Anda di halaman 1dari 56

REFERAT

KOMPLIKASI PADA ANESTESI


DAN POST ANESTESI CARE

Oleh:
Adria Putra Farhandika 1102013010
Putri Cantika Reviera 1102013230

Pembimbing:

dr. Hj. Hayati Usman, SpAn


dr. Dhadi Ginanjar, SpAn

DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF ANESTESI RSUD DR. SLAMET GARUT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2018
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Anestesi secara umum berarti membantu pasien menghilangkan rasa nyeri pada
saat pembedahan, persalinan atau pada saat dilakukan tindakan diagnostic-terapeutik.
Selama proses pembiusan dan setelah pembiusan dapat terjadi komplikasi –
komplikasi. Selain itu teknik dari pembiusan baik regional maupun umum juga
berpotensi mengakibatkan komplikasi
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi anestesi, yaitu usia,
jenis kelamin, obesitas, faktor individual, premedikasi, teknik dan obat anestesi serta
jenis dari operasinya.
Komplikasi tersering yang dirasakan setelah anestesi dengan teknik regional dan
umum antara lain adalah merasa sakit dan muntah, pusing dan lemah. Sedangkan
komplikasi yang jarang ditemukan antara lain adalah kerusakan pada mata, alergi obat
serius, kerusakan saraf serta kematian.
Terjadinya komplikasi dari anestesi sangat merugikan, karena dapat
mempengaruhi keadaan umum pasien, memperpanjangang waktu recovery,
memberikan pengalaman buruk, rasa tidak nyaman serta masalah biaya karena dapat
memperpanjang masa perawatan di rumah sakit. Komplikasi anestesi yang terjadi
dapat dicegah tetapi beberapa tidak dapat dihindari. Untuk itu kami mengangkat
masalah komplikasi anestesi. Referat ini bertujuan untuk mengetahui komplikasi pada
anestesi dan juga cara menangani dan mencegah komplikasi – komplikasi yang tejadi.

Insidens

Untuk mengukur suatu hasil yang merugikan dalam bidang anestesi merupakan
suatu hal yang suli, karena hasil akhir dari penyakit pasien yang tidak pasti, prosedur
operasi, dan manajemen anestesi itu sendiri. Seperti contoh, adanya suatu kematian
pada pasien merupakan hasil akhir yang jelas dan pasti namun kematian yang
dikarenakan anestesi begitu jarang. Kematian saat perioperative biasanya terjadi 48
jam setelah operasi.

1
Seperti dalam suatu penelitian yang dilakukan antara tahun 1948 dan 1952,
angka kematian karena anestesi di Amerika serikta sekitar 5.100 kematian per tahun
atau 3.3 kematian per 100.000 penduduk. Penyebab kematian di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa tingkat kematian akbiat anestesi adalah 1.1/ 1.000.000 per
populasi atau 1 kematian anestesi per 100.000 antara tahun 1999 hingga 2005. Untuk
penelitian pada tahun 2002 mengemukakan kematian karena anestesi sekitar 1
kematian per 13.000 kasus yang ada di anestesi. Pada tahun 2008 terdapat penelitian
yang menghitung bahwa terdapat 815.077 pasien dengan kondisi ASA 1 – 3 yang
memiliki jadwal operasi di US Department of Veterans Affairs Hospitals memiliki
tingkat kematian sebesar 0.08% per harinya. Faktor risiko yang dapat meningkatkan
resiko kematian yaitu, dyspnea, penurunan kadar albumin, penigkatan bilirubin dan
peningkatan konsentrasi kreatinin.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komplikasi Anestesi


Komplikasi anestesi dapat terjadi selama/durante anestesi atau pasca anestesi

Komplikasi Durante Anestesi


1. Respirasi : obstruksi jalan nafas, respirasi abnormal, batuk, apnea, singultus,
spasme (laryngospasm, bronchospasm)
2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, emboli, disritmia sampai cardiac arrest
3. Regulasi Suhu : hypothermia, hyperthermia
4. Kesadaran menurun selama operasi
Komplikasi Pasca Anestesi
1. Respirasi : atelectase, pneumothorax, hiccup, aspirasi pneumonitis
2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, decompensatio cordis
3. Mata : laserasi kornea, blepharospasm
4. Cairan tubuh : hipovolemia, hipervolemia
5. Neurologi : kejang, bangun lambat, trauma syaraf perifer
6. Mengigil
7. Malignant hyperthermia
8. Mimpi buruk
9. Gaduh-gelisah
10. Muntah

Komplikasi pada general anestesi terdiri dari :


1. Komplikasi respiratori
a. Komplikasi dari laringoskopi dan intubasi
b. Obstruksi respirasi
c. Hipoksemia
d. Hypercapnea dan hypocapnea
e. Hipoventilasi

3
f. Aspirasi pneumonia
2. Komplikasi kardiovaskular
a. Hipotensi
b. Hipertensi
c. Aritmia
3. Komplikasi neurologi
a. Kesadaran
b. Tertunda pemulihan
c. Perioperatif neurophaty
4. PONV
5. Perubahan temperature
a. Komplikasi kardiovaskuler Hypothermia
b. Hyperthermia
6. Efek merugikan obat dan hipersensitivitas
7. Komplikasi dari posisi

Komplikasi Anestesi Regional – Spinal

1. Komplikasi Segera
a. Hipotensi
b. Anestesi Spinal Total : Hipotensi, Bradikardi, Apneu
c. Reaksi toksik sistemik
d. Reaksi alergi : urtikaria, syok anafilatik
e. Hipotermi
2. Komplikasi lanjutan
a. Nyeri kepala
b. Nyeri punggung
c. Retensi urin
d. Infeksi
e. Cedera saraf

2.2 Komplikasi pada sistem organ

4
2.2.1 Respiratori

1. Komplikasi laringoskopi dan intubasi


a. Kesalahan posisi ETT
- Intubasi esofagal
- Intubasi endobronkial
- Posisi manset dalam laring
b. Trauma jalan nafas
- Gigi rusak
- Dislokasi mandibula
- Sakit tengorokan
- Tekanan dalam trakea
- Edema glottis atau trakea
- Post intubasi granuloma pada pita suara
c. Respon fisiologi dalam instrumensasi jalan nafas
- Stimulasi simpathetik
- Laryngospasm
- Bronchospam
d. Malfungsi ETT
- Resiko pencapaian
- Obstruksi ETT
- Cuff Perforasi

2. Obstruksi Jalan Nafas

Sumbatan jalan nafas pada pasien tidak sadar adalah tersering karena lidah
jatuh ke belakang ke pharing posterior. Penyebab lainnya adalah spasme laring,
udema glottis, sekresi, muntahan, darah di jalan nafas, atau tekanan luar dari
trakea (tersering karena hematoma di leher). Sumabatan parsial jalan nafas
biasanya diketahui dengan adanya respirasi sonor. Sumbatan total menyebabkan
aliran udara terhenti, suara nafas menghilang, dan ditandai dengan gerakan
paradoksal dada (saat inspirasi dada turun sedang perut naik). Pasien dengan
sumbatan jalan nafas harus diberi suplemen oksigen sementara ukuran koreksi

5
dikerjakan. Kombinasi gerakan mendorong rahang dan memiringkan kepala
akan menarik lidah ke depan dan membuka jalan nafas. Memasang pipa nasal
atau oral sering meringankan masalah. Pipa nasal lebih ditolelir oleh pasien-
pasien selama pemulihan dan lebih sedikit kemungkinan trauma pada gigi bila
mereka menggigit.
Jika manuver diatas gagal, spasme laring harus dipertimbangkan.
Karakteristik dari spasme laring adalah suara tinggi nyaring dan mungkin juga
diam jika glottis tertutup. Spasme dari pita suara adalah lebih mudah terjadi pada
trauma jalan nafas, atau instrumentasi berulang, atau stimulasi dari secret atau
darah di jalan nafas. Manuver jaw thrust (mendorong rahang), terutama bila
dikombinasikan dengan tekanan positif jalan nafas lewat face mask, biasanya
dapat mengakhiri spasme laring. Memasukkan alat jalan nafas oral atau nasal
juga membantu dalam menjamin patensi jalan nafas bawah sampai pada pita
suara. Sekret atau darah pada jalan nafas harus disedot untuk mencegah
kekambuhan. Spasme laring yang parah harus diterapi agresif.
Dengan dosis kecil suksinilkolin (10-20 mg) dan ventilasi tekanan positif
dengan O2 100% untuk sementara waktu guna mencegah hipoksia berat atau
udema paru tekanan negatif. Intubasi endotrakea kadang-kadang diperlukan
untuk menjaga ventilasi. Crico tirotomi atau jet ventilasi transtrakea
diindikasikan jika intubasi tak segera berhasil.
Udema glotis setelah instrumentasi jalan nafas adalah penyebab penting
sumbatan jalan nafas pada bayi dan anak-anak muda. Kortikosteroid i.v
(dexamethason 0,5 mg/kg) atau aerosol rasemik epinephrine (0,5 ml larutan 2,25
% dengan 3 ml NS) mungkin membantu dalam kasus-kasus semacam ini. Luka
hematoma post operasi setelah prosedur bedah kepala dan leher, tiroid, dan
carotis dapat membahayakan jalan nafas dengan cepat. Pembukaan luka tersebut
segera menghilangkan kompresi trakea. Kasa yang tertinggal tak sengaja di
hipopharing pada bedah mulut dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas total
cepat atau lambat.

6
Etiologi
Obstruksi bisa terjadi pada jaringan lunak, sekret yang berlebihan, darah,
isi lambung, spasme laring, tumor, inflamasi, benda asing, hipertrofi tonsil dan
adenoid dan kaku atau blokade dari ETT dan yang paling banyak muncul pada
periode post operatif adalah jalan napas bagian atas.

Tanda-tandanya
Obstruksi respirasi termasuk
a.) Pertukaran tidal yang inadekuat
b.) Retraksi dinding dada dan supraclavikular dan suprasternalis
c.) Pergerakan perut yang berlebihan
d.) Penggunaan otot-otot aksesoris
e.) Sianosis
Adanya hentakan trakea selama anestesi pada periode pemulihan dapat
diindikasikan sebagai salah satu anestesia dalam, blokade neuromuskular dan
atau hipoksia dengan retensi CO2 penyebab terakhir oleh karena respirasi yang
inadekuat atau obstruksi ventilasi.

 TERAPI
Termasuk pemasukkan jalan napas hidung atau faring (jika ditoleransi),
elevasi mandibula ke depan dan ke atas oleh tekanan dibelakang sudut mandibula
dan ventilasi buatan. Itu bisa jadi kebutuhan untuk membebaskan jalan napas dari
sekret oleh penghisapan yang sering. Jika jalan napas pasien tidak bisa dijaga,
selanjutnya intubasi trakea adalah indikasi. Trakeotomi bila dibutuhkan, tetapi itu
sangat jarang sekali.

3. Apnea
Dapat berkembang karena obstruksi pada jalan napas, depresi respirasi
perifer atau pusat. Terapi seharusnya dilakukam segera dengan ventilasi buatan,
dari mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut ke sungkup, mulut ke jalan napas
atau mulut ke ETT. Pemompaan kantung sendiri, kantung penadah dari mesin
anestesi. Trakeotomi dapat dibutuhkan sewaktu-waktu.

7
4. Hipercapnea
PaCO2 atau ET CO2 > 40 mhg karena peningkatan FiCo2, hipoventilasi,
peningkatan ruang mati, peningkatan CO2 yang diproduksi jaringan. Terapi
sesuai kasus.

5. Hipoventilasi
Hipoventilasi didefinisikan sebagai PaCO2 > 45 mmHg, sering terjadi
setelah anestesi umum. Kebanyakan hipoventilasi adalah ringan dan pada
beberapa kasus dapat diabaikan. Hipoventilasi yang bemakna secara klinis akan
tampak bila PaCO2 > 60 mmHg atau pH darah arteri < 7,25. Tanda-tandanya
bervariasi misalnya mengantuk yang berlebihan atau lama, sumbatan jalan nafas,
laju nafas pelan, takipnea dengan nafas dangkal, atau sulit bernafas. Asidosis
ringan sampai sedang dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi, jantung
iritabel (lewat stimulasi simpatis), tetapi asidosis yang lebih berat menyebabkan
depresi sirkulasi. Jika curiga hipoventilasi yang bermakna, harus dilakukan
analisa gas darah arteri untuk menilai keparahan dan pemandu tata laksana
selanjutnya.
Hipoventilasi di PACU sangat umum karena efek-efek sisa depresi dari
agen anestesi terhadap pusat nafas. Karakteristik depresi nafas karena opioid
adalah laju nafas yang lambat, sering dengan volume tidal yang besar. Sedasi yang
berlebihan juga sering terjadi, tetapi pasien mungkin mendengar dan dapat
meningkatkan pernafasan dengan perintah. Biphasik atau berulangnya bentuk-
bentuk depresi nafas telah dilaporkan sebagai akibat dari semua opioid.
Mekanismenya meliputi variasi-variasi dalam intensitas dari stimulasi selama
pemulihan dan pelepasan lambat opioid dari kompartemen perifer seperti otot
rangka (atau paru pada fentanyl) selama pasien hangat kembali atau mulai
bergerak. Pengeluaran dari pemberian opioid intra vena ke dalam cairan lambung
kemudian diserap lagi juga telah dijelaskan tetapi tampaknya tak diakui karena
pengambilan oleh hati yang tinggi untuk kebanyakan opioid.
Hipoventilasi dapat terjadi pada saat operasi dan selama periode setelah
operasi. Hipoventilasi dapat disebabkan oleh obat-obatan pre anestesia dan

8
anestesia, narkotik, pelemas otot atau reduksi dalam suhu tubuh (biasanya pada
bayi). Nyeri dari insisi di dada atau perut ditandai dengan menurunnya kapasitas
maksimal bernapas, derajat dari hasil hipoksia dan hiperkapnia.
Terapi dapat diakukan dengan variasi oleh masker atau endo trakeal tube
dengan kantung inflasi nya sendiri, kantung bernapas dari mesin anestesia atau
ventilator mesin. Jika depresi respirasi oleh karena narkotik, antagonis narkotik
seperti nalaxone diindikasikan. Jika hipoventilasi oleh karena tubocurarine atau
pancuronium, injeksi neostigmine dengan atropin juga diindikasikan. Pemberian
oksigen oleh sungkup muka sekali pakai yang direkomendasikan untuk setiap
pasien selama periode post operatif dini.
Revers tidak adekuat, overdosis, hipotermi, interaksi farmakologi
(misalnya dengan antibiotik “mycin” atau terapi magnesium), perubahan
farmakokinetik (karena hipotermi, perubahan distribusi volume, disfungsi ginjal
atau hati) atau factor-faktor metabolic (hipokalemia atau asidosis respiratorik)
dapat berespon terhadap sisa-sisa pelumpuh otot di PACU. Tanpa memperhatikan
penyebabnya, gerakan nafas yang tak terkoordinasi dengan volume tidal yang
dangkal dan takipnea biasanya jelas kelihatan. Diagnosa dapat ditegakkan dengan
sebuah stimulator syaraf pada pasien-pasien yang tak sadar, pasien yang sadar
dapat disuruh memiringkan kepala. Kemampuan untuk mengangkat kepala
selama 5 detik mungkin test paling sensitive untuk menilai keadekuatan dari
reversal..
Terapi sebaiknya langsung ditujukan pada penyebab yang mendasarinya,
tetapi tanda-tanda hipoventilasi selalu memerlukan ventilasi terkontrol sampai
faktor-faktor yang berperan diidentifikasi dan dikoreksi. Adanya depresi sirkulasi,
atau asidosis (pH darah arteri < 7,15) adalah indikasi untuk segera dilakukan
intubasi endotrakea. Antagonis dari opioid penyebab depresi dengan naloxone.
Peningkatan ventilasi alveolar biasanya juga dikaitkan dengan nyeri mendadak
dan keluarnya simpatis. Akhirnya dapat mencetuskan krisis hipertensi,udema
paru, dan miokard iskemik atau infark. Jika naloxone digunakan untuk
meningkatkan pernafasan, titrasi dengan dosis kecil (0,04 mg pada orang dewasa)
mungkin menghindari komplikasi-komplikasi oleh revers sebagian dari depresi
nafas tanpa revers bermakna dari analgesia. Setelah naloxone sebaiknya pasien

9
dipantau secara cermat akan kekambuhan dari depresi nafas oleh opioid
(renarkotisasi),mengingat naloxone berdurasi lebih pendek daripada kebanyakan
opioid. Sebagai alternatif doxapram 60-100mg, dilanjutkan dengan 1-2mg/mnt i.v
boleh digunakan, doxapram tak merevers analgesia tetapi dapat menyebabkan
hipertensi dan takikardi. Bila terdapat sisa dari pelumpuh otot dapat diberikan
penghambat kolinesterase. Sisa pelumpuh kendati dalam dosis penuh penghambat
kolinesterase memerlukan kontrol ventilasi sampai terjadi pemulihan spontan.
Kebijaksanaan memilih analgesik opiod (intravena atau intraspinal), anestesi
epidural, atau blok saraf interkostal adalah sering menguntungkan dalam
mengurangi pembebatan setelah prosedur bedah perut atas atau dada.

6. Hipoksemia
Hipoksemia ringan biasa terjadi pada pasien-pasien yang pulih dari
anestesi tanpa diberi suplemen oksigen selama pemulihan. Hipoksia ringan
sampai sedang (PaO2 50-60 mmHg) pada pasien- pasien muda sehat sejak awal
mungkin dapat ditoleransi dengan baik, tetapi dengan peningkatan durasi atau
keparahan stimulasi simpatis awal sering terlihat berganti dengan asidosis
progresif dan depresi sirkulasi. Sianosis yang jelas mungkin tak ada jika
konsentrasi hemoglobin berkurang. Secara klinis hipoksemia mungkin juga
dicurigai dari kegelisahan, takikardi, atau iritabel jantung (ventrikel atau atrium).
Kebingungan, bradikardi, hipotensi, dan cardiac arrest adalah tanda-tanda
belakangan. Penggunaan rutin oksimeter denyut di PACU memfasilitasi deteksi
awal. Analisa gas darah sebaiknya dilakukan untuk menegakkan diagnosa dan
pemandu terapi.
Hipoksemia di PACU biasanya disebabkan oleh hipoventilasi,
peningkatan shunting intra pulmoner dari kanan ke kiri atau kedua-duanya.
Penurunan cardiac output atau kenaikan konsumsi oksigen akan menonjolkan
hipoksemia. Hipoksia diffusi tidak biasa menyebabkan hipoksemia jika selama
pemulihan diberi suplemen oksigen. Hipoksia karena murni hipoventilasi juga
tidak biasa jika pasien menerima suplemen oksigen tanpa tanda-tanda
hiperkapnea atau bersamaan dengan adanya kenaikan shunting intra pulmoner.
Kenaikan shunting intra pulmoner dari penurunan FRC relatif terhadap closing

10
capacity adalah penyebab tersering hipoksemia setelah anestesi umum. Penurunan
FRC terbesar terjadi pada bedah perut atas atau dada. Kehilangan volume paru
adalah sering dihubungkan dengan mikro atelektasis, karena mikroatelektasis
sering tak kelihatan pada foto dada. Posisi semi upright membantu memelihara
FRC.
Tanda shunting intrapulmoner kanan ke kiri (Qs/Qt>15%) biasanya
dihubungkan dengan perbedaan radiografi yang ditemukan seperti atelektasis
paru, infiltrat parenkimal, atau pneumothorak yang luas. Penyebab-penyebabnya
meliputi hipoventilasi intraoperasi yang lama dengan volume tidal rendah,
intubasi endobronkial tak disengaja, kolap lobaris karena bronkus tersumbat oleh
sekresi atau darah, aspirasi paru, atau udema paru. Udema paru post operasi sering
tampak sebagai wheezing dalam 60 menit pertama setelah pembedahan. Hal itu
mungkin disebabkan oleh kegagalan ventrikel kiri, ARDS, atau pembebasan
mendadak sumbatan jalan nafas yang lama. Berlawanan dengan udema paru,
wheezing karena obstruksi primer penyakit paru, yang mana sering terjadi pada
peningkatan besar shunting intrapulmoner, adalah tidak berhubungan dengan
auskultasi crackles (gemercik), cairan udema pada jalan nafas, atau infiltrat pada
foto dada. Kemungkinan dari pneumothorak post operasi sebaiknya selalu
diwaspadai mengikuti pergeseran garis tengah, blok interkosta, patah tulang iga,
irisan pada leher, trakeostomi, nephrostomi, prosedur retroperitoneal atau
intraabdomen (termasuk laparoskopy) khususnya bila diafragma mungkin
tertembus. Pasien-pasien dengan subpleural atau bulla yang besar dapat juga
berkembang menjadi pneumothorax selama ventilasi tekanan positif.

Terapi oksigen dengan atau tanpa tekanan positif jalan nafas adalah dasar
dari terapi. Pemberian rutin 30-60% oksigen biasanya cukup untuk mencegah
hipoksemia dengan hipoventilasi sedang dan hiperkapnea. Pasien-pasien dengan
penyakit paru atau jantung yang mendasari memerlukan konsentrasi oksigen yang
lebih tinggi. Terapi oksigen sebaiknya dipandu dengan SpO2 atau analisa gas
darah arteri. Konsentrasi oksigen harus dikontrol dengan ketat pada pasien- pasien
dengan retensi CO2 untuk menghindari tercetusnya gagal nafas akut. Pasien-
pasien dengan hipoksemia berat atau menetap harus diberi 100% oksigen lewat

11
NRM atau ETT sampai penyebabnya diketahui dan terapi lainnya dimulai;
Ventilasi mekanik dikontrol atau dibantu mungkin juga diperlukan. Foto dada
( terutama tegak lurus ) adalah amat berguna dalam menilai volume paru dan
ukuran jantung serta menunjukkan pneumothorak atau infiltrat paru. Infiltrat pada
mulanya tidak tampak pada awal inspirasi.
Terapi tambahan sebaiknya langsung pada penyebab dasar. Pipa dada
sebaiknya dipasang pada pneumothorax simtomatis atau yang lebih besar dari 15-
20%. Spasme bronkus sebaiknya diterapi dengan bronkodilator aerosol dan
mungkin aminophilin i.v. Diuretik diberikan bila sirkulasi cairan berlebihan.
Fungsi jantung dioptimalkan. Hipoksemia menetap kendati dari 50% oksigen
secara umum diindikasikan untuk PEEP atau CPAP. Bronkoskopi sering
bermanfaat dalam mengembangkan kembali atelektasis lobaris oleh kotoran
bronkus atau partikel aspirasi.

7. Aspirasi Pulmonar

Inhalasi dari material didalam jalan nafas pada bawah pita suara. Material
termasuk benda asing, saliva, sekresi nasofaringeal atau komponen lambung.
Aspirasi paru terjadi sebagai reflex saluran napas pelindung, seperti penurunan
kesadaran dan gangguan batuk. Pada pasien bedah kemungkinan terjadi ada
induksi atau selama muncul anestesi.

Manifestasi
Bervariasi bergantung pada tingkat aspirasi, bisa hipoksi, takikardi dan
takipneu. Bronkospasme kadang muncul dan pada auskultasi dada dapat
didapakan mengi.

Penanganan
Awal penanganan

- Oksigen 100 % mengurangi kontaminasi jalan nafas


- Jika pasien sadar dan bernapas, orofaring harus di suction dan
posisi pasien dalam posisi perbaikan

12
- Jika pasien tidak sadar dan bernapas, tekanan cricoids
sebaikanya didapatkan, orofaring di suctioned dan posisi pasien
dalam lateral kiri head- down posisi. Tekanan cricoids sebaiknya
tidak diterima pada pasien yang muntah karena peningkatan
tekana intra oesophagal dapat menyebabkan rupture.
- Jika pasien apneu, intubasi segera dilakukan. Jalan nafas di
suction melalui tracheal tube sebelum tekanan posited ventilasi
dimulai.
- Penanganan lanjutan : intensive care pasien dengan aspirasi
pneumonia. Penilaian termasuk foto rontgen thorax, analisa gas
darah, dan kultur sputum. Menggunakan volume tidal 4-6 ml/kg
dengan meningkatkan frekuensi ventilasi untuk pemeliharaan
volume yang berkurag karena injury pulmo. Bronchodilator
seperti salbutamol dan inotropium bromide yang dapat
meringankan bronhospasm. Terapi spesifik termasuk fibreoptic
bronchoscopy.

Komplikasi paru muncul pada 30 % pasien yang pernah melakukan operasi dada
atau perut dan ini yang paling banyak menyebabkan kesakitan dan kematian dalam
periode post operatif. Fungsi yang abnormal ini adalah sekunder dari pola abnormal paru,
nyeri, posisi berbaring, operasi cidera otot yang berhubungan dengan posisi perut bagian
atas dan efek agen anestesi serta teknik anestesinya.
1.) Hipoksemia arteri adalah yang sering ditemukan setelah pembedahan besar,
dan dapat dideteksi dengan mengukur gas darah.
2.) Setiap upaya seharusnya dibuat untuk mencegah kemajuan yang lazim dari
atelektasis, takipnea, hipoksia, demam dan pneumonitis.
a. Atelektasis
Atelektasis adalah hasil dari obstruksi dari jalan napas yang disalurkan
dengan mengabsorbsi udara dari bagian distal paru , dan dapat muncul selama
anestesi lokal, regional maupun umum.

