Anda di halaman 1dari 39

BAB IV

ANALISIS TENTANG KEWENANGAN MENGELUARKAN IZIN

PELAKSAAN REKRAMASI DAN PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM

PEMERINTAH TERHADAP PIHAK YANG MENDAPATKAN IZIN

PELAKSANAAN REKLAMASI

Kasus Posisi

Pada tahun 2014 gubernur DKI Jakarta mengeluarkan surat Keputusan

Gubenur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 2238 Tahun 2014 tentang Izin

Pelaksaaan Reklamasi Pulau G kepada PT. Muara Wisesa Samudra. Keputusan

Gubernur tersebut menjadi dasar untuk melanjutkan pelaksanaan reklamasi

pantai utara Jakarta. Kewenangan untuk mengeluarkan pelaksanaan reklamasi

yang kemudian penulis ingin teliti adalah karena dari penafsiran peneliti ada

kesenjangan dari peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih

dalam hal penafsiran siapa yang berwenang untuk mengeluarkan izin

pelaksanaan reklamasi tersebut.

Peraturan perundang-undangan yang peneliti maksud yakni Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 50 dan peraturan terkait Tentang pelaksanaan izin

reklamasi pantai utara Pasal 16 Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012

Tentang Pengelolaan Pelaksanaan Reklamsai dan Pulau-Pulau Kecil. Dimana

gubernur mengeluarkan izin reklamasi pantai utara berada di tangan Gubernur


72

sesuai dengan Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 Tentang

Reklamasi Pantai Utara Jakara.

Dari keputusan gubernur tersebut masyarakat nelayan disekitar pantai

utara Jakarta merasa keberatan yang kemudian di gugat ke Peradilan Tata Usaha

Negara. Produk keputusan tersebut yang kemudian di cabut oleh putusan hakim

Nomor : 193/G/LH/2015/PTUN-JKT.

Maka hasil dari putusan itu juga yang kemudian peneliti merasa ada

suatu problematika hukum terhadap hasil putusan PTUN tersebut. Putusan yang

peneliti maksud yakni terhadap tergugat intervensi atau tergugat ke dua yang

memiliki izin pelaksaan reklamasi pantai utara sesuai Keputusan Gubernur

Nomr 3228 Tahun 2014 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pantai Utara Pulau

G kepada PT Muara Wasesa.

Sehingga dalam pembahasan ini peneliti berfokus kepada pembahasan

dua poin masalah penting yakni tentang kewenangan yang berhak mengeluarkan

pelaksaan izin reklamasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada

dan konsekuensi yuridis terhadap putusan Nomor : 193/G/LH/2015/PTUN-JKT

berkaitan dengan pihak yang mendapatkan izin pelaksanaan reklamasi sesuai

dengan Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 2238

Tahun 2014 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT. Muara

Wisesa Samudra.
73

A. Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin

Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra yang

dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta sudah sesuai dengan kewenangan

Gubernur

Ide negara hukum sudah muncul sejak abad 18 SM. Negara hukum

merupakan suatu bentuk negara yang terbesar di dunia. Indonesia merupakan

suatu bentuk negara hukum. Pasal 1 ayat (3) menyebutkan Indonesia adalah

negara hukum.

Negara Hukum di Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri yakni dari

hasil dasar pemikir founding father yang menjadikan suatu ideologi bangsa.

Sehingga terbentuklah sumber dari segala sumbur hukum yaitu Pancasila.

Inilah yang kemudian menjadi perbedaan terpenting dalam asas negara

hukum Pancasila yakni ideologi bangsa kita menggunakan Pancasila sebagai

idealisme dan dasar konstitusional kita dalam berbangsa. Idealialisne yang

dimaksud disini merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang terangkum

dalam rumusan sila-sila Pancasila yang dijadikan falsafah hidup bernegara

berdasarkan UUD 1945. Sebagaimana pandangan hidup bangsa dan falsafah

bernegara, Pancasila itu merupakan sumber hukum dalam arti materiil yang

tidak saja menjiwai, tetapi bahkan harus dilaksanakan dan tercermin dalam

setiap peraturan hukum Indonesia.1 Kemudian menjadi syarat utama dalam

pembentukan perundang-undangan haruslah sesuai dengan sila-sila dalam

Pancasila. Oleh karena itu, hukum Indonesia haruslah berdasar Ketuhanan Yang

1
Jimly Assidiqie , Loc. Cit, , hlm. 156.
74

Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan faktor pemersatu

bangsa, bersifat kerakyatan, dan menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Pancasila merupakan alat penguji untuk setiap peraturan hukum yang

berlaku, apakah bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai yang terkandung di

didalamnya, sehingga setiap peraturan hukum yang bertentangan dengan

Pancasila tidak boleh berlaku.2

Bentuk formalnya, nilai-nilai Pancasila itu tercantum di dalam

perumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sebagai hukum tertulis yang tertinggi di Republik Indonesia.3 Pokok-pokok

pikiran yang terkandung dalam Undang-undang Dasar merupakan pancaran dari

Pancasila, membentuk cita-cita hukum (rechts idee), yang menguasai hukum

dsar tertulis dan hukum dasar tidak tertulis.

Pancasila sebagai dasar negara, hal ini berarti bahwa setiap tindakan

rakyat dan negara Indonesia harus sesuai dengan Pancasila yang sudah

ditetapkan sebagai dasar negara tersebut hal ini mengingatkan bahwa Pancasila

digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri, sehinggga Pancasila mempunyai

fungsi dan peranan yang sangat luas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara.

Ada beberapa ahli yang mengemukakan arti dari cita hukum. Menurut

A. Hamid S. Attamimi, cita hukum (rechtsidee) merupakan gabungan dua kata,

cita (idee) yang berarti ide, gagasan, rasa cipta, pikiran, dan hukum (rechts) yang

2
Ibid. hlm. 159
3
Jimly Assidiqie , Loc. Cit, hlm. 134.
75

secara umum diartikan sebagai suatu aturan yang wajib ditaati oleh masyarakat.4

Rudolf Stammler mengartikan cita hukum adalah konstruksi pikir yang

merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita yang

diinginkan oleh masyarakat.5 Adapun menurut Benard Arief Sidharta

berpendapat bahwa cita hukum (rechtsidee) mengandung arti pada hakikatnya

hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat yang berakar pada gagasan, rasa,

karsa, cipta dan pikiran masyarakat itu sendiri.6 Menurut peneliti semua yang

disebutkan oleh para ahli adalah benar dan dapat disimpulkan bahwa cita hukum

merupakan suatu aturan yang wajib ditaati untuk mengarahkan hukum kepada

cita-cita masyarakat yang berakar pada gagasan, ide, rasa, karsa, cipta dan

pikiran masyarakat itu sendiri.

Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu (Leitstern) bagi

tercapainya cita-cita masyarakat.7 A. Hamid S. Attamimi mengatakan "... cita

hukum memberi manfaat karena mengandung dua sisi: dengan cita hukum,

hukum positif yang berlaku dapat diuji, dan kepada cita hukum, hukum positif

sebagai usaha menuju sesuatu yang adil dengan sanksi pemaksa dapat

diarahkan".8

Pendapat para ahli tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa setiap

pembuatan peraturan perundang-undangan harus mengandung cita hukum yang

berideologi falsafah Pancasila. Berkaitan dengan cita hukum yang berideologi

4
Ibid, hlm. 134.
5
Ibid, hlm. 134.
6
Ibid, hlm. 134.
7
A.Hamid S.Attamimi, Loc. Cit, hlm. 309.
8
Ibid, hlm. 309.
76

falsafah Pancasila terkait dengan Undang-Undang Dasar 1945 berhubungan

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil sehingga isi dalam peraturan perundang-

undangan tersebut berlandaskan cita hukum yang berdasarkan nilai-nilai

Pancasila.

Nilai Pancasila berdasarkan dengan sila kedua menyebutkan

kemanusiaan yang adil dan beradab dapat diartikan bahwa setiap peraturan

perundang-undangan harus bedasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pasal

25A UUD 1945 menyebutkan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-

batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Dari ketentuan Pasal

25 A UUD 1945 peneliti berpendapat bahwa seluruh masyarakat yang ada di

wilayah kepulauan Indonesia akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama

sesuai dengan nilai kemanusian yang adil dan beradab.

Nilai berikutnya yang terkandung dengan asas negara hukum Pancasila,

yakni sila kelima yang menyebutkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga harus

terkandung dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan Bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan dari uraian

tersebut bahwa pemerintah berperan menggunakan seluruh kekayaan alam yang


77

dikuasai oleh negara untuk kemakmuran seluruh rakyat indonesia sesuai dengan

nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu konsep negara hukum yakni pemerintah harus berdasarkan

kepada peraturan prundang-undangan yang juga disebut asas legalitas. Asas

legalitas merupakan prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap

penyelenggaraan pemerintah dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama

bagi negara-negara hukum dalam sistem Kontinental. Asas legalitas dibidang

hukum Admintrasi Negara memiliki makna, “dat het betuut aan de wet is

onderworpen (bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang) atau “het

legaliteitsbeginsel haoudt in dat alle (algemen) de burgers bindende bepaling

op de wet moeten berusten (asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan

yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang)”. Asas

legalitas ini merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan dengan

ungkapan “het beginsel van wetmatigheid van bestuur” yakni prinsip keabsahan

pemerintah.

Secara historis, asas pemerintah berdasarkan undang-undang itu berasal

dari pemikirian hukum abad ke-19 yang berjalan seiring dengan keberadaan

negara hukum klasik atau negara hukum liberal (de liberale rechtstaatidee) dan

dikuasi oleh berkembangnya hukum legisme, yang mengaggap hukum hanya

apa yang tertulis dalam undang-undang. Sehingga di Indonesia karena

merupakan negara hukum tidak luput dari asas legalitas tersebut. Di luar undang-

undang dianggap tidak ada hukum atau bukan hukum. Membuat pemerintah

dalam segala tindakan dan kewenangannya harus sesuai dengan peraturan


78

perundang-undangan. Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi

utama dalam penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintah, dengan kata lain,

asas legalitas dalam gagasannya negara hukum liberal memiliki kedudukan

sentral atau sebagai suatu fundamental dari negara hukum (als een fundamenten

van de rechtstaat).

Perbedaan dengan asas legalitas yang ada di Indonesia adalah

kandungan dari setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat haruslah

memiliki ruh Pancasila yang tertuang dalam setiap UUD 1945 dan undang-

undang yang lainnya. Secara normatif bahwa setiap tindakan pemerintah harus

berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada kewenangan

ini memang dianut di setiap negara hukum, khususnya juga di negara Republik

Indonesia. Namun dalam prakteknya penerapan prinsip ini berbeda-beda antara

satu negara dan negara lain.

Pasal 25A UUD 1945 menyebutkan Negara Kesatuan Republik

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan

wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Inilah yang juga menjadikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil lahir agar dapat

mengembangkan seluruh sumber daya alam yang berpontensi untuk

kemakmuran rakyat Indonesia.

Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan Bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
79

sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tujuan Utama pembentukan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil adalah untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Seluruh ketentuan UUD 1945 diatas menjadi dasar pembentukan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di dalam pertimbangan pembentukan Peraturan

perundang-undangan tersebut antara terdiri dari Pasal 5 ayat (1), Pasal 18B ayat

(2), Pasal 20, Pasal 25A, serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 8 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun

2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan:

(1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan harus ditetapkan dan/atau dilakukan


oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang
wajib berdasarkan:
a. peraturan perundang-undangan; dan
b. AUPB.
(3) Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang menyalahgunakan
Kewenangan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan.

Sesuai dengan asas legalitas yang dijelaskan bahwa pemerintah harus

bertindak dengan undang-undang. Jelas dikatan dalam Pasal tersebut bahwa

tindakan yang ditetapkan oleh Badan Pejabat yang berwenang. Badan Pejabat

Pemerintah dalam menggunakan wewenangnya wajib berdasarkan peraturan

perundang-undangan dan AUPB, kemudian pejabat Admistrasi Pemerintah


80

dilarang menyalahgunakan Kewenangan dalam menetapkan dan melakukan

keputusan Tindakan. Kewenangan yang diberikan dalam Pasal 9 tersebut sudah

jelas, bahwa untuk pejabat yang mengeluarkan suatu keputusan harus berdasar

dalam Pasal Tersebut. Dalam negara hukum yang menempatkan asas legalitas

sebagai sendi utama penyelenggaraan pemerintahan, wewenang pemerintah

(bestuursbevoegdheid) itu berasal dari peratuan perundang-undangan.

Pasal 9 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun

2014 tentang Admistrasi Pemerintahan menyebutkan:

(1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan


perundang-undangan dan AUPB.
(2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan;
dan
b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau
menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan.
(4) Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum
dan sesuai dengan AUPB.

Berkaitan dengan pelaksanaan reklamasi yang diberikan oleh gubernur

terhadap Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 3228 Tahun 2014 Tentang

Izin Pelaksaan Reklamasi Pantai Utara Pulau G kepada PT Wasesa Samudra

merupakan suatu produk hukum. Produk hukum tersebut merupakan

kewenangan yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta berdasar atas Pasal 4

Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara


81

Jakarta berkaitan peraturan perundang-undangan yang lama yakni Undang-

undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang pengelolaan dan pelaksanaan reklamasi

pantai utara dan pulau-pulau kecil.

Wewenang hukum publik adalah wewenang untuk menimbulkan akibat

hukum yang sifatnya hukum publik, seperti mengeluarkan aturan-aturan,

mengambil keputusan atau menetapkan suatu rencana dengan akibat-akibat

hukum.9 Kewenangan membuat keputusan publik hanya dapat diperoleh dengan

dua cara yaitu dengan atribusi atau delegasi.10

Yang kemudian dari keputusan publik seperti Keputusan Gubenur

Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 2238 Tahun 2014 tentang Izin

Pelaksaaan Reklamasi Pulau G kepada PT. Muara Wisesa Samudra juga

berdasar kepada Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 50 menyebutkan:

(1) Menteri berwenang memberikan HP-3 wilayah perairan pesisir lintas


provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu,
(2) Gubernur berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir
sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah
laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan Perairan Pesisir
lintas kabupaten/kota,
(3) Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan
Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

9
Wiratno, Pengantar Hukum Admistrasi Negara, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2016,
hlm.101.
10
Ibid. Hlm. 119.
82

Perubahan Pasal 50 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan11:

(1) Menteri berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan
Pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi, Kawasan Strategis
Nasional, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan Kawasan
Konservasi Nasional.
(2) Gubernur berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan
Pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan kewenangannya.
(3) Bupati/wali kota berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan
Pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 50 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 menurut

peneliti menjadi kajian utama didalam mengeluarkan suatu kewenangan

memberikan izin reklamasi adalah menteri. Sudah sangat jelas di dalam Pasal 50

ayat (2) memberikan suatu kekuatan hukum yang mana dalam Pasal 8 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 2014 mengatakan bahwa kewenangan mengeluarkan

suatu keputusan harus sesuai dengan Peraturan perundang-undangan. Pasal 9 (1)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.

