Anda di halaman 1dari 48

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

REFERAT

Uveitis

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono Soekarjo

Pembimbing:
dr. Yulia Fitriani, Sp. M

Disusun Oleh:

Grace Fidia 162 0221 200

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
TAHUN 2017/2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

UVEITIS

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun Oleh:

Grace Fidia 162 0221 200

Telah Disetujui Oleh Pembimbing:

dr. Yulia Fitriani, Sp. M

Tanggal: Februari 2018

2
BAB I
PENDAHULUAN

Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus
uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid yang
disebabkan oleh infeksi, trauma, neoplasia, atau proses autoimun. Struktur yang
berdekatan dengan jaringan uvea yang mengalami inflamasi biasanya juga ikut
mengalami inflamasi. Peradangan pada uvea dapat hanya mengenai bagian depan
jaringan uvea atau iris yang disebut iritis. Bila mengenai badan tengah disebut
siklitis. Iritis dengan siklitis disebut iridosiklitis atau disebut juga dengan uveitis
anterior dan merupakan bentuk uveitis tersering. Dan bila mengenai lapisan
koroid disebut uveitis posterior atau koroiditis. Uveitis umumnya unilateral,
biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia pertengahan. Ditandai adanya riwayat
sakit, fotofobia, dan penglihatan yang kabur, mata merah tanpa sekret mata
purulen dan pupil kecil atau ireguler. Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di
seluruh dunia diperkirakan sebesar 15 kasus/100.000 penduduk dengan
perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Uveitis merupakan salah
satu penyebab kebutaan. Morbiditas akibat uveitis terjadi karena terbentuknya
sinekia posterior sehingga menimbulkan peningkatan tekanan intraokuler dan
gangguan pada nervus optikus. Selain itu, dapat timbul katarak akibat penggunaan
steroid. Oleh karena itu, diperlukan penanganan uveitis yang meliputi anamnesis
yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan oftalmologis yang menyeluruh,
pemeriksaan penunjang dan penanganan yang tepat.
Uvea adalah organ yang terdiri dari beberapa kompartemen mata yang
berperan besar dalam vaskularisasi bola mata. Terdiri atas iris, badan silier dan
koroid. Uveitis didefinisikan sebagai inflamasi yang terjadi pada uvea. Meskipun
demikian sekarang istilah uveitis digunakan untuk menggambarkan berbagai
bentuk inflamasi intraokular yang tidak hanya pada uvea tetapi juga struktur yang
ada didekatnya, baik karena proses infeksi, trauma, neoplasma, maupun autoimun.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI UVEA :
Uvea atau traktus uvealis merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata
yang terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid.

1. Iris
Iris merupakan suatu membran datar sebagai lanjutan dari badan siliar ke
depan (anterior). Di bagian tengah iris terdapat lubang yang disebut pupil
yang berfungsi untuk mengatur besarnya sinar yang masuk mata. Permukaan
iris warnanya sangat bervariasi dan mempunyai lekukan-lekukan kecil
terutama sekitar pupil yang disebut kripte. Pada iris terdapat 2 macam otot
yang mengatur besarnya pupil, yaitu : Musculus dilatator pupil yang
berfungsi untuk melebarkan pupil dan Musculus sfingter pupil yang berfungsi
untuk mengecilkan pupil. Kedua otot tersebut memelihara ketegangan iris
sehingga tetap tergelar datar. Dalam keadaan normal, pupil kanan dan kiri
kira-kira sama besarnya, keadaan ini disebut isokoria. Apabila ukuran pupil
kanan dan kiri tidak sama besar, keadaan ini disebut anisokoria. Iris menipis
di dekat perlekatannya dengan badan siliar dan menebal di dekat pupil.

4
Pembuluh darah di sekeliling pupil disebut sirkulus minor dan yang
berada dekat badan siliar disebut sirkulus mayor. Iris dipersarafi oleh nervus
nasoiliar cabang dari saraf cranial III yang bersifat simpatik untuk midriasis
dan parasimpatik untuk miosis.

2. Corpus Siliar
Korpus siliaris merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai
sistem eksresi dibelakang limbus. Badan siliar dimulai dari pangkal iris ke
belakang sampai koroid terdiri atas otot-otot siliar dan prosesus siliaris. Otot-
otot siliar berfungsi untuk akomodasi.
Badan siliar berbentuk cincin yang terdapat di sebelah dalam dari tempat
tepi kornea melekat di sklera. Badan siliar merupakan bagian uvea yang
terletak antara iris dan koroid. Badan siliar menghasilkan humor akuos.
Humor akuos ini sangat menentukan tekanan bola mata (tekanan intraokular
= TIO). Humor akuos mengalir melalui kamera okuli posterior ke kamera
okuli anterior melalui pupil, kemudian ke angulus iridokornealis, kemudian
melewait trabekulum meshwork menuju canalis Schlemm, selanjutnya
menuju kanalis kolektor masuk ke dalam vena episklera untuk kembali ke
jantung.

5
3. Koroid
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luar, terletak antara retina (di
sebelah dalam) dan sklera (di sebelah luar). Koroid berbentuk mangkuk yang
tepi depannya berada di cincin badan siliar. Koroid adalah jaringan vascular
yang terdiri atas anyaman pembuluh darah. Retina tidak menempati
(overlapping) seluruh koroid, tetapi berhenti beberapa millimeter sebelum
badan siliar. Bagian koroid yang tidak terselubungi retina disebut pars plana.
Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang
berasal dari arteri oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari
sirkulus arteri mayoris iris yang terletak di badan siliaris yang merupakan
anastomosis arteri siliaris anterior dan arteri siliaris posterior longus.
Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan brevis.
Fungsi dari uvea antara lain : Regulasi sinar ke retina,Imunologi (bagian
yang berperan dalam hal ini adalah khoroid), Produksi akuos humor oleh
korpus siliaris, dan sebagai nutrisi.

6
B. UVEITIS
1. DEFINISI
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan
traktus uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan
koroid yang disebabkan oleh infeksi, trauma, neoplasia, atau proses
autoimun.

2. KLASIFIKASI
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan
traktus uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan
koroid. Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama,
yaitu klasifikasi secara anatomis, klinis, etiologis, dan patologis. Penyakit
peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada
oreng dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya
tidak diketahui.
1. Klasifikasi berdasarkan Anatomis
a) Uveitis anterior
Merupakan inflamasi yang terjadi terutama pada iris dan korpus siliaris
atau disebut juga dengan iridosiklitis.
b) Uveitis intermediet
Merupakan inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer yang
disertai dengan peradangan vitreous.
c) Uveitis posterior
Merupakan inflamasi yang mengenai retina atau koroid.
d) Panuveitis
Merupakan inflamasi yang mengenai seluruh lapisan uvea.

7
2. Klasifikasi berdasarkan Klinis
a) Uveitis akut
Uveitis yang berlangsung selama < 6 minggu, onsetnya cepat dan
bersifat simptomatik.
b) Uveitis kronik
Uveitis yang berlangsung selama > 6 minggu bahkan sampai berbulan-
bulan atau bertahun-tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat
asimtomatik.
3. Klasifikasi berdasarkan Etiologis
a) Uveitis infeksius
Uveitis yang disebabkan oleh infeksi virus, parasit, dan bakteri
b) Uveitis non-infeksius
Uveitis yang disebabkan oleh kelainan imunologi atau autoimun.
4. Klasifikasi berdasarkan patologis
a) Uveitis non-granulomatosa
Infiltrat dominan limfosit pada koroid.
b) Uveitis granulomatosa
Infiltrat dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa multinukleus

C. UVEITIS ANTERIOR
1. DEFINISI

Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan


badan siliar (pars plicata), kadang-kadang menyertai peradangan

8
bagian belakang bola mata, kornea dan sklera. Peradangan pada uvea
dapat mengenai hanya pada iris yang disebut iritis atau mengenai
badan siliar yang di sebut siklitis. Biasanya iritis akan disertai dengan
siklitis yang disebut iridosiklitis atau uveitis anterior.

3.1 KLASIFIKASI
Menurut klinisnya uveitis anterior dibedakan dalam uveitis
anterior akut yaitu uveitis yang berlangsung selama < 6 minggu,
onsetnya cepat dan bersifat simptomatik dan uveitis anterior kronik
uveitis yang berlangsung selama > 6 minggu bahkan sampai berbulan-
bulan atau bertahun-tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat
asimtomatik. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui.
Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis:
yang non-granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Penyakit
peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada
oreng dewasa dan usia pertengahan. Uveitis non-granulomatosa
terutama timbul di bagian anterior traktus uvealis ini, yaitu iris dan
korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-
sel limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit
mononuklear. Uveitis granulomatosa yaitu adanya invasi mikroba
aktif ke jaringan oleh bakteri. Dapat mengenai uvea bagian anterior
maupun posterior. Infiltrat dominan sel limfosit, adanya aggregasi
makrofag dan sel-sel raksasa multinukleus. Pada kasus berat dapat
terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior.

