Anda di halaman 1dari 156

DAFTAR ISI

1. PENGANTAR IMUNOLOGI
2. IMUNITAS INET
3. AKTIFASI KOMPLEMEN DAN MEKANISME EFEKTOR KOMPLEMEN
4. INFLAMASI
5. PENGEMBANGAN LIMFOSIT UNTUK IMUNITAS ADAPTIF
6. ANTIGEN YANG MEMICU IMUNITAS ADAPTIF
7. MHC UNTUK PRESENTASI ANTIGEN KEPADA LIMFOSIT T
8. AKTIFASI LIMFOSIT T UNTUK IMUNITAS SELULER
9. MEKANISME EFEKTOR IMUNITAS SELULER
10. AKTIFASI LIMFOSIT B UNTUK IMUNITAS HUMORAL
11. ANTIBODI DAN MEKANISME EFEKTOR IMUNITAS HUMORAL
BAB 2.

IMUNITAS INET

Tujuan Instruksional:

Agar mahasiswa mampu memahami :

1. Apa itu imunitas inet, dimana dan kapan imunigtas inet bekerja.
2. Apa fungsi imunatas inet.
3. Bagaimana bentuk respon innate immunity ?
4. Bagaimana innate immunity bisa mengenal patogen dan produk sel mati ?
5. Bagaimana innate immunity bisa mengenal petanda PAMPs dan DAMPs ?
6. Sel dan protein apa dari sistem imun yang berperan dalam innate immunity ?
7. Interaksi antara imunitas inet dengan patogen.

Apa itu innate Immunity ?

Innate Immunity adalah garis pertahanan pertama yang dipersiapkan Tuhan untuk
melindungi manusia dari serangan mikroba dan membersihkan jaringan tubuh dari sel-sel
mati dan produknya. Innate immunity ditemukan juga pada hewan, bahkan pada tumbuh-
tumbuhan juga.

Dimana saja dan kapan Innate immunity bekerja ?

Innate immunity bekerja dimana saja dalam tubuh kita, ada di permukaan tubuh (kulit,
saluran nafas, saluran kemih dan saluran genetalia) dalam bentuk bahan kimia seperti lisozim
dalam saliva dan airmata yang akan menyerang musuh (lisis mikroba) sebelum melewati
epitel. Epitel yang menutup permukaan tubuh merupakan pertahanan fisik yang sangat
penting dalam innate Immunity. Jadi pertahanan di permukaan tubuh ini bekerja pada saat
mikroba belum masuk ke tubuh .Jika pertahanan ini berhasil diterobos musuh (mikroba)
maka mereka akan disambut oleh sel-sel innate immunity yang bekerja pada epitel dan
subepitel seperti sel dendritik, makrofag jaringan dan limfosit intraepitelial serta berbagai
protein pertahanan seperti komplemen. Demikian juga, jika mikroba berhasil masuk ke darah
akan disambut oleh makrofag dalam darah (monosit) dan plasma protein (komplemen).
Pengaktifan respon imun dalam darah dan jaringan ini terjadi setelah mikroba atau toksinnya
masuk ke dalam jaringan. (Gambar 1, lapisan pertahanan)

Apa fungsi innate immunity?

Ada 3 fungsi innate immunity:

1. Respon awal terhadap mikroba untuk mencegah, mengontrol dan menghilangkan


infeksi pada manusia. Keberhasilan atau kegagalan innate immunity sangat
berpengaruh terhadap tingkat virulensi mikroba. Kegagalan terutama disebabkan oleh
adanya kemampuan mikroba untuk menghindar dari respon imun, makanya
diperlukan adanya respon imun yang lebih kuat untuk mengatasi keadaan ini yaitu
adaptive imunity
2. Memicu timbulnya adaptive immunity terhadap mikroba dan mempengaruhi
penampilan adaptive immunity agar lebih optimal mengeliminasi mikroba sesuai tipe
mikroba. Tak ada adaptive immunity tanpa innate immunity, perangkat innate
immunity tetap dipakai selama adaptive immunity berlangsung, tergantung pada
kebutuhan sesuai tipe mikroba yang dilawan.
3. Innate immunity bukan hanya meresponi mikroba tetapi juga mngeliminasi sel-sel
mati dan produknya (cleaning service) sehingga proses penyembuhan (repair )
jaringan dapat berlangsung. Berbagai keadaan yang mengakibatkan kematian sel (mis
hipoksia, trauma) tanpa kehadiran mikroba akan memicu munculnya respon innate
immunity (inflamasi steril).
(Gambar 1, lapisan pertahanan)

Bagaimana bentuk respon innate immunity ?

Innate immunity tampil dalam 2 (dua) bentuk respon :

1. Respon inflamasi.
Respon ini berupa pengerahan leukosit dan protein plasma yang beredar dalam darah
ke daerah (jaringan) yang terinfeksi untuk mengeliminasi mikroba atau jaringan
yang mengalami kerusakan (tissue damages) untuk membersihkan jaringan
bersangkutan. Respon inflamasi tidak terjadi terhadap mikroba dalam darah. Inflamasi
pada pelajaran patologi melibatkan vasodilatasi pembuluh darah dan permeabilitas
kapiler yang meninggi sehingga banyak sel-sel imun yang dapat dikerahkan ke
jaringan yang memerlukan. (akan diterangkan tersendiri dalam topik inflamasi)
2. Efek anti virus.
Efek ini dicapai melalui dua cara yaitu menghentikan aktifitas sel yang dimasuki virus
agar tidak memfasilitasi replikasi virus dan menfasilitasi limfosit ( sel NK) untuk
membunuh sel terinfeksi virus agar virus tidak memiliki tempat hidup (reservoar)
dalam tubuh manusia.

Bagaimana innate immunity bisa mengenal patogen ?

Kemampuan patogen memasuki tubuh manusia (untuk mencari kehidupan) dan kemampuan
tubuh manusia untuk mendeteksi kedatangannya (sebagai musuh manusia) adalah bentuk
keadilan Tuhan terhadap semua mahluknya (manusia dan mikroba sama-sama mahluk
Tuhan). Pada mikroba telah ada petanda (dlm bentuk molekul) yang akan dikenal oleh
pertahanan manusia (sistem innate immunity) sehingga kedatangan musuh ini dapat
diantisipasi manusia dan mahluk Tuhan lainnya (hewan dan tumbuhan).

Karakteristik petanda pada mikroba yaitu:

1. Petanda itu hanya milik patogen, tak ada pada sel manusia (mamalia)

Petanda ini hanya ada pada mikroba yang membahayakan (patogen) untuk manusia (banyak
mikroba yang justru diperlukan kehadirannya dalam tubuh manusia), sehingga disebut
Pathogen-Associated Moleculer Patterns (PAMPs). PAMPS ini berbeda-beda tergantung
jenis mikroba (virus, bakteri gram negatif, bakteri gram positif, jamur) tetapi satu jenis
PAMPs dapat ditemukan pada jenis mikroba yang berbeda (Tabel 1). Petanda ini hanya ada
pada mikroba patogen dan tidak ada pada sel manusia (mamalia), sehingga menjadi pembeda
yang membuat innate immunity hanya berespon terhadap mikroba patogen dan tidak
terhadap sel sendiri.

2. Petanda itu sangat vital untuk kehidupan mikroba.

Petanda-petanda itu adalah molekul yang sangat vital untuk kehidupan mikroba bersangkutan
sehingga sepanjang zaman tidak bisa berubah (mutasi) misalnya double-stranded RNA pada
virus, LPS (lipopolisakarida) pada bakteri gram negatif, Lipoteicholic acid pada bakteri gram
positif, dll. Kecepatan evolusi (perubahan) pada mikroba lebih cepat dari manusia sehingga
mutasi lebih gampang terjadi pada mikroba. Untunglah Tuhan membuat PAMPs ini tidak
dapat mutasi (mungkin sangat vital untuk kehidupan mikroba) yang diperkirakan sejak innate
immunity berkembang (kira-kira 750 juta tahun yang lalu), PAMPs tidak berubah sampai
sekarang.

Bagaimana innate immunity bisa mengenal produk sel mati atau sel rusak?

Innate Immunity dapat mengenal molekul endogenous yg diproduksi atau dilepas oleh sel
yang rusak atau mati, disebut Damaged-Associated Molecular Patterns (DAMPs).
Kematian atau kerusakan sel bisa terjadi akibat infeksi atau sebab lain seperti racun kimia,
trauma, terbakar atau iskemia/hipoksia (steril injury) .

Bagaimana innate immunity bisa mengenal petanda PAMPs dan DAMPs ?

Ada dua perangkat pada Innate immunity untuk mengenal PAMPs atau DAMPs yaitu :

1. Pattern Recognation Receptors (PRRs).


Bermacam-macam tipe reseptor seluler (tabel 2 ) yang dapat mengikat PAMPs atau
DAMPs disebut Pattern Recognation Receptors (PRRs) yang berada di lokasi
berbeda pada sel yang berperan dalam innate immunity. Sel innate immunity yang
dimaksud adalah fagosit (makrofag, neutrofil, dan sel dendritik) dan sel epitel yang
membatasi tubuh dengan dunia luar. PRRs ini bisa berada (diekspressikan) pada
membran plasma, membran endosomal dan dalam sitoplasma (sitosolik) yang berarti
innate immmunity bisa meresponi kehadiran mikroba di luar atau di dalam makrofag,
neutrofil, dan sel dendritik (sebelum dan sesudah difagositosis). Mikroba yang
berbeda bisa memiliki PAMPs yang sama sehingga spesifitas innate immunity tidak
spesifik mikroba tertentu (seperti pada adaptive immunity) tetapi spesifik PAMPs .
Oleh karena itu mikroba yang berbeda tetapi memiliki PAMPs yang sama, bisa
dikenal oleh reseptor yang sama. Hal inilah yang membuat innate immunity bisa
berespon terhadap mikroba dengan variasi yang luas (banyak jenis mikroba)
walaupun pada kenyataannya innate immunity hanya memiliki koleksi reseptor yang
sangat terbatas (berbeda dengan limfosit dalam adaptive immunity yang memiliki
jutaan koleksi reseptor terhadap variasi antigen yang banyak). (gambar 2, interaksi
PRRs dan PAMPS)

2. Soluble Recognation Molecules (SRMs )


Berbagai protein dalam darah dan cairan ekstraseluler yang dapat mengenal PAMPs
disebut soluble recognation molecules (SRMs). Protein-protein ini berperan
menfasilitasi pembersihan mikroba dari darah atau cairan ekstraseluler dengan cara
meningkatkan penangkapan mikroba oleh sel-sel innate immunity dan mengaktifkan
pembunuhan kuman ekstraseluler. (tabel 3)

Dengan pengenalan terhadap PAMPs dan DAMPs ini maka innate immunity tidak bekerja
terhadap sel dan jaringan normal. Disamping itu sel normal menghasilkan juga berbagai
protein pengendali yang berfungsi mencegah aktifitas innate immunity terhadap diri
sendiri.

Tabel 1. PAMPs dan DAMPs pada Innate Immunity.


PAMPs Jenis mikroba DAMPs
Asam nukleik ssRNA Virus Stress- HSPs
dsRNA Virus induced
CpG proteins
Protein Pilin Bakteri Kristal Monosodium
Flagellin Bakteri urat
Cell wall LPS Bakteri gram neg Protein HMGB1
lipids Lipoteichoic acid Bakteri gram pos nuklear
Karbohidrat Mannan Jamur, bakteri
Dectin glucans Jamur
ssRNA, single-stranded RNS; dsRNA, double-stranded RNA; CpG, cytidine-guanine
dinucleotide; LPS, lypopolysacharide; HSPs, heat shock proteins; HMGB1, high-mobility
group box 1.

Sel dan protein apa dari sistem imun yang berperan dalam innate immunity ?
Sel-sel yang berperan dalam innate immunity adalah epitel permukaan, makrofag (fagosit
mononuklear), sel dendritik, sel mast, neutrofil, sel natural killer (NK), subset limfosit.
Sedangkan protein yang berperan dalam innate immunity adalah antibodi natural,
komplemen, pentraksin, kollektin dan fikolin. Peran masing-masing sel dan protein itu
berkaitan dengan dua bentuk respon imun pada innate imunity yaitu respon inflamasi
dan efek anti virus.

Tabel 2. Cell-associated PRRs pada innate immunity


PRRs Lokasi Contoh PAMP/DAMP ligands
tall-like receptors Membran plasma dan TLR 1-9 LPS, peptidoglycans, produk
(TLRs) membran endosomal sel sel rusak
dendritik, fagosit, sel B,
sel endotel, dll
NOD-like Sitoplasma fagosit, sel NOD1/2 Flagellin,LPS, kristal urat,
receptors (NLRs) epitel dan sel lain NLRP produk sel rusak.
family
(inflamma
some)
RIG-like Sitoplasma fagosit dan RIG-1, RNS virus
receptors ( RLRs) sel lain MDA-5
C-type lectin-like Membran plasma fagosit Reseptor Karbohidrat pada permukaan
receptors mannose mikroba dengan terminal
mannose dan fruktose.
Glukan pada dinding sel
Dektin jamur
Scavenger Membran plasma fagosit CD36 Microbial diacylglycerides
receptor
N-formyl met-leu- Membran plasma fagosit FPR dan Peptida mengandung residu
phe receptors FPRL1 N-formylmethionyl
NOD, nucleotide oligemerization domain-containing protein; RIG-1, retinoic acid-
inducible gene 1; MDA-5, melanoma differentiation-associated gene 5;

Epitel permukaan

Permukaan luar tubuh (kulit) dan permukaan dalam tubuh (saluran cerna, nafas,
urogenitalia) ditutupi oleh epitel yang sangat penting dalam pertahaan tubuh kita dari
invasi musuh (mikroba). Pertahanan epitel ini adalah bagian dari innate immunity.

Ada sejumlah kondisi anatomi dan produk fisiologi jaringan epitel serta kondisi
lingkungan yang sangat menentukan berlangsungnya fungsi sel epitel sebagai alat
pertahanan, seperti:

1. Pertahanan mekanik :
a. Deretan sel epitel yang ketat (tidak longgar) karena adanya pengikat yang kuat
(tight junction) antar epitel, membuat jaringan epitel sulit dilewati mikroba.
b. Adanya aliran udara dan cairan yang membilas permukaan epitel (kulit dan
saluran cerna)
c. Adanya mukus yang membungkus mikroba sehingga tidak kontak langsung
dengan epitel saluran nafas. Oleh gerakan silia yang ada pada epitel saluran nafas,
mukus/ mikroba akan dikeluarkan (silia berperan seperti eskalator yang
mengangkat mukus/mikroba yang masuk dalam saluran nafas).
d. Air mata yang membersihkan mata.
2. Pertahanan kimia berupa bahan kimia yang mengandung antibakteri seperti lisozim
dan pospolipase A (air mata dan saliva); histatin (saliva); pH asam, enzim pencernaan,
garam empedu, fatty acids, lysolipids (saluran cerna bagian atas); cryptdins atau α-
defensins (saluran cerna bagian bawah); β-defensin (saluran nafas, saluran urogenetal,
kulit, lidah); Cathelcidins (saluran cerna dan saluran nafas).
3. Keadaan lingkungan dimana ada pula mikroorganisme lain yang hidupnya
kommensal (tidak patogen) akan mencegah kuman patogen berada di lingkungan itu
(persaingan makanan dan tempat tinggal).

Makrofag (Fagosit mononuklear)

Makrofag ditempatkan di jaringan sehingga segera dapat berespons jika ada mikroba masuk
ke jaringan. Pada jaringan tertentu terdapat makrofag yang diberi nama khusus untuk jaringan
bersangkutan seperti sel Kupffer (hati), sel mikroglial (susunan syaraf pusat), osteoklas
(tulang) dan makrofag alveolar (paru). Prekursor makrofag adalah monosit yang ada dalam
sirkulasi darah, apabila ada mikroba atau stimulus lain, maka monosit segera meningggalkan
aliran darah masuk ke jaringan dan berdifferensiasi menjadi makrofag . Makrofag memiliki
kemampuan mengenal PAMPs dan DAMPs karena memiliki sejumlah PRRs, sehingga
sangat penting dalam innate immunity khususnya dalam respon inflamasi.

Makrofag menanqkap mikroba melalui PRRs yang mengikat PAMPs pada mikroba. Jika
PPRs sudah berikatan dengan PAMPs maka dari PRRs muncul signal untuk aktifasi
makrofag. Makrofag aktif akan memfagositosis mikroba sehingga mikroba berada dalam
vakuol yang disebut fagosom (endosom) yang akan menyatu dengan lisosom membentuk
fagolisosom, selanjutnya mikroba dihancurkan dalam fagolisosom dengan menggunakan
enzim lisozim, Reactive Oxygen Species (ROS) dan Nitric Oxide (NO). (gambar 3,
fagositosis)

Tabel 3. SRMs pada innate immunity


SRMs Lokasi Contoh PAMP ligands
Pentraxins Plasma C-reactive Microbial phosphorylcholine dan
protein phosphotidylethanolamine
Collectins Plasma Mannose-binding Karbohidrat pada permukaan mikroba
lectin dengan terminal mannose dan fruktose.
Surfactant Berbagai struktur mikroba
Alveoli proteins (SP-A
dan SP-B)
Ficolins Plasma Ficolin N-Acetylglucosamine dan lipoteichoic
acid yang ada pada dinding sel bakteri
gram positip
Complement Plasma C3 Permukaan mikroba mis LPS
Natural Plasma IgM Phosphorylcholine pada membran
antibodies bakteri dan membran sel apoptosik.

Makrofag aktif menghasilkan sejumlah sitokin yang berguna untuk memicu respon inflamasi
dan memperhebat terjadinya adaptive immunity yang segera akan muncul (sekitar 12 jam
setelah dimulainya inate immunity). Sitokin proinflamasi (misalnya TNFα) akan memicu sel
endotel untuk mengekspresikan molekul adhesi (selektin dan ligan integrin) untuk menahan
leukosit yang sedang bersirkulasi. Selanjutnya leukosit yang sudah ditahan (terutama
neutrofil, kemudian menyusul monosit) bermigrasi melewati celah endotel (permeabilitas
kapiler meninggi) untuk masuk ke jaringan. Sitokin proinflamasi memicu juga diproduksinya
kemokin lokal yang akan mengantar leukosit yang keluar dari sirkulasi menuju ke lokasi
dimana PAMPs atau DAMPs berada, untuk melaksanakan fungsi efektornya. Fungsi efektor
leukosit adalah membunuh mikroba dan membersihkan jaringan dari sel yang mati (gambar
4, peran makropag pada migrasi neutrofil). Masuknya neutrofil yang banyak ke jaringan
merupakan tanda terjadinya inflamasi akut. Sedangkan inflamasi kronik yang mungkin akan
muncul kemudian, didominasi oleh pengerahan monosit dan limfosit ke daerah inflamasi.

Sel Mast

Sel mast ada pada epitel kulit dan mukosa yang dengan cepat berespon melepas mediator
inflamasi jika ada infeksi atau stimulus lainnya. Sel Mast akan melepas granul yang
mengandung antara lain vasoaktif amin (mis. histamin) yang menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler. Penyesuaian kapiler ini sangat penting untuk terjadinya
respon inflamasi akut yang ditandai dengan ekstravasasi sejumlah sel imun seperti neutrofil,
monosit, dll. Sel mast menghasilkan juga lipid mediator (prostaglandin) dan sitokin
proinflamasi seperti TNFα. Produk sel mast penting untuk melawan parasit (cacing), di lain
pihak bisa menjadi penyebab terjadinya alergi. (gambar 5. Peran sel Mast pada migrasi
neutrofil )

PERLU TAMBAHAN TENTANG ELIMINISASI CACING

Neutrofil
Neutrofil, disebut juga sel polymorphonulear (PMN), bersama monosit beredar dalam
sirkulasi darah dan siap melimpah ke jaringan jika dipanggil oleh makrofag yang mendeteksi
adanya PAMPs (mikroba) atau DAMPs melalui mekanisme inflamasi akut. Neutrofil
termasuk golongan fagosit karena mampu melakukan internalisasi mikroba untuk dibunuhnya
seperti cara makrofag, antara lain menggunakan lisozim untuk mencerna mikroba . Begitu
banyaknya enzim lisozim dalam neutrofil yang nampak sebagai granul yang banyak
sehingga sel ini disebut pula granulosit. Bedanya dengan makrofag, neutrofil tidak
menghasilkan sitokin seperti makrofag.

Sel dendritik

Sel dendritik ditempatkan pada lokasi yang strategis misalnya di jaringan epitel yang
berbatasan dengan dunia luar (kulit, saluran cerna, saluran nafas, saluran urogenitalia),
sehingga peluang bertemu dengan mikroba sangat besar. Disamping itu, sel dendritik
memiliki PRRs yang lebih lengkap, baik yang di membran maupun yang dalam sitosol,
sehingga sukar sekali mikroba dapat lolos dari penangkapannya.

Tugas penting sel dendritik adalah mempresentasikan antigen mikroba ke naive T cells yang
menunggu di limfonodus, sehingga diberi nama Antigen Presenting Cells (APC). Presentasi
antigen ini bertujuan untuk mengaktifkan naive T cells menjadi effector T cells. Sel
dendritik memproses mikroba seperti halnya yang dilakukan oleh makrofag, kemudian
mempresentasikan antigen asal mikroba yang sudah dihancurkan dalam fagolisosom ke
permukaan sel dendritik menggunakan molekul Major Histocompatibility Complex (MHC)
dan dibawa ke limfonodus. Presentasi antigen ke naiveT cells di limfonodus ini akan memulai
proses munculnya respon adaptive immunity. (gambar 6, presentasi antigen)

Dengan demikian Innate Immunity sangat penting untuk timbulnya adaptive immunity ,
dimana sel dendritik yang mulai mengaktifasi limfosit T sedangkan sitokin dari makrofag
akan memperhebat timbulnya respon adaptive immunity yang diperankan limfosit T.

Jenis lain dari sel dendritik adalah plasmacytoid dendritic cells (mirip dengan sel plasma)
yang berfungsi menghasilkan sitokin antivirus yaitu interferon tipe 1.

Sel Natural Killer (NK).

Sel NK banyak beredar dalam darah yang akan segera ke jaringan jika ada infeksi. Sel NK
ada juga yang tinggal dalam limpa dan hati. Sel NK ini dipersiapkan Tuhan bereaksi cepat
(innate immunity) mengatasi mikroba yang cepat masuk sel (mikroba intraseluler) pada saat
limfosit T (adaptive immunity) belum siap. Sel NK membunuh sel yang dimasuki virus dan
sel yang mengalami stres (hypoxia,injury) atau sel yang bertransformasi (menjadi kanker).
Jadi, sel NK bertugas membunuh sel yang tidak sehat.

Sel NK mengenal sel yang harus dibunuhnya melalui interaksi antara dua jenis reseptornya
yaitu reseptor aktifasi dan reseptor inhibisi. Reseptor aktifasi berperan untuk memicu aktifitas
pembunuhan oleh sel NK, sedangkan reseptor inhibisi berperan sebaliknya. Pada saat sel NK
memeriksa sel, reseptor aktifasi akan berikatan dengan ligannya yang ada pada sel yang
diperiksa, kemudian reseptor inhibisi mencari ligannya juga yaitu molekul yang normal
diekspressikan oleh sel sehat (misalnya MHC kelas I dan protein self). Sel dibunuh oleh sel
NK karena tiga kemungkinan :

1. Missing self pada sel yang diperiksa.


Jika sel itu tidak sehat sehingga tidak mengeskpresikan produk self (normal) maka
reseptor inhibisi tidak menemukan ligannya sehingga tidak muncul signal
penghambatan terhadap signal aktifasi, maka sel itu dibunuh. Pada umumnya virus
jika sudah masuk sel akan menguasai program dalam sel sehingga program normal
tidak jalan. Demikian juga sel yang stres (hypoxia atau injury) tak dapat menghasilkan
produk normal misalnya gagal mengekspresikan MHC kelas I. Pada saat innate
imunity, sel yang kemasukan virus dibunuh oleh sel NK karena kehilangan produk
normal (diistilahkan dengan missing self). Selanjutnya pada saat telah muncul
adaptive immunity, sel yang kemasukan virus akan dibunuh oleh limfosit T karena
mengekspresikan produk virus (antigen asing). Jadi, dominanya reseptor aktifasi
disebabkan oleh missing self dari sel bersangkutan.

2. Overekspresi ligan reseptor aktifasi pada sel yang diperiksa.


Dominasi reseptor aktifasi terhadap reseptor inhibisi bisa juga disebabkan oleh
meningkatnya ligan reseptor aktifasi yang diekspresikan oleh sel yang diperiksa oleh
sel NK, misalnya pada sel stres, disamping kehilangan self dapat pula meningkat
ligan reseptor aktifasinya. Jadi sel stress dapat mati oleh sel NK melalui missing self
atau everekspresi ligan reseptor aktifasi.

3. Overekspresi reseptor aktifasi pada sel NK.


Overekspressi reseptor aktifasi dapat dipicu oleh sitokin terutama IL-12 yang
disintesa oleh makrofag. Sel NK dan makrofag bahu membahu, makrofag mensintese
IL-12 untuk mengaktifkan sel NK dengan memperbanyak ekspresi reseptor aktifasi
sebaliknya Sel NK melepas INFγ untuk memicu makrofag membunuh mikroba yang
telah difagositosisnya. Dalam mengatasi infeksi virus untuk 12 jam pertama,
kerjasama kedua sel ini sangat penting, jika tak dapat dituntaskan maka harapan
selanjutnya terletak pada limfosit T.

Jika keputusan membunuh telah ditetapkan karena signal aktiftasi untuk pembunuhan tidak
dihambat oleh signal inhibisi, maka signal aktifasi memicu pelepasan perforin dan granzim,
perforin melobangi diding sel yang akan dibunuh untuk memfasilitas masuknya granzim ke
dalamnya yang akan memicu terjadinya apoptosis sel bersangkutan. (gambar 7, mekanisme
effektor sel NK).

Subset Limfosit

Sejumlah subset limfosit T dan B berperan dalam innate immunity seperti sel NKT (iNKT)
yang memiliki marker sel NK dan sel T, sel Tγδ yang tidak tergantung pada MHC, limfosit
intraepitelial (kebanyakan sel Tαβ, sebagian sel Tγδ), sel B1-B dan sel B marginal zone.
Tetapi peran mereka belum terungkap lebih jelas.

Molekul solubel apa dalam darah dan cairan ekstraseluler yang berperan dalam innate
immunity ?

Dalam darah dan cairan ekstraseluler beredar sejumlah molukel solubel (terlarut) yang
berperan dalam innate immunity yang merupakan komponen humoral innate immunity
(seperti halnya antibodi yang merupakan komponen humoral adaptive immunity). Molekul
terlarut yang dimaksud adalah antibodi natural, komplemen, pentraksin,kollektin dan fikolin.

Peran molekul terlarut ini ada 3 :


1. Memfasilitasi kerja komponen seluler dari innate immunity misalnya sebagai opsonin
yang mengikat mikroba sehingga gampang ditangkap oleh makrofag, neutrofil dan sel
dendritik.Hal ini dimungkinkan karena sel-sel makrofag, neutrofil dan sel dendritik
memiliki reseptor yang dapat mengikat molekul terlarut itu.
2. Setelah mengikat mikroba, molekul terlarut ini memicu respon inflamasi sehingga
lebih banyak lagi datang makrofag dan neutrofil ke jaringan terinfeksi.
3. Molekul terlarut ini dapat langsung membunuh mikroba.

Antibodi Natural.

Umumnya sel B akan menghasilkan antibodi solubel setelah terpapar antigen (adaptive
immunity), tetapi ada sejumlah sel B yang menghasilkan antibodi solubel padahal belum
terpapar dengan antigen sehingga disebut antibodi natural (antigen belum muncul, antibodi
solubel sudah siap). Antibodi natural ini berjenis IgM dengan spesifitasnya untuk lemak dan
karbohidrat dan bukan untuk protein.

Komplemen.

Molekul terlarut yang termasuk golongan komplemen adalah sejumlah protein plasma (C1
,C2,C3, C4, C5, C6, C7, C8,dan C9) dan sejumlah enzym aktifasi
(C1r,C1s,C2a,Bb,D,MASP). Komplemen ini menghasilkan tiga fungsi innate immunity
seperti yang telah dikemukakan di atas yaitu untuk opsonisasi mikroba, inflamasi dan
pembunuhan langsung mikroba. Untuk menjalankan perannya, protein plasma ini harus
diaktifkan sehingga terbentuk struktur protein baru yang memungkinkan berlangsungnya
fungsi tersebut di atas. Pengaktifan komplemen ini terjadi jika ada mikroba yang akan
dieliminasi, sehingga aktifasi komplemen dapat dianalogkan berupa perakitan “senjata”
pada diri kuman, secara langsung atau tidak langsung. Jika aktifasi komplemen dipicu
langsung oleh mikroba maka “senjata” dirakit langsung pada mikroba dan proses aktifasi ini
disebut alternative pathway (seharusnya bukan alternatif karena terjadi lebih dulu yaitu
pada innate immunity). Jika aktifasi komplemen dipicu oleh antibodi yang melekat pada
mikroba, maka “senjata” dirakit secara tidak langsung pada mikroba (melalui antibodi) dan
proses aktifasi ini disebut classical pathway (ditemukan pertama kali sehingga diberi nama
klasik). Cara aktifasi komplemen tidak langsung yang lain adalah melalui suatu plasma
protein bernama mannose binding lectin (MBL) yang mampu mengikat mikroba melalui
terminal residu mannose dari mikroba. MBL inilah yang memicu aktifasi komplemen seperti
layaknya peran antibodi pada classical pathway. Proses aktifasi ini disebut Lectin pathway.
Proses aktifasi komplemen ini akan lebih dijelaskan pada topik aktifasi komplemen. (Gambar
9)

Pentraksin

Pentraksin (protein pentamerik) terdiri atas sejumlah protein plasma yang juga mampu
mengenal struktur tertentu pada mikroba dan berpartisipasi dalam innate immunity. Yang
termasuk dalam golongan pentraksin adalah C-reactive protein (CRP), Serum amyloid
P(SAP) dan PTX3. CRP sangat meningkat jumlahnya dalam darah pada inflamasi akut
sehingga disebut acute-phase reactant. CRP diproduksi oleh hati atas stimulasi sitokin IL-1
dan IL-6 yang disintesa oleh fagosit aktif dalam respon innate immunity. SAP juga ditemukan
meningkat kadarnya dalam darah pada fase inflamasi akut sehingga SAP juga termasuk
acute-phase reactant. CRP dan SAP mengenal molekul ligan pada membran mikroba, jamur
dan sel apoptotik. Molekul ligan itu adalah phosphorylcholine untuk CRP dan
phosphatidylethanolamine untuk SAP. PTX3 diproduksi oleh berbagai sel seperti makrofag,
sel dendritik dan sel endotel tetapi bukan acute-phase reactant. PTX3 berespon (mengenal)
berbagai molekul jamur, sebagian bakteri gram positip dan gram negatip serta virus. Ketiga
pentraxin tersebut diatas dapat memicu aktifasi komplemen jalur klasik.(Gambar 10)

Kollektin

Kollektin adalah protein trimerik atau heksamerik dengan ekor berupa collagen-like tail dan
kepala berupa calcium dependent (c type) lectin. Ada tiga macam kolektin yaitu mannose-
binding lectin (MBL) dan protein surfaktan paru yaitu SP-A dan SP-D. MBL adalah suatu
bentuk reseptor solubel yang mampu mengikat karbohidrat dengan terminal mannose pada
membran mikroba, sehingga memicu aktifasi komplemen (Lectin pathway) dan opsonisasi
mikroba untuk mudah difagositosis. SP-A dan SP-D ditemukan di alveoli paru-paru dengan
fungsi utama memicu respon innate immunity pada paru-paru. Keduanya berperan juga
sebagai opsonin untuk makrofag alveolar dan bahkan dapat langsung menghambat
pertumbuhan mikroba. .(Gambar 10)

Fikolin

Fikolin adalah plasma protein dengan struktur yang memiliki kesamaan dengan kollektin,
yaitu memiliki collagen like domain tetapi tidak punya c-type lectin domain. Sebagai ganti
dari c-type lectin domain, pada fikolin ada fibrinogen-type yang mampu mengenal
karbohidrat pada membran mikroba dengan molekul ligannya adalah N-acetylglucosamine
dan lipoteichoic acid. Fikolin dapat juga berperan seperti MBL yaitu aktifasi komplemen dan
opsonisasi. (Gambar 10)

SIMULASI MIKROBA vs INNATE IMMUNITY

Mikroba ada bermacam-macam dengan perilaku yang bermacam-macam pula, sebagian dari
mereka menjadi musuh manusia karena bersifat patogen (dapat menimbulkan penyakit).
Mikroba ditakdirkan Tuhan hidup dalam tubuh manusia berarti mikroba diberi juga perangkat
untuk memasuki tubuh manusia (keadilan Tuhan untuk mikroba). Agar manusia tidak sakit
maka diberi pula mekanisme pertahanan menghadapi mikroba patogen ini, salah satunya
adalah innate immunity (keadilan Tuhan untuk manusia). Bagaimana “pergulatan” mikroba
sebagai penyerang dengan sistem pertahanan innate immunity manusia, akan dicoba untuk
disimulasikan dalam uraian berikut.

1. Jika mikroba hinggap di kulit maka ia akan terlempar oleh aliran udara dan keringat
di permukaan kulit, atau dibunuh oleh peptida antimikroba (β defensin) yang ada
pada kulit.
2. Jika mikroba ingin masuk melalui saluran nafas maka mikroba akan dihalangi oleh
bulu hidung, kalau berhasil masuk lebih dalam akan bertemu musin yang akan
membungkusnya, kemudian dikirim keluar melalui “eskalator” silia epitel saluran
nafas, atau bertemu dengan antibakteri β-defensin dan Cathelcidins yang akan
membunuhnya. Kalau berhasil masuk lebih dalam lagi sampai alveolus, sudah
menunggu makrofag alveolar yang akan menelannya.
3. Jika mikroba mencoba masuk melalui saluran cerna maka mikroba akan bertemu
dengan saliva yang mengandung antibakteri lisozim, pospolipase A dan histatin yang
akan membunuhnya. Kalau berhasil masuk ke lambung mikroba akan mati oleh asam
lambung. Turun lagi ke duodenum akan bertemu berbagai antibakteri seperti enzim
pencernaan, garam empedu, fatty acids, lysolipids,dan cathelcidins. Jika masih
berhasil turun lebih ke bawah lagi (usus halus) akan ketemu cryptidins ( α-defensins)
yang mempunyai efek antibakteri dan antijamur.
4. Jika mikroba masuk melalui saluran urogenitalia maka mikroba akan disambut oleh
musin dan antibakteri β-defensin.
5. Jika mikroba masuk ke mata akan bertemu air mata yang mengandung antibakteri
(lisozim dan pospolipase A).
Akibat ketatnya penjagaan oleh epitel dengan produknya maka tidaklah mudah mikroba
untuk melekat apalagi membentuk koloni di permukaan epitel. Kalau toh mereka berhasil,
mereka akan sulit menembus barrier fisik epitel yang sangat rapat. Jika berhasil masuk ke
lapisan epitel maka disitu telah menunggu intraepitelial limfosit yang akan membunuh
mikroba dan sel yang dimasukinya. Cuma perlu diketahui bahwa tidak semua mikroba
harus menembus epitel usus untuk menjadi patogen, ada diantara mikroba yang hanya
cukup dengan membentuk koloni di permukaan epitel, sudah bisa menimbulkan penyakit
melalui toksin yang dilepaskannya (misalnya kolera). Sayangnya, innate immmunity tak
dipersiapkan untuk menghadapi toksin, keselamatan tubuh menghadapi toksin terletak
sepenuhnya pada kemampuan antibodi (adaptive immunity) untuk menetralkannya dan
kemampuan tubuh (dengan bantuan dokter)untuk mengatasi dampak mematikan dari
toksin tersebut. Misalnya kalau diare akibat toksin kolera, dapat diatasi dengan rehidrasi
maka penderita akan selamat atau sebaliknya.

Kerusakan fisik epitel (misalnya luka) akan mempermudah mikroba masuk melewatinya,
sesampainya di jaringan di bawah epitel (subepitelial) telah ditunggu oleh sel
dendritik,makrofag dan sel mast yang berjaga-jaga disitu. Mikroba dikenal
kedatangannya karena memiliki petanda PAMPs yang segera akan berikatan dengan
reseptor (misalnya TLR dan kawan-kawan) dari ketiga jenis penjaga subepitelial ini.
Pada saat reseptor-reseptor itu menangkap ligannya (PAMPs) maka muncullah signal
aktifasi yang akan mengaktifkan ketiga sel innate immunity ini. Ketiga sel tersebut
kemudian melepas sejumlah sitokin proinflamasi seperti IL-1 (sel dendritik dan
makrofag), TNFα (sel dendritik,makrofag dan sel mast) dan histamin (sel mast), untuk
memicu respon inflamasi di jaringan subepitelial yang didatangi mikroba itu.

Mikroba yang sudah berada di subepitelial akan melepas produknya juga (semacam
senjata melawan atau untuk merusak jaringan agar bisa masuk lebih jauh), produk ini
makin memicu sel mast untuk melepaskan mediator inflamasi. Histamin (vasoactive
amine) yang dilepaskan sel mast akan membuat vasodilatasi pembuluh darah dengan
maksud supaya banyak darah datang kesitu (inflamasi tampak merah dan teraba panas).
Histamin juga memicu peningkatan permeabilitas kapiler agar banyak cairan plasma yang
di dalamnya terdapat komplemen dan sel-sel imun terutama neutrofil, memasuki jaringan
dimana ada mikroba (inflamasi nampak bengkak karena edema).
Sitokin TNFα dan IL-1 yang dilepas oleh makrofag bersama dengan histamin dan TNFα
dari sel mast, menuju ke endotel pembuluh darah untuk memicu peran endotel
menghentikan neutrofil yang lewat. Endotel berespon dengan mengeluarkan molekul
adesi ke permukaannya (selektin dan ligan integrin) untuk menahan neutrofil. Selanjutnya
neutrofil difasilitasi oleh endotel melalui peningkatan permeabilitas kapiler untuk keluar
dari aliran darah menuju ke jaringan yang ada mikroba.

Komplemen sebagai imunitas humoral yang penting pada innate immunity bisa bertemu
dengan mikroba di darah (jika ada yang masuk darah ) atau di jaringan (cairan antar sel)
karena komplemen akan keluar juga ke jaringan bersama cairan plasma. Dengan
demikian mikroba yang masuk ke jaringan subepitelial akan ditemukan juga oleh C3 dan
mulailah terjadi perakitan komplemen jalur alternatif, dengan akibat seperti yang telah
diterangkan pada dampak efektif aktifasi komplemen (inflamasi, opsonisasi dan
membrane attack complex (MAC)). Proses inflamasi akan membantu neutrofil
menemukan mikroba, opsonisasi membantu makrofag, neutrofil dan sel dendritik untuk
memfagositosis mikroba, dan MAC akan membunuh secara langsung mikroba (baca
tentang aktifasi komplemen).

Mikroba yang lolos masuk ke jaringan dan ditangkap oleh fagosit (makrofag, neutrofil
dan sel dendritik) , akan difagositosis sehingga mikroba berada dalam vakuol yang
disebut fagosom (endosom). Fagosom ini segera menyatu dengan lisosom yang di
dalamnya ada enzim lisozim membentuk fagolisosom, maka bertemulah mikroba dengan
enzim pencerna protein ini sehingga mikroba dicerna dan hancur. Memang ada mikroba
yang tidak mempan oleh lisozim, karena dinding selnya terdiri dari lemak (misalnya
mikobakterium ), tetapi fagosit masih punya senjata penghancur lain yaitu radikal bebas
yaitu Reactive Oxygen Species (ROS) dan Nitrite oxyde (NO).

Sel dendritik yang menangkap mikroba dan menghancurkannya dalam fagolisosom,


terutama bertugas memperkenalkan sejumlah antigen yang ada pada mikroba yang sudah
dihancurkan itu, ke sel T naif yang menunggu (menjaga) di limfonodus. Untuk itu sel
dendritik memajang antigen-antigen itu di permukaannya, menggunakan molekul major
histocompatibility complex (MHC) dan di bawa ke limfonodus terdekat lewat aliran
limpe untuk dipresentasikan kepada sel T naif (peran sebagai Antigen Presenting Cell,
APC). Proses ini akan memulai respon adaptive immmunity (cell mediated immunity).
Sebagian dari kuman atau bahan kuman yang sudah hancur akan hanyut terbawa aliran
limpe menuju limfonodus, disana sudah menunggu sel B naif dan sel dendritik follikuler
yang akan menangkapnya. Jika sel B naif sudah mengenal kehadiran antigen maka
mulailah respon adaptive immunity (imunitas humoral).

BAB 3

AKTIFASI KOMPLEMEN

Komplemen pertama kali ditemukan oleh Jules Bordet sebagai suatu komponen normal dari
protein plasma yang dapat aktif memperkuat opsonisasi dan pembunuhan mikroba oleh
antibodi. Karena bekerja komplementer dengan antibodi maka disebut komplemen. Temuan
pertama ini menunjukkan bahwa komplemen bekerja sebagai bagian dari imunitas adaptif.
Kemudian ditemukan bahwa aktifasi komplemen sebenarnya sudah aktif lebih cepat pada
awal infeksi sebelum antibodi muncul, berarti sudah bekerja pada saat imunitas innet. Secara
sederhana dapat diartikan bahwa komplemen adalah protein plasma yang diaktifkan bila ada
patogen memasuki tubuh, yang bertujuan untuk mengeliminasi patogen bersangkutan.
Sekarang sudah diketahui semua protein plasma yang bekerja sebagai komplemen dan juga
sudah diketahui sejumlah mekanisme yang berkaitan dengan kehadiran patogen yang dapat
memicu aktipasi komplemen, yang disebut jalur aktipasi komplemen (complement activation
pathway). Jalur aktipasi komplemen terdiri atas tiga jalur yaitu Jalur klasik (Classical
Pathway), Jalur Alternatif (Alternative Pathway) dan Jalur Lektin (Lectin Pathway).
Sudah diketahui pula bagaimana cara komplemen mengeliminasi patogen. Akhirnya,
komplemen dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang hanya bekerja jika ada patogen
masuk ke dalam tubuh, dimana sistem ini melibatkan sejumlah besar protein plasma yang
saling berinteraksi. Interaksi ini bertujuan untuk opsonizasi patogen dan memicu terjadinya
respon inflamasi yang memfasilitasi perlawanan terhadap patogen, serta pembunuhan
langsung patogen oleh membrane attack complex (MAC). (gambar 1 )

Apa itu protein plasma yang merupakan komponen dari komplemen?

Sebenarnya protein plasma yang berperan dalam sistem komplemen adalah protease yang
hanya aktif jika sudah terjadi cleavage (terpotong menjadi dua bagian), jadi awalnya hanya
merupakan proenzim atau zymogen. Sama dengan pepsinogen yang tersimpan dalam sel
mukosa lambung yang hanya aktif (menjadi pepsin) setelah disekresikan ke dalam lambung
karena cleavage terjadi oleh kondisi asam dalam lambung. Sejumlah protein plasma dalam
bentuk natif terdistribusi luas di seluruh cairan tubuh, yang siap diaktifkan jika ada mikroba,
diberi nama simpel dengan huruf “C” (Complement) sebagai C1,C2,C3,C4,C5,C6,C7,C8 dan
C9. Urutan nama ini sesuai dengan waktu penemuannya, sayangnya tidak sesuai dengan
urutan keterlibatannya dalam aktifasi komplemen. Urutan keterlibatan dalam aktifasi
komplemen yaitu berturut-turut C1,C4,C2,C3,C5,C6,C7,C8 dan C9. (Gambar 1)

Pada tahap awal aktifasi komplemen yaitu tahapan sampai pembentukan C3 convertase,
protein komplemen yang terlibat berbeda-beda pada tiap jalur. Pada jalur alternatif hanya C3
(ditambah faktor B dan D) , pada jalur klasik terlibat C1,C2 dan C4, sedangkan pada jalur
lektin terlibat C2 dan C4. (ditambah MASP). Pada tahap selanjutnya, yaitu mulai setelah C3
convertase terbentuk sampai terakitnya membrane attack complex (MAC), plasma protein
yang terlibat sudah sama untuk ketiga jalur (Jalur alternatif, klasik dan lektin), yaitu
C5,C6,C7,C8 dan C9. (Gambar 2)
Bagaimana proses aktifasi komplemen untuk membentuk struktur fungsional
komplemen?

Aktifasi komplemen ini layaknya perakitan suatu senjata pada tubuh patogen untuk
membununya, perakitan itu berlangsung atas peranan protease yang memotong protein natif
untuk diinteraksikan satu dengan yang lainnya membentuk suatu kompleks yang berperan
dalam eliminasi patogen. Perakitan senjata ini sangat hebat karena tidak memerlukan teknisi
khusus. Komponen senjata (protein komplemen) itu sendiri menjadi teknisi untuk memotong
(protease) dan memasang (berikatan) dengan komponen berikutnya. Setelah terdeteksi
adanya patogen oleh salah satu dari tiga jalur aktifasi komplemen maka terjadilah rekruitmen
dan perakitan sekuensial satu demi satu protein komplemen yang akan membentuk kompleks
protease misalnya kompleks C3 convertase yang memotong C3 menjadi C3a yang lepas dari
rakitan dan C3b yang mengikat di permukaan patogen untuk menjadi tempat komplemen
lain melekat membentuk kompleks protease baru yaitu C5 convertase. Selanjutnya C5
convertase memotong C5 menjadi C5a dan C5b. C5a akan lepas dan bebas dari rakitan,
sedangkan C5a melanjutkan perakitan komplemen di permukaan patogen.

Aktifasi komplemen ini hanya terpicu jika ada patogen yang dapat terjadi melalui tiga jalur.
Protein komplemen yang digunakan sebagian besar sama untuk semua jalur kecuali pada
tahap awal aktifasi terdapat perbedaan.

Tabel 1. Protein komplemen, bentuk native, bentuk aktif dan fungsi


Protein native dan Bentuk Fungsi
jalur aktifasi aktif
C1 C1q Mengikat langsung ke permukaan patogen atau melalui antibodi
Klasik pada permukaan patogen
C1r Cleavage C1s menjadi protease aktif
C1s Cleavage C4 dan C2 menjadi protease aktif
C2 C2a (pb) Enzim aktif sebagai C3/C5 convertase (memotong C3/ C5)
Klasik/lektin C2b (pk) Prekursor untuk vasoaktif C2 kinin.
C3 C3b (pb) Mengikat ke permukaan patogen untuk opsonisasi dan memulai
alternatif aktifasi komplemen
C3a (pk) Peptida sebagai mediator inflamasi (aktifitas intermediate)
C4 C4b (pb) Mengikat kovalen patogen dan opsonisasi patogen.
Klasik/ lektin Mengikat C2 untuk dipotong oleh C1s
C4a (pk) Peptida sebagai mediator inflamasi (aktifitas lemah)
C5 C5b (pb) Memulai perakitan MAC
Semua jalur C5a (pk) Peptida sebagai mediator inflamasi
C6 C6 Mengikat C5b dan menerima ikatan C7
Semua jalur
C7 C7 Mengikat C5b,6 dan tertanam pada membran lipid patogen
Semua jalur
C8 C8 Mengikat C5b,6,7; tertanam pada membran lipid patogen dan
Semua jalur memulai ikatan polimerisasi C9
C9 C9 Mengikat C5b,6,7,8; dan polimerisasi membentuk bor pelubang
Semua jalur membran patogen (MAC)
Faktor B (B) Bb (pb) Enzim aktif pada C3bBb sebagai C3 convertase dan pada C5bBb
alternatif sebagai C5 convertase.
Ba (pk) Tidak diketahui fungsinya.
Faktor D (D) D Bila berikatan dengan C3b, akan menjadi protease yang memotong
alternatif B menjadi Ba dan Bb
Properdin (P) P Protein plasma yang menstabilkan ikatan C3bBb pada permukaan
alternatif patogen.
MBL MBL Aglutinin, opsonin, fiksasi komplemen.
Lektin
Fikolin (M,L,H) Fikolin Aglutinin, opsonin, fiksasi komplemen.
Lektin
MASP-1 MASP-1 Berasosiasi dengn MASP-2 membentuk kompleks dengan lektin.
Lektin
MASP-2 MASP-2 Berasosiasi dengan MASP-2 atau MASP-3 membentuk kompleks
Lektin dengan lektin, cleavage C4 dan C2.
MASP-3 MASP-3 Berasosiasi dengn MASP-2 membentuk kompleks dengan lektin.
Lektin
MAC: membrane attack complex; MASP : MBL-associated serine proteases; MBL: Mannose
(mannan) binding lectin; pb: potongan besar; pk: potongan kecil

Berdasar fungsinya protein komplemen ini terbagi atas (Tabel 1, gambar 2):

1. Terlibat pertama kali dalam proses aktifasi oleh picuan kehadiran patogen,
2. Sebagai “activating enzymes” (melakukan cleavage proenzim menjadi enzim),
3. Sebagai membrane binding protein yang melekat pada membran patogen, baik untuk
menjadi dasar perakitan komplemen selanjutnya maupun untuk opsonisasi patogen.
4. Perakit senjata yang menghasilkan senjata MAC yang kerjanya melobangi dinding
patogen sehingga mati.
Proses pada tahap awal aktifasi (perakitan) komplemen jalur alternatif

Di dalam plasma darah terjadi hidrolisa spontan ikatan thioester pada C3 sehingga terbentuk
C3(H2O) yang akan berikatan dengan faktor B. Terikatnya faktor B pada C3(H2O)
membentuk C3(H2O)B, akan membuat faktor D dapat memotong faktor B menjadi faktor
C3(H2O)Bb dan faktor Ba yang terlepas. C3(H2O)Bb yang terbentuk

merupakan C3 convertase solubel dalam plasma yang terus menerus memotong C3 menjadi
C3a dan C3b. Walaupun demikian kadar C3b dalam plasma tak pernah tinggi sebab jika tak
melekat pada permukaan patogen maka C3b segera akan inaktif (denaturasi).(buat gambar)

Jika ada patogen maka C3b dalam plasma akan segera berikatan dengan permukaan patogen
dan membentuk ikatan kovalen dengan faktor B . Ikatan ini membuat faktor D mampu
memotong faktor B menjadi Bb dan Ba sehingga terbentuklah ikatan C3bBb di permukaan
patogen yang distabilkan oleh faktor P. Kompleks C3bBb inilah yang berperan sebagai C3
convertase yang terakit di permukaan patogen memotong banyak C3 menjadi C3a dan C3b
sehingga banyak sekali C3b tertanam dipermukaan patogen yang akan berfungsi sebagai
opsonin bagi makrofag yang akan mempermudah penangkapan dan fagositosis patogen atau
untuk tempat perakitan kompleks C3bBb (C3 convertase) yang lain. Kompleks C3bBb
selanjutnya berperan sebagai tempat perakitan komplemen tahap berikutnya. C3a sendiri
dikeluarkan dari perakitan dan pergi menjalankan fungsinya sebagai mediator inflamasi.
(gambar 3)

Proses pada bagian awal aktifasi (perakitan) komplemen jalur klasik.

Jika antibodi sudah mengikat epitop di permukaan patogen maka kompleks antibodi antigen
ini akan memicu aktifasi komplemen jalur klasik. Antibodi tersebut bisa berupa antibodi
natural (imunitas inet) atau antibodi produk dari respon imun adaptif, bahkan komplemen C1
yang memulai aktifasi komplemen jalur klasik dapat pula berikatan langsung dengan
permukaan bakteri atau tidak langsung melalui c-reactive protein yang sudah mengikat lebih
dulu pada bakteri. Dengan demikian, aktifasi komplemen jalur klasik bisa terjadi pada
imunitas innet dan imunitas adaptif.
Komplemen yang memulai aktipasi komplemen jalur klasik adalah C1. Komplemen C1
merupakan kompleks yang terdiri dari satu molekul C1q, dua molekul C1r dan dua molekul
C1s. C1q berbentuk heksamer (6 sub unit) , tiap subunit membentuk struktur ekor (collagen
like tails) dengan ujung dari ekor berupa kepala globular yang disebut globular head. Enam
ekor ini tersusun sedemikian rupa mengitari C1r (dua molekul) dan C1s (dua molekul),
sehingga C1r dan C1s berada di bagian dalam kompleks C1yang dikelilingi oleh ekor-ekor
dari C1q. C1q berfungsi untuk berikatan dengan antibodi yaitu melalui ikatan antara globular
head dengan Fc region dari antibodi.Oleh karena satu C1q terdiri atas 6 subunit berarti satu
C1q dapat mengikat lebih dari satu Fc region dari antibodi. Hal ini sangat penting untuk
mulainya aktifasi komplemen jalur klasik, karena jika C1q hanya mengikat satu Fc region
maka tidak akan terjadi aktifasi komplemen jalur klasik. Sedangkan, C1r dan C1s adalah
zymogen yang jika aktif akan berfungsi memotong C4 menjadi C4a dan C4b serta C2
menjadi C2a dan C2b. (gambar 4).

Aktifasi komplemen jalur klasik dipicu oleh IgM dan IgG. Aktifasi komplemen ini
memanfaatkan Fc region dari antibodi yang sudah mengikat antigen. Oleh karena
komplemen bukanlah sel tetapi protein, maka aktifasi komplemen tidak menggunakan
reseptor Fc seperti pada mekanisme efektor lain yang berupa sel (fagosit, sel NK, sel mast,
eosinofil, basofil), seperti yang diterangkan pada peran Fc region dari antibodi untuk
menfasilitasi mekanisme efektor imunitas humoral. Untuk aktifasi komplemen jalur klasik,
komplemen C1 berikatan dengan Fc region dari antibodi yang telah membentuk kompleks
imun dengan antigen. Satu prinsip dari antibodi sebagai mediator berbagai mekanisme
efektor dalam mengeliminasi antigen adalah hanya antibodi yang telah mengikat antigen
yang boleh melakukan mediasi tersebut. Jadi, antibodi bebas (antibodi yang tidak
menangkap antigen) tidak dapat memicu aktifasi komplemen karena tujuan aktifasi
komplemen adalah mengeliminasi antigen. Dengan demikian, pada jalur klasik yang
menggunakan antibodi sebagai mediator aktifasi, komplemen harus membedakan mana
antibodi yang sudah membentuk kompleks imun mana yang tidak. Untuk mencapai tujuan ini
maka mekanisme pemicuan jalur klasik sedemikian rupa sehingga molekul C1 hanya bisa
memulai aktifasi komplemen jika berikatan dengan minimal dua Fc region dimana jarak
kedua Fc region harus terjangkau oleh panjang jari-jari dari C1 (lgambar 4). Untuk IgG yang
monomer, kondisi ini hanya dimungkinkan jika IgG melakukan ikatan polivalen dengan
antigen sehingga dua IgG atau lebih bisa dicapai oleh C1. Jika IgG bebas maka dua Fc region
dari dua IgG tidak pernah berdekatan untuk mampu berikatan dengan C1. Untuk kasus IgM
tentu keterangannya tidak sama dengan IgG karena IgM yang pentamer memiliki lima Fc
region yang saling berdekatan, maka yang menjadi sebab kenapa IgM bebas, tidak memicu
aktipasi komplemen bukan karena tidak berdekatannya dua Fc region tetapi karena
konfigurasinya. IgM yang bebas konfigurasinya planar (rata) sehingga Fc region IgM tidak
dapat dicapai oleh keenam jari-jari C1, tetapi kalau IgM sedang mengikat antigen maka
konfigurasi Fc region tidak lagi planar tapi mirip dengan konfigurasi C1 Pada konfigurasi
ini jari-jari C1 dapat mencapai Fc region IgM sehingga C1 bisa berikatan dengan lebih dari
satu Fc region IgM dan terjadilah aktipasi komplemen. (gambar 5). Dengan penjelasan
seperti diatas maka jelas bahwa IgM jauh lebih efisien memicu aktifasi komplemen, karena
IgG membutuhkan minimal dua molekul IgG untuk memicu aktipasi komplemen sedangkan
IgM cukup satu saja karena memiliki lebih dari satu Fc region (pentamer), bahkan pada satu
IgM saja bisa mengikat dua molekul C1.

Tampaknya kompleks C1 memiliki dua peran dalam aktifasi komplemen. Peran pertama
menjadi penentu boleh tidaknya aktifasi komplemen jalur klasik diaktifkan yaitu boleh jika
antibodi sudah mengikat antigen (diperankan oleh C1q). Peran kedua adalah sebagai enzim
yang memotong C4 menjadi C4a dan C4b dan memotong C2 menjadi C2a dan C2b, yang
memungkinkan C4b bisa berikatan kovalen dengan permukaan patogen.(diperankan oleh
C1r dan C1s). Ikatan molekul C4b dengan permukaan patogen menjadi stabil sebagai dasar
perakitan komplemen selanjutnya dimana C2a akan melekat pada C4b membentuk molekul
C4b2a yang akan berperan sebagai C3 convertase.

Aktifasi jalur klasik ini bisa dimulai melalui 3 picuan. Yang pertama, aktifasi komplemen
dimulai bila C1q berikatan dengan kompleks antigen-antibodi. Yang kedua, bila C1q
berikatan langsung dengan permukaan patogen yaitu pada protein dinding sel mikroba seperti
lipoteichoic acid pada bakteri gram positif. Yang ketiga, bila C1q berikatan dengan c-
reactive protein (CRP) yang mengikat phosphocholine pada pada permukaan patogen. Berarti
C1q dapat memulai aktifasi komplemen jalur klasik tanpa kehadiran antibodi. Jadi aktifasi C1
oleh antibodi natural atau langsung pada permukaan patogen, atau tidak langsung melalui
CRP menunjukkan bahwa komplemen yang aktif melalui jalur ini merupakan senjata
humoral yang penting dari imunitas innet.

Jika globular head dari C1q berikatan dengan Fc region dari kompleks antigen- antibodi
atau melekat langsung pada permukaan mikroba dan secara tidak langsung melalui CRP
seperti telah diterangkan sebelumnya, maka akan merubah formasi empat molekul C1r dan
C1s menjadi bentuk konformational. Perubahan formasi ini mengaktifkan C1r memotong
C1s sehingga C1s menjadi aktif sebagai protease.

Protease C1s akan memotong C4 menjadi C4b (potongan besar) dan C4a (potongan kecil),
dimana C4b akan berikatan kovalen dengan permukaan patogen dan C4a terlepas bebas untuk
memicu proses inflamasi. Pada saat yang sama, protease C1s juga memotong C2 menjadi
C2a (potongan besar) dan C2b (potongan kecil). C2a akan melekat pada C4b yang terlebih
dahulu mengikat pada permukaan patogen membentuk C4b2a yang akan berperan sebagai
C3 convertase. ( hanya C2 yang menggunakan terminologi “a” untuk potongan besar, yang
lainnya semua menggunakan “b”). C4b yang berikatan kovalen dengan permukaan patogen
dan belum berikatan dengan molekul C2a, dapat berperan sebagai opsonin bagi makrofag
yang akan mempermudah penangkapan dan fagositosis patogen. Kompleks C4b2a ( C3
convertase) yang terakit di permukaan patogen memotong banyak C3 menjadi C3a dan C3b
sehingga akan banyak sekali C3b tertanam dipermukaan patogen yang akan berfungsi
sebagai opsonin juga bagi makrofag. C4a yang keluar dari perakitan akan pergi
menjalankan fungsinya sebagai mediator inflamasi sebagaimana yang dilakukan oleh C3a.
(gambar 6)

Proses pada bagian awal aktifasi (perakitan) komplemen jalur lektin.

Apabila patogen berada dalam plasma dan belum diikat antibodi maka aktifasi jalur ini dapat
berlangsung. Aktifasi dimulai dengan diikatnya polisakarida mikroba oleh lektin yang ada
dalam sirkulasi sebagai plasma protein. Yang termasuk golongan lektin adalah mannose
(mannan) binding lectin (MBL) dan fikolin (M-fikolin, L fikolin dan H-fikolin). MBL
solubel ini memiliki sturuktur seperti C1q (punya 2-6 globular head) membentuk kompleks
dengan masing-masing dua molekul dari dua protease yaitu MASP-1 (sangat mirip C1r) dan
MASP-2 (sangat mirip dengan C1s) atau kadang kadang berkompleks dengan MASP-3 dan
MASP-2. MASP-1 (atau MASP-3) dapat membentuk tertramerik kompleks sama dengan
yang dibentuk oleh C1r dan C1s pada aktipasi komplemen jalur klasik. MASP-2 memotong
C4 dan C2 seperti yang dilakukan oleh C1s dan selanjutnya terikatnya C4b dan terbentuknya
C3 convertase (C4b2a) di permukaan patogen. C4b mempunyai fungsi yang sama seperti
pada aktipasi komplemen jalur klasik. Sedangkan peranan kompleks MASP-1 dan MASP-3
dalam aktipasi komplemen jalur lektin ini belum diketahui.

Fikolin melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan MBL, bedanya hanya terletak
pada molekul apa yang ada di permukaan patogen yang diikat untuk memulai aktifasi.
MBL mengikat residu mannose dari polisakarida sedangkan fikolin mengikat glikan yang
mengandung N-acetylglucosamine. Oleh karena konsentrasi fikolin yang tinggi dalam darah,
karena dihasilkan oleh makrofag aktif (M-fikolin), dibanding dgn MBL, maka pemicuan
aktifasi komplemen jalur lektin lebih banyak difasilitasi oleh fikolin.(gambar 7)

Proses pada tahap akhir aktifasi komplemen untuk semua jalur.

Setelah bagian awal aktifasi komplemen selesai yang ditandai dengan telah terbentuknya C3
convertase, dimana kompleks komplemen yang membentuknya berbeda sesuai jalur aktifasi.
Jalur alternatif membentuk kompleks C3bBb sedangkan jalur klasik dan lektin membentuk
kompleks C4b2a. Selanjutnya perakitan komplemen akan sama sampai terbentuknya MAC.
Kedua C3 convertase ini terus memotong C3 menjadi C3b dan C3a, sebagian dari C3b ini
akan mengikat ke C3bBb (C3 convertase) membentuk (C3b)2Bb yang merupakan C5
convertase, C3b juga mengikat ke C4b2a(C3 convertase) membentuk C4b2a3b yang
merupakan C5 convertase juga. Dengan demikian kedua jenis C3 convertase pada ketiga
jalur aktipasi komplemen menjadi C5 convertase semua. Jika C5 mengikat ke C5 convertase
maka akan dipotong menjadi C5a dan C5b oleh bagian C2a atau Bb dari C5 convertase.
Selanjutnya, C5b akan berikatan dengan C6 dan C7 membentuk kompleks baru yaitu
kompleks C5b67 . Kompleks baru ini tertanam di membran patogen dengan menggunakan
C7 sebagai jangkar, untuk memulai perakitan MAC, sedangkan C5a menjadi mediator
inflamasi.

Perakitan MAC berlanjut dengan mengikatnya C8 ke kompleks C5b67, dimana C8 berperan


juga sebagai jangkar sehingga kompleks semakin kuat melekat pada permukaan patogen.
Selanjutnya bagian terakhir adalah bergabungnya C9 mengikat ke C5b dari kompleks C5b67
dan C8. Penggabungan ini mengakibatkan C9 mengalami polimerisasi menjadi 9-16 molekul
yang menyusun diri melingkar membentuk pipa pelobang pada membran patogen. Pipa
pelobang yang mempunyai diameter 10nm dan panjang 15nm ini disebut MAC.(gambar 8)

MEKANISME EFEKTOR KOMPLEMEN.

Komplemean dalam upaya eliminasi patogen tidak bekerja sendiri tetapi bekerja sama atau
memfasilitasi berlangsungnya fungsi sel-sel lain yang berperan dalam sistem imun seperti
pagosit, eosinofil, sel mast, sel B, follicular dendritic cells (FDC), eritrosit, sel NK dan sel
endotel. Untuk itu, sel-sel tersebut memiliki reseptor komplemen yang dapat mengikat
komplemen yang sudah terakit di permukaan patogen misalnya reseptor untuk C3b, iC3b,
C3dg, C4b, C4c dan C4d (gambar 3,6 dan 7) maupun komplemen yang terlepas dari rakitan
komplemen seperti C3a dan 5a.(tabel 2).

Bagaimana mekanisme komplemen memfasilitasi fagositosis patogen (opsonisasi). ?

Opsonisasi adalah mekanisme efektor yang memfasilitasi kemudahan terjadinya fagositosis


mikroba oleh makrofag. Peran opsonisasi ini dapat berlangsung karena makrofag melalui
reseptor komplemen dapat mengenal komplemen yang sudah mengikat ke permukaan
patogen, seperti C3b dan C4b.

C3b dan C4b yang terikat pada membran patogen pada masing-masing aktifasi komplemen
jalur alternatif dan jalur klasik/jalur lektin, dapat dikenal oleh fagosit dengan menggunakan
complement receptor 1 (CR1) yang bisa mengikat C3b dan C4b. Dengan kata lain fagosit
dapat menangkap patogen menggunakan CR1 yang dimilikinya untuk mengikat C3b dan
C4b yangtelah lebih dahulu mengikat ke permukaan patofen. Dengan demikian CR1
berfungsi sebagai reseptor/ alat penangkap patogen pada fagosit sebagai tambahan dari alat
penangkap yang telah ada sebelumnya yaitu TLR dan kawan-kawan. Jadi, komplemen
melalui C3b dan C4b dapat menfasilitasi fagositosis patogen oleh fagosit. Diantara kedua
komplemen ini, yang paling besar peranannya dalam fungsi opsonisasi adalah C3b. (gambar
1 dan 2)

Setelah CR1 mengikat C3b, belum langsung terjadi fagositosis karena fagosit masih
memerlukan signal stimulasi dari C5a seperti yang dijelaskan pada topik Inflamasi. Nanti
setelah C5a terikat pada reseptor C5a pada fagosit barulah mengalir signal dari reseptor C5a
untuk pengaktifan G-protein yang memicu fagositosis patogen.

Oleh karena perubahan C3b menjadi C3 Convertase berlangsung cepat, dimana bisa terjadi
C3b tidak dapat dimanfaatkan sebagai opsonin untuk makrofag, maka untuk menjamin agar
tetap ada komplemen berperan untuk fagosistosis maka sebagian proses aktifasi komplemen
tidak dilanjutkan, tetapi berhenti hanya pada terikatnya C3b di permukaan patogen. Untuk
maksud ini maka C3b mengalami inaktifasi menjadi iC3b sehingga tidak bisa lagi
melanjutkan perakitan komplemen tetapi tetap berada di permukaan patogen dan tetap
bermanfaat untuk kepentingan fagositosis patogen oleh fagosit (sebagai opsonin). Hal ini
dimungkinkan karena CR1 tetap dapat mengikat iC3b. Bahkan fagosit punya reseptor khusus
mengikat iC3b yaitu CR2 dan CR3. Beda dengan CR1, jika CR2 atau CR3 mengikat iC3b
dapat langsung terjadi fagositosis patogen tanpa keterlibatan C5a seperti yang terjadi kalau
CR1 mengikat C3b atau iC3b. (gambar 9.)

Tabel 2. Reseptor komplemen, spesifitas, distribusi dan fungsi.


Reseptor Spesifisitas Distribusi Fungsi
(Ligan) (sel yang
mengekspresika
n)
Reseptor komplemen tipe C3b, C4b, Fagosit, sel B, sel Fagositosis, pembersihan
1 (CR1,CD35) iC3b T, Eritrosit, kompleks imun, dissosiasi
Eosinofil, FDCs C3 convertase.
Reseptor komplemen tipe C3d,C3dg, Sel B, FDCs, Koreseptor aktifasi sel B,
2 (CR2,CD21) iC3b sel epitel menahan antigen di
nasoparink germinal center. Reseptor
EBV
Reseptor komplemen tipe iC3b,ICAM- Fagosit dan sel Fagositosis, adesi leukosit
3 (CR3, Mac-1, CD11b, 1, mikroba NK pada endotel (via ICAM-1)
CD18) (secara
langsung)
Reseptor komplemen tipe iC3b Fagosit dan sel Fagosistosis dan adesi sel
4 (CR4,p150,95, CD11, NK
CD18)
Reseptor C5a C5a Fagosit, sel NK, Fagositosis, degranulasi sel
sel mast dan sel mast dan perlekatan sel (P-
endotel selektin)
Reseptor C3a C3a Fagosit, sel NK, Fagositosis, degranulasi sel
sel mast dan sel mast dan perlekatan sel
endotel
EBV: Epstein Barr Virus; FDCs: Folliculair Dendritic Cells; ICAM-1: intercellular adhesion
molecule-1; NK: Natural Killer

Bagaimana peran komplemen dalam memicu dan memfasilitasi terjadinya respon


inflamasi?

Suatu hal yang sangat menentukan dalam respon imun untuk mengeliminasi patogen
adalah bertemunya sel-sel dan molekul-molekul pertahanan tubuh(komplemen,antibodi dll)
dengan patogen (musuh). Sel-sel pertahanan seperti fagosit (neutrofil dan monosit) yang
bersirkulasi (patroli) dalam aliran darah haruslah dapat keluar dari darah dan masuk ke
jaringan dimana patogen berada, untuk ini diperlukan suatu kondisi yang memfasilitasi
semua itu bisa terjadi yang disebut inflamasi. Respon inflamasi ditandai dengan perubahan
aliran darah dan permeabilitas kapiler yang terjadi setempat (lokal) dimana patogen berada.
Respon inflamasi ini terjadi sebagai hasil kontribusi berbagai sel dan mediator, disini akan
kita khususkan pada peran komplemen bekerjasama dengan sel dan mediator lainnya.

. Potongan-potongan kecil yang dilepas dari rakitan aktifasi komplemen yaitu C5a, C3a
dan C4a (ditulis berurut sesuai dengan tingginya peran) berperan dalam memicu dan
memfasilitasi terjadinya inflamasi karena berperan menahan neutropil dan monosit yang
bersirkulasi dalam darah. Selanjutnya C5a, C3a dan C4a menjadi penjemput dan penunjuk
jalan (chemoattractant) bagi neutrofili dan monosit yang baru keluar dari sirkulasi untuk
diantar menuju ke jaringan dimana ada patogen. Peran memicu dan memfasilitasi respon
inflamasi dilakukan dalam berbagai cara, dimana sel yang menjadi target untuk dipicu adalah
sel mast, sel fagosit dan sel endotel. Ketiga komplemen ini memicu terjadinya vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas kapiler setempat. C5a dan C3a (kecuali C4a) memicu sel mast
untuk melepaskan vasoaktif amin (misalnya histamin) yang juga berperan untuk vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas kapiler setempat, selain itu C5a dan C3a memicu juga sel
mast mensintesa sitokin TNFα.

C5a bersama TNFα memicu endotel mensintesa molekul adesi untuk menahan neutrofil dan
monosit yang sedang bersirkulasi dalam darah. Tentu saja, singgahnya neutrofil dan monosit
pada endotel pembuluh darah di daerah infeksi bukan hanya ditentukan oleh banyaknya
molekul adesi yang diekspressikan oleh endotel di tempat itu, tetapi ditentukan juga oleh
banyaknya molekul adesi pada neutropil dan monosit itu sendiri agar bisa berikatan dengan
ligan atau reseptornya pada endotel. Agar ini tercapai maka C5a memicu juga ekspresi
molekul adesi pada neutrofil dan monosit.

Dapat disimpulkan bahwa C5a, C3a dan C4a berperan sebagai chemoatractant yaitu
memicu atraksi neutrofil dan monosit untuk melekat pada endotel, diapedesis keluar ke
jaringan (monosit setelah keluar jaringan berubah nama menjadi makrofag) dan bermigrasi
ke arah dimana patogen berada melalui mekanisme yang disebut respon inflamasi.

Seolah-olah pada waktu terjadi perakitan komplemen di tubuh patogen, potongan-potongan


kecil yang terlepas dari rakitan (C5a, C3a dan C4a) tidak dibuang begitu saja sebagai sisa-
sisa perakitan, tapi diberi tugas yang nampaknya sangat menentukan dalam eliminasi
patogen. C5a, C3a dan C4a bertugas memanggil sel-sel dan molekul-molekul pertahanan
lain untuk datang mengeroyok patogen. Cara mendatangkan mereka itu adalah melalui
mekanisme inflamasi. Untuk tugas itulah C5a, C3a dan C4a diberi kemampuan untuk
memicu terjadinya inflamasi. (gambar 10)

Setelah mempertemukan fagosit dengan patogen, ternyata C5a belum selesai tugasnya. C5a
masih harus memicu agar fagosit itu melahap (menangkap dan memfagositosis) patogen yang
telah ditemukannya dengan cara memanfaatkan komplemen C3b dan C4b yang telah terakit
di permukaan patogen (mediator opsonizasi) . Untuk ini, C5a memicu terekspresinya reseptor
CR1 pada fagosit, yang digunakan untuk berikatan dengan C3b dan C4b tersebut (reseptor
CR1 digunakan fagosit menangkap mikroba melalui mekanisme opsonisasi). Jadi tampaknya
C5a, C3a dan C4a berkolaborasi juga dengan komponen lain dari komplemen (C3b dan C4b)
untuk membunuh patogen. (gambar 9)

C5a, C3a dan C4a ini dapat memicu timbulnya signal aktifasi pada sel yang dipengaruhinya
karena molekul-molekul komplemen ini merupakan ligan dari reseptor transmembran yang
mengaktipkan G protein (GTP binding protein). Jadi, C5a, C3a dan C4a dapat memicu
aktifasi sel target (fagosit, sel mast dan endotel) melalui pengaktipan G-protein.

Dampak lain dari respon inflamasi adalah banyaknya cairan plasma keluar dari sirkulasi
yang meningkatkan volume cairan interstitiel (edema). Akibatnya, aliran balik cairan yang
melewati aliran limpe menjadi deras menghanyutkan patogen ke kelenjar limpe, sehingga
patogen bertemu dengan limfosit untuk memicu respon imun adaptif.

Kombinasi aksi C5a, C3a dan C4a terhadap sel mast, neutrofil dan sel endotel secara
bersama-sama berkontribusi untuk timbulnya inflamasi pada tempat dimana terjadi aktifasi
komplemen. Jadi aktifasi komplemenlah yang memanggil “tentara” lain untuk datang
mengeroyok patogen yang ditemukannya. Aktifasi komplemen pada tahap imunitas innet
akan memicu dimulainya respon imun adaptif (aktifasi komplemen dapat terjadi pada tahap
imunitas innet dan imunitas adaptif).

Apabila aktifasi komplemen ini berlangsung hebat sekali, dimana C5a, C3a dan C4a banyak
sekali dihasilkan, dapat terjadi dampak negatif yaitu vasodilatasi pembuluh darah tidak lagi
bersifat setempat (lokal) tapi sudah menyeluruh (general). Pembuluh darah bisa menjadi
kollaps, darah tidak bisa bersirkulasi dengan lancar, yang secara klinik dikenal sebagai syok
anapilaktik. Oleh karena itu molekul C5a, C3a dan C4a disebut juga sebagai anafilatoksin.

PEMBENTUKAN MAC (Membrane Attack Complex)


Komplemen sebagai mediator sitolisis.

Kematian patogen yang berkaitan dengan aktifasi komplemen bukan hanya disebabkan oleh
fagosit terutama neutrofil yang ramai-ramai berdatangan mengeroyok patogen yang
ditangkap komplemen melalui mekanisme inflamasi. Tetapi komplemen sendiri dapat
langsung membunuh patogen melalui mekanisme sitolisis. Kemampuan ini diperankan oleh
produk akhir dari perakitan komplemen yang disebut membrane attack complex (MAC) yang
terakit di permukaan patogen pada tahap lanjut aktifasi komplemen, sebagaimana telah
diterangkan diatas. MAC ini merupakan bor yang melobangi dinding kuman sehingga bakteri
kemasukan cairan dan mati melalui mekanisme lisis osmotik. (gambar 11)

Keberhasilan perakitan dan efektifitas MAC membunuh patogen sangat ditentukan oleh
tebalnya dinding mikroba, makin tebal makin baik. Perakitan MAC ini memerlukan dinding
tebal dari patogen karena komplemen harus tertanam dengan kuat lebih dahulu di dinding
patogen baru bisa MAC terakit dan berfungsi. Untunglah kebanyakan patogen berdinding
tebal sehingga MAC sangat efektif membunuh patogen. Ada mikroba tertentu yang resisten
terhadap MAC karena berdinding tipis seperti Neisseria.

Apa fungsi lain dari komplemen?

Mencegah membesarnya kompleks antigen antibodi dan memfasilitasi pengangklutan


kompleks antigen antibodi ke hati dan limpa untuk eliminasi.

Disamping fungsi utama komplemen yang telah disebutkan di atas (opsonisasi, memicu
inflamasi dan pembuatan MAC), komplemen masih memiliki sejumlah fungsi lain. Salah satu
fungsi lain dari komplemen adalah menyangkut penanganan kompleks antigen antibodi.
Jika kompleks antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap pada endotel
pembuluh darah akan memicu respon inflamasi (yang dipicu oleh komplemen juga) yang
mengakibatkan kerusakan jaringan setempat, misalnya kompleks imun yang mengendap di
pembuluh darah pada sendi akan menyebabkan inflamasi pada sendi bersangkutan. Untuk
mencegah pengendapan ini, ada dua jalan. Pertama, memperkecil ukuran kompleks antigen
antibodi sehingga tidak gampang mengendap pada endotel pembuluh darah. Kedua, segera
membawa kompleks antigen antibodi ke limpa atau hati untuk difagositosis oleh makropag
setempat sehingga hilang dari sirkulasi. Ada dua hal menyangkut ukuran kompleks imun.
Pertama, ditentukan oleh berimbangnya jumlah antigen dan antibodi sehingga ikatan
multivalen antigen antibodi sambung menyambung menjadi kompleks imun yang besar
(layaknya laki-laki dan perempuan berpasang-pasangan membentuk lingkaran manusia, jika
jumlah laki-laki dan perempuan berimbang maka lingkaran manusia yang terbentuk akan
luas, tetapi kalau jumlah tidak berimbang maka ada yang tidak kebagian pasangan, membuat
lingkaran manusia yang terbentuk putus dan tidak membesar). Kedua , ditentukan oleh
adanya ikatan nonkovalen antara sesama Fc region dari antibodi yang juga bisa memperbesar
bentuk kompleks antibodi antigen. Komplemen berperan memperkecil ukuran kompleks
antigen antibodi melalui mekanisme kedua ini, sebagaimana diketahui bahwa “globular
head” C1q akan mengikat ke Fc region antibodi sehingga peluang Fc region untuk ikatan
nonkovalen sesama Fc region dari antibodi lain akan terhalangi. (gambar 12). Dengan
demikian, komplemen berperan mencegah membesarnya kompleks antigen antibodi yang
berakibat mengecilnya kemungkinan untuk mengendap. Urusan segera membawa kompleks
antigen antibodi ke hati dan limpa dikerjakan oleh sel darah merah atas fasilitasi komplemen.
Sel darah merah memiliki reseptor CR1 yang dapat berikatan dengan C3b dan C4b, dimana
C3b dan C4b telah mengikat pada antigen yang berkompleks dengan antibodi, sehingga
dengan fasilitasi kedua komplemen ini maka eritrosit dengan mudah mengangkut kompleks
imun (untuk dikubur) di limpa atau hati. Setelah sampai di hati atau limpa sel darah merah
menyerahkan kompleks imun ke makrofag setempat untuk di fagosistosis kemudian eritrosit
kembali bersirkulasi lagi karena tidak ikut difagositosis.(gambar 13)

Manfaat lain komplemen adalah membantu aktifasi sel B. BCR (B cell receptor) dari sel B
naif yang telah mengikat antigen akan memunculkan signal aktifasi (signal utama) untuk
memicu aktifasi sel B naif tetapi biasanya belum cukup kuat, sehingga masih memerlukan
signal tambahan dari koreseptor. (lihat aktipasi sel B).

Fungsi komplemen mengaktifasi sel B diperankan oleh C3dg, produk lain hasil dari pecahan
C3b yaitu C3dg yang hanya dapat diikat oleh reseptor CR2 yang ada pada sel B naif.
Reseptor CR2 ini merupakan koreseptor dari BCR (B cell receptor) yang dapat
meningkatkan intensitas signal yang timbul oleh ketemunya BCR dengan antigen spesifiknya
(signal utama). Jika epitop spesifik patogen berikatan BCR dan di sisi yang lain C3dg
berikatan dengan reseptor CR2 maka pada saat bersamaan terjadilah picuan terhadap BCR
yang melahirkan munculnya signal utama aktifasi sel B dan picuan terhadap CR2
(koreseptor) yang melahirkan signal tambahan, Akibatnya, lahirlah signal gabungan antara
signal dari BCR dan signal dari koreseptor CR2 yang lebih kuat memicu aktifasi sel B.
(gambar 14)
Berarti bahwa komplemen secara simultan memfasilitasi aktifnya imunitas seluler melalui
penguatan aktifitas fagosit dalam hal ini makrofag dan sel dendritik (lihat topik mengenai
aktifasi sel T) dan penguatan signal dari BCR (signal utama) yang akan memicu aktifasi sel
B (akan dijelaskan lebih detail pada topik aktifasi sel B).

Bagaimana aktifasi komplemen dikontrol agar tidak merusak sel pejamu?

Aktifasi komplemen ibarat senjata yang dirakit di tubuh patogen yang akan menyebabkan
kematian patogen, tidak boleh terjadi bahwa komplemen itu terakit di sel host yang bisa
menyebabkan kematian yang tidak dikehendaki dari sel pejamu. Sel host berada sangat dekat
dengan patogen (patogen ada di permukaan sel pejamu), berarti seluruh aktifitas perakitan
komplemen yang dipicu oleh patogen bisa berlangsung juga dipermukaan sel host, baik dari
awal sampai akhir perakitan ataupun perakitan memang dimulai di sel patogen tetapi bagian
akhir (perakitan MAC) berlangsung di sel pejamu.

Ada dua cara pengendalian sehingga aktifasi komplemen tidak berlangsung pada sel host:

1. Degradasi C3b solubel. Secara spontan memang di dalam darah terjadi aktifasi
komplemen walau dalam intensitas rendah, misalnya C3 convertase solubel yang
terus memotong C3 menjadi C3b aktif (persiapan menunggu datangnya patogen).
Berarti ini harus dikontrol terus menerus pula dengan mekanisme degradasi cepat
agar C3b aktif yang masih ada dalam plasma (C3b solubel) tidak melekat ke
permukaan sel pejamu.
2. Perbedaan membran sel patogen dan membran sel pejamu. Pada dasarnya,
membran sel patogen dan membran sel host memiliki banyak persamaan yang
memungkinkan aktifasi komplemen bisa juga berlangsung di sel host. Tetapi ada
sedikit perbedaan yang membuat aktifasi komplemen tidak bisa berlangsung di sel
host. Perbedaan sedikit itu berkaitan dengan adanya protein regulator (pengontrol )
aktifasi komplemen pada sel pejamu dan tidak ada pada sel patogen atau keadaan sel
host yang lebih memudahkan protein pengontrol yang ada dalam plasma (solubel)
untuk mengikat ke membran sel host ketimbang ke membran sel patogen.

Oleh karena besarrya resiko terjadi aktifasi komplemen pada sel host maka sebelum merusak
sel host, harus segera bekerja mekanisme pengontrol yang mencegah atau menghentikannya.
Pengontrol ini harus dapat membedakan kapan aktifasi itu dihentikan (jika berlangsung pada
sel host) dan kapan diperbolehkan terus (jika berlangsung pada sel patogen). Berarti protein
pengontrol dapat membedakan mana yang self (sel host) dan mana yang asing (patogen).

Berdasar kepentingan tersebut maka prinsip utama pengontrolan aktifasi komplemen adalah
perakitan aktifasi komplemen hanya boleh berlangsung pada sel patogen dan tidak boleh pada
sel pejamu (harus dicegah terakitnya bentuk aktif komplemen pada sel pejamu). Apabila
terlanjur ada perakitan komplemen pada sel host, maka bentuk aktif komplemen tidak boleh
berlangsung lama, harus segera terjadi hidrolisis menjadi bentuk inaktif. Sebenarnya,
hidrolisis terjadi secara umum yaitu terjadi pada aktifasi komplemen pada sel patogen dan sel
host. Tetapi untuk inaktifasi bentuk aktip komplemen yang terjadi pada sel host, bekerja
mekanisme lain yang diperankan oleh protein pengontrol, yang mampu melakukan inaktifasi
lebih cepat lagi dari hidrolisis. Mekanisme inaktifasi komplemen icepat ni tidak ditemukan
pada aktifasi komplemen yang terjadi pada patogen.

Kalau kita memperhatikan bahwa membran sel (tempat aktifasi komplemen terjadi) dari
patogen dan sel host banyak memiliki persamaan, dan patogen sangat berdekatan dengan sel
host seperti telah dikemukakan di atas, tentulah mekanisme pengontrol ini sangat hebat,
sehingga aktifasi komplemen tidak terjadi pada sel host. Tuhan menciptakan protein
regulator (pengontrol) yang bisa mencegah dan menghentikan aktifasi komplemen pada
ketiga jalur aktifasi, jika berlangsung pada sel host. Protein pengontrol ini bekerja spesifik
pada titik-titik berbeda dari kaskade aktipasi komplemen, sehingga bisa dihentikan untuk
menghindari efek merusak host (tabel 3).

Protein apa saja yang termasuk pengontrol aktifasi komplemen?

C1 inhibitor (C1INH) merusak kompleks C1q, C1r dan C1s yang terakit di permukaan
patogen pada awal aktifasi komplemen jalur klasik dengan cara mengikat enzim aktif C1r dan
C1s kemudian mencabutnya dari kompleks dengan C1q. Jadi C1s punya waktu yang sangat
terbatas untuk memotong (mengaktifkan) C4 dan C2. Yang paling penting, mekanisme
kontrol ini mencegah aktifasi C1 dalam plasma, sehingga seorang karena faktor genetik
kekurangan C1INH akan menderita penyakit yang disebut hereditary angioneurotic edema
hal ini disebabkan karena banyaknya C2 aktif yang dipotong jadi C2 kinin yang memicu
terjadinya edema yang hebat. Penyakit ini akan terkoreksi sempurna jika diberi C1INH.

