Anda di halaman 1dari 56

FOURNIER GANGREN

A. PENDAHULUAN
Fournier gangren pertama kali ditemukan pada tahun 1883, ketika ahli penyakit
kelamin asal Perancis Jean Alfred Fournier mendapatkan dimana 5 laki-laki muda yang
sebelumnya sehat menderita gangren dengan cepat progresif pada penis dan skrotum
tanpa sebab yang jelas. Penyakit ini yang kemudian dikenal sebagai Fournier gangren,
didefinisikan sebagai fasciitis nekrotikans pada daerah perineum perianal atau genital.
Berbeda dengan deskripsi awal Fournier, penyakit ini tidak hanya terdapat pada laki-laki
dewasa muda tapi pada usia lanjut penyebab biasanya akibat gangguan sistem imun.
Penyakit ini kebanyakan terjadi pada penderita usia 40-70 tahun dengan faktor resiko
keadaan umum kurang baik seperti gizi buruk, penggunaaan imunosupresan, alkohol dan
diabetes melitus.
Gejala yang bervariasi mulai dari nyeri pada daerah anorektal atau genital dengan
presentasi gejala minimal berupa nekrosis kulit, nekrosis yang cepat menyebar pada kulit
dan jaringan lunak, sepsis sistemik tanpa sumber infeksi yang jelas. Fournier Gangren
adalah kegawatdaruratan bedah, dan karena perbedaan dalam presentasi klinis, pasien
mungkin awalnya ditemui dalam berbagai keadaan klinis. Karena keterlambatan dalam
diagnosis dan pengobatan dari kondisi ini bisa berakibat fatal, sangat penting untuk tidak
mengabaikan gejala, bahkan jika gejala tidak spesifik. Setelah Fournier gangrene
didiagnosis, pengobatan yang tepat sangat penting. Penyakit ini merupakan kedaruratan
di bidang urologi karena mula penyakitnya (onset) berlangsung sangat mendadak, cepat
berkembang, bisa menjadi ganggren yang luas dan menyebabkan septisemia.

B. EPIDEMIOLOGI
Fournier gangren relatif jarang, namun kejadian yang tepat dari penyakit ini tidak
diketahui. Dalam review Fournier gangren pada tahun 1992, Paty dan rekan kerja terdapat
sekitar 500 kasus infeksi telah dilaporkan dalam literatur sejak 1883 laporan Fournier,
menghasilkan prevalensi 1 kasus di 7500 orang Sebuah tinjauan kasus retrospektif.
Terungkap 1.726 kasus didokumentasikan dalam literatur dari 1950-1999, dengan rata-
rata 97 kasus per tahun dilaporkan dari 1989-1998. Peneliti lain telah melaporkan sekitar

1
600 kasus Fournier gangren di dunia sejak tahun 1996, dimana Frekuensi Fournier
gangren di dunia tidak berubah secara bermakna.
Tidak ada variasi musiman yang terjadi pada Fournier gangren untuk setiap
wilayah di dunia, meskipun secara klinis terbesar berasal dari benua Afrika, seksual dan
usia juga terkait dalam insiden Fournier gangrene dengan rasio pria ke perempuan adalah
sekitar 10:1. Kejadian yang lebih rendah pada wanita dapat disebabkan oleh drainase yang
lebih baik dari daerah perineum melalui cairan vagina. Pria yang berhubungan seks
dengan sesama jenis berada pada risiko yang lebih tinggi, terutama untuk infeksi yang
disebabkan terkait dengan methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
Kebanyakan kasus yang dilaporkan terjadi pada pasien berusia 30-60 tahun. Sebuah
tinjauan literatur hanya ditemukan 56 kasus anak, dengan 66% dari mereka pada bayi
yang lebih muda dari 3 bulan.

C. ETIOLOGI

Meskipun awalnya digambarkan sebagai gangren idiopatik alat kelamin, tetapi


penyebab Fournier ganggren dapat diidentifikasikan pada 75-95% dari jumlah kasusnya.
Proses nekrosis biasanya berasal dari infeksi di anorektal, saluran urogenital, atau kulit di
sekitar alat kelamin. Penyebab ganggren Fournier pada anorektal termasuk perianal, abses
perirektal, dan iskiorektalis, fisura anal, dan perforasi usus yang terjadi karena cedera
kolorektal atau komplikasi keganasan kolorektal, penyakit radang usus, divertikulitis
kolon, atau usus buntu. Pada saluran urogenital, penyebab ganggren Fournier mencakup
infeksi di kelenjar bulbourethral, cedera uretra, cedera iatrogenik sekunder untuk
manipulasi striktur uretra, epididimitis, orkitis, atau infeksi saluran kemih bawah
(misalnya, pada pasien dengan penggunaan jangka panjang kateter uretra). Sedangkan
pada dermatologi, penyebabnya termasuk supuratif hidradenitis, ulserasi karena tekanan
skrotum, dan trauma. Ketidakmampuan untuk menjaga kebersihan perineum seperti pada
pasien lumpuh menyebabkan peningkatan risiko. Terkadang akibat trauma, post operasi
dan adanya benda asing juga dapat menyebabkan penyakit. Pada wanita seperti sepsis
aborsi, vulva atau abses pada kelenjar Bartholini, histerektomi, dan episiotomi dapat
dicurigai sebagai penyebab Fournier ganggren. Pada pria, seks pada daerah anal dapat
meningkatkan risiko infeksi perineum, baik dari trauma tumpul langsung atau dengan
penyebaran mikroba dari rektal. Sedangkan pada anak-anak yang bisa menyebabkan

2
Fournier ganggren seperti sirkumsisi, strangulasi hernia inguinalis, omphalitis, gigitan
serangga, trauma, perirektal abses dan infeksi sistemik.
Kultur dari pasien dengan Fournier gangren adalah infeksi polimikroba dengan rata-rata
4 isolat per kasus. Escherichia coli adalah aerob dominan, dan Bacteroides adalah
anaerob dominan. Mikroorganisme umum lainnya adalah sebagai berikut :

 Gram-negative
 E. coli
 Klebsiella pneumoniae
 Pseudomonas aeruginosa
 Proteus mirabilis
 Enterobacteria
 Gram-positive
 Staphylococcus aureus
 Beta Hemolytic Streptococcus Group B
 Streptococcus faecalis
 Staphylococcus epidermidis
 Anaerobes
 Peptococcus
 Fusobacterium
 Clostridium perfringens
 Mycobacteria
Mycobacterium tuberculosis
 Yeasts
Candida albican

3
D. ANATOMI GENITALIA EKSTERNA PRIA

Gambar Anatomi Genitalia Pria

E. PENIS
Penis berasal dari bahasa Latin yang artinya berarti "ekor", akar katanya sama
dengan phallus, yang memiliki arti sama adalah alat kelamin jantan. Penis merupakan
organ eksternal, karena berada di luar ruang tubuh. Pemakaian istilah "penis" praktis
selalu dalam konteks biologi atau kedokteran. Istilah "falus" (dari phallus) dipakai dalam
konteks budaya, khususnya menerangkan gambran penis yang menegang (ereksi). Lingga
(atau lingam) adalah salah satu penggambaran falus. Penis terdiri dari:
 Akar (menempel pada dinding perut)
 Badan (merupakan bagian tengah dari penis)
 Glans penis (ujung penis yang berbentuk seperti kerucut)
Lubang uretra (saluran tempat keluarnya semen dan air kemih) terdapat di ujung
glans penis. Dasar glans penis disebut korona. Pada pria yang tidak disunat (sirkumsisi),
kulit depan (preputium) membentang mulai dari korona menutupi glans penis. Badan
penis terdiri dari 3 rongga silindris (sinus) jaringan erektil. Dua rongga yang berukuran
lebih besar disebut korpus kavernosum yang terletak bersebelahan. Rongga yang ketiga
disebut korpus spongiosum, mengelilingi uretra. Jika rongga tersebut terisi darah, maka
penis menjadi lebih besar, kaku dan tegak (mengalami ereksi).

4
Gambar Struktur Internal Penis

Penis terletak menggantung didepan skrotum, bagian ujung disebut glans penis,
bagian tangah disebut korpus penis, bagian pangkal disebut radiks penis. Kulit ini
berhubungan dengan pelvis, skrotum, dan perineum. Penis adalah alat kelamin laki-laki
dan berisi saluran keluar bersama untuk urin dan cairan mani.
Penis terdiri dari tiga badan jaringan erektil karvenosus silindris yang diliputi oleh
kapsula fibrosa, yakni tunika albugenia. Di sebelah luar tunika albugenia terdapat fascia
penis profunda yang membentuk pembungkus bersama untuk corpus spongiosum penis
dan kedua korpus kavernosum penis. Di dalam korpus kavernosum penis melintas pars
spongiosa urethra. Kedua korpus kavernosum penis saling bersentuhan di bidang medial,
kecuali di sebelah dorsal yang berpisah untuk membentuk crus masing-masing yang
melekat pada ramus bersama os pubis dan os ischii di sebelah kanan dan sebelah kiri.

F. SCROTUM
Merupakan sebuah kantong kulit yang terletak di bagian bawah dinding anterior
abdomen dan berisi testis, epididymis, dan ujung bawah funiculus spermaticus. Dinding
scortum terdiri atas lapisan-lapisan:
1) Cutis. Cutis scrotum tipis, berkerut, berpigmen dan membentuk suatu kantong
tunggal.
2) Fascia superficilais, melanjutkan diri sebagai panniculus adiposus dan stratum
membranosum dinding anterior abdomen. Panniculus adiposus diganti oleh

5
otot polos yang disebut m.dartos, yang dipersarafi oleh srabut saraf simpatis
dan berfungsi untuk pengerutan kulit di atasnya.
Fascia spermaticae, terletak di bawah fascia superficialis dan berasal dari tiga
lapisan dinding anterior abdomen.
3) Fascia spermatica externa berasal dari aponeurosis m.obliquus externus
abdominis;
4) fascia cremasterica berasal dari m.obliquus internus abdominis; dan
5) fascia spermatica interna berasal dari fascia transversalis.
6) Tunika vaginalis. Terletak di dalam fascia spermatica dan meliputi permukaan
anterior, media, dan lateralis masing-masing testis.

Gambar Struktur Internal Scrotum

Vaskularisasi scrotum berasal dari arteria pudenda externa dari arteria femoralis
dan rami scrotales arteria pudenda interna, vena mengikuti arteria yang senama.

G. FAKTOR RESIKO

Setiap kondisi yang menekan imunitas seluler dapat mempengaruhi pasien untuk
terjadinya fournier gangren, seperti :

 Diabetes mellitus (sebanyak 60% dari kasus)

6
 Malnutrisi
 Alkoholisme
 Usia lanjut
 Vascular penyakit panggul
 Keganasan
 Lupus eritematosus sistemik
 Penyakit crohn
 Infeksi HIV
 Iatrogenik kekebalan (misalnya terapi jangka panjang kortikosteroid).

H. PATOFISIOLOGI
Infeksi lokal berdekatan dengan portal masuk adalah dasar terjadinya fournier
gangren. Pada akhirnya, suatu endarteritis obliterative berkembang menyebabkan kulit,
subkutan dan pembuluh darah menjadi nekrosis kemudian berlanjut iskemia lokal dan
proliferasi bakteri. Tingkat kerusakan fasia setinggi 2-3 cm. Infeksi fasia perineum (fasia
colles) dapat menyebar ke penis dan skrotum melalui fasia buck dan dartos, atau ke
dinding perut anterior melalui fasia scarpa, atau sebaliknya. Fasia colles melekat pada
perineum dan posterior diafragma urogenitalia dan lateral dari ramus pubis, sehingga
membatasi perkembangan ke arah ini. Keterlibatan testis jarang, karena arteri testis
berasal langsung dari aorta dan dengan demikian memiliki suplai darah terpisah dari
infeksi lokal.

Infeksi merupakan ketidakseimbangan antara (1) imunitas host, yang sering


terganggu oleh satu atau lebih proses sistemik penyerta, dan (2) virulensi dari
mikroorganisme penyebab. Faktor etiologi memungkinkan untuk masuknya
mikroorganisme ke dalam perineum, sistem imun yang turun memberikan lingkungan
yang baik untuk memulai infeksi, dan virulensi mikroorganisme mempromosikan
penyebaran yang cepat penyakit ini.

Virulensi mikroorganisme hasil dari produksi toksin atau enzim yang menciptakan
lingkungan yang kondusif untuk multiplikasi mikroba yang cepat, Meskipun Meleney
pada tahun 1924 menjelaskan penyebab infeksi nekrotikans hanya dari spesies
Streptococcus saja, tapi klinis selanjutnya telah menekankan sifat multiorganisme dari

7
kebanyakan kasus dari infeksi nekrotiknas, termasuk fournier gangren. Keterlibatan
polimikroba diperlukan untuk menciptakan sinergi produksi enzim yang mempromosikan
penyebaran fournier gangren. Sebagai contoh, salah satu mikroorganisme dapat
menghasilkan enzim yang diperlukan untuk menyebabkan koagulasi dari pembuluh
darah.

Trombosis pembuluh darah ini dapat mengurangi suplai darah lokal dengan
demikian suplai oksigen ke jaringan menjadi berkurang. Hipoksia jaringan yang
dihasilkan memungkinkan pertumbuhan fakultatif anaerob dan organisme mikroaerofilik.
Mikroorganisme kemudian pada gilirannya dapat menghasilkan enzim (misalnya,
lesithinase, kolagenase) yang menyebabkan kerusakan dari fasia, sehingga memicu
perluasan cepat infeksi. Nekrosis fasia adalah awal dasar dari proses penyakit, hal ini
penting untuk sebagai penanda klinis dalam keterlibatan jaringan. Secara khusus, jika
potongan fasia dapat dipisahkan dengan mudah dari jaringan sekitarnya dengan diseksi
tumpul sangat mungkin terlibat dengan proses iskemik-infkesi, oleh karena itu setiap
jaringan harus dieksisi.

I. Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Ciri fournier gangren adalah rasa sakit dan nyeri tekan di alat kelamin. Perjalanan
klinis biasanya berlangsung melalui tahap-tahap berikut:
 Gejala prodromal demam dan letargi, yang muncul dalam 2-7 hari
 Rasa sakit dan nyeri tekan yang berhubungan dengan edema pada kulit di
atasnya yang disertai pruritus
 Meningkatkan nyeri genital dengan eritema dikulit atasnya
 Gambaran duski di kulit atasnya (subkutan krepitasi)
 Gangren jelas dari bagian alat kelamin disertai drainase purulen dari luka

8
Gambar Edema dinding skrotum dan perubahan warna kulit
Pada awal perjalanan penyakit, rasa sakit tidak sesuai dengan temuan fisik.
Gangren dapat berkembang, tetapi nyeri dapat hilang akibat jaringan saraf menjadi
nekrotik. Efek sistemik dari proses ini bervariasi dari nyeri lokal tanpa disertai syok septik
dan kemerahan. Secara umum, semakin besar derajat nekrosis, yang lebih mendalam efek
sistemik. Pada Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah palpasi dari alat kelamin,
perineum dan pemeriksaan colok dubur, untuk menilai tanda-tanda penyakit dan untuk
mencari potensi masuknya portal infeksi. Dapat juga ditemukan krepitasi jaringan lunak,
nyeri lokal, ulkus yang disertai eritem, edema, sianosis, indurasi, blister, maupun gangren.
Dari inspeksi kulit tersebut dapat menentukan derajat dari bau amis yang ditimbulkan
akibat infeksi dari bakteri anaerob dan krepitasi yang disebabkan mikroorganisme
Clostridium yang dapat memproduksi gas. Gejala sistemik dapat terjadi seperti demam,
takikardia dan hipotensi.

2. Pemeriksaan penunjang
a) Tes Darah Lengkap
Untuk menilai respon kekebalan yang ditimbulkan oleh proses infeksi dan untuk
memeriksa jumlah dari sel darah merah, dan mengevaluasi potensi sepsis yang
menyebabkan trombositopenia. Profil koagulasi seperti, prothrombin time (PT),
Activated Partial Thromboplastin Time (APTT), jumlah trombosit, kadar fibrinogen
sangat membantu untuk mencari sepsis-induced koagulopati seperti pada ITP. Kultur
darah juga diperlukan untuk mengetahui jenis mikroba yang terlibat serta menilai keadaan
septisemia. Kimia darah untuk mengevaluasi gangguan elektrolit, untuk mencari bukti
dehidrasi dapat diperiksa blood urea nitrogen (BUN) kreatinin rasio, yang cenderung
terjadi sebagai akibat perlangsungan penyakit, juga kadar gula dalam darah mengevaluasi

9
intoleransi glukosa, yang mungkin disebabkan oleh diabetes atau sepsis yang disebabkan
gangguan metabolisme. Arterial blodd gas (ABG) untuk memberikan penilaian yang
lebih akurat gangguan asam dan basa. Asidosis yang dapat terjadi dengan hiperglikemia
atau hipoglikemia.
b) Foto Polos Radiologi
Foto polos radiologi harus dipertimbangkan untuk mengevaluasi keberadaan dan
luasnya penyakit fournier, terutama jika dari pemeriksaan klinis tidak dapat disimpulkan.
Gas dalam jaringan lunak dapat lebih mudah terdeteksi modalitas pencitraan
dibandingkan dengan pemeriksaan fisik. Radiografi polos harus menjadi pemeriksaan
pencitraan awal. Untuk mengetahui seberapa besar jumlah gas jaringan lunak, benda
asing, atau edema pada jaringan skrotum. Gas dalam jaringan lunak bermanifestasi
sebagai daerah hiperlusen. Namun, tidak adanya gas (hiperlusen) pada foto polos tidak
dapat menyingkirkan diagnosis.

Gambar Fournier gangren pada pria umur 32 tahun dengan riwayat nyeri testis dan infeksi kulit.
Pada foto polos radoiografi anteroposterior menunjukkan tanda radiolusen (panah) dalam
jaringan lunak yang melapisi daerah skrotum dan perineum yang dapat dicurigai sebagai
emfisema subkutan

c) CT-Scan (Computed Tomography)


Meskipun diagnosis Fournier gangren adalah paling sering dibuat secara klinis,
CT-scan dapat membantu pada pasien yang diagnosis tidak jelas atau sulit untuk
menetukan luasnya penyakit. CT-scan memiliki kekhususan yang lebih besar untuk
mengevaluasi penyakit dibandinkan foto polos radiografi, USG, atau pemeriksaan fisik.

10
CT-scan memainkan peran penting dalam diagnosis serta evaluasi penyakit, jalur anatomi
penyebaran gangren, akumulasi cairan, abses, emfisema subkutan dan perluasannya yang
paling baik dinilai dengan CT-scan.
CT-scan juga tidak hanya membantu mengevaluasi struktur perineum yang dapat
terlibat oleh fournier gangren, tetapi membantu menilai retroperitoneum yang dapat
menyebar pada penyakit ini. CT-scan dapat mengidentifikasi udara dalam jaringan lunak
sebelum krepitasi terdeteksi. Hingga 90% dari pasien dengan fournier gangren telah
dilaporkan memiliki emfisema subkutan, sehingga setidaknya 10% tidak menunjukkan
pada temuan ini.
CT-scan dapat membantu mengevaluasi baik bagian superfisial dan profunda dari
fasia. Dalam banyak kasus, pemeriksaan fisik tidak akurat membantu memprediksi
tingkat nekrosis ditemukan di operasi. CT-scan juga penting dalam membedakan fournier
gangren dari yang lain kurang agresif seperti jaringan lunak edema atau selulitis, yang
mungkin tampak mirip dengan fournier gangren pada pemeriksaan fisik. Selain itu, CT-
scan sangat bermanfaat dalam post treatment yang merupakan tindak lanjut dari terapi
respon seperti pada pemberian antibiotik spektrum luas dan debridemen yang penting
untuk keberhasilan.

Gambar Fournier gangren pada seorang pria 61 tahun dengan pembengkakan skrotum, nyeri,
dan kemerahan yang bersama dengan nyeri perut. CT-scan kontrast yang diperbesar
menunjukkan skrotum yang mengandung fokus gas (Panah gambar a) Pada daerah sisi kanan
dan kiri terjadi perluasan pada daerah perineum dan jaringan subkutan dari daerah medial
kanan di region glutealis melalui fasia Colles (panah gambar b).

11
d) USG (Ultrasonografi)

Gambaran USG pada fournier gangren dinding skrotum menebal mengandung


fokus hiperekoik yang menunjukkan mewakili gas dalam dinding skrotum. Bukti gas
dalam skrotum dinding dapat dilihat sebelum pemeriksaan fisik yang ditemukan adanya
krepitasi. Biasanya juga terdapat hidrokel unilateral atau bilateral. Testis dan epididimis
sering normal dalam ukuran dan ekotekstur karena vaskularisasi yang berbeda. Jika
terdapat keterlibatan testis, ada kemungkinan sumber infeksi berasal dari intra abdominal
atau retroperitoneal.
USG juga berguna dalam membedakan fournier gangren dari hernia inguinal
skrotalis. Dalam fase lanjut, gas dapat diamati dalam lumen usus, jauh dari dinding
skrotum. USG lebih unggul dalam foto polos radiografi, karena isi skrotum dapat
diperiksa bersama dengan aliran darah Doppler. Jaringan lunak udara juga lebih jelas di
USG daripada di radiografi, tetapi CT lebih unggul baik di USG dan radiografi
menunjukkan fournier gangren baik melaui perluasannya dan penyakit yang
mendasarinya.

Gambar Fournier gangren pada seorang pria umut 71tahun dengan demam. USG menunjukkan
daerah hyperechoic (panah melengkung) dengan bayangan ang kabur yang mewakili udara di
dinding skrotum dan perineum. Terdapat juga akumulasi cairan (tanda panah) di jaringan
subkutan.
e) Histopatologis

Biopsi insisional pada saat debridemen memungkinkan jenis patologis fournier


gangren yaitu nekrosis infeksi dari selulitis. Yang pertama akan mendapat manfaat dari

12
debridement eksisional, sedangkan yang kedua jarang membutuhkan bedah eksisi.
Sampel biopsi harus diambil mencakup kulit dan fasia superfisialis dan profunda. Sampel
ini dapat dikirim untuk frozen section untuk menilai nekrosis fasia. Keterlibatan fasia
muncul sebagai pembengkakan juga akibat nekrosis pada analisis mikroskopis.

Gambar Temuan Histologis (mikroskop optic dengan eosin-hematoxilin) necrotizing fasciitis


dari dinding skrotum. Tampak jaringan granulasi. Panah menunjuk ke absen epidermis,
menunjukkan ulserasi. Bagian kulit skrotum hiper-dan parakeratotic memberi jalan untuk
ulserasi luas.
J. PENATALAKSAAN
Prinsip terapi pada gangren Fournier ada terapi suportif memperbaiki keadaan
umum pasien, pemberian antibiotik, dan debridemen. Pengobatan Fournier gangren
melibatkan beberapa modalitas. Pembedahan diperlukan untuk diagnosis definitif dan
eksisi jaringan nekrotik. Pada pasien dengan gejala sistemik terjadi hipoperfusi atau
kegagalan organ, resusitasi agresif untuk memulihkan perfusi organ normal harus lebih
diutamakan daripada prosedur diagnostik. Dengan demikian, pengobatan pasien dengan
gangren Fournier meliputi resusitasi agresif dalam mengantisipasi operasi. Menyediakan
manajemen jalan nafas jika ada indikasi, berikan oksigen tambahan, dan membangun
intravena (IV) akses dan pemantauan jantung terus menerus. Pengganti kristaloid
diindikasikan untuk pasien yang mengalami dehidrasi atau menampilkan tanda-tanda
syok. Awal, antibiotik spektrum luas yang ditunjukkan. Tetanus profilaksis diindikasikan
jika terjadi ulkus pada jaringan lunak.Selain itu, kondisi komorbiditas yang mendasari
(misalnya, diabetes, alkoholisme) harus diatasi. Kondisi seperti itu sering terjadi pada
pasien-pasien dan berpotensi sebagai faktor predisposisi Fournier ganggren. Kegagalan

13
untuk memadai mengelola kondisi komorbiditas dapat mengancam keberhasilan bahkan
intervensi yang paling tepat untuk menyelesaikan Penyakit menular.
 Antibiotik
Pengobatan Fournier gangren melibatkan antibiotik spektrum luas terapi
antibiotik. Spektrum harus mencakup staphylococci, streptokokus, Enterobacteriaceae
organisme, dan anaerob. Dimana secara empiris ciprofloksasin dan klindamisin dapat
digunakan. Klindamisin sangat berguna dalam pengobatan nekrosis jaringan lunak infeksi
karena spektrum gram positif dan anaerob. Klindamisin telah terbukti untuk
menghasilkan tingkat respons unggul daripada penisilin atau eritromisin. Pilihan lain
yang mungkin termasuk ampisilin / sulbaktam, tikarsilin / klavulanat, atau piperasilin /
Tazobactam dalam bentuk kombinasi dengan aminoglikosida dan metronidazole atau
Klindamisin. Vankomisin dapat digunakan untuk menyediakan cakupan untuk
methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Dalam kasus yang berhubungan
dengan sindrom sepsis, terapi dengan imunoglobulin intravena (IVIG), yang diduga untuk
menetralisir superantigens (misalnya, streptotoxins A dan B) diyakini mengurangi respon
sitokin berlebihan, telah terbukti menjadi pembantu yang baik untuk antibiotik dan bedah
debridemen. Jika pada tes kalium hidroksida (KOH) menunjukkan adanya jamur,
tambahkan agen empirik anti jamur seperti amfoterisin B atau caspofungin.
 Debridemen
Tujuan debridemen adalah mengangkat seluruh jaringan nekrosis (devitalized
tissue) sebelum dilakukan debridement sebaiknya dicari sumber infeksi dari uretra atau
dari kolorektal dengan melakukan uretroskoi atau proktoskopi. Kadang-kadang perlu
dilakukan diversi urine melalui sistotomi atau diversi feces dengan melakukan kolostomi.
Setelah nektrotomi, dilakukan perwatan terbuka dan kalau perlu pemasangan pipa
drainase. Setelah 12 dan 24 jam lagi dilakukan evaluasi untuk menilai demarkasi jaringan
nekrosis dan kalau perlu dilakukan operasi ulang. Debridement yang kurang sempurna
seringkali membutuhkan operasi ulang bahkan dilaporkan dapat terjadi dua atau empat
kali harus masuk kamar operasi. Pemberian oksigen hiperbarik masih kontroversi. Terapi
ini bermanfaat pada infeksi kuman anrobik. Perawatan luka pasca operasi dengan
hidroterapi dengan kombinasi rendam duduk hangat, dan pemberian hydrogen peroksida.
Pemberian madu yang belum diproses bergun dalam membersihkan jaringan nekrosis
secara enzimatik mneguangi bau, mampu menstrilkan luka, menyerap air dari luk dan

14
memperbaiki oksigenasi jaringan dan meningkatkan epiteliisasi. Angka mortalis gangren
Founier berkisar ari 7-75% dengan rerata 20. Berbagai faktor yang mempengaruhi
terjadinya mortalitas adalah usia lanjut , penyakit yang sudah menjalar uar, syok atau
sepsis, kultur darah menunjukan bakteriemia, dan uremia.

Gambar
Ektensif debridemen dari Fournier gangren

 Oksigen Hiperbarik

Oksigen hiperbarik (HBO) telah digunakan sebagai tambahan dalam pengobatan


gangren Fournier. Protokol yang biasa digunakan antara lain : ismultiple sesi sebesar
2,5% 90min dan atmfor 100 oksigen inhalasi setiap 20 menit. HBO meningkatkan kadar
tekanan oksigen dalam jaringan dan memiliki efek menguntungkan berbagai
penyembuhan luka. Oksigen radikal bebas adalah jaringan dari hipoksik yang dibebaskan,
yang secara langsung beracun terhadap bakteri anaerob. Aktifitas fibroblast meningkat
dengan angiogenesis berikutnya mengarah ke penyembuhan luka dipercepat. Ini
merupakan kontraindikasi untuk ruang vakum udara di dalam tubuh yang dapat
menyebabkan kerusakan karena ekspansi setelah kembali tekanan atmosfer normal,
seperti sinusitis, otitis media, asma, dan penyakit paru bulosa. Pada pasien diabetes,
seperti hipoglikemia dapat diperburuk oleh HBO. Beberapa penulis mempertanyakan
efektivitas empiris HBO, menunjukkan bahwa pasien harus dipilih hanya jika ada
permukaan tubuh daerah besar keterlibatan yang siap untuk transplantasi kulit dalam
menanggapi reaksi infeksi bakteri anaerob.

 Rekonstruksi Bedah
Tergantung pada tingkat cacat kulit, pilihan dalam rekonstruksi menjahit,
ketebalan kulit perpecahan pencangkokan, atau vaskularisasi miomukotaneus pedikel.

15
Cacat kecil dapat ditutup oleh penjahitan primer, terutama dikulit yang lentur seperti pada
skrotum. Kecacatan besar biasa paling sering timbul saat pencangkokan kulit. Kulit kaki
yang sehat, pantat, dan lengan dapat digunakan untuk pencangkokan. Cacat pada kulit
batang penis harus terhindar dari pencangkokkan untuk mencegah pembentukan bekas
luka fibrosis karena berhubungan dengan masalah ereksi. Pada cacat yang luas, terutama
di mana tendon yang terkena vaskularisasi miokutaneus harus digunakan. Pada daerah
medial paha misalnya myocutaneous gracilis flap pedikel dapat memberikan hasil terbaik
karena dapat menutup kedekatan dengan mobilitas dan perineum yang baik. Flaps lain
yang menggunakan arteri epigastrika inferior juga dapat dipertimbangkan. Pada pria
dengan penyakit striktur uretra yang mendasarinya, uretroplasti mungkin sangat sulit atau
tidak mungkin karena kehilangan kulit penoskrotal yang cukup luas dan bahkan dari
uretra sendiri. Mukosa bukal dapat digunakan untuk merekonstruksi uretra, tetapi dalam
beberapa kasus dengan jaringan yang luas tidaklah mendapatkan hasil memuaskan,
uretrostomi perineum permanen mungkin solusi terbaik.

Gambar
Transplantasi kulit pada Fournier ganggrene5

K. KOMPLIKASI
Sepsis mungkin karena debridemen yang tidak lengkap, infeksi sistemik, atau
respon yang kurang baik. Banyak pasien yang gagal karea kekebalan organ yang
merupakan konsekuensi paling ditakuti sepsis yang belum terselesaikan dan biasanya
melibatkan paru, kardiovaskular, sistem ginjal, koagulopati, kolesistitis acalculous, dan
cedera serebrovaskular juga telah. Miositis dan mionekrosis dari paha atas dapat terjadi

16
sebagai akibat sepsis yang berasal dari kantong testis subkutan saat dilakukan
debridemen. Komplikasi akhir meliputi5&15:
 Chordee, ereksi yang menyakitkan, dan disfungsi ereksi
 Infertilitas akibat memindahkan testis di paha kantong (suhu tinggi)
 Karsinoma sel skuamosa pada jaringan parut
 Imobilisasi dengan kontraktur yang lama
 Perubahan sekunder pada perubahan tubuh karena gangguan depresi dismorfik
 Lymphodema dari kaki sekunder untuk debridement panggul yang selanjutnya
thrombophlebitis.

L. PROGNOSIS

Kecacatan pada skrotum, perineum, penis, dan kulit di perut memerlukan


prosedur rekonstruksi. Prognosis untuk pasien setelah rekonstruksi Fournier gangren
biasanya baik. Skrotum memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan regenerasi
setelah infeksi dan terjadi nekrosis Namun demikian, sekitar 50% dari laki-laki dengan
keterlibatan penis mengalami sakit dengan ereksi, sering berhubungan dengan jaringan
parut pada daerah genital. Jika jaringan lunak yang luas hilang, mungkin terjadi gangguan
pada drainase limfatik, sehingga terjadi, edema dan selulitis. Fournier Gangrene Severity
Index (FGSI) mendasar pada penyimpangan dari rentang referensi parameter klinis
berikut1&16:
 Suhu
 Denyut jantung
 Pernapasan Tingkat
 Darah putih jumlah sel
 Hematokrit
 Serum natrium
 Serum kalium
 Serum kreatinin
 Serum bikarbonat

17
Resiko kematian berbanding lurus dengan usia pasien dan tingkat toksisitas
sistemik pada saat masuk, serta keterlibatan jaringan lokal. Prognosis yang lebih baik ada
pada usia yang lebih muda dari 60 tahun, penyakit klinis lokal, tidak adanya toksisitas
sistemik (misalnya, FGSI rendah), dan kultur darah steril. Pada penyakit diabetes dan
infeksi HIV tidak terkait dengan kematian yang lebih tinggi. Dalam beberapa penelitian,
Fournier gangren yang berasal dari penyakit anorektal membawa prognosis yang lebih
buruk daripada kasus yang disebabkan oleh faktor-faktor lain. Tingkat kematian
dilaporkan untuk Fournier gangren bervariasi mulai setinggi 75%. Namun, dalam 600
kasus Fournier gangren ditemukan 100 kematian terjadi untuk tingkat kematian 16,5%.
Dalam seri yang mencakup lebih dari 20 pasien, angka kematian berkisar 4-54%, dengan
sebagian besar studi melaporkan tingkat kematian dari 20-30%. Faktor yang terkait
dengan kematian yang tinggi termasuk sumber anorektal, usia lanjut, penyakit yang luas
(melibatkan dinding perut atau paha), syokatau sepsis pada presentasi, gagal ginjal, dan
disfungsi hati. Kematian biasanya terjadi akibat penyakit sistemik seperti sepsis (biasanya
gram negatif), koagulopati, gagal ginjal akut, diabetik ketoasidosis, atau kegagalan organ
multipel. Mortalitas pada tetanus yang terkait dengan Fournier gangren telah dilaporkan
dalam literatur.

M. PROGNOSIS
Kecacatan pada skrotum, perineum, penis, dan kulit di perut memerlukan
prosedur rekonstruksi. Prognosis untuk pasien setelah rekonstruksi Fournier gangren
biasanya baik. Skrotum memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan regenerasi
setelah infeksi dan terjadi nekrosis. Namun demikian, sekitar 50% dari laki-laki dengan
keterlibatan penis mengalami sakit dengan ereksi, sering berhubungan dengan jaringan
parut pada daerah genital. Jika jaringan lunak yang luas hilang, mungkin terjadi gangguan
pada drainase limfatik, sehingga terjadi edema dan selulitis.
Fournier Gangrene Severity Index (FGSI) mendasar pada penyimpangan dari
rentang referensi parameter klinis berikut: suhu, denyut jantung, pernapasan tingkat,
darah putih jumlah sel, hematokrit, serum natrium, serum kalium, serum kreatinin, serum
bikarbonat.
Resiko kematian berbanding lurus dengan usia pasien dan tingkat toksisitas
sistemik pada saat masuk, serta keterlibatan jaringan lokal. Prognosis yang lebih baik ada
pada usia yang lebih muda dari 60 tahun, penyakit klinis lokal, tidak adanya toksisitas

18
sistemik (misalnya, FGSI rendah), dan kultur darah steril. Pada penyakit diabetes dan
infeksi HIV tidak terkait dengan kematian yang lebih tinggi. Dalam beberapa penelitian,
Fournier gangren yang berasal dari penyakit anorektal membawa prognosis yang lebih
buruk daripada kasus yang disebabkan oleh faktor-faktor lain.
Tingkat kematian dilaporkan untuk Fournier gangren bervariasi mulai setinggi
75%. Namun, dalam 600 kasus Fournier gangren ditemukan 100 kematian terjadi untuk
tingkat kematian 16,5%. Dalam seri yang mencakup lebih dari 20 pasien, angka kematian
berkisar 4-54%, dengan sebagian besar studi melaporkan tingkat kematian dari 20-30%.
Faktor yang terkait dengan kematian yang tinggi termasuk sumber anorektal, usia lanjut,
penyakit yang luas (melibatkan dinding perut atau paha), syok atau sepsis pada presentasi,
gagal ginjal, dan disfungsi hati. Kematian biasanya terjadi akibat penyakit sistemik
seperti sepsis (biasanya gram negatif), koagulopati, gagal ginjal akut, diabetik
ketoasidosis, atau kegagalan organ multipel.

19
SEPSIS

A. DEFINISI DAN KLASIFIKASI

Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam nyawa yang disebabkan oleh
respon host yang tidak teratur terhadap infeksi. Sepsis dan syok sepsis adalah masalah
kesehatan besar yang terjadi pada jutaan orang di dunia setiap tahunnya. Identifikasi dini
dan penanganan yang tepat dapat meningkatkan hasil yang baik. Syok sepsis adalah
bagian dari sepsis dengan disfungsi sirkular atau selular atau metabolik yang terkait
dengan resiko kematian yang tinggi.

Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan
biakan positif terhadap organisme dan tempat tersebut). Biakan darah tidak harus positif.
Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri,
tidak harus terdapat bakterimia. Bakterimia adalah keberadaan bakteri hidup dalam
komponen caira darah. Bakterimia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah
jejas pada permukaan mukosa, primer (tanpa focus infeksi teridentifikasi) atau seringkali
sekunder terhadap focus infeksi intravaskular atau ekstravaskular.

Tabel 2.1 Derajat Sepsis (Sumber: Chen et. al, 2009)

Sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS : systemic inflammatory response


syndrome) Respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih keadaan
berikut :
- Suhu > 380C atau < 360C
- Frekuensi Jantung > 90x/menit
- Frekuensi Napas > 20x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
- Lekosit darah > 12.000/mm3, < 4.000/mm3 atau batang > 10%
Sepsis
Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS.
Sepsis berat
Sepsis yang disertai MODS/MOF (Multi Organ Dysfunction Syndrome/Multi Organ
Failure), hipotensi oligouri bahkan anuri.