Perbedaan Uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa


Non- Granulomatosa Granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi
Nyeri Nyata Tidak ada atau ringan
Fotofobia Nyata Ringan
Penglihatan Kabur Sedang Nyata
Merah Sirkumneal Nyata Ringan

9
Keratic precipitates Putih halus Kelabu besar
Pupil Kecil dan tak teratur (“mutton fat”)
Sinekia posterior Kadang-kadang Kecil dan tak teratur
Noduli iris Tidak ada Kadang-kadang
Lokasi Uvea anterior Kadang-kadang
Uvea anterior,
posterior,difus
Perjalanan penyakit Akut Kronik
Kekambuhan Sering Kadang-kadang

Uveitis non-granulomatosa.
Umumnya tidak ditemukan organisme patogen dan berespon baik
terhadap terapi kortikosteroid, sehingga jenis ini diduga merupakan
semacam fenomena hipersensitivitas. Uveitis non-granulomatosa ini
terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yakni iris dan badan siliar.
Menurut patologinya, ditemukan reaksi radang, dengan terlihatnya
infiltrasi sel-sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah banyak dan sedikit
sel mononuklear. Pada kasus berat dapat sampai ditemukan bekuan fibrin
besar atau hipopion di dalam kamera okuli anterior.
Penyebab uveitis non-granulomatosa akut yakni trauma, diare
kronis, penyakit Reiter, herpes simpleks, Sindroma Bechet, Sindroma
Posner Schlosman, pascabedah, adenovirus, parotitis, influenza, dan
chlamydia. Sedangkan penyebab uveitis non-granulomatosa kronis ialah
artritis reumatoid dan iridosiklitis heterokromik Fuchs.
Gejala dan tanda berupa onsetnya khas akut, dengan rasa sakit,
reaksi vaskular lebih hebat dari reaksi seluler sehingga injeksinya hebat
(banyak pembuluh darah), fotofobia, penglihatan kabur, badan kaca tak
banyak kekeruhan. Jika terdapat sinekia posterior, bentuk pupil tidak
teratur.
Terapinya diberikan analgetika sistemik secukupnya untuk rasa
sakit dan kaca mata gelap untuk fotofobia. Pupil harus tetap dilebarkan
dengan atropin, yaitu mula-mula diberikan setiap 2 jam satu tetes, sampai

10
pupil lebar dan tetap lebar, kemudian cukup 3 kali sehari. Pemberian sulfas
atropin ini dapat menyebabkan glaukoma sehingga perlu pengukuran
tekanan intraokuler secara teratur. Pada anak-anak sebaiknya diberikan
dalam bentuk salep karena obat tetes akan cepat keluar saat anak
menangis. Jika sudah reda, dapat diberikan cyclopentolate untuk
mencegah spasme dan terbentuknya sinekia posterior. Tetes steroid lokal
biasanya cukup efektif untuk kerja anti radangnya, secara; tetes mata:
siang hari diberikan setiap jam satu tetes, salep mata : diberikan pada pagi
dan malam hari, suntikan subkonjungtival : 2 kali seminggu 0,3-0,5 cc ,
sejauh mungkin dari forniks (arah pukul 12) untuk menghindarkan
gangguan kosmetik. Pada kasus berat dapat diberikan steroid sistemik,
yaitu : diberikan 6-8 tablet sekaligus pada pagi hari, sebaiknya sebelum
pukul 8, dimana kadar streoid dalam darah paling rendah.
Perjalanan penyakit dan prognosisnya, dengan pengobatan,
serangan uveitis non-granulomatosa umumnya berlangsung beberapa hari
sampai minggu. Sering kambuh.

Uveitis granulomatosa.
Umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh
organisme penyebab, misalnya Mycobacterium tuberculosis atau
Toxoplasma gondii. Meskipun demikian, patogen ini jarang ditemukan
sehingga diagnosis etiologik jarang ditegakkan. Dapat mengenai
sembarang bagian traktus uvealis namun paling sering pada uvea posterior,
yakni koroidea. Secara histologis, ditemukan kelompok nodular sel-sel
epitelial dan sel-sel raksasa yang dikelilingi limfosit di daerah yang
terkena. Deposit radang tersebut sebagian besar terdiri atas makrofag dan
sel epiteloid. Untuk menegakkan diagnosis etiologi sering kali harus
menggunakan pemeriksaan laboratoris atau histologis.
Penyebabnya ialah sarkoiditis, sifilis, tuberkulosis, virus,
histoplasmosis, dan toksoplasmosis.
Gejala dan tanda biasanya onset tidak kentara. Penglihatan
berangsur kabur dan mata merah secara difus di daerah sirkumkornea,

11
reaksi seluler lebih hebat dari reaksi vaskular. Sakitnya minimal dan
fotofobia tidak seberat pada non-granulomatosa. Pupil sering mengecil dan
terdapat kekeruhan pada badan kaca. Tampak kemerahan (flare) dan sel-
sel di kamera okuli anterior, dan nodul-nodul yang terdiri atas kelompok
sel-sel putih di tepian iris, disebut juga nodul Koeppe.
Harus ditanyakan riwayat terpajan toksoplasmosis, histoplasmosis,
tuberkulosis, dan sifilis dalam hal kepentingan terapi etiologi. Juga perlu
diperiksa apakah pasien sedang mengalami infeksi pada organ atau bagian
tubuh lain.

3.2 ETIOLOGI
Penyebab eksogen seperti trauma uvea atau invasi
mikroorganisme atau agen lain dari luar. Secara endogen dapat
disebabkan idiopatik, autoimun, keganasan, mikroorganisme atau
agen lain dari dalam tubuh pasien misalnya infeksi tuberkulosis,
herper simpleks. Etiologi uveitis dibagi dalam :
Berdasarkan spesifitas penyebab :
1. Penyebab spesifik (infeksi) disebabkan oleh virus (herpes, sindrom
nekrosis retina akut, bakteri, fungi, ataupun parasit yang spesifik.
2. Penyebab non spesifik (non infeksi) atau reaksi hipersensitivitas
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap mikroorganisme
atau antigen yang masuk kedalam tubuh dan merangsang reaksi
antigen antibodi dengan predileksi pada traktus uvea.

Berdasarkan asalnya:
1. Eksogen : Pada umumnya disebabkan oleh karena trauma, operasi
intraokuler, ataupun iatrogenik.
2. Endogen : disebabkan idiopatik, autoimun, keganasan,
mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh pasien misalnya
infeksi tuberkulosis, herpes simpleks.

Spesifititas Etiologi :

12
Penyakit Virus
Penyakit Herpes
Lesi mata yang tersering dan paling serius adalah keratitis.
Virus herpes simpleks tipe I, virus varicela zoster, dan CMV
pernah dilaporkan sebagai penyebab sindrom nekrosis retina akut.
Sindrom Nekrosis Retina Akut (ARN)
ARN merupakan suatu proses nekrosis pada retina yang
disebabkan oleh infeksi. Biasanya mengenai kedua mata ( pada 33
% pasien), paling banyak berusia 26 tahun . Penyebab penyakit ini
yang paling sering adalah virus varisela zoster, herpes simpleks tipe
2 dan cytomegalovirus. ARN merupakan diagnosis dari gejala
klinik, pasien sering datang dengan keluhan penglihatan kabur
secara akut. Terdapat inflamasi segmen anterior yang memberi
rongga pada beberapa bagian disertai eksudat pada badan vitreus.
Masa inkubasi 2 minggu sampai terbentuknya sumbatan yang akan
menyebabkan arteriolitis retinal, vitritis dan bercak kuning – putih
di posterior retina.
AIDS dan Retinitis Cytomegalovirus
1. Oklusi mikrovaskular menyebabkan perdarahan retina dan
cotton wool spot (daerah infark pada lapisan serabut saraf
retina).
2. Deposit endotel kornea.
3. Neoplasma pada mata dan orbita.
4. Gangguan neurooftalmika termasuk palsy okulomotorik.

Infeksi oportunistik yang paling umum adalah retinitis CMV. Khas


terjadi pada pasien dengan hitung sel CD4 + dan leukosit 5/ μl.
Pasien biasanya mengeluh penglihatan kabur atau floaters. Diagnosis
penyakit AIDS biasanya telah ditegakkan dan sering ditemukan
tampilan AIDS lainnya seperti retinopati CMV yang terdiri dari area
retina keputihan berhubungan dengan perdarahan disertai likenifikasi
hingga terlihat seperti keju softage. Lesi itu dapat mengancam

13
makula atau lempeng optik dan biasanya terdapat sedikit inflamasi
pada vitreus.

Retina yang terkena Cytomegalovirus

(dikutip dari :www. uveitis.org/medical/article/case/wds.html)

 Penyakit Jamur

 Histoplasmosis
Merupakan kelainan multifaktor korioretinitis, spora jamur tersebut dapat
menyebabkan terjadinya penyakit sistemik dan penyakit mata. Infeksi primer pada
mata terjadi setelah kontak spora jamur yang berasal dari paru – paru. Jamur ini
dapat menyebar ke limpa, hati, dan koroid mengikuti infeksi yang berasal dari
paru – paru. Histoplasmosis didapat kadang tidak menimbulkan gejala atau akibat
dari keadaan sakit yang tidak berbahaya dan biasanya ditemukan pada anak –
anak.
Pemeriksaan kulit pada pasien biasanya positif terhadap histoplasmosis
dan menunjukkan bercak – bercak khas pada perifer fundus. Bercak – bercak ini
berbentuk daerah – daerah kecil, bulat atau lonjong tidak teratur, tanpa pigmen

14
kadang – kadang dengan batas berpigmen halus. Kadang dapat ditemukan atrofi
peripapiler dan hiperpigmentasi.
Bercak histo muncul pertama kali pada mata selama masa remaja, tetapi
makulopati baru berkembang pada usia 20 -50 tahun, rata-rata pada usia 41 tahun.
Secara patologi, lesi pertama muncul dalam bentuk granuloma di koroid.
Koroiditis akan menyebabkan penglihatan menurun dan terbentuk sikatrik disertai
pigmentasi pada pigmen epitelium, atau memberi gambaran rusaknya membran
pigmen epitelium yang disebabkan peningkatan kadar limfosit. Pada daerah pusat
koroiditis akan terbentuk pembuluh darah baru subretinal yang baru, yang akan
menyebabkan peningkatan cairan, lipid dan darah yang dapat menyebabkan
kerusakan pada fungsi makular.
Diagnosis histoplasmosis berdasarkan gejala klinis disertai pembentukan
bercak kecil yang menyebar, perubahan papil – papil di pigmen dan pembentukan
cincin pigmen dimakula sehingga menyebabkan saraf sensorik retina saling
tumpang tindih, kadang disertai perdarahan. Pada permulaan histo akan terbentuk
bercak dimakula dan badan vitreus yang tidak terlihat pada histoplasmosis, jarang
didapat gejala yang menyertai bentuk atrofi. Sel vitreus tidak terlihat pada OHS,
dan gejala sering bersamaan dengan perifer dan atropi bercak histo. Bercak
tersebut fokal, sembuh dan terbentuk lesi punched out yang disebabkan oleh
jumlah yang bervariasi dari luka yang terdapat pada koroid dan yang berlengketan
pada retina lapisan luar. Gangguan penglihatan pada pusat penglihatan karena
keterlibatan makula sehingga pasien harus dirujuk ke dokter mata.
Pada daerah koroiditis dapat diobati dengan kortikosteroid oral dan lokal.
Pada tahap awal dari angiogram fluoresein, koroid aktif akan menghambat zat
tersebut dan akan tampak hipofluoresein. Selanjutnya, lesi koroid akan berwarna
dan menjadi hiperfluoresein. Dengan kontras, area pada membran neovaskular
subretina aktif akan menjadi hiperfluoresein yang terjadi awal pada angiogram.
Membran neovaskular penting jika hanya terdapat pada daerah diskus-
makula. Jika di luar superotemporal dan inferotemporal vascular arcades, hal
tersebut tidak mengurangi penglihatan dan tidak membutuhkan terapi. Namun jika
membran tersebut terletak di 1-200 µm dari tengah, laser fotokoagulasi
diindikasikan untuk mencegah hilangnya penglihatan.

15
Macular Photocoagulation Study Group bekerjasama dengan Multicenter
Study menunjukan efek yang berguna dengan fotokoagulasi argon biru-hijau.
Pasien yang tidak diobati menunjukkan persentase yang tinggi (50%) kehilangan
penglihatan dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi laser (22%)
selama 24 tahun. Krypton merah atau Argon hijau gelombang tinggi dapat
memberi hasil penglihatan yang lebih baik dengan luka retina yang lebih sedikit
dibandingkan dengan fotokoagulasi argon biru-hijau.
 Kandidiasis ( Candida albicans) 3)
Meskipun tidak umum, insiden penyakit inflamasi bola mata yang
disebabkan oleh Candida albican meningkat khususnya sebagai akibat dari
penggunaan imunosupresan dan obat-obat intravena. Retinitis kandida dapat
terlihat pada penderita AIDS akibat penggunaan obat intravena meskipun hal
tersebut jarang terjadi. Candida endoftalmitis terjadi pada 10-37% pasien dengan
kandidemia yang tidak mendapat terapi anti jamur. Pada pasien yang mendapat
terapi anti jamur kemungkinan mengenai mata terjadi penurunan. Organisme
menyebar secara metastasis ke koroid. Replikasi jamur mempengaruhi vitreus dan
retina sekunder. Gejala dari kandidiasis mata adalah penurunan tajam penglihatan
atau floaters, tergantung pada lokasi lesi. Menyerupai koroiditis Toxoplasma lesi
pada segmen posterior tampak putih kuning dengan batas yang halus, dengan
ukuran dari spot woll yang kecil sampai beberapa pertambahan diameter diskus.
Lesi mula-mulanya terdapat di retina dan berakibat eksudasi ke vitreus. Lesi
perifer mungkin menyerupai pars planitis.
Diagnosa kandidiasis mata dapat ditegakkan dengan kultur darah positif
yang didapat pada saat terjadi kandidemia. Seorang dokter harus waspada pada
kemungkinan diagnosis kandidiasis pada pasien rawat inap yang menggunakan
kateter intavena atau yang mendapat terapi antibiotik sistemik, steroid dan
antimetabolit. Pasien yang dirawat karena kandidemia harus diperiksa
kemungkinan mengenai mata. Pada pasien tersebut pada dua pemeriksaan akan
ditemukan dilatasi fundus yang dilakukan secara terpisah selama 1-2 minggu
untuk mendeteksi metastasis penyakit mata.
Pengobatan untuk kandidiasis mata meliputi intravena, pengobatan anti
jamur periokular dan intraokular seperti amphoterisin B dan ketokonazole,

16
Flusitosin, Fluconazole atau Rifampin oral yang dapat diberi dengan ditambah
amphoterisin B intravena. Bila proses inflamasi mengenai retina dan sampai ke
dalam vitreus, anti jamur intravitreal dan vitrektomi dapat dipertimbangkan.
Terapi yang tepat untuk lesi perifer memiliki prognosis yang baik. Namun,
pengobatan yang cepat pada lesi sentral jarang menyelamatkan penglihatan karena
merusak fotoreseptor sentral. Konsultasi dengan spesialis penyakit infeksi dapat
sangat membantu.

 Penyakit Protozoa
 Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii adalah parasit protozoa obligat intraselular yang menyebabkan
nekrosis retina koroiditis. Terdapat 3 bentuk:
+ Ookista, atau bentuk tanah (10-12µm)
+ Takizoit, atau bentuk aktif infeksius ( 4-8 µm)
+ Kista jaringan atau bentuk laten (10-200µm), mengandung sebanyak
3000 bradizoit

T. gondii adalah parasit usus yang ditemukan pada kucing. Ookista


ditemukan pada feses kucing yang kemudian termakan oleh tikus dan burung yang
dapat berperan sebagai reservoir atau host intermediet bagi parasit. Vektor
serangga dapat juga menyebarkan T.gondii dari feses kucing ke sumber makanan
manusia, termasuk tumbuhan dan binatang herbivora.
Manusia terinfeksi lebih sering karena memakan daging yang mentah dan kurang
matang yang mengandung kista jaringan. Wanita yang mendapat Toxoplasmosis
selama kehamilan dapat mentransmisikan takizoit ke janin dengan potensial mata
yang parah, SSP dan komplikasi sistemik. Wanita hamil nonimun tanpa bukti
serologik terpapar toxoplasmosis harus berhati-hati bila memelihara kucing dan
harus menghindari daging mentah. Pasien AIDS juga mudah terkena.
Toxoplasmosis tercatat pada 7-15% dari uveitis. Karena penyakit tersebut
dapat merusak penglihatan struktur mata, hal tersebut penting bagi para ahli mata
untuk mengenal lesi tersebut dan untuk menghindari potensi kematian. Diagnosis
yang tepat pada waktunya sangat penting karena toxoplasmosis memberi respon

17
pada terapi anti mikroba dan itu merupakan bentuk yang masih dapat diobati pada
uveitis posterior.
Tergantung pada luasnya lokasi lesi, pasien mengeluh floating spot unilateral atau
penglihatan kabur. Secara umum segmen anterior tidak mengalami inflamasi pada
awal penyakit, dan pasien memperlihatkan mata putih dan penglihatan yang masih
nyaman. Kadang-kadang inflamasi granulomatosa dapat terjadi peningkatan
tekanan bola mata khususnya pada penyakit yang berulang.
Opasitas vitreus secara umum terlihat jelas dengan pemeriksaan mata baik
dengan pemeriksaan direk maupun indirek. Kuning keputihan, sedikit tinggi
letaknya, lesi kabur dapat terlihat pada fundus, lokasi lesi sering berada dekat
dengan bekas luka korioretinal. Lesi tersebut tampak pada bagian posterior
dibandingkan pada fundus bagian lain dan kadang-kadang terlihat berdekatan
dengan papil nervus optikus. Sering salah dianggap sebagai papilitis optik.
Pembuluh darah retina pada sekitar lesi aktif tampak perivaskulitis dengan sarung
vena dan arterial segmental yang difus. Karakteristik lesi adalah retinitis fokal
eksudatif. Pada lapisan depan retina merupakan lokasi untuk proliferasi T. gondii.
Lesi ini tidak menyebabkan berkabut pada vitreus pada tahap awal penyakit, dan
pasien tidak menyadari floating spot sampai lapisan depan retina dan membran
hialoid posterior terkena. Retinitis toksoplasma dapat dimanifes oleh lesi retina
perifer, kecil, punctata, sering disebut Punctate Outer Retinal Toxoplasmosis
(PORT).

Diagnosis Toxoplasmosis mata dibuat dengan:


1. Observasi dari karakteristik lesi fundus (fokal nekrosis retinokoroiditis)
2. Deteksi dari adanya antibodi anti Toxoplasma pada serum pasien
3. Pengeluaran dari penyakit infeksi lain yang dapat menyebabkan nekrosis
lesi pada fundus, seperti sifilis, sitomegalovirus dan jamur.

Pemeriksaan toxoplasma dye Sabin dan Feldman, pemeriksaan


hemaglutinasi, atau pemeriksaan antibody immunofluoresen indirek menyediakan
fasilitas yang sama. Namun ELISA dapat memberi lebih sensitifitas dan
spesifisitas. Harus di ingat bahwa titer serum pada pemeriksaan tersebut dapat
sangat rendah pada pasien dengan toksoplasmosis mata dan tidak terdapat tanda

18
sistemik lain pada penyakit ini. Titer serum antibodi signifikan apabila terdapat
lesi fundus yang berhubungan dengan toksoplasmosis mata. Pemeriksaan humor
akous dapat digunakan untuk konfirmasi adanya penyakit toksoplasma pada kasus
yang masih meragukan. Pemeriksaan tersebut lebih signifikan pada saat titer
antibodi pada humor akous lebih tinggi daripada dalam serum.
Meskipun diagnosis toksoplasmosis mata didasari dengan pemeriksaan fisik,
antibodi antitoksoplasmosis negatif perlu dipikirkan diagnosis lain. Para dokter
dalam hal menginterpretasikan standar pemeriksaan antibodi IgG harus mengingat
bahwa laboratorium menampilkan pemeriksaan pada dilusi 1 : 8 atau lebih,
meskipun reaksi antibodi positif ditemukan dilusi 1 : 4 atau kurang. Titer antibodi
yang sangat rendah ini tetap mengindikasikan terdapat toksoplasmosis yang
sebelumnya tetapi juga dapat mengarah ke positif palsu sebagai hasil dari reaksi
nonspesifik.

 Penyakit non infeksi

 Autoimun:Vaskulitis retina, penyakit bechet, oftalmia simpatis.

 Keganasan:Leukemia, sarcoma sel reticulum, melanoma maligna,


leukemia

 Etiologi tidak diketahui: Sarkoiditis, epitelopati pigmen retina,


koroiditis geografik.

 Yang sering terjadi mengakibatkan uveitis posterior adalah :

Sindrom Behcet
Ditemukan pada usia 20-40 tahun, pria lebih banyak dari wanita.Penyebab diduga
suatu proses imunologik tetapi virus sebagai penyebab tidak dapat disingkirkan.4)
Walaupun memiliki banyak gambaran penyakit hipersensitivitas tipe lambat,
adanya perubahan mencolok kadar komplemen serum pada permulaan serangan
mengisyaratkan suatu gangguan kompleks imun. Baru-baru ini pada pasien

19
Behcet dapat dideteksi adanya kompleks imun berkadar tinggi dalam darah.
Sebagian besar pasien dengan gejala mata positif untuk HLA-B51, suatu subtipe
HLA-B5. 9)

Ditandai 4 kelainan yaitu :


o Uveitis (iridosiklitis, retinitis, retinokoroiditis). Pada dasarnya didapatkan
peri arteritis dan end arteritis yang menyebabkan vaskulitis obliteratif sehingga
dapat terjadi iskemi retina, perdarahan retina, serta ablasi. Bila terdapat hipopion
maka hal ini merupakan gejala yang lebih lanjut.
o Kelainan pada rongga mulut berupa stomatitis aftosa yang dapat mengenai
bibir, lidah, mukosa bukal, palatum durum serta palatum molle.
o Kelainan kulit berupa eritema nodusum, folikulitis serta hipersensitivitas
kulit.
o Kelainan genital berupa ulserasi pada alat genital pria atau wanita4).
Pengobatan sering berupa pemberian imunosupresan multipel (mis: steroid,
siklosporin, azatioprin), walaupun demikian hasil akhir penglihatan tetap buruk
pada 25% kasus.7)

Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH) 3)


Terdiri dari peradangan uvea pada satu atau kedua mata yang ditandai oleh
iridosiklitis akut, koroiditis bebercak dan pelepasan serosa retina. Penyakit ini
biasanya diawali oleh suatu episode demam akut disertai nyeri kepala dan kadang-
kadang vertigo.
Pada beberapa bulan pertama penyakit dilaporkan terjadi kerontokan rambut
bebercak atau timbul uban. Walaupun iridosiklitis awal mungkin membaik dengan
cepat, perjalanan penyakit di bagian posterior sering indolen dengan efek jangka
panjang berupa pelepasan serosa retina dan gangguan penglihatan.
Pada sindrom Vogt-Koyanagi-Harada diperkirakan terjadi hipersensitivitas
tipe lambat terhadap struktur-struktur yang mengandung melanin. Tetapi virus
sebagai penyebab belum dapat disingkirkan. Diperkirakan bahwa suatu gangguan
atau cedera, infeksi atau yang lain, mengubah struktur berpigmen di mata, kulit
dan rambut sedemikian rupa sehingga tercetus hipersentivitas tipe lambat

20
terhadap struktur-struktur tersebut. Baru-baru ini diperlihatkan adanya bahan larut
dari segmen luar lapisan fotoreseptor retina (antigen-S retina) yang mungkin
menjadi autoantigennya. Pasien sindrom Vogt-Koyanagi-Harada biasanya adalah
Oriental, yang mengisyaratkan adanya disposisi imunogenetik.

Oftalmia Simpatika 4)
Yaitu pan uveitis granulomatosa pada mata yang semula sehat (sympathetic eye)
yang timbul minimal dua minggu setelah terjadinya trauma tembus pada mata
yang lain (exciting eye). Biasanya exciting eye ini tidak pernah senbuh total dan
tetap meradang pasca trauma, baik tauma tembus akibat kecelakaan ataupun
trauma karena pembedahan mata. Tanda awal dari mata yang ber-simpati adalah
hilangnya daya akomodasi serta terdapatnya sel radang di belakang lensa. Gejala
ini diikuti oleh iridosiklitis sub akut, sebukan sel radang dalam vitreus dan
eksudat putih kekuningan pada jaringan dibawah retina. Penyakit ini dapat disertai
dengan gejala-gejala sistemik lain seperti vitiligo, alopesia dan poliosis (uban)
sehingga mirip sindrom VKH. Bedanya adalah pada sindrom VKH tidak ada
riwayat trauma.
Penyebab yang pasti belum diketahui tetapi diduga kuat merupakan suatu reaksi
autoimun terhadap jaringan pigmen uvea atau pigmen epitel retina yang telah
berubah sifat menjadi antigen pasca trauma tembus mata.
Pengobatan : pemberian kortikosteroid; bila tidak memberikan perbaikan dapat
ditambah pemberian imunosupresan. Yang terpenting adalah hati-hati dan
waspada menghadapi trauma tembus mata yang disertai destruksi jaringan uvea.

Poliarteritis Nodosa 4)
Penyakit kolagen ini mengenai arteri berukuran sedang, terutama pada pria.
Terjadi peradangan hebat pada semua lapisan otot arteri, dengan nekrosis fibrinoid
dan eosinofilia perifer. Gambaran klinis utama adalah nefritis, hipertensi, asma,
neuropati perifer, nyeri dan atrofi otot dan eosinifilia perifer. Sering terjadi
kelainan jantung, walaupun kematian biasanya disebabkan oleh disfungsi ginjal.
Kelainan mata dijumpai pada 20% kasus dan terdiri dari episkleritis dan skleritis
yang sering tidak nyeri. Apabila pembuluh-pembuluh limbus terkena, dapat

21
terjadi pembentukan alur-alur di kornea perifer. Sering terjadi mikrovaskulopati
retina. Hilangnya penglihatan secara mendadak mungkin disebabkan oleh
neuropati optikus iskemik yang mencerminkan keparahan vaskulitis di pembuluh
siliaris atau sumbatan arteri retina sentralis. Dapat terjadi oftalmoplegia akibat
arteritis vasa nervorum. Kortikosteroid sistemik dan siklofosfamid memberi
manfaat, tetapi prognosis jangka panjang tetap buruk.

Granulomatosis Wegener 4)
Proses granulomatosa ini memiliki persamaan gambaran klinis tertentu dengan
poliarteritis nodosa. Tiga kriteria diagnosis adalah :
- Lesi granulomatosa nekrotikans pada saluran napas
- Arteritis nekrotikans generalisata
- Kelainan ginjal berupa glomerulitis nekrotikans
Penyulit pada mata terjadi pada 50% kasus dan terjadi proptosis akibat
pembentukan granuloma orbita disertai keterlibatan otot mata atau saraf optikus.
Apabila vaskulitis mengenai mata dapat terjadi konjungtivitis, ulserasi kornea
perifer, skleritis, episkleritis, uveitis dan vaskulitis retina.
Antibodi sitoplasma antineutrofilik ditemukan pada sebagian besar kasus dan
memiliki nilai diagnostik sekaligus prognostik. Kortikosteroid yang
dikombinasikan dengan imunosupresan (terutama siklofosfamid) sering memberi
hasil memuaskan.

3)
Epiteliopati Pigmen Plakoid Multifokal Posterior Akut (APMPPE)
APMPPE biasanya menyerang individu pada usia remaja dan dewasa muda.
Pasien mengeluh penglihatannya berkurang. Sebagian penderita umumnya merasa
sehat, tetapi ada juga yang mempunyai gejala-gejala prodormal seperti pada
penyakit infeksi virus. Pemeriksaan funduskopi menunjukkan adanya banyak lesi
berupa plak berwarna putih kekuningan dan homogen, pada retina pigmen
epithelium dan koriokapilaris. Setelah 2-6 minggu, lesi ini akan menghilang dan
meninggalkan depigmentasi pada retina pigmen epithelium.
Diagnosis APMPPE ditegakkan berdasarkan gambaran klinik, terutama jika
didahului adanya gejala sistemik seperti gejala infeksi virus. Pada stadium akut,
fluorescein angiografi menunjukkan awalnya ada hambatan pada koroid oleh lesi

22
plakoid dan adanya bekas noda hiperfluoresein. Pada kebanyakan kasus,
pengobatan tidak diperlukan, ketajaman penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Penyakit ini mirip dengan koroidopati serpiginosa (geografik), tetapi
APMPPE adalah penyakit yang bersifat akut dan biasanya tidak rekuren,
sedangkan koroidopati serpiginosa adalah penyakit yang sangat progresif.

Retina terkena APMPPE


(dikutip dari www.uveitis.org/medical/article/case/wds.html)
3)
Epitelitis Pigmen Retina Akut (ARPE)
Epitelitis Pigmen Retina Akut atau disebut juga penyakit Krill adalah
peradangan akut retina pigmen epitelium yang dapat sembuh sendiri.
Penyebabnya tidak di ketahui. Biasanya terjadi pada umur antara 16-40 tahun.
Pasien biasanya sehat dan mengeluh adanya penurunan ketajaman penglihatan
unilateral secara tiba-tiba. Pemeriksaan fundus menunjukkan lesi hiperpigmentasi
halus pada bagian retina pigmen epitelium. Dua sampai empat kelompok dari dua
sampai enam “titik-titik” muncul di kutub posterior. Angiografi fluoresein
menunjukkan gambaran ”target” atau “honeycomb” dengan pusat hiperpigmentasi
dan di kelilingi halo hiperfluoresein. Pengobatan tidak diperlukan. Gangguan
penglihatan dan lesi di retina akan menghilang dalam 6-12 minggu.

Retinokoroidopati ”Birdshot” (Korioretinitis Vitiliginosa) 3)


Keadaan yang tidak umum ini biasanya terjadi pada dekade ke-5 sampai
dekade ke-7 kehidupan, wanita lebih sering dibandingkan pria. Gejala awalnya
berupa berkurangnya ketajaman penglihatan, nyctalopia dan gangguan
penglihatan warna. Mungkin ada sedikit inflamasi segmen anterior. Didalam

23
vitreus dapat ditemukan sel-sel. Karakteristiknya adalah ditemukannya banyak
bintik putih kekuningan atau depigmentasi pada fundus, seolah-olah fundus
mendapat pukulan ”birdshot from a shotgun”. Bintik-bintik juga muncul pada
pigmen epitelium. Edema diskus, atrofi N. Optikus, edema makula, pembuluh
darah retina menipis dan berkerutnya permukaan retina dapat juga ditemukan.
Pada 80-90% pasien dapat ditemukan HLA-A29 haplotipe, yang mana merupakan
faktor predisposisi genetik dalam perkembangan penyakit ini. Penyakit ini adalah
penyakit yang kronik, sering mengalami eksaserbasi dan remisi.
3)
Koroiditis Punctata
Koroidotis Punctata adalah peradangan idiopatik koroid yang biasanya terjadi
pada wanita yang menderita myopia, yang berusia antara 18-37 tahun. Pasien
dengan PIC akan mengeluh kehilangan ketajaman penglihatan sentral, biasanya
bilateral. Tidak terdapat sel pada vitreus, tetapi lesi berukuran kecil (100-300 µm)
berbentuk “punctate” berwarna kuning disebelah dalam koroid ditemukan di
kutub posterior. Penyakit ini dapat sembuh dalam 4-6 minggu.

lesi pungtata kekuningan pada RPE dan koroid


(dikutip dari www.uveitis.org/medical/article/case/wds.html)

Koroidopati Serpiginosa 3
Biasanya penyakit ini menyerang wanita pada dekade ke-4 sampai dekade ke-
6 kehidupan. Keluhan utama dari pasien ialah penglihatan menjadi kabur. Pada
vitreus tidak ditemukan sel, tetapi kadang-kadang dapat juga ditemukan sel dalam
jumlah yang banyak. Gambaran sikatriks seperti serpiginosa (pseudopodial) atau
geograpik (seperti peta) terdapat di fundus posterior. Tepi lesi ini mungkin aktif,

24
berwarna kuning abu-abu dan tampak edema. Daerah yang aktif akan menjadi
atrofi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, kemudian lesi yang baru
dapat muncul di mana saja atau berdekatan dan memberi gambaran seperti ular.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan karakteristik gambaran klinik.
Angiografi fluorescein menunjukkan awalnya ada hambatan pada koroid, pada
daerah dimana penyakitnya aktif. Pada saat penyakitnya tidak aktif, daerah yang
menarik zat warna dapat menyebarkan fluorescein, tetapi tidak di tahan. Jika
penyakit ini mengenai makula, maka ketajaman penglihatan sentral akan
terganggu.