Tabel 3. Protein sebagai regulator negatif pada aktifasi komplemen


Protein Distribusi Fungsi
DAF (CD55) Membran sel Bersaing dengan faktor B untuk mengikat C3b
host dan dengan C2a mengikat C4b bahkan mencabut
C3b dari kompleks C3bBb dan C2a dari
kompleks C4b2a. (mencegah dan menghentikan
perakitan C3 convertase)
Factor I Plasma Bersama-sama MCP sebagai ko-faktor berfungsi
(35µg/mL) sebagai protease yang memotong C3b menjadi
bentuk inaktip iC3b
MCP (CD46) Membran sel Sebagai ko-faktor untuk faktor I
host
CR1 Membran sel Sama dengan DAF dan MCP
host
Faktor H Plasma Sama dengan CR1
(480µg/mL)
C1INH Plasma Mengikat ke C1r dan C1s aktip dan mencabutnya
(200µg/mL) dari kompleks dengan C1q.
Mengikat MASP-2 aktip dan melepaskan
ikatannya dengan MBL
C4BP. Plasma Mengikat C4b dan menyingkirkan C2 shg C4b2a
(300µg/mL) (C3 convertase.) tak bisa terakit
vitronektin (s- Sel host Mengikat C5b67 yang sudah terakit di
protein) permukaan sel host agar tidak lanjut menjadi
MAC
Protektin Sel darah, sel Menghambat C9 merakit MAC dengan mengikat
(CD59) endotel dan sel C7 dan C8.
epitel
C4BP: C4-binding protein; C1INH: C1 inhibitor; CR1: complement Receptor type
1;DAF: decay-accelerating factor; MAC: membrane attack complex; MCP: membrane
cofactor of proteolysis.

Faktor I

Tidak ada mekanisme yang dapat menghilangkan gugusan hidroksil atau amin yang
menerima ikatan C3 dan C4 di permukaan sel host seperti yang terjadi di permukaan patogen.
Olehnya itu perlu mekanisme untuk “mancabut” ikatan itu dari permukaan sel host atau
mengkatalisis C3b dan C4b yang telah mengikat ke permukaan sel host menjadi bentuk
inaktif. Ini diperankan oleh faktor I yang bersirkulasi dalam plasma dalam bentuk aktif tapi
hanya bisa bekerja mengkatalisis C4b dan C3b jika C4b dan C3b terikat pada kofaktor
protein yang hanya ada di membran sel host yaitu MCP, faktor H, C4BP dan CR1. Faktor I
ini memotong C3b menjadi bentuk inaktif yaitu iC3b dan C3dg demikian juga C4b menjadi
bentuk inaktif C4c dan C4d.(gambar 15. ) Dengan demikian faktor B tak bisa juga mengikat
ke C3b dan C2 tak bisa mengikat ke C4b sehingga tak bisa terbentuk C3 convertase
(C3bBb dan C4b2a) di membran sel pejamu pada semua jalur aktipasi komplemen ( gambar
3, 6 dan 7). Sel patogen kekurangan kofaktor tersebut pada membran selnya sehingga tidak
bisa memanfaatkan faktor I untuk menginaktifkan C3b dan C4b yang mengikat ke
permukaan sel patogen. Pada penderita defisiensi faktor I akan gampang terkena infeksi,
sebagai akibat tidak terkontrolnya aktifasi komplemen. Aktifasi komplemen yang tidak
terkontrol menyebabkan protein komplemen cepat habis terpakai sehingga pada waktu
patogen datang, persediaan protein komplemen sudah tidak cukup untuk melawan patogen.

Mekanisme pengontrolan lain yang juga bertujuan mencegah perakitan C3 convertase dan
bahkan membubarkan (mendissosiasi) yang sudah terakit yaitu yang diperankan oleh protein
membran DAF, MCP,CR1 dan protein plasma faktor H. Ketiga protein membran
bersaing dengan faktor B untuk mengikat C3b dan bersaing juga dengan C2a untuk mengikat
C4b, bahkan mereka mampu melepaskan ikatan dan menyingkirkan C2a dari C4b dan Bb
dari C3b yang sudah terakit sebagai C3 convertase (C4b2a dan C3bBb) sehingga tidak bisa
terbentuk C3 convertase dgn kata lain aktifasi komplemen berhenti (sel host selamat).
Sedangkan protein plasma faktor H hanya bekerja pada penghambatn Bb mengikat ke C3b,
berarti hanya bekerja pada aktifasi komplemen jalur alternatif.Oleh karena protein pengontrol
itu tidak ada pada membran sel patogen, maka dengan sendirinya aktifasi komplemen tidak
berhenti seperti pada permukaan sel pejamu, dengan akibat patogen akan mati. Perbedaan
kecil lain antara sel patogen dengan sel pejamu (mamalia) yang membuat aktifasi
komplemen mudah terjadi pada sel patogen tetapi sulit terjadi pada sel host adalah
permukaan sel host banyak mengandung asam sialik yang mempermudah faktor H mengikat
ke permukaan sel host dibanding dengan mengikat ke permukaan sel patogen yang memiliki
sedikit kandungan asam sialik.

MCP,CR1 dan faktor H memiliki dua mekanisme mengontrol aktifasi komplemen,


pertama sebagai kofaktor dari faktor I yang bersaing dengan faktor B mengikat C3b yang
sudah di terakit di permukaan sel host untuk diinaktifkan menjadi iC3b dan C3dg agar
mengalahkan faktor B yang mau berikatan dengan C3b membentuk C3 convertase. Kedua
sebagai protein pengontrol yang berperan secara langsung untuk meningkatkan dissosiasi C3
convertase (C4b2a dan C3bBb) yang sudah terakit di permukaan sel host. Khusus DAF,
hanya berperan pada peran kedua tersebut.

Sindrome anemia hemolitik, suatu penyakit yang timbul akibat kematian eritrosit dan
trombosit oleh aktifasi komplemen yang tak terkontrol, terjadi pada sel host (eritrosit dan
trombosit) yang disebabkan oleh mutasi heterozigous pada protein pengontrol MCP, faktor I
atau faktor H.
C5 convertase akan memotong C5 menjadi C5b yang selanjutnya terakit bersama dengan
C6,C7,C8 dan C9 membentuk MAC, berarti MAC terakit di dekat C5 convertase bukan pada
C5 convertase yang terakit di membran patogen (gambar 11). Kalau C5 convertase demikian
dekatnya dengan sel host (patogen ada di permukaan sel pejamu), maka besar sekali
kemungkinan terjadi aktifasi komplemen sampai terbentuknya C5 convertase memang
masih di permukaan patogen, tetapi MAC yang dirakit selanjutnya berada di permukaan sel
host dan melobangi membran sel host sehingga terjadi “senjata makan tuan “(gambar 16).
Hal ini tidak boleh terjadi, maka harus ada protein pengontrol yang berfungsi mencegah
perakitan MAC pada membran sel pejamu. Minimal ada 2 protein pengontrol yang telah
dikenal bekerja untuk tujuan ini yaitu vitronektin (s-protein) yang mengikat C5b67 yang
sudah terakit di permukaan sel host agar tidak lanjut menjadi MAC dan yang kedua adalah
protektin (CD59) yang menghambat mengikatnya C9 ke kompleks C5b678 yang sudah
terakit di permukaan sel pejamu (yang lolos dari cegatan vitronektin) sehingga tidak lanjut
menjadi MAC.

Untuk menjalankan fungsinya sebagai protein pengontrol agar tidak terjadi aktifasi
komplemen pada sel pejamu maka CD59 dan DAF harus berada pada membran sel host.
Perlekatan CD59 dan DAF pada membran sel difasilitasi oleh glycosylphosphotidylinositol
(GPI) yang menyerupai ekor pada membran sel. Jika ekor ini tidak ada (mutasi pada gen
yang menyandinya di kromosom X) seperti yang terjadi pada mereka yang menderita
penyakit paroxysmal nocturnal hemoglobinurie. Pada penyakit ini akan terjadi lisis eritrosit
intravaskuler, akibat aktifasi komplemen pada sel pejamu yaitu eritrosit.

Efek Patologis dari sistem komplemen yang normal.

Sistem komplemen bekerja sesuai standar normal tapi malah menimbulkan kelainan
patologis, artinya menimbulkan kerusakan pada jaringan normal. Trombosis intravaskuler
bisa terjadi pada inflamasi akut hebat akibat aktifasi komplemen terhadap patogen yang
berlanjut menjadi iskemik jaringan. Kompleks imun yang melekat pada endotel akan memicu
inflamasi dan terbentuknya MAC yang merusak endotel akhirnya gampang terjadi trombosis,
Demikian juga kegagalan transplantasi oleh adanya antibodi terhadap endotel graft akan
melibatkan komplemen yang akhirnya menimbulkan trombosis intravaskuler dan graft
nekrosis. Akan lebih jelas

Patogen menghindar dari komplemen.


Patogen sebagai mahluk Tuhan juga tentu mendapatkan perangkat dari penciptanya untuk
dapat hidup seperti layaknya mahluk Tuhan lain yang bernama manusia. Ada patogen yang
pintar memanfaatkan protein regulator (pengontrol) untuk melindungi dirinya yang
sebenarnya digunakan untuk melindungi sel host dari konplemen. Misalnya ada patogen yang
bisa merekruit faktor H menyingkirkan Bb dari C3b karena mampu mengambil asam sialik
dari sel host untuk membungkus tubuhnya atau memang secara natural dindingnya
mengandung asam sialik. Cara lain yang bisa juga ditemukan adalah patogen membuat
protein yang bekerja seperti protein regulator. Misalnya E. Coli membuat C1q-binding
protein yang mencegah terbentuknya kompleks C1q dan C1r dan C1s. Staphylococcus
Aureus membuat staphylococcus complement inhibitor (SCIN) yang menghambat
pembentukan C3 convertase untuk ketiga jalur aktipasi komplemen. Dan macam-macam lagi
cara yang lain.

BAB 4

INFLAMASI
Inflamasi adalah respon pertahanan tubuh untuk mengeliminasi penyebab jejas pada jaringan
atau sel (cell injury), membersihkan jaringan dari sisa-sisa kerusakan, dan membangun
jaringan baru . Penyebab inflamasi adalah agen infeksi (yang banyak dibicarakan dalam
respon imun), benda asing, jejas sel misalnya trauma fisik, suhu dan kimiawi serta iskemia
yang menimbulkan kerusakan jaringan. Respon inflamasi dengan tiga maksud tersebut dapat
berlangsung oleh karena peranan berbagai faktor seperti sel-sel inflamasi, pembuluh darah
dan mediator inflamasi. Pembangunan jaringan baru dimaksudkan untuk menggantikan
jaringan rusak tetapi bisa tidak diganti dengan sel atau jaringan yang fungsional sama
dengan yang rusak, sehingga kemungkinan bekas jaringan rusak terganti oleh jaringan fibrous
maka terbentuklah scar (jaringan parut).

Inflamasi digambarkan pertama kali 2000 th yll (abad 1) oleh Dr.Celsus (Romania) yang
menerangkan tentang reaksi lokal terhadap jejas pada jaringan, yang terkenal dengan istilah
cardinal sign yaitu rubor (merah), tumor (bengkak), calor (hangat) dan dolor (nyeri).
Seabad kemudian Dr. Galen (Yunani) menambahkan functio laesa (gangguan fungsi) sebagai
cardinal sign yang kelima. Rubor dan calor terjadi akibat vasodiltasi kapiler yang
menyebabkan banyak darah ke daerah inflamasi sehingga memberi warna merah dan rasa
hangat. Hal ini merupakan partisipasi pembuluh darah untuk mendatangkan sel-sel dan
protein yang berperan dalam respon inflamasi ke jaringan dimana dibutuhkan kehadirannya.
“Tumor” (bengkak) terjadi akibat banyaknya cairan plasma yang keluar dari pembuluh
darah, membawa sel-sel inflamasi, mediator inflamasi dan kebutuhan lain masuk ke dalam
jaringan. Terjadilah peninggian jumlah cairan interstitiel yang disebut edema yang
menyebabkan pembengkakan pada daerah inflamasi. Jadi “tumor” yang dilihat oleh dr.
Celsus sebenarnya adalah pembengkakan jaringan oleh karena edema. Dolor terjadi akibat
adanya rangsangan pada ujung-ujung saraf oleh mediator inflamasi misalnya bradikinin yang
memicu terjadinya nyeri dan penekanan ujung-ujung saraf oleh edema. Pembengkakan dan
rasa nyeri ini selanjutnya menimbulkan gangguan fungsi.

Disamping peristiwa lokal yang tergambar dalam cardinal sign inflamasi, terjadi juga
peristiwa sistemik yang diakibatkan adanya mediator inflamasi yang beredar di dalam
sirkulasi, baik yang berasal atau diproduksi di daerah inflamasi maupun di tempat lain
(misalnya di hati) yang dikirim ke daerah inflamasi. Mediator inflamasi dapat berupa sitokin
dan protein lain seperti c-reactive protein yang dihasilkan oleh sel hati.
Inflamasi terbagi dua yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronik. Inflamasi akut berlangsung
singkat berkisar beberapa menit saja sampai beberapa hari, tetapi inflamasi kronik bisa
berlangsung lama bahkan bisa bertahun-tahun. Karena perlangsungan yang lama ini maka
inflamasi kronik bisa memicu terjadinya berbagai penyakit seperti asma bronkiale dan
arteritis reumatika, bahkan sekarang makin menjadi subjek yang menarik karena ternyata
bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit kronis seperti arteriosklerosis, diabetes
melitus, penyakit Alzheimer, dll. Khususnya inflamasi kronik yang terjadi dalam jaringan
lemak individu obes dengan segala akibatnya, menjadi kajian yang menarik dewasa ini.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa inflamasi kronik ini menjadi salah satu penghubung
antara imunologi dengan patogenesis berbagai penyakit degeneratif. Berarti, untuk
memahami patogenesis penyakit-penyakit degeneratif diperlukan pemahaman imunologi.

Sel-sel dan protein yang berperan dalam inflamasi adalah :

1. Yang berada dalam darah ( Neutrofil, Monosit, Limfosit, trombosit, basofil, faktor
pembekuan, komplemen, kininogen).
2. Komponen pembuluh darah (sel endotel dan membrana basalis)
3. Jaringan konektif (sel mast, makrofag, fibroblast, dan matriks berupa serat kolagen
dan proteoglikan)

Jika dianalogkan bahwa sel-sel dan protein itu adalah petugas-petugas pertahanan yang harus
berespon jika ada musuh, maka mereka harus berkoordinasi dan bekerjasama untuk
meresponi kedatangan musuh itu, agar dapat dieliminasi. Koordinasi dan kerjasama itulah
yang disebut respon inflamasi. Mereka yang berada dalam darah adalah pertugas-petugas
yang berpatroli ke seluruh tubuh lewat aliran darah untuk menjaga seluruh bagian dari tubuh
kita. Mereka yang berada di jaringan konektif bertugas berjaga-jaga mengantisipasi
kedatangan musuh yang berhasil masuk ke jaringan dan berfungsi menangkapnya dan
memicu respon inflamasi dengan memberi signal kepada pembuluh darah untuk bereaksi.
Pembuluh darah yang sudah mendapat signal, akan memfasilitasi keluarnya petugas
pertahanan ke jaringan. Petugas di jaringan konektif selanjutnya menfasilitasi petugas
pertahanan yang keluar dari aliran darah untuk menemukan musuh dan mengeliminasinya.
Saling berkoordinasi dan bekerjasama itu dimungkinkan olah adanya kemampuan mereka
menghasilkan mediator inflamasi yang berperan sebagai sarana komunikasi.

INFLAMASI AKUT
Inflamasi akut adalah reaksi cepat jaringan dan pembuluh darah lokal yang dipicu berbagai
penyebab inflamasi seperti telah disebutkan diatas. Inflamasi akut melibatkan respon
pembuluh darah, sel sel pertahanan dan maktriks ekstraseluler. Banyak sel terlibat seperti sel
endotel pembuluh darah, neutrofil, makrofag, sel mast dll. Matriks ekstraseluler yang terlibat
seperti jaringan ikat kolagen, elastin, glikoprotein dan proteoglikan. Sel-sel yang terlibat ini
saling memicu untuk memerankan fungsi masing-masing dengan menggunakan sitokin atau
protein lain sebagai media komunikasi sehingga disebut mediator inflamasi. Untuk
menjelaskan patogenesis, inflamasi akut dibagi atas tiga peristiwa yaitu reaksi vaskuler,
eksudasi cairan dan protein, dan migrasi neutrofil ke jaringan.

Reaksi vaskuler (hiperemia jaringan).

Sel endotel yang kita kenal sebagai sel yang menjaga kondisi pembuluh darah agar tetap bisa
menjadi saluran yang baik bagi darah yang bersirkulasi dan menjamin sampainya bahan-
bahan yang diangkut darah ke sel-sel yang membutuhkan. Peran ini dilakukan dengan cara
mengatur kapan harus melebar (vasodilatasi) dan kapan harus menyempit (vasokonstriksi),
kapan harus meningkatkan atau menurunkan permeabilitas serta menjaga agar tidak terjadi
sumbatan pembuluh darah dengan cara mencegah terjadi pembekuan darah dalam sirkulasi
melalui antitrombotik yang dihasikan sel endotel. Demikian pula respon vaskuler pada
inflamasi banyak ditentukan oleh peran sel endotel.

Telah dikemukakan bahwa respon vaskuler yang diperankan oleh sel endotel terjadi pada
awal proses terjadinya inflamasi tapi bukan yang pertama. Oleh karena terjadi hanya lokal
berarti ada peristiwa lokal di jaringan yang memicu munculnya respon vaskuler, dengan
kata lain ada peristiwa seluler lokal yang memicu sel endotel lokal untuk berespon. Respon
vaskuler dipicu oleh mediator yang dilepas oleh makrofag dan sel mast, yang terpicu oleh
adanya produk dari injury pada sel (tissue damage) atau oleh adanya patogen yang dikenal
oleh kedua sel tersebut. Bagaimana kedua sel ini bisa terpicu dan peran mediator inflamasi
yang dihasilkannya lebih dijelaskan pada pembicaraan mengenai imunitas inet.

Perubahan vaskuler merupakan bagian penting dari respon inflamasi yang melibatkan
arteriole, kapiler dan venule dari microcirculation. Oleh karena berperan untuk memfasilitasi
pelepasan sel dan protein inflamasi dari aliran darah ke jaringan maka perubahan vaskuler ini
merupakan reaksi awal inflamasi yang terjadi cepat sekali setelah ada picuan inflamasi oleh
penyebab apa saja.
Reaksi vaskuler ini mulai dulu vasokontraksi sekilas disusul oleh vasodilatasi yang cepat
yang mengenai arteriole dan venules. Vasodilatasi mulai terjadi pada arteriole dan lebih lebar
dari vasodilatasi venules sehingga terjadi hambatan aliran darah kapiler (congesti) yang
berakibat kapiler berisi banyak darah dan melebar (robor dan color) yang berarti volume
darah yang melayani daerah inflamasi meningkat. Akibat lain congesti adalah meningkatnya
tekanan hidrostatik sehingga cairan plasma terdorong keluar ke jaringan (transudat).
Vasodilatasi ini terjadi akibat stimulus dari berbagai mediator inflamasi seperti histamin
(produk sel mast dan basopil), serotonin (produk trombosit) dan nitric oxide (produk
makrofag). (gambar )(gambar 5 imunitas inet)

Endotel tidak hanya membuat sel-sel neutrofil dan monosit banyak ke daerah inflamasi lewat
aliran darah tetapi juga menghentikan dan memfasilitasi keluarnya sel-sel itu ke jaringan
dimana mereka diperlukan (diapedesis atau migrasi). Ini bisa terjadi melalui mekanisme
peningkatan permeabilitas kapiler yang memungkinkan sel-sel dan plasma keluar dari aliran
darah masuk jaringan. Dengan menaikkan permeabilitas kapiler maka endotel memfasilitasi
lewatnya banyak neutrofil dan monosit masuk ke jaringan sebagai bagian dari respon
inflamasi. Sel-sel inilah yang diharapkan mengeliminasi penyebab terjadinya respon
inflamasi misalnya mengeliminasi patogen sebagai tujuan utama dari respon inflamasi
(gambar diapedesis). Permeabilitas kapiler menyebabkan juga keluarnya protein plasma ke
jaringan (eksudat), sehingga edema yang terbentuk dimulai dulu dengan transudat baru
eksudat.

Eksudasi cairan

Peningkatan permeabilitas kapiler dimungkinkan oleh terbentuknya celah antara sel-sel


endotel di daerah venule dan arteriole dari microcirculation. Pembentukan celah ini terjadi
akibat picuan mediator inflamasi (histamin, bradikinin, leukotrien dll), terhadap reseptor sel
endotel yang membuat sel-sel endotel berkontraksi sehingga intercellular junction menjadi
longgar. Vasodilatasi lebih hebat terjadi pada arteriole daripada venule, sehingga terjadi
congesti aliran darah dalam kapiler. Permeabilitas kapiler lebih hebat pada venule daripada
arteriole terutama pada awal 15-30 menit dari respon. Kongesti pada kapiler menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskuler, sehingga terjadi transudasi cairan plasma dari
dalam kapiler keluar ke jaringan. Permeabilitas kapiler menyebabkan eksudasi cairan dan
protein plasma dari dalam kapiler keluar ke jaringan. Perubahan vaskuler berupa vasodilatasi
untuk peningkatan aliran darah lokal diikuti oleh meningkatnya permeabilitas kapiler untuk
meloloskan plasma yang banyak mengandung protein keluar ke jaringan sehingga banyak
protein dan cairan lolos meninggalkan aliran darah lewat celah endotel terutama pada venule.
Akibatnya, terjadi penurunan tekanan osmotik intravaskuler sehingga cairan semakin
banyak keluar dari sirkulasi mengikuti protein yang keluar ke jaringan interstitiel, dan
terjadilah edema lokal (tumor). Edema berarti banyak sekali cairan interstitiel, seolah-olah
jaringan kebanjiran, kondisi ini mempermudah distribusi semua sel-sel dan mediator
inflamasi di daerah inflamasi yang menggunakan cairan instersitiel sebagai jalan (ibarat
kanal-kanal lebar yang menelusuri sela-sela sel).

Pembekuan darah.

Oleh karena banyaknya protein dan diikuti cairan meninggalkan kapiler maka terjadilah
peninggian konsentrasi sel-sel dalam darah seperti eritrosit, leukosit, dan trombosit serta
konsentrasi faktor pembekuan dalam darah kapiler dengan akibat aliran menjadi lambat dan
gampang terjadi pembekuan darah. Pembekuan darah di daerah inflamasi dimaksudkan
untuk mencegah penyebaran patogen dari daerah inflamasi melewati aliran darah.

(masih perlu tambah ceritanya tentang mekanisme pembekuan darah)

Emigrasi leukosit

Maksud utama peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler adalah untuk
memfasilitasi leukosit (sel pertahanan yang berperan seperti tentara) agar bisa sampai di
daerah inflamasi sebagai tempat bertugas untuk eliminasi penyebab inflamasi, pembersihan
jaringan rusak dan pembangunan kembali jaringan baru (tissue repair and healing).

Peristiwa seluler yang menonjol dalam respon inflamasi adalah mobilisasi leukosit dari dalam
sirkulasi keluar ke jaringan untuk mengeliminasi agen pemicu inflamasi dan membersihkan
jaringan dari sisa-sisa kerusakan. Ada sederetan peristiwa penting menyangkut mobilisasi
leukosit yaitu marginasi, rolling dan perlekatan (adesi) pada sel endotel, keluarnya leukosit
lewat celah endotel (diapedesis) dan bergeraknya leukosit ke lokasi dimana berada pemicu
respon inflamasi misalnya patogen untuk melakukan kegiatan eliminasi agen pemicu
inflamasi (fagosistosis). Pada inflamasi akut, neutropil dan monosit merupakan leukosit yang
harus segera dimobilisasi ke jaringan yang mengalami inflamasi.

Pada pembuluh darah yang tidak berespon oleh picuan mediator inflamasi, sel-sel darah
mengalir dengan deras di bagian tengah aliran sehingga tidak berkontak dengan endotel. Pada
pembuluh darah yang berespon, pola aliran sel-sel darah berubah oleh adanya kongesti pada
microvascular dan naiknya viskositas darah akibat dari banyaknya cairan yang meninggalkan
kapiler masuk ke jaringan (edema) seperti telah diterangkan di atas. Apabila aliran darah
melambat maka sel-sel darah akan marginasi, walaupun terjadi marginasi sel-sel darah tetapi
yang mampu ditahan oleh sel endotel hanyalah leukosit karena adanya kesesuaian molekul
adesi antara endotel dan leukosit sehingga keduanya dapat berikatan. Sel leukosit yang
mengalami marginasi, akan berkontak dengan sel endotel melalui ikatan antara ligan selektin
pada sel leukosit dan reseptor P dan E selektin pada sel endotel. Ikatan dengan selektin inti
tidak begitu kuat dan masih bisa terlepas sehingga sel leukosit masih bergulir (rolling)
disepanjang permukaan endotel. Sel leukosit akan berhenti pada permukaan endotel setelah
leukosit berikatan dengan ICAM melalui integrin reseptor yang ada pada permukaan sel
leukosit. Ikatan antara ICAM dengan integrin yang aviditasnya lebih kuat daripada selektin
membuat leukosit berhenti mengalir. Leukosit yang berkontak dengan endotel berubah
bentuk dari bundar menjadi sedikit flat (pavementing of leucocytes) yang akan
memudahkannya lewat di celah sel endotel untuk keluar ke jaringan.

Peran endotel menghentikan neutrofil dan monosit yang beredar dalam aliran darah dapat
dilakukan karena sel endotel dapat menghasilkan molekul adesi yang memfasilitasi
perlekatan sel-sel neutrofil dan monosit dengan endotel seperti telah diterangkan diatas.
Ekspressi molekul adesi ini dipicu oleh sitokin yang dihasilkan oleh makrofag aktif (TNFα
dan IL-1) yang telah memfagositosis patogen lewat pengenalan PAMPS atau sisa-sisa
kerusakan jaringan lewat pengenalan DAMPs (lebih dijelaskan pada imunitas inet). Molekul
adesi endotel ini bisa berupa reseptor dari ligan yang ada di neutrofil atau monosit misalnya
selektin pada sel endotel dan ligan selektin pada neutrofil dan monosit. Atau bisa juga
sebaliknya yaitu reseptor ada di neutrofil dan monosit dan ligan ada di sel endotel misalnya
reseptor integrin pada neutrofil dan monosit sedangkan ligan integrin ada pada sel endotel.
(tabel ).

Leukosit dapat meninggalkan aliran darah disebabkan karena permeabilitas kapiler yang
meninggi sehingga leukosit dapat lewat di celah endotel dan selanjutnya melewati membrana
basalis pembuluh darah akibat kerja enzim yang mendegradasi membrana basalis. Emigrasi
(ekstravasasi) leukosit ini banyak terjadi di venulae dari pada di arterioe Hal ini mungkin
disebabkan oleh tingginya densitas reseptor pada vena dibanding arteriole.

Kemotaksis Leukosit
Setelah keluar dari pembuluh darah, leukosit dituntun oleh mediator kemotaksis menuju ke
tempat dimana ada sel injury atau ada agen penyebab inflamasi. Leukosit dapat bergerak
dengan tepat ke sasarannya (tidak kesasar) karena dituntun oleh suatu gradient kimiawi
dalam cairan interstitiel yang dibentuk oleh kemokin, debris bakteri dan jaringan, fragmen
protein dari aktifasi komplemen (C3a dan C5a) dan dari neutrofil sendiri (leukotrines, LTB4).
Kemokin adalah kemoatraktan paling penting, dihasilkan oleh berbagai sel imun misalnya
CXCL8 oleh makrofag, dan IL-8 oleh limfosit dan sejumlah sel non imun lainnya

Fase aktifasi leukosit dan fagositosis.

Setelah leukosit bertemu dengan agen penyebab inflamasi dan sisa-sisa jaringan mati maka
neutrofil dan makrofag akan aktif mengeliminasinya dengan cara yang sesuai dengan
mekanisme effektornya masing-masing.

Neutrofil merupakan fagosit yang paling cepat berada di daerah inflamasi (dalam 90 menit
setelah jejas). Neutrofil cepat sekali diproduksi oleh sum-sum tulang terutama jika pemicu
inflamasi adalah infeksi mikroba sehingga cepat meninggi jumlahnya dalam darah
(leukositosis). Kecepatan produksi ini diperlukan karena neutrofil cepat sekali mati, usianya
hanya sekitar 10 jam sehingga banyak neutrofil mati dalam jaringan inflamasi. Neutrofil,
jaringan dan patogen yang sama-sama mati membentuk pus (nanah).

Inti neutrofil terdiri dari 3-5 segmen sehingga disebut juga polymorphonuclear neutrophils
(PMN) atau segmented neutrophils. Sedangkan neutrofil yang baru dihasilkan sum-sum
tulang (neutrofil imatur) memiliki inti yang masih berbentuk batang. Di permukaaan neutrofil
terdapat sejumlah reseptor dan molekul lain yang masing masing berguna untuk menjalankan
fungsinya. Reseptor-reseptor itu adalah:

1. Toll like receptors (TLR) yang dapat mengikat komponen patogen (PAMPs) dan
tissue damage (DAMPS)
2. Mannose receptors (reseptor fagositosis) yang mengikat glikoprotein patogen
3. Reseptor sitokin dan kemokin
4. Molekul adesi (reseptor atau ligan) untuk berikatan dengan molekul adesi (reseptor
atau ligan) pada endotel
5. Reseptor komplemen (CR) untuk mengikat komplemen (C3b dan C5b) yang telah
melekat dipermukaan patogen (opsonisasi).
Neutrofil mengandung banyak granul dalam sitoplasma sehingga disebut juga granulocytes.
Granul mengandung enzim sebagai senjata utama neutrofil untuk menghancurkan mikroba
dan jaringan mati. Disamping itu neutrofil juga memiliki oxygen dependent metabolic
pathway yang menghasilkan toxic oxygen (hydrogen peroxide dan nitric oxide)

Tabel Molekul adesi utama leukosit-endotel


Reseptor Sel yang Ligan molekul Sel yang
molekul adesi mengekspressikan dan adesi mengekspressikan dan
stimulus ekspressinya stimulus ekspressinya
SELEKTIN
P-selektin Sel endotel, diaktifkan PSGL-1 neutrofil, monosit dan sel
(CD62P) oleh sitokin (TNFα dan IL- T (effektor dan memori)
1), histamin dan trombin
E-selektin Sel endotel, diaktifkan CLA-1; neutrofil, monosit dan sel
(CD62E) oleh sitokin (TNFα dan IL- T (efektor dan memori)
1)
L-selektin Neutrofil, monosit, sel T PNAd,CD34, sel endotel HEV.
(CD62L) (naif, efektor dan memori) MadCAM-1;
INTEGRIN
LFA-1 Neutrofil, monosit, sel T ICAM-1(CD54), sel endotel (dipicu oleh
(CD11aCD18) (naif, efektor dan memori) ICAM-2(CD102) sitokin)
Mac-1 Monosit dan sel dendritik ICAM-1(CD54), sel endotel (dipicu oleh
(CD11bCD18) ICAM-2(CD102) sitokin)
VLA-4 Monosit, sel T (naif, VCAM-1 sel endotel (dipicu oleh
(CD49aCD29) efektor dan memori) (CD106); sitokin)
Α4β7 Monosit, sel T (gut VCAM-1 sel endotel (dipicu oleh
(CD49dCD29) homing, naif, efektor dan (CD106), sitokin); sel endotel pada
memori) MadCAM-1; gastrointestinal dan
GALT.
CLA-1: cutaneous lymphocytes antigen 1; HEV: high endothelial venulae; ICAM:
intracellular adhesion molecule-1; LFA-1: leucocyte function-associated antigen-1;
MadCAM: mucosal addressin cell adhesion molecule ; PNAd: peripheral node addressin;
PSGL-1 (P-selectin glycoprotein ligand 1); VCAM-1:vascular cell adhesion molecule-1;
VLA-4: very late antigen-4

Eliminasi patogen atau sisa-sisa jaringan dilakukan oleh makrofag dan neutrofil melalui
beberapa fase yang akan dijelaskan dalam imunitas inet. Proses-proses itu bisa berakhir
dalam berbagai kemungkinan :

1. Eliminasi patogen atau sisa-sisa jaringan mati dan terjadi resolusi,


2. Pembentukan pus (suppurasi),
3. Eksudasi dan nekrosis yang bertambah hebat akan mengakibatkan terjadinya repair
dan organisasi jaringan yang tidak sepenuhnya oleh jaringan fungsional, tetapi
diganti oleh jaringan ikat (fibroplasia) sehingga terbentuk jaringan fibrosis,
4. Faktor penyebab inflamasi gagal dieliminasi dan berlanjut menjadi inflamasi kronik,
dan mengakibatkan terbentuknya jaringan fibrosis yang lebih luas.

Resolusi

Resolusi (penyembuhan) terjadi jika pada inflamasi hanya terjadi sedikit kematian sel dengan
kerusakan jaringan yang minimal, penyebab inflamasi dapat dieliminasi dengan cepat dan
kondisi daerah inflamasi memudahkan pembersihan jaringan inflamasi dari sisa-sisa cairan
dan debris. Proses resolusi terdiri atas penghancuran fibrin yang terbentuk oleh enzim
fibrinolyzin, fagositosis debris oleh makrofag, penarikan kembali cairan masuk ke aliran
limpe dan aliran darah, dan penghentian respon vaskuler (hiperemia dan peninggian
permeabilitas kapiler).

Suppurasi

Pembentukan pus (nanah) terutama terjadi pada infeksi bakteri piogenik. Jika pus banyak,
akan terkumpul membentuk abses dengan mikroba yang banyak didalamnya. Abses ini
menimbulkan pembengkakan, dikelilingi oleh daerah yang hiperemis dengan neutrofil yang
banyak disertai sedikit fibroblas.

Pengeluaran pus dapat terjadi melalui beberapa mekanisme:

1. Jika abses berada di permukaan tubuh misalnya di kulit maka epidermis akan menipis
pelan-pelan dan selanjutnya ruptur sehingga pus akan keluar dan abses akan menghilang.
Pada bekas jaringan yang mengalami abses akan terjadi fibrosis dengan akibat terbentuk
jaringan parut kecil.
2. Jika abses berada di bagian dalam tubuh dan pusnya cuma sedikit, pus dapat dihilangkan
oleh proses absorpsi masuk ke dalam darah. Tetapi jika pusnya banyak maka terjadi
kalsifikasi dengan pembentukan jaringan ikat yang banyak.
3. Jika abses berada di bagian dalam tubuh dan berlangsung kronik maka dapat terbentuk
sinus yang meluas menuju ke permukaan dan jika sudah tembus ke permukaan berarti
sudah terbentuk saluran (fistel) dari abses ke permukaan tubuh untuk membuang pus.

Organisasi dan fibrosis


Jika pembentukan eksudat banyak dan kondisi setempat sulit untuk membuang sisa eksudat
dan debris, akan terjadi proses organisasi jaringan. Organisasi jaringan ini sebenarnya upaya
tubuh untuk penyembuhan jaringan dengan membangun vaskularisasi baru (angiogenesis)
yang memasuki gumpalan eksudat, agar eksudat bisa diabsorbsi semua. Pada inflamasi
akibat dari iskemia oleh trombus, angiogenesis ini akan menembus trombus sehingga terjadi
rekanalisasi dalam trombus dan aliran darah bisa masuk daerah iskemik. Makrofag akan
memicu proliferasi fibroblast melalui sitokin fibroblast growth factor (FGF) dan sejumlah
sitokin lain sehingga pada daerah inflamasi terbentuk jaringan fibrosis.

INFLAMASI KRONIK

Inflamasi kronik timbul bisa berasal dari inflamasi akut yang tidak sembuh atau memang dari
awal sudah inflamasi kronik (tidak diawali inflamasi akut), misalnya inflamasi kronik yang
terjadi pada jaringan lemak. Inflamasi akut yang tidak sembuh-sembuh biasanya disebabkan
oleh antara lain:

1. Gagalnya neutrofil mengeliminasi patogen


2. Ada benda asing
3. Penyakit otoimun
4. Kondisi yang tak jelas penyebabnya

Perubahan utama pada inflamasi kronik adalah berkaitan dengan perubahan respon imun dari
imunitas innet menjadi imunitas adaptif sehingga tidak ditemukan lagi neutrofil, diganti oleh
limfosit dan sel plasma. Makrofag tetap berfungsi terutama untuk membuang sisa jaringan
dan neutrofil yang mati dan sering membentuk formasi khas mengelilingi patogen atau benda
asing penyebab inflamasi yang disebut granuloma. Makrofag juga bisa “bersatu” membentuk
satu sel besar dengan inti yang banyak yang disebut “Giant cell”. Sinus dan fistel dapat juga
terbentuk pada inflamasi kronik untuk membuang jaringan nekrotik. Jika peradangan kronik
mengenai jaringan di permukaan misalnya kulit atau saluran cerna dapat terjadi kelainan yang
disebut ulkus, yaitu hilangnya sebagian jaringan dimana pada dasar ulkus ditemukan jaringan
granulasi yang terdiri atas sel-sel radang kronik, fibrin dan pembuluh darah baru. Respon
vaskuler bukan lagi vasodilatasi saja tetapi sudah terjadi pembentukan pembuluh darah baru
(angiogenesis), sehingga pada inflamasi kronik ditemukan proses angiogenesis dan
pembentukan jaringan ikat yang hebat dan berakhir dengan terbentuknya jaringan fibrosis
yang prominen.
Inflamasi (radang) akut Inflamasi (radang) kronik
Perlangsungan Singkat (jam-hari) Lama (hari-tahun)
Edema Hebat (transudat dan Tak begitu hebat (eksudat)
eksudat)
Respon vaskuler Vasokonstriksi sejenak Angiogenesis (proliferasi
disusul vasodilatasi pembuluh darah)
Sel-sel effektor utama Neutrofil dan makrofag Limfosit dan makrofag
Fibrosis sedikit banyak

MEDIATOR INFLAMASI

Histamin

Histamin dihasilkan oleh sel mast, basofil, trombosit serta jaringan penunjang pada stroma
terutama yang ada di sekitar pembuluh darah. Histamin berfungsi sebagai mediator utama
dan cepat dari respon vaskuler inflamasi yaitu menimbulkan vasodilatasi kapiler setempat
dan kontraksi otot polos (otot polos saluran nafas dan usus). Histamin sudah ada dalam
granul sel mast dan basofil yang akan dilepas (degranulasi) jika ada rangsangan untuk itu. Sel
mast sebagai penghasil utama histamin, berada banyak di sekitar pembuluh darah dan di
bawah epitel, menerima picuan dari mikroba karena sel mast mengekspressikan TLR yang
dapat mengikat berbagai ligan (PAMPs) pada patogen sebagai awal dari imuntas inet.
Selanjutnya pada fase imunitas adaptif, sel mast akan dipicu oleh IgE untuk melepaskan
granulnya. (dibahas dalam aktifasi sel B).

Serotonin.

Lisozim.

Lisozim adalah proteolytic enzyme yang ada dalam lisosom. Sel fagosit (neutrofil dan
makrofag) memiliki banyak lisosom dibanding dengan sel lainnya, karena akan dipakai
mendegradasi mikroba yang difagositosisnya. Patogen yang sudah difagositosis berada dalam
vakuol bernama fagosom, vakuol ini akan menyatu dengan lisosom membentuk fagolisosom.
Di dalam fagolisosom inilah lisozim mendegradasi patogen sehingga patogen mati dan
menjadi fragmen-fragmen peptida (siap jadi antigen untuk diperkenalkan ke sel T naif).

Prostaglandin D2

Prostaglandin D2 dihasilkan oleh sel mast, basofil, eosinofil dan makrofag yang berfungsi
untuk memicu vasodilatasi dan kontraksi otot polos bronkus (bronchoconstriction) serta
sebagai kemotaksis neutrofil, monosit dan eosinofil. Prostaglandin D2 berasal dari asam
arakhidonik, unsaturated fatty acid yang ada pada membran sel, yang berasal dari hidrolisis
fosfolipid membran oleh enzim fosfolipase A2 (PLA2). Bila bebas dari membran, maka
asam lemak ini akan mengalami berbagai reaksi dengan hasil terbentuknya eicosanoid family
yaitu prostaglandin dan leukotrin. Prostaglandine D2 merupakan produk utama berasal dari
jalur siklooksigenase sedangkan leukotrin berasal dari jalur lipoksigenase dari sintesa
eicosanoid.

Leukotrin

Leukotrin terdiri atas LTC4 dan degradasi dari LTC4 yaitu LTD4 dan LTE4. Leukotrin
dihasilkan oleh sel mast, basofil, eosinofil dan makrofag yang berfungsi untuk memicu
vasodilatasi dan kontraksi otot polos bronkus (bronchoconstriction) serta berperan sebagai
kemotaksis neutrofil, monosit dan eosinofil. Karena leukotrin ini memicu pelan-pelan
terjadinya kontraksi bronkus tetapi berlangsung terus menerus, maka disebut juga Slow-
reacting substance of anaphylaxis, (SRS-A). Oleh karena karakteristik sifatnya ini, maka
leukotrin merupakan mediator yang berperan utama dalam timbulnya asma bronkiale.

Platelet-activating factor (PAF)

PAF dihasilkan oleh sel mast, basofil dan endotel yang berfungsi untuk memicu vasodilatasi
kapiler, agregasi trombosit, aktifasi dan kemotaksis leukosit. PAF berasal dari asilasi
lysoglyceryl ester phosphorylcholine yaitu derivat dari hidrolisis fosfolipid membran oleh
PLA2. PAF sangat terbatas aksinya karena bersifat hidrofobik dan cepat sekali dirusak oleh
enzim PAF hydrolase yang ada dalam plasma.
Bradikinin.

Bradikinin merupakan vasoaktif amin seperti histamin yang menyebabkan vasodilatasi dan
peninggian permeabilitas kapiler. Bradikinin berasal dari aktifasi protein plasma bernama
kininogens oleh enzim kallikreins. Kininogens diproduksi oleh hati bersama dengan mediator
inflamasi lain seperti komplemen dan C-reactive protein. Bradikinin cepat dirusak oleh
enzim kininase sehinga aksinya sangat singkat, jika ada bradikinin yang lolos dari kininase
akan dirusak di paru oleh angiotensin-converting enzymes.

Komplemen C3a dan C5a.

Komplemen yang terdiri atas C1,C2,C3,C4,C5,C6,C7,C8 dan C9 diproduksi oleh hati untuk
membangun sistem komplemen melalui aktifasi enzimatik. Aktifasi komplemen melahirkan
berbagai molekul yang dapat berperan dalam eliminasi patogen seperti opsonisasi patogen,
perusakan membran patogen dan pemicuan inflamasi. Komplemen yang berperan pada
proses inflamasi adalah C3a dan C5a yang berfungsi sebagai kemoatraktan neutrofil dan
makrofag. Peptida ini merupakan produk aktifasi komplemen yang berasal dari cleavage C3
menjadi C3a dan C3b oleh convertase C3, dan cleavage C5 menjadi C5a dan C5b oleh
convertase C5.

IL-1 dan TNFα

Kedua sitokin ini berfungsi untuk memicu ekspresi molekul adesi, sitokin lain dan kemokin
oleh sel endotel, agar sel-sel leukosit dapat dihentikan dan migrasi ke jaringan yang ada
infeksi atau pemicu lain inflamasi (misalnya jaringan rusak). Penghasil utama kedua sitokin
ini adalah makrofag yang sudah teraktifasi (sudah mengenal adanya patogen atau pemicu
inflamasi lainnya). Khusus TNFα, diproduksi juga oleh sel mast yang sudah teraktifasi.
Bahkan dilaporkan adanya sel-sel lain yang juga bisa menghasilkan kedua sitokin ini seperti
sel endotel, sel epitel dan neutrofil.

