Oleh :
Cicik Kurniawati
NPM. 17640690
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL KASUS
08-01-2018
MAHASISWA
CICIK KURNIAWATI
NPM. 17640690
…………………………………….. ………………………………………..
1. Definisi
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata
meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002). Atresia ani merupakan
kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna, 2003).
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001). Atresia ani atau anus imperforata adalah
tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan
pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke
dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum
(Purwanto, 2001).
Atresia berasal dari bahasa Yunani, artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau
makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga
clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau
buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau
terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu.
Atresia ani atau anus imperforata atau malformasi anorektal adalah suatu kelainan
kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani,
agenesis rekti dan atresia rekti.
Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani
yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata.
Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat
saluran seperti keadaan normalnya
3. Epidemiologi
Angka kejadian rata rata malformasi anorektal atau atresia ani atau anus
imperforate di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000 kelahiran. Secara umum malformasi
anorektal lebih banyak ditemukan pada laki laki daripada perempuan. Insiden 1:5000
kelahiran yg dapat muncul sebagai sindromaVACTERL (Vertebra, anal, cardial, trachea,
esophageal, renal, limb) (Grosfeld, 2006). Fistula rektouretra merupakan kelainan yang
paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada
bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti
fistula rektovestibular dan fistula perineal (Oldham K, 2005). Hasil penelitian Boocock dan
Donna di Manchester menunjukkan bahwa atresia ani letak rendah lebih banyak ditemukan
dibandingkan atresia letak tinggi.
- Gangguan pertumbuhan
- Fusi
- Pembentukan anus dari
tonjolan embrionik
ATRESIA ANI
Mikroorganisme masuk ke
Reabsorbsi sisa Peningkatan tekanan saluran kemih
metabolisme oleh intra abdominal
tubuh
Dysuria
Operasi anoplasti
keracunan
Nyeri
Luka insisi
Mual, muntah Cemas/takut
Saraf perifer terputus Perubahan defekasi :
Kurang pengetahuan - Pengeluaran tak
Defisit nutrisi prosedur operasi terkontrol
Melepas prostaglanin,
- Iritasi mukosa
braikinin, histamin
Ansietas
Resiko kerusakan
Cortex serebri integritas kulit
Respon tubuh
Nyeri
Abnormalitas Trauma jaringan
spingter rektal
Perawatan tidak
Inkontinensia defekasi adekuat
Resiko infeksi
6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya
mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal
dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi,2001). Gejala lain yang nampak diketahui
adalah jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan
intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol
(Adele,1996). Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan
salah satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena
cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena bercampur dengan cairan
mekonium. Pada bayi wanita sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi
buang air besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir
di kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala terjadinya atresia ani secara
garis besar diantaranya yaitu :
a. Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.
b. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
c. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
d. Perut kembung.
e. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
(Ngastiyah, 2005)
7. Pemeriksaan diagnostik
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut:
a. Pemeriksaan Radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena
massa tumor.
CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan
dengan traktus urinarius
Hasil pemeriksaan radiologis yang dapat ditemukan, ialah:
Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah
tersebut.
Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan
gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada
bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid,
kolon/rectum.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak
tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu
penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi
metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih
tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi dengan
pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus
sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong
rektum dan pemotongan fistel. Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari
fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk
kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus
ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara
antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi
pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi,
persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta
ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari
berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian
akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.
Menurut Leape (1987), ada beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya yaitu :
Berikut penatalaksanaan Post-operatif yang dapat digunakan dalam kasus atresia ani,
diantarany yaitu :
a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari, salep antibiotik diberikan selama 8-
10 hari.
b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2 kali
sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan
sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila
busi nomor 13-14 mudah masuk.
c. Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengerjakan serta tidak
ada rasa nyeri bila dilakukan 2 kali sehari selama 3-4 minggu merupakan indikasi
tutup kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan.
d. Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari. Sedangkan
pada kasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-14 hari. Drainase
suprapubik diindikasikan pada pasien persisten kloaka dengan saluran lebih dari 3
cm. Antibiotik intravena diberikan selama 2-3 hari, dan antibiotik topikal berupa
salep dapat digunakan pada luka.
e. Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi. Untuk pertama kali dilakukan oleh
ahli bedah, kemudian dilatasi dua kali sehari dilakukan oleh petugas kesehatan
ataupun keluarga. Setiap minggu lebar dilator ditambah 1 mm tercapai ukuran
yang diinginkan. Dilatasi harus dilanjutkan dua kali sehari sampai dilator dapat
lewat dengan mudah. Kemudian dilatasi dilakukan sekali sehari selama sebulan
diikuti dengan dua kali seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu dalam 1
bulan kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga bulan. Setelah ukuran yang
diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi.
f. Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi karena kulit
perineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya. Salep tipikal yang
Sedangkan menurut urgentsinya, penanganan pada atresia ani dapat dibagi menjadi 2,
yaitu :
a. Penanganan awal
Penanganan Bayi dengan atresia ani harus dihentikan masukan makanan unuk
mencegah mual muntah dan dehidrasi lebih lanjut. Dekompresi dilakukan dengan
Pemasangan NGT Sebelum dilakukan tindakan operatif diberikan antibiotik
sebagai prefilaksi terhadap infeksi sebelum dilakukan tindakan operatif.
b. Penangana lanjut
Bentuk operasi yang diperlukan pada kelainan atresia ani letak rendah, baik tanpa
atau dengan fistula, adalah anoplasti perineum, kemudian dilanjutkan dengan
dilatasi pada anus yang baru selama 2-3 bulan. Tindakan ini paling baik dilakukan
dengan dilator Hegar selama bayi di rumah sakit dan kemudian orang tua penderita
dapat memakai jari tangan di rumah, sampai tepi anus lunak serta mudah
dilebarkan. sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan
normal. Konstipasi dapat dihindari dengan pengaturan diet yang baik dan
pemberian laktulose Sebelum operasi ini dikerjakan dilakukan terlebih dahulu test
provokasi dengan stimulator otot untuk dapat mengidentifikasi batas spinkter ani
eksternus. Pada kasus atresia letak redah yang lain, operasi diperlukan. Tujuan dari
operasi adalah untuk mengembalikan anus ke posisi yang normal dan membuat
jarak antara lubang anus dengan vagina. Operasinya disebut cut back incision dan
anal transposisi. Pada tipe atresia ani letak intermediate dan letak tinggi, apabila
jarak antara ujung rektum yang buntu ke lekukan anus kurang dari 1,5 cm,
pembedahan rekonstruktif dapat dilakukan melalui anoproktoplasti pada masa
neonatus. Akan tetapi, pada tipe III biasanya perlu dilakukan kolostomi pada masa
neonatus sebelum dilakukan pembedahan definitif pada usia 12-15 bulan.
Kolostomi bertujuan untuk :
Mengatasi obstruksi usus
Memungkinkan pembedahan rekonstruktif dapat dikerjakan dengan lapangan
operasi yang bersih
Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta
Penatalaksanaan Post-operatif
Perawatan Pasca Operasi PSARP
a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan selama 8- 10
hari.
b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2 kali sehari
dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai
mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila businasi
nomor 13-14 mudah masuk.
Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak
ada rasa nyeri bila dilakukan 2 kali sehari selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup
kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan. Pada kasus fistula rektouretral, kateter
foley dipasang hingga 5-7 hari. Sedangkan pada kasus kloaka persisten, kateter foley
dipasang hingga 10-14 hari. Drainase suprapubik diindikasikan pada pasien persisten
kloaka dengan saluran lebih dari 3 cm. Antibiotik intravena diberikan selama 2-3 hari, dan
antibiotik topikal berupa salep dapat digunakan pada luka. Dilatasi anus dimulai 2 minggu
setelah operasi. Untuk pertama kali dilakukan oleh ahli bedah, kemudian dilatasi dua kali
sehari dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun keluarga.
Setiap minggu lebar dilator ditambah 1 mm tercapai ukuran yang diinginkan.
Dilatasi harus dilanjutkan dua kali sehari sampai dilator dapat lewat dengan mudah.
Kemudian dilatasi dilakukan sekali sehari selama sebulan diikuti dengan dua kali
seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu dalam 1 bulan kemudian dan terakhir
sekali sebulan selama tiga bulan. Setelah ukuran yang diinginkan tercapai, dilakukan
penutupan kolostomi.
Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi karena kulit
perineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya. Salep tipikal yang
Pada klien dengan atresia ani menurut Suriadi dan Rita Yuliani ( 2001 ), Ngastiyah (2001)
adalah sebagai berikut :
1) Kaji bayi :
Fase Dasar Pengkajian
1. Pengkajian awal (primer)
2. Pengkajian Dasar (Sekunder)
3. Pengkajian ulang ( Tertier)
1. Pengkajian Awal (Primer)
a) Pengkajian dibuat dengan cepat selama pertemuan perama meliputi :
Ø Airway : Apakah jalan nafas paten?
Ø Breathing : Apakah pasien bernafas?
Ø Circulation : Apakah ada denyut jantung?
Ø Dissability : Kehilangan kemampuan
Ø Hemoragi : Apakah ada perdarahan hebat
2) Pemeriksaan fisik pendekatan head to toe
3) Tanpa mekonium dalam 24 jam setelah lahir.
4) Tentukan kepatenan rectal dengan menggunakan thermometer atau jari kelingking
yang memakai sarung tangan sepanjang 2 cm kedalam anus.
5) Adanya tinja dalam urine dan vagina.
6) Bila anus terlihat normal dan penyumbatan terdapat lebih tinggi dari perineum, gejala
akan timbul dalam 24 – 48 jam setelah lahir berupa perut kembung, muntah berwarna
hijau.
Pemeriksaan Penunjang
1) Jika ada fistula, urine dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel – sel epitel
meconium.
2) Pemeriksaan sinar X lateral inversil ( tehnik wangenteen rice ) dapat menunjukkan
adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu atau didekat perineum, dapat
menyesatkan jika rectum penuh dengan mekonium yang mencegah udara sampai ke
ujung kantong rectal.
3) Ultra sound dapat digunakan untuk menentukan letak kantong rectal.
Diagnosa Keperawatan
1. Cemas b/d pembedahan dan mempunyai anak yang tidak sempurna
2. Inkontinensia Bowel b/d struktur anus yang tidak komplit
3. Kerusakan integritas kulit b/d kolostomi
4. Kurang pengetahuan b/d perawatan di rumah dan pembedahan
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan
mencerna makanan
6. Resiko defisit volume cairan b/d pengurangan intake cairan
Discharge Planning
Berikan pujian saat melakukan perawatan dan jawab pertanyaan secara jujur apa yang
dibutuhkan keluarga
Ajarkan mengenai tanda dan gejala infeksi (demam, kemerahan di daerah luka, terasa
panas)
Ajarkan bagaimana menganai pengamanan pada bayi dan melakukan dilatasi anal
Berikan instruksi secara tertulis dan verbal tentang alat alat yang dibutuhkan untu
perawatan di rumah
Tekankan tetap mengadakan stimulasi pada bayi untuk mensupport tumbuh kembang
No Diagnosa keperawatan :
Cemas b/d pembedahan dan mempunyai anak yang tidak sempurna
Definisi : Perasaan gelisah yang tak jelas dari ketidaknyamanan atau ketakutan yang disertai
respon autonom (sumner tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu); perasaan
keprihatinan disebabkan dari antisipasi terhadap bahaya. Sinyal ini merupakan peringatan
adanya ancaman yang akan datang dan memungkinkan individu untuk mengambil langkah
untuk menyetujui terhadap tindakan
Ditandai dengan :
Gelisah
Insomnia
Resah
Betz Cecily & Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Edisi 3. Jakarta EGC.
De Jong, Wim & R. Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorlana. Alih Bahasa: Dyah Nuswantari Ed. 25
Jakarta: EGC
Grosfeld J, O’neill J, Coran A.2006. pediatric surgery 6th edition. Philadelphia : Mosby
elseivier
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Malformasi anorektal. Editor:
Mansjoer A. Jakarta: Media Aesculapius.
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Masrochah, Siti dkk. 2011. Invertogram – Atresia Ani. Modul praktek teknik radiografi lanjut
II.
Muttaqin, Arif. 2009. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Kepearawatan Medikal
Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Pena, Alberto. 2005. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
Pena, Alberto.1996. Ilmu Kesehatan Anak. Malformasi anorektum. Hal 1322-25. Editor:
Nelson; Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing