Anda di halaman 1dari 12

MODUL BAHAN AJAR HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI

IMUNITAS TERHADAP JAMUR DAN PARASIT


Andi Irhamnia Sakinah

IMUNOLOGI JAMUR
Jamur adalah organisme eukariotik, biasa ditemukan dalam alam sebagai spesies yang
hidup bebas dalam bahan organik mati, dalam tanah, vegetasi dan cairan tubuh. Untuk
hidupnya, jamur tidak tergantung dari interaksi dengan pejamu manusia.
Kebanyakan jamur tidak berbahaya, namun sebagian kecil spesies jamur dapat
menimbulkan penyakit pada manusia yang disebut mikosis. Penyakit tersebut, bervariasi
antara relatif infeksi superficial biasa sampai penyakit sistemik yang membahayakan
terutama pada pejamu imunodefisien. Hal tersebut tergantung dari berbagai hal seperti kapsul
yang sulit dicerna (kriptokok), resistensi terhadap fagositosis (histoplasma) dan destruksi sel
polimorfonuklear (koksidiosis). Beberapa jamur mengaktifkan komplemen melalui jalur
alternatif, tetapi efeknya terhadap kelangsungan hidupnya belum diketahui. Antibodi juga
dapat ditemukan dan diduga mempunyai peran dalam respons imun terhadap jamur.
Jamur mempunyai 2 bentuk, ragi (yeast) yang uniseluler dan kapang (mold) yang
tumbuh bercabang yang disebut hifa. Yang paling patogenik adalah genus aspergilus dan
genera dimorfik kriptokok dan histoplasma yang tumbuh sebagai jamur dalam alam atau sel
dalam biakan tetapi dapat tumbuh bercabang dalam jaringan manusia.
Penyakit yang ditimbulkan jamur dapat dibagi dalam 3 golongan klinis: mikosis
superficial, subkutan dan sistemik. Yang superficial sering menginfeksi jaringan berkeratin
seperti kulit (kurap), rambut dan kuku, biasanya disebabkan oleh Dermatophyta. Infeksi
jamur ini adalah kronis, relatif tidak berat. Dalam golongan ini juga termasuk infeksi
membran mukosa dengan Candida albicans. Meskipun C.albicans dapat ditemukan normal
di mulut, vagina dan saluran cerna, namun pertumbuhan berlebihan dapat terjadi pada
individu dengan imunokompromais atau mendapat antibiotik. Mikosis subkutan dapat
ditimbulkan setelah trauma seperti luka akibat tusukan jarum dan ditandai oleh abses.
Infeksi jamur terberat adalah infeksi sistemik seperti histoplasmosis, kriptokokosis
dan koksidiomikosis yang biasanya bermula sebagai infeksi paru dan diperoleh melalui
inhalasi spora dari jamur yang hidup bebas. Kebanyakan infeksi tidak menunjukkan gejala
atau hanya berupa gejala influenza ringan, tetapi kadang menyebar ke jaringan lain dan
sering fatal bila tak diobati. Penyakit jamur sistemik cenderung terjadi pada subyek
imunodefisen antara lain karena pemberian dosis tinggi steroid, kemoterapi pada kanker,
pasien dengan AIDS dan kateter yang dipasang lama.

A. Sel Efektor pada Infeksi Jamur


Resistensi alamiah terhadap banyak jamur patogen tergantung pada fagosit.
Meskipun dapat terjadi pembunuhan intraseluler, jamur terbanyak diserang ekstraseluler oleh
karena ukurannya yang besar. Neutrofil merupakan sel terefektif, terutama terhadap candida
dan aspergillus.
Jamur juga merangsang produksi sitokin seperti IL-1 dan TNF-α yang meningkatkan
ekspresi molekul adhesi di endotel setempat yang meningkatkan infiltrasi neutrofil ke tempat
infeksi. Neutrofil membunuh jamur yang oksigen dependen dan oksigen independen yang
toksik.
Makrofag alveolar berperan sebagai sel dalam pertahanan pertama terhadap spora
jamur yang terhirup. Aspergillus biasanya mudah dihancurkan oleh makrofag alveolar, tetapi
C.imunitis dan H.capsulatum dapat ditemukan pada orang normal dan resisten terhadap
makrofag. Dalam hal ini makrofag masih dapat menunjukkan perannya melalui aktivasi sel
Th 1 untuk membentuk granuloma.
Sel NK juga dapat melawan jamur. Pertama melalui pelepasan granul yang
mengandung sitolisin. Sel NK juga dapat membunuh langsung bila dirangsang oleh bahan
asal jamur yang memacu makrofag memproduksi sitokin seperti TNF dan IFN- yang
mengaktifkan sel NK.