Sepsis dengan hipotensi

20
Sepsis dengan hipotensi (tek. Sistolik < 90 mmHg atau penurunan tek. Sistolik > 40
mmHg).

Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang
diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai
hipoperfusi jaringan

Hal yang terpenting adalah dengan memasukkan petanda biomolekular yaitu


procalcitonin (PCT) dan C-recative protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosa
sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan
Predisposition, Insult Infection, Response and Organ Dysfunction (PIRO) untuk
menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan
stratifikasi gejala dan risiko yang individual.

Gambar 1. Predisposisi, Infeksi, Respon, Disfungsi Organ

Tabel 2.2 Pre Predisposisi, Infeksi, Respon, Disfungsi Organ

21
B. ETIOLOGI

Sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70% (Pseudomonas
auriginosa, Klebsiella, Enterobacter, E-coli, Proteus, Neisseria). Infeksi bakteri gram
positif 20 – 40% (Staphylococcus aureus, Streptococcus, Pneumococcus), infeksi jamur
dan virus 2 – 3% (Dengue Haemorrhagic Fever, Herpes Virus), Protozoa (Malaria
Falciparum). Insidensnya meningkat, antara lain karena :
a. pemberian antibiotik yang berlebihan;
b. meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif;
c. meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat invasif seperti kateter
intravaskuler;
d. meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat hidup lama;
e. meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme yang resisten terhadap
antibiotik.

Tabel 2.3 Penyebab umum sepsis pada orang sehat

Sumber Mikroorganisme
Kulit Staphylococcus aureus dan gram positif
bentuk cocci lainnya
Saluran kemih Eschericia coli dan gram negatif bentuk
batang lainnya

22
Saluran pernapasan Streptococcus pneumonia
Usus dan kantung empedu Enterococcus faecalis, E.coli dan gram
negatif bentuk batang lainnya, Bacteriodes
fragilis
Organ pelvis Neisseria gonorrhea, anaerob
Tabel 2.4 Penyebab umum sepsis pada pasien yang dirawat

Masalah Klinis Mikroorganisme


Pemasangan kateter Eschericia coli, Klebsiella spp., Proterus
spp., Serratia spp., Pseudomonas spp.
Penggunaan IV catheter Staphylococcus aureus, Staph.
Epidermidis, Klebsiella spp.,
Pseudomonas spp., Candida albicans
Setelah operasi :
 Wound infection Staph. Aureus, E. coli, anaerob
(tergantung lokasinya
 Deep infection Tergantung lokasi anatominya
Luka bakar Coccus gram-positif, Pseudomonas spp.,
Candida albicans
Pasien immunocompromised Semua mikroorganisme diatas

C. EPIDEMIOLOGI

Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram
negatif di AS yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden ini
meningkat antara 300.000-500.000 kasus pertahun (Bone 1987, Root 1991).
Syok akibat sepsis terjadi karena adanya respon sistemik pada infeksi yang serius.
Walaupun insiden syok sepsis ini tak diketahui namun dalam beberapa tahun terakhir hal
ini cukup tinggi. Hal ini disebabkan cukup banyak faktor predisposisi untuk terjadinya
sepsis antara lain diabetes melitus, sirosis hati, alkoholisme, leukemia, limfoma,
keganasan, obat sitotoksis dan imunosupresan, nutrisi parenteral dan sonde, infeksi
traktus urinarius dan gastrointestinal. Terjadinya syok septik akan meningkat jika dokter
melakukan tindakan operasi yang lebih agresif, organisme yang ada semakin resisten, dan

23
penurunan daya tahan tubuh akibat penyakit dan penggunaan obat imunosupresan. Di AS
syok sepsis adalah penyebab kematian yang sering di ruang ICU.

D. PATOFISIOLOGI

Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada
bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam
plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh
hepatosit, diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam
sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein,
kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP
sehingga mempercepat ikatan dengan CD14.1,2 Kompleks CD14-LPS menyebabkan
transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK),
protein kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA
sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel
melalui toll like receptor-2 (TLR2).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid
(LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif
menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan
komponen dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul
MHC kelas II dari antigen presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian
akan mengaktivasi sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi
yang berlebih.

Peran Sitokin pada Sepsis


Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap
infeksi dan invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi
mediator inflamasi yang berlebih, yang mencakup sitokin yang bekerja lokal
maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan
sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, pelepasan
proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain mediator
proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin antiinflamasi,

24
reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai
hormon (Widodo, 2004).
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang
terpenting adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan
IL-10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endotel
menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF, penurunan regulasi
trombomodulin sehingga meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi molekul
adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic growth factor, uPA,
PAI-1, PGE2 dan PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1, IL-6, IL-
8 yang merupakan mediator primer akan merangsang pelepasan mediator
sekunder seperti prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet
Activating Factor (PAF), peptida vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin,
intestinal vasoaktif peptida seperti histamin dan serotonin di samping zat-zat lain
yang dilepaskan yang berasal dari sistem komplemen (Nelwan, 2004).
Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi,
tetapi pada sepsis berat pergeseran ke keadaan immunosupresi antiinflamasi .

Peran Komplemen pada Sepsis


Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi,
aktivasi respons imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk
inflamasi dari sirkulasi. Pada sepsis, aktivasi komplemen terjadi terutama melalui
jalur alternatif, selain jalur klasik. Potongan fragmen pendek dari komplemen
yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan berikatan pada reseptor di sel
menimbulkan respons inflamasi berupa: kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi
pembentukan radikal oksigen, ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan
permeabilitas kapiler dan ekspresi faktor jaringan (Widodo, 2004).

Peran NO pada Sepsis


NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus
vaskular. Pada sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan
gangguan hemodinamik berupa hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan
reaksi inflamasi karena dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi,

25
ekspresi molekul adhesi dan menghambat agregasi trombosit. Peningkatan
sintesis NO pada sepsis berkaitan dengan renjatan septik yang tidak responsif
dengan vasopresor (Widodo, 2004).

Peran Netrofil pada Sepsis


Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil
dengan pengaruh mediator kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil
dalam sirkulasi umumnya meningkat, walaupun pada sepsis berat jumlahnya
dapat menurun. (Widodo, 2004). Netrofil seperti pedang bermata dua pada sepsis.
Walaupun netrofil penting dalam mengeradikasi kuman, namun pelepasan
berlebihan oksidan dan protease oleh netrofil dipercaya bertanggungjawab
terhadap kerusakan organ. (Hotckin, 2003). Terdapat 2 studi klinis yang
menyatakan bahwa menghambat fungsi netrofil untuk mencegah komplikasi
sepsis tidak efektif, dan terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil
pada pasien dengan sepsis juga tidak efektif (Hotckin, 2003).
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini
menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena
perifer.
Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan
kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer meyebabkan terjadinya
hipovolemia relatif, sedangkan pe ningkatan permeabilitas kapiler
menyebabkan kehilangan cairan intravaskular ke interstisial yang terlihat sebagai
edema.
Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh
penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk
menggunakan oksigen karena toksin kuman (anonim, 2008).
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan
gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ
multiple (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat
seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai
akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain

26
yang ikut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial
depressant substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri,
gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Khei Chen,
2006).
E. MANIFESTASI KLINIS
SEPSIS

 Suhu tubuh >38.3oC atau <36oC


 Nadi >90x/menit
 Laju pernafasan >20x/menit

SEPSIS BERAT

 Penurunan urine output secara signifikan


 Perubahan status kesadaran
 Penurunan jumlah trombosit
 Kesulitan bernafas
 Denyut jantung abnormal
 Nyeri perut

SYOK SEPSIS

 Tanda-tanda sepsis berat dengan tekanan darah yang sangat rendah


dan tidak merespon cairan yang diberikan

a. Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan
kering.
b. Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi
keras dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada
palpasi, dan ekstremitas hangat.
c. Disertai tanda-tanda sepsis.
d. Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari,
perubahan status mental.

Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak
toksik, takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai
terjadinya sepsis (tersangka sepsis).

27
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan
tersangka sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau
lekopenia, trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP
(+), LED meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-
tanda syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan
produksi urin, dan penurunan tekanan darah).
Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan
syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5
cc/kgBB/jam, tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi).
Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal,
mempunyai gejala takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan
tekanan nadi yang melebar.

F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis

 Menentukan apakah infeksi didapat dari komunitas atau nosocomial atau apakah
pasien imunokompromais
 Demam
 Sesak napas
 Disorientasi, bingung, perubahan status mental
 Perdarahan
 Mual, muntah, diare

Pemeriksaan Fisik

 Hipotensi
 Sianosis
 Nekrosis iskemik jaringan perifer, umumnya jari
 Selulitis, pustule, bula atau lesi hemoragik pada kulit
 Ikterik
 Pemeriksaan fisik lengkap untuk mencari sumber infeksi

28
Pemeriksaan penunjang

 Darah perifer lengkap dengan hitung diferensial


 Urinalisis
 Gambaran koagulasi
 Glukosa darah
 Ureum, kreatinin
 Tes fungsi hati
 Kadar asam laktat
 Analisis gas darah
 Biakan darah, (minimal 2 set dalam 24 jam), seputum, urin, dan tempat lain yang
dicurigai terinfeksi.
 Pemeriksaan radiologi (X-ray, CT Scan, USG, MRI) jika lokasi infeksi tidak
begitu jelas

G. TATALAKSANA

EGDT (early goal directed therapy) merupakan upaya untuk menentukan titik
akhir resusitasi untuk membantu menyadarkan pasien pada syok sepstik. 2 yang penting
dari EGDT termasuk :

1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg

2) Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg

3) Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%

4) Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik,


dan oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik).

Nonfarmakologis

 Stabilisasi pasien (pemulihan airway, breathing, circulation)


 Perawatan ICU

29
 Dialisis
 Nutrisi, pemantauan glukosa hingga < 150 mg/dL setiap 1 – 2 jam
hingga 4 hari
 Transfusi darah PRC apabila Hb < 7gr/dL, TC apabila trombosit <
5000 tanpa perdarahan atau 5000 – 30000dengan perdarahan
 Menghilangkan focus infeksi (penyaluran eksudat purulent,
nekrotomi, drainase abses)

Farmakologis

 Cairan kristaloid atau koloid


 Obat – obatan vasoaktif untuk kondisi syok: dopamine (> 8
mcg/kg/menit), norepinefrin (0,03 – 1,5 mcg/kg/menit), epinefrin
(0,1 – 0,5 mcg /kg/menit) atau fenilefrin (0,5 – 8 mcg/kg/menit)
 Dalam 6 jam pertama, target resusitasi adalah: tekanan vena sentral
8 -12 mmHg, MAP ≥ 65 mmHg, urin output ≥ 0,5 ml/kg/jam,
saturasi oksigen vena sentral atau campuran berturut – turut ≥ 70%
atau ≥ 65%. Target tekanan vena sentral pada penggunaan ventilasi
mekanik atau penurunan compliance ventrikel adalah12 – 15 mmHg.
 Sodium bikarbonat bila pH < 7,2 atau bikarbonat serum < 9 meq/L
 Antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton pada sepsis
berat untuk mencegah stress ulcer
 Kortikosteroid dosis rendah (hidrokortison 200 – 300 mg/hari
terbagi dalam 3 – 4 dosis selama 7 hari) bila terbukti insufisiensi
adrenal
 Bila terdapat KID(Koagulasi Intravaskular Diseminata) dan
didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan heparin
dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15 – 25 IU/kgBB/jam
dengan infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai
target aPTT 1,5 – 2 kali control atau antikoagulan lainnya.
 Antimikroba empiric diberikan sesuai dengan tempat infeksi,
dengan kuman penyabab, profil antimikroba (farmakokinetik dan
farmako dinamik), keadaan fungsi ginjal dan fungsi hati.

30
Antimikroba definitive diberikan bila hasil kultur mikroorganisme
telah diketahui, antimikroba dapat diberikan sesuai hasil uji
kepekaan mikroorganisme. Antimikroba yang dipakai adalah yang
dianggap menimbulkan masalah yang lebih banyak. Antimikroba
yang dianggap tidak menyebabkan perburukan adalah : karbapenem,
seftriakson, sefepim, glikopeptida, aminoglikosida, kuinolon.

Berikut adalah pilihan antimikroba sesuai sumber infeksi :


- Pneumonia komuniti : 2 regimen obat, yaitu sefalosporin
generasi 3 (seftriakson 1x1 gr selama 2 minggu) atau keempat
(sefepim 2x2 gr selama 2 minggu) dan aminoglikosida
(gentamisin iv atau im 2mg/kgBB dilanjutkan dengan 3 x 1,7
mg/kgBB atau 1 x 5 mg/kgBB selama 14 – 21 hari atau
amikacin 1 x 15 mg/kgBB atau tobramisin 1 x 1,7 mg/kgBB)
- Pneumonia nosocomial : Sefepim (2x2 gr selama 2 minggu)
atau imipenem – silastatin (4x0,5 gr) dan aminoglikosida
- Infeksi abdomen : imipenem – silastatin (4x0,5 gr) atau
piperasilin – tazobaktam (4 – 6x3,375gr) dan aminoglikosida
- Infeksi abdomen nosocomial : imipenem – silastatin (4x0,5 gr)
dan aminoglikosida atau piperasilin – tazobaktam (4 – 6x3,375
g) dan amfoterisin B (dosis inisial 0,25 – 0,3 mg/kgBB/hari,
tingkatkan perlahan – lahan hingga mencapai dosis biasa 0,5 –
1 mg/kgBB atau hingga 1,5 mg/kgBB, pada keadaan
mengancam nyawa dosis inisial dapa langsung diberikan 0,6
– 0,7mg/kgBB).
- Kulit/jaringan lunak nosocomial : vankomisin (2x15
mg/kgBB) dan sefepim (2x2 gr selama 2 minggu)
- Infeksi traktus urinarius : siprofloksasin (2x400 mg) dan
aminoglikosida
- Infeksi traktur urinarius nosocomial : vankomisin (2x15
mg/kgBB) dan sefepim (2x2 gr selama 2 minggu)

31
- Infeksi SSP : vankomisin (2x15 mg/kgBB) dan sefalosporin
generasi ketiga atau meropenem (3x1 gr)
- Infeksi SSP nosocomial : meropenem (3x1 gr) dan vankomisin
(2x15 mg/kgBB)

6 – Hour Bundle

 Untuk dilengkapi dalam 3 jam :


o Ukur tingkat laktat
o Dapatkan kultur darah sebelum pemberian antibiotic
o Berikan antibiotic spectrum luas
o Berikan 30 ml/Kg cairan kristaloid
 Dilengkapi dalam 6 jam :
o Masukkan vassopresor (untuk hipotensi yang tidak merespon resusitasi
cairan awal) untuk mempertahankan Tekanan arteri rata – rata (MAP) ≥
65 mmHg.
o Jika terjadi hipotensi terus – menerus setelah pemberian cairan awal (MAP
< 65 mmHg) atau jika laktat awal ≥ 4 mmol/L, periksa lagi status volume
dan perfusi jaringan
o Ulangi lagi jika hasil laktat awal meningkat.

A. RESUSITASI AWAL
1. Sepsis dan syok septik adalah keadaan darurat medis, dan direkomendasikan agar
perawatan dan resusitasi segera dimulai (BPS).
2. Dalam resusitasi dari hipoperfusi yang diinduksi sepsis, setidaknya 30 mL / kg
cairan kristaloid IV diberikan dalam 3 jam pertama.(rekomendasi kuat, kualitas
bukti rendah)
3. Setelah resusitasi cairan awal, cairan tambahan dipandu oleh penilaian ulang
status hemodinamik yang sering (BPS). Penilaian ulang harus mencakup
pemeriksaan klinis menyeluruh dan evaluasi variabel fisiologis yang tersedia
(denyut jantung, tekanan darah, saturasi oksigen, tingkat pernapasan, suhu, urin
output, dan lain-lain) serta pemantauan invasif atau non-invasif lainnya.

32
4. Penilaian hemodinamik lebih lanjut (seperti menilai fungsi jantung) untuk
menentukan jenis syok jika pemeriksaan klinis tidak menyebabkan diagnosis yang
jelas (BPS).
5. Variabel dinamis digunakan untuk memprediksi respon cairan, jika tersedia
(rekomendasi lemah, rendahnya kualitas bukti).
6. Target awal rata-rata tekanan arteri (MAP : mean arterial pressure) dari 65 mm
Hg pada pasien dengan syok septik membutuhkan vasopresor (rekomendasi kuat,
kualitas bukti moderat).
7. Resusitasi untuk menormalkan laktat pada pasien dengan tingkat laktat yang
tinggi sebagai penanda hipoperfusi jaringan (rekomendasi lemah, kualitas bukti
rendah).

Hipoperfusi yang diinduksi sepsis dapat dimanifestasikan oleh disfungsi organ


akut dan / atau ± penurunan tekanan darah dan peningkatan serum laktat. Oleh karena
itu, direkomendasikan agar pasien ini dipandang memiliki keadaan darurat medis
yang memerlukan penanganan dan penilaian segera. Sebagai bagian dari ini, agar
resusitasi cairan awal dimulai dengan 30 mL / kg kristaloid dalam 3 jam pertama.
Volume fluida tetap ini memungkinkan klinisi untuk memulai resusitasi sambil
mendapatkan informasi yang lebih spesifik mengenai pasien dan sambil menunggu
pengukuran hemodinamik yang lebih tepat.
Evaluasi harus dimulai dengan pemeriksaan klinis menyeluruh dan evaluasi
fisiologis yang dapat menggambarkan keadaan klinis pasien (denyut jantung, tekanan
darah, saturasi oksigen, pernapasan, suhu, urin output, dan lainnya).
MAP (Mean Arteri Pressure) adalah tekanan penggerak perfusi jaringan.
Sementara perfusi organ penting seperti otak atau ginjal dapat terlindungi dari
hipotensi sistemik oleh autoregulasi perfusi regional, di bawah ambang batas MAP,
perfusi jaringan menjadi tidak bergantung secara linear pada tekanan arteri.
Menargetkan MAP 85 mmHg menghasilkan risiko aritmia yang jauh lebih tinggi
secara signifikan, namun subkelompok pasien dengan hipertensi kronis terdiagnosis
sebelumnya memiliki kebutuhan terapi renal replacement (RRT) yang berkurang
pada MAP yang lebih tinggi ini.
Peningkatan kadar laktat serum dapat mewakili hipoksia jaringan, glikolisis
aerobik yang dipercepat yang didorong oleh stimulasi beta-adrenergik berlebih, atau

33
penyebab lainnya (misalnya, gagal hati). Karena laktat adalah tes laboratorium
standar dengan teknik yang ditentukan untuk pengukurannya, ini mungkin berfungsi
sebagai pengganti yang lebih obyektif untuk perfusi jaringan dibandingkan dengan
pemeriksaan fisik atau keluaran urin.

B. SKRINING SEPSIS DAN PENINGKATAN KINERJA


1. Kami merekomendasikan bahwa rumah sakit dan sistem rumah sakit memiliki
program peningkatan kinerja untuk sepsis, termasuk skrining sepsis untuk pasien
berisiko tinggi akut (BPS).

C. DIAGNOSIS
1. Sebaiknya kultur mikrobiologi rutin yang sesuai (termasuk darah) dapat diperoleh
sebelum memulai terapi antimikroba pada pasien dengan dugaan sepsis atau syok
septik jika tidak menyebabkan penundaan substansial pada awal antimikroba
(BPS).

Pada pasien dengan dugaan sepsis atau syok septik, kultur mikrobiologi rutin yang
sesuai harus diberikan sebelum memulai terapi antimikroba dari semua lokasi yang
dianggap sebagai sumber infeksi potensial jika tidak mengakibatkan penundaan
substansial pada awal antimikroba. Ini mungkin termasuk darah, cairan serebrospinal,
urin, luka, sekresi pernapasan, dan cairan tubuh lainnya, namun biasanya tidak
termasuk sampel yang memerlukan prosedur invasif seperti bronkoskopi atau operasi
terbuka.
Pada pasien yang berpotensi mengalami septik dengan kateter intravaskular (di
tempat> 48 jam) di tempat infeksi tidak terlihat secara klinis atau kecurigaan adanya
infeksi terkait kateter intravaskular ada, setidaknya satu set kultur darah harus
diperoleh dari kateter (bersama Dengan kultur darah perifer simultan). Hal ini
dilakukan untuk membantu diagnosis infeksi aliran darah terkait kateter yang
potensial.
Pada pasien tanpa kecurigaan adanya infeksi yang berhubungan dengan kateter
dan di tempat dugaan infeksi klinis lain, setidaknya satu kultur darah (dari dua atau
lebih yang dibutuhkan) harus diperoleh secara perifer.

34
D. TERAPI ANTIMIKROBA
1. Kami merekomendasikan agar pemberian antimikroba IV dimulai sesegera
mungkin setelah dikenali dan dalam 1 jam untuk sepsis dan syok septik
(rekomendasi kuat, kualitas bukti sedang; grade berlaku untuk kedua kondisi).
Dengan adanya sepsis atau syok septik, setiap penundaan jam dalam
pemberian antimikroba yang sesuai dikaitkan dengan peningkatan mortalitas yang
terukur. Dalam memilih rejimen antimikroba, beberapa agen antimikroba
(terutama β-laktam) memiliki keuntungan untuk dapat dengan aman diberikan
sebagai bolus atau infus yang cepat, sementara yang lainnya memerlukan infus
yang panjang. Jika akses vaskular terbatas dan banyak agen yang berbeda harus
diinfuskan, obat-obatan yang dapat diberikan sebagai bolus atau infus cepat dapat
memberi keuntungan bagi pencapaian tingkat terapeutik dengan cepat untuk dosis
awal.
Di samping itu, persiapan intramuskular disetujui dan tersedia untuk
beberapa lini pertama β-laktam, termasuk imipenem / cilastatin, sefepim,
ceftriaxone, dan ertapenem. Β-laktam lini pertama juga dapat diberikan secara
efektif secara intramuskular dalam situasi darurat jika akses vaskular dan
intraosseus tidak tersedia, walaupun persetujuan peraturan untuk pemberian
intramuskular untuk obat-obatan ini kurang.
2. Kami merekomendasikan terapi spektrum luas empiris dengan satu atau lebih
antimikroba untuk pasien yang mengalami sepsis atau syok septik untuk
mencakup semua kemungkinan patogen (termasuk cakupan bakteri dan
berpotensi jamur atau viral) (rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat).
3. Kami menyarankan agar terapi antimikroba empiris disempit begitu identifikasi
dan sensitivitas patogen ditetapkan dan / atau perbaikan klinis yang memadai
dicatat (BPS).
Faktor-faktor utama pasien termasuk sifat sindrom klinis / tempat infeksi,
penyakit yang menyertai, kegagalan organ kronis, obat-obatan, alat tinggal,
adanya imunosupresi atau bentuk imunokompromi lainnya, infeksi atau
kolonisasi yang diketahui baru-baru ini dengan patogen tertentu, dan tanda terima
Antimikroba dalam tiga bulan sebelumnya.

35
Patogen yang paling umum yang menyebabkan syok septik adalah bakteri
gram negatif, gram positif, dan mikroorganisme bakteri campuran. kandidiasis
invasif, sindrom syok toksik, dan berbagai patogen jarang harus dipertimbangkan
pada pasien tertentu. Pasien dengan infeksi nosokomial rentan terhadap sepsis
dengan Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) dan Vancomisin
Resistant Enterococci.
Beberapa faktor harus dinilai dan digunakan dalam menentukan rejimen
antimikroba yang sesuai di setiap pusat kesehatan dan untuk setiap pasien. Ini
termasuk:
o Bagian anatomi infeksi sehubungan dengan profil patogen yang khas dan
sifat-sifat antimikroba individu untuk menembus bagian tersebut.
o Prevalensi patogen di dalam masyarakat, rumah sakit, dan bahkan bangsal
rumah sakit.
o Pola resistensi dari patogen yang umum.
o Adanya defek imun spesifik seperti neutropenia, splenektomy, infeksi HIV
yang tidak terkontrol dengan baik dan defisiensi imunoglobulin, komplemen
atau leukosit atau bawaan yang didapat atau bawaan.
o Komorbiditas usia dan pasien termasuk penyakit kronis (mis., Diabetes) dan
disfungsi organ kronis (misalnya, gagal hati atau ginjal), adanya perangkat
invasif (misalnya, jalur vena sentral atau kateter urin) yang membahayakan
pertahanan terhadap infeksi. Karena sebagian besar pasien dengan sepsis
berat dan syok septik memiliki satu atau lebih bentuk imunokompromais,
rejimen empiris awal harus cukup luas untuk menutupi sebagian besar
patogen yang terisolasi pada infeksi terkait perawatan kesehatan.
Paling sering, spektrum luas carbapenem (misalnya, meropenem,
imipenem / cilastatin atau doripenem) atau long-range kombinasi penisilin /
β-laktamase inhibitor (misalnya, piperacillin / Tazobactam atau tikarsilin /
klavulanat) digunakan.
Penambahan agen gram-negatif tambahan ke rejimen empirik
direkomendasikan untuk pasien septik yang sakit parah dengan risiko tinggi
terinfeksi dengan patogen tahan-multidrug semacam itu (misalnya
Pseudomonas, Acinetobacter, dll.) Untuk meningkatkan probabilitas paling

36
sedikit satu orang yang aktif. Agen sedang diurus. Vancomycin, teicoplanin,
atau agen anti-MRSA lainnya dapat digunakan saat faktor risiko MRSA ada.
Risiko infeksi yang signifikan dengan spesies Legionella mengamanatkan
penambahan makrolida atau fluoroquinolone.

