Peranserta masyarakat Wajib Pajak (WP) dalam memenuhi kewajiban pembayaran
pajak tentu sangat diharapkan sesuai dengan kerangka system self assessment yang dianut dalam UU pajak sejak tahun 1983. Self assessment telah memberikan kepercayaan penuh tehadap masyarakat WP untuk mneghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Akan tetapi, dalam kenyataanya terdapat cukup banyak mesyarakata yang dengan sengaja atau dengaan berbagai alasan tidak melaksanakan kewjibannya membayar pajak sesuai dengan ketetapan pajak yang telah diterbitkan. Oleh karena itu, untuk mencairkan tunggakan pajak dilakukan tindakan penagihan pajak sesuai ketentuan yang berlaku. Tindakan penagihan ini dilakukan berdasarkan UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (SP) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000. UU ini manjadi dasar hukum bagi fiskus untuk enagih tang pajak kepada WP. Surat Teguran. Sebagaimana diketahui bahwa yanga menjadi dasar penagihan pajak adalah adanya Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, serta Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding , yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayarkan ditambah. Setelah dalam jangka waktu satu bulan tanggal diterbitkannya surat ketetapan sebagaimana dimaksudkan terhadap WP tetap tidak melunasinya, barulah dilakukan suatu tindakan penagihan aktif dengan nama Surat Teguran. Penerbitan Surat Teguran merupakan tindakan awal dari pelaksanaan penagihan pajak dan pelaksanaannya harus dilakukan sebelum dilanjutkan dengan penertiban SP. Dalam permasalahan hukum perdata, penerbitan Surat Teguran bisa disamakan dengan istilah somasi yaitu suatu surat yang bersifat member peringatan kepada pihak lain agar melakukan sesuatu yang diinginkan oleh pemberi somasi. Surat Teguran sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilakukan segera setelah 7 hari saat jatuh tempo. Menurut keputusan Menteri Keuangan no. 561/KMK.04/2000 Pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa surat teguran tidak diterbitkan terhadap penanggungpajak yang disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya. Psal 8 yat (1) huruf c, menyataka bahwa Surat Paksa diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuuan sebagiamana tercantum dala keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Sura Paksa. Surat Paksa adalah surat perintah untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Ada tiga yang menyebabkan diterbitkannya SP yaitu: 1. Apabila Penanggung Pajak (PP) tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tepo dann telah diterbitkan surat Teguran atau surat peringatan atay surat lain yang sejenis. 2. Bahwa terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan penagihan seketika dan sekaligus. 3. Penaggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Dalam UU Penagihan Pajak telah ditetapkan bahwa SP yang diterbitkan oleh pejabat (pejabat adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak / Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB)mempunyai kekuasaan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. SP akan disampaikan kepada Penanggung pajak dilakukan paling lambat setelah lampau waktu 21 hari setelah Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lainnya diterbitkan. Apabila SP diterbitkan kurang dari 21 hari setelah Surat Teguran diterbitkan, maka SP menjadi batal demi hukum. Tata Cara Penyampaian Surat Paksa. SP yang telah diterbitkan haruslah segera disampaikan oleh jurusita pajak yang selanjutnya jurusita menyerahkan Salinan SP kepada WP/ Penangung Pajak. Setelah SP dibeiak kepada WP barulah dibuat Berita Acara penyampaian SP. Pasal 10 ayat (3) UU menegaskan bahwa untuk menyampaikan SP kepada orang pribadi, jurusita pajak harus menyerahkan kepada: 1. Penanggung pajak ditempat tinggal, temapat usaha, atau tempat lain yang memungkinkan. 2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja ditempat usahan Penaggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai. 3. Salah seorang ahli waris atau pelaksanan wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila WP telah meninggal dunia dan harta warisannya belum dibagi, atau. 4. Para ahli waris, apabila WP telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi. Sementara Itu Pasal 10 ayat 4 UU menegaskan bahwa penyampaian SP untuk WP badan, harus disampaikan jurusita pajak kepada: 1. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penngagung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan ditempat tingal mereka maupun ditempat laian yang menungkintan ;atau 2. Pegawai tetap ditempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila jurusita pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebbagaiman dimaksudkan pada No.1 Apabila WP sudah dinyatakan pailit, maka SP harus disampaikan kepada Kurakor, Hakim Pengawas, atau Balai Harta Peninggalan. Bila WP dinyatakan bubar atau likuidasi. SP yang telah disampaika oleh jurusita pajak tidak boleh ditolak apabila dilihat dari sisi meteriilnya. Namun WP dapat menolak (verzet) SP, bila diketahui ada hal-hal yang bersifat formal, sebgai berikut: 1. Apabila SP diberitahukan atau disampaikan oleh seseorang petuga yang bukan jurusita pajak yang telah disumpah. Artinya, seorang jurusita yang akan menyampaikan SP telah dibekali dangan suatu tanda pengenal sebagai jurusita. WP dapat minta agar jurusita menunjukkan tanda pengenalnya sebagai jurusita pajak. 2. Apabila SP yang telah diterbitkan dikirim melalui kantorpos. Ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b. pasal 10 ayat (1), yang menegaskan SP harus diberikan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan SP kepada Penanggung Pajak. 3. Apabila SP tidak ditandatangan oleh pejebat yang berwenang,. Pejabat berwenang yang menerbitkan SP adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB) Penyitaan. Penyiataan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh jurusita pajak untuk menguasai barang Penanggung guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebilanjut setelah SP yang hanya dapa dilakukan setelah batas waktu 2 x 24 jam sebagai mana dimaksud dalam SP dilewati. Artinya, apabila Penanggung Pajak/WP tetap tidak melunasi utang pajak sebagimana yang tercantum dalam SP, barulah penyitaan dapat dilakukan.
