Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN TEORI ASAS NEGARA HUKUM PANCASILA, TEORI

KEWENANGAN, DAN PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM

PEMERINTAH

A. ASAS NEGARA HUKUM PANCASILA

Pemikiran mengenai dasar-dasar negara sebelum berdirinya Negara

Kesatuan Republik Indonesia dilakukan dalam persidangan Badan Penyelidik

Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) oleh para pendiri

Negara Indonesia. Perumusan konseptualisasi Pancasila dimulai pada masa

persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI) tanggal 29 Mei Tahun 1945 sampai 1 Juni Tahun 1945.1

Rangkaian pidato Soekarno (1 Juni Tahun 1945) menawarkan lima prinsip

dasar negara yang di beri nama Panca Sila.2 Panca artinya lima. Soekarno

mengatakan "Sila artinya asas atau dasar..."3 Jadi Pancasila merupakan lima

asas atau lima dasar negara.4

Pokok pikiran mengenai Pancasila yang terdapat dalam pidato Bung

Karno itu yang kemudian diterima secara aklamasi oleh BPUPKI sebagai dasar

1
Pimpinan MPR Dan Tim Kerja Sosialisasi MPR RI Periode 2009-2014, Materi Sosialisasi
Empat Pilar MPR RI, Cetakan VI, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2016, hlm. 27.
2
Ibid., hlm. 28.
3
Simpatisan Pembela Pancasila 1 Juni, Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Cetakan
II, 2008, hlm. 50.
4
Kelima sila dalam Pancasila, yaitu: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang
adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan; dan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (Lihat
Backy Krisnayuda, Pancasila & Undang-Undang: Relasi dan Transformasi Keduanya Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan I, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016, hlm. 45).
22

dalam penyusunan falsafah negara (philosofische grondslag).5 Philosofische

grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa,

hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia

Merdeka yang kekal dan abadi.6 Pancasila merupakan dasar ideologi atau lebih

kita kenal sebagai landasan ideologi bangsa.7 Kata "ideologi" berasal dari kata

idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita, dan logos yang

berarti ilmu.8 Jadi, secara harfiah ideologi berarti ilmu tentang pengertian

dasar, ide atau cita-cita.9 Cita-cita yang dimaksukan adalah cita-cita yang tetap

sifatnya dan harus dapat dicapai sehingga cita-cita itu sekaligus merupakan

dasar, pandangan, dan paham.10 Abdul Hamid S. Attamimi yang dikutip dalam

Hotma P. Sibuea, mengemukaan berbagai cita negara, antara lain:11

1. Cita negara kekuasaan (Machstaats);


2. Cita negara berdasarkan hukum (Rechstaat);
3. Cita negara kerakyatan (Volktaats);
4. Cita negara kelas (Klassenstaats);
5. Cita negara liberal (Liberale staat);
6. Cita negara totaliter kanan (Totaliteire staat van rechts);
7. Cita negara totaliter kiri (Totaliteire staat van links);
8. Cita negara kemakmuran (Welvarsstaat).
Aneka cita negara yang dikemukakan di atas menunjukkan

keanekaragaman pandangan dan pemahaman manusia mengenai hakikat

negara yang paling dalam.12 Hal itu membuktikan bahwa cita negara tidak

5
Pimpinan MPR Dan Tim Kerja Sosialisasi MPR RI Periode 2009-2014, Op. Cit., hlm. 34.
6
Simpatisan Pembela Pancasila 1 Juni, Op.Cit.,
7
Backy Krisnayuda, Pancasila & Undang-Undang: Relasi Dan Transformasi Keduanya
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan I, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016, hlm.50.
8
Ibid, hlm. 50.
9
Ibid. hlm. 50.
10
Ibid. hlm. 50.
11
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, & Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik, Cetakan VI, Jakarta: Erlangga, 2016, hlm. 7.
12
Ibid. hlm. 7.
23

selalu sama bagi masing-masing bangsa.13 Berarti bangsa Indonesia mungkin

berbeda menerapkan cita negara karena adanya menunjukkan sebagai jati diri

dari negara itu tersendiri. Salah satu cita negara yang menjadi pokok

pembahasan peneliti adalah cita negara berdasarkan hukum.

Adapun sebagai perbandingan ciri-ciri negara hukum (rechtstaat) dan

(The Rule of Law), akan dijelaskan sebagai berikut. Menurut F.J. Stahl, dari

kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri negara hukum

(rechtstaat) sebagai berikut:

1. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia;


2. Pemisahan kekuasaan negara;
3. Pemerintah berdasarkan Undang-undang; dan
4. Adanya peradilan administrasi.14
A.V. Dicey dari kalangan Anglo Saxon, memberikan ciri-ciri negara

hukum (The Rule of Law) sebagai berkut:

1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-


wenangan, sehingga seorang hanya boleh dihukum jika melanggar
hukum;
2. Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa
maupun bagi pejabat;
3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dan
keputusan-keputusan pengadilan.15

Berdasarkan uraian diatas, ciri-ciri negara hukum (rechtstaat) dan

negara hukum (The Rule of Law) diadopsi oleh negara-negara yang menganut

cita negara berdasarkan hukum.

13
Ibid. hlm. 7.
14
Fatkhurohman, dkk, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia,
Cetakan I, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 5-6.
15
Ibid., hlm. 6.
24

Sistem pemerintahan negara yang terletak di UUD 1945 menegaskan

bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat) tidak

berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Backy Krisnayuda

mengemukakan pendapat tentang penegasan di dalam pembukaan UUD 1945:

"Berdasarkan hasil temu kenal cita dan penerapan asas-asas hukum


nasional yang diselenggarakan pada tahun 1995, telah menyepakati
bahwa Pancasila sebagai "cita hukum" (rechtsidee) yang harus
menjiwai perilaku segenap subjek hukum masyarakat Indonesia,
sehingga terwujud Negara Indonesia sebagai "negara hukum"
(rechtsstaat), sebagaimana ditegaskan di dalam Pembukaan UUD
1945. Pancasila yang merupakan cita bangsa dan segala yang tertinggi
yang menjadi landasan filosofis dan ideologi negara, pandangan dan
tujuan hidup (lebensanschaung) bangsa, cita negara (staatsidee), dan
sebagai dasar negara, harus menjadi tolok ukur dan batu penguji
mengenai "baik atau buruknya-adil atau tidaknya" hukum yang berlaku
karena Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum yang
berlaku di bumi Indonesia."16
Namun setelah amandemen ketiga, muncul Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945

menyebutkan "Negara Indonesia merupakan Negara Hukum." Peneliti

berpendapat bahwa setelah adanya amandemen ketiga maka terdapat

perubahan makna mengenai negara hukum. Indonesia tidak lagi menganut

negara hukum berupa rechtstaat melainkan bisa negara hukum berupa

rechtstaat maupun rule of law dan bisa juga negara hukum yang sesuai dengan

jati diri Negara Indonesia sendiri yang tertuang dalam cita hukum.

Ada beberapa ahli yang mengemukakan arti dari cita hukum. Menurut

A. Hamid S. Attamimi, cita hukum (rechtsidee) merupakan gabungan dua kata,

cita (idee) yang berarti ide, gagasan, rasa cipta, pikiran, dan hukum (rechts)

yang secara umum diartikan sebagai suatu aturan yang wajib ditaati oleh

16
Backy Krisnayuda, Op.Cit., hlm. 46.
25

masyarakat.17 Rudolf Stammler mengartikan cita hukum adalah konstruksi

pikir yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita

yang diinginkan oleh masyarakat.18 Adapun menurut Benard Arief Sidharta

berpendapat bahwa cita hukum (rechtsidee) mengandung arti pada hakikatnya

hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat yang berakar pada gagasan,

rasa, karsa, cipta, dan pikiran masyarakat itu sendiri.19 Menurut peneliti semua

yang disebutkan oleh para ahli adalah benar dan dapat disimpulkan bahwa cita

hukum merupakan suatu aturan yang wajib ditaati untuk mengarahkan hukum

kepada cita-cita masyarakat yang berakar pada gagasan, ide, rasa, karsa, cipta,

dan pikiran masyarakat itu sendiri.

Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu (Leitstern) bagi

tercapainya cita-cita masyarakat.20 A. Hamid S. Attamimi mengatakan "... cita

hukum memberi manfaat karena mengandung dua sisi: dengan cita hukum,

hukum positif yang berlaku dapat diuji, dan kepada cita hukum, hukum positif

sebagai usaha menuju sesuatu yang adil dengan sanksi pemaksa dapat

diarahkan".21

A. Hamid S. Attamimi mengemukakan Pancasila sebagai Cita Hukum

secara positif dan negatif, sebagai berikut:

"Kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya selaku Cita Hukum


rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

17
Ibid, hlm. 46.
18
Ibid, hlm. 46.
19
Ibid, hlm. 46.
20
A.Hamid S.Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang
Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I - Pelita IV, S3 Universitas Indonesia Di Jakarta,
Tahun 1990, hlm. 309.
21
Ibid. hlm. 309.
26

bernegara, secara positif merupakan "bintang pemandu" yang


memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan memberi
isi kepada tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif
merupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan
perundang-undangan tersebut."22

Berdasarkan pernyataan tersebut peneliti berpendapat bahwa Pancasila sebagai

Cita Hukum rakyat Indonesia berperan sebagai acuan atau pedoman bagi para

pembuat perundang-undangan agar dapat mengayomi masyarakat Indonesia.

Padmo Wahjono mengemukakan semangat UUD bersifat kekeluargaan

yang merupakan pancaran dari Pancasila, sebagai berikut:

"Pokok-pokok pikiran terkandung dalam Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia merupakan pancaran dari Pancasila,
membentuk cita-cita hukum (Recht idee) yang menguasai hukum dasar
tertulis dan hukum dasar tidak tertulis, dan bahwa yang terpenting ialah
semangat para penyelenggara negara dan para pemimpin pemerintahan
harus sesuai dengan semangat Undang-Undang Dasar yang bersifat
kekeluargaan."23

Berdasarkan pernyataan tersebut peneliti berpendapat bahwa semangat para

penyelenggara negara dan para pemimpin pemerintahan yang bersifat

kekeluargaan harus tertuang dalam hukum dasar tertulis dan hukum dasar tidak

tertulis.

Kedudukan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara

dapat ditransformasikan manakala diberikan ruang bagi nilai-nilai Pancasila

dalam pembentukan undang-undang.24 Nilai-niai Pancasila harus tertuang

dalam perundang-undangan jadi dalam pembentukan perundang-undangan

menjadikan implementasi dari nilai-nilai pancasila dalam hukum positif.

22
A. Hamid S.Attamimi, Op.Cit., hlm. 333.
23
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cetakan I, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983, hlm. 8.
24
Backy Krisnayuda, Op. Cit., hlm. 265.
27

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang

patut ialah mengikuti pedoman dan bimbingan sesuai dengan:

1. Cita hukum Indonesia yang tidak lain adalah Pancasila (sila-sila


dalam hal tersebut berlaku sebagai cita, yang berlaku sebagai bintang
pemandu);
2. Norma fundamental negara yang juga tidak lain melainkan Pancasila
(sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai norma);
3. Asas-asas negara berdasarkan atas hukum yang menempatkan
undang-undang sebagai alat pengatur yang khas berada dalam
keutamaan hukum (det Primat des Rechts); dan
4. Asas-asas pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi yang
menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintah.25

Peneliti berpendapat bahwa Pancasila sebagai Cita Hukum Indonesia dan

norma fundamental negara yang menjadi dasar dalam pembuatan seluruh

perundang-undangan sebagai cerminan jati diri dari Negara Hukum Pancasila

yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Istilah Negara hukum telah menjadi pokok pikiran para filsafat dengan

renungan yang dalam sejak berabad-abad. Pada mulanya di Indonesia istilah

“Negara Hukum” baru ditemukan pada Pasal I UUDS. Cita-cita akan negara

hukum ini adalah selaras dengan perkembangan aliran individulisme. Sedari

dahulu orang telah memikirkan masalah hubungan antara negara dan perorangan

(individu).26

Perkembangan dari setiap tahap ke tahap berikutnya menunjukkan

adanaya peningkatan di dalam praktek bernegara, dan adanya koreksi terhadap

25
Ibid., hlm. 263.
26
Ramly Hutabarat, Persamaan Dihadapan Hukum (Equality Before The Law) di Indonesia,
Jakarta: Ghalia Indonesia 1985, hlm. 11.
28

kesalahan-keasalahan tahap sebelumya, hal mana mencerminkan pula suatu

peningkatan kecerdasan bangsa.27

Perbedaan terpenting dalam asas negara hukum pancasila yakni

ideologi bangsa kita menggunakan Pancasila sebagai ide dasar dan dasar

konstitusional kita dalam berbangsa. Ide dasar yang dimaksud disini merupakan

pandanangan hidup bangsa indonesia yang terangkum dalam rumusan sila-sila

pancasila yang dijadikan falsafah hidup bernegara berdasarkan UUD 1945.

Sebagaimana pandangan hidup bangsa dan falsafah bernegara, Pancasila itu

merupakan sumnber hukum dalam arti materiil yang tidak saja menjiwai, teteapi

bahkan harus dilakasanakan dan tercermin dalam setiap peraturan hukum

Indonesia.28 Kemudian menjadi syarat utama dalam pembentukan perundang-

undangan haruslah sesuai dengan sila-sila dalam Pancasila. Oleh karena itu,

hukum Indonesia haruslah berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa,

berkemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan faktor pemersatu bangsa,

bersifat kerakyatan, dan menjamin keadilalan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Pancasila merupakan alat penguji untuk setiap peraturan hukum yang

berlaku, apakah betentangan dengan atau tidak dengan nilai-nilai yang

terkandung di didalamnya, sehingga setiap peraturan hukum yang bertentangan

dengan Pancasila tidak boleh berlaku.29

Bentuk formalnya, nilai-nilai Pancasila itu tercantum di dalam

perumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

27
Padmo Wahjono, Ibid, hlm. 9.
28
Jimly Assyidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan ke-6, Jakarta: Grafindo
Persada, 2013. Hlm. 159.
29
Ibid. Hlm. 159.
29

sebagai hukum tertulis yang tertinggi di Republik Indonesia.30 Pokok-pokok

pikiran yang terkandung dalam Undang-undang Dasar merupakan pancaran dari

Pancasila, membentuk cita-cita hukum (rechts idee), yang menguasai hukum

dasar tertulis dan hukum dasar tidak tertulis, dan bahwa yang terpenting ialah

semangat para penyelenggara negara dan para pemimpin pemerintah harus

sesuai dengan dengan semangat Undang-Undang Dasar yang bersifat

kekeluargaan.31

Pancasila sebagai dasar negara, hal ini berati bahwa setiap tindakan

rakyat dan negara Indonesia harus sesuai dengan Pancasila yang sudah

ditetapkan sebagai dasar negara tersebut. Hal ini mengingatkan bahwa Pancasila

digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri, sehinggga Pancasila mempunyai

fungsi dan peranan yang sangat luas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernengara.

Pancasila dipandang sebagai dasar negara Indonesia karena didalamnya

mengandung beberapa asas (lima asas) yang dapat dilihat sebagai berikut: 32

1. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa

Di dalam Pembukaan Uud 1945 alinea ke IV disebutkan, “..., maka


disusunlah kemerdekaan kebangsaaan Indonesia itu dalam suatu UUD
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Realisasi dari asas Ketuhanan Yang Maha Esa tercermin dalam tiga
bidang ketatanegaraan Republik Indonesia antara lain:
(1) Dalam bidang eksekutif, dengan adanya Departemen Agama
dan segala bagian-bagiannya yang mengatur segala soal
yang menyangkut agama di Indonesia.

30
Ibid, hlm. 160.
31
Loc. Cit, Padmo Wahjono. Hlm. 8.
32
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, Cetakan ke-2, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011, hlm. 78.
30

(2) Dalam bidang legistatif tercermin pelaksaaannya dalam UU


Nomor 1 tahun 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan.
(3) Dalam bidang yudikatif, tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 145 tahun 1970 yang telah diubah melalui Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman pada pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa peradilan
dilakukan, “Demi Keadilan Bedasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”, dan tercermin dalam setiap keputusan peradilan
agama yang khususnya diadakan bagi yang beragama Islam,
adalah realisasi dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa.33

2. Asas Perikemanusiaan

Asas perikemanusaian adalah asas yang mengakui dan


memperlakukan manuisa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan, juga mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan
kewajiban asasi manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturuanan,
agama, ras, warna kulit, kedudukan sosial, dan lainnya.
Pembukaan UUD 1945 dan juga pasal 34 adalah merupakan perwujudan
dari asas perikemanusiaaan dalam hukum positif Indonesia dalam
kehidupan sehari-hari hal ini terlihat pada lembaga-lembaga yang
didirikan untuk menampung segala yang tidak seimbang dalam
kehidupan sosial. Contohnya, panti asuhan anak-anak yatim piatu, anak
cacat, dan manula/lansia.
Dari segi legislatif dapat kita dilihat dari lahirnya Undang-Undang
Perburuhan yang menghilangkan prinsip pengisapan manuisa oleh
manuisa. Dalam bidang eksekutif terbentuknya Departemen Sosial;
yang menanggulangi masalah-masalah kemanusiaan. Contonya,
Direktorast Bencana Alam yang memberikan bantuan bagi masyarakat
yang tertimpa musibah bencana alam, dan sebagainya.34

3. Asas Kebangsaan

Asas kebangsaan memberikan arti setiap warga negara mempunyai


kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Asas ini menunjukkan,
bahwa bangsa Indonesia bebas menentukan nasibnya sendiri, dan
berdaulat yang berarti pula bahwa bangsa Indonesia tidak membolehkan
adanya campur tangan (intervensi) dari bangsa lain dalam hal menganai
urusan negara.
Asas kebangsaan tertuang pula dalam simbol atau lambang negara
republik Indonesia, yaitu ‘Garuda Pancasila’ (Pasal 36A), bendera
Kebangsaan ,yaitu ‘Sang Saka Merah Putih’(Pasal 35), bahasa persatuan
‘Bahasa Indonesia’ (Pasal 36), lagu kebangsaan ‘Indoneisa Raya’ (Pasal

33
Ibid, hlm 79.
34
Ibid, hlm. 80.
31

36A), dan lambang persatuan dan kesatuan ‘Bhineka Tunggal Ika’


(36A).
Di samping itu asas kebangsaaan termuat dalam Pembukaan alinea
Pertama dan pasal-pasal 33 UUD 1945. Sebagai contoh dalam
mewujudkan Pasal 33 Uud 1945, bahwa bumi,air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasi oleh negara dan digunakan untuk
kepentingan rakyat. Hal ini sama juga dalam rangka perlindungan
bangsa terhadap kemungkinan pengaruh buruk dari luar negeri dan juga
perlindungan terhadap orang asing yang ada di Indonesia demi
kepentingan bangsa.
Di bidang legislatif asas ini terlihat dengan lahirnya Undang-
Undang Kewarganegaraan (Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006)
dan Undang Undang Agraria (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960)
yang berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat.
Aplikasi asas kebangsaan dalam pengadilan berupa keputusan, apabila
terjadi perselisihan antarwarga negara Indonesia dan warga negara
asing, di Indonesia dimana yang berlaku adalah undang-undag
Indonesia.35

4. Asas Kedaulatan Rakyat

Asas Kedaulatan Rakyat dalam bidang legislatif merupakan


perwujudan dari kedaulatan rakyat ada wewenang yang dimiliki DPR.
Sedangkan dalam yudikatif terlihat bahwa hakim-hakim baru dapat
diangkat setelah ada pengusulan dari Komisi Ydisial kepada anggota
DPR untuk mendapat penertapan yang selanjutnya diangkat oleh
presiden.
Dalam pembukaan UUD 1945 asas Iini tertuang dalam alinea IV
yang menyatakan, “Maka disusunlah kemerdejaan kebangsaan
Indonesia itu dalam Undang-Undang Dasar negara Indonesia yang
berkedaulatan rakyat...”.
Asas kedaulatan rakyat menghendaki agara setia tindakan dari
pemerintah harus berdsarakan kemauan rakyat, yang pada akhirnya
semua tidanakan pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada rakyat melalui wakil-wakinya. Hal ini dapat dilihat dari
pelsanaan Pemilu oleh presiden pada pemilu 1971, yang merupakan
kehendak rakyat yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 15
tahun 1969 dan pelasanaannya dari ketetapan MPRS
No.XIII/MPRS/1968, srrta adanya UUD 1945, yang kemudian pada
ketetapan MPR No.VI/MPR/1973.
Penjelmaan dari ketetapan ini dapat dilihat pada persetujuan dari
rakyat atas tindakan pemerintah itudapat ditunjukkan bahwa presiden
tidak dapat mwnwtapkan suatu peraturan pemerintah, tetapi terlebuh
dahulu adanya undang-undangartinya tanpa persetujuan rakyra presiden

35
Ibid, hlm. 80.
32

tidak dapat menentapkan suatu perturan pemerintah. Dan akhirnya


presiden harus memberikan pertanggugjawaban kepada MPR yang
merupakan penjelmaan dari rakyat Indonesia yang memegang
kedaulatan rakyat.
Asas kedaulatan rakyat ini semakin memperoleh ruhnya, dalam era
reformasi dengan dilaksanakan pemillu secara langsung sebagaimana
disebutkkan dalam Pasal 22E UUD 1945 pasca amandemen yang juga
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004 tantang
Pemilu Anggota DPR dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 Tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden.36

5. Asas Keadilan Sosial

Dalam bidang legislasi, asas keadilan sosial pelaksanannya tertuang


dalam rangka mewujudkan undag-undang tentang jaminan sosial.
Misalnya adanya pusat-pusat industri yang memungkinkan timbulnya
perselisihan atau sengketa antara pihak pemimpin dan kaum buruhnya,
yang perlu adanya suatu badan yang akan menyelesaikan sengketa itu
tidak secara sepihak dan sewenang-wenang, melainkan dengan
pedoman kepada keadilan sosial yang selalu memperhitungkan nasib
kaum buruh tesebut.
Dalam bidang yudikatif terlihat bahwa setiap keputusan hakim
senantiasa berpedoman kepada keadilan sosial. Adapun dalam bentuk
lembaga terlihat adanya lembaga negara yang bergerak dibidang sosial
yang menyelenggarakan masalah-masalah sosial dalam negara.37

Pancasila yang terdiri dari lima sila, pada hakikatnya merupakan suatu

sistem filsafat.38 Di dalam perkembangan teori kenegaraan, pada pengertian

Rechtstaat sering dikaitkan pengertian “demokratis”. Sehinggga merupakan

suatu yang ideal dalam bernegara ialah pola “Negara Hukum yang Demokratis”

(demokratise Rechtstaat), rumusan yang mana pernah kita pakai dalam

Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950, suatu

rumusan yang lazim di dunia barat dalam suatu sistem parlementer.39

36
Ibid, hlm. 81.
37
Ibid, hlm. 82.
38
Sirajuddin Sailellah, Cita Hukum Pancasila Terhadap Penawasan Hakim Indonesia,
Jakarta: Focus Grahamedia, 2015, hlm. 31.
39
Op. Cit, Padmo Wahjono, hlm. 13.
33

B. ASAS LEGALITAS DAN TEORI KEWENANGAN

1. Asas Legalitas

Pasal 1 Ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia

menyebutkan “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Unsur negara hukum

(rechtsstaat) menurut Julius Stahl ada 4.40 Indonesia sebagai negara hukum

juga menganut Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

juga dikenal dengan Asas Legalitas.

Negara Hukum memiliki unsur-unsur terpenting didalamnya. Unsur-

unsur tersebut ada empat antara lain yakni:

a. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harus

berdasarkan atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

b. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

c. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

d. Adanya pengawasaan dari badan-badan peradilan (rechtwerkijke controle)

Seperti dikemukakan diatas dari salah satu unsur negara hukum pemerintah

dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harus berdsarakan atas hukum atau

peraturan perundang-undangan (asas legalitas).

Asas legalitas merupakan prinsip utama yang dijadikan dasar dalam

setiap penyelenggaraan pemerintah dan kenegaraan di setiap negara hukum

terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem Kontinental. Asas legalitas

40
Unsur negara hukum (rechtsstaat) menurut Julius Stahl seperti dikutip oleh Ridwan HR
adalah sebagai berikut: 1. Perlindungan hak-hak asasi manusia, 2. Pemisahan atau pembagian
kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu, 3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan, 4. Peradilan administrasi dalam perselisihan. (Lihat Ridwan HR, Hukum Administrasi
Negara Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers, 2016, cetakan ke-12, hlm. 3.)
34

dibidang hukum Admintrasi Negara memiliki makna, “dat het bestuur aan de

wet is onderworpen (bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang) atau

“het legaliteits beginsel haoudt in dat alle (algemen) de burgers bindende

bepaling op de wet moeten berusten (asas legalitas menentukan bahwa semua

ketentuan yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang)”.

Asas legalitas ini merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan

dengan ungkapan “het beginsel van wetmatigheid van bestuur” yakni prinsip

keabsahan pemerintah.41

Secara historis, asas pemerintah berdasarkan undang-undang itu berasal

dari pemikirian hukum abad ke-19 yang berjalan seiring dengan keberadaan

negara hukum klasik atau negara hukum liberal (de liberale rechtstaatidee) dan

dikuasi oleh berkembangnya hukum legisme, yang menganggap hukum hanya

apa yang tertulis dalam undang-undang.42 Sehingga di Indonesia karena

merupakan negara hukum tidak luput dari asas legalitas tersebut. Di luar undang-

undang dianggap tidak ada hukum atau bukan hukum.43 Membuat pemerintah

dalam segala tindakan dan kewenangannya harus sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi

utama dalam penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintah, dengan kata lain,

asas legalitas dalam gagasannya negara hukum liberal memiliki kedudukan

41
Op. Cit, 2011, Ridwan HR. hlm. 91.
42
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara,Jakarta: Raja Wali Pers, Revsi ke 6, 2011,
hlm.89.
43
Ibid, hlm. 90.
35

sentral atau sebagai suatu fundamental dari negara hukum (als een fundamenten

van de rechtstaat).44

Perbedaan dengan asas legalitas yang ada di indonesia adalah

kandungan dari setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat haruslah

memiliki ruh Pancasila yang tertuang dalam setiap UUD 1945 dan undang-

undang yang lainnya. Secara normatif bahwa setiap tindakan pemerintah harus

berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada kewenangan

ini memang dianut di setiap negara hukum, khusunya juga di negara republik

Indonesia. Namun dalam prakteknya penerapan prinsip ini berbeda-beda antara

satu negara dengan negara lain.

Ada negara yang begitu ketat berpegangan pada prinsip ini, namun ada

pula negara yang tidak begitu ketat menerapkannya.45 Begitu pula di Indonesia

di dalam prakteknya asas legalitas sangatlah diutamakan karena dasarnya

memang menganut sistem negara hukum. Artinya untuk hal-hal atau tidandakan-

tindakan pemerintah yang tidak begitu fundamental, penerapan prinsip tersebut

dapat diabaikan46

Berkenaan dengan hal ini Faulkes menyebutkan sebagai berikut:47

“If the government has decided on certain action-to give grants and loans
to firm, to encourage export, to abolish pay beds in hospitals, to ensure
that secondary educations is organised on the comperhensive principle, to
hold a referendum and so on –it will have to ask itself whether it needs
statutory authory to do it. It can do many things without having to rely on
such authority. It can enter into contracts, it can conduct foreighn affairs
and sighn treaties, ...It can, like any other employer, direct the work of
employeees. It can send troops suez and bring them back. It can creat new

44
Ibid.
45
Ridwan HR.Op. Cit, hlm. 93.
46
Loc. Cit. hlm. 93..
47
Ibid.
36

institutions by the grany of character or by purely administrative action.


All these it can do without having to get the prior consent of parliement
whether by Act or otherwise”

(Jika pemerintah telah memutuskan untuk melakukan tindakan tertantu –


memberikan bantuan dan pinjaman pada perusahaan, mendorong ekspor,
membebaskan biaya perawatan di rumah sakit, menjamin pendidikan
lanjutan yang diatur berdasarkan prinsip-prinsip umum,melaksanakan
pemilihan umum dan sebagainya – ia akan menanyakan pada dirinya
apakah ia memerlukan kewenangan menurut undang-undang untuk
melaksanakannnya. Pemerintah dapat melakukan banyak hal tanpa harus
menyandarkan pada kewenangan seperti itu. Pemerintah dapat membuat
kontrak, melaksanakan urusan luar negeri dan menandatangani perjanjian,
...pemerintah dapat, seperti halnya pengusaha lainnnya, mengarahkan
pekerjaan para pegawai. Pemerintah dapat mengirim pasukan ke Suez dan
mengembalikan mereka. Pemerintah dapat membuat institusi baru dengan
jaminan anggaran dasar atau melalui tindakan administrasi belaka.
Pemerintah dapat melakukan semua itu tanpa terlebih dahulu harus
mendapatkan izin parlemen apakah melalui undang-undang ataupun
lainnya.)

Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan

negara hukum (het democratish ideaal en het rechtsstaatsideaal).48 Pemerintah

adalah dari, oleh, dan untuk rakyat, hal mana menyimpulkan prinsip kekuasaan

tertinggi adalah rakyat.49 Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk

undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil

rakyat dan sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat.50

Gagasan hukum menuntut agar penyelenggara urusan kenegaraan dan

pemerintah harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan

bagi hak-hak dasar rakyat. Hak-hak dasar tersebut antara lain dibidang

kehidupan yang berkenaan dengan hak-hak dasar manusia, tetapi yang paling

48
Ibib, hlm. 94.
49
Padmo Wahjono, Op.cit, hlm. 18.
50
Ridwan H.R., Loc. Cit, hlm. 94.
37

banyak dimasukinya dibidang-bidang untuk melindungi kepentigan rakyat

sebagai berikiut:51

1) Melindungi kepentingan ekonomi/bisnis.

2) Mengatur bidang kesehatan masyarakat.

3) Mengatur penggunaan kepemilikan atas harta kekayaan, termasuk

masalah zoning pertanahan.

4) Mengatur masalah keamanan masyarakat.

5) Perlindangan hak pribadi/privasi dan perkawinan/keluarga.

6) Perlindungan hak-hak untuk mencari pekerjaan yang layak dan

disukainya.

Hukum Tertulis mempunyai suatu kesulitan yang dihadapi, pertama, hukum

sebagai bagian dari kehidupan yang sangat luas dan kompleks, sehingga tidak

mungkin seluruhnya dijelmakan dalam peraturan perundang-udangan; kedua,

peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis sifatnya statis (pada

umumnya, tidak dapat cepat mengikuti gerak pertumbuhan, perkembangan dan

perubahan masyarakat yang seharusntya.52 Keresahan yang timbul didalam

masyarakat yakni tindakan-tindakan dan kegiatan-kegiatan administrasi negara,

kemudian hal tersebut tidak hanya di bidang administrasi negara tetapi juga

karena campur tangan Negara ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

51
Munir Fuady, Teori Negara Hukum(Recgtstaat), Cetakan ke-2, Jakarta: Refika Aditama,
2011, hlm. 62.
52
Op. Cit, Ridwan. H.R., hlm. 96.
38

Syarat-syarat penuaian tugas, fungsi dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh

administrasi negara adalah53:

(1) Efektivitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran atau tujuan


yang telah ditetapkan atau direncanakan;
(2) Legitimasi, artinya kegiatan Admisrasi Negara jangan samapai
menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima oleh masyarakat
setempat atau lingkungan yang bersangkutan;
(3) Yuridiksi, adalah syarat yang menyatakan, bahwa perbuatan para pejabat
Admistrasi Negara tidak boleh melawan atau melanggar Hukum dalam
arti luas;
(4) Legalitas merupakan syarat yang menyatakan, bahwa tidak satupun
perbuatan atau keputusan Admistrasi Negara yang boleh dilakukan
tanpa dasar atau pangkal suatu ketentuan undang-undang (tertulis)
dalam arti luas, bila sesuatu dijalankan dengan dalih “keadilan darurat”,
maka kedaruratan tersebut wajib dibuktikan kemudian, bilamana
kemudian terbukti, maka perbuatan tersebut dapat digugat di
pengadilan;
(5) Moralitas adalah salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh
masyarakat. Moral dan etika umum maupun kedinasan wajib dijunjung
tinggi . Perbuatan tidak senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan,
kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya wajib dihindari;
(6) Efisiensi wajib dikejar seoptimal mungkin, kehematan biaya dan
produktivitas wajib diusahakan setingggi-tingginya;
(7) Teknik dan Teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk
mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-
baiknya.

2. Teori Kewenangan

Meskipun diatas sudah dijelaskan tentang asas legalitas tetap

mempunyai kelemahan, ia tetap menjadi prinsip uatama dalam setiap negara

hukum. Telah disebutkan juga asas legalitas merupakan suatau landasan dalam

penyelanggaran kenegaraan dan pemerintah. Setiap penyelenggara negara dan

pemerintah harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan

53
Slamet Prajudi Atmosudirjo, Hukum Admistrasi Negara, Cetakan ke-10, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1994. hlm. 83-84.
39

undang-undang. Dengan begitu substansi asas legalitas adalah wewenang, yakni

“Het Vergomen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelimgen”, yaitu

kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu.54 Mengenai

wewenang itu H.D. Staout mengatakan bahwa:55

“Bevoegdheid is een begrip uit het besturlijke organisatierecht, wat kan


worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de
verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door
punbliekrechtelijke rechtsubjecten in het bestuurrechtelijke rechsverkeer”
(Wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi
pemerintah, yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang
pemerintah oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik).
Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu

atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu

yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu tertentu saja.

Kewenangan dibidang kehakiman atau kekuasaan mengadili disebut dengan

kompetensi atau yurisdiksi. Didalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang

(rechts-bevoegheden). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu

tindak hukum publik, misalnya wewenang menandatangani/menerbitkan surat-

surat izin dari seorang pejabat atas nama Menteri, sedangkan kewenangan tetap

berada ditangan Menteri (delegasi wewenang).56

Kewenangan memiliki kajian penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan

Hukum Admistrasi Negara. Menurut Bagir Manan57 :

54
Ridwan. H.R, Op. Cit, hlm. 96.
55
Ibid, hlm. 98.
56
Slamet Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1994, hlm. 48.
57
Ridwan HR, Op. Cit. hlm. 92.
40

“Wewenang dalam bahas hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht).


Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.
Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en
plichten). Dalam kaitan dengan otonom daerah, hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zalfregelen) dan mengelola
sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horinzontal berarti
kekuasaaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya.
Vertikal berarti kekuasan untuk menjelakan pemerintahan dalam satu tertib
ikatan pemerintah negara secara keseluruhan.”
Negara hukum yang menempatkan asas legalitas sebagai sendi utama

penyelenggaraan pemerintahan, wewenang pemerintah (bestuursbevoegdheid)

itu berasal dari peratuan perundang-undangan. R.J.H.M. Huisman menyatakan

pendapat berikut ini.58

"Een bestuursorgaan kan zich geen beveogheid toeegenen.slechts de wet


kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid neit allen
attribueren aan een bestuursorgan, maar ook aan ambtenarem
(bijvoorbeeld belastinginspecteur,inspecteurs voor het milieu enz.) of aan
speciale colleges (bijvoorbeeld de kiesraad, de pachtkamer), of zelf aan
privaatrechtelijke rechtspersonen".
(Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri
wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-
undang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintah
tidak hanya kepada kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para
pegawai {misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya}
atau terhadap badan khsus {seperti dewan pemilihan umum, pengadilan
khusus untuk perkara sewa tanah}, atau bahkan terhadap badan hukum
privat).
Prajudi Atmosudirjo menyakan pendapat sebagai berikut:59

“Kita perlu membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dan


wewenang (competence, bevoegdheid). Walaupun dalam praktik
pembedaannya tidak selalu dirasakan perlu. ‘Kewenangan’ adalah apa yang
disebut ‘kekuasaan formal’, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
Legislatif (diberi oleh Undang-undang) atau dari kekuasaan Eksekutif
Administrasi. Kewenangan yang biasanya terdiri atas beberapa wewenang
adalah kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau bidang urusan
tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil
58
Ibid., hlm. 92.
59
Slamet Prajudi Atmosudirdjo, Op. Cit. hlm. 49.
41

tertentu saja. Kewenangan dibidang kehakiman atau kekuasaan mengadili


sebaiknya kita sebut kompetensi atau yurudiksi saja. Di dalam kewenangan
terdapat wewenang-wewenang (rechtsbevoegheden). Wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik, misalnya
wewenang menandatangani/menerbitkan surat-surat izin dari seorang
pejabat atas nama Menteri, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan
Menteri (delegasi wewenang).”
Menurut Bagirmanan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama

dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya dapat menggambarkan hak untuk

berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wewenang sekaligus berarti hak dan

kewajiban (rechten and plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak

mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfreglen) dan

mengelola sendiri (zelfbestiren), sedangkan kewajiban secara horizontal adalah

kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya.

Vertical berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan secara

keseluruhan.60

Dalam konsep negara hukum, kewenangan didasarkan pada asas

legalitas. Pada mulanya asas legalitas dikenal dalam penarikan pajak oleh

negara. Di Inggris terkenal ungkapan “No taxation without representation”,

tidak ada pajak tanpa persetujuan parlemen, atau di Amerika ada ungkapan

“Taxation without representation is robbery”, pajak tanpa persetujuan parlemen

adalah perampokan. Menurut Hans Kelsen wewenang adalah kapasitas yang

diberikan oleh tatanan hukum untuk bertindak, dengan kata lain kompetensi

untuk bertindak. Kompetensi untuk bertindak merupakan suatu konsekuensi

60
20 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, Edisi
Revisi, 2002, hlm. 99.
42

yang timbul dari transaksi hukum (hak dan kewajiban),61 lebih lanjut Hans

Kelsen menjelaskan dalam konsep organ, kewenangan yang ada pada organisasi

dijalankan oleh individu yang diberikan kewenangan untuk bertindak oleh yang

diwakilinya, 62 mengamati pengertian yang diberikan oelh Hans Kelsen di atas,

maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan adalah kapasitas untuk bertindak

yang diberikan oleh tatanan hukum kepada individu atau badan hukum. Negara

sebagai organisasi yang tertinggi diberikan kewenangan oleh tatanan hukum

untuk membentuk pemerintahan termasuk lembaga yang ada di dalamnya.