Asas Negara hukum Pancasila salah satunya mencakup Asas Keadilan

Sosial. Asas keadilan sosial pelaksanannya tertuang dalam rangka mewujudkan

undang-undang tentang jaminan sosial. Misalnya adanya pusat-pusat industri

yang memungkinkan timbulnya perselisihan atau sengketa antara pihak

11
Pasal 50 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
83

pemimpin dan kaum buruhnya, yang perlu adanya suatu badan yang akan

menyelesaikan sengketa itu tidak secara sepihak dan sewenang-wenang.

Berkatitan dengan asas keadilan sosial permasalahan yang peneliti

temukan bahwa Keputusan Gubernur tersebut apabila tidak sesuai dengan

peraturan perundang-undang tidak mencerminkan asas keadilan sosial

sebagaimana yang tertuang didalam Asas Negara Hukum Pancasila. Seharusnya

dalam setiap Keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah mencerminkan

setidaknya dari salah satu Asas Negara Hukum Pancasila.

Pasal 16 Ayat (1) menyebutkan Setiap Orang yang melakukan

pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian

pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi. Pasal 19 Ayat (1)

menyebutkan Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan

Pesisir dan perairan pulaupulau kecil untuk kegiatan: a. produksi garam; b.

biofarmakologi laut; c. bioteknologi laut; d. pemanfaatan air laut selain energi;

e. wisata bahari; f. pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau g.

pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib memiliki Izin Pengelolaan.

Pasal 1 Angka 10 menyebutkan Kawasan Strategis Nasional Tertentu adalah

Kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan

hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi

kepentingan nasional.

Penjelasan Pasal 1 Angka 10 tentang Kawasan Strategi Nasional

Tertentu sudah sangat jelas bahwa kawasan yang terkait dengan kedaulatan,

pengendalian lingkungan dan situs warisan dunia menjadi prioritas bagi


84

kepentingan nasional. Yang kemudian Kawasan Strategis Nasional Tertentu

tersebut mencakup wilayah yang ada di Pasal 1 Angka 10. Kawasan Laut adalah

Kawasan Strategis Nasional, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan

Kawasan Antar Wilayah. Kawasan Strategis Nasional Tertentu, yang

selanjutnya disebut dengan KSNT, adalah kawasan yang terkait dengan

kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan

dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional.

Pasal 50 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa menteri memberikan izin

pelaksanaan reklamasi adalah Kawasan Strategis Nasional. Peraturan Presiden

Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan

Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur Pasal 1 Angka 4

menyebutkan Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan

ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara

nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara,

ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah

ditetapkan sebagai warisan dunia.

Pasal 1 Angka 5 menyebutkan “Kawasan Jakarta, Bogor, Depok,

Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, yang selanjutnya disebut sebagai Kawasan

Jabodetabekpunjur, adalah kawasan strategis nasional yang meliputi seluruh

wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebagian wilayah Provinsi

Jawa Barat, dan sebagian wilayah Provinsi Banten”. Jika membaca Pasal 50

Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan


85

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan penjelasan Kawasan Strategis

Nasional (KSN) Pasal 1 Angka 4 dan 5 tersebut sudah jelas dikatakan

kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin lokasi reklamasi dikeluarkan oleh

menteri karena Jakarta termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional. Pengertian

Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) dalam Peraturan Menteri

Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 23/Permen-Kp/2016

Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sama

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Penjelasan tesebut menguatkan peneliti bahwa kewenangan untuk

mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi harusnya adalah menteri. Sesuai dari

persyaratan pasal 8 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (1) sudah terpenuhi bahwa

kewenangan tersebut harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang

kemudian apabila suatu produk hukum tidak sesuai dengan perundang-undangan

maka Keputusan tersebut dapat dibatalkan. Dapat dibatalkan disini berarti bahwa

warga negara apabila merasa dirugikan dengan keluarnya Keputusan tersebut

bisa mengajukan gugatan ke pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga

Keputusan tersebut dibatalkan (dicabut) yang kemudian mempunyai kekuatan

hukum yang tetap.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 tentang

Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Pasal 16 juga menyebutkan:


86

(1) Untuk memperoleh izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi,


Pemerintah, Pemerintah Daerah dan setiap orang wajib terlebih
dahulu mengajukan permohonan kepada Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota.
(2) Menteri memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi
pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu, kegiatan reklamasi
lintas provinsi, dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan
yang dikelola oleh Pemerintah.
(3) Pemberian izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada
Kawasan Strategis Nasional Tertentu dan kegiatan reklamasi lintas
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah
mendapat pertimbangan dari Bupati/Walikota dan Gubernur.
(4) Gubernur dan Bupati/walikota memberikan izin lokasi dan izin
pelaksanaan reklamasi dalam wilayah sesuai dengan
kewenangannya dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan
yang dikelola oleh pemerintah daerah.

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang

patut ialah mengikuti pedoman dan bimbingan sesuai dengan:

a. Cita hukum Indonesia yang tidak lain adalah Pancasila (sila-sila dalam
hal tersebut berlaku sebagai cita, yang berlaku sebagai bintang
pemandu);
b. Norma fundamental negara yang juga tidak lain melainkan Pancasila
(sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai norma);
c. Asas-asas negara berdasarkan atas hukum yang menempatkan undang-
undang sebagai alat pengatur yang khas berada dalam keutamaan
hukum (det Primat des Rechts); dan
d. Asas-asas pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi yang
menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas
12
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintah.

Peneliti berpendapat bahwa Pancasila sebagai Cita Hukum Indonesia

dan norma fundamental negara yang menjadi dasar dalam pembuatan seluruh

perundang-undangan sebagai cerminan jati diri dari Negara Hukum Pancasila

yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga segala produk hukum yang

12
Ibid., hlm.263.
87

dikeluakan oleh pemerintah harus sesuai dengan asas-asas hukum peraturan

perundang-undangan.

A. Hamid S. Attamimi mengemukakan Pancasila sebagai Cita Hukum

secara positif dan negatif, sebagai berikut:

"Kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya selaku Cita Hukum


rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, secara positif merupakan "bintang pemandu" yang
memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan memberi
isi kepada tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif
merupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan
perundang-undangan tersebut."13

Berdasarkan pernyataan tersebut peneliti berpendapat bahwa Pancasila

sebagai Cita Hukum rakyat Indonesia berperan sebagai acuan atau pedoman bagi

para pembuat perundang-undangan agar dapat mengayomi masyarakat

Indonesia.

Mengenai penerbitan izin Pasal 16 ayat (2) menyebutkan “Menteri

memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategi

Nasional Tertentu, kegiatan Lintas provinsi, dan kegiatan reklamasi di

pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah”.

Pasal 16 Undang-Undang Nomor 122 Tahun 2012 apabila ditarik dari

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 akan ada kesesuaian pengeluaran

kewenangan untuk mengeluarkan suatu produk keputusan. Dimana Pasal 50

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dan Pasal 16 ayat (2) menyebutkan izin

13
A. Hamid S.Attamimi, Op.Cit., hlm. 333.
88

pelaksanaan reklamasi yang masuk dalam Kawasan Strategis Nasional dan

Kawasan Strategis Nasional Tertentu adalah kewenangan menteri.

