Anda di halaman 1dari 10

MENIMBANG CATATAN USTAD „SALAFI‟ TERHADAP BUKU KARYA USTAD

ABDUS SHOMAD

(Telaah Kritis Atas Pengkaburan „Ilmiah‟ Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi Terhadap Konsep
Tauhid, Tafwidh & Ta‟wil)

Penulis: Ustad Abu Suheil Abdurrahaman


Editor: Ustad Maaher At-Thuwailibi

Dunia medsos diramaikan oleh kritikan/catatan dalam bentuk buku/PDF seorang Ustad
“Salafi” bernama Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi terhadap buku Ustadz Abdus
Shomad Hafizhahullah yang berjudul “37 Masalah Populer”. Saya baca sambil senyam-
senyum, seolah Abu Ubaidah As-Sidawi sedang memposisikan buku Ustad Abdus Shomad
sebagai Ahlul Bathil.

Seolah Ustadz Abdus Shamad dengan bukunya itu adalah musuh agama Allah yang harus
diperangi. Abu Ubaidah As-Sidawi sudah siap di komen negatif, tapi ajaibnya, yang
mendapatkan komen negatif di dunia medsos adalah justru Ustad Abdus Shamad, khususnya
dari pendukung Abu Ubaidah As-Sidawi, seperti yang saya baca sendiri Ustad Abdus
Shamad disebut pendusta, keledai, dsb.

Mari kita timbang kritikan/catatan Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi terhadap buku Ustad
Abdus Shamad diatas.

PERTAMA: MASALAH AQIDAH.

Kata Abu Ubaidah As-Sidawi, Ustad Abdus Shamad mengikuti metode tafwidh dan ta‟wil
dalam menyikapi tauhid asma‟ wa sifat. Lalu kata Abu Ubaidah As-Sidawi, dua metode ini
diingkari para salafush shalih.

Salaf mana yang dimaksud Abu Ubaidah As-Sidawi? Sebab, istilah “Tauhid Asma wa Shifat”
sebagai sebuah nomenklatur pun belum di kenal pada masa Salaf (terdahulu) alias
MUHDATS. Istilah “Tauhid Rububiyah”, “Uluhiyah”, dan “Asma wa Sifat” baru ada di
masa khalaf (terkemudian). Jika ada yang mengatakan pembagian tauhid itu sudah ada di
masa salaf, bisa dipastikan dia dusta, atau ngigau.! Lalu siapa yang pertama kali membagi
seperti itu? toh Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah pun hanya membagi tauhid menjadi dua. Dalam
majalah Nurul Islam, yang diterbitkan para masyayikh Al-Azhar Asy-Syarif (Rabi‟u Tsani
tahun 1352 H), terdapat kritikan terhadap pembagian Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma‟ Wa
Shifat itu.

Al-„Allamah Yusuf Ad-Dajwiy Al-Azhariy berkata:


‫ضا‬ٝ‫ش ٍؼق٘ه ا‬ٞ‫ت ٗ غ‬َٞٞ‫ش ٍؼشٗف الحذ فبو ابِ ح‬ٞ‫ٌ غ‬ٞ‫ت) حقغ‬ٕٞ٘‫ذ االى‬ٞ‫ت ٗ ح٘ح‬ٞ‫ذ اىشب٘ب‬ٞ‫ ح٘ح‬ٚ‫ْقغٌ اى‬ٝ ‫ذ‬ٞ‫ (اُ اىخ٘ح‬:ٌٖ‫ق٘ى‬
ٔ‫ مَا عخؼشف‬...

[Perkataan mereka bahwa sesungguhnya tauhid itu terbagi atas tauhid rububiyah dan tauhid
uluhiyah, ini adalah pembagian yang tidak dikenal oleh seorang pun sebelum Ibnu Taimiyah
dan juga tidak masuk akal sebagaimana yang akan anda ketahui..., dst.]

Anggaplah masalah ini bukan fokus kita. toh dari sini juga sudah jelas, mungkin maksud Abu
Ubaidah As-Sidawi salaf yang lain kali, tapi kalau Salafnya adalah Rasulullah ‫ﷺ‬, para
sahabat, tabi‟in, tabi‟ut tabi‟in, imam empat madzhab, ya tidak ada yang mengenal istilah
“Tauhid Asma wa Sifat” di masa itu.

KEDUA: BENARKAH ULAMA SALAF MENOLAK TAFWIDH?

Tafwidh itu, makna sederhananya ialah => mengembalikan makna sifat Allah ‫ ﷻ‬kepada Allah
‫ﷻ‬, Dialah yang tahu ilmu dan maknanya. Nah, apa yang dikatakan Ustad Abdus Shamad
tidaklah salah, sebab Imam Al-Alusi mengomentari surat Al-A‟raf ayat 54:

‫ ْاى َؼ ْش ِػ‬َٚ‫ َػي‬ََٙ٘ ‫ثٌُ ا ْعخ‬

“Kemudian Allah bersemayam di atas „Arsy”

Beliau (Imam Al-Alusi) berkata:

ٚ‫ هللا حؼاى‬ٚ‫ض اىَشاد ٍْٔ إى‬ٝ٘‫ ٍثو رىل حف‬ٜ‫ٗأّج حؼيٌ أُ اىَشٖ٘س ٍِ ٍزٕب اىغيف ف‬

“Engkau telah mengetahui, bahwa yang masyhur dari madzhab SALAF dalam hal seperti ini
adalah tafwidh (menyerahkan) maksudnya kepada Allah Ta‟ala.” (Kitab Ruhul Ma‟aniy,
8/136)

Dalam Ruhul Ma‟ani juga disebutkan:

ٛ‫ اىَحاه اىز‬ْٚ‫ ػِ اىَؼ‬ٚ‫ٖٔ حؼاى‬ٝ‫ حْض‬ٚ‫ؼبش ػٌْٖ باىَف٘ضت ػي‬ٝٗ ‫ؼبش ػٌْٖ باىَؤٗىت ٗاىغيف‬ٝٗ ‫ أجَغ اىخيف‬: ّٜ‫قاه اىيقا‬
ٚ‫ جاء بٔ سع٘ه هللا طي‬ٚ‫َاُ بٔ بأّٔ ٍِ ػْذ هللا حؼاى‬ٝ‫ اإل‬ٚ‫ئ ٗإخشاجٔ ػِ ظإشٓ اىَحاه ٗػي‬ٝٗ‫ حأ‬ٚ‫ٔ اىظإش ٗػي‬ٞ‫ده ػي‬
ٌ‫ٔ ٗعي‬ٞ‫ هللا ػي‬...

[ Al-Laqqani berkata, “Kaum khalaf -sering disebut orang-orang yang melakukan takwil-
dan kaum salaf -sering disebut sebagai orang yang melakukan tafwidh- telah sepakat untuk
mensucikan Allah dari lafaz zhahir yang mustahil bagi Allah, menakwil dan mengeluarkan
dari lafaz zhahir yang mustahil, serta mengimani bahwa hal itu adalah dari Allah yang
diturunkan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬. (Ruhul Ma‟ani, 16/160)

Apa yang dikatakan Ustad Abdus Shomad TIDAK SALAH, sebab Imam Ibnu Taimiyah
Rahimahullah berkata:

" ِْ ٍِ ِٔ ‫ع٘ ِى‬ ُ ‫اُ َس‬ ِ ‫غ‬ َ ‫ ِى‬َٚ‫ ِي ِٔ أَ ْٗ َػي‬ٝ‫ ِمخ َا ِب ِٔ َٗح َ ْْ ِض‬ِٜ‫غُٔ ف‬
َ ‫ ِب َٖا َّ ْف‬َٚ‫ع‬ َ َٗ ُٔ‫غ‬َ ‫ف ِب َٖا َّ ْف‬ َ ‫ط‬َ َٗ ِٜ‫ َٗأ َ ْع ََائِ ِٔ " اىخ‬َٚ‫ث َّللاِ حَ َؼاى‬ ِ ‫ظفَا‬ ِْ
ِ ‫ ََاُُ ِب‬ٝ‫اإل‬
‫ث‬ِ ‫ظفَا‬ ِ ‫ ٍٔ ىَ َٖا ِب‬ٞ‫ظإ َِشَٕا َٗ َال حَ ْش ِب‬ َ ‫ف‬ ْ ٍ ‫ َٖا َٗ َال َّ ْق‬ْٞ َ‫َادَةٍ َػي‬ٝ‫ ِْش ِص‬ٞ‫َغ‬
ُ ‫ُخَا ِى‬ٝ ‫ ٍو ىَ َٖا ِب ََا‬ِٝٗ ‫ ٍش ىَ َٖا َٗ َال ح َأ‬ِٞ‫ض ٍِ ْْ َٖا َٗ َال ح َ َج ُاٗ ٍص ىَ َٖا َٗ َال ح َ ْفغ‬
- ٌْ ُٖ ‫ض‬ ُ ‫ َٗقَا َه بَ ْؼ‬. ‫ ْاى َُخَ َن ِ ّي ٌِ ِب َٖا‬َٚ‫ قَائِ ِي َٖا ؛ َٗ ٍَ ْؼَْإَا إى‬َٚ‫ث َٗ َسدُّٗا ِػ ْي ََ َٖا إى‬ ْ ‫ِ بَ ْو أ َ ٍَ ُشَٕٗا َم ََا َجا َء‬ٞ‫ث اىَحذث‬ ِ ‫َِ ؛ َٗ َال ِع ََا‬ِٞ‫ْاى ََ ْخيُ٘ق‬
ِ‫ع٘ ِه َّللا‬ ُ ‫ ٍُ َشا ِد َس‬َٚ‫عي ٌَ َػي‬ َ َٗ ِٔ ْٞ َ‫ َّللاُ َػي‬ٚ‫طي‬ َ ِ‫ع٘ ِه َّللا‬ ُ ‫ " آ ٍَ ْْج ِب ََا َجا َء َػ ِْ َّللاِ َٗ ِب ََا َجا َء َػ ِْ َس‬: - ِ ٜ ّ ‫ َػ ِْ اىشافِ ِؼ‬َٙٗ ‫ ُْش‬َٝٗ "
“Beriman kepada Sifat Allah Ta‟ala dan Nama-Nya yang telah Dia sifatkan diri-Nya sendiri,
dan Dia namakan diri-Nya sendiri, di dalam Kitab-Nya dan wahyu-Nya, atau atas lisan
Rasul-Nya, dengan tanpa penambahan atau pengurangan atasnya, tidak melampauinya,
tidak menafsirkannya dengan apa-apa yang menyelisihi zhahirnya, tidak menyerupakannya
dengan sifat-sifat makhluk, dan apalagi dengan pembawa berita, TETAPI MEMBIARKAN
SEBAGAIMANA DATANGNYA, DAN MENGEMBALIKAN ILMUNYA KEPADA YANG
MENGUCAPKANNYA, dan mengembalikan maknanya kepada yang membicarakannya.
Sebagian mereka berkata: -diriwayatkan dari Imam Asy Syafi‟i- : Aku beriman dengan apa-
apa yan datang dari Allah, dan yang datang dari Rasulullah Shllalalhu 'Alaihi wa Sallam
dengan maksud dari Rasulullah.”(Majmu‟ Fatawa, 4/2)

USTAD ABDUS SHOMAD TIDAK SALAH. sebab Al-Imam Ibnu Hajar mengutip ucapan
Ibnul Munayyar sebagai berikut:

‫ َٖا ْاى َؼ ْقو‬ْٞ َ‫ ِإى‬ِٛ‫ ْٖخَذ‬َٝ ‫طفَاث رَاث أَثْ َبخَ َٖا اىغ َْغ َٗ َال‬ِ ‫ أ َ َحذَٕا أَّ َٖا‬: ‫ذ ث َ ََلثَت أ َ ْق َ٘اه‬َٞ ‫ ِِْ َٗ ْاى َ٘جْ ٔ َٗ ْاى‬ٞ‫ظفَاث م َْاى َؼ‬ّ ِ ‫ َٕ ِز ِٓ اى‬ِٜ‫َٗ ِِل َ ْٕ ِو ْاىن َََلً ف‬
‫ َٗاىثا ِىث ِإ ٍْ َشاسَٕا‬، ‫طفَت ْاى ُ٘ ُج٘د‬ ِ ِْ ‫ت َػ‬َٝ ‫ َٗ ْاى َ٘جْ ٔ ِمَْا‬، ‫طفَت ْاىقُذ َْسة‬
ِ ِْ ‫ت َػ‬َٝ ‫ذ ِمَْا‬َٞ ‫ َٗ ْاى‬، ‫ظش‬ َ ‫طفَت ْاى َب‬ ِ ِْ ‫ت َػ‬َٝ ‫ِْ ِمَْا‬ٞ‫ أَُ ْاى َؼ‬ِّٜ‫ َٗاىثا‬،
َٚ‫ َّللا حَ َؼاى‬َٚ‫ث ٍُفَ٘ضًا ٍَ ْؼَْإَا ِإى‬ ْ ‫ ٍَا َجا َء‬َٚ‫َػي‬

[ Bagi Ahli kalam, tentang sifat-sifat ini seperti „mata‟, „wajah‟, „tangan‟, terdapat tiga
pendapat:

Pertama, sifat-sifat Allah adalah dzat yang ditetapkan oleh pendengaran (wahyu) dan tidak
mampu bagi akal untuk mengetahuinya.

Kedua, bahwa „mata‟ adalah kinayah (kiasan) bagi penglihatan, „tangan‟ adalah kinayah dari
kekuatan, dan „wajah‟ adalah kinayah dari sifat wujud. Ketiga, melewatinya sebagaimana
datangnya, dan menyerahkan (mufawwadha) maknanya kepada Allah Ta‟ala.

(Kitab Fathul Bari, 13/390)

Imam Ibnu Katsir berkata tentang surat Al-A‟raf ayat 54 yang berbunyi: “Tsummastawa
„alal „arsy” (kemudian Allah beristawa‟/bersemayam di atas Arsy).