1.) Tanda dan gejala

13
Pergerakkan yang asimetris dan retraksi dada, tidak ada suara napas yang
melewati segmen dari area paru, meningkatnya kesulitan dalam bernapas,
takikardi, takipnea, demam dan sianosis.
2.) Diagnosis dapat dilihat dari hasil x-ray dada dan dugaan dari bukti yang
kuat.
3.) Pengobatan
Fisioterapi dada, penghisapan bronkus melalui kateter atau bronkoskop,
batuk, napas dalam, inflasi tekanan positif dari paru, ekspektoran, surfaktan
dan agen mukolitik dan bronkodilator.

b. Pneumotoraks
Pneumotoraks dapat disebabkan oleh rupturnya jaringan paru ( seperti
emfisema dengan diikuti batuk yang berlebihan). Tekanan positif respirasi yang
hebat atau trauma langsung pada apex paru selama trakeotomi, pemotongan leher,
pemasangan CVC atau pemblokkan plexus supraclavicular brakialis.
Pneumotoraks dapat muncul selama obstruksi jalan napas parsial dengan napas
dalam. Selama periode ini, udara dapat terhisap kedalam mediastinum superior
dimana karena ruptur satu atau kedua rongga pleura (retriperitoneal atau
intraperitoneal yang melewati aorta atau esofagus).
1.) Diagnosis dibuat dari pemeriksaan fisik, x-ray dada dan analisis gas darah
2.) Pengobatan. Aspirasi udara melewati suatu titik yang dibuat dengan lubang
jarum yang besar di dalam pleura di linea mid clavicularis anterior kedua atau
ketiga, bersamaan dengan penempatan selang pada dada yang
menghubungkan ke air-drain-botol.

c. Demam
Demam terjadi dalam 24 jam pertama post-operatif dengan atelektasis dalam
48 jam, infeksi traktus urinaria dan setelah 72 jam, infeksi luka. Demam post-
operatif diakibatkan oleh tromboflebitis yang dapat muncul setiap saat. Beberapa
post-operatif meningkatkan suhu tubuh, sedikitnya 1O F diatas normal / > dari 2
hari, harus dipertimbangkan dan dipelajari untuk diatasi penyebabnya.

14
d. Pengembungan lambung
Penggembungan lambung bisa karena jalan napas yang sudah payah. Ini bisa
terjadi pada pasien yang lumpuh dengan tekanan jalan napas diatas 25 cm H2O,
meskipun jalan napasnya bersih, dan itu bisa menyebabkan muntah post- operatif
dan kesulitan pembedahan atau cegukan.

e. Cegukan
1.) Cegukan adalah spasme diafragma yang terputus-putus disertai dengan
penutupan glotis secara tiba-tiba.
2.) Cegukan dapat terjadi pada saat induksi dan atau pemeliharaan anestesia,
dengan inhalasi atau dengan anestesi intravena dan bisa menjadi lebih sulit
untuk keduanya, ahli bedah dan ahli anestesinya terutama ketika cegukan
menetap.
3.) Terapi nya bertujuan untuk menyingkirkan penyebab yang berkaitan, seperti
penggembungan lambung, iritasi diafragma atau rangsangan viscera
abdominal bagian atas.
a. Membantu pernafasan adalah penting dan jika cegukan berlangsung lama,
obat relaxan bisa digunakan dengan intubasi trakea dan kontrol ventilasi.
b. Metode teraupetik. Stimulasi nasofaring, anestesia umum, obat oelemas
otot, inhalasi CO2, dekompresi lambung dan blok nervus phrenic
unilateral

2.2.2 Kardiovaskular
Gangguan sirkulasi yang paling umum di PACU adalah hipotensi,
hipertensi dan aritmia. Kemungkinan ketidaknormalan sirkulasi itu adalah
sekunder dari gangguan sirkulasi yang mendasar yang selalu harus
dipertimbangkan sebelum beberapa intervensi yang lain.
1. Hipotensi

15
Hipotensi biasanya disebabkan oleh penurunan venous return pada
jantung, gangguan fungsi ventrikel kiri, vasodilatasi arteri yang berlebihan yang
kurang umum. Hipovolemia adalah penyebab hipotensi paling umum di PACU.
Hipovolemia absolut dapat disebabkan oleh penggantian cairan yang tidak
adekuat, sekuesterisasi cairan yang terus-menerus oleh jaringan (rongga ketiga),
atau drainase luka, serta perdarahan post operasi. Konstriksi vena selama
hipotermia mungkin menutupi hipovolemia sampai suhu pasien mulai naik lagi.
Kemudian dilatasi vena menghasilkan hipotensi yang tertunda. Hipovolemia
relatif adalah bertanggung jawab untuk hipotensi yang dihubungkan dengan
spinal atau epidural, venodilator, dan blokade alfa adrenergik; peningkatan
kapasitas vena menurunkan venous return kendati volume intra vascular
sebelumnya normal. Hipotensi yang berhubungan dengan sepsis dan reaksi alergi
biasanya hasil dari kedua-duanya hipovolemi dan vasodilatasi. Hipotensi yang
menyertai tension pneumothorax atau tamponade jantung adalah akibat dari
pemburukan pengisian jantung.
Disfungsi ventrikel kiri pada seseorang yang awalnya sehat adalah tidak
biasa tanpa adanya gangguan metabolisme yang berat (hipoksemia, asidosis,
sepsis). Hipotensi karena disfungsi ventrikel ditemui terutama pada pasien dengan
penyakit arteri koroner atau katup jantung, dan biasanya dicetusksn oleh cairan
yang berlebihan, iskemia myokard, peningkatan afterload akut, atau disritmia.
Hipotensi dapat disebabkan oleh narkotika, anestesi, hipoksia, refleks,
penanganan bedah, perdarahan, insufisiensi adrenokortikal, perubahan posisi,
penyakit jantung, transfusi darah yang tidak cocok, hipersensitivitas alergi, atau
emboli udara.
1.) Narkotika disuntikkan sebelum operasi, intraoperatif, dan / atau pasca
operasi dapat menurunkan tekanan darah dengan menekan pusat vasomotor,
mengurangi otot, penurunan ventilasi, dan pelebaran pembuluh darah
perifer.
2.) Overdosis inhalasi dan / atau anestesi IV merupakan salah satu penyebab
utama hipotensi selama anestesi
a. Tekanan darah dapat menurun bila diberikan anestesi yang melebihi
jumlah yang biasanya ditoleransi, terutama selama induksi anestesi

16
tekanan darah dapat menurun meskipun jumlah yang diberikan adalah
dalam kisaran yang dapat diterima. Overdosis relatif seperti dapat
menghindari jika dosis minimal anestesi digunakan selama induksi
anestesi khususnya pada pasien dengan penyakit jantung, obesitas,
hipertensi, penurunan volume darah, kehilangan berat badan, cachexia,
atau penyakit kronis yang melemahkan.
b. Pengobatan overdosis meliputi penghentian segera dari anestesi
inhalasi, dan jika barbiturat telah diberikan, langkah-langkah dukungan
umum termasuk jalan napas yang memadai, respirasi yang efisien, infus
RL dan vasopressors.
3.) Adrenocortical insufisiensi.
Hipotensi dan shock akibat insufisiensi adrenokortikal jauh lebih mudah
mencegah daripada mengobati. Banyak pasien akan diperlakukan tidak
perlu (tapi tidak berbahaya) untuk melindungi beberapa orang yang
mungkin beresiko. Hipotensi karena penyebab lain harus disingkirkan.
Terapi krisis adrenocortical termasuk IV administrasi hidrokortison dengan
baik salin isotonik atau air asin di dekstrosa. Norepinefrin juga digunakan
dengan hati-hati
4.) Hipotensi berat akibat iskemia miokard atau infark dapat berkembang
selama anestesi dan pembedahan. Diagnosis dibuat oleh bukti-bukti dugaan
yang kuat dan terapi tidak boleh ditunda sampai diagonis yang definitif
ditetapkan dalam beberapa hari.
5.) Tanda-tanda transfusi darah yang tidak kompatibel di bawah anestesi adalah
hipotensi, umum mengalir dari luka, hemoglobinuria, dan sianosis.
Kemudian tanda-tanda penyakit kuning, oliguria, dan anuria
6.) Pencegahan dan pengobatan hipotensi
a. berlebihan preanesthetics dan obat-obatan anestesi harus dihindari
b. manipulasi bedah harus dilakukan selembut mungkin
c. penggantian cairan darah harus dilakukan lebih awal
d. tekanan vena sentral harus dipantau
e. obat cepat pengobatan dengan vasopressors

17
f. jika hipotensioni disebabkan hipoksia, oksigen harus diberikan pertama
dan terakhir vasopressors

 TERAPI
Hipotensi ringan selama pemulihan dari anestesi adalah umum dan
biasanya mencerminkan penurunan tonus simpatis yang berhubungan dengan
tidur atau efek sisa dari agent anestesi, bentuk seperti ini tak memerlukan terapi.
Hipotensi yang bermakna didefinisikan sebagai penurunan tensi 20-30 % dari
tensi basal pasien dan diindikasikan sebuah kekacauan serius yang memerlukan
terapi. Terapi tergantung pada kemamapuan untuk menilai volume intravaskuler.
Peningkatan tensi setelah bolus cairan (250-500 ml kristaloid atau 100-250 ml
koloid) umumnya mendukung hipovolemi. Pada hipotensi berat, suatu
vasopressor atau inotropik mungkin diperlukan untuk meningkatkan tensi sampai
defisit volume intravaskuler paling tidak terkoreksi sebagian. Tanda-tanda
disfungsi jantung sebaiknya diperiksa pada pasien-pasien tua dan pasien-pasien
dengan penyakit jantung. Kegagalan pasien untuk segera berespon terhadap terapi
mengamanatkan monitoring hemodinamik invasive manipulasi dari preload,
kontraktilitas, dan afterload sering diperlukan. Adanya tension pneumothorax,
seperti yang disebabkan oleh hipotensi dengan penurunan suara nafas sesisi,
hiperresonanasi, dan deviasi trakea, adalah suatu indikasi untuk segera dilakukan
aspirasi pleura bahkan sebelum konfirmasi radiografi. Begitu juga hipotensi
karena tamponade jantung, biasanya menyertai trauma dada atau bedah thorax,
sering diperlukan pericardiocentesis atau thoracotomi.

2. Hipertensi
Hipertensi post operasi adalah umum di PACU dan khususnya terjadi
pada 30 menit pertama setelah tindakan. Rangsangan nyeri dari sayatan, intubasi
trakea, atau kandung kemih penuh, biasanya ikut berperan. Hipertensi post operasi
bisa juga karena aktivasi reflek simpatis, yang menjadi bagian dari respon
neuroendokrin terhadap pembedahan atau hipoksemia sekunder, hiperkapnea,

18
atau asidosis metabolic. Pasien-pasien dengan riwayat hipertensi sistemik mudah
berkembang menjadi hipertensi di PACU, bahkan tanpa sebab yang jelas. Derajat
kontrol hipertensi berbanding terbalik dengan insiden hipertensi pada beberapa
pasien. Cairan berlebihan atau hipertensi intrakranial dapat juga tampak sebagai
hipertensi post operasi.
Hipertensi dapat terjadi selama anestesi dan periode pemulihan akibat
nyeri, hipoksia, hiperkapnia, hipervolemia, dari overtranfusion, stimulasi refleks,
peningkatan tekanan intrakranial, pheochromocytoma, dan obat-obatan (ketamin,
amina vasopressor, atau succinycholine). Penggunaan infus dari trimethaphan
atau nitroprusside, diikuti dengan pemberian obat long-acting antihipertensi, jika
diperlukan, harus disediakan untuk yang terakhir-resor-terapi darurat.

Hipertensi ringan umumnya tidak memerlukan terapi, tetapi penyebab


reversible sebaiknya dicari. Petanda hipertensi dapat mencetuskan perdarahan
post anestesi, iskemia miokard, gagal jantung atau perdarahan intrakranial.
Keputusan tentang derajat hipertensi dan kapan harus diterapi bersifat individual.
Pada umumnya tensi meningkat lebih dari 20-30% dari basal normal pasien, atau
berkaitan dengan efek samping ( infark miokard, gagal jantung, atau perdarahan)
harus diterapi. Peningkatan ringan sampai sedang dapat diterapi dengan beta
bloker iv seperti esmolol, atau propanalol. Ca chanel blocker nicardipin atau pasta
nitrogliserin, serta nifedipine sublingual juga efektif. Hidralazin juga efektif tapi
sering menyebabkan takikardi dan dihubungkan dengan iskemik miokard dan
infark. Petanda hipertensi pada pasien-pasien dengan cadangan jantung terbatas
memerlukan monitor tekanan intra arterial langsung dan harus diterapi dengan
nitroprussid, nitrogliserin, nikardipin, atau fenoldopam infus intravena. Titik akhir
esuaian terapi sebaiknya di sesuaikan dengan tensi normal pasien itu sendiri.

3. Aritmia
Gangguan pernafasan yang berperan khususnya hipoksemia, dan asidosis
dalam memacu aritmia jantung tak dapat dikesampingkan. Efek-efek sisa dari
anestesi, peningkatan aktivitas sistim saraf simpatis, abnormalitas metabolik

19
lainnya dan adanya penyakit jantung dan paru juga mempengaruhi pasien untuk
terjadi aritmia di PACU.
Bradikardi sering menunjukkan efek sisa dari kolinesterase inhibitor
(neostigmin), opioid sintetis yang poten (sufentanyl) atau beta bloker
(propanolol). Takikardi mungkin menunjukkan efek dari agent antikolinergik
(atropin) atau vagolitik (pancuronium atau meperidine), beta agonis (albuterol),
reflek takikardi (hidralazine), serta penyebab-penyebab umum seperti nyeri,
demam, hipovolemia dan anemia. Lebih lanjut, anestesi merangsang depresi dari
fungsi baroreseptor membuat frekuensi jantung tak dapat dipercaya memonitor
volume intravaskuler di PACU.
Atrial dan ventrikel premature beat biasanya menunjukkan hipokalemia,
hipomagnesemia, peningkatan tonus simpatis, atau yang kurang umum iskemia
miokard. Yang terakhir ini dapat didiagnosa dengan ECG 12 lead. Supra ventrikel
takiaritmia meliputi paroksismal supraventrikel takikardi, flutter atrium, dan
atrium fibrilasi adalah bentuk-bentuk yang tak terduga pada pasien-pasien dengan
riwayat aritmia-aritmia ini dan lebih tak terduga pada bedah thorax.

4. Cardiac arrest
Insiden serangan jantung secara signifikan lebih besar dengan anestesi spinal
(6,4 + / - 1,2per 10.000 pasien) dibandingkan dengan anestesi epidural dan blok
saraf perifer dikombinasikan. Risiko kematian setelah serangan jantung secara
bermakna dikaitkan dengan usia dan American Society of Ahli anestesi '(ASA)
kelas status fisik. Rata- rata usia korban adalah 50 +/ - 20 th, dan rata- rata usia
yang tidak selamat adalah 82 + /- 7 th.

2.2.3 Neurologi
Inside cidera pada neurologi terlihat lebih tinggi pada setelah spinal
anestesi dari pada anestesi kombinasi seperti epidural, peripheral nervus block,
intravena regional anestesi.

1. Kesadaran
- Implicit memori

20
Informasi disimpan dalam memori tetapi tidak dapat mengingat
kejadian. Contohnya post operasi trauma fisik seperti cemas, insomnia

- Explcit memori
Informasi disimpan dalam memori diserati kemampuan mengingat
kejadian ( kejadian yang tidak menyenangkan seperti presepsi visual,
auditiri, sesansi lumpuh dan nyeri).

Pencegahan :

a. Preoperative :
i. Kunjungan preoperative
ii. Pengecekan peralatan anestesi
iii. Informed consent
b. Intraoperative
i. Monitoring kedalaman anastesi
ii. Teknik anestesi : hindari uscle relaxan tanpa indikasi
c. Post operative :
i. Visit pasien
ii. Permintaan maaf
iii. Psikoterapi

2. Penundaan Pemulihan
Penyebab :

1. masalah metabolit dan elektrolit


2. cerebral hyopoperfusi
3. depresi cerebral karena obat

3. Perioperatif neuropati

Penyebab : traksi, kompresi, metabolic, trauma operasi langsung

21
Faktor resiko : usia, BMI > 38, Pembedahan yang terlalu lama, sudah ada riwayat
disfungsi nervus kronik,Variasi anatomi, Hipotensi, DM, Terlalu lama bed est
postoperative.

4. Paralisis Nervus Ulnaris


Kelemahan motorik dan parestesia dapat terjadi di nervus ulnaris dari tekanan
pada nervus dibawah siku. Hal ini terjadi pada pasien yang sikunya terjepit
dengan benda padat. Hal ini juga dapat terjadi jika nervus tertekan oleh tulang dan
ujung dari meja operasi, atau jika lengan pasien dalam keadaan abduksi kemudian
siku tertekan oleh ujung meja operasi.Pencegahan termasuk menjaga tangan
mendekat ke pada sisi tubuh pada posisi horizontal .Ketika timbul rasa lemah,
mati rasa, atau paralisis pada nervus ulnaris, pemeriksaan neurologik secara detail
harus dilakukan dan pengobatan secepatnya , termasuk fisioterapi.

2.2.4 Regulasi Suhu


Komplikasi pada regulasi suhu termasuk menggigil, hipotermia dan
hipertermi malignant. Menggigil dapat terjadi di PACU sebagai akibat dari
hipotermia intra operasi atau dari anestesi. Menggigil adalah suatu usaha tubuh
untuk meningkatkan produksi panas, meningkatkan suhu tubuh dan mungkin
diikuti oleh vasokonstriksi yang hebat. Meskipun agent-agent anestesi juga
menurunkan ambang menggigil, menggigil umumnya sering nampak selama atau
sesudah pulih dari anestesi umum. Bahkan pemulihan dari anestesi umum yang
singkatpun kadang-kadang juga menggigil. Meskipun menggigil dapat menjadi
bagian dari tanda-tanda neurologis non spesifik (postur, clonus atau Babinski`s
sign) kadang-kadang dapat terjadi selama pemulihan, hal itu paling sering karena
hipotermi dan umumnya dihubungkan dengan obat anestesi yang mudah
menguap. Menggigil kadangkala cukup hebat sehingga menyebabkan hipertermia
(38-39C) dan asidosis metabolik yang signifikan, kedua-duanya terselesaikan
ketika menggigil berhenti. Anestesi spinal dan epidural keduanya juga
menurunkan nilai ambang menggigil dan respon vasokonstriksi terhadap
hipotermi menggigil mungkin juga ditemui dalam RR setelah anestesi regional.

22
Penyebab lain dari menggigil sebaiknya disingkirkan, seperti sepsis, alergi obat,
atau reaksi transfusi.
Penyebab terpenting dari hipotermia adalah redistribusi panas dari bagian
tengah tubuh ke bagian tepi tubuh. Suhu sekitar ruang operasi yang dingin, luka
besar yang terbuka lama, dan penggunaan sejumlah besar cairan intravena yang
tak dihangatkan, serta aliran gas yang tinggi dan tidak dilembabkan juga dapat
memberi kontribusi. Hampir semua obat anestesi, terutama yang mudah menguap,
menurunkan respon vasokonstriksi terhadap hipotermia. Hal ini juga biasa terjadi
pada pertengahan periode post partum. Bagaimanapun mekanismenya, timbulnya
nampak berhubungan dengan jangka waktu dari pembedahan dan penggunaan
dari konsentrasi tinggi agen mudah menguap.
Setelah penghentian thiopental, halothane, atau anestesi enflurane,
beberapa pasien mungkin menunjukkan spasme dari beberapa otot somatik dan
menggigil seluruh tubuh dengan disertai tremor daerah kepala, bahu, otot tubuh,
dan ekstremitas atas maupun bawah. Hal ini dapat dijelaskan sebagai reaksi termal
karena suhu ruangan yang rendah selama anestesi dan operasi di ruang operasi.
Hal itu menghasilkan kebutuhan oksigen yang lebih besar. Faktor lain yang perlu
dipertimbangkan, meskipun kecil kemungkinan, adalah kerugian besar kadar
panas ventilasi selama anestesi umum dengan aliran tinggi dalam sistem
semiclosed-rebreathing atau parsial. Dewasa muda khususnya rentan terhadap
kehilangan panas tubuh.
Terapi meliputi menyelimuti pasien dengan selimut panas dan menjaga
suhu kamar di 24OC. Administrasi 5-10 mg dari Klorpromazin IV akan membantu
dalam mengatasi gejala awalnya.
Hipotermi diterapi dengan alat penghangat udara, lampu hangat atau
selimut hangat untuk meningkatkan suhu tubuh ke normal. Menggigil yang hebat
dapat menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen, produksi CO2, dan curah
jantung. Efek fisiologis ini sering sulit ditoleransi oleh pasien yang sudah ada
gangguan jantung atau paru. Hipotermi telah dikaitkan dengan meningkatnya
kejadian iskemia miokard, aritmia, meningkatkan kebutuhan transfusi, dan
meningkatkan durasi obat pelumpuh otot. Dosis kecil meperidine i.v, 10-50 mg,
dapat menurunkan bahkan menghentikan menggigil. Pasien-pasien yang

23
terintubasi dan memakai ventilator juga dapat di sedasi dan diberi pelumpuh otot
sampai normotermia kembali dan efek dari anestesia sudah tiada lagi.

Hipertermia Malignant
Hipertermia malignant adalah krisis hipermetabolik fulminan yang dipicu
oleh obat-obatan anestesi.
1.) Hypertermia malignant jarang terjadi tetapi berpotensi mengancam nyawa
dan terjadi selama anestesi umum, dengan angka kematian 60%. semakin
tinggi suhu maksimum dan semakin lama durasi anestesi, semakin tinggi
angka kematian tersebut. Oleh karena itu deteksi dini dan pengobatan yang
cepat adalah kunci sukses reversal.
2.) Kejadian telah dilaporkan 1 dalam 15.000 anestesi pada anak-anak, dan 1
dalam 50.000 pada orang dewasa. Sebagian besar kasus terjadi pada anak-
anak, remaja, dan dewasa muda. Laki-laki lebih sering daripada perempuan.
3.) Penyebabnya masih belum jelas dan kontroversial. Faktor predisposisi
diwariskan oleh 50% pada keturunan korban. Meskipun reaksi dikenal turun-
temurun, tempat dan sifat kerusakan belum dapat dijelaskan sepenuhnya.
50% dari pasien memiliki kerabat yang juga mengalami hipertermia
malignant yang dipicu di bawah anestesi umum, yang mengarahkan kepada
sifat dominan autosomal. Kekakuan otot terjadi dalam tiga-perempat dari
pasien, sejumlah besar pasien yang memanifestasikan kekakuan otot
sebelumnya sudah memiliki penyakit muskuloskeletal.
a. Hipertermia malignant yang paling sering berkembang setelah pemberian
halothen dan succinycholine. mungkin terjadi, bagaimanapun, dengan
hampir semua bentuk anestesi umum. belum dilaporkan selama anestesi
lokal atau regional.
b. Pengalaman anestesi sebelumnya yang tanpa komplikasi tidak
mengesampingkan kemungkinan terjadinya hipertermia malignant selama
anestesi umum berikutnya.

24
Tanda-tanda klinis dan temuan laboratorium
1. Tanda-tanda klinis termasuk takikardia, takipnea, demam lebih dari
40oC, aritmia, sianosis, darah vena gelap di bidang bedah, urin merah,
kulit panas, dan kekakuan otot berkepanjangan umum rangka.
2. Takikardia dan takipnea adalah tanda-tanda awal dan karena metabolisme
intens dan acidosis pernapasan. asidosis pernapasan hadir karena
peningkatan tajam dalam produksi karbondioksida. Aritmia berasal dari
hiperkalemia yang berhubungan dengan sindrom ini.
3. Temuan laboratorium termasuk asidosis metabolik dan respiratorik,
hipoksemia, hiperkalemia, hypermagnesemia, myoglobinemia, dan laktat
tinggi dan piruvat tinggi.
4. Gagal ginjal akut, hemolisis, dan kerusakan otak dapat terjadi kemudian
dalam perjalanan dari sindrom ini.

Diagnosis pentingnya diagnosis dini dan terminasi dini anestesi terletak


pada kenyataan bahwa kemungkinan runtuhnya cardiopulmonary dan akhirnya
statistik kematian meningkat sebanding dengan durasi anestesi.
Seseorang harus menduga komplikasi dengan adanya takikardia, takipnea,
aritmia, respon abnormal terhadap succinylcholine, kekakuan otot umum atau
lokal, dan / atau kenaikan suhu tubuh cepat. Rutinitas pemantauan aktivitas listrik
jantung dan suhu tubuh dianjurkan untuk semua pasien anestesi, terutama anak-
anak dan dewasa muda. Pemantauan suhu tubuh terus-menerus lewat dubur,
kerongkongan, atau timpani. Setelah diagnosis dibuat, indeks yang akan dipantau
termasuk EKG, suhu, gas darah arteri, elektrolit, hematrokrit, output urin, dan
tekanan vena sentral.

Terapi
Penekanan ditempatkan pada betapa pentingnya deteksi dini, penghentian
awal anestesi (dan operasi, jika mungkin), dan aplikasi awal tindakan terapi, yang
meliputi;
1.) Hiperventilasi dengan oksigen 100% melalui tabung endotraceal.