Tabel Mediator Inflamasi, sumber dan fungsi


Mediator Inflamasi Sumber Fungsi
Histamin Sel mast,basofil , Peningkatan permeabilitas kapiler dan
trombosit dan jaringan kontraksi otot polos.
penunjang
Serotonin Trombosit
Prostaglandin D2 Sel mast, basofil, dan Vasodilatasi, bronchoconstriction dan
makrofag. kemotaksis neutropil, monosit dan eosinofil.
Leukotrin C4,D4,E4. Sel mast, basofil, bronchoconstriction yang lama, peningkatan
(Slow-reacting eosinofil dan permeabilitas kapiler, sekresi mukus,
substance of makrofag. sintesa molekul adesi endotel dan
anaphylaxis, SRS-A) kemotaksis neutrofil, monosit dan eosinofil.
Platelet-activating Sel mast, basofil dan bronchoconstriction , peningkatan
factor sel endotel permeabilitas kapiler, vasodilatasi kapiler,
agregasi trombosit, kemotaksis dan aktifasi
leukosit.
Bradikinin Aktifasi sistem kinin Vasodilatasi,
(protein plasma asal Peninggian permeabilitas kapiler
hati )
Komplemen (C3a dan Aktifasi sistem Kemoatraktan neutrofil dan makrofag.
C5a) komplemen (protein
plasma asal hati)
IL-1 Makropag Memicu ekspresi molekul adesi endotel
TNFα Makropag dan sel Memicu ekspresi molekul adesi endotel
mast
Interferon γ (INFγ) Sel NK dan Th1 Memicu aktifasi makrofag
IL-12 Makrofag Memicu aktifasi sel NK
IL-3 Sel mast, basofil dan Proliferasi sel mast,
eosinofil Produksi dan aktifasi eosinofil
IL-5 Sel mast, basofil dan Produksi dan aktifasi eosinofil
eosinofil
IL-4 dan IL-13 Sel mast, basofil dan Sekresi mukus
eosinofil
IL-8 ,IL-10,RANTES, eosinofil Kemotaksis leukosit
MIP-1α dan eotaxin
Kemokin (?) Kemoatraktan neutrofil dan makrofag
Faktor pembekuan Endotel, protein Pembekuan darah agar mikroba tak
plasma asal hati menyebar
Nitrix Oxide dan ROS Makrofag , neutrofil Relaksasi otot polos,
dan endotel Menghambat aksi trombosit

Interferon γ (INFγ).

INFγ merupakan sitokin proinflamasi yang sangat penting. Sitokin ini berfungsi
memperhebat aktifasi makrofag yang sudah mengenal (teraktifkan) oleh patogen atau
penyebab inflamasi lainnya. Picuan INFγ akan meningkatkan kegiatan fagositosis dan
penghancuran patogen atau penyebab inflamasi lainnya yang telah difagosistosisnya. Pada
waktu masih imunitas innet, sumber INFγ adalah sel NK yang telah mengenal juga kehadiran
patogen, sedangkan pada saat imunitas adaptif sudah bekerja, maka sumber INFγ yang lain
adalah sel Th-1.

Interleukin 12.

Sitokin ini berfungsi untuk memperkuat aktifasi sel NK untuk membunuh sel yang sudah
terinfeksi (berisi patogen intraseluler). IL-12 dihasilkan oleh makrofag yang sudah
teraktifkan. IL-12 dan INFγ merupakan contoh yang baik dimana dua sel yang berperan
dalam respon imun saling berkomunikasi dan saling membantu dalam menjalankan tugas
masing-masing. Seolah-olah makrofag mengirimkan IL-12 ke sel NK sebagai jawaban atas
kiriman INFγ dari sel NK demikian juga sebaliknya.

IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13.

Sitokin-sitokin ini dihasilkan oleh sel mast, basofil dan eosinofil yang berfungsi untuk
proliferasi sel mast (IL-3), produksi dan aktifasi eosinofil ( IL-3 dan IL-5) dan sekresi mukus
(IL-4 dan IL-13). Sitokin-sitokin ini menonjol perannya dalam respon inflamasi yang
inisiator utamanya adalah sel mast misalnya pada reaksi alergi.

IL-8 ,IL-10,RANTES, MIP-1α dan eotaxin

Sitokin-sitokin ini dihasilkan oleh eosinofil yang berfungsi untuk kemotaksis leukosit
terutama fase lanjut inflamasi pada reaksi allergi.

BAB 5

PENGEMBANGAN LIMFOSIT UNTUK IMUNITAS ADAPTIF

Apa itu imunitas adaptif?


Respon imunitas adaptif adalah lapisan pertahanan berikutnya setelah imunitas inet yang
diperankan oleh Limfosit T (sel T) dan limfosit B (sel B) untuk eliminasi antigen. Sistem
pengenalannya lebih hebat daripada imunitas inet karena imunitas adaptif bisa membedakan
satu mikroorganisme dari yang lainnya sehingga respon lebih fokus dan lebih kuat
kemampuan eliminasinya dibanding imunitas inet. Hal ini bisa terjadi karena reseptor antigen
imunitas adaptif sangat spesifik terhadap antigen tertentu, yang membuat imunitas adaptif
bisa mengenal molekul yang berbeda antara patogen satu dengan lainnya, bahkan dalam satu
patogen yang sama bisa dikenal berbagai antigen yang berbeda.

Berbeda dengan imunitas inet yang ada pada manusia, binatang dan tumbuhan, imunitas
adaptif hanya ada manusia dan hewan kelompok vertebra. Imunitas adaptif memiliki
keistimewaan berupa kemampuan bertahan dalam jangka waktu yang lama untuk
mengantisipasi (bereaksi lebih cepat dan lebif kuat) pada kedatangan lagi dari patogen yang
sama (karena ada memori), yang tidak ditemukan pada imunitas inet.

Strategi pengenalan antigen berbeda dengan imunitas inet. Pada imunitas adaptif pengenalan
patogen menggunakan reseptor sel B berupa Ig M dan IgD dan reseptor sel T yang disebut T
Cell Receptor (TCR). Reseptor-reseptor ini dibuat dalam jumlah banyak dengan variasi
spesifitas yang banyak sekali untuk mengantisipasi kedatangan berbagai antigen (antigen
repertoar).

Apa itu imunitas humoral dan imunitas seluler?

Imunitas adaptif terbagi dua yaitu imunitas humoral yang diperankan oleh sel B dan imunitas
seluler yang diperankan oleh sel T. Pembagian ini didasarkan atas tempat bekerjanya
mekanisme efektor dari respon imun. Jika efektif mengeliminasi patogen yang masih berada
di dalam lingkungan cairan (humour) seperti darah, cairan limfe dan cairan antar sel (mikroba
ekstraseluler) maka disebut imunitas humoral sedangkan yang mekanisme efektornya bekerja
pada sel yang didalamnya terdapat mikroba (mikroba intraseluler) maka disebut imunitas
seluler. Nama lain dari imunitas seluler adalah Cell Mediated Immunity (CMI) karena
mekanisme efektornya berlangsung atas mediasi sel yang akan menjadi target serangannya
(sel yang mengandung patogen didalamnya).

Jika diumpamakan seperti pertahanan negara maka imunitas humoral yang diperankan oleh
antibodi adalah tentara angkatan laut yang mengenal dan menangkap musuh yang masih ada
di perairan (antigen ekstraseluler) atau pinggir pantai (antigen dipermukaan sel), sedangkan
imunitas seluler adalah tentara angkatan darat yang mengenal dan membunuh musuh yang
sudah ada di daratan (antigen intraseluler). Yang tampaknya menjadi wilayah kerja yang
dapat dicapai oleh keduanya adalah antigen yang berada di permukaan sel yang menjadi
petanda bagi imunitas seluler bahwa di dalam sel itu ada patogen. Petanda ini diekspresikan
oleh sel bersangkutan (CMI) dan karena itu ia diserang oleh imunitas seluler. Petanda
(antigen) di permukaan sel ini dapat dicapai oleh antibodi karena sebenarnya dia berada
dalam lingkungan cair (cairan antar sel). Imunitas seluler tak mengenal antigen yang
ekstraseluler, dengan kata lain walaupun sel T berenang berdampingan dengan patogen di
darah ataupun di cairan ekstraseluler, tak akan dikenalnya (bukan urusannya). Perlu juga
diketahui bahwa imunitas humoral dimiliki juga oleh imunitas inet misalnya komplemen.

Bagaimana persiapan sel untuk dapat memerankan imunitas adaptif?

Pemain utama dalam imunitas adaptif adalah sel limfosit. Limfosit B (sel B) disiapkan untuk
memerankan imunitas humoral sedangkan limfosit T (sel T) untuk imunitas seluler (cell
mediated immunity). Persiapan yang dimaksud adalah pengembangan limfosit (proses
maturasi limfosit) yaitu proses differensiasi progenitors limfosit (B dan T) di organ limfoid
sentral (sum-sum tulang dan timus) dari kondisi belum bisa mengenal antigen menjadi
limfosit matur yang sudah bisa mengenal antigen, baru dipindahkan “bermukim” (homing)
di organ limfoid perifer (limfonodus, limpa dan jaringan limfoid lainnya).

Dari Pluripotent Hematopoieitic Stem Cells (HSC) berkembang berbagai progenitors untuk
berbagai tipe sel darah, salah satu diantaranya adalah common lymphoid progenitor (CLP)
yang akan menjadi limfosit B, limfosit T dan Sel NK. Limposit B dan T harus disiapkan
(disekolahkan) agar memiliki kompetensi sesuai tuntutan tugasnya masing-masing pada
imunitas adaptif. Keduanya memang lahir di sum-sum tulang sebagai cikal bakal (stem cell)
sel T maupun sel B. Perbedaannya adalah sel B tetap dididik di sum-sum tulang sedangkan
sel T pergi dididik di timus (sehingga disebut sel T). Kompetensi pokok yang harus
dimilikinya adalah mampu mengenal antigen asing yang kemungkinan akan menyerang host
(inang) tempat ia bertugas, sehingga kurikulum dalam “sekolah” sum-sum tulang dan timus
itu adalah kemampuan membuat reseptor (penangkap) antigen asing. Pembuatan reseptor
dilakukan melalui rearrangement (rekombinasi) sejumlah gen yang menghasilkan molekul
reseptor antigen dengan spesifitas yang berbeda. Penilaian tentang kemampuan untuk dapat
bertugas dalam imunitas adaptif didasarkan pada hasil pengujian (seleksi) reseptor penangkap
antigen asing yang mereka harus buat selama proses pendidikan (mereka lulus atau tidak
lulus tergantung pada hasil seleksi yang dilakukan terhadap reseptor yang dibuatnya).

Sebagaimana diketahui bahwa stem cells dimana saja akan berkembang (berdifferensiasi)
menjadi sel dewasa apa saja, tergantung di jaringan mana dia di kembangkan dan penentu
arah differensiasi ini ada di dalam stroma dari tiap jaringan . Stroma bukanlah sekedar
jaringan penunjang, tetapi dia seperti departemen penyiapan sumber daya sel yang
melaksanakan program pendidikan dan pelatihan agar regenerasi sel fungsional pada suatu
organ atau jaringan dapat berlangsung terus menerus. Hal yang sama terjadi juga pada sum-
sum tulang dan timus. Perumpamaannya sum-sum tulang dan timus seperti Fakultas yang
mendidik mahasiswa (stem cells) menjadi sel dewasa yang spesifik untuk fakultas itu
(Fakultas Sum-Sum Tulang menghasilkan sel B dewasa, Fakultas Timus menghasilkan sel T
dewasa), semua alumni ini tidak bekerja di Fakultas tetapi dikirim ke organ limfoid perifer
menunggu pekerjaan (kedatangan antigen yang spesifik untuknya).

Baik sum-sum tulang maupun timus sebagai lembaga pendidikan harus terus menerus
menghasilkan sejumlah sel B maupun sel T yang dapat siap menghadapi jutaan antigen asing
yang berpeluang menyerang manusia sehingga keduanya disebut organ limfoid primer.
Keduanya tidak dapat berfungsi sebagaimana organ limpoid perifer (limfonodus, limpa dan
organ limfoid subepitelial) yaitu menjalankan fungsi efektor dari respon imun, itulah
sebabnya maka organ limfoid primer tidak dilewati aliran limfe.

Satu sel B atau sel T hanya disiapkan untuk bisa mengenal satu jenis antigen, sedangkan satu
jenis antigen asing itu bisa menyerang tubuh dari berbagai tempat (kulit, saluran cerna,
saluran nafas, saluran urogenetalia, dll). Berdasarkan kondisi ini, maka satu jenis antigen
asing harus dijaga kedatangannya oleh banyak jumlah sel T dan sel B yang menunggu
antigen asing itu di berbagai tempat. Olehnya itu sum-sum tulang dan timus harus
menghasilkan alumni yang banyak untuk sel T atau sel B yang memiliki spesifikasi reseptor
yang sama untuk antigen asing tertentu (disebut satu clone) untuk disebar di berbagai tempat
jaga di seluruh tubuh yaitu pada satu limpa dan lebih dari 500 limfonodus dan banyak sekali
jaringan limpoid subepitelial. Jadi pengembangan limfosit harus menghasilkan suatu
keterpaduan semua alumni untuk menyediakan koleksi macam-macam spesifitas reseptor
antigen yang diekspresikan sel B dan sel T, yang disebut immune repertoire. Diperkirakan
100.000.000 atau lebih clones per individu, dimana satu clone sel B atau sel T berarti
reseptornya sama untuk satu jenis antigen, berarti tubuh siap mengantisipasi kedatangan
100.000.000 jenis antigen yang berbeda.

Bagaimana jutaan antigen reseptor berbeda bisa dibuat dari germ line genome yang
jumlahnya sedikit ?

Banyaknya koleksi reseptor antigen (antigen repertoire) pada imunitas adaptif ini
dimungkinkan karena pembuatan reseptor antigen tidak sama lagi waktu imunitas innet
(TLR dkk) dimana reseptor antigen dikode oleh germ line gene sehingga variasinya terbatas.
Pada pembuatan reseptor antigen untuk immunitas adaptif tejadi melalui somatic
recombination dimana terjadi penataan ulang (rearrengement) germ line genes dari gen
reseptor antigens dalam limfosit B dan T (tidak sesuai lagi dengan “one gene-one
polypeptide hypothesis”). Germ line locus terdiri atas lokus dari Ig heavy chain, Ig қ light
chain , Ig λ light chain,TCR β chain, TCR α(VJ) and δ chain, dan TCR γ chain. Penataan
ulang germ line genes ini adalah kunci (kurikulum utama) dari program pengembangan
(maturasi ) limfosit untuk menghasilkan reseptor antigen yang luas, sehingga diperoleh
variasi reseptor antigen yang sangat besar yang dimiliki oleh seluruh sel-sel limfosit dewasa.
Rearrangement atau sering juga disebut rekombinasi adalah germ line genes yang sedikit itu
ditata atau dibuat kombinasi lain sehingga menghasilkan polipeptida berupa reseptor antigen
yang berbeda. Karena germ line gene itu dikelompokkan dalam V (Variable), D (Diversity)
dan J (Joining) genes sehingga proses rekombinasi ini disebut V(D)J dan VJ recombination.
Jadi germ line genes direkombinasi secara random untuk menjadi “recombined DNA
sequence dan kemudian menjadi “mRNA” yang akan mengekspressikan reseptor antigen
yang berbeda-beda.

Segmen V(D)J dari germ line genes adalah Ig heavy chain, TCR β chain, and TCR δ chain.
Segmen VJ pada germ line genes adalah Ig қ light chain , Ig λ light chain, TCR α dan TCR γ
chain.(tak ada segmen D). (Tabel )

Somatic Recombination dari germ line genes dapat berlangsung karena dimediasi oleh
kompleks enzim termasuk RAG-1 dan RAG-2. Somatic Recombination berlangsung melalui
2 cara yaitu :

1. Mulai dengan terjadinya join segmen J dan D (untuk yg punya D), disusul dengan
join segmen V pada rekombinasi JD.
2. Atau langsung terjadi join segmen V ke segmen J pada lokus lain.
Sebagai perumpamaan adalah rekombinasi yang dilakukan oleh polisi untuk membuat nomor
polisi kendaraan bermotor yang sepertinya tak terbatas jumlahnya dengan hanya bermodalkan
dua “germ line genes” yaitu angka (9 genes) dan huruf (26 genes) dimana polisi berperan
seperti mediator enzim RAG1 dan RAG2.

Rekombinasi V(D)J

Germline genes tidak ditranskripsi langsung menjadi mRNA yang mengkode pembentukan
reseptor antigen pada sel B atau sel T. Gen-gen tersebut harus ditata ulang untuk membentuk
kombinasi baru (rekombinasi) dengan memilih secara random dari segmen germline genes
V, D(jika ada dan jika dipilih) dan J. Dengan demikian proses rekombinasi V(D)J pada
lokus mana saja dari Ig atau TCR adalah pemilihan satu gen V, satu gen D (jika ada dan jika
dipilih) dan satu gen J pada tiap limfosit untuk dikombinasi ulang sehingga secara bersama-
sama menyusun satu ekson V(D)J tunggal yang akan mengkode suatu protein yang
berfungsi sebagai reseptor antigen pada “variable region” dari Ig dan TCR (lihat struktur Ig
dan TCR). Jika tak ada D, maka ekson baru itu akan terdiri dari satu gen V dan satu
gen J yang masing-masing dipilih secara random juga. Jika ada gen D (pada lokus
IgH,TCRβ,dan δTCR) maka rekombinasi V(D)J pada lokus ini harus dimulai dengan
penyatuan D ke J ( membentuk DJ) disusul dengan penyatuan V ke DJ.

Locus Chromo Genes


some Constan Joining Diver- Variable Leader enhan Numb
region sity cer, er
sil of
genes
H chain 14 Cµ,Cδ,Cγ1- JH DH VH L Henh ≥234
(1250kb) 4,Cα1-2) (1-6) (1-23) (1-100) (1-100) (1-2)
к chain 2 CК JК none VК LК Кenh ≥74
(1820kb) (1-5) (1-5) (1-35) (1-35) (1-2)
λ chain 22 Cλ1-3,Cλ7 Jλ(1-3), none Vλ Lλ λenh ≥65
(1050kb) Jλ7 (1-30) (1-30)

TCRβ 7 Cβ(1-2) Jβ Dβ Vβ Lβ Βenh ≥108


chain (620kb) (1-2) (1-2) (1-50) (1-50) β sil
TCRα 14 Cα Jα Dα Vα Lα αenh ≥148
chain (1000kb) (1-55) (none) (1-45), (1-45), αsil

TCRδ 14 Cδ Jδ Dδ Vδ Vδ δenh ≥10


chain (1000kb) (?) (1-3) (2-3) (2-3)
TCRγ 7 Cγ(1-2) Jγ none Vγ(1-5) Lγ(1-5) γenh ≥16
chain (200kb) (1-2) γsil

Faktor yang mempengaruhi terjadinya proses rekombinasi:

1. Recombination Signal Sequences (RSSs) .


RSSs adalah faktor spesifik limfosit yang penting untuk rekombinasi sequence DNA.
Faktor ini berada berdekatan pada arah 3’ dari tiap gen V, arah 5’ dari tiap segmen gen J
dan berderetan dgn segmen gen D pada kedua sisi. Pada rekombinasi sequence DNA
diperlukan pemutusan untaian DNA agar DNA bisa disambung dgn sequence DNA
lainnya untuk membentuk Coding DNA baru. Nampaknya RSSs ini berperan untuk
pemutusan itu dan sekaligus untuk penyambungan kembali DNA yang tidak diinginkan
dalam rekombinasi ini. (TAMBAH BAHASAN TENTANG JOIN VDJ< NOT VV or
JJ)
2. Recombination-activating enzymes
Pada proses rekombinasi, diperlukan sejumlah enzim yang berperan untuk mendekatkan
DNA yang akan direkombinasi (synapsis), memotong untaian DNA (cleavage) dan
menyambung kembali (ligasi). Salah satu diantaranya adalah Recombination-activating
enzymes yang disandi oleh lymphoid specific gene, yaitu Rag-1 dan Rag2 (Rag,
Recombination-activating gene).

Tabel Kontribusi berbagai mekanisme dalam melahirkan diversitas reseptor


antigen
Mekanisme Imunoglobulin TCRαβ TCRλδ
H Κ λ α β λ δ
Segmen Variable (V) 45 35 30 45 50 5 2
genes
Segmen Diversity (D) 23 0 0 0 2 0 3
genes
Dibaca jarang sering sering
Diversifikasi regio N V-D, No None V-J V-D, V- V-D1,
D-J ne D-J J D1-D2,
D1-J
Segmen Joining (J) 6 5 4 55 12 5 4
Potensi diversitas
reseptor antigen
Combinational diversity ~106 ~106
Junctional diversity
Total diversity ~107 ~1011
~1013 ~1018

Real diversity ~107

3. Pembukaan kromatin
Kromatin harus terbuka pada kromosom dimana gen yang akan direkombinasi berada,
gunanya agar enzim dapat mencapai segmen gen bersangkutan untuk memediasi
rekombinasi (agar mesin rekombinasi dapat berjalan).

Langkah berurutan rekombinasi V(D)J.

1. Sinapsis
Kedua segmen gen yang terpilih yang letaknya berjauhan dipindahkan agar saling
berdekatan. Ini dikerjakan oleh 2 kompleks Rag-1 dan Rag-2 yang masingmasing
mengikat RSS didekat kedua gen yang akan direkombinasi (coding gene). Kemudian
kedua kompleks Rag ini saling melekat sehingga untaian DNA membentuk lingkaran
yang disebut chromosomal loop (seperti tali yang disimpul sehingga membentuk
lingkaran).

2. Cleavage
Setelah kedua coding gene berjajaran maka enzim Rag tadi sebagai endonuklease
memotong phosphodiester bond dari backbone DNA membentuk 3 ‘-hidroxyl group
persis diantara coding gene dengan RSS. 3 ‘-hidroxyl baru ini akan bereaksi dengan
phosphodiester bone dari strand DNA disebelahnya membentuk 5’-phosphorylated
DNA blunt ends pada sequence heptamer RSS (disebut signal end ) dan satu hairpin
(bentuk tusuk kondek) pada ujung coding gene (disebut coding end). Jadi potongan
DNA oleh Rag meninggalkan empat ujung yaitu dua coding end dan dua signal
end, dimana kedua coding end akan disambung demikian juga kedua signal end.
3. Joining
Penyambungan kedua coding end untuk membentuk kombinasi coding gene baru,
memerlukan penanganan khusus seperti:
a. Hairpin yang ada pada kedua coding end akan menghalangi (menutup)
penyambungan sehingga harus dipotong (dibuka) yang dilaksanakan oleh
enzim artemis: DNA-PK (disebut hairpin opening).
b. Pada waktu pemotongan hairpin maka ujung dari kedua strand DNA tidak
sama panjang karena pemotongan nukleotida tidak sejajar. Nukleotida yang
terpotong pada rantai yang satu pindah ke rantai komplemennya, sehingga
tidak lagi berkomplementer (tidak mempunyai pasangan). Dengan demikian
strand yang satu lebih pendek dari strand yang lainnya. Olehnya itu, harus
ditambah nukleotida (P nukleotida) pada strand DNA yang pendek agar
DNA menjadi komplementer/ berpasangan kembali yang berlangsung secara
templated manner, sehingga kedua strand DNA sama panjang kembali.
c. Setelah kedua strand DNA sama panjang pada kedua coding end maka
ditambahkan lagi N nukleotida (non templated manner) untuk
menghubungkan kedua coding end sehingga terbentuklah coding gene baru.
Penambahan N nukleotida ini dilaksanakan oleh enzim TdT
(terminaldeoxynucleotidyl transferase).
d. Jika ada kelebihan nukleotida maka akan dibuang oleh enzim eksonuklease,
dan jika ada gap DNA dilakukan sintesa DNA .
e. Terakhir dilakukan ligasi sesuai proses perbaikan kerusakan double stranded
DNA sebagaimana ditemukan pada sel-sel lain.

Dengan selesainya ligasi maka selesailah coding joint dan terbentuklah coding gene baru
yaitu gen reseptor antigen yang unik (clonally) yang dapat di transkripsi menjadi ekson
V(D)J. (rearranged V(D)J exon). Rearranged exon ini akan ditranskripsi membentuk suatu
primary (nuclear) RNA transcript. Selanjutnya terjadi RNA splicing untuk membawa ekson
VDJ, ekson C dan ekson L membentuk mRNA yang dapat ditranslate pada membrane-bound
ribosome untuk menghasilkan satu rantai dari reseptor antigen (gambar 8-11). Pelepasan dan
penambahan nukleotida pada proses rekombinasi diatas menyumbang paling besar dalam
menciptakan diversifitas yang luas reseptor antigen. (gambar 8-9)
Peran sel B adalah menghasilkan antibodi yang merupakan reseptor solubel antigen asing
yang bertugas di lingkungan cair (humour) untuk mencari antigen asing, sehingga sel B
hanya mempunyai satu kompetensi saja yaitu mengenal antigen asing (single competency).
Berbeda dengan sel B, sel T bertugas mengenal antigen asing yang bukan berada di
lingkungan cair tetapi mengenal antigen asing yang ada dalam sel. Sel T tidak ditugaskan
mengenal antigen asing yang ada dalam darah atau cairan antar sel. Sel T harus mengenal
musuh (antigen asing) yang sudah berhasil masuk ke sel (mikroba intraseluler), berarti dia
harus mengenal sel self (sel yang dimasuki antigen asing) melalui pengenalan MHC self dan
mengenal antigen asing yang ada dalam sel self yang terinfeksi (double competencies).

Sel B dan sel T diharuskan mengenal antigen asing padahal di sekolah mereka (sum-sum
tulang dan timus) tak ada antigen asing untuk menguji kemampuan pengenalan mereka, yang
ada cuma antigen sendiri yang tidak boleh dikenalnya (dalam respon imun, kenal berarti
bunuh, bukan kenal berarti teman). Kurikulum yang harus dijalaninya adalah kemampuan
membuat reseptor antigen asing yaitu IgM dan IgD untuk sel B dan Tcell receptor (TCR αβ
dan TCRγδ) untuk sel T. Rearrangement gen utk pembuatan reseptor sel B terjadi di sum-
sum tulang dan pembuatan reseptor sel T di timus, tidak dipengaruhi oleh adanya antigen
(asing). Jadi reseptor antigen dibuat sebelum antigen (asing) datang (Clonal selection
hypothesis).

Sel-sel limfosit yang sedang sekolah di timus atau sum sum tulang, jika tidak mampu
membuat reseptor, maka tidak akan mendapatkan survival signal, sehingga sel mati (drops
out). Hal ini disebabkan karena reseptor yang terbentuk, baik masih dalam bentuk pre-
antigen receptors (belum lengkap) maupun sudah dalam bentuk antigen receptor (sudah
lengkap), akan menghasilkan survival signal. Signal ini akan terus mempertahankan
kehidupan sel B dan sel T sehingga keduanya berpeluang dikembangkan menjadi limfosit
dewasa.

Proliferasi adalah hal yang sangat penting dalam proses maturasi limfosit karena diperlukan
banyak sekali limfosit, baik untuk memenuhi jumlah limfosit pada clone yang sama (sama
reseptor antigennya) maupun untuk menyediakan variasi clone limfosit yang banyak. Variasi
clone limfosit (sekitar 10 juta antigen repertoar) dibutuhkan untuk menghadapi variasi
antigen yang luas. Makanya pada tingkat perkembangan awal (stem cell----pro limfosit B
dan T----pre limfosit B dan T), sel yang tak bisa berproliferasi akan drops out (apoptosis).
Proliferasi dari progenitor dan sel yang masih immatur menjamin ketersediaan jumlah besar
lymphocytes pool yang segera dapat dijadikan limfosit dewasa untuk digunakan sebagai sel
efektor.

Selanjutnya semua reseptor antigen yang sudah dibuat “peserta didik” di sum-sum tulang dan
timus, akan diseleksi kehandalannya dengan menggunakan antigen self. Kegiatan seleksi ini
bertujuan untuk memelihara sel yang menghasilkan antigen reseptor yang benar dan
mengeliminasi sel yang potensial membahayakan tubuh, karena antigen reseptornya bereaksi
kuat dengan antigen self, sehingga berpotensi menimbulkan penyakit otoimun. Seleksi ini
bertujuan untuk meloloskan sel yang “useful” dan membuang sel yang bisa menimbulkan
“harmful”. Hasilnya sangat tergantung pada bertemunya (recognation) limfosit yang
diseleksi dengan antigen self yang dipakai menseleksi yang ada di “sekolah” masing-masing
(sum-sum tulang dan timus).

Cara seleksi reseptor antigen sebagai berikut:

1. Seleksi negatif yaitu sel B atau sel T yang memiliki reseptor yang berikatan kuat
dengan antigen self akan kena pemecatan atau apoptosis yang disebut clonal deletion.
Untuk sel B yang memiliki reseptor yang berikatan kuat dengan antigen self, masih
diberi kesempatan untuk memperbaiki reseptornya yang disebut receptor editing
sebelum clonal deletion. Kalau sel B dan sel T yang berikatan kuat dengan antigen
self dibiarkan tamat (matur) akan menjadi sel B atau T yang berespon terhadap diri
sendiri (otoimun).
2. Sel B atau sel T yang reseptornya tidak berikatan sama sekali terhadap antigen
sendiri juga dipecat (clonal deletion) karena dikhawatirkan reseptor antigennya tidak
fungsional sebagai reseptor, yaitu tidak berespon terhadap antigen self maupun
antigen asing.
3. Seleksi positif yaitu sel B dan sel T yang reseptornya berikatan lemah terhadap
antigen self akan “lulus dan ditamatkan” sebagai sel B immatur, sedangkan sel T
(khususnya yang membuat TCRαβ) masih harus menunggu hasil tes tentang
pengenalannya terhadap sel self (MHC self). Karena sel T harus mempunyai double
competencies atau double recognations, seperti yang sudah diterangkan sebelumnya.

Seleksi positif yang kedua bagi sel T adalah untuk menilai kemampuan sel T mengenal
sel self yaitu sel host (manusia ) tempat ia bertugas (kompetensi kedua). Seleksi ini
terjadi di timus dengan menggunakan sel epitel timus sebagai sel “peraga”. Timosit
(nama sel T yang sedang sekolah di timus) dilatih mengenal MHC sendiri yang
diekspressikan oleh sel epitel timus (MHC kelas I dan MHC kelas II). Molekul MHC
kelas I yang ada pada semua sel berinti dan molekul MHC kelas II yang hanya ada pada
sel-sel tertentu, memerlukan kontak langsung dengan sel T untuk mempresentasikan
antigen kepada sel T. Jadi melalui pengenalan molekul MHC inilah sel T dapat mengenal
sel self sebagai kompetensi kedua. Jadi, disamping membuat reseptor untuk antigen asing
(TCR) seperti diterangkan di atas, maka khusus timosit yang membuat TCR αβ (tidak
untuk TCRγδ) harus membuat juga molekul yang dapat mengenal (berikatan) dengan
MHC self tadi. Molekul pengenal MHC itu adalah CD4 untuk MHC kelas II dan CD8
untuk MHC kelas I (MHC restriction). Mulanya semua timosit dengan TCR αβ harus
menunjukkan dulu kemampuannya membuat CD4 dan CD8 yang disebut CD4+CD8+ T
cells (double positive). Pembuatan TCRαβ dan TCRγδ dan molekul CD4 dan CD8
berlangsung di korteks timus. Timosit (dengan TCRαβ) akan menjalani seleksi positif
yang kedua, yaitu hanya yang mampu mengenal molekul MHC self yang akan lulus
menjadi sel T matur, sedangkan yang tidak mampu mengenal MHC self akan kena
pemecatan (clonal deletion). Setelah seleksi positif ini, maka sel T dengan TCRαβ hanya
memiliki salah satu molekul pengenal MHC , CD4 atau CD8, sehingga sel T yang ada
adalah CD4+T cells dan CD8+T cells (single positive). Sel-sel ini akan berpindah dari
korteks ke medulla timus untuk selanjutnya dikirim ke jaringan limfoid sekunder.
(gambar skema ).

Semua “alumni” sumsum tulang dan timus akan ditempatkan di limfonodus dan jaringan
limfoid lainnya untuk menunggu kedatangan antigen asing yang cocok dengan
reseptornya. Karena mereka belum bekerja dan hanya menunggu saja kedatangan antigen,
maka diberi nama sel B naif dan sel T naif. Alumni sumsum tulang yang telah lolos
seleksi positif (satu kali seleksi), ada dua subset sel B yaitu Follicular B cells yang
bersirkulasi dan memediasi T cell-dependence response pada organ limfoid perifer dan
Maginal Zone B cells yg tinggal di sinus marginal limpa untuk memediasi T cell-
independence response terhadap blood borne antigen. Alumni timus adalah sel T yang
telah lolos dua kali seleksi positif, terdiri atas sel T CD4 dengan TCRαβ dan Sel T CD8
dengan TCRαβ (Disamping itu terdapat pula alumni yang lain yaitu sel T dengan TCRγδ
yang tidak memiliki molekul CD4 maupun CD8 disebut double negative T cell).

Pengembangan sel B
Pengembangan limfosit B terjadi di sumsum tulang dan sebagian di hati janin.
Pengembangan ini bertujuan untuk menghasilkan sel B dewasa yang bermanfaat bukan yang
merugikan. Sel B yang mempunyai kemampuan untuk dapat mengenal antigen yang spesifik
dengan variasi spesifitas yang luas (repertoire untuk 10 juta antigen). Ada proses seleksi
untuk meloloskan yang akan “useful” dan menghilangkan yang akan “harmful”

Ada 3 peristiwa penting dalam pengembangan sel B di sumsum tulang, yaitu:

1. Rearrangement dan ekspresi gen imunoglobulin untuk membentuk reseptor antigen


(membrane bound immunoglobulin )dan antibodi (soluble immunoglobulin).
2. Seleksi sel B (seleksi positif) pada saat checkpoint berlangsung terhadap pre-B cell
receptors (Pre-BCR) dan proliferasi sel B yang telah lolos seleksi pada checkpoint.
3. Seleksi dari repertoar sel B matur.

Peristiwa-peristiwa penting itu bisa terjadi berkat fasilitasi stroma sumsum tulang yang
menciptakan microenvironment bagi pengembangan sel B. Fasilitasi stroma sumsum tulang
muncul dalam bentuk:

1. Stroma melakukan kontak dengan sel B yang sedang berkembang (murid) melalui
ikatan reseptor dan ligan. Sel B yang paling immatur berada di subendosteum
sumsum tulang (diasramakan), makin tinggi tingkat differensiasinya makin renggang
ikatannya dengan stroma sumsum tulang, dan akhirnya akan meninggalkan sumsum
tulang (sebagai alumni).
2. Stroma menghasilkan growth factor yang diberikan kepada sel B yang melekat di
stroma seperti membrane bound stem-cell factor (SCF) yang bekerja pada sel B matur
dan IL-7 yang bekerja pada pro-B dan pre-B cells. Growth factor diperlukan untuk
memicu proliferasi sel sel yang telah lolos seleksi sesuai tingkat perkembangannya.

Perkembangan sel B dari stem cell sumsum tulang menjadi sel plasma yang menghasilkan
antibodi, terjadi melalui beberapa tingkatan (fase) yang jelas. Masing-masing fase memiliki
marker dipermukaannya yang bisa membedakan sel bersangkutan berada di fase mana
(perumpamaan seperti mahasiswa, dapat diketahui semester berapa ?). Tiap fase ini
menunjukkan “specific pattern of Ig Gene expression.

1. Fase pro-B cells adalah stem cells sumsum tulang yang berkomitmen menjadi B cell
lineage, memiliki marker di permukaan sel (surface marker) yaitu CD43, CD 19 dan
CD 10. Sel pro-B ini belum mampu menghasilkan Imunoglobulin, berarti
rekombinasi germline gene belum terjadi tapi sudah mengekspressikan protein Rag
yang akan berperan pada proses rekombinasi germ line gene untuk membentuk
imunoglobulin.
2. Fase pre-B cells adalah sel B yang sudah mengekspresikan pre-B cell receptor (pre-
BCR) karena sudah terjadi rekombinasi gen V(D)J rantai berat (H chain) dan sudah
terbentuk µ mRNA. Antigen reseptornya masih berupa Pre-BCR karena baru
mengandung µ. H chain, belum ada rantai ringan (к atau λ). Marker CD19 dan
CD10 sudah tidak ada. Jika gagal membentuk pre-BCR maka sel itu akan mati karena
tidak mendapat survival signal dari pre-BCR.
3. Immature B cells adalah sel B yang sudah mengeskpresikan reseptor antigen lengkap
(IgM membran) karena sudah berlangsung rekombinasi gen untuk kedua rantai,
V(D)J untuk gen rantai berat dan VJ untuk gen rantai ringan. Rekombinasi gen untuk
rantai ringan dimulai dulu dengan rantai к, kalau к kena seleksi negatif (bereaksi kuat
terhadap antigen self, atau hasil rekombinasi gen tidak produktif) maka barulah terjadi
rekombinasi gen rantai λ untuk menggantikan к. Jadi hanya ada salah satu rantai (к
atau λ), kedua rantai ringan ini tidak pernah ada bersamaan, fenomena ini disebut
light chain isotype exclusion. Marker CD43 sudah tidak ada. Karena molekul BCR
sudah lengkap maka repertoar (koleksi variasi molekul BCR) yang telah ada, akan
diseleksi dengan seleksi negatif menggunakan antigen self. Kehebatannya, sel B
imatur tidak akan proliferasi dalam sumsum tulang walaupun reseptornya sudah
berikatan dengan antigen self yang ada di sumsum tulang (sel stroma, sel
hematopoetik, dan makromolekul yang datang dari darah). Bahkan kalau bereaksi
kuat dengan antigen self maka sel B imatur yang autoreaktif ini akan mengalami
receptor editing atau clonal deletion (apoptosis). Reseptor editing berarti Rag aktif
kembali melakukan rekombinasi gen rantai ringan (tidak untuk rantai berat) untuk
menghasilkan BCR baru yang tidak terlalu autoreaktif. Jika molekul BCR sudah
lengkap terbentuk, maka muncul survival signal dari BCR yang disebut “tonic” BCR
signal. Signal ini membuat sel B imatur tidak mati dan juga berfungsi menghentikan
ekspresi gen Rag, sehingga tidak ada lagi rekombinasi gen.
Sel B matur mempunyai kemampuan menjelajahi seluruh tubuh, menghabiskan
hidupnya dalam darah, cairan limpe, cairan antar sel, organ limpoid sekunder (perifer)
dan sum-sum tulang sendiri, sehingga peluang bertemu dengan antigen self besar
sekali, makanya betul-betul harus diseleksi waktu fase imatur (molekul BCR sudah
lengkap) agar sel B yang autoreaktif tidak berkembang menjadi sel B matur. Jika
sudah mengalami seleksi negatif maka sel B imatur yang lulus seleksi (bereaksi lemah
dengan antigen self) akan meninggalkan sumsum tulang menuju limpa untuk
menyempurnakan maturasinya menjadi sel B matur baru pindah ke organ limpoid
perifer lainnya. Proses seleksi autoreaktif sel B imatur belanjut lagi di organ limpoid
perifer. Jika ditemukan sel B yang autoreaktif maka terjadi mekanisme clonal anergy,
artinya sel B imatur tidak bisa berkembang menjadi sel B matur. Hal ini disebabkan
karena terjadi penghentian ekspresi IgM sebagai reseptorpermukaan. IgM tetap
tinggal dalam sel, sehingga walau banyak IgD sebagai reseptor permukaan tetap tak
bisa berespon (differensiasi menjadi sel B matur). Sel anergi tetap beredar di sirkulasi
tetapi masa hidupnya pendek kira2 setengah saja dari sel B matur. Jika tidak berhasil
membuat reseptor permukaan yang lengkap (IgM dengan IgD) maka sel itu akan mati
karena tidak mendapat survival signal dari BCR.
4. Mature B cells adalah sel B yang sudah mengekspressikan BCR berupa IgM dan IgD
yang fungsional (dapat mengikat antigen) di permukaannya. Sel B matur bersirkulasi
di darah dan homing di organ limpoid perifer sebagai sel B naif yang menunggu dan
mencari kalau ada antigen yang datang yang sesuai dengan spesifisitas BCR sel B naif
bersangkutan. Jika ada antigen yang sesuai, maka sel B naif akan teraktifkan menjadi
sel B effektor yang akan menghasilkan antibodi dan melepasnya ke sirkulasi (soluble
immunoglobulin). Jika sel B matur ini tidak bertemu dengan antigen yang sesuai maka
sel B matur akan mati dalam beberapa bulan (berarti harus ada regenerasi sel B terus
menerus).

Dari hasil pengembangan sel B diperoleh sejumlah subset sel B matur dengan karakteristik
peran masing-masing:

1. Sel B1-B.
Subtipe ini diproduksi lebih dahulu dan tidak sama persis pola pengembangannya dengan
sel B2-B. Subset ini berasal dan berkembang di hati pada waktu foetus. Setelah lahir,
akan dikembangkan di sumsum tulang tetapi makin lama makin kecil jumlahnya, pada
saat dewasa tidak ada lagi sel B1-B dihasilkan di sumsum tulang. Memiliki marker CD5
sehingga kadang disebut sel B CD5 . Keistimewaannya, sel B1-B panjang usianya,
karena dapat memperbaharui selnya (membelah) selama beredar dalam sirkulasi atas
fasilitasi IL-10. Itulah sebabnya leukemia banyak muncul dari subset ini. Waktu masih
dihasilkan oleh hati, koleksi (repertoar) BCR sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena
terbatasnya diversitas gen V dan tidak dihasilkannya enzim TdT oleh sel hati sehingga
junctional diversity terbatas juga. Tetapi waktu dihasilkan oleh sumsum tulang
tampaknya terjadi peningkatan diversitas. Sel B1-B ini spontan menghasilkan antibodi
IgM yang bereaksi terhadap antigen polisakarida dan lemak yang disebut antibodi
natural. Sel ini menyumbang setengah dari secretory IgA sebagai antibodi natural pada
imunitas mukosal.
2. Sel B2-B, follikular.
Subset ini yang terbanyak. Menunjukkan koekspressi IgM dengan IgD sebagai tanda
bahwa sel B ini sudah mampu bersirkulasi dan menampilkan fungsional kompetensinya.
Sel B follikular ini termasuk sel B yang sudah matur. Jika sel ini bertemu dengan antigen
di follikel organ limpoid perifer maka sel ini dengan bantuan sel T helper (T cell-
dependence B cells), akan berespon menjadi sel B efektor yang mampu menghasilkan
berbagai isotipe antibodi. Jika hanya disebutkan sebagai sel B saja, maka yang dimaksud
adalah sel B2-B atau sel B follikular.
3. Sel B2-B, zona marginal. Sel ini tinggal di kawasan sinus marginal limpa. Sama
dengan sel B1-B dalam hal keterbatasan diversitas dan kemampuannya untuk berespon
terhadap antigen polisakarida serta menghasilkan antibodi natural. Subset ini bereaksi
cepat terhadap antigen yang ada dalam darah tanpa partisipasi sel T helper ( T cell-
independence B cells).

Sel B1-B Sel B2-B, follikular Sel B2-B, marginal


zone
Organ tempat Hati (foetus) Sumsum Tulang Sumsum Tulang
diproduksi
Diversivitas Terbatas (tak ada Luas (Combinational Luas (Combinational
junctional diversity and Junctional and Junctional
(penambahan diversity). diversity)
nukleotida)
Populasi dan -- Paling banyak dan Banyak yang homing
pergerakan kebanyakan di limpa dan
circulating. limponodus
Area spesifik tempat Mukosa usus dan Tidak ada yang Tidak ada yang
beroperasi peritoneum spesifik spesifik
Kemampuan proliferasi Mampu untuk self Tidak Tidak.
tanpa picuan antigen renewing (pada orang
setelah menjadi sel B dewasa)
naif.
Antigen pemicuSering terhadap Utamanya T cell- Utamanya T cell-
aktifasi polisakarida dan lemak dependent antigen independent antigen
(T cell-independent (peptida).
antigen)
Memproduksi Antibodi Ya Tidak Ya
Natural

Pengembangan sel T

Fase Pro-T. Stem cell yang datang dari sum-sum tulang (CLP) belum berkomitmen menjadi
sel T. Setelah tiba di korteks timus, CLP dibuat berkomitmen menjadi sel T oleh sitokin IL-7
yang dihasilkan stroma timus dan disebut timosit (sel T yang sedang belajar di timus) . Pada
fase awal pengembangannya ini (fase pro-T) , timosit belum memiliki kemampuan sama
sekali untuk berperan sebagai sel efektor, yaitu belum mampu membuat reseptor antigen (T
cell receptor, TCR) dan koreseptor (CD4 atau CD8) sehingga disebut double negative (DN)
thymocytes (merujuk ke koreseptor). Selanjutnya , atas picuan IL-17, DN thymocytes
mengekspresikan reseptor permukaan yang disebut Notch 1 yang dapat berikatan dengan
ligan yang ada di permukaan sel epitel timus sehinnga kedua sel ini (fasilitator dan murid)
dapat berkontak langsung. Sang fasilitator (epitel timus) memicu reseptor Notch 1 dari
timosit (murid). Reseptor Notch 1 ini terdiri atas domain intraseluler dan domain ekstra
seluler, jika domain ekstraseluler berikatan dengan ligannya maka muncul protease
memotong reseptor ini sehingga domain intraseluler terpisah dari domain ekstraseluler.
Domain intraseluler bebas dan bergerak ke inti memicu aktifasi gen yang diperlukan untuk
diferensiasi (maturasi) timosit yaitu dengan cara melepaskan faktor penghambat tanskripsi
gen yang tidak diperlukan dan merekruit koaktifator trankripsi gen yang bersangkutan.
Peranan epitel timus menjadikan timosit berkembang dewasa sangatlah penting, dimana pada
fase awal pengembanngan (DN thymocytes) peranan reseptor Notch 1 sangatlah penting.
(gambar 7-6, peter).

Pada DN thymocytes, rekombinasi gen TCR mulai dilakukan untuk menjadikannya TCRαβ
atau TCRγδ. Bagaimana satu timosit berkomitmen untuk menjadi sel T dengan TCRαβ atau
sel T dengan TCRγδ (tidak bisa kedua-duanya ) menjadi menarik untuk diketahui karena
sepertinya terjadi “persaingan” diantara kedua TCR ini. Gen TCR yang di rekombinasi
memang dipilih secara random oleh Rag, berarti setiap timosit berpeluang sama untuk
menjadi sel T dengan TCRαβ atau TCRγδ. Oleh karena tubuh membutuhkan lebih banyak
sel T dengan TCRαβ karena reseptor ini spesifik untuk antigen protein dan banyak patogen
berantigen protein dibanding lemak dan karbohidrat, maka dibuatlah mekanisme yang
menguntungkan TCR αβ. Terjadi perlombaan dalam menyelesaikan rekombinasi gen
produktif untuk pembuatan molekul reseptor, siapa yang lebih cepat menyelesaikan
reseptornya akan menang dan sebaliknya. Hal ini bisa terjadi karena pada saat salah satu
rekombinasi gen produktif sudah selesai, maka akan terbentuk reseptor yang diekspressikan
ke permukaan sel besama dengan molekul CD3 sebagai satu kompleks reseptor antigen. Dari
kompleks reseptor ini muncul signal penghentian produksi Rag (mediator rekombinasi),
berarti tak akan ada lagi rekombinasi lain (mesin rekombinasi gen berhenti). Aturannya,
pada saat mesin rekombinasi gen dalam satu timosit berhenti, maka mesin proliferasi sel
berjalan. Persaingan pertama pada waktu rekombinasi gen dimulai pada DN thymocytes.
Karena pada fase ini rekombinasi gen yang terjadi adalah untuk pembuatan rantai β, γ,δ,
preTα.

Mekanisme lomba yang menguntungkan pembuatan TCRαβ adalah:

1. Hanya rekombinasi gen produktif rantai β saja (rantai pre Tα tak ikut berlomba)
melawan rekombinasi gen produktif dari dua rantai γ dan δ. Maka tentu saja,
rekombinasi yang membuat rantai β (cukup satu rantai) lebih banyak kemungkinan
menang dibanding dengan rekombinasi yang membuat rantai γ dan δ (dua rantai).
2. Jika terjadi rekombinasi gen nonproduktif pada β-chain, timosit bersangkutan dapat
mengulang lagi kegagalan itu dengan rekombinasi kedua atau mencoba rekombinasi
lain dengan menggunakan lokus rantai β pada kromosom homolog.

Dengan demikian maka DN thymocytes lebih banyak berkomitmen menjadi sel T dgn TCRαβ
(90%). Jika rekombinasi γδ yang menang (10%) maka terbentuklah sel TCD4-CD8- dengan
TCRγδ, dimana proses selanjutnya terhadap lineage ini tak jelas. Diduga bahwa sekali
TCRγδ terbentuk maka berakhirlah proses pengembangan sel T bersangkutan, tidak seperti
pada sel T dgn TCRαβ. Sel TCD4-CD8- dengan TCRγδ tidak mengalami seleksi positif
(karena memang tidak mengekspresikan molekul CD4 dan CD8), dan tidak juga mengalami
seleksi negatif. Sel T dengan TCRγδ segera meninggalkan timus masuk sirkulasi untuk
bertugas.
Adanya signal penghentian aktifasi Rag setelah rekombinasi gen produktif rantai β selesai,
membuat tidak terjadinya dua rantai β pada timosit yang sama, karena rekombinasi dari allel
gen terhenti juga, disebut allelic exclusion. Pada rekombinasi gen TCR, gen rantai β tidak
hanya bersaing dengan gen rantai γ dan δ, tetapi juga bersaing dengan allelnya.

Pada fase pro T ini telah selesai juga dibuat rantai pre-Tα yang akan berdampingan rantai β
di permukaan timosit. Fungsi pertama rantai pre-Tα ini adalah sebagai sarana untuk
memeriksa rantai β yang telah disentesa, apakah dapat berpasangan dengan rantai α yang
akan datang kemudian (checkpoint pertama pembuatan TCRαβ). Jika ternyata tidak bisa
berpasangan, berarti rekombinasi gen gagal (nonproduktif) dan harus diulang atau
dikalahkan oleh rekombinasi gen reseptor γ dan δ. Fungsi kedua dari rantai pre-Tα adalah
sebagai surrogate receptor, untuk menyediakan tempat yang akan ditempati rantai α.

...........(gambar 7-7 peter)

Fase Pre-T

Pada fase ini timosit yang berkomitmen untuk menjadi sel T dengan TCRαβ telah selesai
pembuatan rantai β dan rantai pre-Tα. Seperti telah dikemukakan diatas, begitu berhasil
terekspresi rantai β atau rantai γ dan δ, maka mesin rekombinasi gen berhenti dan dilanjutkan
dengan aktifnya mesin proliferasi yang diatur oleh signal proliferasi. Akibatnya, terbentuklah
clone dari setiap timosit yang memiliki reseptor yang sama untuk berlanjut lagi mengikuti
proses pengembangan berikutnya. Sebagai perumpamaan setiap berhasil menguasai satu
kompetensi (naik fase/kelas), mahasiswa disuruh memperbanyak diri dulu, agar jumlah
mahasiswa dengan kompetensi yang sama bertambah banyak untuk mengikuti proses
selanjutnya yang seleksinya sangat ketat (banyak drop out). Dengan demikian jumlah alumni
(sel T matur) tetap banyak pada akhir proses pendidikan atau pengembangan. Pada saat
proliferasi ini , DN thymocytes melanjutkan pengembangannya untuk mendapatkan
kemampuan membuat koreseptor CD4 dan CD8 , yang dimulai dulu dengan CD4 kemudian
disusul CD8 , sehingga menjadi Double Positive (DP) thymocytes. Setelah mesin proliferasi
berhenti, maka mulai lagi mesin rekombinasi gen rantai α untuk melengkapi reseptornya
menjadi reseptor αβ.

Rantai pre-Tα bukanlah komponen reseptor yang fungsional yaitu dapat mengikat antigen
karena rantai pre-Tα hanya berperan sebagai wakil rantai α (menduduki tempat disamping
rantai β) agar tersedia tempat yang tepat untuk rantai α yang akan disintesa kemudian. Untuk
menggantikan rantai pre-Tα, maka pada fase pre T ini, rekombinasi gen rantai α
berlangsung. Gen rantai α ini sama dengan gen imunoglobulin к dan λ, yaitu tidak memiliki
segmen D dan direkombinasi hanya jika partnernya (rantai β) telah diekspressikan di
permukaan timosit. Jika rantai β sudah terbentuk berarti diferensiasi sel T kearah sel T
dengan TCRαβ menyingkirkan kemungkinan sel pre T menjadi sel T dengan TCR γδ.
Kondisi ini memungkinkan diulang-ulangnya rekombinasi gen rantai α (menggunakan gen
Vα dan Jα yang berbeda-beda) untuk menghasilkan rekombinasi gen reseptor αβ yang
produktif. Sebelum diekspressikan ke permukaan timosit, rantai α diperiksa dulu di dalam
retikulum endoplasmik mengenai kemampuannya berikatan dengan rantai β (checkpoint
kedua pembuatan TCRαβ), baru direkspressikan di permukaan timosit mendampingi
reseptor β. Dengan demikian lengkaplah TCRαβ pada timosit bersangkutan.

Pada fase pre-T ini dimana timosit sudah DP thymocytes dan rekombinasi gen rantai α
untuk melengkapi reseptor sel pre –T menjadi TCRαβ untuk naik fase menjadi sek T imatur.
Sebeneranya pada saat bersamaan, berlangsung juga rekombinasi gen untuk pembentukan
TCRγδ, sehingga kembali terjadi lagi perlombaan. Hasilnya sudah dapat diramal bahwa
rekombinasi gen TCRγδ akan kalah lagi karena dia harus menyelesaikan rekombinasi gen
untuk 2 rantai (γδ) sedangkan lawannya hanya untuk satu rantai (α) sehingga hampir tidak
ditemukan sel T γδ dengan koreseptor CD4 +atau CD8+.

Fase sel T imatur

Pada fase ini DP thymocytes dengan TCRαβ mengalami seleksi negatif dan seleksi positif.
Seleksi negatif untuk memilih reseptor (TCRαβ) yang mengikat peptida self dengan affinitet
lemah dan sekaligus seleksi positif untuk memilih koreseptor (CD4 atau CD8) yang mengikat
(mengenal) MHC self . Dengan kata lain, seleksi negatif bertujuan memilih timosit yang
reseptor antigennya fungsional terhadap antigen asing tidak terhadap antigen self. Seleksi
positif bertujuan memilih timosit yang hanya dapat mengenal MHC self sehingga hanya
bekerja pada sel self yang disebut MHC restriction. Koreseptor yang gagal mengenal MHC
self akan apoptosis (deletion), demikian juga reseptor dengan affinitet tinggi atau tidak
mengikat sama sekali antigen self, juga akan mengalami apoptosis.

Seleksi positif menentukan juga yang mana dari DP thymocytes dengan TCRαβ menjadi
single positive (SP) thymocytes dengan koreseptor CD4 atau CD8. Jadi akan terbentuk sel
T(αβ) CD4 atau sel T(αβ) CD 8. Penentuan ini kemungkinan terjadi melalui dua teori yaitu
teori random dan teori instruksi. Teori ini didasarkan atas pengikatan koreseptor (CD4 dan
CD 8) dengan MHC ( MHC kelas I dan MHC kelas II). CD4 hanya bisa berikatan dengan
MHC kelas II sedangkan CD 8 hanya bisa berikatan dengan MHC kelas I.

Teori random. Pada saat TCRαβ dari timosit berikatan dengan kompleks MHC-peptide self
dari sel epitel timus, dan kebetulan sel epitel timus memakai MHC kelas I sehingga DP
thymocytes harus menggunakan koreseptor CD8, maka terbentuklah SP thymocyte dengan
koreseptor CD8 (CD 4 menghilang dengan sendirinya karena tak dipakai). Kalau epitel
timus memakai MHC kelas II maka DP thymocytes harus menggunakan koreseptor CD4
untuk berikatan dmaka terbentuklah SP thymocyte dengan koreseptor CD4 (CD 8
menghilang karena tak dipakai). Ikatan ini terjadi karena MHC kelas I hanya bisa berikatan
dengan CD8, demikian juga MHC kelas II hanya bisa berikatan dengan CD4.

Teori instruksional tidak terjadi secara random pada sel epitel timus pada pemakaian MHC
kelas I atau kelas II untuk berinteraksi dengan timosit. Tetapi diprogram dalam timosit,
dimana kedua lineage ini apakah menjadi sel T CD4 atau sel T CD8, dipicu oleh jalur signal
yang berbeda. Perbedaan signal ini tergantung pada kekuatan signal yang masuk ke timosit
dari interaksinya dengan sel epitel timus atau sel dendritik. Teori ini berasal dari temuan
bahwa terjadi status dimana satu sel DP thymocyte mengekspresikan CD4 dalam level tinggi
dan CD 8 dalam level rendah pada permukaannya. Jika sel epitel timus berkontak dengan DP
thymocytes menggunakan kompleks MHC kelas I-peptida self maka signal dari sel epitel
timus diterima sangat lemah oleh DP thymocyte karena koreseptor CD8 memang sedikit.
Signal yang lemah ini tidak memicu Lck (jalur signal Lck tyrosine kinase) tetapi
mengaktifkan faktor transkripsi lain (mis, Runx3). Jalur signal Lck tyrosine kinase lebih
memicu ekspresi CD4 dibanding CD8, sementara signal Runx3 yang muncul karena ikatan
lemah koreseptor CD8 dengan MHC kelas I akan memicu ekspresi CD8 dan menghentikan
ekspresi CD4. Dengan demikian terbentuklah SP thymocyte dengan koreseptor CD8 yang
nanti akan jadi MHC class I-restricted CD8 T cells. Sebaliknya, jika DP thymocytes
menggunakan koreseptor CD4 berkontak dengan sel epitel timus pada kompleks MHC kelas
II-peptida self maka signal dari sel epitel timus diterima sangat kuat oleh DP thymocyte
karena koreseptor CD4 memang banyak. Signal kuat ini akan memicu faktor transkripsi yang
berbeda (mis ThPok) yang memicu ekspressi CD4 dan menyetop ekspresi CD8 sehingga
terbentuklah SP thymocyte dengan koreseptor CD4 yang nanti akan jadi MHC class II-
restricted CD4 T cells. (KENAPA BUKAN LCK?)
Seleksi negatif dilakukan untuk menghilangkan timosit yang autoreaktif dan yang
reseptornya tidak fungsional melalui mekanisme apoptosis (clonal deletion) yang bertujuan
untuk menyingkirkan timosit immatur yang berbahaya (harmfull) dan terus mengembangkan
yang berguna (usefull). Prinsip seleksi negatif adalah memeriksa reseptor antigen (TCRαβ)
dengan menggunakan kompleks MHC-peptida self yang ada pada sel epitel timus sebagai
penyeleksi affinitas. Jika terjadi ikatan dengan affinitet kuat antara TCR dengan ligannya
(peptida self) pada epitel timus maka timosit itu akan apoptosis (clonal deletion) untuk
menjamin adanya toleransi imunologik terhadap self (toleransi sentral).

Kedua seleksi ini berlangsung di korteks dan medulla timus, yang dimungkinkan oleh adanya
fasilitas seleksi di timus seperti:

1. Terdapat sel epitel timus kortikal yang diperkirakan banyak berperan dalam seleksi
positif yaitu mempresentasikan kompleks MHC-peptida self di permukaannya untuk
seleksi koreseptor yang cocok (CD4 atau CD 8) dengan MHC self (Kelas I atau kelas
II), sehingga dari DN thymocyte berkembang menjadi SP thymocytes sebagaimana
telah diterangkan pada teori random dan teori instruksional di atas.
2. Terdapat sel epitel timus meduler yang mengekspressikan protein nuklear yang
disebut AIRE (autoimmune regulator) yang memicu ekspresi sejumlah gen yang
spesifik untuk jaringan tertentu (mis pankreas dan tiroid). Dengan adanya AIRE ini
maka banyak peptida spesifik jaringan dari berbagai jaringan diseluruh tubuh tersedia
di timus. Peptida self dari berbagai jaringan ini dipresentasikan oleh sel epitel timus
kepada timosit yang sedang diseleksi affinitas reseptornya, terhadap antigen self
(seleksi negatif). AIRE ini yang menfasilitasi toleransi sentral (delesi sel yang
autoreaktif di timus atau sumsum tulang), jika gen AIRE mutasi maka akan terjadi
berbagai penyakit otoimun.
3. Terdapat banyak sel dendritik asal sumsum tulang di medulla timus. Sel dendritik
berperan dalam menfasilitasi seleksi negatif yaitu mempresentasikan kompleks MHC-
peptida self untuk memeriksa affinitet TCR terhadap peptida self.
4. Terdapat juga banyak makrofag asal sumsum tulang yang tidak terlibat langsung
dalam proses pengembangan timosit, hanya bertugas membersihkan timus dari timosit
yang mati karena gagal membuat reseptor atau korban seleksi negatif agar tetap dapat
menjadi tempat yang baik untuk proses pengembangan timosit. Makrofag disini
berfungsi sebagai “cleaning service”.
5. Ada molekul CCL 19 dan CCL 21 pada medulla timus yang berperan untuk mengikat
reseptor kemokin pada timosit (CCR7) yang menfasilitasi kepindahan dan homingnya
DP thymocytes pada medulla.

Fase sel T matur. Timosit yang lulus dari kedua seleksi ini selanjutnya berkembang menjadi
sel T matur dengan hanya satu koreseptor yaitu CD4 atau CD8 (single positive). Sel T matur
ini akan pergi meninggalkan timus untuk masuk sirkulasi beredar dalam darah dan homing di
organ limpoid perifer. Jika sel T matur ini ternyata masih mengenal antigen self maka akan
berlangsung mekanisme clonal anergy yang mencegah sel T autoreaktif ini berespon, yang
dapat menimbulkan otoimun (toleransi perifer). Jika sel T matur ini mengenal antigen
(bukan self) maka akan terpicu (teraktifkan) menjadi sel T efektor yang akan mengeliminasi
antigen dalam berbagai mekanisme. (Dibahas dalam aktifasi limposit T)

Tingkat
perkembangan

CD4-,CD8-(double negative) Differensiasi menjadi


dan CD3- double positive dan CD3+
timosit timosit
Seleksi positip

BAB 6

ANTIGEN YANG MEMICU IMUNITAS ADAPTIF

Nama antigen muncul sehubungan dengan ditemukannya antibodi yang dapat mengikat
molekul tertentu dan molekul itu diberi nama antigen. Perkembangan selanjutnya ditemukan
bahwa antigen ini berperan dalam memicu respon imun adaptif yang dimediasimoleh
antibodi dan sel T, sehingga pengertian antigen adalah substansi apa saja yang dapat
berikatan dengan molekul antibodi atau reseptor sel T.

Antigen bisa berupa molekul biologik apa saja termasuk produk molekul intermediat, gula,
lipid, autocoids, hormon dan makro molekul sperti karbohidrat, pospolipid, asam nukleik dan
protein yang dapat berikatan dengan antibodi atau berupa peptida yang dapat berikatan
dengan reseptor sel T.

Dalam suatu antigen yang bersifat makromolekul bisa terdapat sejumlah bagian-bagian dari
makromolekul itu yang berikatan dengan antibodi, bagian ini disebut epitop atau antigenic
determinant. Sebagai contoh dalam permukaan kuman bisa terdapat sejumlah epitop yang
masing-masing diikat oleh satu atau lebih antibodi, antigen seperti ini disebut multivalent.
Pentingnya multivalentn ini dalam memicu respon sel B, akan dijelaskan nanti dalam
pembahasan mengenai antibodi karena hal ini tidak terkait dengan pengenalan antigen oleh
TCR.

Oleh karena TCR hanya bisa berikatan dengan peptida berarti hanya antigen dalam bentuk
peptida yang dapat memicu respon imun seluler (memicu aktipasi sel T). Olehnya itu antigen
harus mengalami pemerosesan melalui proses degradasi oleh enzim sehingga menjadi bentuk
peptida yang sesuai dengan daya muat dan spesifitas MHC dan sel T. Pemerosesan dan
presentasi antigen akan dijelaskan nanti dalam pembahasan mengenai MHC dan aktipasi sel
T.

Walaupun antigen dapat berikatan dengan antibodi yang spesifik untuknya tapi tidak berarti
seluruh antigen dapat memicu terbentuknya antibodi (memicu repon imun humoral) atau
memicu aktipasi sel T (respon imun selular), antigen yang dapat memicu respon imun disebut
imunogen. Ada beberapa faktor yang membuat antigen dapt memicu respon imun, seperti :

1. Molekul yang berperan sebagai antigen itu harus bersifat asing bagi individu
bersangkutan, berdasar ini makan antigen yang berasal dari bakteri, jamur, virus,
protozoa, parasit dan tumbuh-tumbuhan atau dari individu lain (misalnya jaringan
transplantsi). Antigen (molekul biologik) dari individu (biasa disebut antigen self)
tidak memicu respon imun pada individu bersangkutan, kecuali ada kelainan yang
menimbulkan penyakit otoimun. (Kalau hanya disebut antigen saja maka yang
dimaksudkan bukan antigen self).
Besarnya perbedaan antara molekul antigen asing itu dengan antigen self (Degree of
foreignness) berdampak juga tyerhadap daya imunogenitas antigen, makin besar
perbedaan makin kuat daya imunogenik sebaliknya makin kecil perbedaan makin
lemah pula daya imunogenik. Sebagai contoh antigen mikroba karena berbeda spesies
sangat bersifat imunogenik pada manusia, sebaliknya antigen tumor, yang berasal
dari mutasi gen yang menghasilkan protein self, memiliki perbedaan kecil dengan
protein (antigen) self sehingga daya imunogenitas antigen tumor lemah.
Jauhnya jarak hubungan genetik (Distance in phylogenetic relationship) dapat
berpengatuh juga terhadap daya imunogenitas suatu antigen. Misalnya antara orang
bersaudara atau tidak bersaudara, antara orang bersaudara kembar dengan tidak
bersaudara kembar. Daya imunogenitas graft terhadap respon imun penerima
transplantasi dimana sebagai antigen adalah allogenc MHC yang daya antigenitasnya
ditentukan oleh makin besarnya perbedaan molekul MHC yang sangat polimorfik
antara donor dan penerima. Makin jauh jarak hubungan genetik berarti makin luas
perbedaan molekul MHC berarti makin tingi respon imun penolakan graft.
2. Ukuran antigen sangat penting dalam memicu respon imun, ukuran itu harus
proporsional dengan besarnya antigen binding site antibodi, antigen binding cleft dari
MHC dan antigen binding site TCR untuk menampung antigen. Misalnya antibodi
bisa mengikat makromolekul sedangkan sel T dan MHC hanya bisa mengikat peptida
(kl 30 residu).
3. Formasi molekul yang menjadi antigenik determinant menentukan juga daya
imunogenitasnya, Untuk memicu respon sel B (mengikat BCR), formasi molekul
epitop bisa berupa linear (linear determinant) atau konformational (conformational
determinant).Tentu saja untuk TCR hanya bisa kalau formasi linear (tak bisa
konformational) karena harus bentuk peptida.
4. Aksessibilitas antigen yaitu posisi epitop yang lebih gampang diakses oleh sel atau
molekul yang berperan dalam respon imun . Misalnya kalau epitop berada ditengah-
tengah mikroba, maka sukar diakses oleh BCR (imunoglobulin membran), tetapi
kalau berada di pinggir (permukaan) maka lebih gampang diakses, itulah sebabnya
antigenc determinant disebut juga epitope (epi=permukaan).
5. Rute pemaparan antigen . Dimaksudkan disini adalah rute yang lebih cepat dan
lebih hebat menimbulkan respon imun dimana rute intra venous akan meningkatkan
daya imunogenitas suatu antigen dibanding jika diberikan melalui rute lain.
6. Dosis antigen yaitu makn besar dosis antigen makin besar kemungkinan
meningkatnya daya imunogenitas suatu ant demikian juga sebaliknya.
7. Frekuensi pemaparan antigen yaitu pemaparan berulang bisa malah menurunkan
daya imunogenitas suatu antigen yang mungkin disebabkan oleh proses yang disebut
toleransi imunogenik, cara ini biasa dipakai untuk desentifisasi suatu allergen.
8. Pemberian bersama Adjuvants. Antigen berperan memicu respon imun adaptif
sedangkan respon imun adaptif hanya bisa muncul kalau sebelumnya ada resppon
imun innet, bahkan kehebatan respon imun inet menentukan kehebatan respon imun
adaptif. Antigen akan sukses memicu respon imun adaptif kalau antigen itu bisa
memicu pula respon imun innet, untuk itu antigen perlu dilarutkan dalam larutan
adjuvant dengan komposisi tertentu yang mampu memicu respon imun innet. Cara ini
banyak diterapkan dalam pembuatan bahan vaksin.

Ada suatu substansi kecil (lebih kecil adri 10.000 dalton) biasanya tak mampu memicu
respon imun disebut hapten. Akan tetapi dapat menjadi imunogen jika digandeng dengan
protein. Jadi kalau dibuat hapten-carrier complex akan berhasil merpicu respon imun dan
dalam hal ini akan terbentuk antibodi terhadap hapten. Hapten ini banyak berperan sebagai
allergen, sebagi contoh adlaha molekul penisilin (kira-kira 350 dalton) memicu respon imun
allergi karena bergandengan dengan protein. Dilain pihak, hapten ini memberi keuntungan
besar dalam pemanfaatan antibodi untuk keperluan deteksi dan quantitasi molekul-molekul
kecil melalui berbagai teknologi pemeriksaan seperti ELISA, RIA, dsbnya.

TI-antigen dan TD-antigen ?

TI antigen ini kebanyakan adalah antigen bakteri seperti polisakarida , protein polimerik
dan lipopolisakarida, jadi sistem aktipasi sel B naif ini diciptakan untuk berespon cepat
terhadap bakteri tetapi tidak begitu kuat karena tidak ada maturasi affinitas melalui mutasi
somatik dan hanya sedikit kemampuan untuk isotype switching (hanya menjadi IgG saja),
Respon terhadap TI antigen ini hanya merupakan tahap awal respon imun humoral. Respon
kuat nanti setelah tahap lanjut respon imun humoral yaitu sel B meresponi TD antigen
melalui partisipasi sel Th, karena sudah ada maturasi affinitet dan isotype switching yang
sempurna.

TI-1 antigen bila antigen bersangkutan memiliki kemampuan intrinsik untuk memicu
langsung respon sel B, bahkan dalam konsentrasi yang tinggi dapat memicu proliferasi dan
differensiasi sel B tanpa memandang spesifitas BCRnya (polyclonal activation) sehingga
disebut juga B-cell mitogen ( pemicu mitosis sel B). Jika dosis rendah barulah memicu
aktipasi sel B spesifik. Contah dari TI-1 antigen adalah lipopolisakarida (LPS) yang dapat
memicu aktipasi sel B melalui interkasi dengan TLR pada sel B. Pada tahap awal infeksi
tentu saja konsentrasi LPS masih kiurang sehingga hanya memicu aktipasi sel B yang
spesifik untuk LPS, respon ini sangat penting dalam tanggap dini terhadap infeksi patogen
ekststraseluler dibanding dengan respon yang tergantung pada sel T. Cepatnya respon ini
dimungkinkan karena tidak membutuhkan aktipasi dan ekspansi klonal (proliferasi) sel T
helper. Sitokin yang dihasilkan oleh sel T, sel NK T dan sel NK dapat juga mempengaruhi
respon sel B terhadap TI-1 antigen, demikian juga respon imunitas innet. Sayangnya, TI-1
antigen tak dapat memicu maturasi affinitet pada sel B dan pembentukan sel memori.

TI-2 antigen adalah molekul yang memiliki keberulangan struktur yang banyak seperti
polisakarida pada kapsul bakteri,. TI-2 antigen tidak memiliki kemampuan instrinsik memicu
aktipitas sel B seperti halnya TI-1 antigen. Hanya bisa memicu sel B matur tak bisa sel B
immatur sehingga bayi tak dapat efisien membuat antibodi terhadap polisakarida mungkin
karena kebanyakan sel B yang dimilikinya masih immatur. Respon terhadap TI-2 antigen ini
menonjol dilakukan oleh sel B zona marginal dan sel B-B1. Sitokin dapat juga
mempengaruhi respon sel B terhadap TI-2 antigen yang berperan sebagai kostimulator
seperti BAFF ( famili TNF) yang dihasilkan sel dendritik. Oleh karena banyak sekali bakteri
patogen ditutupi oleh kapsul dari polisakarida sehingga tidak dapat di pagosistosis oleh
pagosit (sebagai persyaratan untuk terpicunya sel B oleh TD antigen), maka sangatlah
penting artinya respon terhadap TI-2 antigen ini yang tidak memerlukan bantuan sel Th,
disamping dapat mengeliminasi patogen, antibodi yang terbentuk malah bisa membantu
dimulainya proses respon terhadap TD antigen karena anti polisakarida yang telah melekat
di kapsul bakteri akan memfasilitasi pagositosis bakteri oleh pagosit (opsonisasi).
BAB 7

MAJOR HISTOCOMPATIBILITY COMPLEX (MHC)


UNTUK PRESENTASI ANTIGEN KEPADA LIMFOSIT T

Kenapa bernama MHC ?.

MHC ditemukan pertama kali berkaitan dengan perannya pada reaksi penolakan terhadap
jaringan transplantasi, itulah sebaabnya namanya demikian. Sekitar 20 tahun lamanya para
ahli imunologi penasaran mengenai MHC ini, mereka berpikir tidak mungkin MHC ini hanya
berkaitan dengan transplantasi, karena tranplantasi bukan proses natural, pasti ada fungsinya
yang bersifat natural. Tahun 1960-1970 penelitian imunologi berkutat banyak pada
pemburuan fungsi natural MHC ini. Akhirnya Baruj Benacerraf, Hugh McDevitt, dkk
menemukan bahwa strain berbeda dari babi dan tikus akan berbeda pula kemampuannya
membuat antibodi terhadap polipeptida sentitek,gen yang yang bertanggung jawab tentang
kemampuan berespon yang berbeda ini diturunkan melalui jalur Mendelian dominan, mereka
memberi nama gen-gen itu dengan Immune respone (ir) genes yang kemudian terungkap
bahwa Ir genes itu adalah MHC genes. Akhirnya pemburuan itu makin menunjukkan hasil
setalah Peter Doherty dan Rolf Zinkernagel (1974) berhasil menemukan bahwa Sel T
Sitotoksik mampu mengenal sel yang terinfeksi virus dan membunuhnya sedangkan sel
normal di sebelahnya tidak diganggu. Jadi berarti Sel T sitotoksik itu adalah spesifik virus.
Ini dimungkinkan karena sel terinfeksi virus itu mengekspressikan MHC. Karena genotipe
MHC “membatasi” spesifitas antigen dari sel T maka disebut sebagai MHC
restriction.Karena hebatnya temuan ini membuat mereka mendapat hadiah nobel pd th 1996.

Bagaimana struktur dan fungsi molekul MHC ?

Tiap molekul MHC terdiri atas peptide-binding cleft atau groove yang berfungsi mengikat
antigen dan Immunoglobulin(Ig)- like domains pada bagian ekstraseluler (merupakan ¾ dari
seluruh struktur MHC) yang bersambung dengan domain transmembran dan domain
intrasitoplasmik. Semuanya menyatu membentuk struktur tiga dimensi. MHC dibagi atas
MHC kelas I dan MHC kelas II

Tiap molekul MHC kelas I terdiri atas dua rantai polipeptida yang terikat nonkovalen yaitu
rantai α (rantai berat, 44-47 kD ) yang terdiri atas segmen α1,α2 dan α3 yang disandi oleh
gen MHC dan β2 –microglobulin (12kD) yang disandi oleh gen nonMHC. {elektroporesis:
β2 (mobilitas), micro (ukuran), globulin (solubilitas)}.,. Domain transmembran sebagai
lanjutan dari segmen α3 merupakan segmen hidropobik dan domain intrasitoplasmik
mengandung residu terminal karboksil (C). Segmen α1 dan α2 dari α chain bersama-sama
membentuk cleft (celah) atau groove ( alat penangkap bola pemain baseball) yang akan
menjadi tempat peptida (antigen) terikat sehingga disebut peptide-binding cleft atau groove (
selanjutnya disebut cleft.) Dasar cleft dibuat oleh segmen α1 dan α2 (panjang masing-masing
kira2 90 residu) yang saling berinteraksi menyusun delapan bentangan paralel yang berasal
dari empat bentangan untuk masing-masing segmen (Kedua segmen yang bersambungan ini
seperti tali jemuran yang dibentang paralel bolak balik dimana α1 menyusun 4 bentangan
disambung oleh α2 empat bentangan pula) . Dinding cleft dibentuk oleh dua bentangan
paralel dari α helix (seperti spiral).. Peranan β2-microglobulin memang tidak ikut
membentuk cleft hanyalah menopang dua bentangan paralel segmen α helix tapi peran ini
sangat penting karena menentukan stabilitas ikatan antigen dengan peptide-binding cleft agar
dapat diekspressikan di permukaan sel. Sebelum menembus sel membran, segmen α3
(sebagai lanjutan dari segmen α2) dan β2-microglobulin membentuk Ig domain yang sama
untuk semua molekul MHC kelas I. Ig domain ini berperan penting untuk tempat mengikat
koreseptor CD8 dari CTL pada waktu TCR mengikat antigen yang berada pada peptide-
binding cleft MHC . Ujung carboxyl-terminal α3 terdiri atas sekitar 25 asam amino
hidropobik yang menembus lapisan lemak (bilayer) dari sel membran yang bersambung
dengan sekitar 30 residu pada sitoplasma yang menjangkar molekul MHC pada sitoplasma.
(karena pada MHC kelas I hanya satu rantai yang menjangkar ke sitoplasma yaitu rantai α
maka cocok dengan namanya sebagai kelas I).

Segmen α1 dan α2 dikode oleh gen MHC dan sangat polimorpik antar individu Segmen α3
yang juga dikode oleh gen MHC dan β2-microglobulin yang dikode oleh gen nonMHC,
keduanya tidak bersifat polimorpik. Hampir semua individu (kecuali yang kembar) adalah
heterozygous yang diekspresikan dua-duanya (codominant) untuk gen MHC kelas I yang
terdiri atas gen HLA-B, HLA-B dan HLA-C yang diturunkan dari orang tua, oleh karena itu
tiap individu mengekspressikan enam macam molekul MHC kelas I yang berbeda pada tiap
sel.

Tiap molekul MHC kelas II terdiri atas dua rantai polipeptida yang terikat nonkovalen yaitu
rantai α ( 32-34 kD ) dan rantai β ((29-32 kD). Keduanya disandi oleh gen MHC yang
polimorpik dan keduanya berada pada lokus MHC. Rantai α terdiri atas hanya dua segmen
yaitu α1 dan α2 demikian juga rantai β terdiri atas segmen β1 dan β2. Cleft dibentuk
bersama-sama oleh segmen α1 dan β1, dimana masing-masing menysun empat bentangan
untuk dasar cleft dan masing-masing juga membentuk satu bentangan untuk dinding cleft.
Polimorfisme cleft ini berbeda dengan MHC kelas I yang bertebaran merata pada α1 dan α2
tetapi pada MHC kelas II polimorfisme kebanyakan pada segmen β1.

Segmen α2 dan β2 terlipat membentuk Ig domain yang tidak polimorpik dan fungsinya sama
dengan Ig domain pada MHC kelas I yaitu untuk tempat mengikat koreseptor sel T tetapi
untuk CD4 (bukan untuk CD8 seperti pada MHC kelas I). Ujung carboxyl-terminal rantai α2
dan β2 terdiri atas sekitar 25 asam amino hidropobik yang menembus lapisan lemak (bilayer)
dari sel membran yang bersambung dengan sekitar 30 residu pada sitoplasma yang
menjangkar molekul MHC pada sitoplasma. (Tip untuk gampang mengingat : karena pada
MHC kelas II kedua rantai yaitu α dan β sama-sama menjangkar ke sitoplasma maka cocok
dengan namanya sebagai kelas II).

MHC hanya bisa diekspressikan stabil dipermukaan sel jika molekul MHC sudah terakit
lengkap dan sudah mengikat peptida sehingga terbentuk rakitan heterotrimer yang terdiri
atas rantai α dan β2-microglobulin (untukMHC kelas I) atau rantai α dan rantai β (untuk
MHC kelas II) ditambah dengan satu peptida yang mengikat pada cleft.

Struktur tersebut di atas tentunya mendukung fungsi yang akan diembannya. Molekul MHC
kelas I bertugas mengespressikan(memaajang) di permukaan sel semua protein (normal atau
asing) yang ada dalam sitoplasma sel atau dihasilkan oleh sel bersangkutan dalam
endoplasmik retikulum untuk dilihat atau dikenal oleh sel T CD8 Sedangkan molekul MHC
kelas II bertugas mengespressikan (memajang) di permukaan sel semua protein yang ada di
dalam pagosom yang berasal dari protein asing yang dipagositosis oleh sel bersangkutan
untuk dilihat dan dikenal oleh sel T CD4

Ekspressi (pemajangan )protein dipermukaan sel ini sangatlah penting untuk pertahanan,yaitu
untuk memulai aktipasi sel T CD4(pemajangan oleh MHC kelas II) dan sel T CD8
(pemajangan MHC kelas I) dan untuk mengeliminasi sel yang menjadi reservoar patogen
oleh sel T CD8 (pemajangan oleh MHC kelas I ) atau untuk mengeliminasi sel yang tidak lagi
mampu memerankan fungsinya menghasilkan protein self oleh sel NK. Dengan kata lain sel
yang mengekspressikan protein asing akan dieliminasi oleh sel T dan jika tidak
mengekspressikan protein self akan dieliminasi oleh sel NK.
Bagaimana gen-gen MHC.?

Pengetahuan tentang gen ini sangatlah penting untuk memahami kenapa terjadi polimorpisme
yang hebat (terhebat dalam gen manusia) pada molekul MHC seperti telah disinggung pada
pembicaraan mengenai struktur MHC di atas. Polimorpisme terjadi pada segmen α1 dan α2
(rantai α) dan pada segmen α1 dan β1 (rantai α dan β) ang membentuk antigen binding cleft
pada masing-masing MHC kelas I dan MHC kelas II.

Lokus MHC terdiri atas dua tipe gen polimorpik yaitu gen MHC kelas I dan MHC kelas II
yang menyandi pembentukan dua protein yang strukturnya berbeda tapi homolog dan
sejumlah gen nonpolimorpik yang produknya terlibat di dalam presentasi antigen. Tiap kelas
MHC memiliki masing-masing tiga allel gen yaitu gen HLA (Human leucocytes antigen)-A,
HLA-B dan HLA-C untuk MHC kelas I dan gen HLA-DP, HLA-DQ dan HLA-DR untuk
MHC kelas II. Pada sebagian individu ada ditemukan rantai β ekstra untuk HLA-DR yang
juga bisa berpasangan dengan DRα sehingga gen MHC kelas II bertambah satu allel yaitu
HLA-DR (βekstra), pada individu ini gen MHC kelas II menjadi empat allel yaitu HLA-
DR(αβ), HLA DR(αβekstra), HLA-DP(αβ) dan HLA DQ(αβ).

Pencarian molekul permukaan yang dikenal sebagai molekul asing oleh respon imun individu
lain pada kasus penolakan jaringan transplantasi terungkap ketika Jean Dausset, Jan van
Rood dan kolega-koleganya menemukan adanya antibodi yang mengenal sel asal donor pada
individu yang mendapat transfusi darah berulang-ulang, atau mendapat transplantasi ginjal
dan bahkan dalam darah ibu multipara ditemukan antibodi yang mengenal sel dari suaminya.
Protein permukaan yang dikenal oleh antibodi tersebut diberi nama Human Leucocyte
Antigen (HLA) (Leukosit karena waktu itu dipakai leukosit mengetest antibodi dan
antigen karena bereaksi terhadap antibodi yang ditest). Penelitain selanjutnya
mengungkapkan bahwa gen yang menyandi pembentukan antigen (HLA) ini yaitu gen HLA
yang ada di semua sel mamalia adalah gen yang menentukan respon penolakan terhadap
jaringan transplantasi .Gen ini, sama dengan gen H2 yang pertama ditemukanpada tikus,
diberi nama gen MHC.

Gen MHC kelas I terdiri atas tiga gen yang sangat polimorpik dan diberi nama A,B, dan C
yang menggambarkan bahwa hanya satu rantai yang polimorpik yaitu rantai α sehingga
diberi nama gen rantai α MHC kelas I (MHC Class I α-chain genes) yang berada pada
kromosom 6..Tiga gen ini berada pada bersama dengan gen yang menyandi pembentukan
β2-microglobulin akan menghasilkan tiga tipe molekul MHC kelas I. Gen yang menyandi
pembentukan β2-microglobulin tidak polimorpik dan berada di kromosom lain yaitu pada
kromosom 15.

Gen MHC kelas II terdiri atas tiga pasang gen (kadang ada yang punya 4 pasang) yang
sangat polimorpik dan diberi nama DR, DP dan DQ yang menggambarkan bahwa ada dua
rantai (satu pasang) yang keduanya polimorpik yaitu rantai α dan β dan diberi nama gen
rantai α dan β MHC kelas II (MHC Class II α- and β- chain genes). Ketiga (atau kempat)
gen ini semuanya berada pada lokus MHC di kromosom 6 dan bersama-sama menghasilkan
tiga atau empat tipe molekul MHC kelas I.

Semua tipe MHC kelas I dan II ini dapat mempresentasikan antigen kepada sel T, tapi
masing-masing mengikat peptida dengan panjang yang berbeda-beda, MHC kelas I berkisar
8-10 asam amino sedangkan untuk MHC kelas II agak fleksibel sehingga bisa lebih panjang
dari itu.

Tabel Gen MHC manusia dengan polimorpisme yang tinggi*).


MHC kelas I Junlah allel yang MHC kelas II Jumlah allel yang
berbeda berbeda
HLA-A (1a) 414 HLA-DPA(DPα) 23
HLA-B (1a) 728 HLA-DPB(DPβ) 120
HLA-C (1a) 210 HLA-DQA(DQα) 32
HLA-E (1b) 8 HLA-DQB(DQβ) 68
HLA-F(1b) 20 HLA-DRA(DRα) 3
HLA-G(1b) 23 HLA-DRB(DRβ) 503
MIC-A (1b) 60
MIC-B (1b) 25
Jumlah 1488 Jumlah 749
*) HLA allel yang disahkan oleh komite nomenklatur WHO 2006. (jumlah
ini terus bertambah).

Pada tabel terlihat banyaknya variasi polimorfisme pada berbagai allel gen MHC
kecuali variasi allel pada DRA yang sangat sedikit (hanya 3 allel) maka sebenarnya allel
DRA ini secara fungsional adalah monomorpik. Tingginya polimorfisme ini disebabkan dua
faktor yaitu poligeni dan polimorfisme sendiri. Kalau hanya karena poligeni saja maka
setiap individu akan sekurang-kurangnya memiliki tiga molekul MHC Kelas I yang berbeda
dan tiga atau empat molekul MHC kelas II ya g berbeda pada setiap selnya. Polimorfisme
berarti setiap gen MHC memiliki sejumlah allel yang berbeda (tabel ). Dari jumlah allel
yang banyak ini bisa memunculkan jumlah kombinasi allel dalam variasi yang luas pula
dengan hasil protein yang dihasilkannya memiliki variasi yang luas pula (banyak sekali
kemungkinan kombinasinya).Diversitas molekul MHC muncul dari berbagai kemungkinan
kombinasi gen dan allel sedhingga protein MHC yang terbentuk adalah isoform dari yang
lainnya. Misalnya untuk membentuk HLA DR, maka akan terambil satu dari 3 allel yang ada
pada DRA dan mengambil satu dari 503 variasi allel yang ada pada DRB, akibatnya dapat
dibayangkan berapa variasi kombinasi yang bisa dihasilkan dengan akibat ditemukanlah
HLA-DR dalam variasi (polimorfisme) yang tinggi.

Faktor lain lagi yang makin memperbesar polimorfisme ialah gen MHC adalah hampir selalu
heterozygot karena akibat besarnya variasi allel maka sangatlah tipis kemungkinan seorang
anak mengambil MHC dengan allel yang sama dari kedua orang tuanya untuk dibuat
berpasangan dalam satu gen. Hebatnya lagi, kedua allel pada satu gen MHC ini selalu sama-
sama aktip untuk menghasilkan molekul MHC, disebut codominant expression , membuat
makin meningkat lagi polimorfisme pada MHC kelas II.(pada MHC kelas I, allel β-
microglobulin monomorpik sehingga codominant expression tidak mempengaruhi
polimorpisme). Diperkirakan dalam populasi sekarang ini terdapat sekitar 3500 allel HLA,
tetapi baru sekitar 2000 allel HLA yang telah terdata dan telah ditetapkan nomenklaturnya
oleh Komisi nomenklatur WHO pada th 2006. (tabel ).

Polimorfisme gen MHC yang kita lihat sekarang ini dicapai melalui evolusi panjang pada gen
MHC, Evolusi ini berupa perbuhan-perubahan genetik (mutasi) pada gen HLA yang
mungkin sebagi respon terhadap perubahan yang terjadi pula pada patogen yang
jugamengalami evolusi perubahan genetik (mutasi). Akibat perbuhan genetik ini maka
bermunculanlah alllel baru yang makan lama makin banyak jumlahnya. Mutasi itu bisa
berupa point mutation atau gene conversion., yang terakhir dimaksudkan terjadi penggantian
pada rangkain gen oleh rangkaian gen dari gen yang lain.

Apa manfaat polimorfisme gen MHC dari segi respon imun ?

Kebanyakan polimorfisme gen yang mengkode sintese protein hanya berbeda sedikit saja,
satu atau beberapa asam amino, tetapi perbedaan allelik protein MHC bisa berbeda sampai
20 asam amino.Polimorfisme ini nampaknya diperlukan untuk berbagai kepentingan

1. Menjamin tersedianya jumlah yang banyak dari variasi molekul MHC pada tiap
individu agar molekul MHC yang dimiiliki ada yang mampu mengikat peptida
apapun dari patogen yang menyerangnya yang juga memiliki variasi peptida yang
banyak. Sehingga semua dapat dipresentasikan ke sel T. Jadi polimorfisme adalah
untuk meningkatkan kemampuan respon imun seseorang. Sebagi perbandingan pada
binatang inbread yang memiliki variasi MHC molekul yang sedikit karena lokus gen
MHC homozygoous sangat gampang infeksi.
2. Residu polimorpik dari antigen binding cleft MHC yang menentukan sepsifitas
pengikatan peptida dan pengenalan antigen kepada sel T berarti tiap individu bisa
berbeda responnya terhadap patogen. Menghadapi patogen yang membahayakan satu
spesies, karena polimorfisme ini maka terjamin bahwa pasti ada diantara spesies itu
yang berhasil mengikat peptida patogen itu dan mempresenteasikannya ke sel T.
Dengan kata lain, tidaklah mungkin satu patogen bisa menghindari sistem pertahanan
semua individu dalam satu spesies, Inilah kekuasaan Tuhan untuk menjaga
keseimbangan antara spesies dan patogen yang membahayakan spesies bersangkutan
sehingga tidak punah. Dipihak lain, akibat polimorfisme ini akan ditemukan dalam
suatu spesies ada individu yang rentang dan ada yang resisten terhadap patogen
tertentu.
3. Patogen sebagai mahluk hidup memiliki juga berbagai mekanisme untuk melepaskan
diri dari terjangan respon imun. Salah satu caranya adalah melakukan mutasi pada
peptida yang diikat oleh MHC, sehingga tak dapat lagi dipresentasikan oleh MHC.
Strategi patogen ini tidaklah gampang mengalahkan respon imun kita karena peptide
yang sudah mutasi bisa saja selamat dari MHC yang satu tapi akan diikat lagi oleh
MHC yang lain karena MHC sangat banyak variasi.
4. Polimorfisme sendiri timbul sebagai proses evolusi menghadapi serangan patogen
berulang-ulang, dimana dihasilkan varian MHC baru seperti yang terjadi pada
penderita malaria yang selamat dari malaria yang mematikan karena mereka memilik
HLA-B53. Allel ini sangat umum ditemukan pada penduduk Afrika Barat yang
merupakan endemik malaria tetapi kasus malaria mematikan sangat jarang.

Apa itu gen MHC nonklasik ?

Lokus MHC bukan hanya diisi oleh dua tipe gen polimorpik yaitu gen MHC kelas I dan
MHC kelas II yang menyandi pembentukan dua molekul MHC kelas I dan kelas II yang
strukturnya berbeda tapi homolog, tetapi diisi juga dengan sejumlah gen yang produknya
terlibat di dalam presentasi antigen kepada sel T dan terutama kepada sel NK atau untuk
atipitas imunologis lain.. HLA-E mengikat sangat terbatas hanya pada peptida
nonpolimorpik yang disebut Qa-1 determinant modifier (Qdm) yang biasanya adalah “leader
peptides” yang akan didegradasi oleh enzim untuk dapat diikat oleh MHC kelas I (Qa-1
adfalah nama HLA-E pada tikus). Peptida ini dipresentasikan kepada sel NK dengan dampak
terjadi inhibisi sel NK.

Presentasi peptida asal anak kepada Sel T oleh HLA-G yang ada pada sel plasenta asal anak
yang tertanam di uterus ibu. HLA-G ini tidak bisa berinteraksi dengan sel T CD8 sehingga
peptida asal anak (seharusnya merupakan epitop bagi sistem imun ibu) tidak dapat dikenal
oleh sel T CD8. (malah berinteraksi dengan sel T regulator).Jika sel T CD8 tak mengenal
peptida asing, biasanya sel NK akan menyerangnya karena tidak menghasilkan peptida self
tetapi mekanisme ini tidak terjadi karena HLA-G bisa berikatan dengan reseptor inhibisi sel
NK (lihat mekanisme sel NK membunuh sel). Dengan dua karakteristik HLA-G ini maka
anak bisa selamat hidup dalam kandungan ibu tanpa diganggu oleh respon imun ibu (sel T
dan sel NK). HLA G banyak juga diekpressikan oleh tumor kolon sebagai bagian dari upaya
sel tumor melepaskan diri sari aktipitas pembunuhan sel NK.

HLA-F yang diekspressikan oleh banyak macam sel tetapi sulit di temukan pada permukaan
sel kecuali pada monocytes cell lines atau pada sel limposit yang sudah menjadi sel ganas
oleh virus, mungkin bagian dari mekanisme sel tumor menghindar dari respon imun karena
HLA-F, seperti dengan HLA-G, dapat juga mengikat reseptor inhibisi dari sel NK. Semua
molekul HLA-E, HLA-F dan HLA-G memiliki struktur yang mirip dengan MHC kelas I
yaitu memiliki juga β2-microglobulin, tetapi MIC-A dan MIC-B tidak memilikinya.

MIC-A dan MIC-B adalah protein yng diekspressikan oleh sel fibroblast dan sel epitel
terutama epitel saluran cerna sebagai akibat dari sel mengalami stress ( mis heat shock).
Kedua protein ini berperan untuk menimbulkan respon imun innet pada keadaan dimana sel
mengalami stress yang ditandai dengan tidak mampunya lagi menghasilkan interferon (sel
normal jika diserang oleh patogen, misalanya virus, akan menghasilkan interferon). Jadi sel
demikian ini oleh tubuh tidak perlu lagi dipertahankan dan bisa mati melalui mekanisme yang
dimediasi oleh MIC-A dan MIC-B ini. Kedua protein ini dapat dikenal oleh sel NK, sel Tγδ
dan beberapa sel T CD8 karena ketiga sel ini mengekspressikan reseptor NKG2D yang
mampu berikatan dengan kedua protein tersebut sehingga sel yang mengespressikan MIC-A
atau MIC-B akan dibunuh oleh salah satu dari ketiga sel effektor tersebut.

Beberapa MHC class I-like genes (MHC Ib genes) yang berada diluar lokus MHC antara
lain CD1 dan ULBPs yang masing-masing menyandi sintese protein CD1 dan ULBPs.
Protein CD1 diekspressikan oleh sel dendritik dan monosit yang terbagi atas dua kelompok
dengan fungsi berbeda. Kelompok 1 terdiri atas CD1a,CD1b dan CD1c berfungsi mengikat
derivat asal mikroba seperti antigen glikolipid, pospolipid dan lipopeptida yang merupakan
komponen dari membran mikobakterium (asam mikolik, monomikolak glukose,
pospoinositol mannosida dan lipoarabinomannan..Kelompok 2 terdiri atas CD1d dan CD1e
mengikat self lipid seperti spingolipid dan diasilgliserol. CD1 ini mempresentasikan lipid
kepada sel T yang TCRnya bisa mengenal lipid dan sel T ini bukan yang memiliki CD4 atau
CD8 (CD4-CD8- T cells). Sedangkan ULBPs berperan dalam memicu aktipasi sel NK
karena , seperti dengan MIC-A dan MIC-B, protein ini dapat berikatan dengan reseptor
aktipasi NKG2D dari sel NK.

Tabel Non classical MHC genes (MHC kelas Ib) yang berada pada lokus MHC
dan di luar lokus MHC, sifat dan fungsi protein yang dihasilkannya *
MHC Kelas Ib Pola ekspressi Polimorf ligand Fungsi
isme
HLA-E** ada di mana-mana sedikit MHC Inhibisi sel NK
leade
peptides
(Qdm)
HLA-G** Plasenta sedikit peptida Modulasi interaksi
imunologis ibu dan anak.
HLA-F** Ekspressi luas sedikit peptida? Inhibisi sel NK?
MIC-A/MIC-B* Ekspressi luas, sedang Tidak ada Aktipasi sel NK dan sel T
terutama saluran CD8 pada sel yang stress
cerna
CD1 *** Terbatas tidak Lipid,glik Mengaktipkan sel T
olipid terhadap lipid bakteri
ULBPs*** Terbatas. sedikit Tidak ada Memicu aktipasi sel NK
MIC : MHC Class I- like molecules. ULBPs: UL16 binding protein; * tidak semua
ditampilkan dalam tabel ini, **pada lokus MHC; ***diluar lokus MHC.

PRESENTASI ANTIGEN KE LIMPOSIT T.

Kenapa perlu presentasi antigen ke sel T?.

Ada beberapa kondisi dan fungsi sel T yang memerlukan presentasi antigen oleh sel yang
lain, Sejumlah sel memiliki kemampuan ini, mereka disebut Antigen Presenting Cells
(APC). Presentasi antigen selalu harus diartikan bahwa APC dan sel T melakukan kontak
langsung baru terjadi presentasi antigen, tak ada peristiwa presentasi antigen tanpa kontak
langsung. Presentasi antigen ini bisa untuk kepentingan pengenalan antigen agar terpicu
aktipasi sel T naif, eliminasi antigen dan kerjasama antara sel pelaku respon imun.
1. Sel T ditugasi untuk mengeliminasi antigen yang sudah masuk ke dalam sel
(intraseluler mikroba) tak diberi tugas mengeliminasi patogen bebas sehingga tidak
seperti sel B yang dapat menangkap langsung patogen bebas, berarti harus ada satu
jenis APC yang menangkap patogen bebas untuk dipresentasikan (dilaporkan) ke sel
T naif agar sel T naif mengenal patogen sebelum berhasil masuk sel sehingga respon
eliminasi tidak terlambat. Jadi APC memperesentasikan antigen untuk kepentingan
pengenalan antigen ( antigen recognation) dan aktipasi sel T naif (T cell
activation).
2. Sel T naif untuk spesifik antigen jumlahnya sedikit untuk bisa menjaga semua
wilayah dalam tubuh kita sehingga perlu ada sistem yang efektif untuk
mempertemukan sel T naif dengan antigen. Tempat pertemuan adalah di jaringan
limpoid perifer, dimana sel T naif bersirkulasi ke seluruh jaringan limpoid perifer
(hanya homing sebentar) untuk bertemu dengan APC yang juga harus datang ke organ
limpoid perifer terdekat diamana ia menangkap patogen. Sehingga dengan demikian
sel T yang spesifik untuk patogen tertentu (sesuai spesifitas epitop patogen) siap
menyambut patogen bersangkutan masuk dimanapun dalam tubuh . APC membawa
antigen yang ditangkapnya ke organ limpoid perifer agar bisa bertemu dengan sel T
naif (antigen recognation) yang spesifitasnya sesuai dengan epitop patogen yang
ditangkapnya dan memicu aktipasi sel T naif (T cell activation).
3. Sel T yang sudah aktip ditugaskan untuk mengeliminasi mikroba intraseluler dengan
jalan membunuh sel yang telah diinfeksi oleh mikroba agar reservoar mikroba tidak
ada. Untuk menjalankan tugas ini maka sel T harus mampu mengenal yang mana sel
yang sudah terinfeksi, hal ini bisa berlangsung karena sel terinfeksi mempresentasikan
antigen patogen yang ada dalam dirinya. Sel terinfeksi mempresentasikan antigen
mikroba untuk kepentingan eliminasi antigen (antigen elimination).
4. Sel T (dalam hal ini sel T helper) menjadi panglima dari sistem yang berperan dalam
respon imun, makanya sel T harus dapat berkontak langsung atau tidak langsung
(melalui sitokin) dengan sel lain dalam sistem. (Panglima memimpin pasukannya
melalui dua cara yaitu pertemuan langsung dan komunikasi melalui sitokin). Sel T
helper harus berkontak langsung dengan sel B agar bisa dipicu dan dikendalikan
dalam mensintese antibodi demikian juga dengan markropag agar dapat dipicu dan
dikontrol untuk lebih hebat menjalankan tugasnya mengeliminasi patogen. Oleh
kareha itu, sel-sel tersebut harus mampu mempresentasikan antigen yang telah
ditangkapnya kepada sel T helper agar bisa berkontak langsung dalam rangka
bekerjasama mengurus antigen yang dipresentasikan itu. Jadi presentasi antigen
disini adalah untuk kepentingan kerjasama antar sel dalam sistem imun.

Bagaimana karakteristik interaksi peptida dan MHC ?.

Berbeda dengan TCR yang mengikat antigen dengan sepisifitas yang sangat ketat sehingga
membentuk ikatan kovalen, molekul MHC mengikat antigen dengan spesifitas yang luas.
Satu molekul MHC memang seperti TCR hanya dapat mengikat satu antigen tetapi molekul
MHC dapat berikatan dengan banyak peptida yang berbeda. Peptida itu berukuran demikian
rupa sehingga harus cocok dengan ukuran antigen binding cleft MHC, biasanya berkisar
panjang 8-10 peptida untuk MHC kelas I dan 10-30 peptida untuk MHC kelas II. Pengikatan
peptida pada cleft MHC merupakan ikatan antara residu peptida yang berperan sebagai
jangkar yang melekat pada bagian polimorfis dari cleft MHC (anchor residues), residu
peptida yang menjangkar pada cleft ini disebut sequence motif (peptide-binding motif).
Perkiraan tentang residu peptida yang bisa berperan sebagai sequence motif ini sangat penting
untuk pembuatan vaksin.

Molekul MHC tidak sama dengan TCR atau BCR yang terpasang dulu pada permukaan sel T
atau sel B kemudian mengikat antigen. Molekul MHC sudah memuat peptida di dalam sel
baru dibawa ke permukaan sel untuk dipajang, dengan kata lain antigen binding cleft terisi
peptida di dalam sel. Peptida itu bisa berasal dari produk gen virus yang menginfeksi sel, bisa
berasal dari mikroba yang ada dalam sitosol (mikroba intraseluler) atau dari mikroba yang
ada dalam pagosom karena dipagositosis. Yang terakhir ini akan diikat oleh MHC kelas II
sedangkan yang lainnya oleh MHC kelas I.

Peptida yang diikat oleh molekul MHC (dalam hal ini adalah MHC kelas I) bisa juga berasal
dari produk normal sel sehingga molekul MHC tidak membedakan antara produk asing dan
produk self, semuanya diikat dan dipajang di permukaan sel. Peptida self memang dipajang
juga tetapi tidak dikenal atau diresponi oleh sel T karena sel T tidak mengenal antigen self
jadi tugas membedakan antigen self dan asing ada pada kompetensi sel T bukan pada MHC.
Bahkan MHC memang harus memajang produk normal yang akan menjadi tanda bagi sel
NK bahwa sel itu tak boleh dieliminasi karena masih bekerja dengan baik.

Jika diibaratkan MHC sebagai tangan menyerahkan peptida kepada tangan lain yaitu TCR,
berarti bagian peptida yang dipegang oleh MHC tidak dapat dipegang oleh TCR . Dari analog
ini dapat dipahami bahwa yang dapat dikenal dan diikat oleh TCR adalah residu peptida
yang tidak diiikat oleh molekul MHC. Jika ada diantara sel T yang mengenal residu peptida
itu karena sesuai dengan spesifitas TCRnya, barulah bisa terjadi kontakl angsung antara sel
yang mempresentasikan antigen dengan sel T. Kontak langsung ini bisa terjadi karena sel T
mengikat secara spesifik peptida (asing) yang dipresentasikan molekul MHC dan sekaligus
mengikat juga MHC (self) dengan menggunakan koreseptor CD 4 atau CD8 yang disebut
MHC restriction dari sel T. Kembali perumpamaan tangan, tangan yang menyerahkan
peptida (MHC)memegang peptida sepotong dan tangan yang menrima (TCR) memegang
potongan peptida sisa dari yang dipegang oleh MHC kemudian CD 4 atau CD8 memegang
tangan MHC agar stabilitas ikatan antara MHC-peptida-TCR stabil.

Presentasi antigen oleh MHC ke permukaan sel ramai sekali, tetapi kenyataannya hanyalah
sedikit dari semua pajangan kompleks peptida -MHC di permukaan sel yang bisa dikenal
oleh sel T. Sebagai contoh adalah APC yang mempresentasikan banyak sekali kompleks
peptida MHC di permukaanya, hanya sekitar 100 kompleks yang diresponi oleh sel T,
diperkiirakan dibawah 0,1% dari total estimasi kompleks peptida asing-MHC yang ada. Hal
ini dapat dipahami karena kebanyakan peptida yang terpajang adalah peptida self.

Ikatan peptida dengan MHC bukanlah ikatan kovalen seperti ikatan peptida dengan TCR atau
BCR tetapi hanyalah ikatan yang dimediasi oleh residu yang ada pada molekul peptida dan
pada molekul antigen binding cleft. Dengan demikian ikatan peptida MHC merupakan
ikatan saturabel (dapat lepas) tetapi dalam waktu yang lama dengan half life bisa berjam-jam
sampai berhari-hari. Half life yang panjang ini sangat penting agar tersedia waktu cukup
lama untuk sel T yang TCRnya sesuai dengan peptida yang dipajang itu untuk menemukan
dan mengikat kompleks tersebut.

Bagaimana pemerosesan untuk presentasi antigen protein.

Pemerosesan antigen dimaksudkan adalah degradasi antigen dari bentuk aslinya menjadi
peptida kecil dengan ukuran sesuai dengan ukuran antigen binding cleft MHC, Pemerosesan
ini dimungkinkan oleh tersedianya enzim untuk mendegradasi antigen. Enzim itu bisa berada
dalam pagosom yang berasal dari penyatuannya dengan lisosom (enzim lisozim) atau enzim
yang ada pada sitosol (enzim proteosom). Lisozim berfungsi mendegradasi antigen yang
dipagositosis oleh pagosit (misalnya mikroba ekstraseluler) sedangkan proteosom
mendegradasi antigen yang ada dalam sitosol (misalnya mikroba intraseluler).

Antigen dalam sitosol bisa bersumber dari :


1. Virus atau mikroba intraseluler lain yang menginfeksi sel bersangkutan
2. Mikroba yang tadinya ada dalam pagolisosom karena di pagositosis tetapi dapat
meloloskan diri dan keluar ke sitosol.
3. Produk dari gen yang mutasi seperi pada sel tumor (antigen tumor).
4. Peptida hasil degradasi mikroba dalam pagolisosom yang sengaja dipindahkan ke
sitosol untuk kepentingan cross presentation oleh sel dendritik (presentasi antigen
kepada sel T CD4 dan juga kepada sel T CD8).

Antigen akan didegradasi oleh enzim proteosom sehingga menjadi peptida dengan panjang
residu yang sesuai dengan ukuran cleft MHC. Sebenarnya proteosom ini adalah semacam
“pemelihara kebersihan” yang membersihkan sitosol dan inti sel dari protein yang rusak atau
protein yang tak sempurna pembentukannya. Degradasi antigen di sitosol dilakukan juga oleh
enzim protease.

Antigen yang sudah berbentuk peptida ditansfer dari sitosol masuk ke retikulum endoplasmik
(ER) dimana MHC diproduksi, transfer ini bisa terjadi karena adanya protein pengangkut
yang disebut transporter associated with antigen processing (TAP) yang memfasilitasi
peptida melewati dinding ER. Di dalam ER diproduksi MHC kelas I dan MHC kelas II tetapi
peptida dari sitosol ini hanya dapat berikatan dengan MHC kelas I, tidak dengan MHC kelas
II. Hal ini bisa terjadi karena MHC kelas I yang menjemput di dekat TAP, dimana MHC
kelas I diikat dengan TAP oleh tapasin dan cleft MHC kelas II dalam ER tertutup.

Pemuatan peptida ke dalam cleft MHC kelas I masih memerlukan satu proses lagi yaitu
pemotongan halus peptida agar bisa termuat dalam cleft, ini dilakukann oleh aminopeptida
yang disebut Endoplasmic Reticulum-amino peptida (ERAP). Setelah cleft MHC kelas I
berisi peptida maka affinitasnya terhadap tapasin hilang dan MHC kelas I terlepas dari ikatan
dengan TAP sehingga komples peptida-MHC kelas I ini dapat meninggalkan ER masuk ke
Golgi dan selanjutnya masuk ke exocytic vacuole untuk keluar dipajang di permukaan sel
untuk dikenal oleh sel T CD8.MHC kelas I yang tidak mengikat peptida tak dapat ke Golgi
tetapi dari ER keluar ke sitosol untuk didegradasi oleh proteosom. Oleh karena proses
pemajangan peptida oleh MHC kelas I ini memanfaatkan pemerosesan protein menjadi
peptida yang normal terjadi pada setiap sel (peran proteosom), maka semua sel (kecuali yang
tak berinti karena tak dapat membuat molekul MHC) dapat melakukan presentasi kompleks
peptida-MHC kelas I di permukaannya. Peptida itu bisa peptida self bisa peptida asing.

Antigen yang ada dalam endosom bisa berasal dari :


1. Mikroba ekstraseluler yang dipagositosis
2. Internalisasi antigen yang diikat oleh BCR pada sel B.
3. Internalisasi membran protein yang berasal dari sitosol masuk kembali ke dalam
endosom.
4. Protein produk virus yang ada pada sitosol bisa masuk kedalam endosom setelah
didegradasi menjadi peptida oleh proteosom.
5. Material sitoplasma yang mengalami degradasi enzimatik yang disebut autophagy.
Protein ini terjebak dalam suatu vesikel yang disebut autophagosomes.

Pembentukan kompleks peptida-MHC kelas II yang berasal dari endositosis (pagositosis)


antigen dan didegradasi oleh lisozim dalam vakuol (kantong) pagolisosom (bukan dalam
sitosol). Pemuatan peptida ke cleft MHC kelas II tidak terjadi di ER seperti pada MHC kelas
I, celft MHC kelas II malah ditutup sewaktu masih berada di ER. Molekul MHC kelas II
(yang belum memuat peptida) akan keluar juga dari ER seperti yang terjadi pada MHC kelas
I yaitu masuk ke Golgi dan selanjutnya masuk ke exocytic vacuole, tapi dari sini belum keluar
ke permukaan sel seperti pada MHC kelas I. Molekul MHC kelas II masuk dulu ke
pagolisosom (endosom) untuk bertemu dengan peptida, disinilah baru tutup MHC kelas II
dibuka dan peptida bisa masuk atau berikatan dengan cleft MHC kels II. Dari endosom inilah
kompleks peptida-MHC kelas II keluar dipajang di permukaan sel untuk dikenal oleh sel T
CD4, Oleh karena proses pemajangan peptida oleh MHC kelas II dimulai dengan endositosis
antigen ekstraseluler maka hanya sel yang mampu melakukan endositosis antigen yang dapat
melakukan presentasi antigen menggunakan molekul MHC kelas II, mereka diberi nama
Antigen Presenting Cells (APC) dimana termasuk didalamnya, sel dendritik, sel makropag
mononuklear, sel B, sel epitel timus dan sel endotel.

Molekul MHC kelas II memang dibuat juga di ER sama seperti MHC kelas I, tetapi cleft
MHC kelas II ditutup oleh satu protein bernama Invariant chain (lі) sehingga tidak bisa
terisi peptida selama dalam ER demikian juga dalam perjalanan menuju endosome (Golgi dan
exocytic vacuole). Setelah sampai di endosome barulah tutupnya dibuka yang terdiri atas dua
proses. Pertama degradasi invariant chain oleh enzim proteolitik yang ada dalam endosom
seperti katepsin menyisakan satu bagian yang disebut CLIP (Class II associated invariant
chain peptide) yang tetap menutup cleft, Kedua, CLIP dibuka oleh suatu protein yang disebut
HLA-DM sehingga terbukalah cleft untuk diisi peptida. (Ibarat HLA-DM ini seperti tang
yang punya juga cleft untuk mengikat CLIP yang seperti tutup botol agar bisa ditarik keluar
dari cleft MHC kelas II,) Oleh karena HLA- DM hanya boleh membuka penutup cleft MHC
kelas II di endosom maka pembukaan dimulai dulu dengan degradasi invariant chain oleh
enzim yang ada di endosom, HLA-DM tak dapat mengikat Invariant chain yang masih utuh.
Dengan mekanisme pembukaan tutup cleft MHC kelas II seperti telah diterangkan maka
kompleks peptida-MHC kelas II hanya bisa terbentuk dalam endosom.

Khusus pada sel dendritik, peptida yang ada dalam endosom dapat dipindahkan ke sitosol
sehingga dalam waktu yang bersamaan terjadi presentasi peptida yang sama menggunakan
masing-masing MHC klas II yang mempresentasikan peptida asal endosom kepada sel T
CD4 dan MHC kelas I yang mempresentasikan peptida asal dari sitosol kepada sel T CD8.
Presentasi silang seperti ini diberi nama cross presentation yang bertujuan untuk memulai
picuan aktipasi kedua jenis sel T itu sehingga disebut pula cross priming.

Berdasar mekanisme pemerosesan dan presentasi antigen di atas dapat dikemukakan bahwa
molekul MHC menentukan subset mana dari sel T yang berespon. Jika MHC kelas I yang
mempresentasikan antigen asal sitosol maka akan memicu respon subset sel T CD8
sedangkan jika MHC kelas II yang mempresentasikan antigen asal endosom akan memicu
respon subset sel T CD4, yang berada pada keduanya yaitu endosom dan sitosol akan
dipresentasikan oleh kedua MHC dan akan memicu kedua subset sel T juga (cross priming).
Tapi ini hanya menyangkut antigen protein, sedangkan antigen non protein memiliki
mekanisme dan sel pelaku yang lain.

Presentasi non protein antigen (karbohidrat dan lemak) tidak mengunakan MHC kelas I atau
MHC kelas II yang biasa disebut MHC klasik. Molekul yang digunakan biasa disebut Class I
like molecule atau nonclassical MHC atau disebut juga MHC Ib. Misalnya molekul CD1
untuk presentasi lipid. Sedangkan subset sel T yang terlibat adalah sel NKT dan sel Tγδ.

BAB 8

AKTIFASI LIMFOSIT T UNTUK IMUNITAS SELULER


Apa tujuan aktifasi sel T

Aktipasi limposit bertujan agar memicu proliferasi dan differensiasi dari jumlah kecil naive
T cells menjadi sel T effektor dengan jumlah yang banyak untuk mengeliminasi antigen yang
spesifik untuk naive T cells bersangkutan. serta terbentuknya sel T memori yang dapat
bertahan hidup dalam waktu yang lama untuk berespon lebih cepat dan lebih hebat jika
antigen yang sama datang kembali. Aktipasi ini harus berlangsug pada saat dibutuhkan yaitu
jika ada antigen datang. Berarti aktipasi limposit dimulai pada saat imunitas innet dimana sel
dendritik imatur berperan sebagai petugas imunitas innet untuk mengaktipkan limposit T.
Dengan kata lain aktipasi limposit adalah untuk menimbulkan immunitas adaptif yang lebih
kuat responnya mengeliminasi antigen dibanding imunitas innet

Bagaimana terjadi pertemuan antigen dengan sel T naif dan terjadi dimana ?

Sel dendritik imatur akan menangkap mikroorganisme yang menembus barrier sel epitel
menggunakan reseptornya(mis Toll-like receptor) yang dapat mengenal antigen pathogen-
associated molecular pattern (PAMPs) yang ada pada mikroba (mis LPS). Setelah terpicu
oleh antigen mikroba maka sel dendritik immatur akan berdifferensiasi menjadi sel dendritik
matur dan hanyut dalam aliran limpe menuju limponodus terdekat untuk mempresentasikan
antigen kepada sel T dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai Antigen Presenting
Cells ( APC). Setelah mikroba ditangkap akan dipagositosis dan selanjutnya diproses seperti
telah diterangkan pada imunitas innet, untuk menemukan antigen protein yang ada dalam
struktur mikroba guna dipresentasikanlah kepada sel T (sel Tαβ hanya mengenal antigen
protein) . Disamping antigen asal mikroba, antigen protein yang dipoproduksi oleh sel
sendiri (mis sel yang terinfeksi virus) dapat juga ditangkap dan dipresentasikan oleh sel
dendritik. Kalau antigen yang masih dalam jaringan akan dibawa ke limponodus atau
jaringan limpoid maka antigen yang sudah masuk darah akan ditangkap oleh sel dendritik
dalam darah dan dibawa ke limpa .

Aktipasi sel T dapat juga dipicu oleh bahan kimia (bukan protein ) yang kena kulit karena
bahan kimia melekat ke protein self dan mengubahnya menjadi antigen asing.(hapten) yang
dikenal di kilinik sebagai Contact sensitivity reactions,

Sel dendritik matur memajang antigen protein dipermukaannya menggunakan MHC kelas II
atau MHC kelas I dan dibawa ke orgam limpoid sekunder (limponodus, limpa dan jaringan
limpoid subepitelial) dimana sudah menungggu sel T naif. Sel T Naif ini (Sel T CD4 dan sel
T CD8) yang baru tamat dari timus akan “circulating” dalam sirkulasi darah dan aliran limpe
dan “homing” dalam organ limpoid sekunder kemudian keluar lagi jika tidak ketemu antigen
(keluar masuk organ limpoid sekunder). Mereka beredar dalam sirkulasi untuk mengunjungi
seluruh organ limpoid sekunder. Model “circulating” dan “homing” ini adalah cara untuk
menjamin semua clone sel T naif bisa hadir di semua organ limpoid sekunder sehingga jenis
antigen apapun dan masuk dimanapun akan ditemui oleh sel T naif yang sesuai spesifitas
reseptor antigennya.(catatan: satu clone limposit berarti sejumlah limposit yang spesifitas
reseptornya terhadap antigen yang sama) Mereka yang “homing” pada organ limpoid
sekunder siap mengenal antigen yang dipresentasi oleh sel dendritik matur jika spesifitas
reseptor antigennya sesuai. dan selanjutnta terpicu menjadi aktip.

Bagaimana caranya sel dendritik mengaktipkan sel T CD4 naifs dan sel T CD8 naif..

Seperti dipelajari pada proses pengembangan sel T di timus, sel T CD4 memiliki molekul
CD4 yang mampu mengenal MHC kelas II, berarti sel dendritik harus mempresentasikan
antigen protein kepda sel T CD4 naif menggunakn MHC kelas II dengan cara antigen
protein berikatan dulu dengan MHC kelas II (terjadi dalam pagolisosom) membentuk
kompleks MHC II dan antigen lalu dipajang dipermukaan sel dendritik, sel T CD4 naif akan
mengenal kompleks ini dengan menggunakan reseptornya (TCR) yang spesifik terhadap
antigen pada kompleks itu dan molekul CD4 yang mengenal MHC kelas II sel dendritik
(double recognation). Terjadilah kontak antara sel dendritik dengan sel T CD4 naif melalui
berikatannya kompleks MHC II dan antigen dipihak sel dendritik dengan TCR dan molekul
CD4 dipihak sel T CD4 naif.

Pengenalan antigen kepada sel T CD8 naif dilakukan juga oleh sel dendritik seperti pada
aktipasi sel T CD4 naif. . Berarti antigen dalam vesikel (pagolisosom) terlebih dahulu
ditransfer ke sitosol sel dendritik selanjutnya ke ER untuk ketemu MHC I membentuk
kompleks MHC-I dan antigen lalu dipajang dipermukaan sel dendritik (seperti pada
presentasi untuk sel T CD4) untuk dapat dipresentasikan juga kepada sel T CD8 naif agar
sel T CD8 naif dapat juga mengetahui kehadiran antigen bersangkutan dan selanjutnya
terpicu pula menjadi aktip berespon. Masuknya antigen ke dalam sitosol sel dendritik (agar
bisa ketemu MHC I) adalah peristiwa kunci dalam aktipasi sel T CD8 naif yang bertugas
menangani mikroba intraseluler, bagaimana persisnya sel dendritik memindahkan antigen
dari pagolisosom ke sitosol belum begitu jelas diketahui, diperkirakan hanya diffusi saja dari
partikel kuman yang telah dicerna enzim dalam pagolisosom.. Yang jelas diketahui yaitu
adanya mikroba yang mampu keluar sendiri dalam keadaan hidup dari pagosom masuk ke
sitosol (mis M. tbc).

Apa yang terjadi jika sel dendritik sebagai Antigen Presenting Cells (APC) telah
berkontak dengan sel T naif ?

Sepertinya sel dendritik membawa antigen di tangan kanan (MHC kelas II) untuk
dipresentasikan kepada sel T CD4 naif dan di tangan kiri (MHC kelas I) untuk
dipresentasikan kepada sel T CD8 naif melalui kontak langsung sel dendritik dengan kedua
jenis sel T pada saat yang bersamaan bertempat di limponodus, limpa atau jaringan limpoid
lainnya (cross presentation atau cross priming). Apabila sudah terjadi kontak langsung
antara dua sel maka akan terjadi saling mengirim signal stimulus, karena yang dibicarakan
disini adalah aktipasi sel T maka signal yang akan dibahas adalah dari sel dendritik ke sel T .
yaitu :

1. Signal 1 adalah signal yang muncul pada TCR akibat picuan antigen yang
dipresentasikan oleh sel dendritik.
2. Signal 2 adalah signal berupa kostimulator yang lewat molekul B7 yang terdiri atas
B7-1 (CD80) dan B7-2(CD86) dari sel dendritik yang berikatan (nyambung) dengan
mol CD28 dari sel T CD4 naif atau sel T CD8 naif.

Kedua signal ini dibutuhkan untuk aktipasi sel T CD4 naif menjadi sel T CD4 effektor (sel T
helper) , jika hanya signal 1 saja yang ada maka sel T CD4 naif dan sel T CD8 naif walau
sudah mengenal antigen tetapi tidak akan berespon dan menjadi sel T anergi. Aktipasi sel T
CD4 naif sangat memerlukan adanya signal 2 dan sitokin IL-12 dari sel dendritik.Signal 2
dibutuhkan juga untuk aktipasi sel T CD 8 naif menjadi sel T CD8 effektor (CTL) tetapi
kostimulator tidak sepenting perannya waktu memicu sel T CD4 naif, karena signal 2 untuk
memicu aktipitas sel T CD8 naif bisa juga berasal dari sel T CD4 yang sudah teraktipasi..
(gambar 9-3)

Begitu pentingnya peran kostimulator (signal 2) dalam aktipasi sel T dapat dijelaskan
dibawah ini:

1. Nampaknya signal 1 hanya memicu sel T agar siap untuk bereaksi tetapi perintah
signal 2 yang membuat sel T bereaksi, sehingga dapat diartikan bahwa ekspressi
kostimulator mengatur dan memastikan bahwa respon sel T dimulai pada waktu dan
tempat yg tepat.
2. Fungsi penting lain dari kostimulator jalur B7-CD28 adalah untuk regnerasi sel T
regulator (CD4+FoxP3+CD25+T cells) yg berperan untuk menekan atau mengontrol
fungsi sel T effektor (CTL) karena aksi CTL dapat berlebih-lebihan membunuh sel
sendiri yang justru bisa menimbulkan masalah yang lebih besar dibanding kehadiran
mikroba dalam sel bersangkutan. (pada hepatitis virus akut banyak sel hati mati oleh
sel T bukan oleh virus, akibatnya terjadi kematian sel hati yang massif).

3. Kostimulator lain yang arah signalnya dari sel T ke APC ( kebalikan dari jalur B7-
CD28 atau sel T memicu APC ) adalah Interaksi CD40L(sel T) dan CD40(APCs)
akan memicu APC memperbanyak ekspressi B7 (meningkatkan signal 2) dan
menghasilkan sitokin (IL-12) yg juga memicu aktipasi sel T.

Immunological synaps.

Bagaimana dua buah sel melakukan kontak dan sedemikian rupa tepat arah dari keduanya
keluar molekul yang saling sambung menyambung sesuai pasangnnya sehingga terbangun
jalur komunikasi antara kedua sel bersangkutan. Perlu diingat bahwa bentuk sel adalah bulat
sehingga kontak antara dua sel sama dengan dua bola yang dibuat berdempetan, dimana
lokasi dempetan hanya sebagian kecil dari permukaan bola. Jika kedua sel yang berkontak
itu adalah sel dendritik (APC) dengan sel T CD4 atau sel T CD8, maka molekul yang
pertama sekali berhubungan adalah TCR (reseptor) dan CD4(koreseptor) dengan kompleks
MHC II dan antigen ((untuk sel T CD4) atau TCR (reseptor)dan CD8(koreseptor) dengan
kompleks MHC I dan antigen (untuk sel T CD8). Ini penting karena spesifitas TCR dan
antigenlah yang menentukan kedua sel itu perlu kontak langsung dan lewat molekul-molekul
ini mengalir signal 1 dari APC ke sel T. Molekul-molekul lainnya hanya bertugas pada
proses selanjutnya setelah kontak pertama tadi itu berlangsung, ada yang bertugas hanya
memperkuat kontak itu dengan membangun molekul adesi antara kedua sel (integrin pada
sel T dan ICAM-1 pada APC) dan ada sebagai molekul kostimulator (B7 pada APC dan
CD28 pada sel T) yang akan menyalurkan signal 2 dari APC ke sel T.

Ketika TCR mengenal adanya kompleks MHC-peptide yg dipresentasikan APC, maka


sejumlah protein sebagai molekul permukaan sel T dan intracellular siganaling molecules
segera dimobilisasi ke tempat kontak sel T dan APC. Di permukaan sel dimana terjadi
kontak fisik antara sel T dan APC terbentuk immunlogical synaps atau supramolecular
activation cluster (SMAC) yang terdiri atas:
1. Di bagian tengah (cSMAC) ada kompleks TCR (TCR, CD3 dan ζ chains), koreseptor
CD4 atau CD8 , reseptor untuk kostimulator (mis CD28), enzim seperti PKC dan
adaptor protein yang terkait dengan cytoplamic tails dari transmembrane receptors.
2. Di bagian perifer (pSMAC) terdapat integrin untuk stabilisasi kontak.

Jarak sel T dan APC yg sedang berkontak tidak sama di sentral dan di perifer karena sel
bentuk bulat, pada daerah cSMAC sekitar 15nm dan pada pSMAC sekitar 40nm.

Immunological synaps berfungsi :

1. Memperkuat ikatan lemah antara TCR dgn kompleks MHC-peptide , molekul-


molekul koreseptor dan kostimulator sehingga terjamin lewatnya signal.
Immunological synaps ini seperti kabel dmana pSMAC adalah pembungkusnya dan
cSMAC adalah kumpulan kabel-kabel kecil yang membawa signal,

2. Kalau kontak terjadi antara CTL dengan sel target (mengandung antigen asing ) maka
immunological synaps seolah-olah seperti pipa menjamin tersalurnya secretory
granules (perforin dan gramzim) dan signal “pembunuhan” dari CTL ke sel target,
tidak tumpah kemana2 membahayakan sel yang normal.

3. Jika aktipasi sel T sudah cukup maka proses aktipasi dihentikan melalui degradasi
signaling protein pada immunological synapse (berperan dalam terminasi aktipasi sel
T).

Bagaimana signal akibat presentasi antigen mengaktipkan sel T?

Aktipasi sel T adalah integrasi signal-signal dari berbagai reseptor. Signal TCR berkaitan
dengan spesifitas klonal sel T yang akan diaktipkan yaitu sesuai spesifitas antigen yang
memicunya. Sedangkan signal yang dibawa oleh kostimulator dan picuan sitokin adalah
menyangkut clonal expansion & differensiasi. Signal-signal itu akan mengkoordinasikan
aktipasi transkripsi gen yang inaktip pada waktu masih sel T naif. Aktipnya gen-gen ini akan
menghasilkan sejumlah molekul protein untuk memediasi respon dan fungsi effektor dari sel
T effektor yang bisa dalam bentuk sitokin dan enzim.

Respon biokimawi dini pada saat antigen binding dengan TCR adalah terjadinya klaster
koreseptor (kompleks CD3 & protein ζ) ke reseptor antigen (TCR) dan tyrosine
phosphorilation dari ITAM. Dilanjutkan dengan mengaktipkan sejumlah jalur biokimiawi
seperti jalur Ras-MAP kinase, jalur Protein kinase C (PKC) dan jalur kalsium-kalsinerium
untuk memicu transkripsi gen yang berfungsi pada sel T effektor.

Signaling molecule sel T berakumulasi pada lokasi tertentu (specialized membrane


microdomain) dari membrane sel yds lipid raft. Aktipasi sel T lewat kompleks TCR-
koreceptor (signal 1) dan kostimulator (signal 2) terjadi mulai pada lipid raft kemudian
terjadi reorganisasi sitoskeletal yg memungkinkan terjadinya junction antara molekul yang
sesuai dari kedua sel (APC dan sel T) yg disebut immunological synapse. Sinaps
menunjukkan dimana asal signal dan memfasilitasi perantara yg memastikan spesifitas
komunikasi antara keduanya.