B. Imunitas Nonspesifik
Sawar fisik kulit dan membran mukosa, faktor kimiawi dalam serum dan sekresi kulit
berperan dalam imunitas nonspesifik. Efektor utama imunitas nonspesifik terhadap jamur
adalah neutrofil dan makrofag. Pasien dengan neutropenia sangat rentan terhadap jamur
opportunistik. Neutrofil diduga melepas bahan fungisidal seperti ROI dan enzim lisosom
serta memakan jamur untuk dibunuh intraseluler. Galur virulen seperti Cryptococcus
neoformans menghambat produksi sitokin TNF dan IL-12 oleh makrofag dan merangsang
produksi IL-10 yang menghambat aktivasi makrofag.

C. Imunitas Spesifik
Imunitas nonspesifik kadang kurang efektif, tidak mampu membatasi pertumbuhan
jamur patogen. Tidak banyak bukti bahwa antibodi berperan dalam resolusi dan kontrol
infeksi.
CMI merupakan efektor imunitas spesifik utama terhadap infeksi jamur Histoplasma
capsulatum, parasit intraseluler fakultatif hidup dalam makrofag dan dieliminasi oleh efektor
seluler sama yang efektif terhadap bakteri intraseluler. CD4+ dan CD8+ bekerja sama untuk
menyingkirkan bentuk C.neoformans yang cenderung mengkolonisasi paru dan otak pada
pejamu imunokompromais.
Infeksi candida sering dimulai pada permukaan mukosa dan CMI diduga dapat
mencegah penyebarannya ke jaringan. Pada semua keadaan tersebut, respons Th1 adalah
protektif sedangkan respons Th2 dapat merusak pejamu.
Inflamasi granuloma dapat menimbulkan kerusakan pejamu seperti pada infeksi
histoplasma. Kadang terjadi respons humoral yang dapat digunakan dalam diagnostic
serologis, namun efek proteksinya belum diketahui.

D. Penyakit jamur
Infeksi jamur atau mikosis menunjukkan morbiditas dan mortalitas penting pada
manusia. Beberapa infeksi di antaranya adalah endemik dan biasanya disebabkan jamur yang
ditemukan dalam lingkungan yang sporanya terhirup manusia. Infeksi jamur sering disebut
oportunistik yang dapat menimbulkan penyakit berat pada subyek imunokompromais.
Dewasa ini ditemukan peningkatan infeksi jamur terutama pada subyek
imunokompromais yang disebabkan AIDS, yang mendapat terapi terhadap kanker dan
penolakan transplantasi yang menekan sumsum tulang dan respons imun. Berbagai jamur
menginfeksi manusia dan hidup daalam jaringan ekstraseluler dan dalam fagosit. Karena itu
diperlukan efektor ekstraseluler dan intraseluler.
Menurut lokasi infeksi, jamur pada manusia dapat berupa:
 Jamur permukaan yang hidup dalam komponen kulit yang mati, rambut dan kuku
yang mengandung keratin.
 Jamur subkutan yang hidup sebagai saprofit dan menimbulkan nodul kronik atau
tukak
 Jamur saluran napas yang berasal dari saprofit tanah dan menimbulkan infeksi paru
subklinis atau akut.
 Kandida albikans yang menimbulkan infeksi superficial pada kulit dan membrane
mukosa.
E. Allergic bronchopulmonary aspergillosis
Antara infeksi dermatofit kronis dan atopi ada hubungan. Diduga bahwa antigen
dermatofit merupakan allergen penting. Namun peran antigen jamur pada asma dan penyakit
alergi berat lainnya belum jelas. Yang sudah diketahui adalah yang terjadi pada allergic
bronchopulmonary aspergillosis (ABA). Penyakit ini terjadi pada individu yang hipersensitif
terhadap Aspergillus fumigatus dan menunjukkan aktivasi Th2 dan gejala serupa asma.

Gambar 1. Akibat-akibat yang Dapat Ditimbulkan oleh Inhalasi Spora Jamur

ABA merupakan contoh penyakit jamur lain yang menunjukkan adanya peran sitokin
regulatori, baik yang diproduksi sel Th1 maupun Th2. IL-10 dapat mengurangi inflamasi dan
hipersensitivitas saluran napas yang ditimbulkan oleh pajanan A.furnigatus, dengan
membatasi baik aktivasi sel Th1 maupun Th2.

IMUNOLOGI PARASIT
Golongan parasit berupa protozoa (malaria, tripanosoma, toksoplasma, leishmania
dan amoeba), cacing, ektoparasit (kutu, tungau) menunjukkan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitasnya yang bermakna terutama di negara-negara yang sedang berkembang.
Sekitar 30% populasi dunia diduga terinfeksi parasit. Banyak parasit mempunyai siklus hidup
kompleks yang sebagian terjadi di dalam tubuh manusia. Kebanyakan infeksi parasit bersifat
kronis yang disebabkan oleh imunitas nonspesifik yang lemah dan kemampuan parasit untuk
bertahan terhadap imunitas spesifik. Di samping itu banyak antibiotik dan obat antiparasit
tidak efektif lagi untuk membunuh parasit. Masyarakat yang hidup di daerah endemik
berulang-ulang terpajan sehingga memerlukan kemoterapi berulang kali yang sulit dilakukan.
Vaksin terhadap parasit juga belum berkembang. Vaksinasi terhadap protozoa sulit
memberikan proteksi. Hal tersebut diduga karena diperlukan faktor humoral (IgG diduga
berperan penting) dan selular. Pada malaria, antibodi diduga protektif yang dapat mencegah
merozoit (fase darah) memasuki sel darah merah. Imunitas terhadap jenis atau spesies yang
satu tidak protektif terhadap yang lain.
Sistem imun nonspesifik dapat protektif terhadap malaria tertentu. Mereka yang
memiliki antigen golongan darah Fy (a-b-) Duffy, imun terhadap Plasmodium vivax dan Hb
sel darah merah pada anemia bulan sabit mencegah P.falciparum berkembang dalam sel.
Tripanosoma terus-menerus menguji sistem imun dengan memproduksi pirogen dan
mantel antigen yang berubah-rubah/mutasi sehingga sulit untuk dikenal dan dieliminasi
sistem imun.
Toksoplasma melepaskan diri dan sistem imun, dapat menutup diri dengan laminin
dan matriks protein ekstraseluler yang mencegah fagositosis dan kerusakan oksidatif.
Respons seluler terhadap toksoplasma nampak sangat efektif.
Protozoa lain seperti leishmania mempunyai predileksi untuk menginfeksikan
makrofag dan memerlukan respons seluler untuk eradikasinya IFN-ϒ yang diprofuksi sel Th1
diduga merupakan sitokin terpenting untuk membunuh parasit.
Sel T, terutama sel Tc, dapat menghancurkan parasit intraseluler, misalnya T.cruzi.
Limfokin yang dilepas sel T yang disensitasi dapat mengaktifkan makrofag untuk
meningkatkan ekspresi reseptor untuk Fc dan C3, berbagai enzim dan faktor lain yang dapat
meningkatkan sitotoksisitas. Peran humoral dan seluler terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Respons Imun terhadap Parasit yang Menimbulkan Penyakit


Mekanisme Imunitas
Parasit Penyakit
Protektif Utama
Protozoa
Plasmodium Malaria Antibodi dan CD8+/CTL
Lesmania Lesmanianisasi (mukokutan, Th1 CD4+ mengaktifkan
diseminasi) makrofag untuk membunuh
parasit yang dimakan
Tripanosoma Tripanosomiasis afrika Antibodi
Entamoeba histolitika Amebiasis Antibodi, fagositosis

Metazoa
Skistosoma Skistosomiasis ADCC atas peran eosinofil,
makrofag.
Filaria Filariasis CMI; peran antibody?

A. Imunitas Nonspesifik
Meskipun berbagai protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas nonspesifik melalui
mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut biasanya dapat tetap hidup dan berkembang biak
dalam pejamu oleh karena dapat beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem imun
pejamu. Respons imun nonspesifik utama terhadap protozoa adalah fagositosis, tetapi banyak
parasit tersebut yang resisten terhadap efek bakterisidal makrofag, bahkan beberapa
diantaranya dapat hidup dalam makrofag. Beberapa protozoa dapat mengekspresikan molekul
permukaan yang dikenali oleh TLRs dan mengaktifkan fagosit. Fagosit juga menyerang
cacing dan melepas bahan mikrobisidal untuk membunuh mikroba yang terlalu besar untuk
dimakan. Banyak cacing memiliki lapisan permukaan tebal sehingga resisten terhadap
mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag. Beberapa cacing juga mengaktifkan komplemen
melalui jalur alternative komplemen, meskipun banyak parasit ternyata mengembangkan
resistensi terhadap efek lisis komplemen.

Tabel 2. Respon Imun terhadap Parasit Penyebab Penyakit


B. Imunitas Spesifik
1. Respons Imun yang Berbeda
Berbagai protozoa dan cacing berbeda dalam besar, struktur, sifat biokimiawi,
siklus hidup dan patogenesitasnya. Hal itu menimbulkan respons imun spesifik yang
berbeda pula. Infeksi cacing biasanya terjadi kronik itu akan menimbulkan rangsangan
antigen persisten yang meningkatkan kadar immunoglobulin dalam sirkulasi dan
pembentukan kompleks imun. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi
sebagai mitogen poliklonal sel B yang T independen.
Beberapa protozoa patogenik telah berevolusi untuk bertahan dalam sel pejamu,
sehingga imunitas melawan organisme ini dimediasi oleh mekanisme yang serupa
dalam mengeliminasi bakteri intraseluler dan virus. Sebaliknya, metazoan seperti
helminthes bertahan hidup dalam jaringan ekstraseluler, dan eliminasinya sering
bergantung pada respon antibodi spesial yang timbul.

2. Infeksi Cacing
Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2.
Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4
merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil.
IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil
diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit.
Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung
granul yang lebih toksik disbanding enzim proteolitik dan ROI yang diproduksi
neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE
yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah
menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna.
Gambar 2. Pengeluaran Cacing dari Lumen Saluran Cerna

Parasit yang masuk ke dalam lumen saluran cerna, pertama dirusak oleh IgG, IgE
dan juga mungkin dibantu oleh ADCC. Sitokin yang dilepas sel T yang dipacu antigen
spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubungi
cacing yang dirusak. Hal itu memungkinkan cacing dapat dikeluarkan dari tubuh
melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan
diare akibat pencegahan absorbs natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan
prostaglandin asal sel mast.

Gambar 3. Pengeluaran Cacing dari Usus

Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang
IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat
cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein
kationik, MBP dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan
melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing.

3. Filariasis
Filariasis limfatik dan sumbatan saluran limfe oleh parasit menimbulkan CMI
kronis, fibrosis dan akhirnya limfedema berat. Infestasi persisten parasit kronis sering
disertai pembentukan kompleks antigen parasit dan antibodi spesifik yang dapat
diendapkan di dinding pembuluh darah dan glomerulus ginjal yang menimbulkan
vaskulitis dan nefritis. Penyakit kompleks imun dapat terjadi pada skistosoma dan
malaria.
Filariasis limfatik menunjukkan gambaran klinis dengan spectrum luas pada
berbagai pejamu, mulai dari besar jumlah parasit dengan sedikit gejala klinis sampai
yang kronis dengan parasit yang sedikit ditemukan. Sifat sistem imun pada individu
tersebut berbeda.
Dengan munculnya mikrofilarian dalam darah, sitokin Th2 menjadi dominan,
disertai dengan cepat menghilangnya respons sel T dan peningkatan mencolok dalam
sintesis IgG4 spesifik parasit. Induksi toleransi sel T terhadap parasit diduga terjadi
dalam subset Th1. Pada individu yang sakit, toleransi dipatahkan dan respons terhadap
Th1 dan Th2 meningkat secara dramatis. Baik respons Th1 dan Th2 terhadap antigen
filarial ditemukan pada individu yang imun terhadap infeksi ulang. Oleh karena itu
kedua respons Th dianggap penting pada proteksi pejamu dan patogenesis filariasis.

4. Granuloma
Pada beberapa infeksi, cacing tidak dapat dihancurkan oleh sistem imun dengan
cara-cara yang sudah disebut di atas. Dalam hal ini badan berusaha mengucilkan parasit
dengan membentuk kapsul yang terdiri atas sel-sel inflamasi. Reaksi tersebut
merupakan respons seluler terhadap pelepasan antigen kronik stempat. Makrofag yang
dikerahkan, melepas faktor fibrogenik dan merangsang pembentukan jaringan
granuloma dan fibrotik. Hal tersebut terjadi atas pengaruh sel Th1 dan defisiensi sel T
akan mengurangi kemampuan tubuh untuk membentuk granuloma dan kapsul.
Pembentukan granuloma terlihat jelas di sekitar telur cacing skistosoma di hati. Fibrosis
yang berat yang berhubungan dengan CMI dapat merusak arus darah vena di hati dan
menimbulkan hipertensi portal dan sirosis.

5. Respons Th1 dan Th2 pada infeksi parasit


Respons terhadap infeksi seperti pada lepra dan leishmania berhubungan dengan
respons Th1 dan Th2. Pada infeksi parasit intraseluler, gambaran kedua respons
tersebut berhubungan dengan prognosis baik dan buruk. Sebetulnya dalam menentukan
perjalanan penyakit, peran Th1 dan Th2 pada banyak penyakit parasit lebih kompleks.

C. Mekanisme Parasit Menghindari Sistem Imun


Parasit dapat menghindarkan diri dari respons imun pejamu melalui berbagai
mekanisme sebagai berikut:
1. Pengaruh lokasi
Banyak parasit terlindung dari sistem imun oleh karena letaknya yang secara
anatomis tidak terpajan dengan sistem imun, misalnya parasit intraseluler seperti
T.cruzi, lesmania, plasmodium, T.spiralis, E.hystolitica atau yang hidup dalam lumen
saluran cerna seperti cacing.
2. Parasit mengubah antigen
Tripanosoma africa, dapat merubah antigen mantel permukaannya melalui proses
yang disebut variasi antigenic. Beberapa parasit malaria juga dapat menunjukkan
variasi tersebut.
Ada dua bentuk variasi antigenik. Pertama, perubahan yang tergantung dari fase
perkembangan. Dalam fase pematangannya parasit memproduksi antigen yang berbeda
dari fase infektif, misalnya fase sporozoit parasit malaria antigenik berbeda dari
merozoit yang berperan pada infeksi kronis. Pada waktu respons imun berkembang
terhadap infeksi sporozoit, parasit berdiferensiasi, mengekspresikan antigen baru
sehingga antigen lama bukan lagi merupakan sasaran untuk eliminasi imun.
Contoh lain dari variasi antigen parasit yang terjadi terus menerus dalam antigen
permukaan utamanya terlihat pada T.brucei dan T.rodesiensis. Variasi yang terus
menerus terjadi itu diduga ditimbulkan oleh adanya variasi yang terprogram dalam
ekspresi gen yang menyandi antigen permukaan utama. Parasit lain menutup dirinya
dengan antibodi sehingga sistem imun pejamu tidak mengenalnya.
3. Supresi sistem imun pejamu
Parasit seperti larva T.spiralis, skistosoma dapat merusak sel limfoid atau
jaringan secara langsung. Antigen yang dilepas parasit dalam jumlah besar dapat juga
mengurangi efek respons sistem imun pejamu.
Anergi sel T ditemukan pada skistosomiasis berat yang mengenai hati dan limpa
dan infestasi filariasis limfatik, infeksi kelenjar getah bening merusak arsitektur
kelenjar dan mengakibatkan defisiensi imun. Defisiensi imun juga terjadi pada malaria
dan tripanosomiasis Afrika yang disebabkan oleh produksi sitokin imunosupresif oleh
makrofag dan sel T yang diaktifkan dan defek dalam aktivasi sel T.
4. Resistensi
Parasit menjadi resisten terhadap respons imun selama menginfestasi pejamu.
Larva skitosoma bergerak dari paru dan selama migrasi tersebut mengembangkan
tegument yang resisten terhadap kerusakan oleh komplemen dan CTL. Dasar
biokimiawinya belum diketahui.
5. Hidup dalam sel pejamu
Protozoa menghindari respons imun dengan meilih hidup dalam sel pejamu atau
dengan mengembangkan kista yang resisten terhadap efektor imun. Beberapa cacing
hidup dalam lumen saluran cerna dan terlindung dari efektor CMI. Parasit kadang juga
melepaskan tutup antigennya, spontan atau setelah berikatan dengan antibodi sehingga
menjadikannya resisten terhadap efektor sistem imun.

Tabel 3. Mekanisme Penghindaran Imun oleh Parasit

D. Malaria
Imunitas terhadap malaria falciparum terjadi sangat perlahan. Studi pada tikus
menunjukkan peran respons Th1 dan Th2 meskipun berbeda, namun sangat penting dalam
mengontrol penyakit. Antibodi berperan dalam imunitas terhadap sporozoit yang disuntikkan
ke nyamuk yang dapat mencegah infeksi hepatosit. Sel CD8+ dapat meghancurkan parasit
yang sudah ada dalam sel hati. Produksi IFN- oleh sel CD8+ lebih berperan untuk
mengontrol replikasi parasit disbanding aktivasi lisis direk. Diduga bahwa sel Th1CD4+ yang
memproduksi IFN-ϒ juga berperan dalam mengontrol fae hati. Namun siklus eritrosit lebih
memerlukan perhatian. Pada fase ini parasit berkembang dan menyertai gejala penyakit. Sel
Th1 memproduksi sitokin proinflamasi yang memacu aktivasi makrofag dan destruksi sel
darah merah terinfeksi. Dengan progress infeksi, sel Th2 memacu produksi antibodi spesifik,
yang menghambat reinvasi sel darah lebih banyak. Antobodi berperan dalam destruksi sel
darah terinfeksi melalui aktivasi komplemen dan memacu makrofag untuk memakannya
melalui Fc-R.
Pada P. falciparum, terjadi produksi sitokin Th1 berlebihan. Meskipun hal itu
diperlukan pada infeksi parasit, tetapi sering disertai dengan komplikasi berbahaya yang
dapat mengancam maut pada malaria serebral. Malaria serebral, semula diduga disebabkan
sel darah merah dengan parasit yang menempel ke vaskulatur otak dan menimbulkan
hambatan fisik yang mengurangi oksigen ke otak. Meskipun adherens parasit merupakan
faktor penting dalam terjadinya kerusakan jaringa, dewasa ini dianggap bahwa penghancuran
parasit dalam otak menimbulkan sitokin proinflamasi TNF-α yang menimbulkan kerusakan
otak. IL-10 sangat esensial untuk dapat mencegah kerusakan jaringan otak yang lebih berat.
Sel darah merah yang terinfeksi P.falciparum, menempel pada endotel venul kecil dan
menimbulkan penyumbatan mikrovaskular. Parasit yang dihancurkan dapat memacu produksi
IL-1 dan TNF dalam kadar tinggi. NO yang diproduksi oleh endotel otak sebagai respons
terhadap kadar IL-1 dan TNF dalam kadar tinggi dapat menimbulkan gejala serebral melalui
hambatan neurotransmitter.

Gambar 4. TNF dan Malaria Berat

Bila sitokin-sitokin tersebut diberikan eksogen, dapat menimbulkan demam dan gejala
nonspesifik malaria. Produksi TNF yang berlebihan diduga menimbulkan banyak komplikasi
malaria yang mengancam hidup seperti suhu tinggi, hipoglikemi dan malaria serebral.

E. Skistosomiasis
Meskipun kadar tinggi IgE dan eosinofil merupakan gambaran kunci skistosoma
manusia dan hewan, peranannya dalam imunitas didapat belum jelas. Respons IgE pada
infeksi manusia dapat protektif bila dkombinasi dengan eosinofil yang membunuh larva
skistosoma melalui ADCC, tetapi apakah hal itu juga terjadi in vivo, belum jelas.
IL-4 yang merupakan sitokin Th2 meningkatkan sinteis IgE, sedang sitokin Th1
menurunkan produksinya. Di samping itu IL-5 diperlukan untuk produksi eosinofil. IL-5
diproduksi dalam jumlah besar pada subyek yang resisten terhadap infeksi.
Infeksi skistosoma menimbulkan respons inflamasi terhadap telur parasit yang terdiri
atas granuloma yang Th1 dependen. Granuloma terdiri atas sel T, B, makrofag, fibroblast dan
sejumlah besar eosinofil yang dapat mengucilkan telur. Pada eksperimen dengan tikus,
intensitas infeksi yang memacu terjadinya granuloma pada minggu ke 7-8. Respons dini
terhadap antigen telur adalah tipe Th1 dan Th2 dengan pengalihan ke Th2 yang berlangsung
lama.

Gambar 5. Diferensiasi Sel Th1/Th2 yang Diinduksi Telur S.mansoni

Pola sitokin Th2 yang disekresi dan protektif pada skistosomiasis hanya terjadi bila cacing
dewasa mulai mengeluarkan telur. Namun, respons imun yang membentuk granuloma sekitar
telur sangat kompleks dan melibatkan interaksi dinamis antara subset sel Th1 dan berbagai
sel inflamasi, seperti makrofag dan eosinofil yang diaktifkan.
a) Respons terhadap telur yang sel T dependen diawali oleh respons Th1 dan Th2. TNF-α
diproduksi oleh sel T yang spesifik terhadap telur dan makrofag yang dikerahkan ke
tempat, merupakan sitokin kunci dalam perkembangan granuloma yang penuh.
b) Dengan waktu, respons inflamasi keseluruhan menghilang dan granuloma seluruhnya
menjadi Th2 dependen. Antigen larut telur yang dilepas perlahan dapat mengalihkan
respons kea rah Th2. Di antara antigen-antigen tersebut, trisakarida Lewis yang
merangsang (panah) subset spesifik sel B untuk berproliferasi dan memprouksi sejumlah
besar IL-10. IL-10 menurunkan ekspresi molekul kostimulator pada APC dan merupakan
sitokin yang paling berperan untuk menurunkan modulasi besar granuloma yang dapat
terjadi dengan waktu.

F. Sel Mast pada Infeksi Cacing


Meskipun sudah diketahui bahwa sitokin Th2 diperlukan untuk mengeluarkan cacing
dari saluran cerna, masih sangat sulit untuk menentukan jenis sel efektor yang menjadi
sasaran sitokin tersebut.
Dewasa ini diketahui ada jalur efektor multiple yang memacu Th2 dalam usus dan
bahwa kerentanan parasit terhadap mekanisme pertahanan pejamu bervariasi. Efektor Th2
adalah antibodi, eosinofil dan sel mast. Namun pada hewan eksperimental, baik antibodi
maupun eosinofil terbukti tidak diperlukan. Pada beberapa infeksi (Trichinella spiralis)
antibodi diperlukan untuk pengeluaran cacing yang lebih cepat.
Sel mast mukosa diperlukan untuk pengeluaran beberapa spesies seperti Strongyloides
dan Trichinella tetapi tidak pada Trichiuris dan Nipostrongylus. Sel mast mengikat IgE pada
permukaan parasit melalui Fce-R dengan afinitas tinggi. Peningkatan mencolok kadar IgE
akibat infeksi dengan cacing saluran cerna mungkin merupakan bagian penting dari
degranulasi sel mast yang terarah untuk melepas mediator. Selain efek toksik, mediator
tersebut juga memacu motilitas usus dan produksi glikoprotein musin oleh sel goblet usus.
Hipersekresi mukus dapat mencegah kontak dan pengambilan nutrient oleh parasit. Jadi
peningkatan sekresi mukus dan peristalsis usus mungkin sudah cukup untuk mengeluarkan
cacing.
Bila tidak ada sel mast, hal sama dapat terjadi terhadap fisiologi usus. Pengeluaran
cacing lain seperti N.braziliensis tidak memerlukan sel mast dan lebih dependen atas
produksi IL-13 dibanding IL-4. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena IL-3 merupakan
pemicu induksi poten untuk hiperplasia sel goblet dan diduga sekresi musin merupakan
komponen kunci untuk mengeluarkan N.braziliensis.

G. Eosinofil pada Imunitas Cacing


Eosinofil merupakan petanda umum adanya infeksi cacing dan sudah lama diduga
bahwa sel tersebut sitotoksik dan diperlukan pada destruksi patogen multiseluler berukuran
besar. Namun tidak banyak bukti mengenai peran eosinofil dalam pengeluaran cacing. Bukti
yang banyak ditemukan adalah adanya fungsi sitolitik terhadap fase larva parasit yang
bermigrasi ke jaringan. Eosinofil diduga juga diperlukan untuk menghancurkan larva yang
masuk jaringan.

H. Makrofag dan Nitrit untuk Membunuh Parasit


Makrofag merupakan sel terpenting yang memproduksi sitokin untuk mengontrol dan
menyingkirkan parasit. NO yang diproduksi makrofag nampaknya sangat berperan untuk
membunuh parasit. NO adalah sitotoksik atau sitostatik untuk malaria, leishmania, T.cruzi,
toxoplasma, skistosoman dan fungus patogen C.neoformans. IFN- merupakan sitokin
penting oleh karena dapat mengaktfikan respiratory burst yang menghasilkan NO. IFN-α
dapat bekerja sinergistik dengan IFN- dalam meningkatkan produksi NO dengan
menginduksi sintesis oksida nitrit (NOS). Sitokin TGF-β dan IL-10 menghambat produksi
NO oleh makrofag.
Jalur NO penting dalam pembunuhan cacing ekstraseluler. Kebanyakan larva cacing
dapat dibunuh in vitro oleh makrofag yang diaktifkan IFN-. Banyak parasit dapat melawan
serangan oksidatif dengan berbagai strategi. Larva skistosoma terutama mencegah respons
Th1: makrofag yang diaktfikan oleh sitokin Th1 dapat membunuh larva yang tidak
tergantung antibodi. NO reaktif yang diproduksi oleh makrofag yang diaktifkan atas
pengaruh IFN diduga berperan.

I. Sel CD8+ membunuh parasit protozoa intrasitoplasmik


Seperti halnya dengan virus, antigen banyak protozoa (misalnya T. cruzi) dapat diolah
melalui jalur presentasi antigen endogen. Oleh karena itu merupakan sasaran untuk sel CD8+.
Sel ini menentukan resistensi terhadap infeksi primer dan sekunder T. cruzi. Kebalikannya,
leishmania hidup dalam kompartemen endolisosomal yang tidak dapat dicapai untuk
dipresentasikan oleh MHC-1. Sel CD8+ bukanlah pameran utama dalam imunitas leishmania.

I. SUMBER KEPUSTAKAAN
1. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S. Imunnity to Microbes. In: Cellular and
Molecular Immunology 6th Edition (International Edition). USA: Saunders, Elsevier
Inc. 2007.
2. Baratawidjaja, K.G. Imunologi Infeksi. Dalam: Imunologi Dasar, Edisi ke-7. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
3. Subowo. Imunitas dan Infeksi. Dalam: Imunologi Klinik. Jakarta: Sagung Seto. 2013.

Anda mungkin juga menyukai