Kata Imam Ibnu Katsir:

،‫ ٗأحَذ بِ حْبو‬،ٜ‫ ٗاىشافؼ‬،‫ث بِ عؼذ‬ٞ‫ٗاىي‬،ٛ‫ ٗاىث٘س‬،ٜ‫ ٗاِلٗصاػ‬،‫ ٍاىل‬:‫ ٕزا اىَقاً ٍزٕب اىغيف اىظاىح‬ٜ‫ُغيل ف‬ٝ ‫ٗإَّا‬
‫ٔ ٗال‬ٞ‫ف ٗال حشب‬ٞٞ‫ش حن‬ٞ‫ ٕٗ٘ إٍشاسٕا مَا جاءث ٍِ غ‬،‫ثا‬ٝ‫َا ٗحذ‬ٝ‫ِ قذ‬َٞ‫ ٍِ أئَت اىَغي‬،ٌٕ‫ش‬ٞ‫ٔ ٗغ‬ٕٝ٘‫ٗإعحاق بِ سا‬
‫اّناس‬.

[ Sesungguhnya cara yang ditempuh oleh madzhab salafus shalih dalam hal ini, seperti
Malik, Al-Auza‟i, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa‟ad, Asy-Syafi‟i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin
Rahawaih, dan lain-lain, dari kalangan Imam muslimin baik dahulu maupun sekarang.
MEREKA MELEWATINYA (MEMBIARKAN) SEBAGAIMANA DATANGNYA dengan tanpa
bertanya bagaimana, tanpa menyerupakan, dan tanpa mengingkari ]

(Tafsir Al-Quranil „Azhim/Tafsir Ibnu Katsir 3/ 427)


LAGI-LAGI USTAD ABDUS SHOMAD TIDAK SALAH. sebab Imam Malik
Rahimahullah pernah ditanya tentang hadits-hadits sifat lalu dia menjawab:

‫ش‬ٞ‫ بَل حفغ‬،‫أٍشٕا مَا جاءث‬

“Biarkan saja sebagaimana datangnya, jangan tafsirkan.”

(Imam Adz Dzahabi, Siyar A‟lamin Nubala‟ 8/105)

Nah ... Ustad Abdus Shamad tidak salah ketika mengatakan bahwa SALAF ITU TAFWIDH,
yaitu Tafwidhul ma‟na ilallah, mengembalikan maknanya kepada Allah ‫ﷻ‬.

Ini juga pendapat Syaikh Hasan Al-Banna Rahimahullah dalam kitab Al-„Aqaid-nya (seorang
Syaikh yang sangat dibenci oleh Abu Ubaidah As-Sidawi dan komunitasnya)..

Kata Imam Hasan Al-Banna Rahimahullah:

‫ حغَا ىَادة‬، ‫ باالحباع‬ٚ‫ أعيٌ ٗأٗى‬ٚ‫ هللا حباسك ٗحؼاى‬ٚ‫ إى‬ّٜ‫ض ػيٌ ٕزٓ اىَؼا‬ٝ٘‫ اىغيف ٍِ اىغن٘ث ٗحف‬ٛ‫ّٗحِ ّؼخقذ أُ سأ‬
‫َل‬ٝ‫ فَل حؼذه بٔ بذ‬، ِٞ‫ق‬ٞ‫ ٗأثيج طذسٓ ببشد اى‬، ُ‫َا‬ٝ‫ْت اإل‬ّٞ‫ فئُ مْج ٍَِ أعؼذٓ هللا بطَأ‬، ‫و‬ٞ‫و ٗاىخؼط‬ٝٗ‫اىخأ‬

“Kami meyakini bahwa pendapat salaf yakni diam dan menyerahkan ilmu makna-makna ini
kepada Allah Ta‟ala adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti, dengan memangkas
habis takwil dan ta‟thil (pengingkaran), maka jika Anda adalah termasuk orang yang telah
Allah bahagiakan dengan ketenangan iman, dan disejukkan dadanya dengan salju embun
keyakinan, maka janganlah mencari gantinya (salaf).”

(Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna, Majmu‟ Ar Rasail, Hal. 368. Al-Maktabah At-
Taufiqiyah)

Ini juga dikatakan Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, yang berkata:

‫ض‬ٝ٘‫حف‬
ُ ُ‫جب‬ٝ ٛ‫ ٕٗزا ٕ٘ اىز‬، ٓ‫ش‬ٞ‫ مْٔ راحٔ ٗطفاحٔ غ‬ٚ‫قف ػي‬ٝ ‫ ٗال‬، ٔ‫تَ ٍا أخبش هللا بٔ ػِ ّفغ‬ٞ‫ف‬ٞ‫ؼشف م‬ٝ
ُ ‫فئُِ أحذ ًا ال‬
‫ هللا ػض ٗج َو‬ٚ‫ٔ إِى‬ٞ‫اىؼيٌ ف‬

[ Maka, sesungguhnya tak ada satu pun manusia yang mengetahui bagaimana caranya,
tentang apa-apa yang Allah kabarkan tentang diri-Nya, dan tidak ada yang mengerti asal-
Nya, Dzat-Nya, Sifat-Nya, selain diri-Nya; dan yang demikian itulah yang diwajibkan untuk
menyerahkan (TAFWIDH) ilmu tentang hal itu kepada Allah „Azza wa Jalla.”

