IMUNITAS ALAMIAH
Andi Irhamnia Sakinah
Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu memahami karakteristik proses pengenalan imunitas alamiah
2. Mahasiswa mampu memahami komponen sistem imunitas alamiah
3. Mahasiswa mampu memahami peran imunitas alamiah dalam merangsang respon imun
adaptif
Sel-sel sistem imun tersebar di seluruh tubuh dan ditemukan di dalam sumsum tulang,
timus, darah, kelenjar getah bening, limpa, saluran napas, saluran cerna, saluran kemih dan
jaringan. Sel-sel tersebut berasal dari sel prekursor yang multipoten dalam sumsum tulang
yang kemudian berdiferensiasi menjadi dua golongan sel progenitor imun.
Imunitas alamiah merupakan lini pertama pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Mekanisme imunitas alamiah ada sebelum mikroba masuk dan secara cepat diaktifkan oleh
mikroba sebelum pembentukan respon imun adaptif. Imunitas alamiah menyediakan dua
fungsi utama yakni sebagai berikut.
1. Imunitas alamiah adalah respon awal terhadap mikroba yang mencegah, mengontrol,
atau mengeliminasi infeksi pada pejamu.
2. Imunitas alamiah terhadap mikroba merangsang respon imun adapatif dan dapat
mempengaruhi sifat respon adaptif untuk membuatnya secara efektif optimal dalam
melawan berbagai jenis mikroba
Tabel 1. Spesifitas Imunitas Alamiah dan Adaptif
Gambar 2. TLR Mamalia: spesifitas, mekanisme dasar pesinyalan, dan respon seluler.
Barier Epitel
Permukaan epitel intak membentuk barrier fisik antara mikroba dalam lingkungan
external dan jaringan pejamu. Tiga titik pertemuan utama antara lingkungan dan pejamu
adalah kulit, permukaan mukosa gastrointestinal dan tractus respiratorius. Ketiga lokasi ini
dilindungi oleh epitel kontinyu yang mencegah masuknya mikroba, dan kehilangan integritas
epitel ini umumnya menjadi predisposisi terhadap infeksi.
Epitel sama halnya dengan leukosit memproduksi peptide yang memiliki efek
antimikroba. Dua struktur yang membedakan kelompok peptide antimikroba yakni
defensins dan cathecidins. Defensins diproduksi oleh sel epitel permukaan mukosa dan
leukosit bergranule, termasuk neutrofil, sel NK, dan limfosit T sitotoksik. Selain itu,
defensins juga diproduksi di usus, sel mukosa respiratorius, dan kulit. Beberapa defensing
diproduksi oleh beberapa tipe sel, tetapi sekresinya dapat dipertahankan oleh sitokin atau
produksi mikroba. Perlindungan defensins termasuk toksisitas langsung terhadap mikroba,
termasuk bakteri dan jamur, serta aktivasi sel melibatkan respon inflamasi terhadap mikroba.
Cathelicidins diekspresikan oleh neutrofil dan berbagai barrier epitel, termasuk kulit,
sel mukosa gastrointestinal dan respiratorius. Sintesis prekursornya dan efek proteolitiknya
merangsang sitokin inflamasi dan produk microbial. Fragment terminal-C, yang disebut LL-
37 memiliki fungsi perlindungan multipel. Mekanisme ini termasuk toksisitas langsung
terhadap mikrorganisme spectrum luas, dan aktivasi berbagai respon leukosit dan tipe sel lain
yang menyebabkan eradikasi mikroba. LL-37 juga dapat mengikat dan menetralkan LPS,
yang merupakan komponen toksik dinding luat bakteri gram-negatif.
Barrier epitel dan kavitas serosa mengandung limfosit jenis tertentu, termasuk
limfosit T intraepithelial dan subset B-1 sel B sendiri yang mengenali dan berespon
terhadap mikroba yang masuk pada umumnya. Berbagai subset limfosit intraepitel
terdapat dalam proporsi yang berbeda-beda, tergantung spesies dan lokasi jaringannya.
Subset ini dibedakan terutama melalui jenis reseptor antigen sel T (TCRs) yang
diekspresikannya. Beberapa limfosit intraepitel mengekspresikan TCR bentuk
konvensional, yang terdapat pada kebanyakan sel T di jaringan limfoid. Sel T lainnya pada
epitel mengekspresikan bentuk reseptor antigen yang disebut reseptor yang dapat
mengenali antigen peptide dan nonpeptide. Limfosit intraepitel dapat berfungsi pada
pertahanan pejamu dengan menyekresikan sitokin, fagosit teraktivasi, dan membunuh sel
terinfeksi. Cavum peritoneal mengandung populasi limfosit B, disebut sel B-1, yang reseptor
antigennya merupakan molekul immunoglobulin, seperti liimfosit B lainnya, tetapi memiliki
keberagaman yang terbatas, seperti reseptor antigen limfosit T intraepithelial. Banyak sel B-1
memproduksi antibodi IgM spesifik untuk antigen polisakarida dan lipid, seperti posforilkolin
dan LPS, yang dibagikan oleh banyak jenis bakteri. Faktanya, individu normal memiliki
antibodi bersirkulasi yang melawan bakteri, yang kebanyakan terdapat pada usus, tanpa
adanya bukti infeksi. Antibodi ini disebut antibodi alami dan merupakan produk sel B-1
terbesar. Antibodi alami menyajikan mekanisme pertahanan awal melawan mikroba yang
sukses memasuki barrier epitel.
Populasi ketiga sel yang terdapat di bawah banyak epitel dan kavitas serosa adalah sel
mast. Sel mast berespon secara langsung terhadap produk mikroba dengan menyekresikan
sitokin dan mediator lemak yang memicu inflamasi.
Neutrofil
Neutrofil, disebut juga leukosit PMN, merupakan populasi terbesar sel darah putih
yang tersirkulasi dalam darah dan memediasi fasa dini dari respon inflamasi. Sitoplasma
neutrofil mengandung 2 jenis granule. Kebanyakan, yang disebut granul spesifik,
mengandung enzim lisozim, kolagenase, dan elastase. Granul ini tidak terwarna kuat dengan
baik dengan pewarnaan dasar atau pewarnaan asam (pewarnaan HE), yang membedakan
granul neutrofil dari basofil dan eosinofil. Granula lainnya, disebut, granule azurophilic,
merupakan enzim berisikan lisosom dan substansi mikrobisidal lainnya, termasuk defensins
dan cathecidins. Neutrofil dapat bermigrasi ke lokasi infeksi dalam beberapa jam setelah
masuknya mikroba. Jika neutrofil tersirkulasi tidak terekrut ke lokasi inflamasi pada periode
ini, sel menjadi apoptosis dan biasanya difagositosis oleh makrofag yang tinggal di hati atau
limpa. Bahkan setelah memasuki jaringan, neutrofil dapat berfungsi selama beberapa jam dan
kemudian mati.
Eosinofil
Eosinofil merupakan 2-5% dari sel darah putih orang sehat tanpa alergi. Seperti
neutrofil, eosinofil juga berfungsi sebagai fagosit. Eosinofil dapat pula dirangsang untuk
degranulasi seperti halnya pada sel mast dan basofil serta melepas mediator yang sudah lama
diketahui adalah arilsulfatase dan histaminases yang dapat menginaktifkan histamin sehingga
eosinofil pernah dianggap sebagai sel peredam alergi.
Eosinofil mengandung berbagai granul seperti MBP, ECP, EDN, dan EPO yang
bersifat toksik dan yang bila dilepas, dapat menghancurkan sel sasaran. Eosinofil juga
berperan pada imunitas parasit. Eosinofil memiliki berbagai reseptor antara lain untuk IgE
(Fcϵ-RII dengan afinitas lemah) seperti halnya dengan sel mast (Fcϵ-RI) dengan afinitas kuat.
Fagosit Mononuklear
Sistem fagosit mononuklear terdiri dari sel-sel yang berasal dari turunan yang
serupa yang berfungsi utama sebagai fagositosis, dan memainkan peran penting dalam
imunitas alamiah dan adaptif. Sel-sel sistem fagosit mononuklear berasal dari sumsum
tulang, bersirkulasi dalam darah, dan matur serta menjadi aktif dalam berbagai jaringan. Sel
pertama yang memasuki darah perifer setelah meninggalkan sumsum belum berdiferensiasi
sempurna dan disebut monosit. Ketika memasuki jaringan, sel-sel ini menjadi matur dan
berubah menjadi makrofag. Makrofag dapat berubah bentuk setelah aktivasi stimulus
eksternal, seperti mikroba. Beberapa menghilangkan sitoplasmanya dan disebut sel epiteloid
disebabkan karena penampakannya serupa dengan sel epitel kulit. Makrofag teraktivasi dapat
berfusi menjadi sel raksasa multinukelar. Makrofag di jaringan yang berbeda diberikan nama
khusus untuk mencirikannya dengan lokasi spesifik. Singkatnya, di sistem saraf pusat,
disebut sel mikroglia; di sinusoid vaskular hepar, disebut sel kuppfer; di saluran pernapasan,
disebut makrofag alveolar; dan fagosit multinuklear di tulang disebut osteoclast.
Kehadirannya di sepanjang kapiler memungkinkan untuk menangkap patogen dan antigen
yang mudah masuk tubuh. Semuanya mempunyai kesamaan yaitu dapat mengikat dan
memakan partikel antigen dan mempresentasikannya ke sel T.
Makrofag khususnya berespon terhadap mikroba yang dekat dengan cepat seperti
neutrofil, tetapi bertahan hidup lebih lama pada lokasi inflamasi. Tidak seperti neutrofil,
makrofag tidak berdiferensiasi hingga akhir dan dapat membelah diri pada lokasi inflamasi.
Oleh karena itu, makrofag adalah sel efektor dominan pada tahap lanjut respon imun alamiah,
1 atau 2 hari setelah infeksi.
Monosit tidak hanya menyerang mikroba dan sel kanker dan berperan sebagai APC,
tetapi juga memproduksi sitokin dan mengerahkan pertahanan sebagai respons terhadap
infeksi. IL-1. IL-6, dan TNF-α menginduksi panas dan produksi protein seng (Zn) dan
tembaga, menginduksi produksi hormon kortikotropik adrenal dalam otak dan mempengaruhi
metabolism. Juga berperan dalam remodeling dan perbaikan jaringan dan merupakan sumber
beberapa komplemen penting.
Disamping destruksi partikel asing intraseluler, fagosit juga melepas berbagai
komponen biologic aktif yang terlihat tabel 3.
Makrofag dapat diaktifkan oleh sinyal dari reseptor permukaan. Dua reseptor yang
ada dalam gambar: reseptor untuk endotoksin (LPS) bakteri yang memberikan sinyal
transduksi melalui reseptor Toll-like dan reseptor untuk sitokin makrofag terpenting (IFN-ϒ).
Sinyal dari reseptor Toll-like mengkatifkan respons imun nonspesifik, merangsang produksi
berbagai protein yang berperan dalam fungsi penting makrofag. Berbagai reseptor makrofag
adalah kompleks, ciri utamanya ialah merangsang produksi faktor transkripsi yang
menghasilkan produksi berbagai protein dan makrofag melepas sejumlah sitokin yang
berperan dalam respons imun.
Sel Dendritik
Sel dendritik memerankan peran penting pada respon alamiah terhadap infeksi dan
yang berhubungan dengan respon imun alamiah dan adaptif. Sel ini memiliki proyeksi
membran yang panjang dan kemampuan fagositik, dan secara luas terdistribusi di jaringan
limfoid, epitel mukosa, dan organ parenkim. Sel dendritik berasal dari prekursor sumsum
tulang, dan kebanyakan berhubungan dengan turunan fagosit mononuklear. Sel ini
mengekspresikan reseptor pengenalan pola dan berespon terhadap mikroba dengan
menyekresikan sitokin. Satu subpopulasi sel dendritik, disebut sel dendritik plasmasitoid,
dikhususkan pada respon seluler dini pada infeksi virus. Sel-sel ini mengenali virus
endositosis dan memproduksi interferon tipe I, yang memiliki aktivitas antiviral poten. Sel
dendritik menyediakan fungsi kritis pada respon imun adaptif dengan memindai dan
menyajikan antigen mikroba ke limfosit T.
2. Fagositosis Mikroba
Neutrofil dan makrofag menelan mikroba yang ke dalam vesikel melalui proses
fagositosis. Langkah pertama fagositosis adalah pengenalan mikroba oleh fagosit.
Makrofag dan neutrofil secara konstan terekspos dengan sel normal, yang diabaikannya,
tetapi akan spesifik menelan berbagai jenis mikroba dan partikel. Spesifitas ini
disebabkan karena kedua sel ini mengekspresikan reseptor yang mengenali mikroba
spesifik, dan reseptor ini secara fungsional berhubungan dengan mekanisme fagositosis.
Selain reseptor yang sudah dijelaskan sebelumnya, juga terdapat protein pejamu yang
menyelimuti mikroba. Protein ini disebut opsonin, dan termasuk antibodi, protein
komplemen, dan lectin. Proses penyelimutan mikroba ini untuk menjadikannya sebagai
target fagositosis disebut sebagai opsonisasi.
Ada dua macam sel mast yaitu terbanyak sel mast jaringan dan sel mast mukosa.
Yang pertama ditemukan sekitar pembuluh darah dan mengandung sejumlah histamin dan
heparin. Penglepasan mediator tersebut dihambat kromoglikat yang mencegah influx kalsium
ke dalam sel. Sel mast yang kedua ditemukan di saluran cerna dan napas. Proliferasinya
dipacu IL-3 dan IL-4 dan ditingkatkan pada infeksi parasit.
Bahan lain yang juga dapat memacu penglepasan mediator adalah: PGF2α,
fosfolipase, kimotripsin dan sengatan serangga. Bahan seperti adrenalin, b-stimulan, PGE1,
PGE2, dan ketotifen menghambat degranulasi.
Sistem Komplemen
Sistem komplemen tersusun atas banyak protein plasma yang diaktifkan oleh mikroba
dan memicu penghancuran mikroba dan inflamasi. Pengenalan mikroba oleh komplemen
terjadi dalam 3 cara. Jalur klasik, jalur alternatif, dan jalur lectin.
1. Jalur alternatif dipicu bila beberapa protein komplemen diaktivasi pada permukaan
mikroba dan tidak dapat dikontrol, karena protein regulatori komplemen tidak ada pada
mikroba (namun ada pada sel pejamu). Jalur ini adalah suatu komponen dari imunitas
alamiah.
2. Jalur klasik paling sering dicetuskan oleh antibodi yang mengikat mikroba atau antigen
lain sehingga menjadi suatu komponen dari imunitas adaptif humoral.
3. Jalur lectin diaktivasi saat suatu protein plasma pengikat karbohidrat, mannose binding
lectin (MBL), terikat pada residu mannose terminal pada permukaan glikoprotein
mikroba. Lectin ini mengaktivasi protein dari jalur klasik, tetapi karena hal ini diawali
oleh produk mikroba tanpa adanya antibodi, dia merupakan komponen imunitas alamiah.
Sistem komplemen memberikan tiga fungsi dalam pertahanan pejamu, yakni
opsonisasi dan fagositosis, inflamasi, dan lisis sel.
Pentraxins
Beberapa protein plasma yang mengenali struktur microbial dan berpartisipasi dalam
imunitas alamiah tergolong dalam kelompok pentraxins, yang merupakan kelompok
filogenetik terdahulu dari struktur protein pentameric homolog. Anggota terbanyak dari
kelompok ini termasuk pentraxin pendek C-reactive protein (CRP), serum amyloid P
(SAP), dan pentraxin panjang PTX3. Konsentrasi plasma CRP sangat rendah pada individu
sehat, tapi dapat meningkat hingga 1000kali lipat selama infeksi dan respon terhadap
rangsangan inflamatorik. Peningkatan kadar CRP merupakah hasil dari peningkatan sintesis
dari hati yang diinduksi oleh sitokin IL-6 dan IL-1, yang diproduksi oleh fagosit sebagai
bagian dari respon imun alamiah. Berbagai sintesis hati ini sebagai bagian dari kelompok
protein plasma ini disebut sebagai acute-phase reactant. CRP dapat berikatan dengan
phosphorylcholine dan phosphatidylethanolamine sebagai ligan pada mikroba untuk
menyelubungi mikroba sehingga dapat difagositosis oleh makrofag.
Sebagai respon terhadap mikroba, sel dendritik, makrofag, sel mast, dan sel-sel
lain mensekresi sitokin yang memerantarai banyak reaksi seluler dari imunitas alami.
Mengingat kembali bahwa sitokin adalah protein terlarut yang memerantarai reaksi imun dan
inflamasi dan bertanggung jawab dalam komunikasi antara leukosit dan antara leukosit
dengan sel-sel lain. Kebanyakan molekul-molekul yang didefinisikan sebagai sitokin, disebut
interleukin, menunjukkan bahwa molekul-molekul ini diproduksi oleh leukosit dan bekerja
pada leukosit. (pada kenyataannya, definisi ini terlalu sempit melihat efeknya pada sel lain
dan juga diproduksi oleh sel lain) Pada imunitas alami, sumber utama dari sitokin adalah sel
mast, sel dendritik, dan makrofag teraktivasi oleh pengenalan mikroba, meskipun sel epitel
dan sel tipe lain juga mensekresi sitokin. Pengenalan bakteri seperti oleh LPS atau molekul
virus seperti dsRNA oleh TLRs dan sensor mikroba lain merupakan stimulus yang kuat untuk
sekresi sitokin oleh makrofag dan sel dendritik. Pada imunitas adaptif, sumber utama sitokin
adalah limfosit Thelper.
Sitokin imunitas alamiah merekrut dan mengaktifkan leukosit dan memproduksi
perubahan sistemik, termasuk peningkatan sintesis sel efektor dan protein yang berpotensi
sebagai respon antimikroba. Pada imunitas alamiah, sube rutama sitokin adalah makrofag,
neutrofil, dan sel NK, tetapi sel endotel dan beberapa sel epithelial seperti keratinosit
memproduksi beberapa protein serupa.
Sitokin dari imunitas alamiah memberikan berbagai macam fungsi pada pertahanan
pejamu. TNF, IL-1, dan kemokin (chemoattractan cytokines) adalah sitokin utama yang
terlibat dalam merekrut neutrofil dan monosit ke lokasi infeksi. TNF dan IL-1 juga memiliki
efek sistemik, termasuk menimbulkan demam dengan bekerja pada hypothalamus, dan
sitokin-sitokin tersebut bersama dengan IL-6 merengsang sel hati untuk memproduksi
berbagai protein respon fase akut seperti CRP dan fibrinogen, yang berperan pada
pembunuhan mikroba dan memagari tempat infeksi.
Sinyal kedua terbentuk selama respon imun alamiah terhadap mikroba berbeda tidak
hanya untuk mempertahankan magnitude respon imun adaptif selanjutnya tetapi juga
mempengaruhi sifat respon adaptif. Fungsi utama imunitas dimediasi sel T adalah untuk
mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroba intraseluler. Agen infeksius yang
mengikat TLRs cenderung akan merangsang respon imun dimediasi sel T. Hal ini disebabkan
karena sinyal TLRs mempertahankan kemampuan APC untuk menginduksi diferensiasi sel T
menjadi sel efektor yang disebut Sel Th1. Sel Th1 memproduksi sitokin IFN- yang dapat
mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroba yang bertahan hidup dalam vesikel
fagosit. Sebaliknya, banyak mikroba ekstraseluler yang memasuki darah mengaktifkan jalur
alternatif komplemen yang kemudian memicu produksi antibodi oleh limfosit B. Respon
imun humoral inilah yang bertugas mengeleminasi mikroba ekstraseluler.
Peran imunitas alamiah dalam merangsang respon imun adaptif merupakan dasar
peran adjuvant, yang merupakan substansi yang diperlukan untuk diberikan bersama antigen
protein untuk mencetuskan respon imun maksimal dependen sel T. Adjuvant berguna pada
imunologi eksperimental dan vaksin klinik.
SUMBER KEPUSTAKAAN
1. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S. Innate Immunity. In: Cellular and Molecular
Immunology 6th Edition (International Edition). USA: Saunders, Elsevier Inc. 2007.
2. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S. Imunitas Alami. In: Imunologi Dasar Abbas,
Fungsi dan Kelainan Sistem Imun, Edisi Indonesia ke-5 oleh Handono Kalim.
Singapura: Saunders, Elsevier Inc. 2016.
3. Baratawidjaja, K.G. Imunitas Nonspesifik. Dalam: Imunologi Dasar, Edisi ke-7.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
4. Wahid, S., Miskad, Upik A. Imunitas Innate. Dalam: Imunologi Lebih Mudah
Dipahami. Surabaya: Brilian Internasional. 2016.