Tujuan Pembelajaran
Sistem imun merupakan kesatuan sel dan molekul serta interaksinya antara satu sama lain.
Respons imun merupakan bentuk respons kolektif yang terkoordinasi pada sistem imun
terhadap zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Secara fisiologis, sistem imun merupakan suatu
bentuk pertahanan terhadap mikroba-mikroba infeksius maupun kerusakan jaringan yang
berpotensi mengganggu homeostasis (keseimbangan) tubuh.1
Respons imun dibagi menjadi dua berdasarkan onset terjadinya: imunitas bawaan (innate
immunity) dan imunitas adaptif (adaptive immunity). Imunitas bawaan bekerja saat mikroba
pertama kali masuk ke dalam tubuh. Setelah tubuh mengenali mikroba, tipe respons imun lain
berkembang sebagai bentuk adaptasi terhadap mikroba yang masuk. Respons imun ini disebut
dengan imunitas adaptif, dimana tubuh sudah merespons secara spesifik pada mikroba.1
Sistem imun bawaan terdiri atas banyak tipe sel dan molekul pada jaringan dan darah. Sistem
imun bawaan memiliki beberapa fungsi esensial dalam melindungi tubuh dari mikroba dan
kerusakan jaringan1,2:
1. Sebagai respons imun awal terhadap mikroba yang berfungsi untuk mencegah,
mengontrol, dan mengeliminasi infeksi pada sel tubuh.
2. Respons imun bawaan dapat mengeliminasi sel yang rusak dan menginisasi proses
perbaikan jaringan.
3. Respons imun bawaan menstimulasi dan berpengaruh terhadap jalannya respons
imun adaptif.
Sebelum agen infeksius atau zat asing dapat menembus tubuh, terdapat sawar fisik dan biokimia
pada permukaan tubuh yang merupakan bagian dari sistem imun bawaan. Sawar fisik paling
utama adalah kulit. Sawar fisik lainnya meliputi mukus yang disekresikan sel-sel epitel untuk
mencegah penempelan bakteri. Bakteri atau zat asing yang terperangkap dalam mukus kemudian
dapat dibuang melalui mekanisme bersin atau batuk melalui silia pada trakea. Selain itu, terdapat
juga keringat yang memiliki asam laktat dan asam lemak serta sekresi minyak rambut dengan
pH rendah. Sawar kimia dan biokimia meliputi sekresi cairan tubuh yang mengandung faktor-
faktor mikrobisidal seperti asam lambung, spermin pada sperma, serta lisozim pada air mata,
sekresi hidung, dan saliva.1,2
Selain sawar fisik dan kimia, pada tubuh juga terdapat organisme-organisme komensal yang
berada pada usus dan vagina. Keberadaan organisme komensal dapat menahan pertumbuhan
bakteri dan fungi patogenik dengan cara kompetisi nutrisi dan situs kolonisasi. Selain itu,
beberapa organisme komensal dapat memproduksi zat-zat inhibitorik seperti asam atau colicin.1
Apabila agen infeksius atau zat asing berhasil menembus sawar fisik dan kimia, terdapat dua
mekanisme pertahanan utama yang dilakukan oleh tubuh, meliputi destruksi dengan faktor
antimikroba terlarut (seperti defensin atau cathelicidin yang diproduksi oleh sel epitel) serta
fagositosis. Fagositosis merupakan proses memakan yang dilanjutkan oleh penghancuran
mikroorganisme dengan sel khusus yang disebut fagosit. Fagosit terdiri atas makrofag dengan
ukuran lebih besar dan berada pada jaringan serta neutrofil (polymorphonuclear leukocytes atau
PMN).1,3
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sistem imun bawaan tidak bersifat spesifik, namun dapat
mengenali mikroba pada spektrum luas. Sistem imun bawaan dapat mengenali struktur molekul
pada patogen mikroba yang disebut dengan pathogen-associated molecular patterns (PAMP).
PAMP merupakan molekul khas yang ditemukan berbeda-beda pada berbagai tipe mikroba
seperti virus, bakteri gram positif, bakteri gram negatif, serta fungi. Struktur PAMP dapat berupa
asam nukleat, protein, serta kompleks lipid dan karbohidrat (contohnya lipopolisakarida,
oligosakarida). Selain PAMP, sistem imun bawaan juga mengenali damage-associated
molecular patterns (DAMP), yaitu molekul endogen yang diproduksi atau dikeluarkan dari sel-
sel yang rusak atau mati.1
Untuk dapat menghasilkan respons imun, maka PAMP dan DAMP akan menempel dengan suatu
reseptor khusus yang dapat mengenalinya. Reseptor tersebut dapat ditemukan pada permukaan
membran sel maupun di dalam sitosol beberapa sel, meliputi fagosit, sel dendritik, serta sel
epitel sebagai barrier utama sistem imun. Reseptor yang mengenali PAMP dan DAMP disebut
pattern recognition receptors (PRR). Salah satu kelas utama dari PRR adalah Toll-Like
Receptor (TLR). TLR berperan sebagai “sensor” terhadap keberadaan zat asing atau agen
infeksius pada tubuh dan dapat menginisasi respons imun seperti fagositosis.2,3
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, beberapa sel memiliki reseptor khusus seperti TLR
untuk menghasilkan respons imun, baik berupa fagositosis maupun menginisiasi sistem imun
adaptif. Komponen seluler pada sistem imun bawaan meliputi fagosit, sel dendritik, sel Natural
Killer (NK), dan sel mast.1
Fagosit
Fagosit merupakan sel yang memiliki fungsi khusus untuk fagositosis. Fagosit terdiri
atas neutofil dan makrofag. Neutrofil memiliki granula-granula sitoplasmik dan
merupakan pertahanan utama terhadap bakteri piogenik (bakteri yang dapat
memproduksi pus). Makrofag dapat ditemukan di jaringan dan berasal dari monosit
yang bersirkulasi di dalam darah. Beberapa makrofag dapat ditemukan khusus pada
organ, seperti makrofag alveolar pada paru-paru, sel Kupffer pada liver, mikroglia
pada otak, serta makrofag pada nodus limfa dan sinusoid limpa. Makrofag terutama
berperan terhadap organisme parasitik yang tinggal di dalam sel pejamu.
Sel Dendritik
Sel dendritik merupakan sel dengan struktur khas berupa juluran-juluran sitoplasmik
seperti dendrit yang dapat ditemukan pada epitel dan hampir semua jaringan pada
tubuh. Sel dendritik mengekspresikan banyak tipe TLR dan PRR lainnya, sehingga
merupakan sensor utama tubuh terhadap PAMP dan DAMP. Sel dendritik dapat
memproduksi protein persinyalan berupa sitokin serta memicu respons imun adaptif.
Sel Natural Killer (NK) dan Sel Limfoid Bawaan lainnya
Sel NK merupakan jenis sel limfoid bawaan (innate lymphoid cells atau ILC) tipe 1
dengan struktur seperti limfosit besar yang memiliki granula sitoplasmik. Peran
utama sel NK adalah membunuh sel tubuh yang terinfeksi baik oleh virus intrasel
maupun bakteri. Sel NK juga memproduksi IFN- yang dapat mengaktivasi makrofag
untuk menghancurkan mikroba yang telah difagositosis. Sel NK membunuh sel target
dengan mengeluarkan granula yang berisi perforin dan granzyme. Perforin
merupakan protein yang memfasilitasi masuknya granzyme ke dalam sel target
dengan cara membentuk semacam lubang pada membran sel target. Saat granzyme
masuk ke dalam sel target, enzim ini menginisiasi kematian sel target melalui
apoptosis atau kematian sel terprogram. Sel NK memiliki reseptor inhibitorik yang
dapat mencegah sel ini untuk membunuh sel tubuh yang sehat.
Sel limfoid bawaan lainnya meliputi ILC tipe 2 dan tipe 3, masing-masing
memproduksi sitokin yang berbeda dan berperan pada patogen yang berbeda. ILC
tipe 2 memproduksi IL-5, IL-9, dan IL-13 dan berperan terhadap infeksi parasit
cacing. ILC tipe 3 memproduksi IL-22 dan/atau IL-17, umumnya ditemukan pada
bagian mukosa sel epitel.
Sel Mast
Sel mast dapat ditemukan pada kulit dan mukosa epitel. Sel mast mengandung
granula yang berisi amina vasoaktif seperti histamin yang dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Kandungan lainnya
pada granula sel mast meliputi enzim proteolitik yang dapat membunuh bakteri dan
menginaktivasi toksin pada mikroba. Selain itu, sel mast dapat memproduksi sitokin
dan mediator lipid (prostaglandin). Sel mast juga berperan dalam respons alergi dan
infeksi cacing.
Selain sel, terdapat beberapa tipe molekul terlarut pada darah dan cairan ekstraseluler lainnya
yang dapat mengenali mikroba dan memicu terjadinya respons imun bawaan. Beberapa molekul
berperan sebagai opsonin dengan cara menempel pada mikroba target. Opsonin dapat
meningkatkan kemampuan fagosit untuk memfagositosis mikroba tersebut. Beberapa molekul
lain dapat memicu respons inflamasi.1,3
C. Sistem Komplemen
Sistem komplemen terdiri atas beberapa protein plasma yang saling bekerja sama dalam proses
opsonisasi mikroba pada situs infeksi. Sistem komplemen juga dapat membunuh mikroba.
Aktivasi dengan sistem komplemen meliputi kaskade proteolitik dengan cara mengubah enzim-
enzim prekursor yang tidak aktif disebut sebagai zymogen menjadi aktif.1,2,4
Terdapat tiga jalur pada sistem komplemen: jalur klasik, jalur alternatif, dan jalur lectin.
1. Jalur Klasik
Jalur klasik merupakan jalur sistem komplemen pertama yang ditemukan. Pada jalur
ini, aktivasi sistem komplemen dimulai dengan penempelan protein plasma C1q pada
antibodi yang menempel pada permukaan mikroba atau zat asing lainnya. C1q
kemudian dapat menginisiasi kaskade proteolitik setelah membentuk kompleks
dengan C1r dan C1s. Jalur klasik dianggap sebagai jembatan antara respons imun
adaptif dan respons imun bawaan.
2. Jalur Alternatif
Pada jalur alternatif, aktivasi sistem komplemen dipicu oleh penempelan protein
komplemen C3 pada struktur di permukaan mikroba seperti lipopolisakarida pada
bakteri. Protein komplemen C3 secara aktif diproduksi pada tubuh dalam jumlah
rendah dan dapat menempel pada sel pejamu, namun tidak memicu respons imun
akibat adanya protein regulator pada sel pejamu.
3. Jalur Lectin
Pada jalur lectin, protein plasma yang berperan adalah mannose-binding lectin
(MBL). Protein ini dapat mengenali residu manosa terminal seperti pada glikolipid
dan glikoprotein mikroba. Kaskade proteolitik diinisiasi setelah MBL membentuk
kompleks dengan MASP1 dan MASP2.
Ketiga jalur pada sistem komplemen tersebut bermuara pada kaskade proteolitik yang sama,
yaitu dimulai dengan pemecahan kompleks C3 oleh C3 convertase menjadi C3a dan C3b. C3b
berperan sebagai opsonin yang membantu proses fagositosis mikroba. C3b juga dapat menempel
dengan protein komplemen lainnya membentuk C5 convertase untuk memecah C5 menjadi C5a
dan C5b. C5b kemudian menempel pada permukaan mikroba dan memicu pembentukan
kompleks C6, C7, C8, dan C9 yang disebut sebagai membrane attacking complex (MAC).
MAC dapat menyebabkan lisis pada sel target dengan cara membentuk pori atau lubang pada
permukaan sel. Pori yang dibentuk merupakan kanal transmembran yang dapat dilewati oleh
elektrolit dan air, menyebabkan terjadinya influks natrium (Na+) yang berujung pada lisis sel.
Defisiensi pada protein komplemen seperti C3 atau MAC dapat menyebabkan tubuh semakin
rentan terhadap infeksi bakteri yang mematikan (letal).1–3
D. Respons Inflamasi
Salah satu mekanisme pertahanan sistem imun bawaan terhadap infeksi dan luka pada jaringan
adalah dengan menstimulasi inflamasi akut, yaitu proses yang melibatkan akumulasi leukosit,
protein plasma, serta cairan pada situs infeksi/luka di luar pembuluh darah (ruang interstisial).
Inflamasi akut dapat muncul setelah beberapa menit hingga jam dan mereda setelah beberapa
hari. Tujuan terjadinya inflamasi adalah untuk mengisolasi/merusak patogen dan zat asing,
menghilangkan debris, serta mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan dan perbaikan
luka.3,5
Proses inflamasi saat bakteri/zat asing masuk ke dalam kulit. Ketika bakteri/zat asing berhasil
menginvasi sawar eksternal kulit, makrofag yang yang terdapat di dalam jaringan mulai
melakukan fagositosis sebagai bentuk pertahanan terhadap infeksi pada satu jam pertama.
Makrofag juga mensekresikan sitokin. Beberapa sitokin yang berperan dalam proses inflamasi
(sitokin proinflamasi) meliputi IL-1, IL-6, dan TNF- yang diproduksi makrofag. Selanjutnya,
sel mast yang berada di sekitar infeksi kemudian mengeluarkan histamin. Histamin
menyebabkan vasodilatasi atau pelebaran pembuluh darah serta peningkatan permeabilitas
kapiler di sekitar situs infeksi. Vasodilatasi bertujuan untuk meningkatkan aliran darah agar
darah membawa lebih banyak leukosit fagositik dan protein plasma. Peningkatan aliran darah
dapat menyebabkan gejala kemerahan (rubor) dan area infeksi terasa lebih hangat (calor) pada
kulit. Peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan pori-pori pada kapiler lebih besar
sehingga protein plasma dapat masuk ke situs infeksi di ruang interstisial. Masuknya protein
plasma juga menyebabkan tekanan koloid pada area interstisial meningkat, akibatnya cairan ikut
masuk ke dalam situs infeksi. Akumulasi cairan menyebabkan adanya edema lokal yang
ditandai dengan pembengkakan (tumor). Pembengkakan pada situs infeksi juga menyebabkan
adanya distensi lokal yang menstimulasi rangsang nyeri (dolor) pada saraf aferen pada area
luka.1,5
Makrofag pada jaringan tidak cukup untuk menghentikan infeksi yang terjadi. Maka dari itu,
terjadi proses pengeluaran (emigrasi) leukosit dari pembuluh darah ke area interstisial tempat
terjadinya infeksi/luka. Leukosit yang pertama kali datang ke situs luka adalah neutrofil.1,3,5
Emigrasi leukosit dimulai dari penempelan leukosit ke lapisan endotel dalam pada kapiler yang
disebut dengan marginasi. Marginasi terjadi akibat adanya selectin, yaitu molekul adhesi pada
sel (cell adhesion molecule atau CAM) yang menonjol dari lapisan endotel. Selectin
menyebabkan aliran leukosit melambat. 1,3
Pada proses inflamasi, terjadi pengeluaran kemokin seperti IL-8. Kemokin ini kemudian
mengaktifkan molekul integrin pada leukosit. Integrin pada leukosit berinteraksi dengan
molekul CAM lainnya pada sel endotel yang menyebabkan adhesi kuat antara leukosit dengan
endotel. Leukosit yang terjebak di endotel kapiler kemudian meninggalkan pembuluh darah
melalui proses diapedesis. Pada proses diapedesis, leukosit bertindak seperti amoeba untuk
melewati lubang kapiler yang berukuran lebih kecil daripada ukuran leukosit. Setelah memasuki
situs infeksi, leukosit kemudian bermigrasi ke situs infeksi utama melalui kemotaksis yang
dimediasi oleh molekul-molekul chemoattractant seperti IL-8, protein C5a, leukotriene B4, dan
peptide formyl methionyl.1,3,6
Selain sistem imun bawaan, tubuh juga memiliki respons imun yang spesifik melawan agen
penginvasi seperti bakteri letal, virus, toksin, atau jaringan yang berasal dari organisme lain.
Respons imun ini disebut dengan sistem imun adaptif atau didapat (acquired). Terdapat dua tipe
respons imun adaptif: humoral dan diperantarai sel (cell-mediated).1
Pada respons imun humoral, tubuh membentuk molekul globulin pada plasma darah yang dapat
melawan agen penginvasi disebut dengan antibodi. Antibodi yang terdapat pada darah
diproduksi oleh sel limfosit B. Pada respons imun yang diperantarai sel, pertahanan tubuh terjadi
akibat aktivasi sel T limfosit pada nodus limfa yang dapat menghancurkan zat/organisme asing.
Zat asing yang dapat menginduksi respons imun spesifik dan dapat dikenali oleh limfosit atau
antibodi disebut dengan antigen.1,3
Terdapat beberapa karakteristik utama yang dapat ditemukan pada sistem imun adaptif.1,5
Terdapat beberapa sel utama yang berperan dalam sistem imun adaptif, meliputi limfosit,
antigen-presenting cells (sel APC), serta sel efektor.1,5,6
Limfosit
Limfosit merupakan sel yang secara spesifik mengenali dan merespons antigen asing.
Limfosit paling banyak ditemukan di nodus limfa dan beberapa jaringan limfoid
seperti limpa, lapisan submukosa saluran pencernaan, timus, dan sumsum tulang
belakang. Terdapat beberapa subpopulasi limfosit, yaitu sel B limfosit dan sel T
limfosit.
Sel B limfosit merupakan satu-satunya sel yang dapat memproduksi antibodi. Ketika
sel B limfosit mengenali antigen, sel ini kemudian berdiferensiasi menjadi sel plasma
yang dapat memproduksi antibodi.
Sel T limfosit merupakan sel yang berperan penting dalam imunitas yang diperantarai
sel (cell-mediated immunity). Sel limfosit T terbagi atas sel T helper, sel T
sitotoksik, dan sel T regulatory. Stimulasi antigen pada sel T helper menyebabkan
sel tersebut mensekresikan sitokin-sitokin yang selanjutnya berperan dalam
menginisiasi respons imun adaptif maupun bawaan. Sitokin tersebut bekerja dengan
menstimulasi proses proliferasi dan diferensiasi dari sel T itu sendiri, sel B,
makrofag, dan leukosit lainnya. Sel T sitotoksik bekerja dengan membunuh sel-sel
yang mengeluarkan antigen asing seperti mikroba atau sel pejamu yang telah
terinfeksi. Jenis sel T lainnya, yaitu sel T regulatory berfungsi untuk menghambat
dan mencegah terjadinya respons imun. Fungsi sel T regulatory terutama untuk
mencegah respons imun bereaksi terhadap selnya sendiri.