(Mujmal I‟tiqad A‟immah As-Salaf Hal. 141)

KETIGA: MASALAH TA’WIL.

Benarkah Ta‟wil Itu Bukan Perilaku Salaf sebagaimana klaim Abu Ubaidah Yusuf As-
Sidawi?

Anggapan Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi bahwa Tafwidh adalah metode yang diingkari
salaf, merupakan anggapan yang ngelindur, ngigau, dan ngawur. Nah, menurut Abu
Ubaidah, ta‟wil juga metode yang diingkari salaf .. benarkah? Ataukah dia lagi-lagi sedang
mengigau?
Kita akan dapati bahwa sebagian salaf, mulai dari sahabat dan tabi‟in juga ada yang
melakukan ta‟wil terhadap sifat-sifat yang disandarkan kepada Allah Ta‟ala. Namun, pada
generasi selanjutnya, metode ta‟wil inilah yang lebih sering ditempuh oleh para ulama. Maka
boleh kita katakan, ta‟wil merupakan madzhab jumhur setelah masa-masa abad-abad pertama
Islam. Ta‟wil yang kita bahas di sini, bukanlah ta‟wil kaum zindiq yang memang telah
melakukan penyimpangan terhadap makna-makna sifat Allah Ta‟ala.

Sebelum kami paparkan tentang contoh ta‟wil para Imam Ahlus Sunnah, kami akan berikan
rambu-rambu ta‟wil, dari Syaikh Al-„Allamah Muhammad bin Shalih Al „Utsaimin
Rahimahullah.

Syaikhuna Muhammad Bin Shalih Al-„Utsaimin membagi ta‟wil menjadi tiga dalam kitab
Lum‟atul I‟tiqad Hal 19 (kami ringkas saja):

1=>Dilakukan melalui ijtihad dan niat yang baik. Maka ini dimaafkan.

2=> Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan memiliki argumentasi bahasa Arab,
maka pelakunya fasiq, kecuali jika pendapatnya itu terdapat penguarangan atau aib terhadap
Allah maka itu bias kufur.

3=> Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan tanpa memiliki argumentasi bahasa
Arab. Keloimpok ini kufur, kaena pada hakikatnya kedustaan yang tidak berdasar.

Jadi, Syaikh Ibnu „Utsaimin saja masih bisa menerima ta‟wil walau bersyarat.

Berikut ini beberapa contoh ta‟wil yang dilakukan oleh sahabat Nabi dan Tabi‟in
ridhwanullah „alaihim jami‟an, terhadap ayat-ayat sifat.

Firman Allah Ta‟ala tentang „tangan‟:

‫َذُ َّللاِ ٍَ ْغيُ٘ىَت‬ٝ ُ‫َ ُٖ٘د‬ٞ‫ج ْاى‬


ِ َ‫َٗقَاى‬

“Dan orang Yahudi berkata: tangan Allah terbelenggu ..”

Ayat ini tidak mungkin dipahami sesuai teksnya, sebab membawa makna Allah Ta‟ala serupa
dengan makhluk-Nya sendiri yang tangannya terbelenggu. Oleh karena itu, Abdullah bin
Abbas Radhiallahu „Anhuma mengatakan:

‫ًشا‬ٞ‫ػي٘ا مب‬
ًّ ُ٘‫ق٘ى‬ٝ ‫ هللا ػَا‬ٚ‫ حؼاى‬،ٓ‫و أٍغل ٍا ػْذ‬ٞ‫ إّٔ بخ‬:ُ٘‫ق٘ى‬ٝ ٌْٖ‫ ٗىن‬،‫ذ هللا ٍ٘ثقت‬ٝ ُ‫ؼُْ٘ بزىل أ‬ٝ ‫ظ‬ٞ‫ى‬.

“Maknanya bukanlah tangan Allah terikat, tetapi mereka mengatakan: Sesungguhnya Allah
Ta‟ala bakhil, lantaran telah menahan apa-apa yang ada pada-Nya, Maha Tinggi Allah dari
apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang besar.

Sementara Qatadah Radhyiallahu „Anhu mengatakan:

‫ش ج٘اد‬ٞ‫و غ‬ٞ‫ هللا بخ‬:‫ قاى٘ا‬،"‫ذ هللا ٍغي٘ىت‬ٝ":ٔ‫!أٍا ق٘ى‬

“Ada pun tentang firman-Nya, “Tangan Allah Terbelenggu”, mereka mengatakan: “Allah itu
bakhil tidak dermawan.”
(Imam Abu Ja‟afar bin Jarir Ath Thabari, Jami‟ul Bayan fi Ta‟wilil Quran, 10/452-453)

Imam Ibnu Katsir telah menyebutkan, dari Ibnu Abbas tentang makna „terbelenggu‟: yakni
bakhil. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al „Azhim, 3/146)

Imam Al-Baghawi Rahimahullah berkomentar tentang ayat tersebut:

ٌٖ‫ ماّ٘ا ٍِ أمثش اىْاط ٍاال ٗأخظب‬ٚ‫ٖ٘د حخ‬ٞ‫ اى‬ٚ‫ ماُ قذ بغظ ػي‬ٚ‫ إُ هللا حؼاى‬:‫قاه ابِ ػباط ٗػنشٍت ٗاىضحاك ٗقخادة‬
:‫ فؼْذ رىل قاه فْحاص بِ ػاصٗساء‬،‫ٌٖ ٍِ اىغؼت‬ٞ‫ أٍش دمحم ﷺ ٗمزب٘ا بٔ مف هللا ػٌْٖ ٍا بغظ ػي‬ٜ‫ت فيَا ػظ٘ا هللا ف‬ٞ‫ّاح‬
‫ هللا ػِ رىل‬ٚ‫ حؼاى‬،‫ اىبخو‬ٚ‫ ٍحب٘عت ٍقب٘ضت ػِ اىشصق ّغب٘ٓ إى‬:ٛ‫ أ‬،‫ذ هللا ٍغي٘ىت‬ٝ.

“Berkata Ibnu Abbas, Ikrimah, Adh Dhahak, dan Qatadah: “Sesungguhnya Allah Ta‟ala
begitu lapang terhadap Yahudi sampai-sampai mereka menjadi manusia yang paling banyak
hartanya dan kelompok paling makmur di antara mereka. Lalu, ketika mereka mengingkari
Allah dalam urusan Muhammad Shallallahu „Alaihi wa Sallam dan mendustakannya, maka
Allah Ta‟ala menahan buat mereka apa-apa yang dahulu Dia lapangkan, maka saat itulah
Finhash bin „Azura berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, yaitu dikekang dan dicabut dari
rezeki, mereka menyandarkan-Nya dengan kebakhilan. Maha Tinggi Allah dari hal itu.”

(Imam Al Baghawi, Ma‟alim At Tanzil, 3/76)

Ayat lainnya:

ْ َ‫قُ ْو ِإُ ْاىف‬


‫َ ِذ َّللا‬ٞ‫ض َو ِب‬

“Katakanlah: "Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah..” (QS. Ali Imran ayat 73)

Imam Ibnu Katsir menta‟wil ayat ini, katanya:

‫شاء‬ٝ ٍِ ‫ضو‬ٝٗ ،ً‫َاُ ٗاىؼيٌ ٗاىخظ٘س اىخا‬ٝ‫شاء باإل‬ٝ ٍِ ٚ‫ َُ ِّ ػي‬َٝ ،‫ اىَاّغ‬ٜ‫ ٕٗ٘ اىَؼط‬،ٔ‫ف‬ٝ‫اِلٍ٘س ميٖا ححج حظش‬
ُ :ٛ‫أ‬
‫ ٗىٔ اىحجت ٗاىحنَت‬،‫ بظشٓ غشاٗة‬ٚ‫جؼو ػي‬ٝٗ ،ٔ‫ عَؼٔ ٗقيب‬ٚ‫خخٌ ػي‬ٝٗ ،ٔ‫شح‬ٞ‫ بظشٓ ٗبظ‬َٜ‫ُؼ‬ٝٗ

“Yaitu semua urusan di bawah pengaturan-Nya. Dialah yang memberi dan menolak. Dia
memberikan karunia berupa ilmu, iman, dan seluruh tindakan kepada siapa saja secara
sempurna. Serta menyesatkan, membutakan penglihatannya dan mata hatinya, menutup
pendengarannya dan hatinya, dan menjadikan pada pandangannya halangan, dan Dia-lah
yang memiliki hujjah dan hikmah.” (Tafsir Al-Quran Al-„Azhim, 2/60)

Dalam ayat lain, yang menyebutkan sifat Wajhullah (Wajah Allah), para Imam Ahlus Sunnah
pun melakukan ta‟wil:

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

َ ‫ { ُم ُّو‬:‫ٕٗنزا ق٘ىٔ ٕا ْٕا‬.