Tata Cara Penyitaan.
Penyitaan terhadap barang, dimana barang yang akan disita berada diluar wilayah kerja pejabat kantot pajak yang menerbitkan Surat Paksa dapat dilakukan dengan berdasarkan pasal 20 undang-undang penagihan yang menegaskan bahwa dalam hal objek sita yang berada di luar wilayah kerja pejabat yag menerbitkan Surat Paksa, pejabat harus meminta bantuan kepada kepala kantor pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan terhadap objek sita tersebut. Sedangkan jika objek sita berada jauh dari tempat kedudukan pejabat tetapi masih dalam wilayah kerjanya, dapat dengan meminta bantuan kepada kepala kantor pajak yang wilayah kerjanya juga meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.Berikut terdapat enam jenis barang yang tidak dapat disita atau diperkecualikan dari penyitaan sesuai dengan yang terkandung dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997, yaitu : 1. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya. 2. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan masak yang ada di rumah. 3. erlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas. 4. Buku-buku yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan. 5. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak melebihi Rp. 20.000.000 (dua puluh juta rupiah) 6. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Pada prinsipnya penyitaan dalam hukum pajak tidak mengubah status kepemilikan atas suatu barang , bahkan barang yang telah disita dapat dititipkan kepada Penanggung Pajak atau dapat disimpan di tempat lain. Pemilik barang masih dapat menggunakan barangnya selama barang tersebut tidak dialihkan hukumnya kepada orang lain atau merusak barang, atau menghilangkan barang yang merupakan tindakan pidana sesuai dengan Pasal 231 KUH Pidana. Pengertian tumpang tindih penyitaan adalah dimana suatu barang yang sebelumnya telah disita oleh satu intansi yang berwenang, lalu disita lagi oleh intansi berwenang yang berbeda. Sedangkan penyitaan tambahan (Pasal 21), juru sita dapat melakukan penyitaan apabila : 1. Nilai barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi utang biaya penagihan pajak. 2. Hasil dari lelang barang yang telah disita tidak cukup melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Terhadap barang yang suah disita, Penanggung Pajak dilarang untuk melakukan hal- hal sebagai berikut : 1. Memindahkan hak,memindah tangankan, menyewakan, meminjamkan, menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barng yang telah disita. 2. Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk pelunasan utang tertentu. 3. Membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan untuk pelunasan utang tertentu. 4. Merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barag sitaan. Apabila wajib pajak melanggar ketentuan di atas, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang terkandung dalam pasal-pasal berikut : 1. Pasal 231 ayat (1) KUHP, menegaskan bahwa “ barang siapa dengan sengaja menarik suatu barang yang disita menurut ketentuan undang-undang atau yang dititipkan (sequestratie) atas perintah hakim atau dengan mengetahui, bahwa barang ditarik dari situ, menyembunyikan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” 2. Pasal 372 KUHP menegaskan bahwa “barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (aich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh juta rupiah.” 3. Pasal 375 KUHP menegaskan bahwa “ penggelapan yang dilakukan oleh orang yang terpaksa diberi barang untuk disimpan atau yang dilakukan oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga social atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.” Terhadap barang yang sudah disita, dapat dicabut apabila terjadi salah satu dari tiga hal di bawah ini : 1. Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. 2. Ada putusan pengadilan atau ada putusan badan peradilan pajak. 3. Ada ketentuan lain yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah.