juga menyukai