Tahap awal respons imun adaptif membutuhkan pengenalan antigen oleh sel T helper.
Sebelum dikenali oleh sel T helper, sel APC bertugas menangkap dan menyajikan
antigen asing pada sel T helper. Sel APC yang paling utama adalah sel dendritik.
Beberapa sel APC lain meliputi makrofag dan sel B. Sel dendritik bekerja dengan
menangkap antigen mikroba dari lingkungan eksternal, membawa antigen tersebut ke
organ limfoid, lalu menyajikan antigen tersebut pada sel T helper untuk menginisasi
respons imun.
Penyajian antigen pada sel APC diperantarai oleh molekul bernama Major
Histocompability Complex (MHC) yang akan dikenali oleh sel T. Kompleks MHC
kelas I-antigen dapat dikenali oleh sel T sitotoksik dengan koreseptor CD8, disebut
juga sebagai sel T sitotoksik CD8+. Kompleks MHC kelas II-antigen dapat dikenali
oleh sel T helper dengan koreseptor CD4, disebut juga dengan sel T helper CD4+.
Sel Efektor
Sel efektor adalah sel-sel yang bekerja di akhir respons imun untuk mengeliminasi
infeksi/zat asing yang memicu terjadinya repsons imun. Sel efektor terdiri atas sel T
limfosit yang aktif (disebut juga sebagai sel T efektor), fagosit, serta leukosit
lainnya.
Produksi antibodi yang spesifik terhadap suatu antigen melibatkan suatu hipotesis yang disebut
dengan seleksi klonal (clonal selection). Hipotesis ini menyatakan bahwa sel limfosit B yang
berbeda-beda diproduksi saat masih dalam perkembangan fetus. Sel limfosit B dapat mensintesis
antibodi yang khusus terhadap suatu antigen sebelum adanya paparan. Masing-masing sel
limfosit B kemudian mengalami kloning. Pada saat terjadi paparan antigen, sel limfosit B yang
secara khusus memiliki reseptor terhadap antigen tersebut kemudian diaktivasi atau “diseleksi”
untuk kemudian memproduksi antibodi.1–3
Terdapat berbagai mekanisme terjadinya respons imun oleh antibodi. Antibodi dapat secara
langsung menghalangi antigen melalui neutralisasi dan aglutinasi atau mengamplifikasi respons
imun bawaan. Pada neutralisasi, antibodi menempel dengan antigen berupa toksin bakteri atau
zat asing lainnya untuk mencegah interaksi kimia oleh antigen tersebut. Dengan kata lain,
antibodi “menetralkan” efek yang mungkin terjadi akibat antigen. Pada aglutinasi, beberapa
molekul antibodi membentuk ikatan silang dengan molekul antigen, membentuk semacam rantai
berupa kompleks antigen-antibodi. Kemudian, kompleks antigen-antibodi tersebut mengalami
presipitasi. Proses amplifikasi respons imun bawaan oleh antibodi meliputi aktivasi sistem
komplemen, meningkatkan fagositosis dengan opsonisasi, serta menstimulasi sel NK secara
langsung (antibody-dependent cellular cytotoxicity).1,3
Respons imun yang diperantarai sel adalah mekanisme pertahanan tubuh terhadap patogen yang
berada di dalam sel (patogen intraseluler). Sel T sitotoksik CD8+ berperan dalam respons imun
yang diperantarai sel. Aktivasi sel T sitotoksik CD8+ membutuhkan sel APC dan sel T helper.
Penyajian antigen oleh sel APC melalui MHC kelas I mengaktifkan sel T sitotoksik CD8+.
Selanjutnya, terjadi proliferasi dan diferensiasi sel T sitotoksik CD8+ oleh sitokin IL-2 yang
diproduksi oleh sel T helper.3
Sel T sitotoksik CD8+ membunuh sel target melalui mekanisme apoptosis. Sel target dikenali
oleh sel T sitotoksik melalui kompleks MHC kelas I-antigen yang dikenali oleh reseptor pada sel
T. Untuk menghentikan infeksi intrasel pada sel target, maka sel T sitotoksik harus membunuh
sel tersebut. Aktivasi sel T sitotoksik oleh MHC kelas I menyebabkan sel T sitotoksik CD8+
dapat mengeluarkan molekul perforin. Molekul ini dapat berpenetrasi terhadap permukaan
membran sel target dan membentuk kanal-kanal seperti pori seperti membrane-attacking
complex pada sistem komplemen. Sel T sitotoksik juga dapat mengeluarkan granzyme untuk
menginisasi apoptosis.3
Selain sel T sitotoksik CD8+, beberapa sel juga berperan dalam respons imun yang diperantarai
sel. Beberapa sel meliputi makrofag, sel NK, serta neutrofil dan eosinofil.3,6
Secara umum, perbedaan antara respons imun adaptif dan bawaan dapat terlihat pada tabel di
bawah ini.1,2,7
Referensi:
1. Abbas A, Lichtman A, Pillai S. Cellular and molecular immunology. 9th ed. New York:
Elsevier; 2018.
3. Sherwood L. Human physiology: from cells to systems. Boston: Cengage Learning; 2016.
5. Hall J. Guyton and Hall: textbook of medical physiology. 13th ed. New York: Saunders;
2015.
6. Kaplan Medical. USMLE step 1 lecture notes 2018: immunology and microbiology. Alley
TL, Moscatello K, editors. New York: Kaplan Medical; 2018.
7. Murphy KM, Weaver C. Janeway’s immunobiology. 9th ed. New York: Garland Science;
2017.
SEL, JARINGAN DAN ORGAN SISTEM IMUN
Venty Muliana Sari Soeroso, Muhammad Ilham Dhiya,
Astikahilda Maria Pangemanan, Reza Yuridian Purwoko
A. Tujuan Pembelajaran
Menjelaskan jenis-jenis sel, jaringan, dan organ yang terlibat dalam sistem imun.
Mendemonstrasikan perbedaan dan peran sel-sel imun
Menguraikan fungsi dan mekanisme seluler sel-sel imun
Mengecek letak jaringan dan organ limfoid
Mengkategorikan interaksi antar jaringan penyusun organ limfoid serta interaksinya
dengan sel-sel imun
B. Introduksi
Sistem imun merupakan sistem organ yang kompleks dan melibatkan berbagai macam sel
serta bekerja secara sistemik dalam seluruh tubuh. Karena manusia selalu berkontak dengan
lingkungan, resiko masuknya benda asing dalam tubuh selalu tinggi, sehingga diperlukan
sistem organ yang dapat mengeliminasi benda asing tersebut sebelum terjadi kerusakan
tubuh.1,2 Mekanisme kerja sistem imun berjalan terintegrasi melibatkan pengenalan benda
asing, komunikasi antar sel hingga proses eliminasi benda asing tersebut. Diantara berbagai
sel imun, limfosit menjadi sel yang paling penting karena berperan untuk mengenali dan
mengeliminasi benda asing, serta meregulasi dan memberikan sinyal terkait kerja sel imun
lain. Diantara berbagai organ imun, timus menjadi organ yang paling penting karena bekerja
sebagai tempat diferensiasi limfosit.2 Karakteristik penting lain dari sistem imun selain
kemampuan mengenali benda asing adalah kemampuan mengingat benda asing yang pernah
dikenali. Hal ini menjadi dasar terciptanya teknologi vaksin. 3,4 Karakter penting yang dimiliki
oleh sel imun kelompok mamalia adalah kemampuan autofagi yang berperan dalam
mengolah antigen maupun eleminasi benda asing.5
dendritik. Myeloblast akan berkembang menjadi neutrofil, eosinofil dan basofil, sedangkan
monoblast akan berkembang menjadi monosit. Leukosit memiliki sel progenitor tersendiri
yaitu progenitor limfoid.2
Gambar 1. Morfologi Leukosit. (a) Limfosit, (b) Sel plasma, (c) Monosit,
dan (d) Granulosit.3
Limfosit
Gambar 2. Jenis Limfosit dan Fungsinya. Sel B mengenali antigen
terlarut atau antigen permukaan kemudian berdiferensiasi menjadi sel
pengahsil antibody. Sel T helper mengenali antigen yang ada di APC dan
menghasilkan sitokin yang menstimulasi berbagai mekanisme imunitas.
Sel T sitotoksik mengenali antigen di sel yang terinfeksi dan membunuh
sel tersebut. Sel NK mengenali perubahan pada permukaan sel yang
terinfeksi dan membunuh sel tersebut.4
Limfosit merupakan sel dengan presentasi jumlah terbanyak yang menyusun leukosit.
Limfosit berperan penting dalam sistem imun karena kemampuannya untuk mengenali non-
self antigen dan regulasi aktivasi sel imun. Limfosit berkembang di hepar fetus, sumsum
tulang dan timus. Limfosit terbagi menjadi 2 jenis: limfosit B dan limfosit T. 1,3 Fungsi
masing-masing sel dapat dilihat pada gambar 2.4
- Limfosit B
Limfosit B atau sel B mengambil nama dari organ bursa of Fabricius pada
burung. Sel B dalam mamalia berkembang di sumsum tulang. Sel B memiliki
immunoglobulin pada sel membran dan berperan sebagai reseptor antigen.
Setelah teraktivasi, sel B akan menjalani pembelahan blastogenik menjadi sel
plasma yang berperan memproduksi antibodi. 3 Limfosit B merupakan sel yang
berperan dalam imunitas humoral.4
- Limfosit T
Limfosit T mengambil nama dari organ timus yang berperan dalam diferensiasi
sel tersebut. Sel T berperan dalam berbagai mekanisme imunitas, termasuk
regulasi aktivasi sistem imun dan eliminasi antigen (sitotoksik dan produksi
limfokin) yang menjadi dasar cell-mediated immunity. Sel T memiliki beberapa
subpopulasi yaitu: sel T helper (CD4+), sel T sitotoksik (CD8+) dan sel T reg.3,4
Sel T memiliki masa hidup yang lebih panjang dari sel B karena perannya dalam
memori imunologi.3
- Sel Natural Killer (NK) merupakan sel limfosit besar yang tidak memiliki
reseptor antigen namun dapat mengenali kompleks antibodi yang menempel pada
sel. Setelah sel NK mengenali komplek tersebut, sel NK akan memfagosit sel
(mekanisme sama seperti sel T sitotoksik). Sel NK juga memiliki kemampuan
- Eosinofil
Eosinofil merupakan sel PMN yang memiliki granula berwarna merah dengan
pewarnaan eosin. Eosinofil dapat ditemukan dalam jumlah yang banyak pada
reaksi alergi dan infeksi parasit.3
- Basofil
Basofil memiliki granul berwarna kebiruan dengan pewarnaan basa. Basofil
Bersama dengan sel Mast berperan dalam proses alergi.3
Gambar 6. Nodus Limfe. Nodus limfe tersusun atas korteks dan medulla.3
Limpa
Limpa bekerja sebagai organ yang melindungi tubuh dari infeksi melalui mekanisme
kerjanya yang menyaring darah dan adanya jaringan limfoid yang membantu dalam
tahap awal respon imun. Limpa merupakan organ berkapsul yang pada bagian parenkim
tersusun atas white pulp dan red pulp. White pulp merupakan bagian berwarna terang
yang banyak terdapat leukosit. White pulp tersusun disekeliling arteriol (periarteriolar)
cabang dari arteri lienalis. Sel T banyak ditemukan pada daerah periarteriolar, sedangkan
sel B pada folikel. Adanya germinal center pada limpa tergantung adanya aktivasi
respon imun di jaringan sekitar. Limpa beperan dalam mengeliminasi benda asing,
mikroba dan sel defektif dari sirkulasi perifer. Fungsi penyaring utama pada limpa
dijalankan oleh makrofag yang tersusun membatasai splenic cord dan antigen yang
ditangkap oleh makrofag akan disajikan ke sel imun lain.1,3,4
Gambar 7. Limpa. Gambaran white pulp dalam limpa. Sel limfoid terkonsentrasi
di periarteriolar (panah hitam) dan folikel dengan germinal center besar.3
Kelenjar Timus
Timus merupakan satu-satunya organ yang spesifik sebagai organ limfoid primer di
mamalia. Letaknya berada di superior mediastinum, anterior dari pembuluh darah besar.
Timus merupakan organ berkapsul dan membentuk lobus, masing-masing lobus tersusun
atas korteks dan medulla. Bagian korteks mengandung banyak sel T imatur, sedikit
makrofag dan sel plasma serta epithelial nursing cell. Pada bagian medulla dapat
ditemukan banyak sel T matur. Pada bagian medulla juga dapat ditemukan struktur sel
epitel pipih berbentuk cincin yang dikenal sebagai Hassal’s corpuscle.3
Gambar 8. Morfologi Lobus Kelenjar Timus. Persebaran sel imun berada pada
lokasi sepsifik dalam timus.3
Timus merupakan organ yang bertanggung jawab terhadap proses diferensiasi sel T.
Masa hidup timus masih belum diketahui namun data menunjukkan sekiatr 30% populasi
usia 40 tahun atau lebih masih memiliki sebagian jaringan timus fungsional. Sel
epithelial timus berperan menghasilkan faktor hormonal seperti thymopoietin dan
thymosin yang membantu proses diferensiasi sel T. Peran utama dari timus adalah
memastikan sel T yang matur dapat mengenali non-self antigen dan mengeliminasi sel T
autoreaktif. Proses eliminasi sel T autoreaktif menggunakan seleksi negatif yang
melibatkan interaksi antara prekursor sel T dengan sel epithelial timus. Hasil interaksi
tersebut adalah eliminasi atau inaktivasi sel T autoreaktif dan diferensiasi sel T dengan
kompleks pengenalan antigen yang berbeda.3,4
Gambar 9. Morfologi Tonsil.3
MALTs
Mucosa-associated lymphoid tissue (MALTs) terdiri dari organ limfoid yang tersebar
pada saluran cerna, saluran kemih, saluran pernapasan dan kelenjar mammae. Semua
kelenjar tersebut tidak berkapsul dan mengandung sel T dan sel B. Salah satu MALTs
yang paling utama adalah gut-associated lymphoid tissue (GALT). Terdapat 3 GALT
utama yaitu tonsil, Peyer’s patches dan appendiks.Tonsil terletak di orofaring dan
banyak mengandung sel B, memberikan respon imun terhadap infeksi daerah hidung dan
mulut. Peyer’s patches tersebar di mukosa usus halus, tersusun dari sel B yang
berdiferensiasi menjadi produsen IgA. Sel T tersebar di mukosa intestinal dengan jenis
paling banyak adalah sel T memori yang membantu mekanisme imunitas humoral.