Apabila ditarik dari permasalahan yang peneliti bahas tentang

Keputusan Gubernur yang berdasar atas Keputusan Presiden Nomor 52 tahun

1995 Pasal 4 yang menyebutkan, “wewenang dan tanggung jawab reklamasi

pantura berada pada Gubernur kepala daerah Khusus Ibukota Jakarta”, sudah

tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi pemerintah Pasal 8 Ayat (2) dan Pasal 9 Ayat (1).

Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 inilah Pasal 4 yang

menjadi dasar mengeluarkan izin pengelolaan reklamasi pantai utara, tetapi

Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1945 Tentang Reklamasi Pantai Utara

Pasal 4 tersebut sudah digantikan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau

Kecil.

Pasal 32 ayat (1) ketentuan peralihan juga menyebutkan “Permohonan

izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan yang diajukan sebelum ditetapkannya

Peraturan Presiden ini diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden ini”. Pasal 32

ayat (2) juga menyebutkan “Izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan reklamasi

yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden ini dinyatakan

tetap berlaku sampai dengan jangka waktu izin berakhir”. Jadi, dalam Pasal

peralihan juga menyebutkan dengan jelas bahwa apabila Izin lokasi reklamasi

dan izin pelaksanaan reklamasi yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya


89

Peraturan Presiden ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan jangka waktu izin

berakhir, tetapi kenyataanya Keputusan Gubernur tersebut keluar setelah ada

peruban perundang-undangan. Sesuai dengan asas posterior derogat periori

(Undang-Undang yang digantikan dengan Undang-Undang yang baru).

Sehingga penulis berpendapat dalam pembahasan ini, bahwa produk

hukum berupa Keputusan Gubenur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor :

2238 Tahun 2014 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT.

Muara Wisesa Samudra jika dilihat dari kewenanagan yang ada di dalam Pasal

50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil, peneliti berpendapat tidak sesuai dengan kewenangan yang

seharusnya izin reklamasi tersebut dikeluarkan oleh Menteri. Begitu juga dalam

Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 Pasal 16 secara vertikal

berhubungan dengan pelaksanaan reklamasi pantai utara. Kajian tersebut juga

diakaitkan dalam Undang Nomor 30 tahun 2014 Tentang Admistrasi Pemerintah

Pasal 8 dan Pasal 9 menyatakan bahwa kewenangan harus sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Teori kewenangan juga menjelaskan dengan

penjelasan serupa bahwa Kewenangan membuat keputusan publik hanya dapat

diperoleh dengan dua cara yaitu dengan atribusi pemberian wewenang

pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah atau

delegasi pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintah

kepada organ pemerintah lain. Sesuai dengan asas negara hukum Pancasila salah
90

satunya asas keadilan sosial seharusnya seluruh produk hukum harus berdasar

atas keadilan sosial.

B. Konsekuensi yuridis Pertanggungjawaban Pemerintah terhadap hasil

Putusan Nomor : 193/G/LH/2015/PTUN-JKT PTUN terhadap pihak yang

mendapatkan izin pengelolaan reklamasi pantai utara tersebut dalam hal

ini PT Muara Wisesa Samudra

Sistem pemerintahan negara yang terletak di UUD 1945 menegaskan

bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat) tidak

berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Backy Krisnayuda

mengemukakan pendapat tentang penegasan di dalam pembukaan UUD 1945:

"Berdasarkan hasil temu kenal cita dan penerapan asas-asas hukum


nasional yang diselenggarakan pada tahun 1995, telah menyepakati
bahwa Pancasila sebagai "cita hukum" (rechtsidee) yang harus
menjiwai perilaku segenap subjek hukum masyarakat Indonesia,
sehingga terwujud Negara Indonesia sebagai "negara hukum"
(rechtsstaat), sebagaimana ditegaskan di dalam Pembukaan UUD
1945. Pancasila yang merupakan cita bangsa dan segala yang tertinggi
yang menjadi landasan filosofis dan ideologi negara, pandangan dan
tujuan hidup (lebensanschaung) bangsa, cita negara (staatsidee), dan
sebagai dasar negara, harus menjadi tolok ukur dan batu penguji
mengenai "baik atau buruknya-adil atau tidaknya" hukum yang berlaku
karena Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum yang
berlaku di bumi Indonesia."14
Namun setelah amandemen ketiga, muncul Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945

menyebutkan "Negara Indonesia merupakan Negara Hukum." Peneliti

berpendapat bahwa setelah adanya amandemen ketiga maka terdapat perubahan

makna mengenai negara hukum. Indonesia tidak lagi menganut negara hukum

14
Backy Krisnayuda, Op.Cit., hlm. 46.
91

berupa rechtstaat melainkan bisa negara hukum berupa rechtstaat maupun rule

of law dan bisa juga negara hukum yang sesuai dengan jati diri Negara Indonesia

sendiri yang tertuang dalam cita hukum.

Ada beberapa ahli yang mengemukakan arti dari cita hukum. Menurut

A. Hamid S. Attamimi, cita hukum (rechtsidee) merupakan gabungan dua kata,

cita (idee) yang berarti ide, gagasan, rasa cipta, pikiran, dan hukum (rechts) yang

secara umum diartikan sebagai suatu aturan yang wajib ditaati oleh

masyarakat.15 Rudolf Stammler mengartikan cita hukum adalah konstruksi pikir

yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita yang

diinginkan oleh masyarakat.16 Adapun menurut Benard Arief Sidharta

berpendapat bahwa cita hukum (rechtsidee) mengandung arti pada hakikatnya

hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat yang berakar pada gagasan, rasa,

karsa, cipta dan pikiran masyarakat itu sendiri.17 Menurut peneliti semua yang

disebutkan oleh para ahli adalah benar dan dapat disimpulkan bahwa cita hukum

merupakan suatu aturan yang wajib ditaati untuk mengarahkan hukum kepada

cita-cita masyarakat yang berakar pada gagasan, ide, rasa, karsa, cipta dan

pikiran masyarakat itu sendiri.

Kemudian peneliti akan membahas tentang konsekuensi yuridis

terhadap Hasil Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Putusan Nomor :

193/G/LH/2015/PTUN-JKT PTUN terhadap pihak yang mendapatkan izin

pengelolaan reklamasi pantai utara tersebut, dalam hal ini PT Muara Wisesa

15
Ibid, hlm. 46.
16
Ibid, hlm. 46.
17
Ibid, hlm. 46.
92

Samudra. Kedudukan pihak yang mendapatkan izin pelaksanaan reklamasi

terhadap kedudukan pertanggungjawaban pemerintah untuk melindungi segenap

hak dan kewajiban.

Dalam Pertimbangan Putusan hakim tersebut antara lain:

Menimbang, bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1


Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pasal 50
menyebutkan : ---------------------------------------------------------------------------
----------

Ayat (1) : Menteri berwenang memberikan dan mencabut izin lokasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan Pesisir dan
pulau-pulau kecil lintas provinsi, Kawasan Strategis Nasional, Kawasan
Strategis Nasional Tertentu dan Kawasan Konservasi Nasional ; ----------------
--------------------------

Ayat (2) : Gubenur berwenang memberi dan mencabut izin lokasi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) dan izin pengelolaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau Kecil sesuai
dengan kewenangannya (vide bukti P-32) ; -----------------------------------------
--

Pertimbangan Hakim tersebut merupakan suatu landasan awal bahwa

segala sesuatu kewenangan yang dikeluarkan harus sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Aspek berukutnya dilihat dari kepastian hukum yang

harus dikedepankan oleh para hakim.