25
2.) Dantrolene (dantrium), 1-2 mg / kg IV. Ini dapat diulang setiap 5-10 menit
untuk dosis total 10 mg / kg. Setiap vial dantrolene untuk IVdiencerkan
dengan menambahkan 60 ml injeksi cairan untuk infus
3.) IV administrasi bikarbonat (2 sampai 4 mEq / kg) untuk mengoreksi asidosis
metabolik
4.) Langkah-langkah cepat untuk mengontrol suhu dengan pendinginan eksternal
dan internal yang cepat
a. eksternal metode pendinginan, dengan menutupi pasien dengan es
dan/atau menggunakan selimut dingin
b. metode pendinginan internal, termasuk infus yang cepat IV cairan dingin
c. IV obat-obatan diuretic
d. IV procainamide (1 gr diencerkan dalam 500 ml NaCl)
e. Hiperkalemia ditatalaksana menggunakan dextrose dengan insulin

2.2.5 Sistem Gastointestinal


Mual dan muntah adalah masalah umum setelah anestesi umum. Mual juga
bisa nampak pada hipotensi karena anestesi spinal atau epidural. Peningkatan
insiden mual dilaporkan mengikuti pemberian opioid atau mungkin anestesi
dengan N2O, pembedahan intraperitoneal (khususnya laparoskopi) Insiden
tertinggi tampak pada wanita muda, penelitian menunjukkan bahwa mual lebih
sering terjadi selama menstruasi. Peningkatan tonus vagal dengan manifestasi
bradikardi mendadak umumnya didahului atau disertai dengan muntah-muntah.
Dapat berasal dari isi lambung dan dapat muncul selama induksi dan
pemeliharaan anestesi selama periode pemulihan khususnya pada pasien yang
menjalani prosedur abdominalis. Kondisi ini bisa menimbulkan bencana dan
harus diatasi segera.
Tanda dan gejala
a. Aspirasi pada volume yang besar dapat berakibat kematian biasanya pada
kasus tenggelam, volume yang lebih kecil menimbulkan batuk, spasme
laring, bronkospasme dan edema paru yang berakibat hipoksia.

26
b. Aspirasi pada cairan asam di dalam isi lambung dalam pneumonitis kimia,
padahal aspirasi material dapat menyebabkan atelektasis, pneumonia atau
abses paru. Lesi karena ph kurang dari 2,5. Pneumonitis kimia seharusnya
dapat dicurigai ketika terdapat sianosis persisten, takikardi dan takipnea
diikuti muntah atau regurgitasi. X-ray dada diindikasikan untuk
mendukung diagnosis klinis.
c. Jika aspirasi muncul, terapi termasuk ETT, penghisapan pada trakea,
oksigenasi, hidrokortison 500-1000 mg, aminofilin, dan antibiotik.
Respirasi seharusnya di kontrol untuk memblok dari bronkus segmental
nya, terapi bronkoskopi diindikasikan.

Anestesi propofol menurunkan insiden mual dan muntah post operasi.


Droperidol i.v 0,65-1,25 mg (0,05-0,075 mg/kg pada anak-anak) bila diberikan
intra operesi menurunkan mual post operasi secara bermakna tanpa
memperpanjang masa pemulihan dosis kedua mungkin diperlukan bila mual
masih terjadi di PACU. Metoclopramid 0,15 mg/kg i.v mungkin seefektif
droperidol dan lebih sedikit menyebabkan kantuk. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa jika propofol tidak digunakan selama anestesi, droperidol
mungkin lebih efektif daripada metoklopramid. Selektif 5-hydroxytriptamin
(serotonin) reseptor 3 (5HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg (0,1 mg/kb pada
anak), granisetron 0,01-0,04 mg/kg dan dolasetron 12,5 mg (0,035 mg/kg pada
anak)juga amat efektif. 5HT3 antagonis adalah tidak menimbulkan sedasi, ekstra
pyramidal akut (dystonik), dan reaksi diphoric yang mungkin terjadi dengan agent
lainnya. Ondansetron mungkin lebih efektif daripada agent lainnya pada anak-
anak. Dexamethason 8-10 mg (0,1 mg/kg pada anak) jika dikombinasikan dengan
anti muntah lainnya sangat efektif untuk mual muntah yang sukar disembuhkan.
Propofol dosis rendah (20 mg bolus atau 10 mg bolus dilanjutkan dengan
10mcg/kg/mnt) juga dilaporkan efektif untuk mual muntah post operasi.

2.2.6 Sistem Pengelihatan


Selama anestesi, pada beberapa pasien kelopak mata tidak menutup secara
penuh, terutama jika pelemas otot sudah digunakan. Karenanya, jika tidak ada

27
pencegahan yang diambil, cidera pada mata poleh trauma langsung, kornea
menjadi kering- iritasi pada cairan- uap dari obat anestesi dapat terjadi dengan
pemberian anestesia umum.
1) Abrasi kornea adalah komplikasi pada mata yang paling umum yang terjadi
selama anestesi umum dan pemulihan. Gejala ini menyakitkan dan dapat
berkembang menjadi inflamasi di traktus uvea, dan jika terkontaminasi dapat
mengarah ke infeksi serius.
a. Abrasi kornea dapat terjadi, salah satunya oleh karena penempatan
sungkup muka yang kurang hati-hati pada mata yang sedang terbuka atau
oleh tangan dan kuku jari ahli anestesi selam proses pemasangan
laringosko dan intubasi. Kebanyakan tejadi pada operasi kepala dan leher,
terutam pada saat craniotomi dan dalam prosedur ahli bedah saraf dan ahli
ortopedi yang wajib menengkurapkan pasien.
b. Abrasi kornea dapat terjadi selama operasi yang melibatkan nervus facialis
seperti mastoidektomi, timpanoplasti atau parotidektomi.
c. Selama prosedur pembedahan, lengan asisten, instrumen, handuk kepala
dapat mengakibatkan konjungtivitis, abrasi kornea, ulserasi.
2) Jika mata hanya terbuka sebagian selama anestesi, produksi air mata tidak
ada, kornea menjadi kering dan epitel rusak.
3) Posisi anatomis dari mata adalah faktor lain. Resiko kekeringan pada mata
adalah baik pada orang dengan mata yang menonjol (proptosis dan
eksoftalmus). Cidera pada mata dapat disebabkan oleh sekret yang masuk
kedalam mata atau oleh tumpahnya cairan steril selam persiapan operasi.

Tahanan pada bola mata dapat mengakibatkan kebutaan dengan tidak adanya
suplai dari arteri ke mata.
 Diagnosis
Abrasi kornea menyebabkan nyeri, lakrimasi, dan blefarospasme, nyeri berat
dan diperburuk saat pasien berkedip dan gerakan bola mata. Pasien mengeluhkan
adanya sensasi benda asing dimatanya. Dengan pemeriksaan pada kornea
menggunakan lup mata di bawah sinar yang baik, kassa steril dengan pewarnaan

28
flourescein digunakan untuk menggambarkan cidera epitel. Kornea yang abrasi
memberikan hasil warna yang lebih hijau dibandingkan kornea yang tidak rusak.
 Pengobatan.
Penggunaan salep antibiotik secara lokal dan dengan memberikan penekanan
pada mata, cycloplegik dan cairan midriatik diberikan untuk mencegah sinekia
dan meredakan nyeri yang berhubungan dengan spasme iris dan otot siliaris.
 Profilaksis
Komplikasi pada mata dapat dicegah dengan memastikan bahwa mata pasien
tertutup selama anestesi. Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara memegang
kelopak mata dengan cairan adesif dan plester.

2.2.7 Reaksi alergi obat


Anafilaksis
Reaksi alergi antigen – antiodi ( hipersenstifitas tipe 1) reaksi dimulai
pengikatan antigen immunoglobulin E pad permukaan sel mast dan basofil,
menyebabkan pengeluaran mediator kimia termasuk leukotrien, histamine,
protsglanding, kinin, platelet activating faktor.

Manifestasi :
- Kardivaskular : hipotensi, takikardi, disritmia
- Pulmo : broncospase, batuk, dispneu, pulmonary, edema laring, hipoksemia
- Dermatologi : urtika, pruritus facial edema

29
Penanganan :
Terapi awal : Jauhi allergen, Oksigen 100 %, Cairan intravena 1-5 liter LR,
Epinephrine (10-100 mcg IV bolus untuk hipotensi, 0.1-0.5 mg
IV untuk kolaps cardiovascular)
Penanganan sekunder : Antihistamin intra vena, Epinephrine 2-4 mcg/min,
norepinephrine 2-4 mcg/min, Aminophylline 5-6 mg/kg IV
setelah 20 menit, 1-2 grams methylprednisolone atau 0.25-1 gm
hydrocortisone.55 Sodium bicarbonate 0.5-1 mEq/kg.66.
Evaluasi jalan napas (sebelumnya ekstubasi).

30
POST ANESTESI CARE

Ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Post Anesthesia Care Unit
(PACU) adalah ruangan tempat pengawasan dan pengelolaan secara ketat pada pasien
yang baru saja menjalani operasi sampai dengan keadaan umum pasien stabil.

Pasien operasi yang ditempatkan di ruang pemulihan secara terus menerus


dipantau. Letak ruangan pemulihan yang ideal adalah berdekatan dengan ruang operasi
dan mudah di jangkau oleh dokter ahli anestesi atau ahli bedah sehingga mudah dibawa
kembalikan ke ruang operasi bila diperlukan, serta mudah dijangkau bagian radiologi atau
ruangan harus cukup dan dilengkapi dengan lampu cadangan bila sewaktu-waktu terjadi
pemadaman aliran listrik.

PACU merupakan perluasan kamar operasi, harus terbuka sepanjang hari dan
pengamatan secara intensif yang dilakukan didalamnya. Hal ini dapat diartikan karena
pada masa transisi tersebut kesadaran penderita belum pulih secara sempurna sehingga
kecenderungan terjadinya sumbatan jalan napas lebih besar dan ditambah lagi reflek
perlindungan seperti reflek batuk, muntah maupun menelan belum kembali normal,
kemungkinan terjadi aspirasi yang sangat di rasakan dimana pengaruh obat anestesi dan
trauma pasca operasi masih belum hilang dan masih mengancam status respirasi dan
kardiovaskuler penderita. Upaya pengamatan yang amat cermat terhadap tanda-tanda
vital penderita merupakan modal dasar yang amat ampuh dalam mencegah penyulit yang
tidak diinginkan.

PACU merupakan suatu unit yang didesain untuk menangani pasien post operasi.
Dengan semakin majunya teknik operasi dibutuhkan juga unit untuk menangani pasien
post op dengan tujuan untuk menurunkan tingkat kematian pasca operasi yang menjadi
pengaruh besar.

Fase 1 adalah penangan intensif secara langsung selama fase pemulihan dan
bangunnya pasien tersebut pasca operasi dan berlanjut sampai kriteria pasien dapat
meninggalkan ruangan tersebut. Fase 2 adalah penanganan dengan tingkatan lebih rendah
pada fase ini kita harus memastikan pasien tersebut dapat pulang dengan keadaan baik
pasca operasi.

31
Tujuan perawatan pasca anestesia yaitu untuk memulihkan kesehatan fisiologi
dan psikologi antara lain:

1) Mempertahankan jalan napas, dengan mengatur posisi, memasang sunction dan


pemasangan mayo/gudel.
2) Mempertahankan ventilasi/oksigenasi, dengan pemberian bantuan napas melalui
ventilator mekanik atau nasal kanul.
3) Mempertahankan sirkulasi darah, dapat dilakukan dengan pemberian cairan
plasma ekspander.
4) Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase. Keadaan umum dari
pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan pasien, seperti kesadaran.
Vomitus atau muntahan mungkin saja terjadi akibat pengaruh anestesia sehingga
perlu dipantau kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk
dilakukan observasi terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien.
5) Balance cairan, harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output cairan.
Cairan harus balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi
akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan yang mengakibatkan menjadi
beban bagi jantung dan juga mungkin terkait dengan fungsi eleminasi pasien.
6) Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injuri, pasien post anestesi
biasanya akan mengalami kecemasan, disorientasi dan beresiko besar untuk jatuh.
Tempatkan pasien pada tempat tidur yang nyaman dan pasang side railnya. Nyeri
biasanya sangat dirasakan pasien, diperlukan intervensi keperawatan yang tepat
juga kolaborasi dengan medis terkait dengan agen pemblok nyerinya.

Pasca anestesia merupakan periode kritis, yang segera dimulai setelah


pembedahan dan anestesia diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh anestesia. Risiko
pasca anestesi dapat di bedakan berdasarkan masalah-masalah yang akan dijumpai pasca
anestesia/bedah dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok :

1) Kelompok I
Pasien yang mempunyai risiko tinggi gagal napas dan gangguan hemodinamik
pasca anestesia/bedah, sehingga perlu napas kendali pasca anestesia/bedah. Pasien
yang termasuk dalam kelompok ini langsung dirawat di Unit Terapi Intensif pasca
anestesia/bedah tanpa menunggu pemulihan di ruang pulih.

32
2) Kelompok II
Sebagian besar pasien pasca anestesia/bedah termasuk dalam kelompok ini, tujuan
perawatan pasca anestesia/bedah adalah menjamin agar pasien secepatnya mampu
menjaga keadekuatan respirasinya dan kestabilan kardiovascular.