Selain itu, GALT juga banyak tersusun atas sel T regulator (20-30%) yang berperan
dalam mempertahankan toleransi imun terhadap makanan dan mikroba normal saluran
cerna.3
Gambar 11. Alur Sirkulasi Limfosit. (a) Sirkulasi limfosit dalam darah melalui
nodus limfe, (b) Sirkulasi limfosit melalui Peyer’s patch, dan (c) Sirkulasi limfosit
melalui limpa.3
Resirkulasi limfosit dan migrasi ekstravaskular
Limfosit yang berada di sirkulasi sistemik akan masuk dalam nodus limfe, keluar dari
sirkulasi sistemik melalui daerah parakortikal nodus dan masuk sirkulasi limfatik,
selanjutnya akan kembali masuk ke sirkulasi sistemik. Limfosit B mucosal origin pada
MALTs bersirkulasi diantara MALTs termasuk GALTs, jaringan limfoid pada kelenjar
mammae, saluran napas dan kemih.3,4
Gambar 12. Migrasi Sel T. Sel T naif masuk melalui sirkulasi sistemik menuju
high endothelial venule (HEV) yang ada di area parakortikal dan berinteraksi
dengan antigen. Sel T aktif akan bersirkulasi kembali dalam tubuh, terutama
jaringan perifer tempat terjadinya peradangan. 4
Molekul adhesi
Langkah penting dari aliran limfosit dari sirkulasi sistemik menuju sirkulasi limfoid
adalah proses perpindahan/pergerakan dengan diapedesis melalui lapisan endotel pada
lokasi tertentu, yaitu area parakortikal nodus limfa. Diapedesis melibatkan perubahan
sitoskeleton yang diinduksi oleh kemokin, mengakibatkan terjadinya polarisasi sel
diikuti dengan pembentukan pseudopodia dan gerakan ameboid. Sel endotel tersebut
mengekspresikan molekul membran sel yaitu selektin yang berperan penting dalam
interaksi antara limfosit dan sel endotel. 3 Proses terjadinya diapedesis dapat dilihat pada
gambar 10.6 Terdapat 3 kelompok molekul adhesi yang telah ditemukan.3 (tabel 1)
Gambar 13. Proses Diapedesis Leukosit.6
Tujuan Pembelajaran
Pada awal tahun 1980, Emil von Behring dan Shibasaburo Kitasato menemukan bahwa serum
yang didapatkan dari hewan yang tahan terhadap kuman difteri atau tetanus memiliki semacam
aktivitas antitoksik yang spesifik dan dapat memberikan perlindungan jangka pendek melawan
efek toksin difteri atau tetanus pada manusia. Aktivitas ini pada kemudian hari diketahui
merupakan suatu efek dari protein khusus yang sekarang dikenal sebagai antibodi. Antibodi
merupakan protein yang secara spesifik terikat pada toksin dan menetralisasi aktivitas toksin
tersebut. Peran antibodi tersebut dalam imunitas tubuh diperkuat oleh penemuan komplemen,
komponen serum yang memliki efek menghancurkan bakteri patogen bersama dengan antibodi,
pada tahun 1899 oleh Jules Bordet.1
Respons spesifik terhadap infeksi oleh patogen potensial seperti produksi antibodi melawan
patogen tertentu akan dikenal sebagai imunitas adaptif, hal itu karena imunitas ini akan
berkembang sepanjang kehidupan seseorang sebagai bentuk adaptasi terhadap infeksi patogen
tertentu. Imunitas adaptif berbeda dengan imunitas didapat, pada imunitas didapat, Elie
Metchnikoff menemukan bahwa banyak mikroorganisme dapat difagosit oleh sel fagosit
(makrofag) secara tidak spesifik. Makrofag akan terus ada dan siap untuk beraksi, sementara
imunitas adaptif memerlukan waktu untuk berkembang tetapi sangat spesifik.1
Antibodi spesifik dapat diinduksi atau dibentuk oleh beragam zat yang kemudian disebut
antigen. Zat-zat tersebut dikenal sebagai antigen karena dapat menstimulasi pembentukan
antibodi. Saat ini, istilah antigen merujuk terhadap zat apapun yang dikenal oleh sistem imun
adaptif. Umumnya antigen merupakan protein umum, glikoprotein, dan polisakarida dari
patogen, tetapi dapat juga termasuk struktur kimia yang lebih luas seperti metal seperti nikel,
obat seperti penisilin, dan zat kimia organik seperti urushiol pada daun poison ivy.1
Secara prinsip, hampir semua struktur kimia dapat dikenali sebagai antigen oleh sistem imun
adaptif, tetapi antigen umum yang terpapar pada saat terjadinya infeksi adalah protein,
glikoprotein, dan polisakarida dari patogen. Reseptor antigen atau antibodi seorang individu
mengenali sebagian kecil dari struktur molekul antigen dan daerah tersebut dikenal sebagai
determinan antigen atau epitop. Umumnya protein dan glikoprotein memiliki banyak epitop
berbeda sehingga dapat dikenal reseptor antigen berbeda.1
Antibodi ditemukan pada plasma yang merupakan komponen darah dan pada cairan
ekstraseluler. Karena dulunya cairan tubuh dikenal dengan nama humor, imunitas dimediasi
antibodi dikenal sebagai imunitas humoral. Antibodi berbentuk Y dengan dua situs pengikatan
antigen identik (Fab) dan satu regio konstan (Fc). Terdapat lima bentuk regio konstan antibodi
yang dikenal sebagai kelas atau isotipe antibodi. Regio konstan menentukan properti fungsional
antibodi dan bagaimana antibodi tersebut berperan dalam mekanisme efektor untuk
menghancurkan antigen. Setiap kelas memiliki fungsi tertentu.1
Pada studi-studi awal, molekul antibodi diketahui memiliki dua regio berbeda. Salah satu regio
dikenal sebagai regio konstan atau fragment crystallizable region (regio Fc). Regio Fc memiliki
satu dari empat atau lima bentuk biokimia berbeda. Regio lainnya dikenal juga sebagai regio
variabel (variable region), regio ini terdiri dari berbagai macam sekuens asam amino yang
memungkinkan antibodi mengenali berbagai macam antigen.1
Molekul antibodi terbentuk dari dua rantai berat identik dan dua rantai ringan identik. Rantai
berat dan rantai ringan memiliki regio variatif dan regio konstan. Regio variatif dari rantai berat
dan ringan membentuk tempat pengikatan antigen yang menentukan spesifisitas suatu antibodi
terhadap antigen tertentu. Setiap antibodi juga memiliki dua tempat pengikatan antibodi spesifik
indentik. Regio konstan menentukan fungsi efektor dari antibodi. Regio konstan ini akan
menentukan bagaimana antibodi akan berinteraksi dengan berbagai macam sel imun untuk
menghancurkan atau membuang antigen setelah terikat antibodi.1
Perbedaan sekuens pada regio konstan rantai berat membentuk karakteristik berbeda dari setiap
isotipe antibodi. Karakteristik tersebut termasuk lokasi ikatan disulfida, grup karbohidrat, jumlah
domain C, dan panjang regio hinge pada rantai gamma, alfa, dan delta. Antibodi dan reseptor sel
B secara langsung mengenali epitop dari antigen pada serum atau ruang ekstraseluler. Hal ini
memungkinkan antibodi berbeda secara simultan mengenali antigen pada epitop berbeda
sehingga meningkatkan efisiensi untuk membersihkan atau menetralkan antigen.1
Terdapat lima kelas utama imunoglobulin yaitu IgM, IgD, IgG, IgE, dan IgA. Pada manusia IgG
terdiri dari empat subkelas yaitu IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4. IgA ditemukan dalam dua
subkelas yaitu IgA1 dan IgA2. Ilustrasi gambar setiap kelas antibodi dapat dilihat pada gambar
1.1
Gambar 1 . Ilustrasi Imunoglobulin. IgM dan IgA biasanya dalam bentuk multimer (IgM Pentamerik dan
IgA Dimerik). Multimer tersebut dihubungkan rantai J dengan ikatan disulfida. 1
IgM merupakan imunoglobulin pertama yang diproduksi setelah aktivasi sel B dan disekresikan
dalam bentuk pentamer. Bentuk tersebut meningkatkan aviditas IgM untuk antigen sebelum
afinitas ditingkatkan. IgG diproduksi setelah IgM dan banyak terdapat pada darah dan cairan
ekstrasel. IgG dan IgM dapat berinteraksi dengan C1 untuk mengaktivasi jalur klasik
komplemen. IgA dan IgE tidak mengaktivasi komplemen.1
IgA dapat ditemukan pada darah tetapi berperan dalam pertahanan permukaan mukosal. IgA
disekresikan kedalam usus dan saluran respirasi serta air susu ibu. IgE umumnya berperan dalam
pertahanan terhadap parasit multiseluler (contoh: skistosoma). IgE juga berperan dalam penyakit
alergi. IgG dan IgE selalu berbentuk monomer. IgA dapat disekresikan dalam bentuk monomer
atau dimer.1
Fungsi IgD masih belum diketahui, tetapi karena IgD lebih fleksibel diperkirakan IgD berperan
sebagai reseptor tambahan sel B naif dan membantu pengikatan dengan antigen. Masing-masing
imunoglobulin memiliki sifat dan karakteristik masing-masing seperti pada tabel 1 serta
distribusi yang berbeda seperti pada gambar 2.1
Tabel 1. Properti dan Karakteristik Fisik Isotipe Imunoglobulin. Aktivitas relatif dibandingkan
dengan inaktif (-) sampai sangat aktif (++++).1
Gambar 2. Distribusi Kelas Antibodi pada Tubuh.1
Seperti yang sudah dijelaskan, sistem imun adaptif pada manusia terdiri dari limfosit spesifik
antigen. Limfosit akan memberikan respons terhadap beragam antigen dari beragam pathogen
yang pernah terpaparkan selama hidupnya dan akan masuk dalam memori imunologis. Limfosit
dapat menciptakan hal tersebut dengan memiliki reseptor antigen pada permukaan sel yang
sangat bervariasi.1
Melalui reseptor tersebut, limfosit akan mengenali dan mengikat antigen. Setiap limfosit yang
matur memiliki reseptor antigen yang unik, sehingga dalam populasi limfosit terdapat beragam
tempat ikatan antigen pada reseptornya. Fitur unik dari sistem imun adaptif adalah kemampuan
membuat memori imunologis. Sehingga, jika sudah terpapar sekali terhadap suatu agen
infeksius, orang tersebut akan mampu menciptakan respons imun yang lebih cepat dan kuat pada
paparan kedua.1
Terdapat dua jenis limfosit pada tubuh manusia, yaitu limfosit B dan limfosit T. Sebagian besar
limfosit bersirkulasi didalam tubuh dalam bentuk sel yang kecil dengan isi sel terkondensasi.
Limfosit memiliki sedikit fungsi hingga menemukan antigen spesifik yang akan berinteraksi
dengan reseptor antigen pada permukaan sel. Limfosit yang belum teraktivasi dikenal sebagai
limfosit naif. Limfosit yang sudah terpapar antigen dan teraktivasi sertai berdiferensiasi menjadi
limfosit yang berfungsi aktif dikenal sebagai limfosit efektor.1
Sel B dan sel T dibedakan berdasarkan struktur reseptor antigen pada permukaannya. Reseptor
antigen sel B dibentuk oleh gen yang sama dengan gen penkode antibodi, kelas protein yang
dikenal sebagai imunoglobulin (Ig). Reseptor antigen sel B juga dikenal sebagai Imunoglobulin
permukaan (surface immunoglobulin). Reseptor sel T terkait juga dengan imunoglobulin hanya
saja berbeda secara struktur dan bagian rekognisi.1
Reseptor sel T terdiri dari dua rantai yaitu rantai alfa dan rantai beta yang serupa dalam bentuk
dan memanjang sepanjang membran sel T. Seperti antibodi, masing-masing rantai reseptor sel T
memiliki regio variatif dan regio konstan serta kombinasi ranta α dan β pada regio variatif
menjadi tempat pengikatan antigen.1
Sementara antibodi dapat mengenali hampir semua jenis struktur kimia, reseptor sel T umumnya
mengenali antigen protein dan melakukannya secara berbeda dengan antibodi. Reseptor sel T
mengenali epitope peptida yang berasal dari protein yang terdegradasi parsial, tetapi hanya jika
peptida tersebut terikat pada glikoprotein permukaan sel khusus yang dikenal sebagai molekul
MHC (major histocompatibility complex). Antigen yang dikenali sel T dapat berasal dari protein
patogen intrasel seperti virus atau patogen ekstraseluler. Perbedaan lainnya adalah tidak ada
bentuk sel T reseptor yang disekresikan seperti antibodi pada sel B. Fungsi reseptor sel T hanya
untuk memberikan sinyal pada sel T bahwa sel T tersebut mengikat antigen dan efek imunologis
yang terjadi tergantung pada aksi sel T tersebut.1
Beberapa sel B dan sel T diaktivasi oleh antigen akan berdiferensiasi menjadi sel memori. Sel
memori merupakan limfosit yang bertanggung jawab terhadap imunitas jangka panjang terkait
penyakit yang sudah terpapar atau vaksinasi. Sel memori akan siap berdiferensiasi menjadi sel
efektor pada paparan kedua antigen spesifik.1
Imunitas Selular
Setelah sel T sudah menyelesaikan tahap perkembangan di organ timus, sel T akan masuk ke
sirkulasi darah. Ketika mencapai organ limfoid sekunder, sel T akan masuk ke jaringan limfe dan
masuk kembali ke sirkulasi darah melalui jaringan limfe. Sel T matur yang yang belum
berkontak dengan antigen dikenal sebagai Sel T Naif. Untuk memberikan respons, maka sel T
naive perlu bertemu dengan antigen yang dipresentasikan dalam bentuk peptida pada kompleks
MHC pada antigen presenting cell (APC). Sel tersebut akan berproliferasi dan berdiferensiasi
setelah bertemu antigen dan dikenal sebagai sel T efektor. Sel T efektor ini akan langsung
bekerja pada patogen tanpa harus berdiferensiasi lagi.1
Aktivasi sel T oleh sel dendritik terjadi pada nodus limfe dan limpa. Aktivasi sel T oleh sel
dendritik pada sistem imun mukosal mengikuti prinsip yang sama. Pengantaran antigen dari situs
infeksi menuju jaringan limfoid dibantu oleh sistem imun bawaan. Efek sistem imun bawaan
seperti reaksi inflamasi meningkatkan masukan darah plasma ke jaringan terinfeksi dan
meningkatkan drainase cairan ekstraseluler menuju sistem limfe dan membawa antigen bebas
menuju jaringan limfoid. Inisiasi respons imun adaptif adalah aktivasi sel dendritik jaringan yang
sudah menangkap antigen terlarut pada situs infeksi.1
Peptida MHC kelas I dibuat dari protein dalam sel baik dari genom sel atau oleh virus atau
patogen lain yang menginfeksi intrasel, MHC kelas I diproduksi pada seluruh sel dengan inti.
Selain MHC kelas I, terdapat juga MCH kelas II. MHC kelas II terdapat pada Antigen
Presenting Cell (APC) dan terinduksi oleh stimulus imun bawaan seperti ligan untuk toll like
receptor (TLR) dan reseptor rekognisi pola lainnya. Sel APC pada tubuh adalah sel dendritik, sel
makrofag, dan sel B. APC merupakan sel yang mendeteksi antigen lingkungan dan sinyal bahaya
(TLR dan sistem lainnya). APC terdapat banyak pada kulit dan situs mukosal yang paling
banyak berkontak dengan patogen. APC secara aktif mengambil protein eksogen dan protein
eksogen ini akan menjadi ekspresi pada MCH kelas II dan menginisiasi respons imun.1
Sel dendritik merupakan APC profesional yang terdapat pada jaringan perifer. Sel dendritik
berasal dari sumsum tulang dan bermigrasi ke jaringan. Sel dendritik kemudian akan mengambil
antigen dari diri sendiri (self antigen) atau antigen yang bukan dari tubuh. Antigen diri sendiri
dapat berasal dari sel nekrotik atau apoptosis. Fungsi utama sel dendritik adalah
mempresentasikan fragmen antigen pada MHC kelas I atau II. Pada kondisi invasi mikroba atau
kematian sel masif, sel dendritik imatur akan mengaktivasi sintal melalui rekognisi pola.
Maturasi kemudian akan terjadi dengan dibantu kemokin, molekul adhesi, dan molekul
kostimulasi. Pada sel dendritik juga terdapat reseptor lektin tipe C yang akan membantu
pengikatan beragam antigen melalui rekognisi profil karbohidrat. Selain itu, reseptor lektin tipe
C juga membantu supresi sistem imun terhadap antigen diri sendiri dikarenakan mayoritas
antigen diri sendiri terglikosilasi. Akan tetapi, ketika sel dendritik matur, rekognisis dengan TLR
dan CD40 mengganggu efek toleransi yang diberikan sel lektin tipe C dan dapat mencetuskan
autoimunitas.2
Sel dendritik konvensional banyak terdapat pada jaringan pelindung seperti usus, paru, dan kulit.
Sel dendritik juga ada pada hampir semua organ padat seperti jantung dan ginjal. Seperti
makrofag, sel dendritik aktif dalam ingesti antigen melalui fagositosis. Antigen ekstraseluler
lainnya ditangkap melalui mekanisme makropinositosis (mengambil antigen dan cairan dalam
jumlah banyak). Pada mikroba yang memiliki mekanisme untuk kabur dari rekognisi reseptor
fagositosis, seperti bakteri dengan kapsul tebal dapat diingesti. Beragam jalur tersebut dapat
meningkatkan kemampuan sel dendritik untuk memaparkan berbagai jenis antigen patogen.
Pengambilan antigen ekstraseluler akan masuk dalam jalut endositik dan akan diproses dan
dipresentasikan pada molekul MHC kelas II.1
Rute kedua sel dendritik dalam menangkap antigen adalah ketika antigen masuk langsung ke
sitosol. Sebagai contoh, infeksi virus. Sel dendritik suseptibel terhadap infeksi oleh beberapa
virus yang masuk melalui ikatan antara reseptor permukaan virus dan sel. Sintesis protein virus
pada sitoplasma sel dendritik akan diproses pada proteasom dan dipresentasikan sebagai peptida
pada molekul MHC kelas I. Hal tersebut akan memberikan jalan bagi sel dendritik untuk
mempresentasikan antigen dan mengaktivasi sel T CD 8 naif.1
Ambilan partikel virus ekstraselular ke dalam jalur endositik makropinositosis atau fagositosis
menghasilkan presentasi antigen virus pada molekul MHC kelas I. Fenomena ini dikenal sebagai
presentasi silang atau cross presentation. Hal tersebut memungkinkan virus yang tidak
menginfeksi sel dendritik dapat menstimulasi sel T CD 8. Selain itu, peptida virus yang
dipresentasikan pada molekul MHC kelas II dapat menstimulasi Sel T CD 4 untuk memproduksi
antibodi terhadap virus.1
Aktivasi sel T terinisiasi ketika reseptor sel T mengenali peptida kompleks MHC pada APC dan
akan mencetuskan sinaps imunologi. Hal tersebut dikenal dengan aktivasi kompleks
supramolekul. Sel T melalui CD 3 dan Reseptor sel T mengikat spesifik kompleks MCH serta
terdapat CD 4 atau CD 8 yang menstabilkan interaksi dengan mengikat regio nonpolimorfik pada
kompleks MHC. Sinaps tersebut di stabilisasi juga dengan molekul adhesi dikenal sebagai
integrin. Agregasi molekul tersebut akan memfasilitasi persinyalan reseptor sel T. persinyalan
tersebut mengaktivasi kaskade persinyalan tirosin kinase dan menginduksi ekspresi gen-gen yang
penting dalam aktivasi sel T. Terdapat beberapa mekanisme efektor seperti terlihat pada gambar
3.1
Grup terbesar dari sel T adalah CD 4. Sel CD 4 akan teraktivasi oleh MHC kelas II. T helper
yang teraktivasi dapat menjadi T helper 1 ataupun T helper 2 dan memiliki khas sitokin
tersendiri. T helper 1 dicirikan dengan kemampuan mensekresi interferon gamma (IFN-γ) dan
interleukin-2 (IL-2). Secara kontras, T helper 2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13. T
helper 2 dibantu perkembangannya dengan IL-4. Sitokin yang dihasilkan T helper 1 akan
mengaktivasi respons imun seluler, aktivasi fagosit mononuklear, aktivasi sel Natural Killer
(NK), dan aktivasi sel T sitotoksik untuk membunuh mikroba intraseluler dan sel terinfeksi virus.
Sementara sitokin yang dihasilkan T helper 2 meningkatkan produksi antibodi dan terkait dengan
hipersensitivitas serta respons imun terhadap parasit termasuk produksi eosinofil.3
Sel T CD 4 diketahui dapat membantu dalam mengontrol infeksi virus respirasi. Mekanisme
pasti belum diketahui tetapi dianggap berkaitan dengan IFN-γ. Selain fungsi protektif, sel T CD
4 juga memiliki efek detrimental pada infeksi virus. Keberadaan protein G pada respiratory
syncytial virus (RSV) membuat terjadinya eosinofilia paru. Peningkatan kondisi tersebut
terasosiasi dengan respons T Helper 2 terhadap protein G. Fenomena yang sama juga terlihat
pada model virus influenza.3,4
T helper 17 merupakan sel yang diinduksi oleh IL-6 dan TGF-beta dan membantu dalam proses
inflamasi. T helper 17 memproduksi IL-17A, IL-17F, dan IL-25. IL-17 A dan IL-17F merupakan
sitokin pro inflamasi poten yang mampu menginduksi produksi IL-6 dan produksi TNF, serta
memicu rekruitmen granulosit dan kerusakan jaringan. IL-17 berada pada jaringan inflamasi
seperti artritis. T helper 17 juga terdapat pada inflamasi kronik seperti asma. T Helper Folikular
(TFH) terdapat pada nodus limfe dan limpa. TFH merupakan sel CD 4 memori yang
mengekspresikan reseptor kemokin CXCR5. CXCR5 akan memediasi rekruitmen TFH pada
folikel. TFH akan mengaktifkan sel B sehingga membantu pembentukan sentrum germinativum.1,3
Sel T CD 8 banyak terdapat pada sirkulasi dan berperan dalam menghancurkan patogen
intraseluler. Sel T CD 8 berperan mengenali MHC kelas I. Sel T CD 8 akan mengenali peptida
antigenik dari protein sitosol. Cytolitic T Cell (CTL) merupakan bentuk aktif CD 8 dan akan
membunuh sel inang melalui mekanisme kontak dependen. Pengenalan peptida asing pada sel
target pada MHC kelas I oleh reseptor CTL akan menimbulkan sinaps imun. Dalam beberapa
menit, CTL mengaktivasi apoptosis pada sel target. Proses tersebut dimediasi oleh mobilisasi
granul CTL termasuk granzim dan perforin. Granzim merupakan protease serin yang
menargetkan sejumlah protein pada sel inang dan mengaktivasi apoptosis. Sel T CD 8 juga
dikatakan berperan dalam proteksi neonatus terhadap paparan oral bakteri enteropatogen. Hal
tersebut didapatan berdasarkan penelian pada model tikus. Sehingga diduga sel T CD 8 dapat
berperan dalam respons adaptif dan respon imun bawaan terhadap patogen ekstraselular,
terutama pada situs mucosal.3,5
Sel T regulator (Treg) merupakan sel T yang berperan dalam membatasi respons aktivasi sel imun.
Sel Treg alami terlokalisasi pada timus dan membantu menghambat aktivasi sel T dengan metode
kontak antar sel. Sementara, Treg terinduksi berada pada seluruh organ limfoid dan menghambat
aktivitas berlebih melalui pelepasa sitokin. (Geijtenbeek)Sel Treg dipicu oleh ditokin TGF-β dan
IL-2. Sel Treg akan mensekresi IL-10 dan TGF-β yang membantu menghentikan respons imun
berlebih. Selain itum terdapat juga T helper 9 yang pada observasi dihasilkan dari T helper 2
yang terpapar IL-4 dan TGF-β. T helper 9 dapat menghasilkan IL-9 yang merupakan faktor
pertumbuhan sel mast dan mediator imunitas cacing.3
Sel T memiliki peranan dalam mengatasi infeksi virus respirasi. Sel T memori memainkan
peranan dalam respons terhadap virus respirasi. Sel T memori didapatkan banyak pada limpa dan
dapat merespons cepat antigen. Sel T memori juga memiliki kebutuhan kostimulasi lebih rendah
dan mampu menghasilan berbagai sitokin. Selain itu sel T memori memiliki ekspresi molekul
adhesi yang tinggi an reseptor nodus limfe (CD62L) yang lebih rendah. Sel memori yang
awalnya dianggap hanya fenotipe istirahat saja, sekarang dianggap masih memiliki fungsi
efektor. Penanda CD62L pada sel T memori berkorelasi dengan potensi proliferatif tetapi tidak
terkait dengan aktivitas sitotoksiknya. Sel T memori juga dikatakan akan bertahan pada paru dan
memberikan perlindungan kaut meskipun tidak bertahan lama.4
Imunitas Humoral
Pada sumsum tulang, sel B akan melewati beberapa stadium pertumbuhan dan akan mencapai
spesifisitas antigen tertentu. Pada stadium imatur, sel B akan keluar dari sumsum tulang dan
menyelesaikan perkembangan menjadi matur atau naif. Maturitas sel B ditandai dengan adanya
IgD selain IgM pada permukaan sel. Perkembangan ini terjadi tanpa adanya kontak eksogen
sehingga dikenal dengan perkembangan sel B independen antigen. Segala mutasi genetik yang
mengganggu reseptor pre-B maka akan mencetuskan terjadinya agamaglobulinemia dan tidak
ada sel B.3
Beberapa subpopulasi sel B pada darah perifer dibedakan berdasarkan ekspresi penanda
permukaan. Hal tersebut akan membedakan stadium perkembangan dan jalur yang terjadi. Fase
kedua perkembangan sel B terjadi dengan paparan antigen dan aktivasi yang dikenal dengan fase
dependen antigen. Pada antigen T-independen, beberapa antigen mencetuskan antibodi tanpa
peran sel T dan disebut T-independent antigen atau antigen TI. Meskipun mekanisme tersebut
terlihat sangat jelas pada model tikus, mekanisme serupa juga terjadi pada manusia. Molekul
tertentu seperti lektin tumbuhan dapat menginduksi proliferasi dan produksi antibodi dari sel B
matur.3
Beberapa makromolekul seperti protein atau polisakarida memiliki pola molekular berulang yang
dapat berinteraksi dengan reseptor imunoglobulin pada permukaan sel. Hal tersebut dapat
mengaktivasi sinyal secara parsial dan dapat mencipatkan terbentuknya sel memori atau sel
plasma dengan sinyal tambahan dihantarkan oleh sel dendritik. Hal tersebut dikenal dengan
antigen TI tipe 2. Pada banyak kasus, antigen dapat mencetuskan lebih dari satu persinyalan.
Sistem persinyalan penting lainnya adalah interaksi sel dendritik dengan sel B. Persinyalan yang
terjadi dapat mencetuskan terjadinya pertukaran isotipe imunoglobulin independen sel T. proses
tersebut dapat menjelaskan respons cepat antigen polisakarida menciptakan imunitas kuat tanpa
bantuan sel T. Peran jenis antigen terhadap respons antibodi dapat dilihat pada tabel 2.1,3
Sel B memiliki penanda CD19 yang berfungsi seperti CD4 dan CD8 pada sel T. tautan silang
pada CD19 menginduksi respons perubahan konsentrasi kalsium intraseluler dan menginduksi
aktivitas tirosin kinase. Ligasi bersama antaran CD 19 dan reseptor sel B menurunkan ambang
stimulasi reseptor sel B. CD19 dapat meningkatkan persinyalan reseptor sel B. CD19 bersama
dengan CD21 meningkatkan kemampuan sel B dalam mendeteksi antigen dan fragmen
komplemen teraktivasi pada lingkungan mikro sehingga dapat memberikan respons yang kuat
dan cepat. Selain itu, CD19 dan CD21 juga melakukan desensitisasi sel B pada kondisi
hiperaktivitas sel B sehingga mencegah terjadinya patologi.6
Sebagian besar respons antibodi terhadap protein dan glikoprotein membutuhkan partisipasi sel
T dan antigen tersebut dikenal sebagai antigen dependen T. Sel B matur tersirkulasi pada organ-
organ limfoid pada nodus limfe, sel B terkonsentrasi pada korteks folikel primer dan berkontak
dengan sel dendritik folikular. Sel T terletak pada parakortikal dan berperan seperti terlihat pada
gambar 4. Antigen dengan berat molekul ringan akan berdifusi langsung ke area sel B pada
jaringan limfoid sekunder. Kompleks antigen akan dipresentasikan pada permukaan sel
makrofag terspesialisasi, sel dendritik folikular, atau sel B sendiri. APC tersebut akan
menstimulasi sel B melalui cross linking reseptor immunoglobulin, ekspresi molekul permukaan,
dan sekresi sitokin.1
Sel B membutuhkan 2 tipe sinyal untuk dapat aktif. Sinyal pertama diberikan oleh tautan silang
reseptor imunoglobulin. Tautan silang akan menyebabkan terjadinya persinyalan intraseluler
yang menghilangkan kemampuan sel untuk berinteraksi dengan sel T dan selanjutnya mendapat
sinyal kedua. Sel B aktif sebagai APC dan mengekspresikan peptida bersamaan MHC kelas II.
Peptida dapat muncul dari antigen terproses dan terinternalisasi setelah mengikat reseptor
permukaan. Ketika sel B kontak dengan sel T CD 4 tertentu, dengan sebelumnya sudah
teraktivasi APC, maka sel T mampu memberikan kontak selular langsung dan membantu
diferensiasi sel B menjadi sel memori atau sel plasma.1
Sel plasma merupakan sel yang tidak membelah dan mensekresi antibodi serta telah kehilangan
hampir semua molekul imunoglobulin permukaan dan MHC. Sel B memori memiliki reseptor
antigen afinitas tinggi, ekspresi MHC kelas II dan molekul kostimulasi seperti B7. sel Memori
ini akan berubah menjadi sel pensekresi antibodi atau sel plasma pada reinfeksi. Sel plasma pada
tahap awal akan banyak pada nodus limfe, dan limpa. Kemudian, akan banyak bermigrasi
menuju sumsum tulang. Beberapa sel plasma tersebut masih memiliki jangka hidup yang relatif
panjang sehingga dapat menjaga kadar antibodi hingga beberapa tahun tanpa adanya stimulasi
antigen. Sementara sel memori akan memasuki masa istirahat dan tidak berdiferensiasi tanpa
adanya stimulasi antigen.7
Interaksi sel T dengan sel B analog dengan sel T dengan sel dendritik. Sel B mengekspresikan
banyak molekul kostimulasi seperti CD40, B7-2. interaksi inisial terjadi pada batas antara folikel
primer dan area sel T. sel B teraktivasi akan masuk kedalam salah satu dari dua jalur, Sel B
teraktivasi tersebut dapat menjadi sel plasma singkat yang memproduksi antibodi afinitas rendah
atau dapat masuk ke folikel untuk membentuk sentrum germinativum.1
Pada sentrum germinativum, sel B berubah dari produksi IgM dan IgD menjadi isotipe lainnya
seperti IgA, IgE, dan IgG. Hal tersebut dikenal sebagai class switching. Proses tersebut terjadi
dari mekanisme gene rearrangement. Pada waktu yang sama, substitusi nukleotida juga
menyebabkan akumulasi poin mutasi pada rantai imunoglobulin berat dan ringan. Keadaan
tersebut terjadi sebagai respons imun pada paparan pertama antigen dikenal sebagai respons
primer. Hal tersebut relatif rendah dan butuh waktu beberapa minggu untuk berkembang.
Produksi antibodi juga didominasi IgM yang afinitas rendah. Isotipe lain seperti IgG, IgE, IgA
muncul setelah 2 minggu atau lebih dan tampak maturitas afinitas. Selama respons primer, sel T
dan B memori terbentuk. Pada paparan selanjutnya dengan antigen sama, maka sel tersebut akan
teraktivasi lebih cepat dan memproduksi IgG lebih cepat dalam satu minggu. Hal tersebut
dikenal sebagai respons imun sekunder seperti terlihat pada gambar 5.1
Gambar 5. Perjalanan Respons Antibodi. Perjalanan respons akan meningkat hingga mendatar dan
akhirnya berkurang pada respons primer. Respons sekunder lebih tinggi dan cepat akibat adanya memori
imunologis. Hal tersebut menjadi dasar pemberian booster setelah vaksin awal.1
Setiap antibodi memiliki sifat dan distribusinya masing-masing seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Setiap kelas antibodi memiliki fungsi efektor utama yang berbeda seperti pada tabel
3.1
Tabel 3. Fungsi dan Distribusi Kelas Imunoglobulin. Fungsi efektor utama setiap kelas ditandai dengan (+
++), fungsi efektor kecil (++), dan fungsi minor (+). * IgG2 dapat menjadi opsonin jika ada Fc reseptor
sesuai yang ada pada 50% Kaukasian.1
Antibodi bekerja melalui beberapa cara. Cara pertama dan langsung antibodi untuk menghadapi
patogen adalah mengikat patogen dan menghambat akses patogen terhadap sel seperti pada
gambar 6. Cara tersebut dikenal sebagai netralisasi dan penting dalam proteksi melawan virus
dan toksin bakteri. Mekanisme ini merupakan bentuk imunitas yang umumnya dipicu oleh
vaksin.1
Pada bakteri, pengikatan antibodi saja tidak cukup untuk menghentikan replikasi, oleh karena itu,
peran antibodi akan meningkatkan sel fagosit seperti makrofag atau neutrofil untuk ingesti dan
menghancurkan bakteri. Banyak bakteri dapat menghindari dari sistem imun bawaan dengan
adanya pelindung luar yang tidak dapat dideteksi reseptor fagosit, akan tetapi antigen pada
pelindung bakteri dapat dideteksi oleh antibodi dan fagosit akan dipicu oleh reseptor Fc fagosit
yang mengikat regio Fc antibodi dan memfasilitasi fagositosis. Cara tersebut dikenal dengan
nama opsonisasi.1
Fungsi ketiga antibodi adalah aktivasi komplemen. Komplemen merupakan faktor serum yang
membantu aktivitas antibodi. Komplemen dapat diaktivasi pada permukaan bakteri tanpa
bantuan antibodi. Tetapi, ketika antibodi mengikat terlebih dahulu permukaan bakteri, regio Fc
akan membantu aktivasi komplemen. Beberapa komplemen dapat menghancurkan atau membuat
dinding bakteri lisis. Fungsi lainnya adalah memudahkan fagositosis oleh sel fagosit.1 Antibodi
juga dapat berperan dalam degranulasi amino vasoaktif pada antigen tertentu seperti cacing dan
alergen.8
Mekanisme antibodi lainnya juga dapat terjadi pada patogen intraselular. Pada Listeria M.
antibodi menetralisasi toksin listerolisin pada kondisi intraselular setelah antibodi difagosit sel
fagosit dan masuk ke fagosom bakteri. Inkubasi M tuberculosis bersamaan dengan antibodi
tertentu secara intraselular dapat menghambat replikasi bakteri intraselular. Antibodi tersebut
diketahui dapat masuk melalui pinositosis dan masuk ke transpor intraselular bakteri.8
Pada infeksi M. tuberculosis (MTB) antibody juga memainkan peranan. Dinding sel MTB
terbentuk atas lipid dan karbohidrat yang bukan molekul umum pada presentasi MHC. Respons
TI antibody oleh sel B dianggap sebagai sumber primer IgM terhadap MTB. IgM tersebut
menjadi sistem pertahanan pertama dengan afinitas tendah tetapi aviditas tinggi. Sel B juga
dikatakan berperan dalam pembentukan granuloma tuberkulosis yang optimal.9
Antibodi juga dapat mengikat permukaan patogen fakultatif intraselular dan mencetuskan
respons transkripsi yang mengganggu fisiologi bakteri. Selain itu, antibodi spesifik dapat
berkontribusi terhadap modifikasi respons inflamasi melalui pelepasan mediator inflamasi
melalui FcR, aktivasi komplemen dan netralisasi produk imunomodulasi mikroba.10
Antibodi memainkan peranan pada respons immun terhadap infeksi virus. Antibody berperan
dalam blockade masuknya virus ke sel dan/atau mencetuskan respons imun terkait virus.11
Antibodi juga berperan dalam imunitas terhadap SARS-CoV-2. Pada SARS-CoV-2 terdapat
protein S yang membantu masuknya virus kedalam sel melalui reseptor ACE2. Protein S yang
membantu virus masuk kedalam sel host menjadi target netralisasi oleh antibodi. Pengetahuan
tersebut menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut terkait terapi dan vaksin Covid-19.8,12
Gambar 6. Antibodi berperan pada pertahanan tubuh melalui tiga langkah utama. Netralisasi, opsonisasi,
dan aktivasi komplemen adalah tiga langkah utama antibodi. 1
Respons imunitas humoral memiliki perbedaan terkait jenis kelamin. Pada manusia, wanita
memiliki respons antibodi lebih tinggi dibandingkan pria. Pada penelitian diketahui bahwa
mayoritas gen terkait sel B mengalami peningkatan pada wanita dibandingkan pria. Estrogen
juga diketahui dapat menginduksi terjadinya hipermutasi somatik dan rekombinasi class
switching melalui aktivasi terkait dengan estrogen. Estrogen juga diketahui membantu dalam
produksi antibody alami terhadap lipopolisakarida yang meningkatkan klirens dari
enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) oleh sel Kupffer hati dan melindungi terhadap sepsis.
Peningkatan respons antibodi tersebut diperkirakan terkait dengan perlunya antibodi maternal
ditransger pada sirkulasi neonatus melalui plasenta. Selain itu antibodi juga perlu ditransfer
melalui air susu ibu (ASI) untuk melindungi bayi dari infeksi.13,14
Sudah banyak diketahui bahwa stresor eksternal dapat mengaktivasi hipotalamus untuk
meregulasi sistem imun melalui aksis hipotalamus-hipofisis-korteks adrenal. Stimulus inflamasi
juga dapat mengaktivasi refleks anti-inflamasi melalui jalur kolinergik nervus vagus. Target
penting pada regulasi imun adalah limpa yang merupakan tempat sel imun bertemu dengan
patogen dan antigen. Diketahui bahwa corticotropin releasing hormone (CRH) pada hipotalamus
mengaktivasi jalur menuju limpa untuk meregulasi imunitas humoral. Neuron paraventrikular
dan nukleus sentral amigdala akan melanjutkan persinyalan melalui nervus limpa. Nervus
menuju limpa tersebut akan mengeluarkan norepinefrin dan mengikat reseptor adrenergik pada
sel T. sel T yang teraktivasi akan melanjutkan sinyal menuju sel B dengan mensekresi asetilkolin
yang akan mengikat reseptor asetilkolin nikotinik pada sel B. aktivasi reseptor Chrna9 pada sel B
mempromosikan pembentukan sel plasma limpa dan produksi antibodi setelah stimulasi antigen.
Meskipun aksis tersebut masih perlu penelitian lebih lanjut.15
Referensi:
1. Murphy K, Weaver C. Janeway’s immunology. 9th ed. Garland Science, Taylor & Francis Group.
New York ; 2017. P. 23-55, 161-89, 421-60.
2. Geijtenbeek TBH, Vliet SJ. Engering A, Hart BA. Kooyk Y. Self and nonself recognition by C-
type lectins of dendritic cells. Anny Rev Immunol. 2004; 22: 33-54.
3. Bonilla FA, Oettgen HC. Adaptive immunity. J Allergy Clin Immunol. 2010; 125 (2): S33-40.
4. Woodland DL, Hogan RJ, Zhong W. Cellular immunity and memory to respiratory virus
infections. Immun Res. 2001; 24: 53-67.
5. Siefker DT, Adkins B. Rapid CD8+ function is critical for protection of neonatal mice from an
extracellular bacteria enteropathogen. Front Pediatr. 2017. 4: 141.
6. Tedder TF. Innate and adaptive receptors interact to balance humoral immunity. J Immunol.
2010; 184: 2231-2.
7. Slifka MK, Ahmed R. Long term humoral immunity against viruses: revisiting the issue of
plasma cell longetivity. Tren Microbiol. 1996; 4 (10): 394-400.
8. Chen J, Gao K, Wang R, Nguyen DD, Wei GW. Review of COVID-19 antibody therapies. Annu
Rev Biophys. 2021. 50: 1-30.
9. Chan J, Mehta S, Bharrhan S, Chen Y, Achkar JM, Casadevall A, et al. The role of B cells and
humoral immunity in Mycobacterium tuberculosis infection. Semin Immunol. 2014; 26 (6): 588-
600.
10. Casadevall A. Antibody-based vaccine strategy against intracellular pathogens. Curr Opin
Immunol. 2018; 53: 74-80.
11. Woodland DL. A focus on humoral immunity to viral infections. Vir Immunol. 2012; 25(6): 441.
12. Jyotisha, Singh S, Qureshi IA. Multi-epitope vaccine against SARS-CoV-2 applying
immunoinformatics and molecular dynamics simulation approaches. J Biomol Struc and Dyna.
2020: 1-17.
13. Fink AL, Klein SL. The evolution of greater humoral immunity in females than males:
Implications of vaccine efficacy. Curr Opin Physiol. 2018; 6: 16-20.
14. Smith JC, Hazenbos WLW, Campagne ML. Humoral immunity goes hormonal. Nat
Immunol.2018:1-2.
15. Zhang B, Zhong J, Gao Z. A brain-spleen axis regulates humoral immunity. Neurosci Bull. 2020:
1-3.
AGEN INFEKSI DAN MEKANISME PERTAHANAN TUBUH
Nunik Utami, Billy Pramatirta, Nadia Permatasari,
Farhan Yustian Hanura, Reza Yuridian Purwoko
Tujuan Pembelajaran
Virus
Virus adalah agen infeksius yang terkecil; ukuran virus bervariasi antara 18 hingga 600
nanometer. Sebagian besar virus berukuran < 200 nm dan tidak dapat dilihat oleh mikroskop
cahaya. Virus biasanya memiliki materi genetik yang dapat berupa DNA atau RNA. Materi
genetik yang dimiliki virus dibutuhkan untuk replikasi virus terbungkus dalam protein baik
dengan lapisan membran lipid maupun tidak. Namun, ada pula partikel kecil seperti virus yang
tidak mengandung materi genetik, contohnya prion.1
Bakteri
Bakteri adalah organisme prokariotik sederhana yang membelah secara aseksual. Bakteri bersifat
uniseluler, tidak memiliki membran nukleus, mitokondria, badan Golgi, ataupun retikulum
endoplasma. Secara umum, bakteri dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan dinding
selnya: bakteri gram positif dan gram negatif. Bakteri gram positif memiliki lapisan
peptidoglikan tebal pada dinding selnya, sedangkan bakteri gram negatif memiliki lapisan
peptidoglikan tipis yang dilapisi lagi oleh membran luar. Selain itu, ukuran, bentuk, dan susunan
ruang antarbakteri juga digunakan sebagai dasar klasifikasi bakteri.1
Jamur
Dibandingkan dengan bakteri, struktur seluler jamur lebih kompleks. Jamur merupakan
organisme eukariotik yang sudah memiliki nukleus, mitokondria, badan Golgi, dan retikulum
endoplasma. Jamur dapat ada dalam bentuk uniseluler (ragi) yang membelah secara aseksual
atau filamen (kapang) yang dapat membelah secara aseksual atau seksual. Namun, ada pula
jamur yang dapat berbentuk ragi atau kapang; jamur ini disebut jamur dimorfik (contohnya
Histoplasma, Blastomyces, dan Coccidioides).1
Parasit
Dari seluruh jenis mikroba, parasit merupakan mikroba yang paling kompleks. Parasit
merupakan organisme eukariotik yang dapat berupa uniseluler ataupun multiesluler. Ukurannya
bervariasi dari protozoa berdiameter 1-2 μm hingga cacing pita yang dapat memiliki panjang
hingga 10 meter. Parasit yang terlibat sebagai agen infeksi dibagi menjadi protozoa intestinal dan
urogenital, protozoa darah dan jaringan, nematoda, trematoda, cestoda, dan artropoda.1
Bakteri
Bakteri yang menginfeksi manusia dapat berasal dari luar atau merupakan bagian dari flora
normal tubuh. Jika bakteri flora normal mencapai lokasi yang seharusnya steril dalam tubuh,
bakteri tersebut akan menyebabkan penyakit. Untuk bakteri dari luar tubuh, bakteri harus masuk
dahulu ke dalam tubuh dan melewati mekanisme pertahanan alami tubuh, seperti kulit, mukus,
dan sekret yang mengandung antibakteri (contohnya lisozim dan defensin). Jika pertahanan ini
terganggu (contohnya kulit robek, terdapat ulser pada saluran cerna), bakteri dapat masuk dan
menyerang tubuh.1
Bakteri ekstraseluler dapat membelah di luar sel pejamu, seperti di dalam darah, jaringan ikat,
dan lumen saluran napas atau pencernaan. Bakteri ekstraseluler patogenik menyebabkan
penyakit melalui dua prinsip utama: induksi inflamasi (menyebabkan kehancuran jaringan pada
lokasi infeksi) dan produksi toksin. Toksin bakteri dapat berupa endotoksin (komponen dinding
sel bakteri) atau eksotoksin (disekresi oleh bakteri).2
Endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif—disebut juga lipopolisakarida (LPS)—
merupakan aktivator makrofag, sel dendritik, dan sel endotel. Sebagian besar eksotoksin bersifat
sitotoksik dan beberapa lainnya menyebabkan penyakit melalui berbagai mekanisme.
Contohnya, toksin difteri mematikan sintesis protein dalam sel terinfeksi; toksin kolera
mengganggu transport ion dan air, dan; toksin antraks mengganggu jaras persinyalan biokimia.2
Virus2
Untuk menyebabkan suatu penyakit, virus harus masuk ke dalam pejamu, berkontak dengan sel
tubuh yang rentan, bereplikasi, dan menghasikan jejas seluler. Langkah-langkah patogenesis
infeksi virus yaitu:
Parasit
Infeksi parasit pada manusia selalu didapat dari luar tubuh (eksogen), baik parasit cacing maupun
protozoa. Terdapat berbagai jalur masuk parasit ke dalam tubuh; jalur paling umum ialah ingesti
oral atau penetrasi langsung pada kulit atau permukaan lain. Transmisi melalui ingesti oral
biasanya didapatkan melalui feses manusia dan hewan yang sudah terkontaminasi parasit (rute
fekal-oral). Penetrasi pada kulit biasanya didapat melalui gigitan vektor serangga, contohnya
pada malaria (akibat nyamuk Anopheles).1
Setelah melekat pada jaringan, parasit akan bereplikasi dan melanjutkan siklus hidupnya
berdasarkan tropisme jaringan yang menentukan jaringan/organ tertentu tempat parasit dapat
hidup. Sebagai contoh, Entamoeba histolytica tidak akan menginfeksi jika hanya terdapat pada
kulit, tetapi dapat menyebabkan disentri jika masuk melalui ingesti oral. Setelah bereplikasi pada
jaringan target, parasit akan menyebabkan kerusakan jaringan melalui berbagai mekanisme
(tergantung masing-masing parasit). Contohnya, parasit cacing menyebabkan kerusakan melalui
blokade mekanik usus dan saluran empedu.1
Dalam imunitas didapat, lini pertama pertahanan tubuh diberikan oleh epitel kulit dan jaringan
mukosa yang berfungsi menghalangi masuknya mikroba. Jika mikroba berhasil menembus epitel
dan masuk ke jaringan atau sirkulasi, mikroba akan diserang oleh fagosit, sel natural killer, dan
sistem protein komplemen. Selain memberikan pertahanan awal terhadap infeksi, imunitas
didapat juga akan meningkatkan respons imun adaptif terhadap agen infeksius.3
Selanjutnya, imunitas adaptif berperan penting dalam melawan mikroba patogen yang telah
berkembang untuk melawan imunitas didapat. Perbedaan imunitas adaptif dengan imunitas
didapat terletak pada pengenalan mikroba. Imunitas didapat mengenali mikroba melalui struktur
yang terdapat pada banyak mikroba, sedangkan imunitas adaptif mengenali molekul-molekul
yang jauh lebih spesifik untuk setiap mikroba maupun agen noninfeksius yang disebut antigen.
Terdapat dua jenis imunitas adaptif: imunitas humoral dan imunitas seluler. Kedua jenis imunitas
ini diperantarai oleh berbagai sel dan molekul dan memberikan pertahanan terhadap mikroba
ekstraseluler dan intraseluler. Imunitas humoral dihasilkan oleh sel limfosit B yang memproduksi
antibodi. Antibodi akan mengikat dan menetralisasi berbagai macam mikroba dan toksin.
Sementara itu, imunitas seluler diperantarai oleh sel limfosit T yang membunuh langsung sel-sel
tubuh yang telah terinfeksi oleh mikroba.3
Referensi
1. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. Medical microbiology. 7th ed. PA: Saunders; 2013.
2. Carroll KC, Hobden JA, Miller S, Morse SA, Mietzner TA, Detrick B, et al. Jawetz, Melnick
& Adelberg’s medical microbiology. New York: McGraw-Hill Education; 2016.
3. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Basic immunology: functions and disorders of the immune
system. 5th ed. Missouri: Elsevier Inc; 2016.
TRANSPLANTASI DAN KAITANNYA DENGAN IMUNOLOGI
Nadia Permatasari, Flora Eka Sari, Reza Yuridian Purwoko
Tujuan Pembelajaran
A. Definisi Transplantasi
Transplantasi adalah suatu jenis tata laksana untuk mengganti organ dan jaringan yang rusak
dengan organ atau jaringan yang sehat. Secara teknis, transplantasi adalah proses pengambilan
sel, jaringan, atau organ yang disebut sebagai graft (cangkok) dari satu individu ke individu
lainnya. Individu yang memberikan graft disebut sebagai donor, sedangkan individu yang
menerimanya disebut sebagai resipien atau host.1
Saat ini, masalah utama terkait transplantasi adalah respons imun host terhadap jaringan
cangkok. Transplantasi sel atau jaringan dari satu individu kepada individu lain yang tidak
identik secara genetik akan selalu menyebabkan penolakan transplan akibat respons imun
adaptif. Oleh karena itu, pengontrolan respons imun penolakan ini menjadi kunci transplantasi
yang sukses.1
B. Jenis-jenis Graft
Terdapat beberapa jenis graft berdasarkan jenis donor dan resipien:2
Sebagian besar transplantasi klinis yang dilakukan saat ini merupakan transplantasi allograft,
meski saat ini penggunaan cangkok dari spesies lain cukup menarik dan sedang diteliti. Prosedur
allograft yang paling umum dilakukan adalah transfusi darah.2
Karakteristik dan perbedaan dari ketiga tipe penolakan ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Saat ini, penolakan hiperakut dan akut semakin jarang ditemukan karena sudah dilakukannya
pencocokan yang hati-hati antara donor dengan resipien serta peningkatan pemberian agen
imunosupresif. Namun, penolakan kronik masih menjadi masalah. Umur hidup cangkok
biasanya lebih pendek daripada pasien sehingga banyak pasien yang harus menerima cangkok
baru. Sayangnya, cangkok berulang biasanya memiliki waktu hidup yang lebih pendek.2
Salah satu agen imunosupresif yang paling berguna dalam transplantasi klinis adalah inhibitor
kalsineurin, yaitu siklosporin dan tacrolimus (FK506) yang menghambat enzim kalsineurin
fosfatase. Enzim ini dibutuhkan dalam aktivasi faktor transkripsi NFAT (nuclear factor of
activated T cells) dan menghambat transkripsi gen sitokin pada sel T. Obat lainnya yang sering
digunakan yaitu rapamisin yang menghambat enzim mTOR yang dibutuhkan untuk aktivasi sel
T. Saat ini, obat-obatan imunosupresif lainnya biasanya digunakan sebagai pendamping terapi
kalsineurin dan inhibitor mTOR.4
Gambar 1. Agen imunosupresif yang menghambat siklus sel sel T. Berbagai antibody dan obat
dapat digunakan untuk menghambat proliferasi sel T. Penggunaan beberapa agen yang bekerja
pada tahap-tahap berurutan dalam perkembangan respons penolakan secara bersamaan
dibutuhkan untuk menghasilkan sinergi yang kuat, seperti kombinasi siklosporin dan rapamisin.4
Selain agen imunosupresif, dapat pula dilakukan penentuan alel HLA yang diekspresikan sel
donor dan resipien (disebut tissue typing). Pada transplantasi ginjal, semakin banyak jumlah alel
MHC yang cocok antara donor dengan resipien, semakin baik tingkat kesintasan ginjal cangkok.
Sebelum adanya obat imunosupresif, pencocokan alel HLA lebih berpengaruh terhadap
kesintasan cangkok. Walau begitu, data saat ini menunjukkan bahwa cangkok akan hidup lebih
lama ketika donor dan resipien memiliki lebih sedikit ketidakcocokan alel HLA.1
Pencocokan HLA pada transplantasi ginjal mungkin untuk dilakukan karena ginjal donor dapat
disimpan hingga 72 jam sebelum ditransplantasi dan pasien resipien dapat bertahan
menggunakan dialisis hingga organ yang cocok tersedia. Namun, pada kasus transplantasi
jantung dan liver, penyimpanan organ lebih sulit dan biasanya resipien sudah dalam kondisi
kritis. Akibatnya, HLA typing tidak dilakukan pada donor jantung dan liver, dan pada kasus ini
pasien hanya dicocokkan berdasarkan golongan darah ABO, kompatibilitas imunologik lainnya,
dan kompatibilitas anatomik.1
Metode lain untuk mencegah penolakan alograf yaitu melalui induksi toleransi spesifik terhadap
donor. Jika hal ini dapat dicapai, jaringan cangkok akan dapat diterima oleh tubuh tanpa
mematikan respons imun lain pada tubuh seperti pada terapi imunosupresif. Namun, metode ini
masih dalam penelitian eksperimental dan klinis yang sedang berlanjut. 1 Selain itu, transplantasi
xenogenik juga dipertimbangkan sebagai salah satu solusi untuk masalah penolakan cangkok.
Namun, transplantasi xenogenik masih sering terhambat akibat reaksi hiperakut yang disebabkan
antibodi resipien yang bereaksi dengan sel spesies lain. Sementara itu, sel xenograft sendiri tidak
memiliki protein regulator yang dapat menghambat aktivasi komplemen manusia. Oleh karena
itu, transplantasi xenogenik secara klinis masih jauh dari realisasi.4
Referensi
1. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and molecular immunology. 8th ed. PA: Elsevier
Inc; 2015.
2. Delves PJ, Martin SJ, Burton DR, Roitt IM. Roitt’s essential immunology. 13th ed. West
Sussex: John Wiley and Sons, Ltd; 2017.
3. Murphy K, Weaver C, eds. Janeway’s immunobiology. 9th ed. New York: Garland Science;
2017.
4. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Basic immunology: functions and disorders of the immune
system. 5th ed. Missouri: Elsevier Inc; 2016.
HIPERSENSITIVITAS
Muhammad Dimas Reza Rahmana, Mochammad Izzatullah A., Reza Yuridian Purwoko
Tujuan Pembelajaran
Reaksi hipersensitivitas adalah keadaan saat terjadi gangguan pada respon imun sehingga timbul
jejas pada jaringan dan penyakit. Normalnya, bila seseorang terpapar oleh suatu agen infeksius
maka tubuh akan merespon dengan respon imun yang adekuat untuk menangkalnya. Tetapi pada
kasus hipersensitivitas, respon terjadi secara berlebihan dan tidak terkontrol sampai menarget
jaringan inang.1
Reaksi Hipersensitivitas dapat terbagi menjadi beberapa tipe bergantung pada mekanisme
imunologi yang mendasarinya. Berdasarkan klasifikasi oleh Gell dan Coombs, hipersensitivitas
dibagi menjadi empat tipe. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 terjadi akibat reaksi alergi yang
dimediasi oleh antibodi IgE dengan aktivasi sel mast sebagai mekanisme efektor. Reaksi yang
dipicu oleh antibodi spesifik terhadap antigen secara berlebihan sampai jaringan atau sel rusak
tergolong dalam reaksi hipersensitivitas tipe 2. Bila dalam mekanismenya terjadi pembentukan
kompleks antara antigen dengan antibodi lalu mengendap di pembuluh darah jaringan sehingga
timbul inflamasi, maka termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe 3. Reaksi hipersensitivitas
tipe 4 terjadi karena mediasi oleh limfosit yaitu limfosit T melawan antigen sendiri dalam
jaringan inang.2,3
Reaksi alergi dapat muncul bila seseorang terpapar oleh antigen yang dapat memicu aktivasi
antibodi IgE. Gejala alergi akan muncul bila seseorang mengalami sensitisasi akibat
eksposur antigen tertentu. Walau demikian, ensitisasi yang dapat menyebabkan alergi bisa
memiliki manifestasi dan ambang batas yang berbeda pada setiap orang. Alergen yang sama
dapat menyebabkan timbul reaksi anafilkasis pada seseorang, sedangkan pada orang yang
berbeda hanya timbul reaksi alergi secara lokal.3
Bentuk alergi yang sering dijumpai adalah yang disebabkan oleh alergen udara. Gejala yang
muncul biasanya terjadi di hidung (rhinitis alergi), mata (konjugtivitis), dan saluran nafas
bawah (asma). Pada rhinitis alergi, sekresi mukus meningkat dan terjadi inflamasi pada
saluran nafas atas, sedangkan pada saluran nafas bawah gejala khasnya adalah asma akibat
kontraksi otot polos. Alergi yang disebabkan oleh makanan bisa menyebabkan gejala pada
saluran cerna utamanya saluran cerna atas tempat alergen masuk. Manifestasinya adalah
peningkatan peristaltik akibat kontraksi otot saluran cerna berlebih. Gejala pada alergi bisa
juga terjadi sistemik bila antigen menyebar melalui sistem peredaran darah. Gejala sistemik
dari alergi yang paling parah adalah reaksi anafilaksis. Ciri khasnya adalah terjadi edema
pada berbagai jaringan seperti laring sehingga menyebabkan obstruksi jalan nafas dan
penurunan tekanan darah secara tiba-tiba. 2,3
Sensitisasi yang dapat menyebabkan alergi bisa berbeda-beda manifestasinya pada setiap
orang. Alergen yang sama dapat menyebabkan timbul reaksi anafilkasis pada seseorang,
sedangkan pada orang yang berbeda hanya timbul reaksi alergi secara lokal.2,4
Antibodi terhadap sel dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan melalui aktivasi sistem
komplemen. Antibodi ini akan terdeposit pada jaringan yang memiliki atau dianggap antigen
dalam jumlah yang cukup banyak. Teraktivasinya sistem komplemen akan menarik sel-sel
inflamatori yang aktif untkuk membantu menyerang jaringan yang dianggap asing oleh
antibodi.1,3 Mekanisme utamanya ada tiga yaitu :
Antibodi yang menempel pada permukaan sel akan langsung mengopsonisasi sel
atau melalui aktivasi sistem komplemen. Kedua mekanisme tersebut pada
akhirnya akan sama-sama mengopsonisasi sel. Sel yang telah teropsonisasi akan
difagosit serta dihancurkan oleh sel fagosit. Mekanisme ini terjadi pada kasus
anemia hemolitik autoimun, purpura trombositopeni autoimun, dan hemolisis
pada transfusi beda golongan darah.3
b. Inflamasi
Antibodi yang terdeposit akan menarik neutrofil dan makrofag untuk datang.
Kedua sel ini akan menempel pada subkelas IgG yaitu IgG1 dan IgG3 melalui
reseptor Fc yang ada pada kedua sel tersebut. Penempelan ini akan mengaktifkan
kedua sel sehingga proses inflamasi terjadi. Untuk antibodi IgM proses
berlangsung melalui jalur klasik sistem komplemen yang menghasilkan produk
antara (C5a dan C3a). Produk antara ini akan mengaktifkan leukosit yang berakhir
pada proses inflamasi. Leukosit dapat menimbulkan inflamasi melalui pelepasan
senyawa ROS (reactive oxygen species) dan enzim lisosomal. Mekanisme ini
terjadi pada kasus glomerulonefritis yang dipicu oleh antibodi dan sindrom
Goodpasture’s.1,3
Secara sederhana, reaksi hipersensitivitas ini dapat terjadi karena terbentuknya kompleks
antigen-antibodi. Kompleks ini terdeposit pada sel atau jaringan inang. Antibodi dapat
membentuk kompleks dengan menempel pada antigen inang atau antigen asing. Berbeda
dengan reaksi hipersensitivitas tipe 2 yang sifatnya lebih terlokalisasi. Pada tipe ini reaksi
dapat terjadi secara sistemik dan memengaruhi berbagai jaringan atau organ.1,4
Hipersensitivitas tipe 3 pertama kali ditemukan mekanismenya pada awal tahun 1900an
oleh Clemens von Pirquet. Saat itu, pengobatan dengan serum dari kuda digunakan untuk
mengobati infeksi difteri pada manusia. Serum dari kuda yang digunakan adalah serum
yang telah terimunisasi dengan toksin difteri. Namun, pasca disuntikkan serum tersebut
Von Pirquet menyadari terdapat gejala seperti artritis, kemerahan, dan demam pada
pasien. Gejala ini bahkan muncul pada pemberian serum kuda yang tidak mengandung
toksin difteri. Sehingga ia menyimpulkan bahwa ada bagian dari serum kuda yang
dianggap sebagai antigen. Oleh sebab itu, sel inang memproduksi antibodi dalam jumlah
yang banyak sampai membentuk kompleks.1
Patofisiologi dari reaksi hipersensitivitas tipe ini dapat dijelaskan dengan dua model.
Pertama adalah Serum Sickness yang mana antibodi dipicu oleh pemberian antigen secara
sistemik. Antibodi yang terbentuk akan membentuk dan bersirkulasi ke seluruh tubuh.
Biasanya serum sickness dapat terjadi bila diberikan serum dari hewan atau individu lain
seperti pada temuan Clemen von Pirquet. Pada kasus seperti digigit ular, rabies, dan
tetanus kejadian serum sickness juga dapat terjadi. Kedua adalah reaksi Arthus yaitu
sebuah model vaskulitis yang dipicu oleh pembentukan komplek imun. Reaksi ini
dilakukan pada hewan yang telah diberi antibodi spesifik terhadap antigen tertentu dan
diinjeksikan antigen. Antibodi lalu menempel dengan antigen membentuk kompleks dan
bersirkulasi. Kompleks imun akan terdeposisi di pembuluh darah kecil menimbulkan
vaskulitis sehingga terjadi trombosis. Apabila trombosis terjadi, maka pembuluh darah
akan mengalami nekrosis.1,3
Kompleks antigen-antibodi sebenarnya secara normal ada saat terjadi respon imun dalam
tubuh. Akan tetapi kompleks ini dapat bermanifestasi klinis bila jumlahnya berlebihan,
tidak dihancurkan secara efektif, dan terdeposit. Proses deposisi kompleks biasanya
terjadi pada pembuluh darah yang kecil. Kompleks yang terdeposisi memiliki ukuran
kecil seperti pada glomerulus. Deposit kompleks imun akan mengaktivasi leukosit dan sel
mast sehingga sitokin serta mediator vasoaktif disekresi. Contoh penyakit imunologi
sistemik biasanya memiliki mekanisme seperti reaksi hipersensitivitas tipe 3. Contohnya
adalah SLE (systemic lupus erythematosus), Polyarterius nodosa, Glomerulonefritis pasca
infeksi streptokokus, dan Serum sickness.1,3
Terdapat dua jenis reaksi hipersensitivitas tipe 4 yaitu langsung dimediasi oleh sel T atau
dimediasi oleh sitokin yang dihasilkan dari sel T (tipe lambat).1,3
Pada tipe ini reaksi inflamasi pada sel atau jaringan terjadi langsung oleh sel T CD8+
CTL (sel limfosit T sitotoksik). Sel ini memiliki kemampuan untuk membunuh sel
inang.3 Contoh penyakitnya adalah Diabetes Melitus Tipe 1 yang mana sel pulau
pankreas (pancreatic islet cell) dihancurkan oleh sel CD8+ CTL. Hal ini dapat terjadi
karena adanya mutasi gen yang menyebabkan sel β pankreas dianggap sebagai
antigen.1
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat juga dapat terjadi akibat infeksi oleh bakteri,
jamur, virus, serta parasit. Contoh infeksi bakteri yang dapat memicu inflamasi dan
kerusakan jaringan adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis. Hal ini terjadi karena
bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan pada endosom makrofag dengan
menghalangi fusi lisosom. Akibatnya sel makrofag kehilangan kemampuan untuk
membunuh bakteri tersebut. Karena bakteri tidak dapat dihancurkan, respon
hipersensitivitas terjadi sehingga sel inang mengalami kerusakan. Hal tersebut dapat
terlihat pada reaksi granulomatosa. Reaksi ini terjadi karena makrofag yang telah
berisi bakteri mendekat satu sama lain sehingga akan terlihat gambaran epiteloid
yang besar disebut multinucleated giant cell. Sel ini akan menggantikan sel-sel yang
normal dan memicu terjadinya fibrosis serta inflamasi.1,4
REFERENSI
1. Abbas AK, Lichtman AH, Pilai S. Cellular and molecular immunology 8 th ed.
Philadelphia : Elsevier Saunders; 2015. P.399-405
2. Murphy K, Weaver C. Janeway’s immunobiology 9th ed. New York : Garland Science;
2017. P.605-10
3. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology : function and disorders of the immune
system 3rd ed. Philadelphia : Elsevier Saunders; 2011. P.205-20
4. Punt J, Stranford SA, Jones PP, Owen JA. Kuby immunology 8 th ed. New York : WH
Freeman and Company; 2019. P.1048-110
TOLERANSI IMUNOLOGI
Tujuan Pembelajaran
1. Toleransi Imunologi
Toleransi imunologi adalah proses saat sistem imun tidak merespon suatu antigen
padahal limfosit sudah berhasil mengenali antigen tersebut. Ada dua kemungkinan
yang terjadi saat limfosit berhasil mengenali suatu antigen. Limfosit akan teraktivasi
dan berproliferasi hingga menjadi sel efektor atau malah menjadi inaktif dan mati
sehingga terjadi toleransi. Pada beberapa kasus bahkan limfosit yang spesifik
terhadap antigen tertentu justru tidak beraksi sama sekali. Pada tubuh manusia
normal, mikroba atau benda asing adalah imunogenik (memicu sistem imun bekerja),
sedangkan antigen sendiri adalah tolerogenik (memicu sistem imun tidak aktif).
Pilihan antara ingin menjadi aktif atau inaktif sangat bergantung terhadap
karakteristik dari limfosit dan antigen serta bagaimana antigen dikenali oleh sistem
imun.1
Toleransi imunologi dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu toleransi sentral dan
toleransi perifer. Toleransi sentral muncul ketika limfosit mengenali antigen sendiri di
organ limfoid primer seperti sumsum tulang dan timus. Hal ini terjadi karena pada
organ limfoid primer lebih banyak antigen sendiri yang tersedia dibanding antigen
mikroba. Ketika limfosit yang mengenali antigen sendiri baru terjadi di jaringan lain
atau di luar organ limfoid primer, maka disebut sebagai toleransi perifer. Toleransi
perifer penting untuk mempertahankan produksi limfosit yang inaktif melawan
antigen sendiri di jaringan perifer. Apalagi beberapa antigen sendiri memang tidak
diperkenalkan pada organ limfoid primer melainkan baru ditemukan di jaringan
perifer. 2,3
A. Toleransi Limfosit T
Prinsip pembentukan toleransi oleh limfosit T terbagi menjadi dua tahap. Sel
limfosit T imatur (timosit) melalui proses seleksi ketat pada timus dan regulasi sel
T matur agar tidak terjadi reaksi dengan antigen sendiri di luar timus. Mekanisme
utama dari toleransi sel T yang terjadi di timus adalah delesi sel T imatur yang
memiliki afinitas tinggi dan reaktif terhadap antigen sendiri. Pada timus telah
tersedia antigen sendiri yang dibawa oleh darah atau diekspresikan secara lokal di
timus. Ketika sel T imatur mampu berikatan dan bereaksi dengan antigen sendiri,
maka akan didelesi dengan cara apoptosis. Namun, ada beberapa sel T imatur
Di perifer, mekanisme toleransi sel T berlangsung dengan tiga cara yaitu anergi,
supresi oleh sel T regulatorik, dan delesi. Proses aktivasi dari sel T untuk dapat
berfungsi dengan baik adalah pengenalan antigen oleh TCR (T Cell Receptor) dan
juga pengenalan kostimulator. Bila proses ini tidak terjadi atau hanya terjadi pada
level yang rendah maka sel T akan menjadi anergi atau inaktif secara fungsional.
Ketika sel T menjadi anergi maka sel T akan memicu respons inhibitorik lewat
reseptor inhibitor seperti CD-28, CTLA-4, atau PD-1.1,5
Gambar 10. Proses Toleransi Sel T di Perifer dengan Mekanisme Sel T regulator2
Mekanisme toleransi di perifer selanjutnya adalah supresi oleh sel T regulator. Sel
T regulator adalah tergolong dalam kelompok sel T CD4 + yang mengekspresikan
CD25 dalam kadar yang tinggi. Perkembangan dan maturasi fungsi dari sel T
regulator dikontrol oleh faktor transkripsi Foxp3. Untuk mempertahankan fungsi
serta keberlangsungan sel T regulator dibutuhkan sitokin IL-2 dan TGF-β. Sel T
regulatori bekerja menghambat respon imun dengan tiga cara yaitu1,2 :
3. Konsumsi IL-2.
Memiliki tujuan untuk mengurangi jumlah IL-2 sehingga sel yang
membutuhkan IL-2 untuk bekerja tidak dapat bekerja.2
Toleransi di perifer dengan cara delesi sel T terjadi pada sel T yang mengenali
antigen sendiri dan memiliki afinitas tinggi. Proses delesi berlangsung melalui
dua jalur yaitu jalur intrinsik dan jalur ekstrinsik. Pada jalur intrinsik mekanisme
kematian sel T matur dipicu oleh aktifnya protein apoptotik akibat adanya antigen
sendiri. Protein ini mengaktifkan kaspase dan enzim sitosolik sehingga apoptosis
terjadi. Proses apoptosis pada jalur ekstrinsik terjadi karena ekspresi ligan dan
reseptor kematian (death receptor). Interaksi ligan dan reseptor akan
menimbulkan sinyal yang menyebabkan aktivasi kaspase dan proses apoptosis
terjadi. 1,2
B. Toleransi Limfosit B
Toleransi limfosit B dibutuhkan karena ada beberapa antigen seperti polisakarida,
lipid, dan asam nukleat yang oleh sel T tidak dikenali. Tujuannya supaya produksi
autoantibodi tidak terjadi. Toleransi pada limfosit B juga dibagi dua yaitu
toleransi sel B sentral dan toleransi sel B perifer.1
Pada toleransi sel B sentral, limfosit B yang imatur dan mampu mengenali antigen
sendiri di sumsum tulang akan dirombak atau dihapus. Terdapat tiga mekanisme
yaitu dengan cara mengubah reseptor, delesi, dan anergi. Pengubahan reseptor ini
bertujuan untuk mengubah spesifisitas reseptor sehingga produksi antibodi yang
spesifik terhadap antigen sendiri tidak terjadi. Pada delesi prosesnya sama dengan
toleransi sel T yaitu apoptosis langsung sel yang memiliki afinitas tinggi terhadap
antigen sendiri. Pada sel B yang memiliki afinitas rendah terhadap antigen sendiri
fungsinya akan menurun sehingga tidak ada respon imun apapun. Proses ini yang
disebut anergi.1,2
Di perifer limfosit B yang matur akan menjadi tidak responsif terhadap antigen
sendiri (anergi) karena ketiadaan sel T helper. Hal ini terjadi karena sel T
biasanya dibutuhkan untuk mengaktifkan limfosit B agar memproduksi antibodi.
Saat sel B menjadi tidak responsif, maka akan dikeluarkan dari folikel dan
menjadi apoptosis atau mati.1
2. Autoimun
Autoimun merupakan munculnya respon imun pada tubuh terhadap antigen milik
sendiri. Kondisi ini pertama kali ditemukan oleh Paul Ehrlich pada awal abad 20 yang
dideskripsikan sebagai horor autotoxicus. Di Amerika Serikat, penyakit autoimun
dapat ditemukan pada 2-5% populasi. Prinsip penting dalam autoimun adalah
bagaimana toleransi terhadap antigen sendiri mengalami kegagalan dan limfosit yang
reaktif terhadap antigen sendiri teraktivasi.1,3 Mekanisme terjadinya autoimun
merupakan hasil dari kombinasi tiga penyimpangan pada sistem imun normal2.
1. Defek toleransi dan regulasi.
Defek ini menimbulkan kegagalan pada mekanisme toleransi imunologi pada sel
T dan sel B sehingga aktivasi limfosit dan kontrol menjadi tidak seimbang.
Kegagalan ini dapat disebabkan oleh defek pada delesi sel T dan sel B atau pada
perombakan reseptor sel B saat proses maturasi, defek sel limfosit T regulator,
defek pada proses apoptosis sel limfosit yang reaktif terhadap antigen sendiri, dan
fungsi reseptor yang tidak adekuat
2. Abnormalitas pada presentasi antigen sendiri
Bentuk abnormalitas dapat berupa peningkatan ekspresi atau produksi yang
persisten dari antigen sendiri.
3. Proses inflamasi atau adanya respon imun bawaan
Respon imun bawaan merupakan stimulus yang kuat dalam mengaktifkan respon
imun adaptif. Ketika sel terinfeksi atau mengalami jejas, reaksi imun lokal terjadi
dan menyebabkan inflamasi. Aktifnya reaksi imun menyebabkan APC akan
teraktivasi sehingga mekanisme kontrol oleh sel regulatorik terganggu dan
berakibat pada aktivasi sel T yang berlebihan.
Proses autoimun tersebut dapat terjadi akibat adanya kerentanan genetik dan faktor
lingkungan. Gen tertentu yang rentan pada manusia dapat menyebabkan gangguan
pada mekanisme toleransi terhadap antigen sendiri. Gen spesifik yang menyebabkan
autoimun merupakan akibat dari polimorfisme genetik multipel. Berbagai penyakit
autoimun memiliki keterkaitan dengan gen MHC atau HLA. Contohnya adalah HLA-
B27 yang terkait dengan penyakit ankylosing spondylitis, HLA-DR4 dengan penyakit
rheumatoid arthritis, dan HLA-DR4/3 pada penyakit diabetes melitus tipe 1. Apabila
pada tubuh seseorang didapatkan alel HLA-B27 maka risiko untuk terkena penyakit
ankylosing spondylitis menjadi lebih besar. Gen lainnya yang dapat berkontribusi
terhadap terjadinya autoimun adalah gen PTPN22, NOD2, dan insulin. Adanya gen
PTPN22 menyebabkan protein arginine pada posisi 620 berubah menjadi triptofan.
Perubahan ini dapat ditemukan pada kasus rheumatoid arthritis, diabetes melitus tipe
1, dan tiroiditis autoimun. Gen NOD2 bila mengalami polimorfisme, maka
kemungkinan untuk mengalami Crohn’s Disease meningkat. Polimorfisme
menyebabkan fungsi gen NOD2 yang seharusnya dapat mengenali peptidoglikan
bakteri menjadi berkurang. Efeknya mekanisme pertahanan terhadap mikroba usus
menjadi berkurang sehingga mikroba-mikroba ini malah menyerang susunan sel
epitel dan memicu terjadinya reaksi inflamasi kronik. Gen insulin yang mengalami
polimorfisme biasanya dikatkan dengan diabets melitus tipe 1. Polimorfisme
menyebabkan gen ekspresi insulin pada timus terganggu.1,2
Faktor lingkungan seperti infeksi dan cedera jaringan dapat menyebabkan autoimun
akibat teraktivasinya limfosit yang bersifat autoreaktif. Infeksi secara umum akan
memicu respon imun bawaan lokal. Adanya respon ini meningkatkan produksi sitokin
oleh jaringan APC. Teraktivasinya APC membuat sel T juga aktif termasuk sel T
yang reaktif terhadap antigen sendiri. Bahkan pada beberapa mikroba turut
memproduksi antigen peptida yang ikut bereaksi dengan antigen sendiri. Dengan
demikian, respon imun yang terpicu adalah respon imun terhadap antigen sendiri
karena adanya reaksi ini. Proses ini dikenal dengan istilah mimikri molekuler yang
contohnya ada pada demam rematik. Demam rematik terjadi akibat antigen dari
bakteri streptococcus bereaksi dengan jaringan myokardial.1
Secara umum autoimun dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu yang bersifat
spesifik organ atau bersifat sistemik. Walau demikian klasifikasi ini sebenarnya
sangat sulit dilakukan karena beberapa penyakit autoimun memiliki kecendrungan
untuk menjadi kronik. Contohnya ada pada kasus anemia hemolitik autoimun yang
mana sel darah merah diserang oleh sistem imun sebagai autoimun yang spesifik
organ, namun dapat bermanifestasi bersamaan dengan SLE yang merupakan
autoimun sistemik. Bentuk lain dari autoimun yang mekanismenya cukup unik ada
pada penyakit inflammatory bowel disease (IBD). Pada penyakit ini, reaksi imun
terhadap antigen sendiri dipicu oleh mikrobiota komensal usus.2,3
Namun klasifikasi tersebut masih dapat digunakan seperti pada Hashimoto Tiroiditis
dan Penyakit Graves yang merupakan penyakit autoimun spesifik memengaruhi
fungsi kelenjar tiroid. Contoh lain yaitu diabetes tipe 1 yang menyebabkan terjadinya
respon imun terhadap sel β pankreas. Untuk contoh penyakit autoimun yang sistemik
adalah Systemic Lupus Erithematous (SLE) dan Sindrom Sjögren primer. Pada kedua
penyakit ini jaringan mulai dari kulit, ginjal, otak, dan organ lainnya juga ikut
bereaksi terhadap respon imun.3
REFERENSI
1. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology : function and disorders of the immune
system 3rd ed. Philadelphia : Elsevier Saunders; 2011. p.173-85
2. Abbas AK, Lichtman AH, Pilai S. Cellular and molecular immunology 8 th ed.
Philadelphia : Elsevier Saunders; 2015. p.315-35
3. Murphy K, Weaver C. Janeway’s immunobiology 9th ed. New York : Garland Science;
2017. p.643-58
4. Punt J, Stranford SA, Jones PP, Owen JA. Kuby immunology 8 th ed. New York : WH
Freeman and Company; 2019. p.1127-34
5. Male D, Brostoff J, Roth DB, Roitt IM. Immunology 8 th ed. Philadelphia : Elsevier
Saunders; 2013. p.307-20
IMUNODEFISIENSI
Tujuan Pembelajaran
B. Imunodefisiensi
Imunodefisiensi terjadi ketika salah satu komponen dalam sistem imun mengalami defek.
Terdapat dua jenis imunodefisiensi yaitu imunodefisiensi primer dan sekunder.
Imunodefisiensi primer merupakan kondisi imunodefisiensi akibat terjadinya mutasi
diturunkan pada gen-gen pengkontrol respon imun. Berbeda dengan imunodefisiensi
sekunder yang merupakan kondisi imunodefisiensi didapat akibat terkena penyakit lain
atau faktor eksternal seperti kondisi kelaparan dan komplikasi tindakan medis.1
1. Imunodefisiensi Primer
Imunodefisiensi primer terjadi akibat defek genetik yang menyebabkan maturasi dan
fungsi dari berbagai komponen pada sistem imun terganggu. Secara umum seseorang
dengan imunodefisiensi akan rentan terkena infeksi. Walau demikian, manifestasi
klinis dari imunodefisiensi primer dapat berbeda-beda ada yang termanifestasi sesaat
baru lahir dan bersifat fatal atau yang termanifestasi saat dewasa dengan gejala yang
lebih ringan.1,3
A. Defisiensi Limfosit B
Apabila seseorang mengalami defisiensi sel B maka produksi antibodi
mengalami gangguan dan menjadi rentan terkena infeksi utamanya pada
saluran nafas atas dan bawah, telinga, saluran cerna, dan kulit. Penyakit
yang umumnya terjadi adalah pneumonia (saluran nafas bawah), sinusitis
(saluran nafas atas), otitis media (telinga), dan infeksi Giardia lamblia
(saluran cerna).3
Pada usia 4-6 bulan, anak laki-laki dengan XLA biasanya belum
menunjukkan gejala karena masih adanya antibodi IgG yang berasal dari
ibu. Ketika jumlah IgG ini turun pada usia 6 bulan ke atas, infeksi rekuren
akan terjadi. Beberapa mikroba yang menjadi penyebab infeksi
diantaranya adalah Streptococcus pneumoniae dan enterovirus. Bentuk
lain dari agammaglobulinemia dapat terjadi dengan sifat penurunan
autosom resesif. Pada bentuk ini mutasi terjadi pada gen komponen lain
dari prekursor B reseptor atau pada gen BLNK. Efeknya akan terjadi
blokade perkembangan sel B di tahap prekursor sel B yang lebih parah.1,3
Bentuk defek dari limfosit B lainnya adalah pada saat sel B berdiferensiasi
yang dikenal dengan Common Variable Immunodeficiency (CVID).
CVID ini merupakan imunodefisiensi primer yang paling banyak dengan
1:10.000 individu mengalami CVID. Etiologi yang mendasari diduga
adalah mutasi pada gen TACI yang ditemukan pada 15% pasien CVID.
Gen ini merupakan bagian dari kelompok reseptor TNF dan berfungsi
untuk memicu aktivasi sel B dan proses rekombinasi yang disebut class
switch recombination (CSR) ketika berinteraksi dengan ligannya yaitu
APRIL. Bila berinteraksi dengan gen BAFF maka akan membantu
kelangsungan hidup sel B. Bentuk-bentuk defeknya sangat beragam. Ada
pasien yang memiliki jumlah sel B terutama limfosit B memori CD27 +
atau gangguan fungsi sel T. Pada beberapa kasus CVID dapat diturunkan
dengan sifat autosomal dominan maupun autosomal resesif. Diagnosis
dilakukan ketika berbagai penyakit imunodefisiensi primer berhasil
dieksklusikan. Kondisi CVID ini biasanya terdeteksi pada saat usia anak-
anak tetapi bisa juga sampai dewasa. Banyaknya bentuk-bentuk CVID,
membuat manifestasi klinisnya bisa beragam. Pada pasien dengan
defisiensi imunoglobulin maka infeksi piogenik akibat Haemophilus
influenzae dan Streptococcus pneumoniae dapat muncul. Kasus autoimun
juga bisa muncul seperti anemia hemolitik, inflammatory bowel disease
(IBD), dan rheumatoid arthritis. Manifestasi yang paling parah adalah
sampai muncul tumor ganas yaitu limfoma. Kasus yang jarang terjadi dan
biasanya berbarengan dengan CVID adalah defisiensi IgA. Umumnya
asimtomatik namun gejala seperti infeksi berulang, autoimun, atau alergi
dapat terjadi terutama bila ada defisiensi IgG.3,4
Proses class switch recombination (CSR) yang mana rantai μ dari
imunoglobulin diubah menjadi rantai berat sehingga terbentuk IgG, IgA,
dan IgE juga dapat mengalami defek yang dikenal dengan sindrom
HiperIgM. Sindrom ini dapat terjadi akibat mutasi pada gen AID dan
UNG. Mutasi ini menyebabkan defisiensi CD40L dan memiliki sifat
penurunan X-Linked. Defisiensi CD40L menyebabkan CD40 tidak bisa
menempel pada ligannya sehingga interaksi sel T dengan sel dendritik atau
makrofag tidak terjadi. Manifestasi klinis yang sering adalah infeksi
bakteri berulang. Selain itu, infeksi oportunistik akibat Pneumocystis
jiroveci, cytomegalovirus, dan Cryptosporidium juga dapat terjadi.3,4
B. Defisiensi Limfosit T
Salah satu defek pada limfosit T yang mana berbagai tahap perkembangan
sel T mengalami defek dikenal dengan nama Severe Combined
Immunodeficiency (SCID). Terdapat dua jenis SCID berdasarkan sifat
penurunannya yaitu X-Linked SCID dan autosomal SCID. Pada X-Linked
SCID terjadi mutasi pada subunit rantai γ (γ c) yang berperan dalam
persinyalan untuk sitokin. Karena merupakan komponen penting dari
berbagai sitokin, maka ketika terjadi defek menyebabkan terbentuknya
limfosit T imatur karena sel pro-T tidak bisa berkembang lebih lanjut.
Untuk kasus autosomal SCID, mutasi terjadi pada enzim ADA yang
terlibat dalam pemecahan purine. Bila purine meningkat maka limfosit T
yang sedang berproliferasi akan menjadi terganggu. Efeknya sel T yang
matur menjadi berkurang. Tanda penting pada kasus SCID adalah
limfopenia, ukuran timus yang kecil, dan nodus limfe yang tidak dapat
teraba. Secara klinis, SCID mulai muncul di 1 bulan pertama kehidupan
dengan manifestasi berupa pneumona interstisial akibat Pneumocystis
jiroveci atau infeksi virus, cytomegalovirus, virus RSV (respiratory
syncytial virus), adenovirus, virus parainfluenza. Anak dengan kondisi
SCID dikontraindikasikan untuk pemberian vaksin hidup karena akan
memunculkan gejala.2,3
3. Sindrom Imunodefisiensi
Sindrom imunodefisiensi dicirikan dengan gangguan yang sangat beragam
baik itu memengaruhi sistem imun maupun sistem organ lainnya .
Abnormalitas dapat terjadi pada sistem imun adaptif dan bawaan serta dapat
diturunkan. Contohnya adalah sindrom Chédiak-Higashi, sindrom Wiskott-
Aldrich, dan sindrom DiGeorge. Pada bagian ini akan dibahas mengenai
sindrom Wiskott-Aldrich, Ataxia Telangiectasia Herediter, dan sindrom
Chédiak-Higashi.3,4
Bentuk defek yang terjadi pada sistem komplemen baik itu keseluruhan sistem
komplemen atau komplemen regulator saja. Defek pada sistem komponen
jalur klasik seperti C1r, C1s, C4, atau C2 dapat menyebabkan infeksi sistemik.
Hal tersebut dapat terjadi karena pada jalur klasik komplemen C1r, C1s, C4,
atau C2 merupakan kovalen dari komplemen C4b dan C3b agar dapat aktif
bekerja. Bila terjadi defisiensi pada C3, faktor H, dan faktor I menyebabkan
seseorang rentan terkena infeksi piogenik. Bila defek terjadi pada komponen
akhir dari sistem komplemen seperti C5, C6, C7, dan C8, atau pada komponen
akhir jalur alternatif, faktor D, dan properdin, maka seseorang akan rentan
terkena infeksi dari bakteri Neisseria.3,4
Pada pasien kanker terutama yang berada dalam stadium lanjut akan memiliki sistem
imun yang lemah. Kanker yang menyerang pada sumsum tulang akan memiliki
pengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan limfosit dan leukosit.
Contoh penyakitnya adalah Hodgkin’s Disease yaitu sebuah limfoma ganas yang
menyebabkan fungsi sel T terganggu.4
Kondisi iatrogenik seperti akibat tindakan transplantasi dan beberapa jenis obat-
obatan dapat menyebabkan sistem imun mengalami supresi. Pada pasien pasca
transplantasi, perbedaan genetik dapat menyebabkan sistem imun mengenali organ
donor sebagai benda asing. Agar tidak terjadi respon imun yang menyebabkan
kerusakan organ donor, maka pasien akan diberikan obat imunosupresif dalam jangka
waktu yang lama. Obat yang diberikan diantaranya adalah siklosporin A dan
takrolimus. Kedua obat ini memiliki target penurunan sel T. Penggunaan obat-obatan
glukokortikoid yang memiliki efek antiinflamasi dalam jangka waktu lama dapat juga
menyebabkan depresi sistem imun.3,4
Infeksi HIV yang berujung menjadi AIDS merupakan kasus infeksi yang menjadi
tantangan terbesar dunia karena sifatnya yang menyerang sistem imun. Pertama kali
ditemukan pada tahun 1980an, infeksi HIV menjadi infeksi dengan derajat morbiditas
dan mortalitas yang cukup parah dengan 25 juta penderita di seluruh dunia yang
70%nya terdapat di Afrika. Hal ini diperparah dengan ketiadaan obat maupun vaksin
untuk penderita AIDS. Obat yang tersedia hanya dapat mengkontrol infeksi dan tidak
bersifat benar-benar menyembuhkan.2,4
Pada dasarnya HIV masuk ke dalam retrovirus yang menyerang sistem imun terutama
sel T CD4+. HIV dapat ditemukan pada darah, cairan semen, sekret vagina, dan ASI
dari ibu penderita. HIV dapat dengan mudah ditularkan melalui hubungan seks tidak
terproteksi, kontaminasi jarum suntik atau darah, dan saat kehamilan dari ibu
penderita ke janin yang dikandungnya. Di dunia terdapat dua jenis HIV yaitu HIV-1
dan HIV-2. HIV-1 merupakan jenis yang lebih umum menyebabkan AIDS,
sedangkan HIV-2 memiliki ciri khas progresi lambat untuk dapat menyebabkan
AIDS. HIV-2 lebih sering ditemukan di Afrika Barat, sedangkan HIV-1 lebih sering
ditemukan pada pasien HIV di berbagai belahan dunia.3,4
Virus HIV dapat menjadi infeksi laten yang tidak bermanifestasi apapun dalam sel.
Ketika teraktivasi barulah HIV akan memperbanyak diri untuk dapat menginfeksi sel
lainnya. Gejala awal dari HIV umumnya memiliki kesamaan dengan infeksi virus
lainnya. Kondisi ini terjadi saat virus berada pada darah yang disebut viremia akut.
Virus selanjutnya akan menyerang sel T CD4+, makrofag, dan sel dendritik. Kondisi
inilah yang disebut sebagai AIDS (acquire immunodeficiency syndrome). Manifestasi
klinis yang muncul pada pasien AIDS biasanya merupakan akibat dari infeksi
berulang yang dialami oleh pasien. Etiologi penyebabnya biasanya merupakan
mikroba oportunistik yang biasanya dapat diserang oleh sel T seperti jamur
Pneumocytis jiroveci, jamur Cryptococcus neoformans, Toxoplasma sp.,
cytomegalovirus, dan Mycobacterium sp. Infeksi dapat terjadi pada saluran cerna,
sistem saraf pusat, dan sistem pernafasan. Kanker pada pasien AIDS juga dapat
terjadi seperti limfoma sel B akibat infeksi virus Epstein-Barr. Pada pasien AIDS
kronik penurunan berat badan dan gejala demensia juga dapat terjadi.2,4
Referensi
1. Murphy K, Weaver C. Janeway’s immunobiology 9th ed. New York : Garland
Science; 2017. p.534-41
2. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology : function and disorders of the immune
system 3rd ed. Philadelphia : Elsevier Saunders; 2011. p.223-37
3. Male D, Brostoff J, Roth DB, Roitt IM. Immunology 8 th ed. Philadelphia : Elsevier
Saunders; 2013. p.263-84
4. Abbas AK, Lichtman AH, Pilai S. Cellular and molecular immunology 8 th ed.
Philadelphia : Elsevier Saunders; 2015. p.437-62
VAKSIN
Indikator
7.2.1. Menjelaskan strategi-strategi pengembangan vaksin
7.2.2. Menguraikan definisi dan penggolongan vaksin
7.2.3. Merancang produk vaksin
A. Definisi Vaksin
Vaksinasi merupakan sebuah proses pembentukan proteksi tubuh natural dengan
menstimulasi respon sistem imun adaptif terhadap mikroba dengan paparan bentuk
nonpatogenik atau sebuah komponen dari mikroba.1 Perkembangan vaksin sebagai
metode untuk melawan infeksi merupakan salah satu pencapaian terbaik dalam bidang
ilmu imunologi. Berkat pengembangan metode pencegahan ini, smallpox menjadi satu-
satunya jenis penyakit yang berhasil tereradikasi di seluruh dunia. Pencapaian ini diraih
dengan penerapan vaksin terhadap penyakit tersebut. Hingga saat ini, sudah banyak
ditemukan berbagai jenis vaksin untuk melawan berbagia jenis penyakit yang ada di
muka bumi ini, seperti polio, tetanus, difteri, dan lain sebagainya.2
Vaccinia, sebuah vaksin untuk mencegah cowpox virus, merupakan vaksin pertama yang
ditemukan pada 200 tahun yang lalu oleh Jenner. Virus ini tidak memberikan hasil yang
signifikan hingga Pasteur memutuskan untuk mengubah jenis preparat mikroba yang
digunakan untuk membentuk imunitas terhadap sebuah organisme virulen. Ia
menggunakan korda spinalis dari sebuah kelinci yang terinfeksi rabies dan bacili anthrax
yang dipanaskan sebagai dasar dari pembuatan vaksin masa kini. Di sisi lain, vaksin
temuan Jenner yang semula diproduksi dengan bahan dasar hewan tidak lagi digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan vaksin. Namun, Pasteur juga masih belum menemukan
mekanisme pemahaman memori dalam sistem imun dan fungsi dari limfosit. Sehingga,
perkembangan vaksin sempat terhambat hingga setengah abad lamanya.3
Kehadiran Burnet’s clonal selection theory pada tahun 1957 dan penemuan sel limfosit T
dan B pada tahun 1965 membuat mekanisme pembentukan sistem imun tubuh menjadi
lebih jelas. Dalam respon sistem imun, antigen dari mikroga patogen dapat menginduksi
ekspansi klonal dari sel T dan/atau B spesifik dan menghasilkan sebuah populasi sel
memori. Keberadaan populasi sel tersebut dapat mempercepat reaksi sistem imun ketika
tubuh terekspos dengan antigen serupa untuk kedua kalinya (respon imun sekunder).3
Di sisi lain, beberapa jenis infeksi memiliki respon tubuh primer yang lama untuk
mencegah tubuh mengalami penyakit. Namun, apabila indivitu tersebut sudah terekspos
dengan antigen serupa (contohnya dengan pemberian vaksin), populasi sel memori yang
sudah terdapat di dalam tubuh individu tersebut akan mempercepat reaksi sistem imun
dan antibodi sehingga dapat menjaga tubuh untuk mencegah terjadinya penaykit
tersebut.3
B. Penggolongan vaksin
Gambar 2. Jenis-jenis vaksin dan contohnya.2
3. Vaksin Konjugat
Bagian lain dari mikroba yang dapat digunakan sebagai penanda adalah antigen
polisakarida. Vaksin untuk melawan pneumokokus dan H. influenzae merupakan
salah satu dari contoh penerapan bentuk ini. Karena polisakarida merupakan antigen
T-independen, mereka umumnya memiliki respon afinitas antibodi yang lemah dan
memiliki imunogenitas pada anak kecil yang lemah (karena tidak memiliki respon sel
T independen antibodi yang kuat). Untuk membentuk vaksin polisakarida dengan
respon afinitas antibodi yang tinggi, vaksin harus dibentuk dengan coupling
polisakarida tersebut menjadi protein untuk membentuk vaksin konjugat. Vaksin H.
influenzae, pneumokokus, dan meningokokus yang umum digunakan saat ini
tergolong sebagai vaksin konjugat.4
4. Vaksin Sintetik
Peptida sintetik hanya mengandung bagian epitop dari sebuah antigen. Bagian protein
lain yang memberikan respon imun tubuh negatif (supresif), memiliki efek toksik,
atau cross-react dengan protein endogen dibuang. Umumnya, peptida menginduksi
respon imun humoral, potensial dari respon ini beragam berdasarkan tipe dari HLA
terkait. Vaksin ini hanya memberikan proteksi optimal pada sebagian proporsi dari
populasi.5 Vaksin sintetik dibuat dari rekombinan antigen DNA yang saat ini banyak
digunakan pada virus hepatitis, herpes simplex, berbagai virus penyakit foot-and-
mouth, human papillomavirus (HPV), dan rotavirus.4
5. Viral Vectors
Pendekatan lain dari perkembangan vaksin adalah dengan memperkenalkan gen
pengkode antigen mikrobial ke dalam nonsitopatik virus dan menginfeksikan virus
tersebut kepada seorang individu. Virus merupakan sumber antigen pada sebuah
individu yang terinfeksi. Keuntungan dari vektor virus ini adalah mereka dapat
menginduksi seluruh komplemen dari respon imun dan respon sel T sitotoksik yang
kuat. Inokulasi dari virus rekombinan ke dalam berbagai jenis spesies hewan berhasil
menginduksi respon humoral dan imunitas berdasar sel melawan antigen yang
dihasilkan oleh gen asing. Namun, permasalahan yangmungkin terjadi dari virus
rekomenbinan adalah virus dapat menginfeksi sel host yang kemudian menstimulasi
respon sel T sitotoksik dan membunuh sel host, walaupun mereka tidak patogenik.