Berkaitan dengan asas negara hukum dari pertimbangan hukum dan

pelaksanaan yang sesuai dengan asas negara hukum pancasila yakni cita hukum

berfungsi sebagai bintang pemandu (Leitstern) bagi tercapainya cita-cita


93

masyarakat.18 A. Hamid S. Attamimi mengatakan "... cita hukum memberi

manfaat karena mengandung dua sisi: dengan cita hukum, hukum positif yang

berlaku dapat diuji, dan kepada cita hukum, hukum positif sebagai usaha menuju

sesuatu yang adil dengan sanksi pemaksa dapat diarahkan".19

A. Hamid S. Attamimi mengemukakan Pancasila sebagai Cita Hukum

secara positif dan negatif, sebagai berikut:

"Kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya selaku Cita Hukum


rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, secara positif merupakan "bintang pemandu" yang
memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan memberi
isi kepada tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif
merupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan
perundang-undangan tersebut."20

Berdasarkan pernyataan tersebut peneliti berpendapat bahwa Pancasila

sebagai Cita Hukum rakyat Indonesia berperan sebagai acuan atau pedoman bagi

para pembuat perundang-undangan agar dapat mengayomi masyarakat

Indonesia.

Berkaitan juga dengan kewenangan dalam Pasal 8 dan 9 Undang-

Undang Nomor 30 tentang Administrasi Pemerintahan harus sesuai juga dengan

asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dari setiap pertimbangan hakim juga

harus memuat asas-asas umum pemerintahan yang tercatum dalam Undang-

Undag Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Sehingga dari

kajian peneliti tidak akan ada lagi produk hukum yang kemudian tidak

menimbulkan permasalahan hukum yang baru.

18
Ibid, hlm. 309.
19
Ibid, hlm. 309.
20
A. Hamid S.Attamimi, Op.Cit., hlm. 333.
94

Pertimbangan selanjutnya yakni mengenai pertimbangan hakim yang

menyebutkan mengenai ada batasan teritorial kewenangan baik dari menteri

gubernur, maupun bupati yakni sebagai berikut:

Menimbang, bahwa dengan dirubahnya ketentuan pasal 50 dari Undang


Undang No 26 Tahun 2007 ke Undang-Undang No 27 Tahun 2007 dengan
tidak merubah ketentuan didalam pasal 2 Undang-Undang No 26 Tahun 2007
dapat dimaknai bahwa adanya batasan teritorial luas wilayah kewenangan dari
berbagai pemangku kewenangan baik dari Menteri, Gubenur maupun
Bupati/Walikota ; --------------------------------------------------------

Pendapat penulis harusnya pertimbangan hakim tidak hanya

mempertimbangkan peraturan perundang-udangan yang menjadi landasan untuk

penggugatan dan jawaban dari tergugat dalam sengketa tata hukum negara.

Sesuai dengan fungsinya hakim wajib mencari dan mentelaah hukum berkaitan

dengan keseluruan yang disengketakan. Agar segala pertimbangan tersebut

memenuhi rasa keadilan.

Asas negara hukum Pancasila menyebutkan asas keadilan sosial yang

berarti bahwa setiap tindakan harus sesuai dengan rasa keadilan yang terdiri dari

hak-hak dan kewajiban yang telah dilakukan oleh warga negara. Asas keadilan

sosial tersebut yang kemudian menjadi filter bagi para pemangku Pejabat

Hukum untuk berlandaskan terhadap asas keadilan sosial.

Pertimbangan selanjutnya tentang peraturan perundang-undangan di

bawah Undang-Undang yakni Peraturan Presiden menyatakan bahwa:

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti (T-13) Peraturan Presiden Republik


Indonesia nomor 122 Tahun 2012 tentang reklamasi diwilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil pada Pasal 16 ayat (2) menyatakan Menteri memberikan izin
lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategi Nasional
95

Tertentu, Kegiatan Reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh


Pemerintah sedangkan pada ayat (4) menyebutkan Gubenur dan
Bupati/Walikota memberikan izin lokasi dan izin Pelaksanaan Reklamasi
dalam wilayah sesuai dengan kewenangannya dan kegiatan reklamasi di
pelabuhan Perikanan yang dikelola Pemerintah Daerah ; --------------------------
------------

Pertimbangan tersebut berkaitan pula dengan peraturan perudang-

undangan terkait pelaksanaan kegiatan reklamasi yang sejalan dengan Undang-

Undang yang baru. Dianalisi kedalam Asas Negara Hukum Pancasila

berdasarkan atas asas keadilan sosial, peraturan perundang-undangan tersebut

tidak boleh bertentangan dengan asas tersebut. Hasil pelaksanaan reklamasi itu

harus menjunjung tinggi keadilan sosial dan hak-hak warga negara. Mengenai

peraturan tersebut peneliti berpendapat poin yang terkandung di dalam Pasal

tersebut sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yakni Pasal 8 dan

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi

Pemerintah. Berkaitan dengan hal tersebut peneliti berpendapat peraturan

perundang-udangan itu berkaitan dengan Undang-Undang Pelaksanaan

Reklamasi.

Selanjutnya pemberian izin reklamasi juga diatur dalam Peraturan

menteri kelautan dan perikanan republik Indonesia Nomor 28/PERMEN-KP/

2014 yang mana dalam Putusan Nomor : 193/G/LH/2015/PTUN-JKT PTUN

menyebutkan :

Menimbang, bahwa selanjutnya kewenangan pemberian izi lokasi Reklamasi


dan izin Pelaksanaan Reklamasi diatur lebih lanjut dalam Peraturan menteri
kelautan dan perikanan republik Indonesia Nomor 28/PERMEN-KP/ 2014
tanggal 7 Juli 2014 tentang perubahan Peraturan menteri kelautan dan
perikanan republik Indonesia Nomor 17/PERMEN-KP/2013 tanggal 13 Juli
96

2013 tentang perizinan Reklamasi di wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil


Pasal 6 menyebutkan : ------------------------------------------------------------------

Gubenur berwenang Menerbitkan Izin lokasi Reklamasi dan izin Pelaksanaan


reklamasi pada : -------------------------------------------------------------------------

a. wilayah lintas Kabupaten / Kota ; -------------------------------------------------


b. Perairan laut di luar kewenangan Kabupaten / kota sampai dengan paling
jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan /
atau ke arah perairan kepulauan dan ; --------------------------------------------
c. Kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah
propinsi (vide bukti T-16) ; -------------------------------------------------------
Selanjutnya dalam pasal 6 Peraturan Menteri Kelautan Dan
Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/PERMEN-KP/2013 tentang
Perizinan Reklamasi di wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil menyebutkan
Gubenur berwenang Menerbitkan Izin lokasi Reklamasi dan izin
Pelaksanaan reklamasi pada : -------
a. Perairan laut di luar kewenangan Kabupaten / Kota sampai dengan paling
jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan /
atau ke arah perairan kepulauan dan ; --------------------------------------------
b. Kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah
propinsi ; ------------------------------------------------------------------------------

Peraturan perundangan inilah yang kemudian juga menjadi dasar

pengeluaran Keputusan Gubernur tentang pelaksanaan izin reklamasi. Peneliti

berpendapat bahwa peraturan menteri inilah yang bertentangan dengan undang-

undang yang lebih tinggi, yakni sesuai dengan hirarki perundang-undangan.

Pertimbangan selanjutnya mengenai penjelasan bahwa tidak ada

kewenangan yang jelas dalam level yang paling tinggi dalam Peraturan

Perundang-undangan sehingga mejadi dasar dari pendapat dan pertimbangan

hakim sebagai berikut :

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum diatas


berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangnya yang terkait
dengan penyelenggaraan reklamasi hingga pada level peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi yaitu ketentuan Undang-Undang No 27 tahun
97

2007 tanggal 17 Juli 2012. jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tanggal


15 Januari 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 Tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil tidak
secara tegas menyebutkan mengenai kewenangan dalam hal penerbitan izin
pelaksanaan Reklamasi ; ------------------------------------------------------------
-----------------------------
Menurut peneliti dari pertimbangan hakim diatas peneliti tidak setuju

dengan pertimbangan hakim, bahwa di penjelasan pertama sudah dijelaskan

keterkaitan antara perundang-undangan terkait pengeluaran izin pelaksanaan

reklamasi seharusnya yang mengeluarkan adalah kewenangan menteri.

Penjelasan peneliti sudah cukup jelas berdasar dengan keterkaitan perundang-

udangan yang mengatur tentang pengeluaran izin pelaksanaan reklamasi.

Menimbang, bahwa oleh karena tidak diaturnya kewenangan mengenai izin


Pelaksanaan Reklamasi/Izin Reklamasi secara tegas, maka Pengadilan
menggunakan peraturan yang lebih rendah sebagai aturan Pelaksanaannya
yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012
Tentang reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan
menteri kelautan dan perikanan republik Indonesia Nomor 28/PERMEN-
KP/ 2014 tanggal 7 Juli 2014 tentang perubahan Peraturan menteri kelautan
dan perikanan republik Indonesia Nomor 17/PERMEN-KP/2013 tanggal 13
Juli 2013 tentang perizinan Reklamasi di wilayah Pesisir dan pulau-pulau
kecil hal tersebut telah membuktikan adanya kewenangan dari Gubenur
maka Pengadilan merujuk pada asas hukum Lek Spesialis derogat legi
generali yang memiliki arti bahwa peraturan yang bersifat khusus
mengalahkan peraturan yang bersifat umum ; --

Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan seluruh uraian


pertimbangan hukum tersebut diatas Pengadilan berpendapat baik dari segi
Masa atau tenggang waktu Wewenang (temporis), Wilayah atau daerah
berlakunya Wewenang (Loci) dan Cakupan bidang atau materi Wewenang
(materiil), Tergugat adalah Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang
menerbitkan Keputusan Gubenur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor :
2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014 Tentang Izin Pelaksaaan
98

Reklamasi Pulau G kepada PT. Muara Wisesa Samudra (Vide Bukti P-1,
Bukti T - 1 dan T.II Intervensi-1) 21 ; ------------------------------

Mengenai seluruh pertimbangan diatas yang menjadi landasan dasar

untuk mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 tentang

Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa

Samudra. Penulis berpendapat dari landasan untuk mengeluarkan keputusan

gubernur tersebut tidak cermat mempertimbangkan segala aspek peraturan

perundang-undangan terkait dengan pelaksaan reklamasi.

Pembahasan berikutnya tentang Putusan Nomor :

193/G/LH/2015/PTUN-JKT PTUN terhadap pihak yang mendapatkan izin

pengelolaan reklamasi pantai utara tersebut dalam hal ini PT. Muara Wisesa

Samudra terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah. Bahwa pemerintah

harus bertanggungjawab secara hukum.

Teori hukum umum menyatakan bahwa setiap orang, termasuk

pemerintah, harus mempertanggungjawabkan setiap tindakannnya, baik karena

kesalahan atau tanpa kesalahan (strict liability). Dari teori ini selanjutnya

muncul tanggungjawab hukum berupa tanggung jawab pidana, perdata, dan

admistrasi negara. Tanggung jawab hukum dari pemerintah seperti ini dilakukan

di depan badan pengadilan. Pertanggungjawaban pemerintah sesuai dengan teori

hukum umum pemerintah juga harus mempertanggungjawabkan segala hal

produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah.

21
Putusan Nomor : 193/G/LH/2015/PTUN-JKT
99

Gagasan hukum menuntuk agar penyelenggara urusan kenegaraan dan

pemerintah harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan

bagi hak-hak dasar rakyat. Hak-hak dasar tersebut antara lain dibidang

kehidupan yang berkenaan dengan hak-hak dasar manusia, tetapi yang paling

banyak dimasukinya dibidang-bidang untuk melindungi kepentigan rakyat

sebagai berikut:

a. Melindungi kepentingan ekonomi/bisnis.

b. Mengatur bidang kesehatan masyarakat.

c. Mengatur penggunaan kepemilikan atas harta kekayaan, termasuk

masalah zoning pertanahan.

d. Mengatur masalah keamanan masyarakat.

e. Perlindungan hak pribadi/privasi dan perkawinan/keluarga.

f. Perlindungan hak-hak untuk mencari pekerjaan yang layak dan

disukainya.

Salah satu poin diatas yakni mengatur penggunaan kepemilikan atas

harta kekayaan. Peneliti menganalisis bahwa pihak ketiga yang mendapatkan

izin reklamasi mempunyai hak-hak atas harta kekayan yang sudah dikeluarkan

dalam menginvestasikan terhadap pelaksanaan reklamasi.

Dari tindakan-tidankan tersebut pemerintah harusnya bertanggung

jawab atas segara produk hukum. Tidak terkecuali karenanya adanya Putusan

dan Keputusan Gubernur yang kemudian diajukan gugatan. Penjelasan peneliti

diatas mengenai teori hukum umum tanggungjawab hukum berupa tanggung


100

jawab pidana, perdata, dan admistrasi negara. Tanggung jawab hukum dari

pemerintah seperti ini dilakukan di depan badan pengadilan antara lain:

1. Sanksi Administrasi

Sanksi merupakan bagian penting dalam setiap peraturan perundang-

undangan, bahkan J.B.J.M. Ten Berge menyebutkan bahwa sanksi merupakan

inti dari penegakan Hukum Administrasi Negara.22 Sanksi biasanya diletakkan

pada bagian akhir setiap peraturan; in cauda venenum (secara bahasa berarti di

ujung terdapat racun), artinya di ujung kaidah hukum terdapat sanksi. Sanksi

diperlukan untuk menjamin penegakan Hukum Administrasi Negara.

Ditinjau dari segi sasarannya, dalam Hukum Administrasi Negara

dikenal dua jenis sanksi, yaitu "sanksi reparatoir" (reparatoire sancties) dan

"sanksi punitif" (punitieve sancties). Di samping dua jenis sanksi tersebut, ada

sanksi lain yang oleh J.B.J.M. Ten Berge disebut sebagai “sanksi regresif”

(regressieve sancties) yaitu sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas

ketidakpatuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat pada keputusan

yang diterbitkan.23

Pemahaman terhadap berbagai sanksi tersebut di atas penting dalam


kajian Hukum Administrasi Negara, karena di dalamnya menyangkut
bukan saja tentang efektivitas penegakan hukum, bagaimana
pemerintah menggunakan kewenangannya dalam menerapkan sanksi,
dan prosedur penerapan sanksi, tetapi juga untuk mengukur apakah
norma-norma Hukum Administrasi Negara-yang di dalamnya memuat

22
Ridwan HR, Op. Cit, hlm. 298.
23
Ibid, hlm. 289.
101

sanksi-telah sesuai dibuat dan relevan diterapkan di tengah


masyarakat.24
Pada umumnya macam-macam dan jenis sanksi itu dicantumkan dan

ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan bidang

administrasi tertentu.25 Secara umum dikenal beberapa macam sanksi dalam

hukum administrasi, yaitu:

a. Bestuursdwang (Paksaan Pemerintahan);

b. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin,

pembayaran, subsidi);

c. Pengenaan denda administratif;

d. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).

Salah satu sanksi yang menjadi pokok pembahasan adalah

bestuursdwang (paksaan pemerintah).

Berdasarkan UU Hukum Administrasi Belanda; "Onder bestuursdwang


wordt verstaan, het feitelijk handelen door of vanwege een
bestuursorgaan wegnemen, ontruimen, beletten, in de vorige toestand
herstellen of verichten van hetgeen in strijd met bij of krachtens
wettelijke voorschriften gestelde verplichtingen is of wordt gedaan,
gehouden of nagelaten" (paksaan pemerintahan adalah tindakan nyata
yang dilakukan oleh organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk
memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki
pada keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan
yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan.)26
Berkenaan dengan paksaan pemerintahan ini, F.A.M. Stroink dan J.G.
Steenbeek mengatakan sebagai berikut "kewenangan paling penting
yang dapat dijalankan oleh pemerintah untuk menegakkan Hukum
Administrasi Negara materiil adalah paksaan pemerintahan. Organ
pemerintahan memiliki wewenang untuk merealisasikan secara nyata

24
Ibid, hlm. 289.
25
Ibid., hlm. 303.
26
Ridwan HR, Op.Cit., hlm. 304.
102

kepatuhan warga, jika perlu dengan paksaan, terhadap pelanggaran


peraturan perundang-undangan tertentu atau kewajiban tertentu."27
Dalam istilah hukum, ada perbedaan antara kewenangan (bevogheid)

dengan kewajiban (verplichting). Kewenangan mengandung makna hak dan

kewajiban (rechten en plichten) dalam dan untuk melakukan tindakan hukum

tertentu sedangkan kewajiban hanya menunjukkan keharusan untuk mengambil

tindakan hukum tertentu.

Kewenangan pemerintah untuk menggunakan bestuursdwang


merupakan kewenangan yang bersifat bebas (vrije bevoegheid), dalam arti
pemerintah diberi kebebasan untuk mempertimbangkan menurut
inisiatifnya sendiri apakah menggunakan wewenang paksaan pemerintahan
ini dibatasi oleh asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemeen
beginselen van behoorlijk bestuur), seperti asas kecermatan, asas
keseimbangan, asas kepastian hukum, dan sebagainya.28
Sebagai contoh dapat diperhatikan dari fakta pelanggaran berikut ini:

a) Pelanggaran yang tidak bersifat substansial


Seseorang mendirikan rumah tinggal di daerah pemukiman,
akan tetapi orang tersebut tidak memiliki Izin Mendirikan
Bangunan (IMB). Dalam hal ini, pemerintah tidak sepatutnya
langsung menggunakan paksaan pemerintahan
(bestuursdwang), dengan membongkar rumah tersebut.
Terhadap pelanggaran yang tidak bersifat substansial ini masih
dapat dilakukan legalisasi. Pemerintah harus memerintahkan
kepada orang bersangkutan untuk mengurus IMB. Jika orang
tersebut, setelah diperintahkan dengan baik, tidak juga
mengurus izin, maka pemerintah dapat menerapkan
bestuursdwang, yaitu pembongkaran.
b) Pelanggaran yang bersifat substansial
Seseorang membangun rumah di kawasan industri atau seorang
pengusaha membangun industri di daerah pemukiman
penduduk, yang berarti mendirikan bangunan tidak sesuai
dengan tata ruang atau rencana peruntukan (bestemming) yang
telah ditetapkan pemerintah. Hal ini termasuk pelanggaran yang

27
Ibid., hlm. 305-306.
28
Ibid., hlm.307.
103

bersifat substansial, dan pemerintah dapat langsung menerapkan


bestuursdwang.29

Salah satu ketentuan hukum yang ada ialah bahwa pelaksanaan

bestuursdwang atau paksaan pemerintahan itu wajib didahului dengan surat

peringatan tertulis, yang dituangkan dalam bentuk KTUN. Surat peringatan

tertulis ini harus berisi hal-hal sebagai berikut:

1) Peringatan harus definitif;


2) Organ yang berwenang harus disebut;
3) Peringatan harus ditujukan kepada orang yang tepat;
4) Ketentuan yang dilanggar jelas;
5) Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan jelas;
6) Peringatan harus memuat penentuan jangka waktu;
7) Pemberian beban jelas dan seimbang;
8) Pemberian beban tanpa syarat;
9) Beban mengandung pemberian alasannya;
10) Peringatan memuat berita tentang pembebanan biaya.30

2. Sanksi Pidana

Peran penting pada pemberian sanksi di dalam hukum administrasi

memenuhi hukum pidana. Pendekatan yang dibangun adalah sebagai salah satu

upaya untuk mencegah dan mengatasi kejahatan melalui hukum pidana dengan

pelanggaran dikenakan sanksinya berupa pidana. Menurut Roeslan Saleh yang

dikutip oleh Samsul Ramli dan Fahrurrazi, mengemukakan pendapat bahwa

pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan

sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik (perbuatan yang dapat dikenakan

hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang).

29
Ibid., hlm.307-308.
30
Ibid., hlm. 308-310.
104

Wujud atau sifat perbuatan pidana itu adalah melawan hukum dan/atau

perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat, dalam arti

bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan

masyarakat yang dianggap baik dan adil.

Eddy O.S. Hiariej berpendapat bahwa 'delik' digunakan untuk

mengganti istilah perbuatan pidana, sehingga ketika berbicara mengenai unsur-

unsur perbuatan pidana dan jenis-jenis perbuatan pidana.31 Rumusan delik

tersebut mempunyai dua fungsi. Pertama, rumusan delik sebagai

pengejawantahan asas legalitas. Kedua, rumusan delik berfungsi sebagai unjuk

bukti dalam konteks hukum acara pidana. Eddy O.S. Hiariej mengatakan "...

rumusan delik yang berisi unsur-unsur delik hanya dapat diketahui dengan

membaca pasal-pasal yang berisi suatu ketentuan pidana."32 Jenis-jenis delik,

paling tidak ada 12 pembagian jenis-jenis delik sebagai berikut:

1) Kejahatan dan Pelanggaran;

2) Delik Formil dan Delik Materiil;

3) Delicta Commissionis, Delicta Omissionis dan Delicta

Commisssionis Per Omisssionem Commissa;

4) Delik Konkret dan Delik Abstrak;

5) Delik Umum, Delik Khusus dan Delik Politik;

6) Delik Merugikan dan Delik Menimbulkan Keadaan Bahaya;

7) Delik Berdiri Sendiri;

31
Eddy O.S. Hiariej, Loc. Cit, hlm. 129.
32
Ibid., hlm. 130-131.
105

8) Delik Persiapan, Delik Percobaan, Delik Selesai dan Delik

Berlanjut;

9) Delik Tunggal dan Delik Gabungan;

10) Delik Biasa dan Delik Aduan;

11) Delik Sederhana dan Delik Terkualifikasi;

12) Delik Kesengajaan dan Delik Kealpaan.33

Berdasarkan uraian diatas, salah satu pokok pembahasan penelitian

adalah kejahatan dan pelanggaran.

Dalam konteks studi kejahatan, perbuatan pidana disebut sebagai legal

definition of crime. Tappan menyatakan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan

sengaja atau pengabaian dalam melanggar hukum pidana, dilakukan bukan

untuk pembelaan diri dan tanpa pembenaran yang ditetapkan oleh Negara.

Tegasnya, kejahatan sebagai perilaku dan perbuatan yang dapat dikenai sanksi

yang ditetapkan secara resmi oleh Negara.

Dalam perspektif hukum pidana, legal definition of crime dibedakan

menjadi apa yang disebut sebagai mala in se dan mala prohibita. Dapatlah

dikatakan bahwa mala in se adalah perbuatan-perbuatan yang sejak awal telah

dirasakan sebagai suatu ketidakadilan karena bertentangan dengan kaidah-

kaidah dalam masyarakat sebelum ditetapkan oleh undang-undang sebagai suatu

perbuatan pidana. Mala in se selanjutnya dapat disebut sebagai kejahatan.

Kejahatan merupakan fenomena sosial yang melibatkan orang, tempat,

dan institusi. Menurut Packer, kejahatan adalah sebuah artefak sosiopolitik,

33
Ibid., hlm.134-149.
106

bukan fenomena alami. Masih menurut Packer, “kita bisa mendapati kejahatan

sebanyak atau sesedikit mungkin, bergantung pada apa yang kita anggap sebagai

kejahatan”. Sama dengan Packer, Vernon Fox juga mengemukakan bahwa

kejahatan adalah sebuah peristiwa sosial politik, bukan sebuah kondisi klinis.

Kejahatan bukan kondisi klinis atau medis yang dapat didiagnosis dan dirawat

secara khusus.

Mala prohibita adalah perbuatan-perbuatan yang ditetapkan oleh

undang-undang sebagai suatu ketidakadilan. Dapatlah dikatakan bahwa mala

prohibita diidentikkan dengan pelanggaran. Dalam kosa kata lain, perbedaan

mala in se dan mala prohibita oleh para ahli hukum dibedakan menjadi felonies

dan misdemeanors. Demikian pula dalam kosa kata belanda yang membedakan

kualifikasi perbuatan pidana dalam misdrijf (kejahatan) dan overtreading

(pelanggaran). Misdrijf lebih mengarah kepada rechtsdelicten (mala in se),

sementara overtreading lebih mengarah pada wetsdelicten (mala prohibita).

Pembagian perbuatan pidana kedalam kejahatan dan pelanggaran

membawa beberapa konsekuensi. Pertama, tindakan dari akibat yang

ditimbulkan kejahatan lebih berbahaya bila dibandingkan dengan pelanggaran.

Kedua, konsekuensi dari yang pertama, sangat berpengaruh pada sanksi pidana

yang diancamkan. Kejahatan diancam dengan pindana yang lebih berat bila

dibandingkan dengan pelanggaran. Ketiga, percobaan melakukan suatu

kejahatan, maksimum ancaman pidananya dikurangi sepertiga, sedangkan

percobaan melakukan pelanggaran tidak diancam pidana.


107

Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP kita bagi atas

kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Kejahatan adalah

rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang mesipun tidak ditentukan dalam

undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht,

sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran

sebaliknya adalah wetsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan

hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.

Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan dapat

digolongkan menjadi dua macam, yaitu:

1) Pidana pokok; dan

2) Pidana tambahan.

Pidana pokok merupakan pidana yang paling utama yang dijatuhkan

kepada pelaku. Pidana pokok terdiri atas:

1) Pidana mati;
2) Pidana penjara;
3) Pidana kurungan;
4) Pidana denda; dan
5) Pidana tutupan.

Pidana tambahan merupakan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku

yang sifatnya menambah pidana pokok yang dijatuhkan. 34 Ada tiga jens pidana

tambahan, yang meliputi:

1) Pencabutan hak-hak tertentu;

2) Perampasan barang-barang tertentu; dan

3) Pengumuman putusan hakim.

34
Ibid., hlm. 138.
108

Yang mempunyai kewenangan menjatuhkan sanksi pidana itu adalah

negara. Negara sebagai sebuah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai

kekasaan yang tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat.

Berdasarkan penjelasan yang peneliti paparkan, terhadap Konsekuensi

yuridis Pertanggungjawaban Pemerintah, hasil Putusan Nomor :

193/G/LH/2015/PTUN-JKT terhadap pihak yang mendapatkan izin pengelolaan

reklamasi pantai utara tersebut dalam hal ini PT Muara Wisesa Samudra.

Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami oleh PT

Muara Wisesa Samudra, karena pemerintah tidak memahami kewenangannya.

Syarat-syarat penunaian tugas fungsi dan kewajiban yang harus

dipenuhi oleh admistrasi negara adalah:

(1) Efektivitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran atau tujuan


yang telah ditetapkan atau direncanakan;
(2) Legitimasi, artinya kegiatan Admisrasi Negara jangan sampai
menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima oleh masyarakat
setempat atau lingkungan yang bersangkutan;
(3) Yuridiksi, adalah syarat yang menyatakan, bahwa perbuatan para
pejabat Admistrasi Negara tidak boleh melawan atau melanggar
Hukum dalam arti luas;
(4) Legalitas merupakan syarat yang menyatakan, bahwa tidak satupun
perbuatan atau keputusan Admistrasi Negara yang boleh dilakukan
tanpa dasar atau pangkal suatu ketentuan undang-undang (tertulis)
dalam arti luas, bila sesuatu dijalankan dengan dalih “keadilan darurat”,
maka kedaruratan tersebut wajib dibuktikan kemudian, bilamana
kemudian terbukti, maka perbuatan tersebut dapat digugat di
pengadilan;
(5) Moralitas adalah salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh
masyarakat. Moral dan etika umum maupun kedinsan wajib dijunjung
tinggi . Perbuatan tidak senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan,
kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya wajib dihindari;
(6) Efisiensi wajib dikejar seoptimal mungkin, kehematan biaya dan
produktivitas wajib diusahakan setingggi-tingginya;
109

(7) Teknik dan Teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk


mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-
baiknya.35

Kemudian peneliti berpendapat apabila Keputusn Gubernur tersebut

memang tidak sesuai dengan peraturan Peundang-undangan, maka dapat di

sanksi admistrasi dan sanksi pidana. Ketika kewenangan tersebut berindikasi

bahwa Produk keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah melampaui

kewenangannya sesuai dengan terori sanksi dapat diakumulasiakan (cumulation

of sanctions, cumulatie van santies). Dengan demikian seiap tindakan

pemerintah atau produk hukum yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah

apabila melanggar hak dan kewajiban setiap warga negara (orang dan badan

hukum) harus bertanggung jawab sesuai dengan tindakan yang diperbuat.

Apabila dalam tindakan tersebut merupakan suatu kewenangan, maka dilihat

dari tindakan tersebut apakakah tindakan yang dilakukan dapat dipertanggunga

jawabkan dengan sanksi admistrasi atau dengan sanski pidana atau bisa kedua-

duanya sesuai teori (cumulation of sanctions, cumulatie van santies) jika

tindakan tersebut melebihi dengan kewenangan yang dikeluarkannya.

35
Slamet Prajudi Atmosudirjo, Op. Cit., hlm. 83-84.

Anda mungkin juga menyukai