Dokter juga harus mempertimbangkan apakah spesies Candida


kemungkinan patogen saat memilih terapi awal. Faktor risiko infeksi jamur
Candida meliputi status immunocompromised (neutropenia, kemoterapi,
transplantasi, diabetes melitus, gagal hati kronis, gagal ginjal kronis),
perangkat vaskular invasif yang berkepanjangan (kateter hemodialisis,
kateter vena sentral), nutrisi parenteral total, pankreatitis nekrosis, mayor
baru-baru ini Operasi (terutama abdominal), pemberian antibiotik broad
spectrum yang berkepanjangan, penerimaan rumah sakit / ICU yang
berkepanjangan, infeksi jamur baru-baru ini, dan kolonisasi multisite.
Penggunaan empiris dari echinocandin (anidulafungin, micafungin, atau
caspofungin) lebih disukai pada kebanyakan pasien dengan penyakit parah,
terutama pada pasien dengan syok septik, yang baru saja diobati dengan agen
antijamur lainnya, atau jika Candida glabrata atau infeksi Candida krusei
dicurigai. Dari data budaya sebelumnya. Triazol dapat diterima pada
penderita hemodinamik stabil, kurang sakit yang belum pernah terpapar
triazol sebelumnya dan tidak diketahui terjajah dengan spesies tahan azol.
Formulasi liposomal amfoterisin B adalah alternatif yang masuk akal untuk
echinocandins pada pasien dengan intoleransi echinocandin atau toksisitas.

Pasien dengan sepsis atau syok septik umumnya menganjurkan terapi


spektrum luas empiris sampai organisme penyebab dan kerentanan
antimikrobanya didefinisikan. Pada titik itu, spektrum cakupan harus
dipersempit dengan menghilangkan antimikroba yang tidak dibutuhkan dan
mengganti agen spektrum luas dengan agen yang lebih spesifik.
Bila infeksi ditemukan tidak ada, terapi antimikroba harus segera
dihentikan untuk meminimalkan kemungkinan pasien terinfeksi dengan
patogen antimikroba atau mengembangkan efek samping yang terkait dengan
obat.

37
4. Kami merekomendasikan untuk melawan profilaksis antimikroba sistemik yang
berkelanjutan pada pasien dengan keadaan inflamasi parah yang tidak menular
(mis., Pankreatitis parah, luka bakar luka bakar) (BPS).
Respon inflamasi sistemik tanpa infeksi tidak mewajibkan terapi
antimikroba. Jika ada kecurigaan yang kuat terhadap sepsis atau syok septik pada
pasien dengan keadaan inflamasi parah yang tidak menular (walaupun ada
presentasi klinis yang tumpang tindih), terapi antimikroba ditunjukkan.
5. Sebaiknya strategi pemberian dosis antimikroba dioptimalkan berdasarkan prinsip
farmakokinetik / farmakodinamik yang diterima dan sifat obat spesifik pada
pasien dengan sepsis atau syok septik (BPS).
Tingkat keberhasilan klinis untuk pengobatan infeksi serius berkorelasi
dengan tingkat puncak darah yang lebih tinggi fluoroqiunolon (Pneumonia
nosocomial, dan infeksi serius lainnya) dan aminoglikosida (bakteri gram
negative, pneumonia nosocomial, dan infeksi serius lainnya). Untuk β-laktam,
pengobatan klinis dan mikrobiologi yang superior tampaknya terkait dengan
durasi konsentrasi konsentrat plasma yang lebih lama di atas MIC (minimum
inhibitory concentration) pathogen terutama pada pasien yang kritis.
Untuk aminoglikosida, ini paling mudah dicapai dengan dosis sekali sehari
(5 – 7 mg/kg setara gentamisin setiap hari). Dosis sekali sehari menghasilkan
setidaknya kemanjuran klinis yang sebanding dengan kemungkinan penurunan
toksisitas ginjal dibandingkan dengan rejimen dosis ganda setiap hari. Pasien
dengan gangguan fungsi ginjal kronis ringan masih harus menerima dosis setara
satu kali sehari tetapi biasanya akan memiliki jangka waktu lebih lama sebelum
dosis berikutnya.
Vancomycin adalah antibiotik lain yang kemanjurannya setidaknya
bergantung pada konsentrasi parsial. Dosis pada target 15-20 mg / L
direkomendasikan oleh beberapa pihak untuk memaksimalkan kemungkinan
pencapaian target farmakodinamik yang sesuai, memperbaiki penetrasi jaringan,
dan mengoptimalkan hasil klinis. Untuk sepsis dan syok septik, dosis pemuatan
IV 25-30 mg / kg (berdasarkan berat badan sebenarnya) disarankan untuk
mencapai target dengan cepat melalui konsentrasi obat.

38
Kami menyarankan sebelumnya bahwa dosis awal β-laktam dapat
diberikan sebagai bolus atau infus cepat untuk mencapai tingkat darah terapeutik
dengan cepat. Beberapa meta-analisis menunjukkan bahwa infus β-laktam yang
diperpanjang / terus menerus mungkin lebih efektif daripada infus cepat
intermiten, terutama untuk organisme yang relatif resisten dan pada pasien yang
sakit kritis dengan sepsis.
Kelompok sasaran pasien yang sakit kritis dan septik menunjukkan
berbagai gangguan fisiologis yang secara dramatis mengubah farmakokinetik
antimikroba. Ini termasuk hemodinamik yang tidak stabil, peningkatan curah
jantung, peningkatan volume ekstraselular (peningkatan volume distribusi),
perfusi ginjal dan hati yang bervariasi (mempengaruhi pemberian obat) dan
pengikatan obat yang berubah karena albumin serum berkurang.
6. Kami menyarankan terapi kombinasi empiris (menggunakan setidaknya dua
antibiotik dari berbagai kelas antimikroba) yang ditujukan pada patogen bakteri
yang paling mungkin untuk penanganan awal syok septik (rekomendasi lemah,
kualitas bukti rendah).
7. Kami menyarankan agar terapi kombinasi tidak rutin digunakan untuk perawatan
yang terus menerus terhadap sebagian besar infeksi serius lainnya, termasuk
bakteremia dan sepsis tanpa syok (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
8. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakan terapi kombinasi untuk
pengobatan rutin sepsis / bakteriemia neutropenik (rekomendasi kuat, kualitas
bukti moderat).
9. Jika terapi kombinasi awalnya digunakan untuk syok septik, kami
merekomendasikan de-eskalasi dengan penghentian terapi kombinasi dalam
beberapa hari pertama dalam menanggapi perbaikan klinis dan / atau bukti adanya
resolusi infeksi. Ini berlaku untuk terapi kombinasi yang ditargetkan (untuk
infeksi positif kultur) dan terapi kombinasi empiris (untuk infeksi kultur-negatif)
(BPS).
Ungkapan “terapi kombinasi” dalam konteks pedoman ini berkonotasi
penggunaan dua kelas yang berbeda antibiotik (biasanya β-laktam dengan
fluorokuinolon, aminoglikosida, atau makrolida) untuk patogen diduga tunggal
diharapkan peka terhadap keduanya, terutama untuk Tujuan mempercepat

39
pembersihan pathogen. Istilah ini tidak digunakan di mana tujuan strategi
multidrug adalah untuk secara ketat memperluas jangkauan aktivitas antimikroba
(misalnya, vankomisin yang ditambahkan ke ceftazidime, metronidazol
ditambahkan ke aminoglikosida atau echinocandin yang ditambahkan ke β-
laktam).
Bukti yang menunjukkan manfaat terapi kombinasi dalam syok septik,
pendekatan ini belum terbukti efektif untuk pengobatan infeksi serius lainnya,
termasuk bakteremia dan sepsis tanpa syok.
10. Kami menyarankan bahwa durasi pengobatan antimikroba 7-10 hari cukup untuk
sebagian besar infeksi serius yang terkait dengan sepsis dan syok septik
(rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
11. Kami menyarankan agar kursus yang lebih lama sesuai pada pasien yang memiliki
respons klinis lambat, fokus infeksi yang tidak dapat dilakukan, bakteremia withS.
Aureus, beberapa infeksi jamur dan virus, atau kekurangan imunologis, termasuk
neutropenia (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah)
12. Kami menyarankan agar kursus yang lebih pendek sesuai untuk beberapa pasien,
terutama dengan resolusi klinis yang cepat setelah kontrol sumber efektif sepsis
intra-abdomen atau urin dan yang mengandung pyelonephritis anatomis tidak
rumit (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
13. Kami merekomendasikan penilaian harian untuk de-eskalasi terapi antimikroba
pada pasien dengan sepsis dan syok septik (BPS).
faktor pasien akan mempengaruhi lamanya terapi antibiotik, durasi
pengobatan 7-10 hari (jika tidak ada masalah kontrol sumber) umumnya cukup
untuk sebagian besar infeksi serius. Pedoman saat ini menganjurkan terapi 7 hari
terapi untuk pneumonia nosokomial [baik pneumonia yang diakuisisi di rumah
sakit dan ventilator (VAP)]
Secara khusus, bakteremia S. aureus yang tidak rumit memerlukan terapi
minimal 14 hari, sementara bakteriemia yang rumit memerlukan perawatan
sebagai infeksi endovaskular dengan terapi selama 6 minggu. Bakteri tanpa
komplikasi telah didefinisikan sebagai: (1) pengecualian endokarditis, (2) tidak
ada prostesis yang ditanamkan, 3) hasil negatif dari kultur darah lanjutan yang
diambil 2-4 hari setelah set awal, (4) defensif dalam waktu 72 jam setelah Inisiasi

40
terapi antibiotik yang efektif, dan (5) tidak ada bukti infeksi metastatic. Sifat dan
lokasi infeksi juga dapat mempengaruhi durasi terapi. Meskipun diketahui bahwa
endokarditis memerlukan terapi antimikroba berkepanjangan, penyakit berat lebih
sering muncul sebagai gagal jantung / syok kardiogenik dan emboli daripada
sepsis atau syok septik.
14. Kami menyarankan agar pengukuran tingkat procalcitonin dapat digunakan untuk
mendukung pemendekan durasi terapi antimikroba pada pasien sepsis
(rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
15. Kami menyarankan agar tingkat procalcitonin dapat digunakan untuk mendukung
penghentian antibiotik empiris pada pasien yang pada awalnya tampak memiliki
sepsis, namun kemudian memiliki bukti infeksi klinis yang terbatas (rekomendasi
lemah, kualitas bukti rendah).
Penggunaan galactomannan dan β-d-glucan untuk membantu dalam
penilaian aspergillus invasif (dan berbagai patogen jamur) telah diterima dengan
baik. Kesamaan, pengukuran serum procalcitonin umumnya digunakan di banyak
bagian dunia untuk membantu diagnosis infeksi akut dan untuk membantu
menentukan durasi terapi antimikroba.

E. SUMBER PENGENDALIAN
1. Kami merekomendasikan bahwa diagnosis anatomis spesifik dari infeksi yang
memerlukan kontrol sumber emergen diidentifikasi atau dikecualikan secepat
mungkin pada pasien dengan sepsis atau syok septik, dan bahwa setiap intervensi
pengendalian sumber yang diperlukan harus dilaksanakan segera setelah
dilakukan secara medis dan logistik setelah diagnosis dilakukan. (BPS).
2. Kami menyarankan agar segera membuang perangkat akses intravaskular yang
merupakan sumber kemungkinan sepsis atau syok septik setelah akses vaskular
lainnya telah ditetapkan (BPS).
Perangkat intravaskular seperti kateter vena sentral bisa menjadi sumber
sepsis atau syok septik. Perangkat intravaskular yang diduga sebagai sumber
sepsis umumnya harus segera diangkat setelah membuat situs lain untuk akses
vaskular. Dengan tidak adanya syok septik dan fungemia, beberapa infeksi kateter

41
terowlet yang diimplantasikan dapat diobati secara efektif dengan terapi
antimikroba yang berkepanjangan jika pengangkatan kateter tidak praktis.

F. TERAPI CAIRAN
1. Kami merekomendasikan bahwa teknik tantangan cairan diterapkan di mana
pemberian cairan dilanjutkan selama faktor hemodinamik terus meningkatkan
(BPS).
2. Kami merekomendasikan kristaloid sebagai cairan pilihan untuk resusitasi awal
dan penggantian volume intravaskular berikutnya pada pasien dengan sepsis dan
syok septik (rekomendasi kuat, kualitas bukti sedang).
3. Kami sarankan baik menggunakan kristaloid seimbang atau saline (garam) untuk
resusitasi cairan pasien dengan sepsis atau syok septik (rekomendasi lemah,
rendahnya kualitas bukti).
4. Sebaiknya gunakan albumin selain kristaloid untuk resusitasi awal dan
penggantian volume intravaskular berikutnya pada pasien dengan sepsis dan syok
septik saat pasien memerlukan sejumlah besar kristaloid (rekomendasi lemah,
kualitas bukti rendah).
5. Kami merekomendasikan agar tidak menggunakan starches hydroxyethyl (HESs)
untuk penggantian volume intravaskular pada pasien sepsis atau syok septik
(rekomendasi kuat, bukti kualitas tinggi).
6. Sebaiknya gunakan kristaloid di atas gelatin saat melakukan resusitasi pasien
dengan sepsis atau syok septik (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
Tidak adanya manfaat yang jelas setelah pemberian koloid dibandingkan
dengan larutan kristaloid pada subkelompok sepsis gabungan, bersamaan dengan
biaya albumin, mendukung rekomendasi kuat untuk penggunaan larutan kristaloid
pada resusitasi awal pasien dengan sepsis dan syok septik.