Fibrosis Subretina dan Sindrom Uveitis (SFU) 3


Panuveitis ini biasanya lebih banyak mengenai wanita yang berusia antara 14-
34 tahun. Penyebabnya tidak diketahui. Histopatologi dari biopsi korioretinal
terutama menunjukkan sel β dan sel plasma. Pasien biasanya memiliki kondisi
fisik yang sehat dan mengeluh adanya penurunan ketajaman penglihatan, biasanya
bilateral. Pada awalnya, pasien yang menderita penyakit ini akan menunjukkan
vitritis bilateral dan multifokal koroiditis. Kemudian, lesi pada koroid akan
berkembang menjadi lesi fibrotik subretinal berbentuk stellate yang besar. SFU
memberi respons yang kurang baik terhadap berbagai bentuk pengobatan, dan
prognosis dari tajam penglihatan juga buruk.

Koroiditis Multifokal dan Sindrom Panuveitis (MCP) 3


Koroiditis Multifokal dan sindrom Panuveitis adalah peradangan idiopatik
koroid, retina dan vitreus, lebih sering terjadi pada wanita. Penyebabnya tidak
diketahui. Pasien menunjukkan vitritis bilateral (82%) dan multifokal koroiditis.
Dalam keadaan aktif, lesinya berukuran kecil (50-350 µm) dan berwarna
kekuningan. Lesi makula mungkin dapat dihubungkan dengan pembuluh darah
baru membran subretina.
Diagnosis penyakit ini adalah sesuatu yang penting karena ada berbagai
kondisi yang mungkin dapat menyebabkan multifokal koroiditis dan panuveitis.
Sarkoidosis, sifilis, tuberkulosis dan sindrom titik putih pada retina harus
diperhatikan. Penyakit ini sering kronik.

25
Lesi kuning multifokal pada koroid
(dikutip dari : www. uveitis.org/medical/article/case/wds.html)

3.3 PATOFISIOLOGI
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek
langsung suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi
piogenik biasanya mengikuti suatu trauma tembus okuli, walaupun
kadang-kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik
yang diproduksi oleh mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh diluar
mata.
Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan
reaksi hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen)
atau antigen dari dalam (antigen endogen). Dalam banyak hal antigen
luar berasal dari mikroba yang infeksius. Sehubungan dengan hal ini
peradangan uvea terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu setelah
munculnya mekanisme hipersensitivitas. Radang iris dan badan siliar
menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga terjadi
peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos.
Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai
flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai
penumpukan sel-sel radang berupa pus di dalam COA yang disebut
hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam COA, dikenal dengan
hifema. Apabila proses radang berlangsung lama (kronis) dan
berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada endotel kornea,

26
disebut sebagai keratic precipitate (KP). Ada dua jenis keratic
precipitate, yaitu :
1. Mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-
pigmen yang difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis
granulomatosa.
2. Punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma,
terdapat pada jenis non granulomatosa.

Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses


peradangan akan berjalan terus dan menimbulkan berbagai
komplikasi. Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas dapat menimbulkan
perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut
sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang disebut sinekia
anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang
disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang,
disebut oklusio pupil.
Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya
trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor
dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor
tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan
yang tampak sebagai iris bombans (iris bombe). Selanjutnya tekanan
dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma
sekunder.
Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa
yang menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi katarak
komplikata. Apabila peradangan menyebar luas, dapat timbul
endoftalmitis (peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan
struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan kaca) ataupun
panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan
kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).
Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya
tidak segera ditangani, dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada

27
mata sebelahnya yang semula sehat. Komplikasi ini sering didapatkan
pada uveitis anterior yang terjadi akibat trauma tembus, terutama yang
mengenai badan silier.

3.4 MANIFESTASI KLINIS


Keluhan pasien dengan uveitis anterior adalah mata sakit, mata
merah, fotofobia, penglihatan turun ringan dengan mata berair.
Keluhan sukar melihat dekat pada pasien uveitis dapat terjadi akibat
ikut meradangnya otot-otot akomodasi. Dari pemeriksaan mata dapat
ditemukan tanda antara lain : Hiperemia perikorneal, yaitu dilatasi
pembuluh darah siliar sekitar limbus, dan keratic precipitate. Pada
pemeriksaan slit lamp dapat terlihat flare di bilik mata depan dan bila
terjadi inflamasi berat dapat terlihat hifema atau hipopion. Iris edema
dan warna menjadi pucat, terkadang didapatkan iris bombans. Dapat
pula dijumpai sinekia posterior ataupun sinekia anterior. Pupil kecil
akibat peradangan otot sfingter pupil dan terdapatnya edema iris.
Lensa keruh terutama bila telah terjadi katarak komplikata. Tekanan
intra okuler meningkat, bila telah terjadi glaukoma sekunder. Pada
proses akut dapat terjadi miopisi akibat rangsangan badan siliar dan
edema lensa. Pada uveitis non-granulomatosa dapat terlihat presipitat
halus pada dataran belakang kornea. Pada uveitis granulomatosa dapat
terlihat presipitat besar atau mutton fat noduli Koeppe (penimbunan
sel pada tepi pupil) atau noduli Busacca (penimbunan sel pada
permukaan iris).
Pembagian penyakit radang traktus uvealis berdasarkan letaknya :
A. Uveitis Anterior

28
Gambar A.2. uveitis anterior akut (diambil dari www.atlas-of-
ophthalmology.com)

Uveitis anterior adalah radang pada iris (iritis) atau badan siliar (siklitis)
dan dapat terjadi bersamaan, yang disebut sebagai iridosiklitis.
1. Iritis akut
Iritis akan memberikan gejala berupa rasa sakit, merah, fotofobia,
kesukaran melihat dekat karena mengakibatkan gangguan pada otot
akomodasi.
Tanda yang didapat, yaitu pupil kecil akibat rangsangan proses peradangan pada otot sfingter dan
terdapatnya edem iris. Pada proses akut, miopisasi terjadi akibat rangsangan badan siliar dan edem lensa;
terdapat flare dalam bilik mata depan, bahkan pada yang sangat akut akan terlihat hifema dan hipopion; dapat
ditemukan tekanan bola mata yang tinggi ataupun rendah. Tekanan bola mata yang tinggi terjadi karena adanya
gangguan pengaliran keluar cairan mata oleh sel radang atau perlengketan sudut bilik mata.Sedangkan tekanan
bola mata yang rendah terjadi karena adanya gangguan fungsi pembentukan cairan mata oleh badan siliar.Ini
berarti telah terjadi siklitis iridosiklitis.Tekanan bola mata yang rendah ditemukan pada siklitis sendiri.
Perjalanan penyakit iritis sangat khas, yaitu berlangsung antara 2-4 minggu.Bisa terjadi kekambuhan
sehingga prosesnya menjadi menahun.
Prinsip pengobatannya adalah terhadap organisme penyebab, jika dicurigai merupakan kasus invasi
dari organisme patogen atau pemberian steroid pada kasus yang merupakan reaksi hipersensitivitas.Steroid
diberikan pada siang hari dalam bentuk tetes dan malam hari dalam bentuk salep.Bila kasusnya berat dapat
dipertimbangkan pemberian steroid sistemik yang diberikan dalam dosis tunggal seling sehari yang tinggi
kemudian dosis diturunkan sampai dosisi terendah yang efektif.
Pemberian steroid bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, melepas sinekia yang terjadi, dan membri istirahat
pada iris yang meradang.
Penyulit yang sering terjadi yaitu sinekia anterior perifer dan sinekia posterior, glaukoma sekunder
akibat tertutupnya trabekulum oleh sel radang atau sisa sel radang.Pada peradangan yang menahun dapat terjadi
edem makula yang kadang berlanjut menjadi ablasi retina nonregmatogenos atau serosa.

Gambar A.1. Uveitis anterior kronik


(www.atlas-of-ophthalmology.com)

2. Iridosiklitis akut
Merupakan bentuk penyakit radang yang paling sering terjadi pada
uveitis anterior.Penyakit ini dapat akut dan menahun.Pada yang menahun
biasanya merupakan kekambuhan dari reaksi imunologik.

Penyebab dari iridosiklitis :


 Autoimun
1. Artritis reumatoid juvenilis
2. Spondilitis ankilosa Sindroma Reiter

29
3. Kolitis ulserativa
4. Uveitis terinduksi lensa
5. Sarkoidosis
6. Penyakit Chron
7. Psoriasis
 Infeksi
1. Sifilis
2. Tuberkulosis
3. Lepra
4. Herpes zoster
5. Herpes simpleks
6. Onkoserkiasis
7. Adenovirus
 Keganasan
1. Sindroma Masquerade
2. Retinoblastoma
3. Leukimia
4. Limfoma
5. Melanoma maligna

 Lain-lain
1. Idiopatik
2. Uveitis traumatika, termasuk cedera menembus
3. Ablasio retina
4. Iridosiklitis heterokromik Fuchs
5. Gout
6. Krisis glaukomatositik

Gambar A.2.1. iridosiklitis rekurens, irregular pupil


(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)

30
Gambar A.2.2. Perbedaan warna iris pada penderita iridosiklitis
heterokromik Fuchs.Warna sisi yang terkena menjadi lebih terang karena
adanya kolaret.
(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)

Diagnosis Banding
Uveitis anterior perlu dibedakan dengan konjungtivitis, keratitis
dan glaukoma akut. Adapun secara ringkas dan sistematis telah dibuat
perbedaan antara ketiganya dalam bentuk tabel berikut ini :
Iridosiklit Glauko
Keratitis akut
is akut ma akut
Sakit rasa Sakit
Sakit Sakit sedikit
tertekan sekali
Sangat
Visus Berkurang berkuran Berkurang
g
Injeksi
Mera Injeksi Injeksiperikorne
perikornea
h episkleral al
l
Warna Warna
Iris Normal
kotor kotor
Sedikit
Pupil Mengecil Normal/kecil
melebar
Reak
Lambat Kaku Kuat
si

31
Tujuan utama dari pengobatan uveitis anterior adalah untuk
mengembalikan atau memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah
terlambat dan fungsi penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula,
pengobatan tetap perlu diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan
terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan.
Adapun terapi uveitis anterior dapat dikelompokkan menjadi:
Terapi non spesifik
1. Penggunaan kacamata hitam. Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi
fotofobi, terutama akibat pemberian midriatikum.
2. Kompres hangat. Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan
berkurang, sekaligus untuk meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-
sel radang dapat lebih cepat.
3. Midritikum/sikloplegik. Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot
iris dan badan silier relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri dan
mempercepat panyembuhan. Selain itu, midriatikum sangat bermanfaat untuk
mencegah terjadinya sinekia, ataupun melepaskan sinekia yang telah ada.
Midriatikum yang biasanya digunakan adalah:
 Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes
 Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
 Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes
4. Anti inflamasi. Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah
kortikosteroid, dengan dosis sebagai berikut:
Dewasa : Topikal dengan dexamethasone 0,1 % atau prednisolone 1 %. Bila
radang sangat hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau periokuler:
dexamethasone phosphate 4 mg (1ml). prednisolone succinate 25 mg (1 ml).
triamcinolone acetonide 4 mg (1 ml). methylprednisolone acetate 20 mg. Bila
belum berhasil dapat diberikan sistemik prednisone oral mulai 80 mg per hari
sampai tanda radang berkurang, lalu diturunkan 5 mg tiap hari.
Anak : prednison 0,5 mg/kgbb sehari 3 kali. Pada pemberian kortikosteroid,
perlu diwaspadai komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu
glaukoma sekunder pada penggunaan lokal selama lebih dari dua minggu, dan
komplikasi lain pada penggunaan sistemik.

32
Terapi spesifik
Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari uveitis
anterior telah diketahui. Karena penyebab yang tersering adalah bakteri, maka
obat yang sering diberikan berupa antibiotik.
 Dewasa : Lokal berupa tetes mata kadang dikombinasi dengan steroid.
Subkonjungtiva kadang juga dikombinasi dengan steroid. Per oral dengan
Chloramphenicol 3 kali sehari 2 kapsul
 Anak : Chloramphenicol 25 mg/kgbb sehari 3-4 kali. Walaupun diberikan
terapi spesifik, tetapi terapi non spesifik seperti disebutkan diatas harus tetap
diberikan, sebab proses radang yang terjadi adalah sama tanpa memandang
penyebabnya.

Komplikasi
Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior perifer yang
manghalangi humor akueis keluar dari sudut kamera anterior dan berakibat
glaukoma. Sinekia posterior dapat menimbulkan glaukoma dengan
memungkinkan berkumpulnya humor aqueus di belakang iris, sehingga
menonjolkan iris ke depan. Pelebaran pupil sejak dini dan terus menerus
mengurangi kemungkinan timbulnya sinekia posterior.Gangguan
metabolisme lensa dapat menimbulkan katarak.Ablasio retina kadang-
kadang timbul akibat tarikan pada retina oleh benang-benang
vitreus.Edema kistoid makular dan degenerasi dapat terjadi pada uveitis
anterior yang berkepanjangan.
 Komplikasi uveitis anterior:

Sinekia posterior dan anterior


Untuk mencegah maupun mengobati sinekia posterior dan sinekia anterior,
perlu diberikan midriatikum, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.

Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
uveitis anterior. Terapi yang harus diberikan antara lain:
 Terapi konservatif:
Timolol 0,25 % - 0,5 % 1 tetes tiap 12 jam. acetazolamide 250 mg tiap 6 jam
 Terapi bedah:

33
Dilakukan bila tanda-tanda radang telah hilang, tetapi TIO masih tetap tinggi.
Glaukoma sudut tertutup: iridektomi perifer atau laser iridektomi, bila telah
terjadi perlekatan iris dengan trabekula (Peripheral Anterior Synechia atau
PAS) dilakukan bedah filtrasi.
Glaukoma sudut terbuka: bedah filtrasi.

Katarak komplikata.
Komplikasi ini sering dijumpai pada uveitis anterior kronis. Terapi yang
diperlukan adalah pembedahan, yang disesuaikan dengan keadaan dan jenis
katarak serta kemampuan ahli bedah.

2. UVEITIS INTERMEDIATE
Uveitis intermediate disebut juga uveitis perifer atau pars planitis
adalah peradangan intraokular terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet
yang terpenting yaitu adanya peradangan vitreus. Uveitis intermediet
biasanya bilateral dan cenderung mengenai pasien remaja akhir atau
dewasa muda. Pria lebih banyak yang terkena dibandingkan wanita.
Gejala- gejala yang khas meliputi floaters dan penglihatan kabur. Nyeri,
fotofobia dan mata merah biasanya tidak ada atau hanya sedikit. Temuan
pemeriksaan yang menyolok adalah vitritis seringkali disertai dengan
kondensat vitreus yang melayang bebas seperti bola salju (snowballs) atau
menyelimuti pars plana dan corpus ciliare seperti gundukan salju (snow-
banking). Peradangan bilik mata depan minimal tetapi jika sangat jelas
peradangan ini lebih tepat disebut panuveitis. Penyebab uveitis
intermediate tidak diketahui pada sebagian besar pasien, tetapi sarkoidosis
dan multipel sklerosis berperan pada 10-20% kasus. Komplikasi uveitis
intermediate yang tersering adalah edema makula kistoid, vaskulitis retina
dan neovaskularisasi pada diskus optikus.

3. UVEITIS POSTERIOR
Uveitis posterior adalah peradangan yang mengenai uvea bagian
posterior yang meliputi retinitis, koroiditis, vaskulitis retina dan papilitis

34
yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau secara bersamaan. Gejala yang timbul
adalah floaters, kehilangan lapang pandang atau scotoma, penurunan tajam
penglihatan. Sedangkan pada koroiditis aktif pada makula atau
papillomacular bundle menyebabkan kehilangan penglihatan sentral dan
dapat terjadi ablasio retina.

Gambar C.1. Uveitis posterior


(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)

Uveitis posterior merupakan peradangan pada bagian posterior dari


uvea, yaitu pada lapisan koroid, sehingga sering disebut koroiditis. Pada
uveitis posterior, retina hampir selalu terinfeksi secara sekunder. Ini
dikenal sebagai koriorenitis. Berdasar patologinya, uveitis posterior juga
dapat dibedakan menjadi uveitis granulomatosa dan uveitis non
granulomatosa. Pada jenis non granulomatosa umumnya tidak dapat
ditemukan organisme patogen dan berespon baik dengan terapi
kortikosteriod sehingga sering dianggap semacam fenomena
hipersensitivitas. Pada jenis granulomatosa umumnya mengikuti invasi
mikroba aktif ke jaringan oleh organisme penyebab. Pada uveitis posterior
umumnya lebih sering terjadi uveitis jenis granulomatosa. Onset uveitis
posterior bisa akut dan mendadak atau lambat tanpa gejala, tapi biasanya
berkembang menjadi proses granulomatosa kronis.

Uveitis posterior dapat ditemui dalam bentuk-bentuk berikut ini :


o Koroiditis anterior, radang koroid purifier
o Koroiditis areolar, koroiditis bermula di daerah makula lutea dan
menyebar ke perifer
o Koroiditis difusa / diseminata,bercak peradangan koroid tersebar di
seluruh fundus okuli
o Koroiditis eksudatif, koroiditis disertai bercak-bercak eksudatif
o Koroiditis juksta papil

Penyebab uveitis posterior dapat diklasifikasikan sebagai berikut :


- penyakit infeksi (uveitis granulomatosa)

35
 virus : virus sitomegalo, herpes simpleks, herpes zoster, rubella,
rubeola, HIV, virus Epstein-Barr, virus coxsackie.
 bakteri : Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadik
dan endemik, Nocardia, Neisseria meningitides, Mycobacterium avium-
intracellulare, Yersinia, dan Borrelia.
 fungus : Candidia, Histoplasma, Cryptococcus, dan Aspergillus.
 parasit : Toxoplasma, Toxocara, Cysticercus, dan Onchocerca.
- penyakit non infeksi (uveitis non granulomatosa)
 autoimun : penyakit Behcet, Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada,
poliarteritis nodosa, ofthalmia simpatis, vaskulitis retina.
 keganasan : sarkoma sel retikulum, melanoma maligna, leukemia, lesi
metastatik.
 etiologi tak diketahui : sarkoidosis, koroiditis geografik, epiteliopati
pigmen plakoid multifokal akut, retinopati “birdshot”, epiteliopati pigmen
retina.