Adapun tatanan hukum menurut Hans Kelsen adalah kontrak antara

individu yang memiliki kepentingan, serta antara individu dengan yang

mewakilinya yang diberikan kewenangan untuk menciptakan norma yang

mengikat bagi setiap individu. Untuk tercapainya tujuan bersama individu-

individu tersebut maka diperlukan lembaga yang diberikan otoritas untuk

mengaturnya.63

Berdasarkan paparan tentang kewenangan tersebut di atas maka dapat

dikatakan bahwa kewenangan dalam pengertian Hukum Administrasi Negara

adalah kompetensi bertindak tata usaha negara untuk melakukan perbuatan

Hukum Administrasi Negara yang memiliki kepentingan, serta antara individu

dengan yang mewakilinya yang diberikan kewenangan untuk menciptakan

norma yang mengikat bagi setiap individu. Untuk tercapainya tujuan bersama

individu-individu tersebut maka diperlukan lembaga yang diberikan otoritas

61
Ibid. hlm. 99.
62
Hans Kelsen, Pure Theory of Law (Teori Hukum Murni), Edisi Indonesia, Terjemahan
oleh Rasiul Mauttaqien, Cetakan Ketujuh, PT. Nua Media, 2010. hlm. 165.
63
Ibid. hlm. 165.
43

untuk mengaturnya.64 Adapun cara memperoleh kewenangan adalah sebagai

berikut:

a) Atribusi adalah kewenangan yang melekat pada jabatan, yang diberikan


oleh undang-undang;
b) Delegasi berarti adanya pengalihan atau pemindah tanganan kewenangan
yang diberikan oleh undang-undang, dari segi pertanggungjawaban,
pegawai mengambil keputusan atas namanya sendiri, dan;
c) Mandat, dalam hal mandate tidak sama sekali pengalihan atau pemindah
tanganan kewenangan, disini janji kerja intern antara penguasa dan
pegawai. Dalam hal ini pegawai mengambil keputusan atas nama si
penguasa.65
Berdasarkan paparan tentang kewenangan tersebut di atas maka dapat

dikatakan bahwa kewenangan dalam pengertian Hukum Administrasi Negara

adalah kompetensi bertindak tata usaha negara untuk melakukan perbuatan

Hukum Administrasi Negara.

C. Doktrin Pertanggungjawaban Hukum Dari Pemerintah


Setiap orang yang berbuat tidak baik kepada orang lain lain, termasuk

perbuatan tidak baik yang dilakukan oleh pemerintah haruslah

dipertanggungjawabkan secara hukum maupun secara politik. Apabila,

tanggung jawab tersebut masuk ke dalam ranah hukum, maka tanggung jawab

pemerintah seperti disebut sebagai tanggung jawab hukum.

Bahwa pemerintah harus bertanggungjawab secara hukum kepada

rakyat muncul dalam dua teori sebagai berikut:

1. Teori hukum umum, yang menyatakan bahwa setiap orang, termasuk

pemerintah, harus mempertanggungjawabkan setiap tindakannnya, baik

64
Ibid.
65
Philippus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 130-131.
65
Ibid.
44

karena kesalahan atau tanpa kesalahan (strict liability). Dari teori ini

selanjutnya muncul tanggung jawab hukum berupa tanggung jawab

pidana, perdata, dan admistrasi negara. Tanggung jawab hukum dari

pemerintah seperti ini dilakukan di depan badan pengadilan.

2. Teori demokrasi, yang menyatakan bahwa setiap yang memerintah harus

mempertanggungjawabkan tindakannya kepada yang diperintah, karena

kekuasaan yang memerintah tersebut berasal dari yang diperintah rakyat.

Dari teori ini muncul tanggung jawab politik dari para penyelenggara

negara, termasuk tanggung jawab politik dari para penyelennggara

negara, termasuk tanggung jawab yang berakibat kepada pemakzulan

(Impeachment). Tanggung jawab pemerintah secara politis ini dilakukan

di depan perlemen dengan tanpa keikutsertaan badan-badan.

Teori hukum umum yang merupakan selanjutnya muncul tanggung

jawab hukum berupa tanggung jawab pidana, perdata, dan admistrasi negara.

Tanggung jawab hukum dari pemrintah seperti ini dilakukan di depan badan

pengadilan antara lain:

a. Sanksi Administrasi

Sanksi merupakan bagian penting dalam setiap peraturan

perundang-undangan, bahkan J.B.J.M. Ten Berge menyebutkan bahwa

sanksi merupakan inti dari penegakan Hukum Administrasi Negara.66

Sanksi biasanya diletakkan pada bagian akhir setiap peraturan; in cauda

66
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cetakan VI, Jakarta: Rajawali Pers, 2011,
hlm.298.
45

venenum (secara bahasa berarti di ujung terdapat racun), artinya di ujung

kaidah hukum terdapat sanksi.67 Sanksi diperlukan untuk menjamin

penegakan Hukum Administrasi Negara.68

Ditinjau dari segi sasarannya, dalam Hukum Administrasi Negara

dikenal dua jenis sanksi, yaitu "sanksi reparatoir" (reparatoire sancties) dan

"sanksi punitif" (punitieve sancties).69 Di samping dua jenis sanksi tersebut,

ada sanksi lain yang oleh J.B.J.M. Ten Berge disebut sebagai “sanksi

regresif” (regressieve sancties) yaitu sanksi yang diterapkan sebagai reaksi

atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat pada

keputusan yang diterbitkan.70

Pemahaman terhadap berbagai sanksi tersebut di atas penting dalam


kajian Hukum Administrasi Negara, karena di dalamnya menyangkut bukan
saja tentang efektivitas penegakan hukum, bagaimana pemerintah
menggunakan kewenangannya dalam menerapkan sanksi, dan prosedur
penerapan sanksi, tetapi juga untuk mengukur apakah norma-norma Hukum
Administrasi Negara yang di dalamnya memuat sanksi telah sesuai dibuat
dan relevan diterapkan di tengah masyarakat.71
Pada umumnya macam-macam dan jenis sanksi itu dicantumkan dan

ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan bidang

67
Ibid. hlm. 289.
68
Ibid. hlm. 289.
69
Menurut Ridwan HR "Sanksi reparatoir diartikan sanksi yang diterapkan sebagai reaksi
atas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atau
menempatkan pada situasi yang sesuai dengan hukum (legale situatie), dengan kata lain,
mengembalikan pada keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran. Sedangkan sanksi punitif
adalah sanksi yang semata-mata ditujukan untuk memberikan hukuman (straffen) pada seseorang."
(Lihat Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cetakan VI, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm.
301).
70
Ibid. hlm. 301.
71
Ibid. hlm. 301.
46

administrasi tertentu.72 Secara umum dikenal beberapa macam sanksi dalam

hukum administrasi, yaitu:

1) Bestuursdwang (Paksaan Pemerintahan);

2) Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin,

pembayaran, subsidi);

3) Pengenaan denda administratif;

4) Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).73

Salah satu sanksi yang menjadi pokok pembahasan adalah bestuursdwang

(paksaan pemerintah).

Berdasarkan UU Hukum Administrasi Belanda; "Onder


bestuursdwang wordt verstaan, het feitelijk handelen door of vanwege een
bestuursorgaan wegnemen, ontruimen, beletten, in de vorige toestand
herstellen of verichten van hetgeen in strijd met bij of krachtens wettelijke
voorschriften gestelde verplichtingen is of wordt gedaan, gehouden of
nagelaten"
(paksaan pemerintahan adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh
organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan,
mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula
apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan.)74
Berkenaan dengan paksaan pemerintahan ini, F.A.M. Stroink dan
J.G. Steenbeek mengatakan sebagai berikut "kewenangan paling penting
yang dapat dijalankan oleh pemerintah untuk menegakkan Hukum
Administrasi Negara materiil adalah paksaan pemerintahan. Organ
pemerintahan memiliki wewenang untuk merealisasikan secara nyata
kepatuhan warga, jika perlu dengan paksaan, terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan tertentu atau kewajiban tertentu."75

72
Ibid., hlm. 303.
73
Philipus M. Hadjon, dkk, Op.Cit., hlm. 237.
74
Ridwan HR, Op.Cit., hlm.304.
75
Ibid., hlm.305-306.
47

Dalam istilah hukum, ada perbedaan antara kewenangan (bevogheid)

dengan kewajiban (verplichting).76 Kewenangan mengandung makna hak

dan kewajiban (rechten en plichten) dalam dan untuk melakukan tindakan

hukum tertentu sedangkan kewajiban hanya menunjukkan keharusan untuk

mengambil tindakan hukum tertentu.77

Kewenangan pemerintah untuk menggunakan bestuursdwang


merupakan kewenangan yang bersifat bebas (vrije bevoegheid), dalam arti
pemerintah diberi kebebasan untuk mempertimbangan menurut inisiatifnya
sendiri apakah menggunakan wewenang paksaan pemerintahan ini dibatasi
oleh asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemeen beginselen van
behoorlijk bestuur), seperti asas kecermatan, asas keseimbangan, asas
kepastian hukum, dan sebagainya.78
Sebagai contoh dapat diperhatikan dari fakta pelanggaran berikut ini:

1) Pelanggaran yang tidak bersifat substansial


Seseorang mendirikan rumah tinggal di daerah pemukiman, akan
tetapi orang tersebut tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan
(IMB). Dalam hal ini, pemerintah tidak sepatutnya langsung
menggunakan paksaan pemerintahan (bestuursdwang), dengan
membongkar rumah tersebut. Terhadap pelanggaran yang tidak
bersifat substansial ini masih dapat dilakukan legalisasi. Pemerintah
harus memerintahkan kepada orang bersangkutan untuk mengurus
IMB. Jika orang tersebut, setelah diperintahkan dengan baik, tidak
juga mengurus izin, maka pemerintah dapat menerapkan
bestuursdwang, yaitu pembongkaran.
2) Pelanggaran yang bersifat substansial
Seseorang membangun rumah di kawasan industri atau seorang
pengusaha membangun industri di daerah pemukiman penduduk,
yang berarti mendirikan bangunan tidak sesuai dengan tata ruang
atau rencana peruntukan (bestemming) yang telah ditetapkan
pemerintah. Hal ini termasuk pelanggaran yang bersifat substansial,
dan pemerintah dapat langsung menerapkan bestuursdwang.79

76
Ibid., hlm.306.
77
Ibid., hlm.306-307.
78
Ibid., hlm.307.
79
Ibid., hlm.307-308.
48

Salah satu ketentuan hukum yang ada ialah bahwa pelaksanaan

bestuursdwang atau paksaan pemerintahan itu wajib didahului dengan surat

peringatan tertulis, yang dituangkan dalam bentuk KTUN.80 Surat

peringatan tertulis ini harus berisi hal-hal sebagai berikut:

a) Peringatan harus definitif;


b) Organ yang berwenang harus disebut;
c) Peringatan harus ditujukan kepada orang yang tepat;
d) Ketentuan yang dilanggar jelas;
e) Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan jelas;
f) Peringatan harus memuat penentuan jangka waktu;
g) Pemberian beban jelas dan seimbang;
h) Pemberian beban tanpa syarat;
i) Beban mengndung pemberian alasannya;
j) Peringatan memuat berita tentang pembebanan biaya.81

b. Sanksi Pidana

Peran penting pada pemberian sanksi di dalam hukum administrasi

memenuhi hukum pidana.82 Pendekatan yang dibangun adalah sebagai salah

satu upaya untuk mencegah dan mengatasi kejahatan melalui hukum pidana

dengan pelanggaran dikenakan sanksinya berupa pidana.83 Menurut Roeslan

Saleh yang dikutip oleh Samsul Ramli dan Fahrurrazi, mengemukakan

pendapat bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu

nestapa yang nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat

delik (perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang).84

80
Ibid., hlm.308.
81
Ibid., hlm.308-310.
82
Philipus M. Hadjon, dkk, Op.Cit., hlm. 237.
83
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa,
Jakarta: Visimedia Pustaka, 2014, hlm.192.
84
Ibid, hlm.192.
49

Wujud atau sifat perbuatan pidana itu adalah melawan hukum

dan/atau perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat, dalam

arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam

pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.85

Eddy O.S. Hiariej berpendapat bahwa 'delik' digunakan untuk

mengganti istilah perbuatan pidana, sehingga ketika berbicara mengenai

unsur-unsur perbuatan pidana dan jenis-jenis perbuatan pidana.86 Rumusan

delik tersebut mempunyai dua fungsi.87 Pertama, rumusan delik sebagai

pengejawantahan asas legalitas.88 Kedua, rumusan delik berfungsi sebagai

unjuk bukti dalam konteks hukum acara pidana.89 Eddy O.S. Hiariej

mengatakan "... rumusan delik yang berisi unsur-unsur delik hanya dapat

diketahui dengan membaca pasal-pasal yang berisi suatu ketentuan

pidana."90 Jenis-jenis delik, paling tidak ada 12 pembagian jenis-jenis delik

sebagai berikut:

1) Kejahatan dan Pelanggaran;

2) Delik Formil dan Delik Materiil;

3) Delicta Commissionis, Delicta Omissionis dan Delicta

Commisssionis Per Omisssionem Commissa;

4) Delik Konkret dan Delik Abstrak;

85
Ibid, hlm.192.
86
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Cetakan I, Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2016, hlm.129.
87
Ibid., hlm.130.
88
Ibid, hlm.130.
89
Ibid, hlm.130.
90
Ibid., hlm.130-131.
50

5) Delik Umum, Delik Khusus dan Delik Politik;

6) Delik Merugikan dan Delik Menimbulkan Keadaan Bahaya;

7) Delik Berdiri Sendiri;

8) Delik Persiapan, Delik Percobaan, Delik Selesai dan Delik Berlanjut;

9) Delik Tunggal dan Delik Gabungan;

10) Delik Biasas dan Delik Aduan;

11) Delik Sederhana dan Delik Terkualifikasi;

12) Delik Kesengajaan dan Delik Kealpaan.91

Berdasarkan uraian diatas, salah satu pokok pembahasan penelitian adalah

kejahatan dan pelanggaran.

Dalam konteks studi kejahatan, perbuatan pidana disebut sebagai

legal definition of crime.92 Tappan menyatakan bahwa kejahatan adalah

suatu perbuatan sengaja atau pengabaian dalam melanggar hukum pidana,

dilakukan bukan untuk pembelaan diri dan tanpa pembenaran yang

ditetapkan oleh Negara.93 Tegasnya, kejahatan sebagai perilaku dan

perbuatan yang dapat dikenai sanksi yang ditetapkan secara resmi oleh

Negara.94

Dalam perspektif hukum pidana, legal definition of crime dibedakan

menjadi apa yang disebut sebagai mala in se dan mala prohibita.95 Dapatlah

dikatakan bahwa mala in se adalah perbuatan-perbuatan yang sejak awal

91
Ibid., hlm.134-149.
92
Ibid., hlm.134.
93
Ibid, hlm.134.
94
Ibid, hlm.134.
95
Ibid, hlm.134.
51

telah dirasakan sebagai suatu ketidakadilan karena bertentangan dengan

kaidah-kaidah dalam masyarakat sebelum ditetapkan oleh undang-undang

sebagai suatu perbuatan pidana. Mala in se selanjutnya dapat disebut

sebagai kejahatan.96

Kejahatan merupakan fenomena sosial yang melibatkan orang,

tempat, dan institusi.97 Menurut Packer, kejahatan adalah sebuah artefak

sosiopolitik, bukan fenomena alami. Masih menurut Packer, “kita bisa

mendapati kejahatan sebanyak atau sesedikit mungkin, bergantung pada apa

yang kita anggap sebagai kejahatan”.98 Sama dengan Packer, Vernon Fox

juga mengemukakan bahwa kejahatan adalah sebuah peristiwa sosial

politik, bukan sebuah kondisi klinis. Kejahatan bukan kondisi klinis atau

medis yang dapat didiagnosis dan dirawat secara khusus.99

Mala prohibita adalah perbuatan-perbuatan yang ditetapkan oleh

undang-undang sebagai suatu ketidakadilan. Dapatlah dikatakan bahwa

mala prohibita diidentikkan dengan pelanggaran. Dalam kosa kata lain,

perbedaan mala in se dan mala prohibita oleh para ahli hukum dibedakan

menjadi felonies dan misdemeanors. Demikian pula dalam kosa kata

belanda yang membedakan kualifikasi perbuatan pidana dalam misdrijf

(kejahatan) dan overtreading (pelanggaran). Misdrijf lebih mengarah

96
Ibid, hlm.134.
97
Ibid., hlm.134.
98
Ibid., hlm.134-135.
99
Ibid., hlm.135.
52

kepada rechtsdelicten (mala in se), sementara overtreading lebih mengarah

pada wetsdelicten (mala prohibita).100

Pembagian perbuatan pidana kedalam kejahatan dan pelanggaran


membawa beberapa konsekuensi. Pertama, tindakan dari akibat yang
ditimbulkan kejahatan lebih berbahaya bila dibandingkan dengan
pelanggaran. Kedua, konsekuensi dari yang pertama, sangat berpengaruh
pada sanksi pidana yang diancamkan. Kejahatan diancam dengan pindana
yang lebih berat bila dibandingkan dengan pelanggaran. Ketiga, percobaan
melakukan suatu kejahatan, maksimum ancaman pidananya dikurangi
sepertiga, sedangkan percobaan melakukan pelanggaran tidak diancam
pidana.101

Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP kita bagi atas

kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen).102 Kejahatan

adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang mesipun tidak

ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan

sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata

hukum.103 Pelanggaran sebaliknya adalah wetsdelicten, yaitu perbuatan-

perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada

wet yang menentukan demikian.104

Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan dapat

digolongkan menjadi dua macam, yaitu:

100
Ibid., hlm.135.
101
Ibid., hlm.136.
102
Moeljatno, Asas -asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Cetakan I , Jakarta: Rineka Cipta,
2008, hlm.78.
103
Ibid., hlm.78.
104
Ibid, hlm.78.
53

1) Pidana pokok; dan

2) Pidana tambahan.105

Pidana pokok merupakan pidana yang paling utama yang dijatuhkan

kepada pelaku. Pidana pokok terdiri atas: 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara;

3) Pidana kurungan; 4) Pidana denda; dan 5) Pidana tutupan.106

Pidana tambahan merupakan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku

yang sifatnya menambah pidana pokok yang dijatuhkan. 107 Ada tiga jens

pidana tambahan, yang meliputi:

1) Pencabutan hak-hak tertentu;

2) Perampasan barang-barang tertentu; dan

3) Pengumuman putusan hakim.108

Yang mempunyai kewenangan menjatuhkan sanksi pidana itu

adalah negara. Negara sebagai sebuah organisasi dalam suatu wilayah yang

mempunyai kekasaan yang tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. 109

Tanggung jawab pemerintah meskipun secara teoritis mirip-mirip di

berbagai negara, tetapi dalam penerapannya berbeda-beda dari satu negara

ke negara lainnya, tergatung kepada pengalaman historis dan kenyataan

objek dari masing-masing negara.110 Meskipun seperti mirip-mirip tetapi

setiap negara hukum mempunyai ciri pertanggungjawaban pemerintah.

105
Salim & Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Disertasi
dan Tesis (Buku Ketiga), Cetakan I, Jakarta: Rajawali Pers, 2016., hlm.138.
106
Ibid., hlm.138.
107
Ibid., hlm.138.
108
Ibid., hlm.138.
109
Ibid., hlm.139.
110
Munir Fuady, Teori Negara Hukum(Recgtstaat), Cetakan ke-2, Jakarta: Refika Aditama,
2011, hlm. 68.
54

Misalnya, perbedaan dari negara hukum yang ada di Indonesia

pertanggungjawaban pemerintah harus berdasar kepada ideolgi Pancasila.

Bahkan di dalam satu negarapun tentang doktrin

pertanggungjawaban pemerintah ini bisa berubah-ubah yang umumnya

mengikuti perubahan/perkembangan politik di negara yang bersangkutan.111

Perkembangan/perubahan politik itu juga pernah terjadi di Indonesia yakni

dari orde lama, baru dan reformasi, yang kemudian juga mempengaruhi

peratanggungjawaban pemerintah terhadap permasalahan hukum yang ada

di Indoneisa. Dalam sistem pemerintahan modern, kecenderungan seperti

ini tersimpul dalam teori “tanggung jawab menteri” (teh doctrine of


112
ministrial responsibility). Menteri dalam hal ini seakan-akan menjadi

bumper (garda terdepan) untuk mempertahankan kedudukan kepala negara.

Beberapa doktrin dalam petanggung jawaban pemerintah dalam

penjelasan Buku Munir Fuad menurut ECS Wade berpendapat bahwa ada

suatu doktrin tanggung jawab kolektif yaitu :

Doktrin tanggung jawab kolektif ini pada prinsipnya berlaku


diberbagai negara dengan berbagai variasinya, tetapi biasanya dijalankan
dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Presiden/Perdana Menteri secara kolektif bertanggung jawab kepada
parlemen untuk kebijaksaan nasional di negara tersebut.
Kebijaksanaan tersebut dapat diubah oleh pemerintah selanjutnya
yang dipilih oleh pemilihan umum berikutnya.
b. Jika presdien/perdana menteri meninggal atau meletakkan
jabatannnya, maka semua susunan kebinet dapat dirubah oleh
penggantinya, meskipun struktur perimbangan kekuatan partai-partai
di parlemen masih tetap seperti semula.
c. Meskipun seorang mentri bertanggungjawab secara pribadi terhadap
kebijakan yang telah diambilnya, tetapi biasanya pemerintah secara

111
Ibid, hlm. 148.
112
Ibid, hlm. 148.
55

bersama-sama akan membela menteri tersebut. Maka dalam hal ini


doktrin tanggung jawab kolektif dapat menjadi cara untuk
mempertahankan menteri yang tidak kompeten atau tidak populer.
d. Karena ada kemungkinan para menteri berasal dari partai yang
berbeda-beda, sehingga timbul potensi untuk saling berbeda pendapat
satu sama lainnya. Tetapi adab politik mengharuskan bahwa antara
satu menteri dengan yang lainnya tidak boleh saling mengkritik secara
terbuka.
e. Dalam doktrin tanggung jawab secara kolektikf melekat prinsip
menjaga kerahasian. Jika misalnya suatu putusan diambil oleh
pemerintah, bagaimana perbedaan dari para anggota kabinet dalam
proses pengambilan putusan tidak boleh diketahui oleh publik.
Karenanya, segala dokumentasi, isi perbedaan, proses pegambilan
putusan, dan isi percakapan dan komunikasi antar departemen
pemerintah merupakan rahasia negara yang tidak boleh dibuka untuk
umum, kecuali jika seluruh anggota kabinet atau perdana
menteri/preesiden menyetujuinya untuk diproses.
f. Kebijakan kabinet yang telah diputuskan dianggap keputusan
bersama, sehingga menteri yang mungkin tidak setuju, tidak boleh
menampakkan ketidaksetujuannya kepada pejabat manapun atau
kepada publik. Karena itu, doktrin tanggung jawab secara kolektif
dapat berarti kepatuhan secara kolektif kepada presiden/perdana
menteri.113

113
Munir Fuad, Ibid, hlm.153.

Anda mungkin juga menyukai