G. PENGOBATAN VASOAKTIF
1. Kami merekomendasikan norepinephrine sebagai pilihan pertama vasopressor
(rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat).
2. Kami menyarankan untuk menambahkan vasopresin (sampai 0,03 U / menit)
(rekomendasi lemah, kualitas bukti sedang) atau epinefrin (rekomendasi lemah,

42
bukti kualitas rendah) terhadap norepinephrine dengan maksud untuk
meningkatkan MAP ke target, atau menambahkan vasopressin (sampai 0,03 U /
menit) (rekomendasi lemah, kualitas bukti sedang) untuk menurunkan dosis
norepinephrine.
3. Sebaiknya gunakan dopamin sebagai agen vasopresor alternatif untuk
norepinephrine hanya pada pasien yang sangat terpilih (misalnya, pasien dengan
risiko takiaritmia dan bradikardi yang rendah atau relatif rendah) (rekomendasi
lemah, kualitas bukti rendah).
4. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakan dopamin dosis rendah untuk
perlindungan ginjal (rekomendasi kuat, bukti berkualitas tinggi).
5. Sebaiknya gunakan dobutamin pada pasien yang menunjukkan bukti hipoperfusi
persisten meskipun ada pemuatan cairan yang adekuat dan penggunaan agen
vasopresor (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
Jika dimulai, dosis vasopressor harus dititrasi ke titik akhir yang
mencerminkan perfusi, dan agen dikurangi atau dihentikan dalam menghadapi
hipotensi atau aritmia yang memburuk. Norepinephrine meningkatkan MAP
karena efek vasokonstrikonya, dengan sedikit perubahan denyut jantung dan
sedikit peningkatan volume stroke dibandingkan dengan dopamin. Dopamin
meningkatkan MAP dan curah jantung, terutama karena peningkatan volume
stroke dan denyut jantung. Norepinefrin lebih kuat daripada dopamin dan
mungkin lebih efektif dalam membalikkan hipotensi pada pasien dengan syok
septik. Dopamin mungkin sangat berguna pada pasien dengan fungsi sistolik yang
terganggu tetapi menyebabkan lebih banyak takikardia dan mungkin lebih bersifat
aritmogenik dibandingkan norepinefrin. Mungkin juga mempengaruhi respons
endokrin melalui sumbu hipofisis hipotalamus dan mungkin memiliki efek
imunosupresif.
Epinephrine dapat meningkatkan produksi laktat aerobik melalui stimulasi
reseptor β2-adrenergik otot skeletal dan dengan demikian dapat menghalangi
penggunaan clearance laktat untuk memandu resusitasi. Vasopresin dosis rendah
mungkin efektif dalam meningkatkan tekanan darah pada pasien yang tidak tahan
terhadap vasopresor lain dan mungkin memiliki manfaat fisiologis potensial
lainnya. Konsentrasi vasopressin meningkat pada syok septik awal, namun

43
menurun pada kisaran normal pada sebagian besar pasien antara 24 dan 48 jam
karena syok terus berlanjut. Temuan ini disebut defisiensi vasopressin relatif
karena, dengan adanya hipotensi, vasopresin diperkirakan akan meningkat.
Norepinephrine, tetap menjadi pilihan pertama vasopressor untuk mengobati
pasien dengan syok septik.
Dobutamin adalah pilihan pertama inotrop untuk pasien dengan hasil
curah jantung rendah yang diukur atau dicurigai dengan adanya tekanan pengisian
ventrikel kiri yang adekuat (atau penilaian klinis resusitasi cairan yang adekuat)
dan MAP yang memadai. Memantau respons indeks perfusi terhadap peningkatan
curah jantung yang diukur adalah cara terbaik untuk menargetkan terapi semacam
itu.
Levosimendan meningkatkan respons kalsium myocyte kalsium dan juga
membuka saluran kalium ATP-dependent, memberi obat baik sifat inotropik
maupun vasodilatasi. Mengingat peran potensial penanganan kalsium abnormal
pada depresi miokard sepsis, penggunaan levosimendan juga telah diusulkan
dalam syok septik. Dengan adanya bukti berkualitas rendah yang tersedia dan
biaya yang lebih tinggi terkait dengan levosimendan, dobutamin tetap menjadi
pilihan utama populasi ini.
6. Kami menyarankan bahwa semua pasien yang membutuhkan vasopressor
memiliki kateter arteri ditempatkan sesegera mungkin jika sumber daya yang
tersedia (rekomendasi lemah, kualitas sangat rendah bukti).
Penyisipan kateter arteri radial pada umumnya aman; Tinjauan sistematis
terhadap penelitian observasional menunjukkan kejadian iskemik ekstremitas dan
perdarahan kurang dari 1%, dengan komplikasi yang paling umum adalah
hematoma lokal (14%).
Mengingat tingkat komplikasi yang rendah dan kemungkinan perkiraan
tekanan darah yang lebih baik namun sumber daya yang berpotensi terbatas di
beberapa negara, dan kurangnya studi berkualitas tinggi, manfaat kateter arteri
mungkin lebih besar daripada risikonya.

H. KORTIKOSTEROID

44
1. Kami menyarankan untuk tidak menggunakan hidrokortison IV untuk mengobati
pasien syok septik jika resusitasi cairan dan terapi vasopressor mampu
memulihkan stabilitas hemodinamik. Jika ini tidak dapat dicapai, kami
menyarankan hidrokortison IV dengan dosis 200 mg per hari (rekomendasi lemah,
kualitas bukti rendah).
Dengan tidak adanya bukti manfaat yang meyakinkan, kami
mengeluarkan rekomendasi yang lemah terhadap penggunaan kortikosteroid
untuk mengobati pasien syok septik jika resusitasi cairan dan terapi vasopressor
mampu memulihkan stabilitas hemodinamik. Steroid sebaiknya tidak digunakan
pada pasien septik untuk mencegah syok septik. Beberapa uji coba secara acak
mengenai penggunaan hidrokortison dosis rendah pada pasien syok septik
mengungkapkan peningkatan signifikan hiperglikemia dan hipernatremia.
I. TRANSFUSI DARAH
1. Kami merekomendasikan bahwa transfusi RBC hanya terjadi bila konsentrasi
hemoglobin turun menjadi <7.0 g / dL pada orang dewasa tanpa keadaan yang
meringankan, seperti iskemia miokard, hipoksemia berat, atau perdarahan akut
(rekomendasi kuat, bukti berkualitas tinggi).
2. Kami merekomendasikan penggunaan eritropoietin untuk pengobatan anemia
yang terkait dengan sepsis (rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat).
3. Kami menyarankan agar tidak menggunakan fresh frozen plasma untuk
memperbaiki kelainan pembekuan dengan tidak adanya prosedur invasif atau
pendarahan yang direncanakan (rekomendasi lemah, kualitas bukti yang sangat
rendah).
Transfusi plasma beku segar biasanya gagal memperbaiki waktu
protrombin pada pasien yang tidak mengalami kelainan ringan. Tidak ada
penelitian yang menunjukkan bahwa koreksi kelainan koagulasi yang lebih parah
bermanfaat bagi pasien yang tidak mengalami perdarahan.
4. Kami menyarankan transfusi trombosit profilaksis bila dihitung <10.000 / mm3
(10 × 109 / L) tanpa adanya perdarahan yang jelas dan bila jumlahnya <20.000 /
mm3 (20 × 109 / L) jika pasien memiliki risiko pendarahan yang signifikan.
Jumlah trombosit yang lebih tinggi [≥50,000 / mm3 (50 × 109 / L)] disarankan

45
untuk prosedur pendarahan, pembedahan, atau invasif aktif (rekomendasi lemah,
kualitas bukti sangat rendah).
Trombositopenia pada sepsis kemungkinan disebabkan oleh patofisiologi
produksi trombosit yang berbeda dan peningkatan konsumsi trombosit. Faktor-
faktor yang dapat meningkatkan risiko pendarahan dan menunjukkan perlunya
jumlah trombosit yang lebih tinggi sering ditemukan pada pasien dengan sepsis.

J. IMUNOGLOBULIN
1. Kami menyarankan untuk melawan penggunaan imunoglobulin IV pada pasien
sepsis atau syok septik (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
K. PENYARINGAN DARAH
1. Kami tidak membuat rekomendasi mengenai penggunaan teknik pemurnian
darah.

L. ANTIKOAGULAN
1. Kami merekomendasikan penggunaan antitrombin untuk pengobatan sepsis dan
syok septik (rekomendasi kuat, kualitas bukti sedang).
Antitrombin adalah antikoagulan yang paling melimpah yang beredar di
plasma. Penurunan aktivitas plasma pada saat onset sepsis berkorelasi dengan
koagulasi intravaskular diseminata (DIC) dan hasil mematikan.
2. Kami tidak memberikan rekomendasi mengenai penggunaan trombomodulin atau
heparin untuk pengobatan sepsis atau syok septik.

M. VENTILASI MEKANIK
1. Sebaiknya gunakan volume tidal target 6 mL / kg berat badan yang diprediksi
(PBW) dibandingkan dengan 12 mL / kg pada pasien dewasa dengan ARDS sepsis
(rekomendasi kuat, bukti kualitas tinggi).
2. Sebaiknya gunakan sasaran batas atas untuk tekanan dataran tinggi 30 cmH2O
pada tekanan dataran tinggi yang lebih tinggi pada pasien dewasa dengan ARDS
yang diinduksi sepsis (rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat).
Untuk dokumen saat ini, kami menggunakan definisi Berlin 2012 dan
persyaratan ARDS ringan, sedang, dan berat (Pao2 / Fio2 ≤300, ≤200, dan ≤100

46
mm Hg). Pasien dengan asidosis metabolik yang dalam, ventilasi menit yang
tinggi, atau perawakan pendek mungkin memerlukan manipulasi volume tidal
tambahan. Beberapa klinisi percaya bahwa aman untuk di ventilasi dengan
volume tidal> 6 mL / kg PBW selama tekanan plateau dapat dipertahankan ≤30
cmH2O. Sebaliknya, pasien dengan dinding dada / abdomen yang sangat kaku
dan tekanan pleura yang tinggi dapat mentolerir tekanan dataran tinggi> 30
cmH2O karena tekanan transpulmonary akan lebih rendah.
3. Kami menyarankan untuk menggunakan PEEP yang lebih tinggi pada PEEP yang
lebih rendah pada pasien dewasa yang memiliki ARDS sedang sampai berat yang
sepsis, rekomendasi lemah, kualitas bukti sedang).
4. Kami menyarankan untuk menggunakan manuver rekrutmen pada pasien dewasa
dengan sepsis yang diinduksi, ARDS berat (rekomendasi lemah, kualitas bukti
sedang)
5. Sebaiknya gunakan posisi rawan pada posisi terlentang pada pasien dewasa
dengan ARDS sepsis dan Pao2 / Fio2ratio <150 (rekomendasi kuat, kualitas bukti
moderat)
6. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakan ventilasi osilasi frekuensi
tinggi (HFOV) pada pasien dewasa dengan ARDS sepsis-induced (rekomendasi
kuat, kualitas bukti moderat).
7. Kami tidak memberikan rekomendasi mengenai penggunaan ventilasi
noninvasive (NIV) untuk pasien dengan ARDS yang diinduksi sepsis.
8. Kami menyarankan menggunakan agen penghambat neuromuskular (NMBAs)
untuk ≤48 jam pada pasien dewasa dengan ARDS sepsis dan Pao2 / Fio2ratio
<150 mmHg (rekomendasi lemah, kualitas bukti sedang).
9. Kami merekomendasikan strategi cairan konservatif untuk pasien dengan ARDS
sepsis yang diinduksi yang tidak memiliki bukti hipoperfusi jaringan
(rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat).
10. Kami merekomendasikan untuk melawan penggunaan agonis β-2 untuk
pengobatan pasien dengan ARDS yang diinduksi sepsis tanpa bronkospasme
(rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat).

47
11. Kami merekomendasikan untuk melawan penggunaan rutin kateter PA untuk
pasien dengan ARDS yang diinduksi sepsis (rekomendasi kuat, bukti berkualitas
tinggi).
12. Kami menyarankan agar menggunakan volume tidal lebih rendah pada volume
tidal yang lebih tinggi pada pasien dewasa dengan kegagalan pernapasan akibat
sepsis tanpa ARDS (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
13. Sebaiknya pasien sepsis mekanis berventilasi dipertahankan dengan kepala
tempat tidur ditinggikan antara 30 ° dan 45 ° untuk membatasi risiko aspirasi dan
untuk mencegah pengembangan VAP (rekomendasi kuat, kualitas bukti rendah).
14. Sebaiknya gunakan uji coba pernafasan spontan pada pasien dengan ventilasi
mekanis dengan sepsis yang siap menyapih (rekomendasi kuat, bukti kualitas
tinggi).
15. Sebaiknya gunakan protokol penyapihan pada pasien dengan ventilasi mekanis
dengan kegagalan pernafasan sepsis yang dapat mentoleransi penyapihan
(rekomendasi kuat, kualitas bukti yang moderat).

N. SEDASI DAN ANALGESIK


1. Kami merekomendasikan bahwa sedasi kontinu atau intermiten diminimalkan
pada pasien sepsis dengan ventilasi mekanis, yang menargetkan titik akhir titrasi
spesifik. (BPS).

O. KONTROL GLUKOSA
1. Kami merekomendasikan pendekatan terstruktur untuk manajemen glukosa darah
pada pasien ICU dengan sepsis, memulai dosis insulin ketika dua kadar glukosa
darah berturut-turut> 180 mg / dL. Pendekatan ini harus menargetkan kadar
glukosa darah atas ≤180 mg / dL daripada tingkat glukosa darah target atas ≤110
mg / dL (rekomendasi kuat, bukti kualitas tinggi)
2. Kami merekomendasikan agar nilai glukosa darah dipantau setiap 1-2 jam sampai
nilai glukosa dan tingkat infus insulin stabil, maka setiap 4 jam setelahnya pada
pasien yang menerima infus insulin (BPS).
3. Kami merekomendasikan bahwa kadar glukosa yang diperoleh dengan pengujian
perawatan darah kapiler ditafsirkan dengan hati-hati karena pengukuran semacam

48
itu mungkin tidak memperkirakan secara akurat kadar glukosa darah atau plasma
glukosa (BPS)
4. Kami menyarankan penggunaan darah arterial daripada darah kapiler untuk
pengujian perawatan dengan menggunakan meter glukosa jika pasien memiliki
kateter arteri (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).

P. TERAPI PENGGANTIAN GINJAL


1. Kami menyarankan agar RRT (CRRT) kontinu atau RRT intermiten digunakan
pada pasien dengan sepsis dan cedera ginjal akut (rekomendasi lemah, kualitas
bukti sedang).
2. Kami menyarankan agar menggunakan CRRT untuk memudahkan pengelolaan
keseimbangan cairan pada pasien septik hemodinamik yang tidak stabil
(rekomendasi lemah, kualitas bukti sangat rendah).
3. Kami menyarankan agar tidak menggunakan RRT pada pasien dengan sepsis dan
cedera ginjal akut untuk meningkatkan kreatinin atau oliguria tanpa indikasi pasti
lainnya untuk dialisis (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).

Q. TERAPI BIKARBONAT
1. Kami menyarankan untuk tidak menggunakan terapi sodium bicarbonate untuk
memperbaiki hemodinamik atau untuk mengurangi kebutuhan vasopressor pada
pasien dengan asidosis laktat akibat hipoperfusi dengan pH ≥ 7.15 (rekomendasi
lemah, kualitas bukti sedang).

R. VENOUS THROMBOEMBOLISM PROPHYLAXIS


1. Kami merekomendasikan profilaksis farmakologi [heparin tak terpecah (UFH)
atau heparin berat molekul rendah (LMWH)] terhadap tromboemboli vena (VTE)
dengan tidak adanya kontraindikasi dengan penggunaan agen ini (rekomendasi
kuat, kualitas moderat bukti)
2. Kami merekomendasikan LMWH daripada UFH untuk profilaksis VTE tanpa
adanya kontraindikasi terhadap penggunaan LMWH (rekomendasi kuat, kualitas
bukti moderat).

49
3. Kami menyarankan kombinasi profilaksis VTE farmakologis dan profilaksis
mekanis, bila memungkinkan (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
4. Kami menyarankan profilaksis VTE mekanis ketika VTE farmakologis
dikontraindikasikan (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah)

S. STRESS ULCER PROPHYLAXIS


1. Kami merekomendasikan bahwa profilaksis stres ulkus diberikan kepada pasien
dengan sepsis atau syok septik yang memiliki faktor risiko pendarahan
gastrointestinal (GI) (rekomendasi kuat, kualitas bukti rendah).
Stress ulcer berkembang di saluran gastrointestinal pada pasien yang kritis dan
dapat di kaitak dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Mekanisme
pasitnya tidak sepenuhnya dipahami, namun diyakini terkait dengan gangguan
mekanisme protektif terhadap asam lambung, hipoperfusi mukosa lambung,
peningkatan produksi asam, dan cedera oksidatif pada jalur pencernaan.
2. Sebaiknya gunakan inhibitor pompa proton (PPI) atau antagonis reseptor
histamin-2 (H2RA) bila profilaksis ulkus stres ditunjukkan (rekomendasi lemah,
kualitas bukti rendah).
3. Kami merekomendasikan terhadap profilaksis stres ulkus pada pasien tanpa faktor
risiko perdarahan GI (BPS).

T. NUTRISI
1. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakan nutrisi parenteral dini saja
atau nutrisi parenteral yang dikombinasikan dengan makanan enteral (tapi juga
memulai nutrisi enteral awal) pada pasien kritis dengan sepsis atau syok septik
yang dapat diberi makan secara enteral (rekomendasi kuat, kualitas bukti sedang).
2. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakan nutrisi parenteral saja atau
dikombinasikan dengan pakan enteral (tetapi untuk memulai glukosa IV dan
memasukkan pakan enteral sebagai yang ditoleransi) selama 7 hari pertama pada
pasien kritis dengan sepsis atau syok septik yang pemberian makanan enteral awal
tidak Layak (rekomendasi kuat, kualitas bukti sedang).

50
3. Kami menyarankan inisiasi awal pemberian makanan enteral daripada glukosa IV
cepat atau hanya satu pada pasien kritis dengan sepsis atau syok septik yang dapat
diberi makan secara enteral (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
4. Kami menyarankan pemberian makanan enterik awal / hipokorik atau awal penuh
pada pasien kritis dengan sepsis atau syok septik; Jika pemberian trofik /
hipokorik merupakan strategi awal, maka pakan harus ditingkatkan sesuai dengan
toleransi pasien (rekomendasi lemah, kualitas bukti sedang).
5. Kami merekomendasikan penggunaan asam lemak omega-3 sebagai suplemen
kekebalan pada pasien kritis dengan sepsis atau syok septik (rekomendasi kuat,
kualitas bukti rendah).
6. Kami menyarankan agar tidak secara rutin memantau volume residu lambung
(GRV) pada pasien kritis dengan sepsis atau syok septik (rekomendasi lemah,
kualitas bukti rendah). Namun, kami menyarankan pengukuran residu lambung
pada pasien dengan intoleransi makan atau yang dianggap berisiko tinggi
mengalami aspirasi (rekomendasi lemah, kualitas bukti sangat rendah).
7. Kami menyarankan penggunaan agen prokinetik pada pasien kritis dengan sepsis
atau syok septik dan intoleransi makan (rekomendasi lemah, kualitas bukti
rendah).
8. Kami menyarankan penempatan tabung makanan pasca-pilorus pada pasien kritis
dengan sepsis atau syok septik dengan intoleransi makan atau yang dianggap
berisiko tinggi mengalami aspirasi (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
9. Kami merekomendasikan untuk melawan penggunaan selenium IV untuk
mengobati sepsis dan syok septik (rekomendasi kuat, kualitas bukti sedang).
10. Kami menyarankan agar tidak menggunakan arginin untuk mengobati sepsis dan
syok septik (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
11. Kami merekomendasikan untuk tidak menggunakan glutamin untuk mengobati
sepsis dan syok septik (rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat)

U. MENGATUR TUJUAN PERAWATAN


1. Kami merekomendasikan agar tujuan perawatan dan prognosis dibahas dengan
pasien dan keluarga (BPS)

51
2. Kami merekomendasikan agar tujuan perawatan dimasukkan ke dalam perawatan
dan perencanaan perawatan seumur hidup, dengan menggunakan prinsip
perawatan paliatif jika sesuai (rekomendasi kuat, kualitas bukti moderat).
3. Kami menyarankan agar tujuan perawatan ditangani sedini mungkin, namun
paling lambat dalam waktu 72 jam setelah masuk ICU (rekomendasi lemah,
kualitas bukti rendah).
H. KOMPLIKASI

Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang


mungkin terjadi meliputi:

1) Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome)
Inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya
cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas, mempermudah timbulnya
kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi
dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau
sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto toraks,
dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang
septik yang pada mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin
memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.

2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)


Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara difus
sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang
normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan.
Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan secara konstan
dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor
pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan
demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan.
Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.

52
3) Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan mekanisme
yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi
ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja
jantung yang berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau
infark miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat
inotropik dan vasopresor (yang paling sering menyebabkan takikardia) harus
digunakan dengna berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak
dianjurkan.

4) Gangguan fungsi hati


Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan
peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya
tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil
dalam waktu yang lama.

5) Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal ginjal
pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel
peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak
mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi
ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.

6) Multi-Organ Dysfunction Syndrome (MODS)


Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis.
 Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau
trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru pada
keadaan pneumonia yang berat.

53
 Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons peradangan
yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS pada keadaan
urosepsis.

54
REFERENSI

1. Pais, Vernon M. Fournier Gangerene Medication. [online]. 2011. [citied Agustus,


2012]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/2028899-overview
2. Sjamsuhidajat, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi :2. Jakarta : EGC. 2008. 795-
800
3. Morpurgo, Emillio, Susan. Fournier gangrene. [online]. 2006. [citied Agutus 2012].
Available from : http://www/midcf.org/journlas/4335.pdf
4. Purnomo, Basuki. Dasar-dasar Urologi. Edisi : 2. Malang : Sagung Seto, 2008. 50-56.
5. Hohenfellner, Markus, Richard. Emergencies and Urology. London : Springer. 2006. 50-
140
6. Slone, Ethel. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : EGC. 2005. 347-52
7. Putz, R, Pabst. Sobotta Atlas of Human Anatomy. Volume 2, 14th edition. Elsevier. 2005.
198
8. Price, Sylvia A, Lorraine. Patofiiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi : 6,
volume :2. 2005. Jakarta : EGC. 1311-22.
9. Hansen JT, Koeppen BM. Netter’s Atlas of Human Physiology. Volume 1, 10th edition.
Elsevier. 20010. 365
10. Stockinger, Zsolt. Fournier Gangrene. [online]. 2011. [citied Agustus, 8 2012]. Available
from : http://www.guttmacher.org/pubs/journals/3116205.pdf
11. Burch, Draion, Timothy, Vincent. Fournier’s Gangrene : Be Alert forThis Medical
Emergency. [online]. 2007. [citied Agustus, 8 2012]. Available from
http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNACW770.pdf
12. Thwaini, Khan A, Malik A. Fournier’s gangrene and its Emergency Management.
[online]. 2005. [citied Agustus, 8 2012]. Available from
http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNACW780.pdf
13. Levenson, Robin B, Ajay K, Noveline Robert. Fournier Gangrene : Role of Imaging1.
[online]. 2008. [citied agustus, 8 2012]. Avaiabe from
http://pdf.guttmacher.org/pubs/journals/311267.pdf
14. Zgraj, Oskar, Sri Paran, Maureen. Neonatal Scrotal Wall Necrotizing Fasciitis (Fournier
Gangrene) : A Case Report. [online]. 2011. [citied Agustus, 8 2012]. Available from :
http://creative.commons.org/licenses/by/2.0
15. Thimons, Jhon. Recognizing Necrotising fasciitis. [online].2012. [citied Agustus, 8
2012]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22621627.pdf

55
16. Andrew Rhodes, et all., 2017. Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines of
Management Sepsis and Septic Shock : 2016. Critical Care Medicine, 45(3), pp. 1-67.
17. Anon., 2017. Mayo Clinic. [Online] Available at: http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/sepsis/home/ovc-20169784 Accessed 16 September 2017].
18. 3 Hour Bundle. Surviving Service Campaign. 2013
19. 6 Hour Bundle. Surviving Service Campaign. 2013
20. Hermawan, Guntur et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI.
InternaPublishing. Jakarta
21. Khie Chen, H. P., 2014. Penatalaksanaan Syok Sepsis. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. V ed. Jakarta: Interna Publishing, pp. 252-261.

56

Anda mungkin juga menyukai