Untuk mempermudah diagnosis, uveitis posterior dapat dikelompokkan


sebagai berikut :
 Uveitis posterior pada pasien sampai 3 tahun dapat disebabkan
oleh infeksi virus sitomegalo, toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes, dan
infeksi rubella.
 Uveitis posterior pada kelompok usia 4-15 tahun dapat disebabkan
oleh toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediet, infeksi
sitomegalovirus, panensefalitis sklerosis subakut, dan jarang infeksi
bakteri atau fungus.
 Pada kelompok umur 16-40 tahun, disebabkan oleh
toksoplasmosis, penyakit Behcet, Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada,
sifilis, endoftalmia kandida, dan jarang infeksi bakteri endogen seperti
meningitis meningokokus.
 Kelompok usia lebih dari 40 tahun mungkin menderita sindroma
nekrosis retina akut, toksoplasmosis, infeksi virus sitomegalo, retinitis,
sarkoma sel retikulum, atau kriptokokosis.
 Apabila terjadi uveitis posterior unilateral, biasanya lebih condong
akibat toksoplasmosis, kandidiasis, toksokariasis, sindroma nekrosis retina
akut, atau infeksi bakteri endogen.

Gejala Uveitis Posterior:


1. Penurunan ketajaman penglihatan, dapat terjadi pada semua jenis
uveitis posterior.
2. Injeksi mata—kemerahan mata tidak terjadi bila hanya segmen
posterior yang terkena, jadi gejala ini jarang pada toksoplasmosis dan tidak
ada pada histoplasmosis.
3. Rasa sakit pada mata terdapat pada pasien dengan sindrom nekrosis
retina akut, sifilis, infeksi bakteri endogen, skleritis posterior, dan pada
kondisi-kondisi yang mengenai nervus optikus. Pasien toksoplasmosis,
toksokariasis, dan retinitis sitomegalovirus yang tidak disertai glaukoma
umumnya tanpa rasa sakit pada mata. Penyakit segmen posterior
noninfeksi lain yang khas tidak sakit adalah epiteliopati pigmen plakoid

36
multifokal akut, koroiditis geografik, dan Sindroma Vogt-Koyanagi-
Harada.

Tanda yang penting untuk diagnosis uveitis posterior adalah :


1. Hipopion—Uveitis posterior dengan hipopion misalnya pada
leukemia, penyakit Behcet, sifilis, toksokariasis, dan infeksi bakteri
endogen.
2. Pembentukan granuloma—Jenis granulomatosa biasanya pada
uveitis granulomatosa anterior yang juga mengenai retina posterior dan
koroid, sarkoidosis, tuberkulosis, toksoplasmosis, sifilis, Sindroma Vogt-
Koyanagi-Harada, dan oftalmia simpatis. Sebaliknya, jenis non
granulomatosa dapat menyertai penyakit Behcet, epiteliopati pigmen
plakoid multifokal akut, bruselosis, sarkoma sel retikulum, dan sindrom
nekrosis retina akut.
3. Glaukoma yang terjadi sekunder mungkin terjadi pada pasien
nekrosis retina akut, toksoplasmosis, tuberkulosis, atau sarkoidosis.
4. Vitritis—Peradangan korpus vitreum dapat menyertai uveitis
posterior. Peradangan dalam vitreum berasal dari fokus-fokus radang di
segmen posterior mata. Vitritis tidak terjadi pada koroiditis geografik atau
histoplasmosis. Peradangan ringan terjadi pada pasien sarcoma sel
retikulum, infeksi virus sitomegalo, rubella, dan beberapa kasus
toksoplasmosis dengan fokus-fokus infeksi kecil pada retina. Sebaliknya,
peradangan berat dengan banyak sel dan eksudat terdapat pada
tuberkulosis, toksokariasis, sifilis, penyakit Behcet, nokardiosis,
toksoplasmosis, dan pada pasien endoftalmitis bakteri atau kandida
endogen.
5. Morfologi dan lokasi lesi—Toksoplasmosis adalah contoh khas
yang menimbulkan retinitis dengan peradangan koroid di dekatnya. Infeksi
virus sitomegalo, herpes, rubella, dan rubeolla umumnya mengenai retina
secara primer dan lebih banyak menyebabkan retinitis daripada koroiditis.
Pada pasien tuberkulosis, koroid merupakan sasaran utama proses
granulomatosa, yang juga mengenai retina. Koroiditis geografik terutama
mengenai koroid dengan sedikit atau tanpa merusak retina dan pasien tidak
menderita pasien sistemik. Sebaliknya, koroid terlibat secara primer pada
oftalmia simpatis dan penyakit Lyme. Ciri morfologiknya dapat berupa
lesi geografik, lesi punctata, nodul Dalen-Fuchs.
6. Vaskulitis.
7. Hemoragik retina.
8. Parut lama.
Patologi Uveitis Posterior
Pada stadium awal terjadi kongestif dan inviltrasi dari sel-sel
radang seperti PMN, limfosit, dan fibrin pada koroid dan retina yang
terkena.PMN lebih banyak berperan pada uveitis jenis granulomatosa
sampai terjadinya supurasi. Sebaliknya pada uveitis non granulomatosa
limfosit lebih dominan. Apabila inflamasi berlanjut, lamina vitrea akan
robek sehingga lekosit pada retina akan menginvasi rongga vitreum yang
menyebabkan timbulnya proses supurasi di dalamnya. Pada uveitis
granulomatosa kronis tampak sel mononuclear, sel epiteloid, dan giant cell

37
sebagai nodul granulomatosa yang tipikal. Kemudian exudat menghilang
dengan disertai atrofi dan melekatnya lapisan koroid dan retina yang
terkena.Eksudat dapat menjadi jaringan parut. Keluarnya granula pigmen
akibat nekrosis atau atrofi dari kromatofor dan sel epitelia pigmen akan
difagositosis oleh makrofag dan akan terkonsentrasi pada tepi lesi.

Gambar C.2. cell depocits pada uveitis


(diambil dari www.atlas-of-ophthalmology.com)
Komplikasi
1. Dapat mengenai daerah sekitar koroid, misalnya retina, vitreus
humour, badan siliar, iris, nervus optikus, dan sklera.
2. Uveitis posterior dapat menyebabkan katarak sisi posterior.

Penatalaksanaan uveitis posterior pada prinsipnya sama


dengan uveitis anterior atau uveitis lainnya, yaitu mengatasi penyebabnya.
Karena penyebab uveitis posterior juga merupakan penyebab yang sama
pada hampir semua kasus uveitis difusa, maka penatalaksanaan uveitis
posterior akan dibahas lebih lanjut pada bagian uveitis difusa.
Pengobatan yang diberikan tergantung pada penyebab dan luasnya
kerusakan pada mata
 Konservatif
Biasanya pasien diberikan anti- radang seperti kortikosteroid,
immunosuppressive / cytotoxic agent . Bila penyebabnya infeksi maka
akan diberikan antibiotik atau anti virus.
 Tindakan
Kadang-kadang vitrektomi atau bedah retina dilakukan untuk
membersihkan cairan dalam bola mata yang meradang atau untuk
diagnosis penyakit. Terapi fotokoagulasi dan kryotherapi kurang
berhasil. Neovaskularisasi retina dapat terjadi pada toksoplasma, dan
fotokoagulasi dari lesi neovaskular dapat mencegah kehilangan
penglihatan sampai perdarahan vitreus
 Penyulit uveitis posterior3) :

38
Keratopati pita
Uveitis kronik dalam beberapa tahun khususnya pada anak akan
menimbulkan pengendapan kalsium pada membrane basalis dan
lapisan bowman. Endapan kalsium biasanya ditimbulkan pada daerah
intrapalpebra sering meluas ke daerah sumbu penglihatan. Terapi
dilakukan dengan cara epitel kornea sentral dilepaskan dengan 15 bard
parker blade dengan meninggalkan sel – sel stem limbal secara utuh,
kemudian ditetesi EDTA 0,35% 5 menit kemudian dicuci dengan BSS.
Proses ini diulang hingga beberapa kali sampai deposit kalsium hilang
dan dipasang bandage lensa kontak kemudian diberi antibiotik dan
sikloplegik.

Katarak
Penanganan katarak pada kasus uveitis bisa dilakukan dengan
fakoemulsifikasi dengan implantasi IOL in the bag. Pada kasus JRA
terkait uveitis penanganan operasi katarak dilakukan dengan
menunggu ketenangan reaksi dalam 3 bulan, kemudian diberi steroid
pre operasi selama 1 hingga 2 minggu. Dilakukan sinekiolisis dengan
viskoelastik diikuti oleh kapsuloresis dan fakoemulsifikasi serta
implantasi IOL in the bag. Steroid diberikan hingga 5 bulan.
Dianjurkan menggunakan IOL akrilik hidrofobik. Penggunaan
intraoperatif tiamsinolon asetonid 4 mg intravitreal dapat mencegah
terjadinya fibrin pasca bedah katarak dibandingkan dengan
penggunaan steroid intravenus intraoperatif.

Glaukoma
Dapat berupa hipertensi okular, glaukoma uveitik, glaukoma sekunder
sudut sempit, glaukoma sekunder sudut terbuka, glaukoma induksi
kortikosteroid, glaukoma uveitis mekanisme kombinasi. Pemeriksaan
pasien dengan hipertensi okuli dan uveitis dianjurkan diperiksa foto
papil. Evaluasi OCT papil nervus optikus dan pemeriksaan lapangan
pandang secara berkala. Tindakan operasi pada uveitis adam antiades

39
Behcet dengan mitomisin C intraoperatif pada trabekulotomi dapat
mengontrol tekanan bola mata tanpa obat – obatan pada 83 % pasien
pada akhir tahun pertama dan 62 % pada 5 tahun pasca bedah.
Beberapa penyulit dijumpai : katarak, kebocoran bleb, dan efusi
koroid. Beberapa kasus khusus misalnya pada pseudofakik atau afakik
membutuhkan alat drainase seperti implan monteno, implan ahmed,
dan implan baerveldt. Untuk mencegah terjadinya glaukoma steroid
lebih aman digunakan fluorometolol, loteprednol atau rimeksolon.

Ablasi retina
Ablasi retina rematogenues terjadi pada 3 % pasien dengan uveitis,
panuveitis, infeksi uveitis, pars planitis dan uveitis posterior paling
sering terjadi ablasi retina. Lebih dari 30 % kasus uveitis dengan ablasi
retina terjadi proliferasi vitreoretina (PUR) dalam hal ini maka sklera
buckling dan vitrektomi pars plana perlu dilakukan. Angka
keberhasilan operasi sebesar 60 % dengan visus akhir kurang dari 6 /
60.

Neovaskularisasi retina dan khoroid


Dapat terjadi pada setiap uveitis kronik khususnya pada pars planitis,
panuveitis sarkoidosis, beberapa variasi kasus vaskulitis retina
termasuk penyakit ecles. Neovaskularisasi retina terjadi pada radang
kronis atau nonperfusi kapiler. Terapi dapat dilakukan dengan steroid
atau imunodulator atau fotokoagulasi laser scatter didaerah iskemik.
Neovaskularisasi kronik dapat berkembang pada uveitis posterior dan
panuveitis pada umumnya terjadi pada histoplasmosis, koroiditis
pungtata, koroiditis multifaktor idiopatik serta koroiditis serpiginosa.
Terapi dilakukan dengan fotokoagulasi lokal peripapiler ditempat
terjadi NUK. Beberapa imunomodulator dapat dapat dikombinasi
dengan anti VEGF seperti pegabtanid, bevacizumab, ranibizumad.

Endoftalmitis

40
Dikaitkan dengan inflamasi bola mata yang melibatkan vitreus dan
segmen depan namun kenyataan juga dapat melibatkan koroid dan
retina. Pada prinsipnya endoftalmitis dibagi 2 bentuk yaitu infeksi dan
noninfeksi.
Bentuk endoftalmitis yang paling sering dijumpai adalah endoftalmitis
infeksi yang dapat terjadi secara eksogen maupun endogen.
Endoftalmitis infeksi disebut juga endoftalmitis steril disebabkan oleh
stimulus non- infeksi misalnya sisa massa lensa pasca operasi katarak /
atau bahan toksik yang masuk ke dalam bola mata karena trauma.
Gejala klinik yang sering timbul adalah penurunan tajam penglihatan,
hipopion, vitritis. Penurunan tajam penglihatan mendadak dapat
berkisar mulai dari ringan hingga berat, nyeri sering menyertai kasus
endoftalmitis, kadang didapat hiperemia maupun kemosis konjungtiva
dan terdapat udem pada kelopak mata dan kornea

 Komplikasi uveitis posterior 8) :

 Hipopion
Penyakit segmen posterior yang menunjukan perubahan-
perubahan peradangan dalam uvea anterior dan disertai hipopion
adalah leukemia,penyakit behcet,sifilis,toksokariasis,dan infeksi
bakteri.
 Glaukoma
Glaukoma sekunder mungkin terjadi paad pasien sindom nekrosis
retina akut,toksoplasmosis,tuberculosis,atau tuberculosis.

41
 Vitritis
Peradangan korpus vitreum dapa menyertai uveitis
posterior.peradangan dalam vitreum berasal dari focus-focus
radang di segmen posterior mata.peradangan dalam vitreus tidak
terjadi pada pasien koroiditis geografik tau histoplsmosis.sedikit
sel radang dalam vitreus dapat terlihatpaad pasien sel sarcoma
reticulum,infeksi cytomegalovirus,dan rubella,dan rubella dan
beberapa kasus toksoplasmosis dengan focus-fokus kecil pada
retina.sebaliknya,peradangan berat dalam vitreus dengan banyak
sel dan eksudat terdapat pada tuberculosis,toksokariasis,sifilis.

Prognosis
Prognosis pasien tergantung pada lokasi dan luasnya eksudasi dan
atrofi daerah lesi. Lesi yang kecil tetapi jika mengenai daerah makula lutea
akan berpengaruh pada fungsi penglihatan. Sebaliknya lesi yang meluas
sepanjang fundus tidak mempengaruhi penglihatan apabila tidak mengenai
area makula.

4. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari pengobatan uveitis adalah untuk mengembalikan
atau memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan
fungsi penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan
tetap perlu diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan
terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan. Adapun terapi uveitis dapat
dikelompokkan menjadi :
Terapi non spesifik :
1. Penggunaan kacamata hitam
Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi fotofobi, terutama akibat
pemberian midriatikum.
2. Kompres hangat

42
Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan berkurang,
sekaligus untuk meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-sel
radang dapat lebih cepat.
3. Midritikum/ sikloplegik
Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot iris dan badan
silier relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat
penyembuhan. Selain itu, midriatikum sangat bermanfaat untuk
mencegah terjadinya sinekia, ataupun melepaskan sinekia yang telah
ada.
Midriatikum yang biasanya digunakan adalah:
a. Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes
b. Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
c. Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes
4. Anti inflamasi
Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah kortikosteroid, dengan
dosis sebagai berikut:
Dewasa : Topikal dengan dexamethasone 0,1 % atau prednisolone 1 %.
Bila radang sangat hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau
periokuler : :
a. Dexamethasone phosphate 4 mg (1 ml)
b. Prednisolone succinate 25 mg (1 ml)
c. Triamcinolone acetonide 4 mg (1 ml)
d. Methylprednisolone acetate 20 mg
Bila belum berhasil dapat diberikan sistemik Prednisone oral mulai 80
mg per hari sampai tanda radang berkurang, lalu diturunkan 5 mg tiap
hari.
Anak : prednison 0,5 mg/kgbb sehari 3 kali.

Pada pemberian kortikosteroid, perlu diwaspadai komplikasi-


komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu glaukoma sekunder pada
penggunaan lokal selama lebih dari dua minggu, dan komplikasi lain
pada penggunaan sistemik.

43
Terapi spesifik
Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari
uveitis anterior telah diketahui. Karena penyebab yang tersering adalah
bakteri, maka obat yang sering diberikan berupa antibiotik, yaitu :
Dewasa : Lokal berupa tetes mata kadang dikombinasi dengan steroid.
Anak : Chloramphenicol 25 mg/kgbb sehari 3-4 kali.
Walaupun diberikan terapi spesifik, tetapi terapi non spesifik seperti
disebutkan diatas harus tetap diberikan, sebab proses radang yang terjadi
adalah sama tanpa memandang penyebabnya.

Terapi terhadap komplikasi


1. Sinekia posterior dan anterior
Untuk mencegah maupun mengobati sinekia posterior dan sinekia
anterior, perlu diberikan midriatikum, seperti yang telah diterangkan
sebelumnya.
2. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang paling sering terjadi
pada uveitis anterior. Terapi yang harus diberikan antara lain:
Terapi konservatif :
Timolol 0,25 % - 0,5 % 1 tetes tiap 12 jam
Acetazolamide 250 mg tiap 6 jam
Terapi bedah:
Dilakukan bila tanda-tanda radang telah hilang, tetapi TIO masih
tetap tinggi.
a. Sudut tertutup : iridektomi perifer atau laser iridektomi, bila telah
terjadi perlekatan iris dengan trabekula (Peripheral Anterior
Synechia atau PAS) dilakukan bedah filtrasi.
b. Sudut terbuka : bedah filtrasi.

3. Katarak komplikata

44
Komplikasi ini sering dijumpai pada uveitis anterior kronis.
Terapi yang diperlukan adalah pembedahan, yang disesuaikan
dengan keadaan dan jenis katarak serta kemampuan ahli bedah.

5. KOMPLIKASI
Komplikasi dari uveitis dapat berupa :
a. Glaucoma, peninggian tekanan bola mata
Pada uveitis anterior dapat terjadi sinekia posterior sehingga
mengakibatkan hambatan aliran aquos humor dari bilik posterior ke
bilik anterior. Penumpukan cairan ini bersama-sama dengan sel
radang mengakibatkan tertutupnya jalur dari out flow aquos humor
sehigga terjadi glaucoma. Untuk mencegahnya dapat diberikan
midriatika.
b. Katarak
Kelainan polus anterior mata seperti iridosiklitis yang menahun dan
penggunaan terapi kortikosteroid pada terapi uveitis dapat
mengakibatkan gangguan metabolism lensa sehingga menimbulkan
katarak. Operasi katarak pada mata yang uveitis lebih komplek lebih
sering menimbulkan komplikasi post operasi jika tidak dikelola
dengan baik. Sehingga dibutuhkan perhatian jangka panjang terhadap
pre dan post operasi. Operasi dapat dilakukan setelah 3 bulan bebas
inflamasi. Penelitian menunjukan bahwa fakoemulsifikasi dengan
penanaman IOL pada bilik posterior dapat memperbaiki visualisasi
dan memiliki toleransi yang baik pada banyak mata dengan uveitis.
c. Sinekia posterior  perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian
anterior akibat sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas.
d. Sinekia anterior  perlekatan iris dengan endotel kornea akibat sel-sel
radang, fibrin, dan fibroblas.
e. Seklusio pupil  perlekatan pada bagian tepi pupil
f. Oklusio pupil  seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang

45
g. Endoftalmitis  peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan
struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan kaca akibat dari
peradangan yang meluas.
h. Panoftalmitis  peradangan pada seluruh bola mata termasuk sklera
dan kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses.
i. Ablasio retina

46
BAB III
KESIMPULAN

Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus
uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid. Klasifikasi
uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi secara
anatomis, klinis, etiologis, dan patologis. Penyakit ini dapat disebabkan oleh
faktor eksogen, endogen, infeksi maupun noninfeksi. Tujuan utama dari
pengobatan uveitis adalah untuk mengembalikan atau memperbaiki fungsi
penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi penglihatan tidak dapat lagi
dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk mencegah
memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta : ”Anatomi dan Fisiologi mata” dalam ”Ilmu Penyakit


Mata”. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, Edisi 3, 2008. Hal 1-12
2. Hartono. Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata. UGM. Yogyakarta. 2007
3. Riordan Paul – Eva et al : ”Anatomi dan Embriologi Mata” dalam :
Riordan Paul – Eva, et al : ”Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum”.
Jakarta : EGC, edisi 17, 2009
4. Vaughan, Dale. General Ophtalmology (terjemahan), Edisi 14. Jakarta:
Widya Medika, 2000.

5. Ilyas, S, Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta : 2004
6. Department of Ophthalmology and Visual Sciences, The Chinese
University of Hong Kong Sept 2002.
www.afv.org.hk/Uveitis/uveitis_3.jpg
7. Wijaya,Nana. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Semarang. Universitas
Diponegoro.
8. PDSMI. Ilmu Penyakit Mata. PDSMI

48

Anda mungkin juga menyukai