3) Kelompok III
Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Pasien pada
kelompok ini bukan hanya fungsi respirasinya tetapi harus bebas dari rasa
ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot, sehingga pasien bisa kembali pulang.

Terdapat 3 tahap dalam keperawatan periopertif:

1) Fase pre operatif


Fase pre operatif merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif yang
dimulai ketika pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika
pasien dipindahkan ke meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.

2) Fase intra operatif


Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindahkan ke instalasi
bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Pada fase ini
lingkup aktivitas keperawatan mencakup pemasangan IV cath, pemberian
medikasi intaravena, melakukan pemantauan kondisi fisiologis menyeluruh
sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Contoh :
memberikan dukungan psikologis selama induksi anestesi, atau membantu
mengatur posisi pasien di atas meja operasi dengan menggunakan prinsip -
prinsip dasar kesimetrisan tubuh.

3) Fase post operatif

33
Fase Post operatif merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre operatif dan intra
operatif yang dimulai ketika klien diterima di ruang pemulihan pasca anaestesi
dan berakhir sampai evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah.
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup rentang aktivitas yang
luas selama periode ini. Pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen
anestesi dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas
keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan
melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk
penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan ke rumah.

Pemantauan dan Penanggulangan Kedaruratan Medik :

1. Kesadaran
 Pemanajangan pemulihan kesadaran,merupakan salah satu penyulit yang sering
dihadapi di ruang pulih,maka apabila hal ini terjadi diusahakan memantau tanda
vital yang lain dan mempertahankan fungsinya agar tetap adekuat.
 Pasien belum sadar tidak merasakan adanya tekanan atau rangsangan pada anggota
gerak,mata atau pada kulitnya sehingga mudah mengalami cedera, oleh karena itu
posisi pasien diatur sedemikian rupa, mata ditutup dengan plester atau kasa yang
basah sehingga terhindar dari cedera sekunder.
 Masalah gelisah dan berontak,seringkali mengganggu suasana ruang pulih bahkan
bisa membahayakan dirinya sendiri.
 Penyebab gaduh gelisah adalah:
1. Pemakaian Ketamin sebagai obat anesthesia.
2. Nyeri yang hebat.
3. Hipoksia.
4. Buli-buli yang penuh.
5. Stress yang berlebihan prabedah.
6. Pasien anak-anak lebih sering mengalami hal ini.
2. Respirasi

 Parameter respirasi yang harus dinilai pasca anesthesia adalah


No Parameter Normal

34
1. Suara nafas paru Sama pada kedua paru

2. Frekuensi nafas 10-35 x/menit

3 Irama nafas Teratur

4. Volume tidal Minimal 4-5 ml/kgbb

5. Kapasitas vital 20-40 ml/kgbb

6. Inspirasi paksa - 40 cmHg

7. PaO2 pada FiO2 30% 100 mmHg

8. PaCO2 30-45 mmHg

Sumbatan jalan nafas

Pasien tidak sadar sangat mudah mengalami sumbatan jalan napas akibat dari
jatuhnya lidah ke hipofaring, timbunan air liur atau sekret, bekuan darah, gigi yang lepas
dan isi lambung akibat muntah atau regurgitasi. Sumbatan bisa terjadi pada daerah:

 Supra laring : lidah jatuh ke hipofaring, air liur, bekuan darah dan isi lambung
akibat muntah atau regurgitasi
 Laring : benda asing, spasme, edema dan kelumpuhan pita suara
 Infra laring : trakeo-malasea, aspirasi benda asing, dan spasme bronkus
Usaha penanggulangannya disesuikan dengan penyebabnya.

Depresi nafas

 Depresi sentral : paling sering akibat efek sisa opiat, hipokapnea, hipotermi dan
hipoperfusi.

35
 Depresi perifer : karena efek sisa pelumpuh otot, nyeri, distensi abdomen dan
rigiditas otot.

3. Sirkulasi

 Parameter hemodinamik yang perlu diperhatikan adalah


 Tekanan darah ( hipertensi, hipotensi dan syok )
Tekanan darah normal berkisar 90/50 – 160/100

Aldrete menilai perubahan tekanan darah pasca anesthesia dengan kriteria


sebagai berikut:

 Perubahan sampai 20% dari nilai prabedah =2


 Perubahan antara 20 -50% dari nilai prabedah =1
 Perubahan melebihi 50% dari nilai prabedah =0

Sebab-sebab hipertensi pasca bedah adalah Hipertensi yang diderita prabedah,


nyeri, hipoksia dan hiperkarbia, penggunaan vasopressor dan kelebihan cairan.

Sebab-sebab hipotensi/syok pascabedah adalah perdarahan, defisit cairan,


depresi otot jantung dan dilatasi pembuluh darah yang berlebihan.

 Denyut jantung
Denyut jantung normal berkisar 55 – 120 x/menit,dengan irama yang teratur.

Sebab-sebab gangguan irama jantung :

1. Takikardia, disebabkan oleh hipoksia, hipovolemia, akibat obat


simpatomimetik, demam, dan nyeri.
2. Bradikardi,disebabkan oleh blok subarakhnoid,hipoksia (pada bayi) dan
refleks vagal.
3. Disritmia,paling sering disebabkan oleh hipoksia.
Penanggulangannya adalah : memperbaiki ventilasi dan oksigenisasi. Apabila
sangat mengganggu dapat diberikan obat anti disritmia seperti lidokain.

 Funsi ginjal dan saluran kencing

36
Perhatikan produksi urin,terutama pada pasien yang dicurigai resiko tinggi gagal
ginjal akut pasca anestesia. Pada keadaan normal produksi urin mencapai 0,5
cc/KgBB/jam,bila terjadi oligouri atau anuri.

 Fungsi saluran cerna


Kemungkinan terjadi regurgitasi atau muntah pada periode pasca
anestesia,terutama pada kasus bedah akut. Tindakan yang cepat dan tepat sangat
diperlukan untuk menguasai jalan nafas. Bila terjadi aspirasi asam lambung,
kemungkinan pasien akan mengalami ancaman gagal nafas akut.

 Aktivitas motorik
Pemulihanan aktivitas motorik pada penggunaan obat pelumpuh
otot,berhubungan erat dengan fungsi respirasi. Bila masih ada efek sisa pelumpuh
otot, pasien mengalami hipoventilasi dan aktivitas motorik yang lain juga belum
kembali normal. Untuk menilai kemampuan pasien untuk membuka mata atau
kemampuan untuk menggerakkan anggota gerak terutama pada pasien menjelang
sadar.

 Suhu tubuh
Penyulit hipotermi pasca bedah,tidak bisa dihindari terutama pada pasien
bayi/anak dan usia tua.

1. Beberapa penyebab hipotermi di kamar operasi adalah:


2. Suhu kamar operasi yang dingin
3. Penggunaan disinfektan
4. Cairan infus dan tranfusi darah.
5. Cairan pencuci rongga – rongga pada daerah operasi.
6. Kondisi pasien (bayi dan orangtua)
7. Penggunaan halotan sebagai obat anestesia.

Usaha-usaha untuk menghangatkan kembali adalah dengan cara:

1. Pada bayi,segera dimasukkan ke ruang inkubator

37
2. Pasang selimut penghangat
3. Lakukan penyinaran dengan lampu
Kemungkinan hipertermi harus diwaspadai, terutama yang menjurus pada
hipertermi malignan.

Beberapa hal yang bisa menimbulkan hipertermi adalah:

1. Septikemia terutama pada pasien yang menderita infeksi prabedah


2. Penggunaan obat-obatan,seperti : atropin,suksinil kholin dan halotan.

Usaha penanggulangannya adalah:

1. Pasien didinginkan secara konduksi menggunakan es.


2. Infus dengan cairan infus dingin.
3. Oksigenasi adekuat.
4. Antibiotika,bila diduga sepsis.
 Masalah nyeri
Trauma akibat luka operasi sudah pasti akan menimbulkan rasa nyeri,segera berikan
anelgetika. Diagnosis nyeri ditegakkan melalui pemeriksaan klinis berdasarkan
pengamatan perubahan psikologis,,perubahan fisik antara lain pola nafas, denyut nadi
dan tekanan darah,serta pemeriksaan laboratorium yaitu kadar gula darah.

Intensitas nyeri dinilai dengan “visual analog scale”(VAS) dengan rentang nilai
dari 1 – 10 yang dibagi menjadi :

1. Nyeri ringan ada pada skala 1- 3


2. Nyeri sedang ada pada skala 4-7
3. Nyeri berat ada pada skala 8-10
Pedoman penanggulangan nyeri pasca bedah mempergunakan konsep analgesia
preemptif,melalui pendekatan trimodal dengan analgesia balans, yaitu:

1. Menekan pada proses transduksi di daerah cedera, mempergunakan


preparat atau obat analgesia lokal atau analgesia non steroid atau anti
prostaglandin, misalnya : ketoprofen dan ketorolak.

38
2. Menekan pada proses transmisi, mempergunakan obat analgesia lokal
dengan teknik analgesia regional, seperti misalnya blok interkostal dan
blok epidural.
3. Menekan pada proses modulasi mempergunakan preparat narkotika
secara sistemik yang diberikan secara intermitten atau tetes kontinyu
atau diberikan secara regional melalui kateter epidural.
Pada nyeri operasi laparotomi, menimbulkan pengaruh yang serius terhadap fungsi
respirasi. Pengembangan diafraghma kearah rongga abdomen akan menurun,
menyebabkan kapasitas residu fungsional akan menurun sehingga ventilasi alveolar
berkurang. Disamping itu kemampuan batuk pasca bedah untuk mengeluarkan sputum
berkurang sehingga timbul retensi sputum. Oleh karena itu pada pasien pasca
laparotomi tinggi yang insisinya mencapai prosessus sifoideus dilakukan ventilasi
mekanik selama 1 x 24 jam,selanjutnya pada saat yang sama dipasang kateter epidural
untuk mengendalikan nyeri mempergunakan preparat opiat (morfin).

 Posisi
Posisi pasien perlu diatur diatur di tempat tidur ruang pulih.

Hal ini perlu diperhatikan untuk mencegah kemungkinan:

1. Sumbatan jalan nafas,pada pasien belum sadar.


2. Tertindihnya/terjepitnya satu bagian anggota tubuh.
3. Terjadi dislokasi sendi-sendi anggota gerak.
4. Hipotensi,pada pasien dengan analgesia regional
5. Gangguan kelancaran infus.

Posisi pasien diatur sedemikian rupa tergantung kebutuhan sehingga nyaman


dan aman bagi pasien, antara lain :

1. Posisi miring stabil pada pasien operasi tonsil.


2. Ekstensi kepala,pada pasien yang belum sadar.
3. Posisi terlentang dengan elevasi kedua tungkai dan bahu (kepala) pada
pasien blok spinal dan bedah otak.
4. Posisi elevasi tungkai saja pada pasien syok.

39
 Pemantauan pasca anestesi dan kriteria pengeluaran

Mempergunakan Skor Aldrete Pasca Anestesia di Ruang Pulih

Tabel 4. Skor Aldrete

Penilaian dilakukan :

a. Saat masuk
b. Selanjutnya dilakukan penilaian setiap saat dan dicatat setiap 5 menit sampai
tercapai nilai total 10. Nilai untuk pengiriman pasien adalah 10

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum mengirim ke ruangan adalah:

1) Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau obat penawarnya


(nalokson) secara intervena.
2) Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik, antiemetik atau
narkotik secara intramuskular.
3) Observasi minimal setelah oksigen dihentikan.
Observasi 60 menit setelah ekstubasi

40
4) Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh Dokter Spesialis Anestesiologi dan
Dokter Spesialis Bedah.

Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang pemulihan jika nilai pengkajian
post anestesi adalah >7-8. Lama tinggal di ruang pulih tergantung dari teknik anestesi
yang digunakan. Pasien dikirim ke ICU (Intensive Care Unit) apabila hemodinaik tak
stabil perlu support inotropik dan membutuhkan ventilator (mechanical respiratory
support).
kriteria discharge untuk pasien PACU

Original Criteria Modified Criteria Point


Value

Color Oxygenation

Pink SpO2 > 92% on room air 2

Pale or dusky SpO2 > 90% on oxygen 1

Cyanotic SpO2 < 90% on oxygen 0

Respiration

Can breathe deeply and cough Breathes deeply and coughs freely 2

Shallow but adequate exchange Dyspneic, shallow or limited 1


breathing

Apnea or obstruction Apnea 0

Circulation

Blood pressure within 20% of Blood pressure ± 20 mm Hg of 2


normal normal

Blood pressure within 20–50% of Blood pressure ± 20–50 mm Hg of 1


normal normal

Blood pressure deviating > 50% Blood pressure more than ± 50 0


from normal mm Hg of normal

41
Consciousness

Awake, alert, and oriented Fully awake 2

Arousable but readily drifts back to Arousable on calling 1


sleep

No response Not responsive 0

Activity

Moves all extremities Same 2

Moves two extremities Same 1

No movement Same 0

kriteria discharge untuk pasien rawat jalan

Criteria Points

Vital signs

Within 20% of preoperative baseline 2

Within 20–40% of preoperative baseline 1

> 40% of preoperative baseline 0

Activity level

Steady gait, no dizziness, at preoperative level 2

Requires assistance 1

Unable to ambulate 0

Nausea and vomiting

Minimal, treated with oral medication 2

Moderate, treated with parenteral medication 1

42
Continues after repeated medication 0

Pain: minimal or none, acceptable to patient, controlled with oral


medication

Yes 2

No 1

Surgical bleeding

Minimal: no dressing change required 2

Moderate: up to two dressing changes 1

Severe: three or more dressing changes 0

Komplikasi respirasi/pernapasan

Obstruksi jalan napas

Obstruksi jalan napas pada pasien tidak sadar adalah paling umum karena lidah
jatuh ke belakang dan menutup faring posterior. Penyebab lainnya adalah spasme laring,
edema glotis, sekresi, muntahan, atau darah dalam saluran napas, atau tekanan eksternal
pada trakea (paling sering dari hematoma leher). Obstruksi jalan napas parsial biasanya
ditandai dengan suara napas yang nyaring (sonorous respiration). Obstruksi total
menyebabkan berhentinya aliran udara, tidak adanya bunyi nafas, dan ditandai gerakan
toraks paradoksal. Perut dan dada biasanya harus naik bersama-sama selama inspirasi,
namun, dengan obstruksi jalan napas, dada turun saat perut naik setiap inspirasi (gerakan
dada paradoxic). Pasien dengan obstruksi jalan napas harus menerima oksigen tambahan,
sementara langkah-langkah perbaikan dilakukan. Kombinasi manuver jaw thrust dan
head tilt menarik lidah ke depan dan membuka jalan napas. Penyisipan alat bantu
pernanapasan oral atau nasal juga sering meredakan masalah. Saluran udara nasal
mungkin lebih baik ditoleransi daripada saluran udara oral oleh pasien selama emergence
dan dapat menurunkan kemungkinan trauma pada gigi ketika pasien menggigit.

43
Jika manuver di atas gagal, spasme laring harus dipertimbangkan. Spasme laring
biasanya ditandai dengan suara bernada tinggi tetapi bisa juga tidak, dengan penutupan
glotis lengkap. Spasme pita suara lebih mudah terjadi saat adanya trauma saluran napas,
atau instrumentasi berulang, atau stimulasi dari sekresi atau darah di saluran napas.
Manuver jaw-thrust, terutama bila dikombinasikan dengan tekanan udara positif melalui
masker (face mask) yang ketat, biasanya bisa mengatasi spasme laring. Penyisipan alat
bantu pernapasan oral atau nasal (insertion of oral or nasal airway) juga membantu.
Setiap sekret atau darah di hipofaring harus disedot untuk mencegah kekambuhan.
Spasme laring refraktor harus ditangani secara agresif dengan dosis kecil succinylcholine
(10-20 mg) dan ventilasi tekanan positif sementara dengan oksigen 100% untuk
mencegah hipoksemia berat atau tekanan negatif edema paru. Intubasi endotrakeal
sesekali mungkin diperlukan untuk membuka kembali ventilasi, cricothyrotomy atau
ventilasi jet transtracheal diindikasikan jika intubasi tidak berhasil.

Edema glotis mengikuti instrumentasi saluran napas merupakan penyebab penting


dari obstruksi jalan napas pada bayi dan anak-anak. Kortikosteroid intravena
(deksametason, 0,5 mg / kg) atau epinefrin rasemat aerosol (0,5 mL 2,25% larutan dengan
3 mL salin normal) mungkin berguna dalam kasus tersebut. Hematoma luka pasca operasi
setelah dilakukan tindakan pada kepala dan leher, tiroid, dan karotid cepat bisa menekan
jalan napas, membuka luka dengan segera dapat mengurangi kompresi trakea. Bisa tapi
jarang, kemasan kasa dapat tidak sengaja tertinggal di hipofaring setelah bedah mulut dan
dapat menyebabkan obstruksi jalan napas total segera setelah operasi atau beberapa jam
kedepan.

Hipoventilasi

Hipoventilasi, yang secara umum didefinisikan sebagai PaCO2 lebih besar dari
45 mmHg, merupakan kejadian sering setelah anestesi umum. Dalam kebanyakan kasus,
hipoventilasi adalah ringan, dan banyak kasus yang diabaikan. Hipoventilasi signifikan
biasanya jelas secara klinis hanya ketika PaCO2 lebih besar dari 60 mm Hg atau pH darah
arteri kurang dari 7,25. Tanda-tandanya bervariasi termasuk mengantuk yang berlebihan
atau berkepanjangan, obstruksi jalan napas, frekuensi pernapasan lambat, tachypnea

44
dengan pernapasan dangkal, atau sesak napas. Asidosis respiratori ringan sampai sedang
menyebabkan takikardia dan hipertensi atau iritabilitas jantung (melalui stimulasi
simpatis), tapi asidosis lebih parah menghasilkan depresi sirkulasi. Jika diduga terjadi
hipoventilasi signifikan, pengukuran gas darah arteri harus diperoleh untuk menilai
keparahan dan sebagai panduan manajemen lebih lanjut.

Hipoventilasi di PACU paling sering disebabkan oleh sisa efek depresan agen
anestesi pada pernapasan. Depresi pernafasan terinduksi opioid khas menghasilkan
tingkat pernapasan lambat, sering dengan volume tidal yang besar. Sedasi berlebihan juga
sering hadir, tetapi pasien mungkin responsif dan mampu meningkatkan pernapasan
dengan perintah. Pola bifasik atau depresi pernafasan berulang telah dilaporkan pada
semua opioid. Mekanisme yang diusulkan termasuk variasi dalam intensitas stimulasi
selama pemulihan dan tertundanya rilis opioid dari kompartemen perifer seperti otot
rangka (atau mungkin paru-paru dengan fentanil) saat pasien mulai bergerak.

Pembalikan tidak memadai (inadequate reversal), overdosis, hipotermia,


interaksi farmakologis (seperti dengan antibiotik "mycin" atau terapi magnesium),
farmakokinetik yang terganggu (karena hipotermia, volume distribusi terganggu,
disfungsi ginjal atau hati), atau faktor-faktor metabolik (seperti hipokalemia atau asidosis
pernapasan ) dapat bertanggung jawab untuk sisa kelumpuhan otot di PACU. Terlepas
dari penyebabnya, gerakan bernapas tidak terkoordinasi dengan volume tidal dangkal dan
tachypnea biasanya jelas kelihatan. Diagnosis dapat dibuat dengan perangsang saraf pada
pasien tidak sadar, pasien sadar dapat diminta untuk mengangkat kepala mereka.
Kemampuan untuk mempertahankan angkat kepalauntuk 5 detik mungkin tes yang paling
sensitif untuk menilai kecukupan reversal.

Immobilisasi karena sakit akibat insisi dan disfungsi diafragma setelah operasi
perut atau dada bagian atas, distensi abdomen, atau dressing perut ketat adalah faktor-
faktor lain yang dapat berkontribusi terhadap hipoventilasi. Produksi CO2 yang
meningkat saat menggigil, hipertermia, atau sepsis juga dapat meningkatkan PaCO2
bahkan pada pasien normal yang pulih dari anestesi umum. Harus diingat, hipoventilasi i
dan asidosis respiratory dapat terjadi ketika faktor-faktor ini terjadi pada cadangan
ventilas yang tidak memadai dan terganggu akibat penyakit paru neuromuskuler, atau
neurologis yang mendasari.

45
penatalaksanaan

Pengobatan umumnya harus diarahkan pada penyebab yang mendasarinya, tapi


harus diingat hipoventilasi selalu membutuhkan ventilasi terkendali sampai faktor
penyebab diidentifikasi dan diperbaiki. Obtundation, depresi peredaran darah, dan
asidosis berat (pH darah arteri <7.15) merupakan indikasi untuk intubasi endotrakeal
segera. Antagonisme opioid-induced depresi dengan nalokson adalah pedang bermata
dua, peningkatan mendadak dalam ventilasi alveolar biasanya juga berhubungan dengan
nyeri tiba-tiba dan debit simpatik. Yang terakhir ini dapat memicu krisis hipertensi,
edema paru, dan iskemia miokard atau infark.

Jika nalokson digunakan untuk meningkatkan respirasi, titrasi sedikit demi sedikit
(0,04 mg pada orang dewasa) dapat menghindari komplikasi dengan memungkinkan
pembalikan sebagian dari depresi pernafasan tanpa pembalikan yang signifikan dari
analgesia tersebut. Setelah nalokson, pasien harus diperhatikan kemungkinan terjadi
kekambuhan opioid-induced depresi pernafasan (renarcotization), apa lagi nalokson
memiliki durasi lebih pendek dari kebanyakan opioid. Sebagai alternatif, doxapram, 60-
100 mg, diikuti dengan 1-2 mg / menit intravena, dapat digunakan, doxapram tidak
membalikkan analgesia, tetapi dapat menyebabkan hipertensi dan takikardi. Jika paralisis
otot residu hadir, inhibitor cholinesterase tambahan dapat diberikan. Jika tetap ada
kelumpuhan sisa (residual paralysis) meskipun telah mendapat dosis penuh inhibitor
cholinesterase, dibutuhkan ventilasi terkontrol sampai pemulihan spontan terjadi.
Analgesia opioid (intravena atau intraspinal), anestesi epidural, atau blok saraf interkostal
sering bermanfaat dalam mengurangi splinting setelah prosedur tindakan pada perut
bagian atas atau dada.

Hipoksemia

Hipoksemia ringan adalah umum pada pasien pulih dari anestesi kecuali oksigen
tambahan diberikan selama emergence. Hipoksemia ringan sampai sedang (PaO2 50-60
mm Hg) pada pasien muda yang sehat dapat ditoleransi dengan baik pada awalnya, tetapi
dengan peningkatan durasi atau keparahan stimulasi simpatis sering terlihat terjadinya
asidosis progresif dan depresi sirkulasi. Sianosis yang jelas mungkin tidak terlihat jika

46
konsentrasi hemoglobin berkurang. Secara klinis, hipoksemia juga dapat diduga dari
kegelisahan, takikardia, atau iritabilitas jantung (ventrikel atau atrium). Obtundation,
bradikardia, hipotensi, dan serangan jantung adalah tanda-tanda akhir yang timbul.
Penggunaan rutin pulse oxymetri di PACU memfasilitasi deteksi dini. Pengukuran gas
darah arteri harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan sebagai panduan terapi.

Hipoksemia di PACU biasanya disebabkan oleh hipoventilasi, peningkatan


shunting intrapulmonal kanan-ke-kiri, atau keduanya. Penurunan curah jantung atau
peningkatan konsumsi oksigen (seperti saat menggigil) akan menonjolkan hipoksemia.
Difusi hipoksia adalah penyebab umum dari hipoksemia. Nitrogen oksida yang diabsorbsi
selama anestesi harus dikesresikan selama pemulihan. Senyawa ini sangat tidak larut
dalam darah sehingga berdifusi dengan cepat mengikuti gradien konsentrasi ke dalam
alveoli, akibatnya akan menurunkan tekanan parsial oksigen dan membuat pasien
mengalami hipoksemia. Ini dapat diatasi apabila pasien pulih diberikan oksigen tambahan
melalui sungkup untuk meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi.

Hipoksemia karena hipoventilasi murni juga jarang pada pasien yang menerima
oksigen tambahan kecuali hypercapnia seiring bertambahnya shunting intrapulmonal.
Peningkatan shunting intrapulmonal dari penurunan kapasitas residual fungsional (FRC)
adalah penyebab paling umum dari hipoksemia setelah anestesi umum. Penurunan
terbesar terjadi di FRC setelah operasi abdomen bagian atas dan toraks. Hilangnya
volume paru-paru sering dikaitkan dengan microatelectasis, atelektasis sering tidak
terlihat jelas pada foto toraks. Posisi semiupright membantu menjaga FRC.

Shunting intrapulmonal kanan-ke-kiri (S / T> 15%) biasanya dikaitkan dengan


temuan radiografi dilihat seperti atelektasis paru, infiltrat parenkim, atau pneumotoraks
besar. Penyebab termasuk hipoventilasi berkepanjangan intraoperatif dengan volume
tidal rendah, intubasi endobronchial yang tidak disengaja, kolaps lobar dari obstruksi
bronkus oleh sekresi atau darah, aspirasi paru, atau edema paru. Edema paru pascaoperasi
paling sering ditandai sebagai mengi (wheezing) dalam 60 menit pertama setelah operasi,
mungkin karena kegagalan ventrikel kiri (kardiogenik), sindrom pernapasan akut
(ARDS), atau teratasinya obstruksi jalan napas yang berkepanjangan secara tiba-tiba.
Berbeda dengan mengi yang berhubungan dengan edema paru, mengi karena penyakit
paru-paru obstruktif primer, yang juga sering mengakibatkan peningkatan besar dalam

47
shunting intrapulmonal, tidak terkait dengan auskultasi crackles, cairan edema pada jalan
napas, atau infiltrat pada foto toraks. Kemungkinan pneumotoraks pasca operasi harus
selalu dipertimbangkan mengikuti blok interkostal, patah tulang rusuk, pembedahan
leher, trakeostomi, nephrectomies, atau retroperitoneal atau intraabdominal prosedur
(termasuk laparoskopi), terutama ketika diafragma mungkin ditembus. Pasien dengan
blebs subpleural atau bula besar juga dapat mengembangkan pneumotoraks selama
ventilasi tekanan positif.

Setiap kondisi kronik yang menyebabkan penebalan membran alveolus misalnya


alveolitis fibrosa akan mengganggu pemindahan oksigen ke dalam darah. Pada masa
pemulihan, hal ini dapat pula terjadi sekunder akibat berkembangnya edema paru setelah
beban cairan berlebihan atau terganggunya fungsi ventrikel kiri. Ini sebaiknya diatasi
pertama-tama dengan memberikan oksigen untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen
di dalam alveoli kemudian dengan penaganan setiap penyebab yang mendasarinya.

Penatalaksanaan

Oksigen terapi dengan atau tanpa tekanan udara positif adalah dasar pengobatan.
Pemberian rutin oksigen 30-60% biasanya cukup untuk mencegah hipoksemia bahkan
dengan hipoventilasi dan hiperkapnia moderat. Pasien dengan penyakit paru atau jantung
mungkin memerlukan konsentrasi oksigen yang lebih tinggi, terapi oksigen harus dipandu
oleh pengukuran SpO2 atau gas darah arteri. Konsentrasi oksigen harus dikontrol ketat
pada pasien dengan retensi CO2 kronik untuk menghindari kegagalan pernafasan akut.

Pasien dengan hipoksemia berat atau persisten harus diberikan oksigen 100%
melalui masker nonrebreathing atau endotracheal tube sampai penyebabnya diidentifikasi
dan terapi lain diberikan. Ventilasi mekanis dikendalikan atau dibantu mungkin juga
diperlukan. Foto toraks (sebaiknya film tegak) sangat berguna dalam menilai volume
paru-paru dan ukuran jantung dan menunjukkan pneumotoraks atau infiltrat paru.

Pengobatan tambahan harus diarahkan pada penyebab yang mendasari. Sebuah pipa
toraks harus dimasukkan untuk setiap pneumotoraks yang menimbulkan gejala atau yang
lebih besar dari 15-20%. Bronkospasme harus ditangani dengan bronkodilator aerosol

48
dan mungkin aminofilin intravena. Diuretik harus diberikan untuk kelebihan cairan
sirkulasi. Fungsi jantung harus dioptimalkan. Hipoksemia Persistent meskipun oksigen
50% pada umumnya merupakan indikasi untuk ekspirasi tekanan positif akhir (PEEP)
atau CPAP. Bronkoskopi sering berguna dalam reexpanding atelektasis lobar disebabkan
oleh plak bronkial atau aspirasi partikel.

Komplikasi sirkulasi

Hipotensi

Hipotensi biasanya karena aliran balik vena ke jantung menurun, disfungsi


ventrikel kiri, atau, kurang umum, vasodilatasi arteri berlebihan. Hipovolemia adalah
penyebab paling umum dari hipotensi di PACU. Hipovolemia absolut biasanya karena
cairan pengganti intraoperatif yang tidak memadai, penyerapan cairan oleh jaringan yang
berterusan, atau drainase luka, atau perdarahan pasca operasi. Venokonstriksi selama
hipotermia dapat menutupi hipovolemia sampai suhu pasien mulai naik kembali.
Hipovolemia relatif adalah hipotensi terkait dengan anestesi spinal atau epidural,
venodilators, dan blokade adrenergik; peningkatan kapasitas vena mengurangi aliran
balik vena meskipun volume intravaskular sebelumnya normal dalam. Hipotensi yang
berhubungan dengan sepsis dan reaksi alergi biasanya merupakan hasil dari kedua
hipovolemia dan vasodilatasi. Hipotensi setelah tension pneumothorax atau tamponade
jantung adalah hasil dari pengisian jantung terganggu.

Hipovolemia merupakan penyebab tersering hipotensi setelah anestesi dan


pembedahan. Walaupun kehilangan darah intraoperatif biasanya tampak, namun
perdarahan yang terus berlangsung mungkin tidak tampak, terutama bila tidak terpasang
drainase. Kehilangan cairan dapat juga terjadi akibat kerusakan jaringan yang
menimbulkan edema, atau akibat penguapan selama pembedahan yang lama pada rongga-
rongga tubuh, misalnya abdomen atau toraks.

Disfungsi ventrikel kiri pada orang yang sebelumnya sehat jarang terjadi kecuali
dikaitkan dengan gangguan metabolik yang berat (hipoksemia, asidosis, atau sepsis).
Hipotensi karena disfungsi ventrikel terutama ditemui pada pasien dengan penyakit arteri

49
koroner atau penyakit katup jantung, dan biasanya dipicu oleh kelebihan cairan, iskemia
miokard, peningkatan akut pada afterload, atau disritmia.

Penatalaksanaan

Hipotensi ringan selama pemulihan dari anestesi biasanya mencerminkan


penurunan tonus simpatik biasanya terkait dengan tidur atau efek residual dari agen
anestesi, biasanya tidak memerlukan pengobatan. Hipotensi signifikan biasanya
didefinisikan sebagai pengurangan 20-30% dari tekanan darah di bawah tingkat dasar
pasien dan menunjukkan kekacauan serius yang memerlukan pengobatan. Pengobatan
tergantung pada kemampuan untuk menilai volume intravaskular. Peningkatan tekanan
darah setelah bolus cairan (250-500 mL kristaloid atau koloid 100-250 mL) pada
umumnya menegaskan terjadininya hipovolemia.

Pada hipotensi parah, vasopressor atau inotropic (dopamin atau epinefrin)


mungkin diperlukan untuk meningkatkan tekanan darah arteri sampai defisit volume
intravaskular setidaknya sebagian dikoreksi. Tanda-tanda disfungsi jantung harus dicari
pada pasien usia lanjut dan pasien dengan penyakit jantung. Pasien yang gagal untuk
segera merespon terhadap pengobatan wajib dilakukan pemantauan hemodinamik
invasif, manipulasi preload jantung, kontraktilitas, dan afterload. Adanya tension
pneumotoraks, yang ditandai oleh hipotensi dengan suara napas melemah unilateral,
hyperresonance, dan deviasi trakea, merupakan indikasi aspirasi pleura langsung bahkan
sebelum konfirmasi radiografi. Demikian pula, hipotensi akibat tamponade jantung,
trauma dada atau bedah toraks, sering memerlukan perikardiosentesis langsung atau
reeksplorasi.

Hipertensi

Hipertensi pascaoperasi di PACU biasanya terjadi dalam 30 menit pertama setelah


masuk. Rangsangan dari rasa sakit, intubasi endotrakeal, atau distensi kandung kemih
biasanya bertanggung jawab untuk kejadian hipertensi ini. Hipertensi pasca operasi juga
dapat mencerminkan aktivasi simpatik, yang mungkin menjadi bagian dari respon
neuroendokrin terhadap operasi atau sekunder untuk hipoksemia, hiperkapnia, atau
asidosis metabolik. Pasien dengan riwayat hipertensi sistemik cenderung untuk
mengembangkan hipertensi di PACU bahkan tanpa adanya penyebab yang dapat

50
diidentifikasikan. Cairan yang berlebihan atau hipertensi intrakranial juga bisa sesekali
hadir sebagai hipertensi pasca operasi.

Penatalaksanaan

Hipertensi ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan, tetapi penyebab


reversibel harus dicari. Hipertensi dapat memicu perdarahan pasca operasi, iskemia
miokard, gagal jantung, atau perdarahan intrakranial. Keputusan tentang derajat
hipertensi apa yang harus ditangani tergantung individual. Secara umum, peningkatan
tekanan darah lebih dari 20-30% dari baseline normal pasien atau mereka yang
berhubungan dengan efek samping (seperti iskemia miokard, gagal jantung, atau
perdarahan) harus dirawat. Peningkatan tekanan darah ringan sampai moderat dapat
diobati dengan blocker adrenergik intravena seperti labetalol, esmolol, atau propranolol;
kalsium channel blocker nicardipine, atau nitrogliserin. Nifedipine sublingual dan
hydralazine juga efektif tetapi sering menyebabkan refleks takikardia dan dikaitkan
dengan iskemia dan infark miokard. Hipertensi pada pasien dengan cadangan jantung
yang terbatas memerlukan pemantauan tekanan langsung intraarteri dan harus diberikan
infus intravena nitroprusside, nitrogliserin, nicardipine, atau fenoldopam. Titik akhir
untuk perawatan harus konsisten dengan tekanan darah normal pasien sendiri.

Aritmia

Peran gangguan pernapasan, terutama hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis,


dalam menyebabkan aritmia jantung tidak bisa terlalu ditekankan. Efek sisa dari agen
anestesi, meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatik, kelainan metabolik lainnya,
penyakit jantung atau paru yang sudah ada sebelumnya juga mempengaruhi untuk
terjadinya aritmia di PACU.

Bradikardia sering mewakili efek residual dari inhibitor cholinesterase


(neostigmine), sintetis opioid ampuh (sufentanil), atau β-adrenergik bloker (propranolol).
Takikardia mungkin merupakan efek dari agen antikolinergik (atropin), obat vagolytic
(pancuronium atau meperidin), β-agonis (albuterol), refleks takikardia (hydralazine), di
samping penyebab yang lebih umum seperti nyeri, demam, hipovolemia, dan anemia.

51
Selain itu, anestesi-induced depresi fungsi baroreseptor membuat denyut jantung tidak
dapat diandalkan sebagai monitor volume intravaskular di PACU.

Denyut prematur atrium dan ventrikel biasanya mewakili hipokalemia, hypomagnesemia,


peningkatan tonus simpatik, atau, kurang umum, iskemia miokard. Yang terakhir ini
dapat didiagnosis dengan EKG 12-lead. Tachyarrhythmias supraventricular termasuk
takikardia supraventrikuler paroksismal, flutter atrium, dan atrial fibrilasi biasanya
ditemui pada pasien dengan riwayat aritmia, dan lebih sering ditemui setelah operasi
toraks.

52
BAB III
KESIMPULAN

1. Komplikasi anestesi dapat terjadi selama proses pembiusan dan setelah pembiusan.
Teknik dari pembiusan baik regional maupun umum juga berpotensi mengakibatkan
komplikasi.
2. Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi anestesi, yaitu usia,
jenis kelamin, obesitas, faktor individual, premedikasi, teknik dan obat anestesi serta
jenis dari operasinya.
3. Komplikasi selama anestesi yaitu:
a. respirasi : obstruksi jalan nafas, respirasi abnormal, batuk, apnea, spasme
(laryngospasm, bronchospasm)
b. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, emboli, aritmia sampai cardiac arest
c. Thermic : hypothermia, hyperthermia
d. Kesadaran menurun selama operasi
4. Komplikasi Pasca Anestesi, yaitu :
a. Respirasi : atelektasis, pneumothorax, hiccup, aspirasi pneumonitis
b. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, decompensatio cordis
c. Mata : laserasi kornea, blepharospasm
d. Cairan tubuh : hipovolemia, hipervlemia
e. Neurologi : kejang, bangun lambat, trauma syaraf perifer
f. Mengigil
g. Malignant hyperthermia
h. Mimpi buruk, gaduh-gelisah
i. Muntah

53
DAFTAR PUSTAKA

Barone, C. P., Pablo, C. S., & Barone, G. W. (2004). Postanesthetic Care in The Critical
Care Unit. Journal of The American Association of Critical-Care Nurse, 24: 38-45

Gwinnutt, C.L. (2012). Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Jakarta: EGC.

Gwinnut C.L. Perawatan pascaanestesia dalam Anestesi Klinis edisi ketiga. Alih bahasa
olehSusanto D. Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta 2012, hal: 89-109

Latief SA, Suryadi K, Dachlan M.R. Tatalaksana pasca anestesi, dalam Petunjuk
PraktisAnestesiologi edisi kedua cetakan ketiga. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FakultasKedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2007, hal: 125-1283.

Miller, RD., 2009. Anesthesia, 5 th. Ed. Churchill Livingston. New York. USA

Morgan, GE., et al. 2006. Clinical Anesthesiology 4th Ed. The McGraw-Hill Companies,
Inc. USA
Ratna F.Soenarto.,2012 Buku ajar anestesiologi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

54
55

Anda mungkin juga menyukai