Pengikatan TCR oleh kompleks MHC-peptida dari APC akan memicu jalur intracellualr
signaling yg menghasilkan faktor transkripsi yang akan mengaktipkan macam-macam gen
pd sel T. Intracellular signaling bisa dibagi atas kejadian di membran, jalur cytoplasmic
signaling , dan nuklear transkripsi dari gen. Kejadian di membrane meliputi rekruitmen Src
family protein kinase untuk merapat ke TCR, posporilasi kompleks TCR (ζ chain), dan
rekruitmen protein tirosine kinase khususnya ZAP-70 dan adapter protein

Jalur Cytoplasmic signaling mengaktipkan enzim effektor seperti ERK,JNK dan PKC dan
phosphate calcineurin. Enzim2 ini terlibat dalam aktipasi faktor transkripsi seperti NFAT.
AP-1, dan NF-қB yg berfungsi memicu ekspressi gen pada sel T yg terstimulasi.

Bagaimana Penghentian signal sel T ?

Penghambatan atau penghentian signal sel T diperankan oleh sejumlah mekanisme yaitu
pospatase tirosin seperti SHP-1 (melepaskan pospat dari signaling protein), aktipasi reseptor
inhibit dari famili CD28 (mis. CTLA), rekruitmen protein E3 ubiquition ligases yg mengatur
degradasi. sejumlah signaling molecules

Bagaimana bentuk respon sel T yang sudah aktif.

Respon sel T terhadap signal-signal stimulus adalah differensiasi dan proliferasi ..


Differensiasi berarti berubah menjadi sel T effektor yang sudah siap efektif mengeliminasi
antigen. Sel T CD4 naif berdifferensiasi menjadi sel T CD4 effektor ( sel T helper) yang
memediasi respon imun adaptif, baik selular (CMI) maupun humoral. Sel T CD8 naif
berdifferensiasi menjadi sel effektor yang dikenal sebagai Cytolytic T lymphocytes (CTL)
yang akan mencari sel terinfeksi atau sel penghasil antigen yang akan menjadi sel target
untuk dibunuh. Differensiasi menjadi sel efektor dari sel T naif berarti sel itu telah berubah
menjadi sel yang aktip mensintese sejumlah sitokin, memunculkan di permukaannya
sejumlah reseptor sitokin dan berbagai molekul kostimulator. Differensiasi sel CD4 naif
menjadi sel T CD4 effektor (sel T helper) berarti sel itu telah aktip mensintese sejumlah
sitokin, memunculkan di permukaan selnya sejumlah reseptor sitokin dan molekul
kostimulator. Demikian juda differensiasi sel T CD8 naif menjadi sel effektor (CTL) berarti
sel itu telah aktip juga memunculkan sejumlah reseptor sitokin dan molekul kostimulator di
permukaannya dan yang paling penting telah mempersiapkan mesin pembunuhnya. (granule
yg berisi perforin dan gramzymes) untuk membunuh sel target seperti disebutkan diatas.

Fungsi-fungsi sel T effektor dapat diperinci sebagai berikuadalah

1. Sel T CD4 effektor menghasilkan sitokin untuk memperhebat makrofag membunuh


patogen yang sudah difagositosisnya dan memicu proliferasi dirinya sendiri, pada
umumnya sitokin yang dihasilkannya memiliki aktivitas biologis yg luas.

2. Sel T CD4 effektor membantu pengaktipan sel B menghasilkan antibodi.

3. Sel T CD8 effektor menghasilkan molekul effektor (perforin dan gramzym) untuk
membunuh sel yang mengepspressikan kompleks self MHC-peptida asing (sel yang
teinfeksi).

4. Menjadi sel T memori ( sel T CD4 dan sel T CD8 memori)

Sel T aktip (sel T effektor ), baik sel T CD4 maupun sel T CD8, akan masuk sirkulasi dan
jaringan untuk mencari antigen di seluruh tubuh dan bila menemukannya sel T effektor
memerankan fungsi effektornya mengeliminasi antigen (mikroba pemilik antigen). Sebagian
dari sel T CD4 (helper T cells) akan tetap tinggal di limponodus untuk “menolong”
pengaktipan sel B yg juga menerima picuan antigen yg sama. Mobilitas sel T effektor ,
tinggal di limponodus atau migrasi ke jaringan seluruh tubuh dan homing di jaringan yang
ada antigen, dimngkinkan oleh adanya ekspressi molekul pada permukaan sel T effektor yang
menfasilitasinya untuk dapat homing dan migrasi tersebut diatas. Oleh karena itu dibutuhkan
jumlah sel T effektor yang banyak sehigga terjadilah proliferasi hebat (clonal expansion) sel
T effektor (sel T helper dan CTL) sebagai salah satu bentuk respon sel T yang sudah aktip.

Bagaimana differensiasi sel T CD4 naif menjadi sejumlah subset sel T helper?
Aktipasi sel T CD4 naif menjadi sel T CD4 effektor ( sel T helper) langsung menjadi 5
subset sel T CD4 yaitu sel Th1, Sel Th2, sel Th17, Sel T helper follikuler dan sel T CD4
regulator. Sel T helper follikuler berperan dalam membantu differensi sel B naif menjadi sel
B effektor menghasilkan antibodi. Sel T CD4 regulator yang mengontrol respon imun
terhadap antigen self dan antigen asing. Sel Th1 mensintese sitokin INFγ yang memicu
aktipasi makropag dan isotype switching memproduksi IgG oleh sel B sehingga memegang
peran penting dalam eliminasi mikroba intraseluler tetapi punya juga dampak negatip
berupa pemicuan terjadinya otoimun dan kerusakan jaringan yang berlebihan. Sel Th2
mensintese IL-4, IL-5 dan IL-13 yang memicu aktipitas sel mast dan eosinopil sehingga
memegang peran dalam mengatasi infeksi parasit (cacing) sekaligus peran negatip
menimbulkan reaksi allergi. Sel Th17 (mengikut nama sitokin yang dihasilkannya)
mensintese sitokin IL-17A.IL-17F dan IL-22 yang berfungsi memicu aktipasi neutpil dan
monosit (inflamasi) yang memegang peran penting dalam eliminasi mikroba ekstraseluler.

Sel T CD4 naif berdifferensiasi menjadi sel Th1 akibat picuan sitokin yang dihasilkan oleh
sel lain yang berkepentingan kepada fungsi sel Th1 sebagai penghasil INFγ, Makropag
sangat butuh INFγ untuk memperhebat fungsinya, sel NK membutuhkan teman untuk
membantunya menghasilkan INFγ. Makropag mengeluarkan IL-12 dan Sel NK
mengeluarkan INFγ, dimana kedua sitokin ini pemicu terbentuknya subset Sel Th1. Hal yang
sama terjadi pada sel Mast yang butuh IgE, maka sel mast berkepentingan berkembangnya
subset sel Th2 yang sitokinnya memicu terbentuknya isotype IgE. Pada infeksi cacing maka
sel mast melepas IL-4 yang memicu differensiasi sel TCD4 naif menjadi subset sel Th2, sel
Th2 sendiri menghasilkan juga IL-4 yang berarti sitokinnya sendiri memicu terbentuknya
subset sel Th2 (sama dengan INFγ pada differensiasi subset sel Th 1 diatas). Jika sel dendritik
menemukan adanya bakteri atau jamur maka dia akan melepas IL- 1 dan IL-6 yang bersama-
sama dengan TGFβ dan IL- 21 (dibuat oleh sel Th17 sendiri) memicu sel T CD4 naif
menjadi subset sel Th17.

Bagaimana bentuk bantuan sel T CD4 pada aktipasi sel T CD8 ?

Aktipasi penuh sel T CD8 naif dan differensiasinya menjadi CTL tidak selalu membutuhkan
partisipasi sel T CD4 (helper T cells) , tergantung pada tipe paparan antigen. Jika paparan
antigen demikian hebatnya sehinggga memicu respon imunitas innet yang cukup kuat atau
APC profesional terinfeksi juga atau cross-presentation cukup efektif nampaknya partsipasi
sel T CD4 effektor tidak diperlukan. Partisipasi sel T CD4 efektor dalam aktipasi sel T CD8
naif sangat berarti bila respon imun berlangsung laten mis pada infeksi virus kronis,
penolakan organ transplantasi dan eliminasi sel tumor. Mekanisme partisipasi sel T CD4
efektor mengaktipkan sel T CD8 naif dapat berupa stimaluasi melalui sekresi sitokin yg
memicu diffrensiasi dan proliferasi sel T CD8 naif dan stimulasi melalui kostimulator jalur
CD40L-CD40 (signal dari Sel T CD4efektor ke makropag) yang memicu makrofag agar
lebih kuat menstimulasi aktipasi sel T CD8 naif melalui kostimulator jalur B7-CD28 (signal
dari makropag ke sel T CD8 naif). Jalur kostimulator ini sebenarnya melalui kontak
langsung juga antar sel, tetapi karena sel T CD4 tidak bisa kontak langsung dengan sel T
CD8 maka signal stimulasi dari sel T CD4 efektor dilewatkan melalui kontak langsung
dengan makropag dan nanti makropag yang meneruskan melalui kontak langsung dengan sel
T CD8 naif.(gambar 9-18)

Apa itu Clonal expansion

Jika sudah teraktipasi maka sel T CD4 efektor dan sel T CD8 efektor yang spesifik untuk
satu jenis antigen akan berproliferasi hebat disebut Clonal expansion untuk memperbanyak
diri agar cukup untuk mengunjungi seluruh tubuh mencari antigen dan agar mampu
mengeliminasi antigen seberapapun banyaknya, walaupun pada kenyataannya hanya sekitar 5
% yang ketemu antigen (aktip bertempur). Proliferasi hebat ini dimungkinkan oleh hadirnya
sejumlah sitokin yg berperan sebagai growth factor terutama IL-2 yang dihasilkan sendiri
oleh sel T yang aktip (sitokin otokrin).Sebelum antigen datang, jumlah sel T naif untuk satu
macam (spesific) antigen diperkirakan hanya 1 dari 100.000-1.000.000 limposit. Setelah
kedatangan antigen maka jumlah CTL untuk antigen bersangkutan menjadi 1 dari 3 atau 1
dari 10 limposit yang diperkirakan naik 50.000 kali, sedangkan sel T CD4 effektor naik
menjadi 1 dari 100 atau 1 dari 1000 limposit.

Kapan clonal expansion berhenti ?

Respon imun yang baik adalah cepat timbul setelah dipicu kedatangan antigen, cepat effektif
mengeliminasi antigen dan cepat hilang setelah menyelesaikan tugasnya (tidak boleh
limposit effektor berlama-lama karena akan menimbulkan masalah). Antigen yang diikat oleh
TCR akan menyalurkan survival signal yang berarti sel T effektor akan terus bertahan hidup
selama masih ketemu antigen (masih ada pada TCRnya), bilamana sel T effektor tidak
ketemu antigen segera akan mati (apoptosis) sehingga kondisi imun tubuh segera kembali ke
status homeostatis. Diperkirakan 95% populasi sel T CD8 efektor apoptosis karena tidak
ketemu antigen.

BAB 9

MEKANISME EFEKTOR IMUNITAS SELULER


Apa itu imunitas seluler (Cell Mediated Immunity, CMI) ?

CMI adalah pertahanan tubuh yang disiapkan Tuhan untuk mengatasi mikroba yang bisa
tetap hidup di dalam sel pagosit maupun yang berhasil memasuki dan hidup dalam sel yang
bukan pagosit (mikroba intraseluler). Seperti diketahui bahwa imunitas humoral dengan
senjata antibodi hanya mampu mengeliminasi mikroba dan toksinnya yang masih ada di luar
sel, tak mampu mencapai mikroba yang ada dalam sel, sehingga tugas selanjutnya memburu
mikroba intrseluler diserahkan ke CMI yang diperankan oleh sel T. Sudah dipelajari juga
pada aktipasi sel T, bahwa antigen mikroba yang bisa dikenal adalah protein dan harus
dipresentasikan oleh sel yang trerinfeksi menggunakan molekul MHC kelas I baru dapat sel T
mengenal sel target yang harus dieliminasi. Eliminasi sel terinfeksi ini agar mikroba tidak
punya reservoar untuk tinggal dalam tubuh manusia.

CMI diharapkan mengeliminasi virus, mikroba intraseluler dan mikroba ekstraseluler yang
dapat bertahan hidup dalam sel pagosit karena sel pagasit belum mampu membunuhnya.
Kegagalan membunuh mikroba ini biasnya karena terlalu banyak mikroba yang
dipagositosisnya, struktur mikroba (berdinding lemak) yang tak mempan terhadap lisozim
(mis. mikobakterium) atau mikroba punya jurus perlawanan yang menggagalkan mekanisme
pembunuhan sel pagosit. CMI juga sangat penting untuk eliminasi sel bermasalah seperti sel
kanker sepanjang sel kanker mengespressikan antigen tumor yang dapat dikenal oleh sel T.
Demikian juga sel asing misalnya allograft akan dieliminasi oleh CMI sehingga sangatlah
penting untuk “dibuat CMI bertoleransi” terhadaap jaringan transplantasi.

Bagaimana sel T effektor dari CMI menjalankan fungsinya ?

Secara garis besar sel T effektor menjalankan fungsinya melalui dua cara yaitu memproduksi
sitokin yang berperan mempengaruhi penampilan sel yang menerima sitokin itu dan kedua
dengan memproduksi sitotoksin yang dapat membunuh sel. Semua jenis dan sub tipe sel T
effektor dapat menghasilkan sitokin tetapi sitotoksin hanya dihasilkan oleh CTL. Sitokin
nampaknya berperan sebagai molekul komunikasi antar sel dimana satu sel dengan sel
lainnya saling mempengaruhi dan saling menolong berdasarkan permintaan yang
disampaikan melalui sitokin yang dilepasnya. Setiap sel dapat dipengaruhi (distimulasi atau
dihambat fungsinya) oleh satu atau lebih sitokin, untuk ini setiap sel imun harus punya
reseptor di permukaannya (ada juga di sitosolkah ?) untuk dapat menangkap sitokin tertentu.
Dari reseptor inilah muncul signal yang akan mengalir ke inti untuk mempengaruhi fungsi sel
bersangkutan (misalnya transkripsi gen untuk menghasilkan sitokin yang lain atau
berproliferasi). Sitokin dapat bekerja terhadap sel yang menghasilkannya (autokrin), atau
bekerja lokal terhadap sel di sekitarnya (parakrin) atau bekerja sistemik (endokrin).

Satu sitokin bisa bekerja pada sel yang berbeda dengan efek biologik yang multipel, bisa juga
dua atau lebih sitokin mempunyai efek yang sama (redundant), bisa saling bertentangan
efeknya bisa juga bersinergi atau additif. Bahkan satu sitokin bisa menghambat produksi
sitokin lainnya. Sitokin merupakan mediator solubel sistem imun, dia memediasi respon imun
innet dan adaptif serta pada persiapan sel untuk berperan dalam respon imun, berdasar ini
sitokin dibagi atas:

1. Berperan pada respon imun innet yang dihasilkan oleh sel dendritik, makropag, sel
mast dan menjadi mediator respon inflamasi dan perlawanan terhadap infeksi
virus.(lihat imunita innet)
2. Berperan pada respon imun adaptif (aktipasi dan differensiasi sel B dan sel T)
terutama yang dihasilkan sel T helper.(Tabel )
3. Berperan sebagai growth factor untuk hematopoiesis di sumsum tulang.

Pembagian diatas tidak absolut karena ada sitokin yang berperan overlap misalnya berperan
pada respon imun innet dan juga pada respon imun adaptif.

Bagaimana fungsi berbagai tipe sel yang berperan dalam CMI ?

Tipe mikroba yang berbeda akan memicu respons perlawanan sel T yg berbeda, mikroba
ekstraseluler yang dipagositosis oleh sel pagosit sehingga tinggal dalam pagosom dilawan
dengan cara berbeda dengan waktu menghadapi mikroba intraseluler yang tinggal dalam
sitosol sel.

Tabel Sitokin pada cell mediated immunity, sel penghasil dan fungsi
Sitokin Sel penghasil Fungsi
(INFγ) Sel Th-1, sel NK, Aktipasi klasik makropag, memicu isotype switching
CTL, sel NKT. menjadi subklas IgG, manghambat isotype switching
menjadi IgE.
TNFα Makropag, Sel Th-1, Rekruit neutropil dan monosit (memperhebat inflamasi).
IL-2, Sel Th-1 Memicu proliferasi sel T
IL-3 Sel Th-1,eosinopil, Bersama GM-CSF memicu differensiasi makropag di
sel mast sumsum tulang
IL-10 Regulatory T cells Menghambat aktipasi makropag dan sel dendritik
IL-4 Sel Th-2, Sel NKT, Aktipasi alternatif makropag
sel mast
IL-5 Sel Th-2,eosinopil, Aktipasi (differensiasi dan proliferasi) eosinopil
sel mast
IL-13 Sel Th-2,sel mast. Aktipasi alternatif makropag
IL-17 Sel Th-17 Memicu banyak migrasi neutropil pada reaksi inflamasi
IL-22 Sel Th-17, Sel NK Memelihara integritas epitel
IL-21 SelTh-17, Memicu differensiasi sel Th follikuler dan sel Th-17 serta
Sel Th follikuler stimulasi sel B di sentrum germinativum.
INFγ: interferon γ; IL : interleukin; GM-CSF: garanulocyte-monocyte colony-stimulating
factor; NK : Natural Killer; TNFα: tumor necrocis factor α;

Effektor turunan (lineage) sel T CD4 mengenal mikroba secara spesifik dan berupaya
mengeliminasi miroba dengan cara merekruit (memobilisasi) dan mengaktipkan sel leukosit
lain untuk menghancurkan mikroba. Sel leukosit lain mana yang digerakkan tergantung pada
subset sel T CD4 mana yang dominan mempengaruhi respon, sel Th-1 merekruit dan
mengiaktipkan makropag, sel Th-2 merekrut dan mengaktipkan eosinopil sedangkan sel Th-
17 merekrut dan mengaktipkn neutropil dan sejumlah makropag. Disini nampak bahwa
imunitas adaptif bukan menggantikan imunitas innet tapi memperkuatnya karena yang
dikerahkan adalah leukosit-leukosit yang memang sudah bertempur pada waktu imunitas
innet, jadi imunitas adaptif adalah lanjutan dari imunitas innet dimana para pelaku pada
iminitas innet dijadikan pelaku pula pada imunitas adaptif cuma dipicu agar lebih aktip lagi.
Kerjasama ini dimungkinkan oleh peranan sitokin dan molekul adesi, yang terakhir berperan
dalam memfasilitasi dua jenis sel imun untuk berkontak langsung dan saling memberi signal
aktipasi.

Sel Th-1 berfungsi membantu magropag yang tak mampu menghabisi mikroba yang sudah
dipagositosisnya pada waktu respon imunitas innet , Bantuan itu berupa pemberian sitokin
INFγ dan signal melalui kontak langsung yang disalurkan lewat molekul kostimulator
CD40L yang bersambung dengan molekul CD40 pada makropag, Dengan bantuan sel Th1
ini, maka aksi makropag meningkat dan mikroba berhasil dieliminasi. Berhasilnya eliminasi
mikroba ini terjadi akibat meningkatnya aksi dari reactive oxygen species (ROI) , nitric oxide
(NO) dan lisosim sebagai senjata pembunuh mikroba dari makropag. Aktipasi makropag
yang dipicu oleh Sel Th-1 disebut classical macrophage activation untuk membedakan
dengan aktipasi makropag oleh sel Th-2 yang disebut alternative macrophage activation
karena keduanya mengakibatkan aksi makropag yang sangat berbeda. INFγ berperan juga
untuk mengarahkan differensiasi sel T CD4 naif mejadi sel Th-1 dan menghambatnya
menjadi yang lain ( misalnya menjadi sel Th-2).

Jika Sel Th-1 sudah membantu makropag melalui kontak langsung seperti dikemukakan
diatas tetapi makropag tak mampu juga menyelesaikan tugasnya karena sudah penuh dengan
mikroba di dalamnya (makropag sudah sakit) maka Sel Th-1 mengambil keputusan lain yaitu
membunuh saja makropag itu. Dengan menggunakan Fas ligan, sel Th-1 memicu reseptor
apoptosis makropag Fas sehingga makropag mati dan mikroba berhamburan keluar untuk
dibunuh oleh makropag lain yang masih sehat.

Sel Th-1 mensintese sejumlah sitokin yang berdampak pada meningkatnya efektifitas
eliminasi antigen seperti IL-2 yang memicu proliferasi sel T, IL-3 bersama GM-CSF memicu
differensiasi makropag di sumsum tulang, TNFα dan Limpotoksin (TNFβ) mengaktipkan
endotel agar banyak makropag diapedesis (migrasi) dari sirkulasi ke jaringan terinfeksi. Sel
Th-1 menghasilkan juga kemokine CXCL2 yang mengantar mekropag yang baru keluar dari
sirkulasi menuju dan terakumulasi di daerah yang ada antigen.

Sel Th-17

Sel Th-17 berfungsi terutama melawan mikroba dan jamur ekstraseluler dengan
meningkatkan rekruit dan aktipasi neutropil (leukosit PMN) dan sejumlah monosit yang
memang sudah aktip pada waktu imunitas innet, sehingga menghancurkan mikroba dan
jamur yang tak dapat diselesaikan selama respon imunitas innet. Sel Th-17 berperan sebagai
perantara respon imunitas innet dengan imunitas adaptif dengan melanjutkan dan lebih
memperhebat respon inflamasi melalui rekruit dan aktipasi neutropil yang banyak. Makanya
ditemukan respon inflamasi dengan dominasi infiltrasi neutropil sangat menonjol dalam
imunitas adaptif. Oleh karena neutropil cepat mati (kalau sudah teraktipkan usianya pendek)
sehingga banyak debris sel yang membentuk eksudat purulent (pus) di daerah inflamasi.
Sitokin yang sel TH-17 dihasilkan untuk menjalankan perannya tersebut di atas adalah IL-17
,IL-22 dan IL-21.
IL-17 berfungsi memicu produksi kemokin, TNFα, IL-1,IL-6, G-CSFs dan resptor G-CSFs.
Kemokin, TNFα dan IL-1 berperan merekrut dari sirkulasi neutropil dan sejumlah monosit
menuju ke jaringan dimana ada aktipitas sel T. IL-6 memicu produksi acute phase protein
oleh hati dan proliferasi sel B yang mesintese antibodi. G-CSFs memicu regenerasi neutropil
oleh sum-sum tulang. Disamping meningkatkan mobilisasi neutropil ke daerah inflamasi, IL-
17 memicu juga sintese substansi antimikroba (mis defensin) dari berbagai tipe sel. IL-22
yang juga dihasilkan oleh sel NK berfungsi untuk memperkuat integritas epitel sehingga
sukar dilewati mikroba (barrier immunity) .IL-21 yang juga diproduksi oleh sel T aktip
lainnya, memiliki fungsi cukup luas terhadap sel B, sel NK dan sel T sendiri. IL-21 memicu
terbentuknya follicular helper T cells dan merangsangnya untuk menghasilkan juga sitokin
IL-21 yang berperan merangsang proliferasi sel B dalam sentrum germinativum. IL-21
memicu juga proliferasi sel NK dan sel T CD8 (CTL), bahkan sitokin ini mengarahkan
differensiasi sel T CD4 naif mejadi sel Th-17.

Sel Th-2

Sel Th-2 berfungsi utama dalam membantu sel B naif berdifferensiasi dan proliferasi menjadi
sel B effektor menghasilkan antibodi terhadap antigen yang sama dengan yang dikenal atau
memicu aktipasi sel Th-2., Sel B mengharapkan bantuan sel Th-2 jika antigen yang
diresponinya adalah protein bentuk kecil yang bisa memicu respon sel T. (Sel Tαβ tak bisa
mengenal antigen karbohidrat dan lemak sedangkan sel B bisa). Antigen yang hanya bisa
memicu respon sel B jika dibantu oleh sel Th-2 disebut T cell-dependent antigen.

Sel Th-2 berfungsi untuk melawan parasit cacing dengan cara memicu produksi IgE untuk
mengaktipkan sel mast dan memicu reaksi yang dimediasi eosinopil. Cacing terlalu besar
untuk ditelan oleh pagosit sehingga diperlukan cara lain mengatasinya, disinilah sel Th-2
berperan dengan melepasan sejumlah sitokin yaitu IL-4, IL-5 dan IL -13.

IL-4 berperan sebagai sitokin otokrin karena memicu diffferensiasi dan fungsi sel Th-2.
Bersama-sama dengan IL-13 menekan fungsi makropag membunuh mikroba intraseluler
sebagaimana yang dipicu oleh INFγ (classical macrophage activation) dan merubahnya
sehingga makropag memainkan peran alternatif (alternative macrophage activation). Peran
alternatif berupa peran memperbaiki kerusakan jaringan (tissue damage) dengan jaringan ikat
(fibrosis) melalui sintese faktor pertumbuhan mis. platelet growth factor yang memicu
proliferasi fibroblas dan transforming growth factor β (TGF β) yang memicu pembentukan
jaringan kolagen serta memicu terbentuknya pembuluh darah baru (angiogenesis). Rupanya
karena kerusakan jaringan yang terjadi lebih hebat pada infeksi parasit dan reaksi allergi
sehingga missi perbaikan jaringan ditempatkan dibawah komando sel Th-2 (diset bersama
dengan respon terhadap parasit dan reaksi alergi). Sayangnya, perbaikan kerusakan jaringan
model fibrosis ini meninggalkan masalah karena jaringan pengganti tidak fungsional seperti
jaringan (sel) yang mati, misalnya terjadi penyakit sirosis hati.

Tabel Granul protein toksik dan mediator inflamasi yang disekresi oleh eosinopil
PRODUK EFFEK BIOLOGIS
Enzim peroksidase Toksik untuk target, memicu pelepasan histamin dari
sel mast
Kollagenase Remodel jaringan ikat matriks
Matrix Degradasi protein pada matriks.
metalloproteinase 9
Protein Major Basic Protein Toksik terhadap parasit dan sel mamalia, memicu
Toksik pelepasan histamin dari sel mast
Protein kationik Toksik terhadap parasit dan saraf
Neurotoksin Toksik terhadap saraf
Sitokin IL-3,IL-5,GN-CSF Meningkatkan produksi eosinopil pada sumsum tulang
dan memicu aktipasi eosinopil
TGFα, TGFβ Proliferasi epitel dan pembentukan miofibroblast.
Kemokin CXCL8 (IL-8) Memfasilitasi rekruit leukosit
Mediator Leukotrienes Memicu kontraksi otot polos, menaikkan permeabilitas
lemak C4,D4,E4. kapiler, meningkatkan sekresi mukus.
Platelet-activating Migrasi leukosit; meningkatkan produksi mediator
factor lemak; aktipasi neutropil, eosinopil dan trombosit.

IL-4 dan IL-13 bersama-sama memicu juga rekruit eosinopil ke area infeksi dengan cara
memicu ekspressi molekul adesi pada permukaan endotel pembuluh darah untuk menahan
eosinopil dan keluar meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan parenhim. Selanjutnya kedua
sitokin ini memicu sekresi kemokin yang mengikat reseptor eosinopil (yang sudah keluar dari
sirkulasi) untuk diantar menemukan parasit untuk dieliminasi. IL-4 dan IL-13 bermain
khusus juga pada pertahanan epitel gastrointestinal (barrier immunity) untuk mengusir
mikroba di permukaan mukosa dengan cara meningkatkan peristaltik usus (oleh keduanya)
dan meningkatkan sekresi mukus (oleh IL-13 saja)

IL-5 berperan memicu aktipasi eosinopil sehingga merupakan sitokin yang mengaitkan
aktipasi limposit dengan inflamasi eosinopilik. Kerja eosinopil membutuhkan IgE yang
terlebih dahulu mengikat parasit, dan pada IgE inilah eosinopil melekat untuk mencapai
targetnya sehingga dapat menjalankan fungsi effektornya membunuh parasit bersangkutan.
Hal ini bisa dilakukan karena eosinpil memiliki reseptor Fcε yang dapat berlekatan dengan
porsi Fc dari IgE. (opsonisasi). IL-5 berperan mengaktipkan eosinopil dalam melepas
granulnya yang dapat menghancurkan parasit. Dengan demikian efek eliminasi parasit oleh
eosinopil ini dipicu oleh kerjasama IgE (opsonisasi parasit) dengan IL-5 (aktipasi eosinopil).
Eosinopil yang aktip akan mensintese sejumlah enzim, protein toksik, sitokin, kemokin dan
sejumlah mediator lemak dengan efek biologis yang bermacam-macam (tabel ).

Tabel Granul protein toksik dan mediator inflamasi yang disekresi oleh sel mast.
PRODUK EFFEK BIOLOGIS
Enzim Triptase, kimase, katepsin G, Remodel jaringan ikat matriks
karboksipeptidase
Mediator Histamin, heparin Toksik pada parasit, meingkatkan permeabilitas
Toksik kapiler, memicu kontraksi otot polos.
Sitokin IL-4, IL-13 Memicu dan memperhebat respon sel Th-2
IL-3,IL5, GM-CSF Memicu produksi dan aktipasi eosinopil
TNFα Memicu inflamasi, memicu produksi sitokin
oleh berbagai tipe sel, aktipasi endotel
Kemokin CCL3 Migrasi monosit, makropag dan neutropil
Mediator ProstaglandinD2,E2; Memicu kontraksi otot polos, meningkatkan
lemak leukotrin B4,C4 permeabilitas kapiler, memicu sekresi mukus.
Platelet-activating factor Migrasi leukosit, meningkatkan produksi
mediator lemak, aktipasi neutropil, eosinopil
dan trombosit.

Telah dikemukakan pada respon imunitas innet bahwa sel mast yang berdomisili subepitelial
akan terpicu melepaskan granulnya oleh produk mikroba sehingga terjadilah vasodilatasi
pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas kapiler (dukungan sisten vaskuler untuk
terjadinya inflamasi). Pada saat terjadi respon imunitas adaptif yang memicu sintese IgE, sel
mast mengikat IgE karena di permukaannya terdapat reseptor Fcε sehingga IgE dapat
melekat di permukaan sel mast. Jika IgE di membran sel mast ini mengikat antigen spesifik
untuknya maka mengalir signal untuk sel mast melepas granulnya. Akibatnya, terjadi lebih
hebat inflamasi lokal dengan tujuan segera membunuh parasit atau eliminasi antigen
(allergen). Sayangnya, pada aktipasi sel mast ini dapat terjadi respon vaskuler yang tidak
proporsional (abnormal) dimana respon vaskuler tidak lagi lokal tapi sudah sistemik
(menyeluruh) dengan segala akibatnya (mis. shock) dan respon terhadap antigen yang tidak
proporsional malah menimbulkan reaksi allergi. Sel mast yang aktip akan mensintese
sejumlah enzim, mediator toksik, sitokin, kemokin dan sejumlah mediator lemak dengan efek
biologis yang bermacam-macam (tabel ).

Sel T CD8 (CD8 Cytolytic T Lymphocytes).


CD8 cytolitic T lymphocytes (CTL) berperan untuk eliminasi mikroba intraseluler dengan
cara membunuh sel yang ditempatinya. CTL berasal dari sel T CD8 naif yang berdifferensiali
menjadi sel T CD8 effektor (CTL) akibat picuan kompleks MHC kelasI+peptida (asal
mikroba) yang dipresentikan oleh sel dendritik. Setelah berdifferensiasi menjadi CTL, maka
sel T effektor ini akan mencari sel yang mengespressikan kompleks MHC kelas I +peptida
yang sama dengan yang memicu differensiasi dan proliferasi sel TCD8 naif menjadi CTL..
Peptida yang sama akan diespressikan oleh sel yang terinfeksi oleh mikroba pemilik peptida
itu, sehingga ekspressi kompleks MHC kelas I +peptida oleh sel akan menjadi petanda bagi
sel T untuk menjadikannya sebagai target serangan (sel target). Oleh karena spesifiknya
target penyerangan CTL maka sel tetangga dari sel target tidak diganggu oleh CTL karena
tidak mengespressikan petanda yang dicari CTL.

Jika CTL sudah menemukan petanda yang dicari maka dia akan berkontak dengan sel target
menggunakan TCR dan koreseptor CD8 mengikat kompleks MHC kelas I + peptida yang ada
diespressikan sel target dan molekul adesi LFA-1 dari CTL yang merupakan ligan dari
ICAM-1 sel target.. Selanjutnya terjadilah aksi pembunuhan sel target, dengan cara CTL
melepas protein pembunuhnya (perforin dan gramzim) masuk ke sel target melewati
immunologycal synaps yang telah terbentuk antara kedua sel yang berkontak ini. Perforin
memfasilitasi gramzim masuk dengan melobangi dinding mikroba. Gramzim yang masuk ke
sitosol sel akan memicu caspase -3 untuk memulai terjadinya apoptosis sel target. Cara
membunuh yang lain yaitu CTL menggunakan Fas ligan (FasL) yang mengikat reseptor
kematian (Fas) pada sel target sehingga melalui jalur signal kematian ini terjadi apoptosis sel
target. Setelah mengeksekusi sel target, CTL segera melepaskan diri dari sel target dan pergi
mencari sel target lain (CTL tidak ikut mati). Oleh karena pembunuhan sel target terjadi
karena sel target sendiri yang memediasi dengan cara memberitahu CTL bahwa ada mikroba
di dalam dirinya melalui ekspressi kompleks MHC kelas I + peptida mikroba sehingga
diserang oleh CTL maka respon imun ini diberi nama respon imun yang dimesiasi sel yaitu
sel target sendiri (CMI).

Cuma perlu diketahui juga bahwa pembunuhan sel target oleh CTL sering malah lebih
bermasalah dibanding dengan kehadiran mikroba dalam sel target. Misalnya pada kasus
Hepatitis virus B dan C, sebenarnya virus penyebab hepatitis bukan cytophatic virus .
Kematian dalam jumlah yang banyak dari sel hati yang terinfeksi virus oleh CTL dan sel NK
bisa malah membawa kematian penderita. (fulminant hepatitis)
Sel T γδ

Sel ini mengenal antigen protein dan nonprotein yang tak perlu melalui proses oleh APC
untuk presentasi dan tidak perlu terkait dengan molekul MHC sebagaimana dengan sel Tαβ
(non MHC restrected T cells). Karena banyak ditemukan di epitel terutama gastrointestinal
(intraepithelial lymphocytes) maka ditengarai subset sel T ini dipersiapkan untuk mengenal
antigen yang banyak ditemukan di perbatasan antara epitel dengan dunia luar. Sel ini
menghasilkan juga sitokin dan membunuh sel terinfeksi tapi mekanismenya belum jelas
diketahui.

Sel NKT

Subset sel T ini memiliki juga marker sel NK yaitu CD56 sehingga diberi nama sel NKT,
disebut juga sel iNKT (invariant NKT) karena variasi reseptor antigennya sangat sedikit.
Seperti dengan sel Tγδ, dia banyak ditemukan di epitel terutama gasterointestinal
(intraepithelial lymphocytes). Sel NKT mengenal antigen lemak yang berikatan dengan
molekul CD1 (molekul seperti MHC kelas I) sehingga ditengarai efektif melawan
mikobakterium. Setelah teraktipasi dia mampu menghasilkan sitokin yaitu IL-4 dan INFγ
serta membantu sel B zona marginal untuk menghasilkan antibodi terhadap lemak.

Bagaimana pergerakan semua subtipe sel T sehingga dapat mencapai tempat dimana
ia diperlukan ?

Pergerakan sel T dalam darah dan jaringan sangatlah penting pengaturannya karena sel T
bertempur langsung melawan antigen melalui kontak langsung dengan sel yang mengandung
antigen (CTL dengan sel target) atau kontak langsung antara sesama sel imun dalam CMI (
antara sel T CD4 dengan makropag, antara makropag dengan CTL). Berbeda dengan sel B,
karena yang bertempur langsung bukan sel B tetapi melalui antibodi yang disintesenya,
antibodilah yang datang mencari antigen bukan sel B.

Ada beberapa prinsip yang perlu diketahui dalam pergerakan sel T ini:

1. Bergerak dari mana ke mana, dari mana berarti dari tempat sel T mengalami
differensiasi dan proliferasi menuju ke tempat dimana dia diharuskan berada. Sel T
naif bergerak dari timus dimana ia differensiasi dan proliferasi menjadi sel T naif
menuju ke organ limpoid perifer tempat dimana dia harus berada untuk menunggu
penugasan yaitu meresponi antigen yang sesuai dengan spesifitas TCRnya. Sel T
effektor (Sel T CD4 dan sel T CD8) bergerak dari organ limpoid perifer dimana dia
diaktipkan (proliferasi dan differensiasi) menuju ke jaringan dimana ada antigen yang
mengaktipkannya, sebagian sel T CD4 effektor tetap tinggal di limponodus untuk
membantu sel B menghasilkan antibodi.. Sel T memori bergerak dari organ limpoid
perifer menuju ke seluruh jaringan perifer terutama di mukosa (memori perifer)
sedangkan sebagian tetap tinggal di organ limpoid perifer (memori sentral).
2. Untuk dapat tinggal (homing) pada jaringan dimana dia harus berada, sel T harus
mempunyai molekul di permukaannya (reseptor kemokin ) yang bisa berikatan
(berpegangan) dengan molekul yang ada pada jaringan bersangkutan ( ligan
kemokin). Sebaliknya jika sel T akan meninggalkan jaringan itu maka dia harus
menghilangkan reseptor kemokin yang cocok untuk ligan di jaringan itu dan
mengeluarkan lagi reseptor kemokin lain yang cocok untuk ligan di jaringan yang
akan ditempati berikutnya.Model ini menunjukkan bahwa pergerakan itu dan homing
terjadi atas kemauan sel T. Misalnya sel T waktu homing di T cell zone limponodus
menggunakan reseptor kemokine yang berbeda dengan waktu dia homing di jaringan
terinfeksi
3. Homing sel T bisa terjadi bukan karena kemauan sel T sendiri, tetapi atas panggilan
dari jaringan yang kedatangan antigen. Maka yang aktip mengikat (menahan) sel T
effektor (yang beredar dalam darah) adalah sel endotel pada jaringan bersangkutan
dengan cara mengespressikan banyak molekul adesi dan kemokin yang mengikat
molekul adesi dan reseptor kemokin yang ada pada sel T effektor.. Jika tidak ada
ekspressi molekul adesi oleh endotel (karena tak ada antigen di jaringan itu)maka sel
T effektor tidak akan berhenti disitu Berdasar prinsip diatas maka untuk mengatur
pergerakan dan homing sel T sesuai tujuan mobilitasnya sel T dilengkapi berbagai
molekul adesi dan reseptor kemokin. Sebagai lawannya untuk berikatan (reseptor
dan ligan), sel endotel diberi pula kemampuan mengespresikan molekul adesi dan
kemokin serta sejumlah sel dapat melepas kemokin di jaringan untuk mengatur
pergerakan sel-sel imun termasuk sel T. Dalam mengatur pergerakan sel–sel imun
sangatlah penting peranan molekul adesi dan kemokin yang memungkinkan sel sel-sel
imun bergerak dan berhenti di jaringan yang memerlukannya. Sejumlah molekul adesi
yang ada pada sel T memiliki pasangannya masing-masing di sel endotel yang siap
menfasilitasi homing sel T pada jaringan yang memerlukannya. (tabel )
Terdapat sekitar 50 jenis kemokin pada manusia, diantaranya ada sekitar 13 kemokin yang
berperan dalam migrasi sel T. Di pihak sel T terdapat sekitar 9 reseptor kemokin yang akan
berikatan dengan kemokin pada jaringan yang di tuju agar bisa homing disitu. Untuk
mempermudah dibuat standar nomenklatur sebagi berikut, kalau punya residu cysteine dua
diberi kode CC (kemokin CC), kalau ada satu asam amino memisahkan kedua residu cysteine
diberi kode CXC (kemokin CXC) kalau dipisahkan 3 asam amino diberi kode CX3C
(kemokin CX3C). dan kalau hanya satu residu cysteine diberi kode C (kemokin C), Kemokin-
kemokin dan reseptornya untuk migrasi sel T terdistribusi pada pada berbagaiTerdapat
belasan reseptor kemokin yang dapat ditemukan pada sel T dengan ligannya masing-masing
yang yterdistribusi pada berbagai tipe sel yang berpartisipasi dalam migrasi sel T (Tabel ).

Migrasi sel T naif.

Kalau kita mengamati sel T yang beredar dalam darah maka akan ditemukan tiga jenis sel T
dan masing-masing ada subsetnya, Ketiga jenis itu adalah sel T naif, sel T effektor dan sel T
memori. Sel T naif berada dalam darah sebenarnya sedang menempuh perjalanan dari timus
(tempat sekolah) ke organ limpoid perifer (tempat menunggu pekerjaan), jadi hanya diberi
(oleh Yanga Maha Kuasa) molekul adesi (L-selectin) reseptor kemokin (CCR7) untuk
dipakai singgah (homing) sementara di organ limpoid perifer, belum punya reseptor untuk
dapat dipakai singgah di jaringan yang lain. Sel T Naif,( juga sel B naif) bersirkulasi dalam
darah dan masuk keluar limponodus, homing sebentar untuk menunggu antigen, jika tidak
ketemu antigen akan keluar lagi melalui aliran limpe untuk menggabung ke sirkulasi darah
lewat duktus torasikus dan selanjutnya masuk lagi ke limponodus lain.Migrasi sel T naif ke
limponodus sangat efektif dan efisien, dalam sehari di tiap limponodus akan dialiri sampai
25milyar sel, diperkirakan setiap sel T naif akan mengunjungi satu limponodus dalam sehari.
Sistem sirkulasi dan homing yang demikian ini memberi kemungkinan yang sangat besar
bagi pertemuan antara sel T naif dengan antigen yang sesuai dengan spesifitas TCRnya di
limponodus manapun antigen itu dipresentasikan oleh sel dendritik (dimanapun antigen itu
masuk ke tubuh) tanpa perlu menyiapkan semua clone sel T naif dalam satu limponodus.

Tabel Molekul adesi utama leukosit-endotel


Molekul Sel yang Ligan molekul sel yang mengekspressikan
adesi mengekspressi- kan adesi
dan stimulus
ekspressinya
SELEKTIN
P-selektin Sel endotel, diaktipkan PSGL-1 neutropil, monosit dan sel T
(CD62P) oleh sitokin (TNFα dan (effektor dan memori)
IL-1), histamin dan
trombin
E-selektin Sel endotel, diaktipkan CLA-1; Neutropil, monosit, sel T
(CD62E) oleh sitokin (TNFα dan ( efektor dan memori)
IL-1)
L-selektin Neutropil, monosit, sel T PNAd,CD34,Mad sel endotel HEV.
(CD62L) (naif, efektor dan CAM-1;
memori)
INTEGRIN
LFA-1 Neutropil, monosit, sel T ICAM-1(CD54), sel endotel (dipicu oleh
(CD11aCD1 (naif, efektor dan ICAM-2 (CD102) sitokin)
8) memori)
Mac-1 Monosit dan sel dendritik ICAM-1CD54), sel endotel (dipicu oleh
(CD11bCD1 ICAM-2 (CD102) sitokin)
8)
VLA-4 Monosit, sel T (naif, VCAM-1 sel endotel (dipicu oleh
(CD49aCD2 efektor dan memori) (CD106); sitokin)
9)
Α4β7 Monosit, sel T (gut VCAM-1 sel endotel (dipicu oleh
(CD49dCD2 homing,naif, efektor dan (CD106), sitokin); sel endotel pada
9) memori) MadCAM-1; gastrointestinal dan GALT.
CLA-1: cutaneous lymphocytes antigen 1; HEV: high endothelial venulae; ICAM:
intracellular adhesion molecule-1; LFA-1: leucocyte function-associated antigen-1;
MadCAM: mucosal addressin cell adhesion molecule 1; PNAd: peripheral node addressin;
PSGL-1 (P-selectin glycoprotein ligand 1); VCAM-1:vascular cell adhesion molecule-1;
VLA-4: very late antigen-4

Tabel Kemokin dan kemokin reseptor untuk migrasi sel T


Kemokin Nama asli Reseptor Fungsi
di kemokin
jaringan pada sel T
CCL4 MIP-1β CCR5 Rekruit sel T, sel dendritik,monosit, sel NK
CCL11 Eotaxin CCR3 Rekruit sel Th-2
CCL17 TARC CCR4 Rekruit sel T
CCL18 DC-CKI ? Homing sel dendritik dan limposit
CCL19 NIP-3β/ELC CCR7 Migrasi sel T dan dan sel dendritik ke zona
CCL21 SLC CCR7 parafollikular limponodus
CC22 MDC CCR4 Rekruit sel T
CCL24 Eotaxin 2 CCR3 Rekruit sel Th-2
CCL26 Eotaxin 3 CCR3 Rekruit sel Th-2
CXCL9 Mig CXCR3 Rekruit sel T effektor
CXCL10 IP-10 CXC3, Rekruit sel T effektor
CXCR3B
CXCL11 I-TAC CXC3 Rekruit sel T effektor
XCL1 Lymphotactin XCR1 Rekruit sel T dan sel NK
CX3CL1 Fratalkine CX3CR1 Rekruit sel T, makropag, sel NK dan aktipasi
CTL dan sel NK.