Karena alasan tersebut dan berbagai permasalahan keamanan lainnya, penggunaan
vaksin jenis ini dibatasi.4
6. Vaksin DNA
Wolff dan Felgner membentuk sebuah strategi baru dalam terapi gen yang memiliki
fokus untuk membentuk kekebalan tubuh. Strategi ini melibatkan pengikatan DNA
bermuatan negatif dengan lipid bermuatan kation yang dapat berikatan satu sama lain
dan mengizinkan pemasukan molekul tersebut terhadap lipid. Sebuah penemuan lain
menyatakan bahwa penginjeksian DNA tanpa lipid dapat meningkatkan uptake dari
molekul tersebut ke dalam membran sel dan meningkatkan ekspresi protein yang
dikodekan oleh materi genetik tersebut. Mekanisme ini menghadirkan sebuah teknik
yang disebut dnegan vaksin DNA. Molekul tersebut diinjeksikan ke dalam sel dan
menjadi sebuah sumber imunogen in situ dan dapat menginduksi respon imun kuat,
termasuk diantaranya sel T sitotoksik. Saat ini, para vaksinologi sedang berusaha
untuk mengembangkan teknologi baru ini.6 Umumnya, DNA yang digunakan adalah
DNA polos (tanpa dilapisi membran fosfolipid) atau plasmid bakteri. Namun,
berbagai hasil uji klinis menunjukan bahwa teknik ini tidak menghasilkan efektivitas
yang tinggi.4
1. Vaccines and immunization [internet]. Geneva: World Health Organization; [cited: 7 Mar
2021]. Available from: https://www.who.int/health-topics/vaccines-and-
immunization#tab=tab_1
2. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Basic Immunology: Functions and Disorders of the
Immune System. Missouri: Elsevier; 2016.
3. Male D, Brostoff J, Roth DB, Roitt I. Immunology 8th ed. London: Elsevier; 2013.
4. Abbas AK. Lichtman AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology 7 th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2012.
5. Burmester GR, Pezzutto A. Color Atlas of Immunology. New York: Burmester; 2003.
6. Delves PJ, Martin SJ, Burton DR, Roitt IM. Roitt’s Essential Immunology.
Massachusetts: Blackwell Publishing Inc.; 2006.
7. Jadwal Imunisasi IDAI 2020. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI); [published:
2021 Jan 29; cited: 2021 Mar 7]. Available from: https://www.idai.or.id/tentang-
idai/pernyataan-idai/jadwal-imunisasi-idai-2020
Soroy Lardo, Arif Rachman, Gita Fajri Gustya, Shabrina Lathifatunnissa Rais, Waras Budiman
A. Karakteristik Lingkungan Militer
Terdapat berbagai ancaman yang berbeda dengan kehidupan sehari-hari pada lingkungan militer.
Misalnya, dalam kondisi perang tertentu dapat terjadi wabah penyakit (contohnya, penyakit
infeksi) atau senjata biologis dan bahaya racun/kimia yang secara langsung menyerang para
personel militer. Kondisi serupa juga dapat ditemukan pada area latihan militer.1
Sistem imun merupakan pertahanan tubuh yang penting, terlebih dalam lingkungan militer.
Keadaan dalam lingkungan militer dapat berpotensi menimbulkan respons stres psikologis yang
dipicu oleh stressor operasional pada lingkungan militer seperti perang yang memiliki dampak
pada sistem imun. Kecemasan kronik diduga dapat menekan proliferasi sel T dan produksi
limfosit IL-2 yang memiliki peran penting dalam pertahanan tubuh. Stressor yang ditemui pada
personel militer meliputi faktor-faktor terkait misi/penugasan atau tekanan batin akibat terpisah
dari keluarga. Stressor lain yang menjadi faktor utama bagi personel militer meliputi kurangnya
waktu tidur. Kurang tidur dapat menyebabkan penurunan respons imun secara alami yang
ditandai dengan aktivitas sel NK dan produksi sitokin oleh sel T yang menurun.2
Gambar 1. Risiko terjadinya penyakit lebih tinggi pada personel militer dengan beban kerja dan intensitas aktivitas
fisik yang lebih berat3
Selain stres psikologis dan gangguan tidur, aktivitas fisik yang berlebih atau memiliki intensitas
yang sangat tinggi juga dapat menekan fungsi imun secara sementara. Penurunan fungsi imun ini
juga berkaitan dengan stressor lain seperti stres psikologis. Penurunan fungsi imun akibat
aktivitas fisik yang berlebihan serta memiliki intensitas tinggi juga kemudian dapat
menyebabkan personel militer lebih rentan terkena infeksi, misalnya pada saluran pernapasan
atas.3
B. Penyakit Alergi di Bidang Militer
Alergi makanan merupakan salah satu permasalahan dalam dunia militer. Adanya alergi
makanan dapat memengaruhi kesiapan dan proses rekrutmen personel militer. Beberapa kriteria
rekrutmen personel militer meliputi bebas dari penyakit infeksius/menular, penyakit yang
membutuhkan perawatan khusus di rumah sakit yang dapat menyita waktu selama penugasan
militer, memiliki kapabilitas kesehatan yang dapat menyelesaikan berbagai latihan khusus
militer, serta dapat beradaptasi dengan kondisi-kondisi khusus pada lingkungan militer. Salah
satu poin khusus terkait standar medis personel militer meliputi ada/tidaknya riwayat alergi
seperti alergi makanan yang bersifat sistemik.4
Respons alergi akibat makanan diperantarai oleh berbagai mekanisme, seperti sel mast, basofil,
dan antibodi IgE. Respons alergi meliputi spektrum yang luas, dapat berupa reaksi urtikaria
ringan hingga reaksi sistemik pada multiorgan seperti reaksi anafilaksis. Reaksi alergi terjadi
akibat adanya aktivasi sel mast dan basofil yang dipicu oleh antigen berupa allergen (molekul
yang dapat menyebabkan respons alergi). Aktivasi sel mast dan basofil dapat diperantarai oleh
antibodi IgE. Pada reaksi anafilaksis, sel mast dan basofil menyekresikan histamin secara
berlebihan. Hal ini dapat berujung pada kondisi syok yang ditandai dengan penurunan tekanan
darah, peningkatan denyut jantung (takikardia), urtikaria, serta gejala pernapasan seperti sesak
napas (dispneu), bersin, batuk, wheezing, dan lain-lain.4
Adanya riwayat alergi dapat mempersulit rekrutmen seorang personel militer. Sebelum
melakukan penugasan, dibutuhkan skrining yang teliti untuk melihat riwayat alergi oleh ahli
alergi (contohnya military allergist). Skrining dapat berupa uji toleransi makanan (food
challenge) untuk melihat respons tubuh terhadap allergen. Tata laksana pada reaksi alergi yang
parah meliputi autoinjektor epinefrin.4
Selain alergi makanan, pada personel militer juga dikenal adanya penulisan label alergi
penisilin. Pada kondisi ini, personel militer dengan label alergi penisilin tidak boleh diberikan
antibiotik golongan penisilin apapun. Beberapa golongan penisilin meliputi amoksisilin,
ampisilin, amoksisilin-klavulanat, docloxacillin, nafsilin, serta piperasilin-tazobaktam.
Alternatif dari penisilin meliputi azitromisin, sefalosporin, klaritromisin, serta klindamisin.
Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya respons alergi bahkan reaksi anafilaksis.5
C. Post-traumatic Stress Disorder beserta Risiko Autoimun di Bidang Militer
Post-traumatic stress disorder atau PTSD merupakan salah satu psikopatologi yang sering
ditemui pada personel militer atau veteran perang. PTSD pada personel militer dapat
menyebabkan dampak yang signifikan, meliputi stres psikologis berkepanjangan disertai
gangguan fungsi sosial yang ditandai dengan sikap antisosial, mudah marah, dan agresi. Para
penderita PTSD menunjukkan gejala waspada yang ditandai dengan insomnia dan mudah merasa
takut.6,7
Kondisi PTSD berkaitan dengan gangguan pada sistem endokrin, neurobiologis, serta imun. Hal
tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyakit inflamasi yang diperantarai oleh imun.
Mekanisme yang mendasari adanya peningkatan risiko penyakit terkait imun pada PTSD masih
belum jelas, namun beberapa studi menyebutkan bahwa dapat diamati adanya penurunan level
hormon glukokortikoid, peningkatan faktor-faktor proinflamasi yang memicu respons inflamasi
berlebihan, perubahan ekspresi gen, serta peningkatan kecepatan proses penuaan pada sel-sel
imun.6,8
Beberapa penyakit terkait imun seringkali ditemukan pada personel militer atau veteran perang
yang menderita PTSD. Beberapa penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis, lupus
eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus atau SLE), sklerosis multipel, tiroiditis,
serta penyakit inflamasi pada usus (inflammatory bowel disease atau IBD) seringkali
dijumpai pada personel militer dengan PTSD.6
D. Penyakit Immunodefisiensi
Personel militer memiliki risiko yang cukup tinggi terinfeksi atau mentransmisikan Human
Immunodeficiency Virus (HIV), menyebabkan adanya Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS). Immunodefisiensi adalah kodnisi dimana kemampuan sistem imun untuk melawan
infeksi atau kanker terganggu atau bahkan hilang. Personel militer meliputi tentara memiliki
beberapa faktor risiko yang menunjang terjadinya HIV, dimana personel militer umumnya terdiri
atas usia muda, aktif secara seksual, serta berjenis kelamin laki-laki yang rentan terhadap peer
pressure atau tekanan antarsejawat. Perilaku sehari-hari seperti merokok, minum alkohol, serta
bergonta-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom dapat meningkatkan risiko terkena HIV
lebih tinggi.2,9
Salah satu kondisi lain yang dapat meningkatkan transmisi HIV pada lingkungan militer
merupakan prosedur transfusi darah emergensi pada area perang. Misalnya, pada konflik
Vietnam, Somalia, Kosovo, Afganistan, dan Irak dimana para personel militer dari Amerika
Serikat melakukan transfusi darah emergensi tanpa skrining awal patogen yang dapat ditransmisi
melalui darah, seperti HIV. Pada dunia militer, dikenal istilah “walking blood bank” yaitu
beberapa orang yang dapat secara sigap melakukan donasi darah pada kondisi darurat. Apabila
dalam proses transfusi terdapat kontaminasi dari HIV, maka akan terjadi transmisi lokal HIV.
Transmisi HIV di dalam lingkungan militer dapat mengganggu kesiapan para personel militer
untuk menjalankan misi/tugas yang dilimpahkan selanjutnya khususnya pada kasus
immunodefisiensi yang parah.10
Kondisi immunodefisiensi dapat menyebabkan dampak yang sangat besar bagi sistem imun dan
kelangsungan hidup personel militer. Kemampuan sistem imun yang menurun dapat
menyebabkan seseorang menjadi lebih rentan terhadap infeksi atau penyakit. Beberapa penyakit
yang seringkali menjadi komorbid bersamaan dengan HIV meliputi keganasan (sarkoma
Kaposi, limfoma non-Hodgkin), penyakit menular seksual (sifilis, gonorea, dan klamidia),
serta penyakit yang mengganggu kognitif seperti demensia.2
Permasalahan dalam bidang militer terkait sistem imun memiliki dampak yang masif terhadap
keberlangsungan militer itu sendiri. Pendekatan untuk meningkatkan sistem imun diperlukan
bagi para personel militer, terutama apabila mendekati misi/tugas. Beberapa protokol yang dapat
diaplikasikan pada personel militer merupakan protokol terkait nutrisi, vaksinasi, serta
edukasi.1,11
Nutrisi memegang peran penting dalam meningkatkan respons imun pada tubuh khususnya pada
personel militer. Gizi yang buruk dapat memengaruhi sistem imun dan kesiapan personel militer
dalam penugasan. Strategi yang perlu dilakukan bagi para personel militer meliputi pemberian
makanan yang adekuat serta suplementasi. Makanan yang adekuat meliputi makanan dengan
kandungan karbohidrat, protein, vitamin, serta mineral esensial yang cukup. Beberapa nutrisi
suplemen juga dapat diberikan apabila dibutuhkan (misalnya, pada personel militer yang sedang
terluka), seperti selenium, glutamin, arginin, asam lemak omega-3, rantai asam amino, vitamin
A, vitamin C, vitamin E, atau vitamin D. Pemberian nutrisi yang cukup harus dilakukan
bersamaa dengan aktivitas fisik yang adekuat.1
Selain nutrisi, strategi yang dapat diimplementasikan pada bidang militer meliputi vaksinasi atau
imunisasi. Personel militer memiliki risiko lebih tinggi terpapar dan mentransmisikan penyakit
khususnya yang bersifat infeksius. Rekomendasi vaksin pada personel militer kurang lebih sama
dengan penduduk lain pada usia yang sama. Namun, pada penugasan khusus di tempat dengan
endemik penyakit tertentu memungkinkan dibutuhkannya vaksinasi tambahan. Contoh vaksinasi
tambahan meliputi vaksinasi smallpox dan ensefalitis.12
Strategi terakhir untuk meningkatkan sistem imun bagi personel militer meliputi edukasi.
Edukasi dapat berupa penyampaian berbagai penyakit atau kondisi khusus yang dapat dijumpai
dalam lingkungan militer. Pada konteks imunologi, personel militer memiliki risiko lebih tinggi
terhadap imunopatologi seperti penyakit infeksi atau gangguan psikologis berupa PTSD. Maka
dari itu, pola hidup sehat dengan menjaga nutrisi dan aktivitas fisik tetap terjaga merupakan
suatu keharusan bagi personel militer. Selain itu, kesehatan mental juga perlu dijaga. Hal ini
dikarenakan gangguan pada mental atau psikologis dapat menurunkan kapabilitas sistem imun
dalam memerangi penyakit.1
Referensi
2. Bakhireva LN, Abebe Y, Brodine SK, Kraft HS, Shaffer RA, Boyer CB. Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome Knowledge and Risk
Factors in Ethiopian Military Personnel. Mil Med. 2004;169(3):221–6.
3. Simpson RJ, Campbell JP, Gleeson M, Krüger K, Nieman DC, Pyne DB, et al. Can
exercise affect immune function to increase susceptibility to infection? Exerc Immunol
Rev. 2020;26:8–22.
4. Waibel K, Lee R, Coop C, Mendoza Y, White K. Food allergy guidance in the United
States military: A work group report from the American Academy of Allergy, Asthma &
Immunology’s Military Allergy and Immunology Assembly. J Allergy Clin Immunol
[Internet]. 2018;142(1):54–9. Available from: https://doi.org/10.1016/j.jaci.2018.05.002
5. Lee RU, Banks TA, Waibel KH, Rodriguez RG. Penicillin Allergy Maybe Not? the
Military Relevance for Penicillin Testing and De-labeling. Mil Med. 2019;184(3–
4):E163–8.
6. Bookwalter DB, Roenfeldt KA, Leardmann CA, Kong SY, Riddle MS, Rull RP.
Posttraumatic stress disorder and risk of selected autoimmune diseases among US military
personnel. BMC Psychiatry. 2020;20(1):1–8.
7. Xue C, Ge Y, Tang B, Liu Y, Kang P, Wang M, et al. A meta-analysis of risk factors for
combat-related PTSD among military personnel and veterans. PLoS One. 2015;10(3):1–
21.
9. Blosnich JR, Gordon AJ, Fine MJ. Associations of sexual and gender minority status with
health indicators, health risk factors, and social stressors in a national sample of young
adults with military experience. Ann Epidemiol [Internet]. 2015;25(9):661–7. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.annepidem.2015.06.001
10. Hakre S, Peel SA, O’Connell RJ, Sanders-Buell EE, Jagodzinski LL, Eggleston JC, et al.
Transfusion-transmissible viral infections among US military recipients of whole blood
and platelets during Operation Enduring Freedom and Operation Iraqi Freedom.
Transfusion. 2011;51(3):473–85.
11. Hill N, Fallowfield J, Price S, Wilson D. Military nutrition: Maintaining health and
rebuilding injured tissue. Philos Trans R Soc B Biol Sci. 2011;366(1562):231–40.