ٓ‫ا‬ٝ‫ إال إ‬:ٛ‫ءٍ َٕا ِىل ِإال َٗجْ َُٖٔ } أ‬ْٜ ‫ش‬
“Demikian juga, firman-Nya di sini: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya”, yaitu
kecuali Diri-Nya” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al „Azhim, 6/261)

Begitu pula Imam Al-Qurthubi Rahimahullah mengatakan tentang makna „Wajah Allah‟:

‫ ىشضائٔ ٗطيب‬ٛ‫ " إَّا ّطؼَنٌ ى٘جٔ هللا " أ‬:‫قاه‬

‫ اىجْت‬ٜ‫ هللا ىٔ ٍثئ ف‬ْٚ‫ بٔ ٗجٔ هلل ب‬ٜ‫بخغ‬ٝ ‫ ٍغجذا‬ْٚ‫ (ٍِ ب‬:‫ ٍْٗٔ ق٘ىٔ ﷺ‬،ٔ‫)ث٘اب‬.

“Allah Ta‟ala berfirman: „Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian,


hanyalah demi wajah Allah.‟ Yaitu demi ridha-Nya, dan mencari pahala-Nya, dari itulah
Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa membangun masjid
dengan mengharap wajah Allah, maka akan Allah bangunkan baginya yang seumpama itu di
surga.” (Al-Jami‟ Li Ahkamil Quran, 2/84)

Belau juga mengatakan:

( ‫ا * فنو شئ‬ٝ‫ خيقٔ اىَْا‬ٚ‫ ػي‬ٚ‫ قض‬:‫ قاه اىشاػش‬،ّٔ‫ فاى٘جٔ ػباسة ػِ ٗج٘دٓ ٗراحٔ عبحا‬،‫ هللا‬ٚ‫بق‬ٝٗ ٛ‫ ٗجٔ سبل) أ‬ٚ‫بق‬ٝٗ
ّٜ‫ع٘آ فا‬

ٌٕ‫ش‬ٞ‫ ٗغ‬ٜ‫ ابِ ف٘سك ٗأب٘ اىَؼاى‬:‫ اسحضآ اىَحققُ٘ ٍِ ػيَائْا‬ٛ‫ٕٗزا اىز‬.

ٔ‫ ٗأٍا اى٘جٔ فاىَشاد ب‬:ٜ‫ ٗجٔ سبل رٗ اىجَله ٗاالمشاً) ٗقاه أب٘ اىَؼاى‬ٚ‫بق‬ٝٗ( :‫ اى٘جٔ ػباسة ػْٔ مَا قاه‬:‫ٗقاه ابِ ػباط‬
‫خْا‬ٞ‫ اسحضآ ش‬ٛ‫ ٕٗ٘ اىز‬،ٚ‫ حؼاى‬ٛ‫ػْذ ٍؼظٌ أئَخْا ٗج٘د اىباس‬.

( Dan yang tersisa hanyalah wajah Rabb-mu, yaitu yang tersisa hanyalah Allah, wajah
merupakan ibarat (perumpamaan) dari wujud-Nya dan Zat-Nya yang Maha Suci. Berkata
seorang penyair: “Telah ditetapkan atas hamba-Nya kematian, Segala sesuatu selain-Nya
adalah binasa (fana).” inilah yang disetujui para muhaqqiq (peneliti) dari ulama kami,
seperti: Ibnu Furak, Abu Al-Ma‟ali, dan lainnya. )

Ibnu Abbas mengatakan: Wajah merupakan ibarat dari-Nya, sebagaimana frman-Nya: “Dan
yang tersisa hanyalah wajah Rabbmu yang memiliki keagungan dan kemuliann.” Abul Ma‟ali
mengatakan: “Ada pun wajah maksudnya adalah menurut imam-imam besar kami adalah
wujud Allah Ta‟ala, dan itulah yang disetujui oleh guru kami.” (Ibid, 17/165)

Ayat lainnya:

ِ ‫ُّ َٖا اىث َق‬َٝ‫ؽ ىَ ُن ٌْ أ‬


ُ‫َل‬ ُ ‫عَْ ْف ُش‬
َ

“Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu Hai manusia dan jin.” (QS. Ar Rahman
ayat 31)

Para ulama salaf pun melakukan ta‟wil atas ayat “kami akan memperhatikan”, sebab jika
dipahami secara zhahir makna „memperhatikan‟ membutuhkan alat penginderaan, dan itu
mustahil bagi Allah Ta‟ala. Oleh karena itu Imam Ibnu Jarir berkata tentang ayat tersebut:

‫ذ ٍِ هللا ىؼبادٓ ٗحٖذد‬ٞ‫ فئّٔ ٗػ‬: ٔ‫ي‬ٝٗ‫ٗأٍا حأ‬


“Ada pun ta‟wilnya adalah ancaman dari Allah dan menakut-nakuti.” Begitu pula yang
dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Adh Dhahak. (Jami‟ul Bayan, 23/41-42)

Ayat lain:

ٌْ ُ ‫َِْ ٍَا ُم ْْخ‬َٝ‫َٕٗ َُ٘ ٍَ َؼ ُن ٌْ أ‬

“ ..dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al-Hadid ayat 4)

Ayat ini mesti dita‟wil, sebab jika tidak, akan bertentangan dengan kalimat yang ada pada
ayat itu sendiri bahwa Allah bersemayam di „Arsy-Nya. Oleh karena itu Imam Ibnu Taimiyah
Rahimahullah dan para pengikutnya pun yang sangat anti ta‟wil, juga menakwil ayat ini.

Ayat ini tidak berarti Allah Ta‟ala secara zat ada di setiap tempat kita berada, dan tidak boleh
mengartikan demikian.

Kata Imam Ibnu Jarir, ta‟wilnya adalah:

‫ ػششٔ ف٘ق عَ٘احٔ اىغبغ‬ٚ‫ ٕٗ٘ ػي‬،ٌ‫ ٍٗخقيبنٌ ٍٗث٘ام‬،ٌ‫ؼيٌ أػَاىن‬ٝٗ ،ٌ‫ؼيَن‬ٝ ٌ‫َْا مْخ‬ٝ‫ٖا اىْاط أ‬ٝ‫ٕٗ٘ شإذ ىنٌ أ‬

“Dia menyaksikan kalian, wahai Manusia, dimana saja kalian berada Dia mengetahui kalian,
mengetahui perbuatan kalian, lalu lalang kalian, dan di tempat tinggal kalian,dan Dia di atas
„Arsy-Nya, di langit yang tujuh.” (Ibid, 23/196)

Demikianlah. Sebenarnya masih sangat banyak ta‟wil yang dilakukan para ulama terhadap
ayat-ayat sifat, dalam rangka menjaga kesucian sifat-sifat-Nya dari penakwilan menyimpang
manusia. Sikap ta‟wil ini di dukung deretan para Imam kaum muslimin, seperti Imam Al-
Ghazali, Imam An-Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Al-Khathabi, Imam
Fakruddin Ar-Razi, Imam Al-Jashash, Imam As-Suyuthi, Imam Al-Baqillani, Imam Ibnu
Daqiq Al „Ied, Imam Izzuddin bin Abdusalam, Imam Abul Faraj bin Al Jauzi, Imam An-
Nasafi, Imam Al-Bulqini, Imam Ar-Rafi‟i, Imam Al-Baidhawi, Imam Al-Amidi, Imam Al-
„Iraqi, Imam Ibnu Al „Arabi, Imam Al-Qurthubi, Imam Al-Qadhi „Iyadh, Imam Al-Qarrafi,
Imam Asy Syathibi, Imam Abu Bakar Ath-Thurthusi, Imam Syahrustani, Imam Al-Maziri,
Imam Isfirayini, Imam Dabusi, Imam As Sarakhsi, Imam At-Taftazani, Imam Al Bazdawi,
Imam Ibnul Hummam, Imam Ibnu Nujaim, Imam Al-Karkhi, Imam Al Kasani, Imam As-
Samarqandi, dan lain-lain. Mereka inilah yang biasa disebut kaum Asy „ariyah. (sebenarnya
kami ingin menguraikan satu-persatu bukti sikap mereka, namun ini sudah cukup mewakili)

Jika kita perhatikan, maka jumhur ulama adalah melakukan ta‟wil. Namun, para ulama salaf
(terdahulu), lebih sedikit melakukan ta‟wil. Ada apa dibalik ini? Ini bisa terjadi, lantaran
Islam dan Al-Quran telah menyebar ke seluruh penjuru dunia yang penduduknya bukan
berbahasa Arab. Sehingga, jika ayat-ayat dan hadits-hadits sifat ini dibaca dan difahami
secara literal (zhahiriyah), maka bisa menggelincirkan pemahaman orang awam yang tidak
bercita rasa bahasa Arab. Oleh karena itu, bangkitlah para ulama untuk melindungi nash-nash
tersebut, dari kemungkinan tafsiran berbahaya orang-orang „Ajam (non Arab).
Dari sisi ini, maka sebenarnya antara salaf dan khalaf, memiliki tujuan yang sama dengan
sikap mereka itu, AT-TANZIHUL WAHY (yakni menjaga kesucian Al-Quran). Oleh karena
itu, walau kami lebih condong kepada pemahaman SALAF (yaitu menetapkan metode
Itsbat), tidak selayaknya menjadikan polemik ini sebagai ajang saling pengkafiran sesama
umat Islam. sebab, para ulama yang berselisih pun tidak sampai tingkat seperti itu. Sebab
memojokkan kaum Asy‟ariyah (para penakwil) dan menuduhnya keluar dari Ahlus Sunnah,
sama juga memojokkan nama-nama para Imam kaum muslimin yang telah mendapat posisi
penting di hati umumnya kaum muslimin. Maka, renungkanlah!

Kesimpulan kami, Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi ini mesti banyak baca kitab lagi. nantikan
tulisan kami selanjutnya, “siapa bilang Aqidah Asy‟ariyyah itu sesat?”

Allahu A‟lam.

Anda mungkin juga menyukai