Pembuluh darah vena yang ada berlokasi pada zona sel T organ limpoid perifer (kecuali
limpa) berbeda dengan pembuluh vena di tempat lain, bentuk sel endotelnya montok
dibanding dengan bentuk datar pada endotel vena biasa, vena ini mempunyai kemampuan
mengespressikan berbagai molekul adesi dan kemokin di permukaannya sehingga disebut
high endothelial venulae (HEV). HEV inilah yang memfasilitasi sel T untuk homing di organ
limpoid perifer kecuali limpa. (dalam limpa tak ada HEV)

Pada waktu sel T naif yang sedang bersirkulasi sampai di HEV dia akan berhenti karena
homing reseptor yaitu L-selectin berikatan dengan addressins (nama untuk molekul adesi
dari sel pada jaringan yang dituju) yaitu PNAd atau MAdCAM jika pada Peyer’s patches
serta molekul adesi Integrin (terutama LFA-1) yang kan berikatan juga dengan ligannya di
HEV. Kemokin yang berperan disini adalah CCL19 dan CCL21 yang disintese oleh endotel
HEV untk dipasang pada molekul bernama glycosaminoglycans pada permukaan endotel,
kemokin ini akan berikatan dengan reseptor kemokin yang ada pada sel T naif yaitu CCR7.
Setelah berhenti harus segera keluar ke jaringan ekstravaskuler lewat intercellular junction
endotel agar bisa ketemu antigen . Kalau tidak cepat keluar ke ekstravaskuler dia akan
terbawa arus darah yang terus mengalir sehingga homing gagal.

Sel T naif yang tidak ketemu antigen akan kembali ke sirkulasi lewat vas efferen limponodus
.Reserkulasi sel T naif ini dari limponodus (bukan hanya untuk sel T naif tapi juga untuk sel
T effektor dan sel T memori) dimungkinkan oleh suatu mekanisme yang dikendalikan oleh
lipid chemoattractant yaitu spingosine 1-phosphate (S1P) yang bisa berikatan dengan
signaling receptor di permukaan sel T bernama spingosine 1-phosphate receptor 1(S1PR1).
Konsentrasi SIP dalam darah dan cairan limpe tinggi sehingga terjadi internalisasi S1PR1
pada sel T naif yang ada dalam darah atau cairan limpe. Di dalam jaringan konsentrasi SIP
rendah karena di jaringan ada enzim S1Plyase yang mencerna SIP sehingga sel T naif yang
homing di jaringan limponodus memunculkan kembali reseptor S1PR1. Jika reseptor ini
ketemu S1P maka muncul signal ke sel T agar bergerak mengikuti gradien konsentasi S1P
keluar dari parenhim limponodus bermuara ke vas efferen untuk masuk kealiran limpe
selanjutnya ke sirkulasi. Waktu yang digunakan sel T naif memunculkankembali reseptor
S1PR1 adalah sangat singkat, waktu yang sejenak itulah yang digunakan sel T naif untuk
berkontak dengan sel dendritik yang mempresentasikan antigen, kalau ada pengenalan
antigen maka dia akan tinggal lebih lama untuk proses aktipasi selanjutnya (ada mekanisme
menghentikan bertemunya S1P dan S1pR1), kalau tidak ada pengenalan antigen maka sel T
naif segera harus mengikuti perintah signal tadi untuk meninggalkan limponodus. Begitu
pentingnya peranan S1P dan S1PR1, molekul S1PR1 dijadikan target untuk dihambat
bertemu dengan S1P untuk mengobati berbagai penyakit otoimun dan sklerosis multipel
(mis.obat Fingolimod).

Resirkulasi dan homing limposit dalam Peyer’s patches dan limponodus mesenterik relatif
sama dengan dalam limponodus karena keduanya memiliki juga HEV, cuma ada perbedaan
dalam molekul adesi yang digunakan. Resirkulasi dan homing limposit dalam limpa berbeda
karena di limpa tidak ada HEV. Nampaknya migrasi sel T naif dalam limpa tidak diatur ketat
sepeti di limponodus, sepertinya terjadi saja secara diffus. Hal ini mungkin disebabkan
karena kunjungan sel T naif ke limpa banyak sekali, dalam sehari separuh dari total limposit
sudah berkunjung ke limpa. Yang ada dilaporkan adalah peranan kemokin-kemokin yang
berikatan dengan reseptor CCR7 berpartisipasi dalam mengarahkan sel T naif ke white pulp
limpa.
Migrasi sel T effektor.

Sel T naif CD4 dan sel T naif CD8 yang bertemu antigen yang spesifik untuk TCRnya yang
dipresentasikan oleh sel dendritik akan mengalami proses aktipasi limposit yaitu differensiasi
dan proliferasi. Oleh karena semua terjadi di limponodus maka sel T yang sedang mengalami
proses aktipasi ini (sel T teraktipkan) harus tetap tinggal dalam limponodus sampai dia tuntas
menjadi sel T effektor yang diperkirakan butuh waktu 7 hari. Yang pertama dilakukan oleh
Sel T teraktipkan ini adalah merubah ekspressi reseptor kemokin, S1PR1 dan molekul adesi
agar pergerakannya sesuai dengan kebutuhan proses aktipasi. Sel T teraktipasi menghambat
ekspressi S1PR1 melalui produksi sitokin interferon tipe 1 dan mengespressikan protein
membran CD69 yang mampu memblok reseptor SP1R1 sehingga bebaslah sel T yang
sedang teraktipasi dari pengaruh S1P yang mau cepat-cepat membawanya pergi dari
limponodus.

Se T teraktipasi dapat tetap tinggal dalam zona sel T limponodus karena adanya peran
kemokin yaitu reseptor kemokine CCR7 pada sel T dan ligan CCR7 (CCL19 dan CCL20)
yang ada pada zona sel T limponodus. Jika proses aktipasi selesai dan sudah menjadi sel T
effektor maka espressi reseptor kemokin CCR7 sangat berkurang sehingga terlepas dengan
ligan CCR7 (CCL19 dan CCL20) yang berarti tidak ada lagi penahannya untuk terus tinggal
pada zona sel T limponodus Hal yang sama terjadi pada molekul adesi L-selektin yang
dipakai sel T naif homing di limponodus yaitu menurun juga ekspressinya pada sel T
effektor, hal ini penting agar sel T effektor tidak singgah lagi di HEV ketika lewat
limponodus sewaktu bersirkulasi dalam darah. Selanjutnya, Sel T effektor mengaktipkan
kembali sintese reseptor S1PR1 sehingga S1P bisa memicu lagi signal pada sel T effektor
agar bergerak mengikuti gradien konsentasi SIP keluar dari parenhim limponodus bermuara
ke vas efferen untuk masuk kealiran limpe selanjutnya ke sirkulasi.

Setelah menyelesaikan proses differensiasi, proliferasi dan seleksi di limponodus dan


menghilangkan ekspressi molekul adesi (L-selctin) yang dipakai homing di endotel HEV dan
reseptor kemokin (CCR7)yang dipakai homing di zona sel T limponodus dan
mengekspressikan kembali reseptor S1PR1 maka mereka bergerak menuju ke jaringan yang
terinfeksi melalui aliran limpe lanjut ke sirkulasi darah. Setelah sampai di jaringan yang ada
antigen (terinfeksi) maka keduanya bersama dengan leukosit lain mis neutropil akan ditahan
oleh endotel melalui molekul adesinya dan kemokinnya yang berikatan dengan molekul
adesi dan reseptor kemokin pada permukaan sel T effektor. (Gambar 10-2 dan 10-3, abbas)
Di daerah ada antigen terjadi respon lokal yang diperankan oleh makropag dan sel NK.
Makropag berusaha mengundang partisipasi sel leukosit lain seperti neutropil dengan
melepas sitokin ke sel endotel terdekat untuk aktip menahan neutropil yang beredar dalam
darah. Terjadilah aktipasi endotel mensintese berbagai molekul adesi dan sintese kemokin
lokal untuk keperluan ini. Aktipasi endotel ini berlangsung terus sampai muncul imunitas
adaptif, dimana sel T effektor sangat diharapkan datang ke daerah infeksi (ada antigen).
Molekul adesi endotel yang berperan menahan sel T effektor adalah P-selektin, E-selektin
dan ligan integrin (ICAM dan VCAM) dan ligan kemokin yaitu CXCL10 dan CCL4.
Kecuali kedua kemokin semua molekul adesi sudah bermunculan di permukaan sel endotel
pada vena post kapiler sejak imunitas innet, berarti sudah dipakai neutropil dan monosit
untuk homing. Di pihak sel T effektor telah terekspressi juga molekul adesi yang cocok
(dapat berikatan) dengan lawannya masing2 pada sel endotel yaitu ligan P-selektin, ligan e-
selektin dan Integrin serta kemokine reseptor CXCR3 dan CCR5. Oleh karena penghentian
sel T efektor untuk homing di suatu jaringan adalah fungsi dari aktipitas endotel setempat
diamana sel T efektor dibutuhkan maka sel T efektor tidak akan homing di jaringan yang
tidak memerlukannya atau jaringan normal. Secara detail, setiap subset sel T memiliki
perbedaan cara mereka melakukan migrasi karena perbedaan dalam menggunakan reseptor
kemokin dan molekul adesi. Bahkan ada sel T effektor yang dipersiapkan untuk homing di
jaringan tertentu, misalnya khusus untuk kulit dan usus, berbeda molekul adesinya. Untuk
gut-homing effector T cells menggunakan integrin α4β7 yang berikatan dengan molekul adesi
sel endotel usus Mad-CAM-1, kemokin CCR9 yang berikatan dengan CCL5. Sedangkan di
kulit menggunakan E-selektin yang CLA-1 (cutaneous lymphocytes antigen-1) dengan
reseptor kemokine CCR4 dan CCR10 yang masing-masing berikatan dengan CCL17 dan
CCL27 pada endotel kulit.

Setelah ditahan oleh molekul adesi endotel dan kemokin, sel T effektor dipersilahkan lewat
(diapedesis) melalui celah endotel yang mengalami kenaikan permeabilitas (hasil kerja sel
mast) sehingga mereka keluar ke jaringan dan selanjutnya difasilitasi oleh kemokin agar
dapat sampai di jaringan yang ada antigen. CTL bergerak mencari sel target (sel terinfeksi)
untuk dibunuh sehingga mikroba yang ada di dalamnya akan berhamburan lagi dari sel yang
telah didudukinya. Karena CTL tidak dapat membunuh mikroba bebas (ekstraseluler) maka
sel T CD4 (diperankan oleh berbagai subsetnya) memicu respon inflamasi makin hebat
(antara lain dengan memproduksi sitokin INFγ) dan meningkatkan rekruit neutropil dari
dalam sirkulasi untuk membunuh mikroba bebas (ekstraseluler) yang banyak muncul karena
reservoarnya telah dirusak oleh CTL.

Kedatangan sel Th-1 (turunan sel T CD4 effektor) ke daerah inflamasi sudah ditungu-tunggu
oleh makropag yang sudah berkelahi sejak respon imunitas innet, sudah kepayahan (low
batt.) dengan akibat tidak efektif lagi membunuh mikroba yang sudah dipagositosisnya.
Makropag butuh sitokin INFγ dari sel Th-1 dan stimulus lewat kontak langsung dengan sel
Th-1 untuk menaikkan kembali tenaganya. Sel Th-1 (yang sudah mengenal peptida
mikroba) datang dan segera melakukan kontak langsung dengan makropag menggunakan
reseptor TCR dan koreseptor CD4 yang akan berikatan dengan kompleks MHC II + peptida
mikroba yang diekspressikan makropag. Ikatan ini diikuti pula bersambungnya molekul
kostimulator CD40L (pihak sel Th-1) dengan CD40 (pihak makropag), maka mengalirlah
signal stimulus dari sel Th-1 untuk lebih mengaktipkan makropag membunuh mikroba yang
telah di pagositosisnya (tidak low batt. lagi) sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya
pada waktu membahas fungsi sel Th-1.
BAB 10

AKTIFASI LIMFOSIT B UNTUK IMUNITAS HUMORAL

Apa tujuan aktifasi limfosit B

Aktifasi limfosit bertujan agar memicu proliferasi dan differensiasi dari jumlah kecil sel B
naif menjadi sel B effektor dalam jumlah yang banyak untuk menghasilkan antibodi yang
banyak pula. Antibodi yang dihasilkan berfungsi untuk mengeliminasi mikroba pemilik
antigen yang telah memicu aktipasi sel B naif bersangkutan. Tujuan lain aktifasi limfosit B
adalah untuk membentuk sel B memori yang dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama
untuk berespon lebih cepat dan lebih hebat jika antigen yang sama datang kembali. Aktifasi
ini harus berlangsung pada saat dibutuhkan yaitu jika ada antigen datang, berarti aktifasi
limfosit B dimulai pada saat imunitas innet seperti pada aktifasi sel T. Bedanya, pengenalan
antigen kepada sel B naif tidak memerlukan partisipasi APC seperti sel dendritik pada
aktifasi sel T. Sama halnya dengan aktifasi sel T, aktifasi limfosit B adalah untuk
menimbulkan immunitas adaptif yang lebih kuat responnya mengeliminasi antigen dibanding
dengan imunitas innet. Immunitas adaptif yang ditimbulkan oleh sel B adalah imunitas
humoral, sedangkan sel T adalah imunitas selular (cell mediated immunity).

Untuk dapat memahami aktifasi limfosit B, maka perlu diingat kembali bagaimana sel B
dipersiapkan di dalam sumsum tulang sampai pada fase sel B imatur, kemudian dilanjutkan di
limpa untuk menjadi sel B matur (sel B2-B follikuler dan sel B-2B marginal zone). Sel B
matur yang belum bertemu antigen spesifik untuk reseptornya, belum berpengalaman
berespon terhadap antigen asing, sehingga dinamailah sel B naif. Ada beberapa hal yang
perlu disimak dalam memahami aktifasi limfosit B:

1. Kesiapan awal dari sel B naif meresponi antigen, misalnya tersedianya repertoar
reseptor antigen yang banyak (diperkirakan 10 juta) dan setiap satu jenis reseptor
dimiliki oleh sejumlah besar sel B yang disebut sebagai satu klon. Repertoar reseptor
yang banyak variasinya ini berguna untuk mengantisipasi jenis antigen apapun yang
masuk ke tubuh lewat manapun. (dapat dibaca kembali pada persiapan sel untuk
imunitas adaptif).
2. Dimana terjadi pertemuan antara sel B naif dan antigen dan bagaimana diatur
sehingga pertemuan bisa terjadi di tempat itu.
3. Jika sel B naif sudah bertemu antigen maka terjadi aktifasi sel B naif menjadi sel B
effektor, apa yang berubah pada sel B naif sehingga disebut sel B effektor dan
bagaimana proses perubahan itu terjadi.
4. Dalam rangka menjalankan tugasnya, berbagai jenis sel B effektor itu ditempatkan
dimana dan bagaimana mekanisme effektornya sehingga antigen tereliminasi,
selanjutnya bagaimana mempersiapkan respon yang lebih cepat dan lebih kuat jika
antigen itu datang kembali.
5. Bagaimana mengakhiri respon itu pada saat tidak diperlukan lagi dan agar tidak
berdampak merugikan bagi tubuh.

Migrasi limfosit B dan pertemuan dengan antigen

Sel B immatur meninggalkan sumsum tulang masuk sirkulasi menuju ke limpa untuk
melanjutkan proses maturasinya menjadi sel B matur. Mulai masuk di red pulp limpa baru
pindah ke white pulp dan homing disana atas fasilitasi kemokin CXCL13 yang ada pada
white pulp dan reseptor kemokin CXCR5 pada sel B. Setelah proses maturasi selesai maka
sel B matur ini masuk kembali ke sirkulasi untuk mengunjungi dan homing pada semua
limfonodus dan jaringan limfoid mukosal. Homing (sifatnya sementara) di fasilitasi oleh
interaksi antara sel B matur dengan endotel HEV (High endotelial venulae) yang diperankan
molekul adesi untuk kestabilan penghentian sel B naif pada permukaan endotel (seperti pada
sel T). Setelah sel B naif berhasil masuk ke jaringan parenkim limfonodus maka segera
menuju ke follikel untuk berkumpul membentuk follikel limfoid primer (zona sel B).
Pergerakan ke follikel ini difasilitasi oleh kemokin CXCL13 yang ada di follikel, yang akan
berikatan dengan reseptornya yaitu CXCR5 yang ada pada sel B naif. Homing sel B naif
untuk Peyer’s patches (imunitas mucosal) melibatkan reseptor kemokin CXCR5 dan integrin
α4β7 yang berikatan dengan kemokin MadCAM-1 pada Payer’s patches. Di follikel limfoid
primer inilah banyak peluang untuk terjadinya pertemuan antara sel B naif dengan antigen
yang sesuai spesifisitas BCRnya.

Sel T naif memerlukan partisipasi APC (sel dendritik) untuk dapat mengenal antigen
sehingga pertemuannya dengan antigen hanya terjadi di jaringan limpoid perifer misalnya
limfonodus. Berbeda dengan sel T, sel B naif dapat mengenal langsung antigen sehingga
dapat mengikat antigen dimanapun bertemu, dapat terjadi dalam jaringan limfoid perifer atau
dalam aliran darah dan aliran limpe selama sel B naif bersirkulasi. Tetapi dimanapun sel B
naif mengikat antigen, proses aktifasi sel B naif akan tetap berlangsung di jaringan limfoid
perifer. Dengan demikian sel B yang bermigrasi dan sampai di limfonodus, diantaranya ada
yang sudah mengikat antigen. Sel B yang sudah mengikat antigen, tidak langsung masuk ke
follikel (zona sel B) tapi tinggal di zona sel T untuk menjalani proses aktifasinya yang
berlangsung disitu atas bantuan sel T helper, kemudianbersama-sama ke medulla untuk
proliferasi membentuk fokus primer (fokus ekstrafollikular). Sebagian sel B efektor segera
berdifferensiasi penuh menjadi sel plasma di fokus primer dan segera menghasilkan antibodi
(IgM) yang sudah dapat dideteksi di dalam serum beberapa hari setelah infeksi. Sebagian
lagi, atas fasilitasi kemokin CXCL13, masuk ke follikel bersama-sama dengan sel T helper
untuk membuat reaksi germinal senter dimana mereka mengalami proliferasi dan
berdifferensiasi lebih lanjut (maturasi affinitet dan isotype switching) untuk menjadi sel
plasma dengan karakter dan sintesa isotype antibodi yang berbeda (misalnya IgG) yang lebih
hebat kemampuan mengikat antigennya dibanding denganantibodi yang dihasilkan oleh sel
plasma yang berkembang dari fokus primer (IgM).

Sel B naif yang tidak bertemu antigen, akan kembali ke sirkulasi lewat vas efferen
limfonodus. Resirkulasi sel B naif dari limfonodus sama dengan yang dialami sel T yaitu
dimungkinkan oleh adanya suatu mekanisme yang dikendalikan oleh substansi lipid
chemoattractant yaitu spingosine 1-phosphate (S1P) yang bisa berikatan dengan signaling
receptor di permukaan sel T bernama spingosine 1-phosphate receptor 1 (S1PR1) yang
prosesnya telah dijelaskan pada pembicaraan mengenai migrasi sel T. Setelah internalisasi
reseptor S1PR1 sewaktu sel B naif berada dalam darah maka reseptor ini akan muncul
kembali setelah berada dalam limfonodus meyebabkan S1P bisa mengikatnya. Akibat
melekatnya S1P pada reseptor S1PR1 dan muncullah signal pada sel B agar bergerak
mengikuti gradien konsentasi S1P keluar dari parenhim limponodus bermuara ke vas efferen
untuk masuk kealiran limpe selanjutnya ke sirkulasi . Waktu yang digunakan sel B naif
memunculkankembali reseptor S1PR1 adalah sangat singkat, waktu yang sejenak itulah yang
digunakan sel B naif untuk berkontak dengan antigen, kalau ada pengenalan antigen maka dia
akan tinggal lebih lama untuk proses aktipasi selanjutnya (ada mekanisme menghentikan
bertemunya S1P dan S1PR1), kalau tidak ada pengenalan antigen maka sel B naif segera
harus mengikuti perintah signal tadi untuk meninggalkan limfonodus.
Tabel Kemokin dan kemokin reseptor untuk migrasi sel B dan sel T helper
Kemokin di Sel penghasil Resepto Sel yang Fungsi
jaringan kemokin r mengespressikan
kemokin reseptor
CCL19 ? CCR7 Sel dendirtik dan sel T Migrasi sel T dan, sel
(NIP-3β/ELC CD4 dan sel B yg sdh dendritik dan sel B ke
) ketemu antigen) zona parafollikular
limponodus
CCL21 ? CCR7 Sel B dan sel T CD4 Migrasi sel T dan, sel
(SLC) yg sdh ketemu antigen dendritik dan sel B ke
zona parafollikular
limponodus
CXCL13 FDC dan sel CXCR5 sel B naif, sel Thf. Membawa sel B naif
(BCA-1) stroma pada dan sel Thf ke
follikel follikel

Sel B naif yang tidak ketemu antigen yang spesifik untuk BCRnya selama sirkulasi di dalam
darah akan masuk follikel di zona sel T (HEV ada di zona sel T) tetapi akan segera
dipindahkan oleh kemokin CXCL13 masuk ke zona sel B dimana terjadi kompetisi dengan
sesama sel B naif yang jumlahnya banyak untuk masuk ke zona sel B. Di zona sel B mereka
membentuk follikel primer untuk mendapatkan kesempatan dengan waktu yang sangat
singkat bagi tiap sel B naif untuk bertemu dengn antigen yang sesuai dengan reseptornya
yang akan datang melalui vas afferen limponodus karena sel B naif tidak menetap permanen
dalam follikel primer tetapi lewat saja. Satu peristiwa penting yang harus di alami oleh sel B
naif yang belum ketemu antigen dan akan segera harus meninggalkan limponodus untuk
bersirkulasi lagi mengunjungi limponodus lain adalah pemberian signal kehidupan (survival
signal) agar tidak segera mati (sel B naif yang ketemu antigen akan dapat signal kehidupan
dari BCR yang telah berikatan dengan antigen). Signal kehidupan untuk sel B naif yang tidak
ketemu antigen diberikan oleh sel dendritik follikular) di dalam follikel primer sebelum sel B
naif meninggalkan limponodus lewat vas efferen.

Sel B naif yang berhasil ketemu di follikel primer akan menghentikan ekspressi CXCR5
rseptor sitokin CXCL13 yang dipakai homing sementara di follikel, menggantinya dengan
CCR7, reseptor dari kemokin CXCL 19 dan CXCL 21 yang akan memfasiltasinya bergerak
menuju sona sel T untuk bertemu dengan sel T helper yang sudah teraktipkan juga oleh
antigen yang sama untuk melanjutkan proses aktipasi seperti telah diterangkan di atas yaitu
membentuk fokus ekstraseluler (fokus primer) dan fokus intrafolliku;ar (reaksi germinal
senter).

Bagaimana rute dan bentuk2 antigen yang mencapai jar limpoid perifer.

Antigen yang masuk lewat epitel atau sirkulasi darah dapat memicu aktipasi sel B dan
mereka digiring ke zona sel B jaringan limpoid perifer dalam berbagai cara:

1. Kebanyakan antigen dari jaringan dibawa ke limponodus (lebih 500 limponodus


bertebaran di seluruh tubuh), masuk melalui vas afferan sampai di sinus subkapsuler,
dimana antigen solubel kecil (<70kD) dapat langsung ke follikel melalui conduit
(semacam saluran) yang terbentuk antara sinus subkapsuler dengan fillikel dan
ketemu sel B naif yang ada juga lewat disitu.
2. Antigen besar seprti mikroba dan kompleks antigen-antibodi ditangkap oleh
makropag sinus subkapsuler untuk dibawa ke follikel yang ada di bawah sinus.
3. Antigen yang gagal melewati conduit dan gagal juga ditangkap makropag sinus
subkapsuler akan ditangkap oleh sel dendritik yang menetap di medulla untuk
dikembalikan ke follikel
4. Antigen pada kompleks imun (ikatan antigen dengan komplemen) akan ditangkap
oleh sel B zona marginal yang memiliki reseptor komplemen (CR2) dan ditransfer ke
sel B follikular atau ditangkap oleh sel dendritik follikular yang juga memiliki CR2
dan dipresentasikan langsung ke sel B naif yang spesifik untuk antigen bersangkutan.
5. Patogen dalam sirkulasi dapat ditangkap oleh sel dendritik plasmasitoid untuk dibawa
ke limpa dan ditransfer ke sel B zona marginal.
6. Antigen polisakarida dalam darah bisa ditangkap oleh makropag yang ada dalam zona
marginal follikel limpa dan diserahkan ke sel B naif di tempat itu juga.

Antigen datang dari jaringan ke limponodus terbawa aliran limpe masuk lewat vas afferen
dan sampai di follikel melalui berbagai cara seprti diterangkan di atas, akan bertemu sel B
naif yang sedang berhenti sejenak di follikel (zona sel B). Sel B naif mengikat langsung
antigen solubel atau yang dipresentasikan oleh sel dendritik follikular (Follicular Dendritic
Cells,FDCs).. Sel dendritik follikular yang berada dalam follikel memiliki kemampuan
menangkap antigen tetapi tidak melakukan internalisasi seperti pada sel dendritik yang akan
mempresentasikan antigen kepada sel T CD4 naif (tidak mampu membuat MHC kelas II)
Antigen itu tetap “dipegangnya” dalam bundel panjang dendritnya disebut iccocomes,
(immune complex coated bodies) untuk dipresentasikan kepada sel B naif. FDC ini
menangkap patogen yang sedang mengalami aktipasi komplemen di permukaannya (sedang
mengalami respon imunitas innet) seperti dengan cara yang dilakukan sel B naif (akan
dijelaskan kemudian) yaitu menggunakan reseptor komplemen CR1 dan CR2 untuk
mengikat masing-masing C3b dan C3d pada permukaan patogen. Oleh karena besarnya
repertoire reseptor antigen pada sel B dan sel T (diperkirakan 10 juta) maka dapat
dibayangkan sukarnya satu antigen bertemu dengan BCR yang cocok (spesifik) untuknya,
disinilah pentingnya peran FDC yang sangat signifikan meningkatkan peluang pertemuan itu.

Apa yang terjadi jika sel B naif ketemu antigen, apa itu signal 1 pemicu aptipasi sel B.

Di zona sel B dari limponodus inilah sel B naif menangkap antigen (menangkap sendiri atau
difasilitasi FDC ) dengan menggunakan berbagai reseptor yng dimilikinya seperti reseptor
antigen (BCR) untuk menangkap epitop spesifik pada patogen, reseptor komplemen CR1 dan
CR2 untuk menangkap kompleks imun serta TLR untuk menangkap PAMPs dari patogen.
BCR (IgM dan IgD membran) ini secara spesifik (sesuai spesifitas reseptor antigen yang
dimiliki oleh clone sel B naif, lihat pengembangan limposit B) mengenal epitop (antigenic
determinant) karbohidrat , lemak atau protein yang ada di permukaan(membran) mikroba
sehingga terjadilah ikatan keduanya. Ikatan itu sedemikian rupa secara otomatis antigen
menghubungkan IgM permukaan satu dengan lainnya (Physically Cross-linked antara
sesama IgM karena satu antigen mengikat lebih dari satu IgM,). Walaupun BCR sudah
mengikat antigen belum dapat menghasilkan signal yang cukup kuat untuk dapat memicu
seluruh proses aktipasi sel B naif barulah berupa signal awal (signal 1) tapi penting.
Kekuatan signal awal ini dapat ditingkatkan jika bekerjasama dengan koreseptor.

Koreseptor sel B adalah kompleks dari 3 protein dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu
reseptor komplemen 2 (CR2 atau CD21) yang mengenal iC3b dan C3D (produk pecahan dari
C3b yang berada di permukaan patogen), CD19 yang berperan sebagai rantai signal dari
reseptor dan CD81 yang fungsinya belum jelas. Koreseptor sel B ini berfungsi apabila ada
aktipasi komplemen pada permukaan patogen, sebagimana telah diterangkan bahwa yang
pertama terakit pada aktipasi komplemen (jalur apa saja) adalah C3b yang terpasang di
permukaan patogen. Di permukaan sel B masih ada reseptor komplemen yang lain yaitu CR1
yang dapat mengenal dan berikatan dengan C3b, memecahnya menjadi iC3b baru jadi C3d.
Koreseptor akan mengikat iC3b dan C3d dengan menggunakan CR2.Setelah BCR mengikat
antigen di permukaan patogen dan koreseptor telah mengikat pula C3d di permukaan
patogen maka terciptalah signal kerjasama reseptor dan koreseptor . untuk melahirkan
signal 1 yang lebih kuat dibanding jika hanya ditimbulkan oleh BCR sendiri. Hal ini
bermakna bahwa komplemen (imunitas innet) membantu meningkatkan respon imun
humoral.

Signal 1 ini membuat sel B naif mengespressikan molekul CD 69 yang memblok spingosine-
1 phosphate receptor-1 (S1PR1) sehingga bebas dari pengaruh spingosine-1 phosphate (S1P)
yang ingin segera menariknya meninggalkan limponodus seperti yang terjadi juga pada sel T
naif (lihat aktipasi sel T). Dengan demikian sel B naif dapat homing dalam waktu yang lama
di limponodus untuk menyelesaikan proses aktipasinya. Signal 1 ini membuat juga sel B
naif menurunkan ekspressi kemokin CXCR5 dan mengespressikan kemokin CCL19 dan
CCL21 seperti yang dimiliki sel T sehingga dapat berpindah ke zona sel T (untuk
mendapatkan signal tambahan dari sel T helper untuk proses aktipasi selanjutnya).

Migrasi sel B naif yang sudah mengikat antigen (TD antigen dan TI antigen) di follikel harus
berpindah ke zona sel T karena disanalah tempat untuk membentuk fokus primer (fokus
ekstrafollikuler) untuk mulai menghasilkan antibodi. Apalagi untuk sel B naif yang mengikat
TD antigen, harus kesana karena memerlukan bantuan sel T helper untuk mendapatkan signal
2 bagi aktipasinya. Disamping faktor peran sel T helper tersebut, penempatan fokus primer
ini di zona sel T karena ada sel B naif yang sudah mengikat antigen di luar follikel (dalam
darah dan cairan limpe) yang sampai di limponodus pada zona sel T (lokasi HEV pada zona
sel T).

Apa yang terjadi jika sel B naif ketemu antigen, apa itu signal 2 pemicu aktipasi sel B?

Bagaimanapun kuatnya signal 1 tidak akan dapt menyelesaikan aktipasi sel B naif. Masih
diperlukan adanya lagi signal tambahan (signal 2) untuk dapat melanjutkan proses
differensiasi dan proliferasi sel B naif menjadi sel B effektor untuk mengeliminasi mikroba
pemilik epitop pemicu. Oleh karena berbeda dengan TCR yang hanya dapat mengikat
protein kecil dengan beberapa nukleotida saja (mikromolekul), BCR dapat berikatan dengan
berbagai jenis antigen (protein, karbohidrat dan lemak) dengan ukuran kecil (mikromolekul)
dan ukuran besar (makromolekul) maka signal tambahan yang diharapkan apakah dari sel T
helper atau dari yang lainnya tergantung jenis antigen yang diikat oleh BCR.

1. Jika sel B naif mengikat antigen protein kecil yang juga memicu aktipasi sel T naif
maka signal tambahan dapat diperoleh dari sel T helper dalam hal in sel Th-2. antigen
demikian ini disebut T(thymic) dependent antigen (TD antigen). Sel B yang
berespon terhadap TD antigen adalah terutama yang ada dalam follikel (sel B
follikular). (Lihat ke bab antigen)
2. Jika sel B mengikat antigen besar yaitu antigen multivalent non protein dengan epitop
beulang-ulang (satu molekul antigen mengandung banyak epitop yang sama)
misalnya polisakarida, lemak dan asam nekleat maka signal tambahan tidak dapat
diperoleh dari sel T helper (karena TCR tak mengenal antigen besar itu) , antigen
demikian ini disebut T(thymic) independent antigen (TI antigen). TI antigen ini
dibagi menjadi TI-1 dan TI-2 berdasar mekanismenya yang berbeda..( gambar 9-5
peter). (Lihat ke bab antigen)

Respon sel B terhadap TI antigen sangat bermakna dalam mengeliminasi mikroba yang
dinding selnya adalah polisakarida (encapsulated bacteria) seperti pneumokokkus,
meningokokkus dan hemophilus. Disamping itu TI antigen berperan juga dalam sintese
antibodi natural yaitu antibodi terbentuk padahal belum pernah ada paparan antigen dari
antibodi itu. Antibodi natural adalah anti karbohidrat dengan affiniteit rendah yang
ditengarai diproduksi oleh sel B-B1 pada peritoneum dan sel B zona marginal pada spleen,
Contoh antibodi natural adalah Antibodi terhadap glikolipid A dan B pada golongan darah
sistem ABO. Kontraversi mengenai bisa tidaknya terbentuk sel B memori terhadap TI antigen
karena tidak bisa isotype switching yang dikendalikan oleh sel T helper berarti hanya
menghasilkan IgM saja, mungkin akan terjawab tidak lama lagi karena terungkap bukti-bukti
bahwa ada juga memori IgM.

Bagaimana timbulnya signal 2 dari sel T helper ?

Seperti telah dikemukakan pada fungsi sel T effektor, bahwa untuk berespon terhadap antigen
protein kecil sel B memerlukan partisipasi sel T helper. Keduanya bisa bekerjasama jika
dipicu oleh antigen yang sama, dan sel T naif harus lebih dahulu berfifferensiasi menjadi sel
T CD4 effektor dalam hal ini sel Th-2 baru bisa membantu aktipasi sel B naif. Bantuan sel
Th-2 ini diberikan dalam dua bentuk yaitu pemberian sitokin dan signal stimulus melalui
kontak langsung sehingga kontak antara sel B dengan sel T sangatlah penting. Sel B naif
dan sel T CD4 naif sama-sama bersirkulasi dan sampai di limponodus lewat aliran darah
(HEV) atau aliran limpe (vas afferen) akan berada di tempat yang berbeda pada limponodus,
sel T naif berada pada zona sel T (medulla) sedangkan sel B naif berada pada zona sel B
(follikel). Jika TCR sel T CD4 naif mengenal antigen yang dipresentasikan oleh sel dendritik
maka ia akan aktip menjadi sel T CD4 effektor (sel T helper) . Salah satu turunan dari sel T
helper ini adalah adalah sel Th-2 yang akan menolong proses aktipasi sel B naif. Sel B naif
akan ketemu antigen di zona sel B limponodus dan BCR yang spesifitasnya cocok akan
mengikat antigen yang sama dengan yang memicu aktipasi sel T naif. Sel B naif yang sudah
teraktipasi oleh signal 1 akan begerak ke zona sel T untuk bertemu dengan sel Th-2 seperti
telah diterangkan diatas. Dalam perjalanan ke zona sel T, sel B memproses antigen yang
diikatnya untuk dipesentasikan kepada sel Th-2 (berfungsi sebagai APC) seperti yang
dilakukan sel dendritik.BCR yang sudah mengikat antigen mampu melakukan internalisasi
antigen sehingga antigen berada dalam vakuol endosom (seperti pagosom pada pagosistosis
oleh pagosit). Antigen mengalami proses seperti dalam pagosom, bertemu dengan MHC
kelas II membentuk kompleks MHC kelas II + peptida asing yang kemudian dipresentasikan
di permukaan sel B untuk dikenal atau diikat oleh TCR dan koreseptor CD4.

Sel B naif bergerak dari follikel memasuki zona sel T sedangkan sel Th-2 bergerak
menjemput sel T naif, terjadilah pertemuan di dekat follikel, tempat pertemuan inilah
kemudian berkembanng mrnjadi fokus primer. Pertemuan berarti TCR dan koreseptornya
CD4 telah berikatan dengan kompleks MHC kelas II +peptida sel B naif. Setelah terjadi
ikatan ligan dan reseptor maka muncul signal pada kedua belah pihak (sel T dan Sel B) untuk
mengespressikan molekul-molekul adesi yang akan saling sambung menyambung sesuai
lawannya masing-masing membentuk immunological synaps (lihat aktipasi limposit T). Salah
satu dari molekul itu adalah CD40L dari sel Th-2 (sel T effektor) yang muncul setelah
berinteraksi dengan sel B naif akan bersinap dengan molekuk CD40 yang memang sudah
ada pada sel B naif menjadi sambungan molekul adesi yang mengalirkan signal tambahan
(signal 2) dari sel Th-2 untuk aktipasi sel B. Signal awal (signal 1) aktipasi sel B berasal dari
signal yang terjadi dari kerjasama antara BCR (yang mengikat epitop mikroba)dengan
koreseptor (yang mengikat C3-d) seperti telah diterangkan di atas. Molekul adesi lain yang
saling sambung menyambung membentuk immnologycal synaps adalah ICAM-1 (sel B naif)
dengan LFA-1 (sel Th-2) untuk memperkuat konyugasi keduanya. Jadi sel B naif berperan
juga sebagai APC terhadap sel T helper, bedanya dengan sel dendritik , yang
mempresentasikan antigen kepada sel T CD4 naif adalah sel dendritik aktif untuk memicunya
menjadi sel T CD4 effektor (sel dendritik memberi signal aktipasi kepada sel T CD4 naif,
molekul adesi yang terlibat untuk signal 2 adalah kostimulator B7 dan CD28). Sedangkan
pada sel B sebagai APC, yang mempresentasikan antigen kepada sel Th-2 (sudah aktip)
adalah sel B naif untuk mendapatkan signal aktipasi (sel B naif menerima signal 2 dari sel
Th-2, molekul adesi yang terlibat membuat signal 2 ini adalah CD40L dan CD40). Pada
waktu Sel Th-2 berkontak dengan sel B naif, terjadi signal differensiasi pada sel Th-2
membentuk turunan baru sel T CD4 effektor yang akan bekerja di follikel limponodus
(germinal senter) membantu differensiasi dan proliferasi sel B effektor sehingga disebut sel T
helper follikular (sel Thf). Sumber signal 2 lainnya adalah sitokin, sebagai contoh Sel Th-2
mensintese sitokin (IL-4) yang akan “diguyurkan” kepada sel B naif melalui immunological
synaps, yang akan ditangkap oleh reseptor sitokin sel B. Sejumlah sitokin berperan dalam
aktipasi sel B yaitu memicu proliferasi dan differensiasi sel B. (tabel ),

Apa yang terjadi pada sel B jika signal 1 dan 2 sudah diterima ?

Dengan munculnya signal 1 disusul oleh signal 2 (baik yang memicu sel B naif melalui
molekul adesi maupun melalui reseptor sitokin) maka sel B naif selamat dari kematian
karena Sel B naif yang sudah mengikat TD antigen tapi gagal berkontak langsung dengan sel

Tabel Sitokin pada imunitas humoral, sel penghasil dan fungsi


Sitokin Sel penghasil Fungsi
(INFγ) Sel Th-1, sel NK, Aktipasi klasik makropag, memicu isotype switching
CTL, sel NKT. menjadi subklas IgG3 dan IgG2a, manghambat isotype
switching menjadi IgM, IgG1 dan IgE.,
IL-4 Sel Th-2, Sel NKT, Aktipasi alternatif makropag , memicu isotype switching
sel mast jadi IgE dan IgG1, menghambat jadi IgM, IgG3 dan
IgG2a
IL-5 Sel Th-2,eosinopil, Aktipasi (differensiasi dan proliferasi) eosinopil,
sel mast meningkatkan sintese IgA
IL-21 SelTh-17, Memicu differensiasi sel Th follikuler dan sel Th-17 serta
Sel Th follikuler stimulasi sel B di sentrum germinativum.
BAFF Sel mieloid pada Signal kehidupan untuk sel B naif, differensiasi dan
(BlyS), follikel limpoid dan proliferasi sel B pada follikel (menjadi sel plasma),
APRIL sumsum tulang memicu respn sel B naif terhadap TI antigen, isotype
[Famili switching jadi IgA,
TNFα ]
TGFβ Sel T helper dan sel Memicu Isotype switching jadi IgA dan IgG2b,
lain. menghambat jadi IgM dan IgG3
APRIL : ; BAFF: ;BlyS: B lymphocyte stimulator; INFγ: interferon γ; IL : interleukin
; TGFβ: transforming growth factor β; TNFα: tumor necrocis factor α.
T helper akan mati dalam 24 jam, berarti signal 2 juga adalah signal kehidupan. Berkat
hadirnya signal2 maka sel B naif mengalami differensiasi dan proliferasi menjadi sel B
effektor yang mulai menghasilkan IgM. Sebagian dari sel B effektor ini tetap berkumpul di
luar follikel membentuk fokus primer (fokus ekstrafollikuler ) dimana sel B effektor
berdifferensiasi menjadi plasmablast dan selanjutnya berdifferensiasi penuh menjadi sel
plasma dimana keduanya sudah mampu menghasilkan solubel antibodi sebagai respon imun
primer dini Sebagian dari sel B effektor ini masuk kembali kefollikel membentuk reaksi
germinal senter (fokus intrafollikular)yang akan menghasilkan sel B effektor dengam
affinitet tinggi mengikat antigen, isotype switching, terbentuk sel plasma yang lebih lama
usianya dan terbentuknya pula sel memori sebagai respon imun primer lanjut.

Sel B effektor pada fokus ekstrafollikuler berdifferensiasi penuh menjadi sel plasma yang
hanya berusia pendek dan tinggal di jaringan terinfeksi. Walaupun sudah mulai ada isotype
switching (perubahan IgM menjadi imunogobulin lain) tetapi sel plasma ekstrafollikelar ini
kebanyakan menghasilkan IgM. Sedangkan pada fokus intrafollikuler terjadi reaksi germinal
senter dimana sel B effektor masih terus melanjutkan differensiasinya atas fasilitasi sel T
helper follikular (sel Thf). Dalam germinal senter ini sel B effektor masih terus
berdifferensiasi berupa mutasi somatik pada BCR (IgM) agar lebih mantap mengikat
antigen yang sudah ditangkapnya yang dengan sendirinya antibodi yang dihasilkan memiliki
juga affinitet tinggi. Jadi mutasi somatik hanya merubah regio V imunoglobulin.

Apa yang terjadi dalam germinal senter untuk meningkatkan fungsi efektor
imunoglobulin (menangkap antigen kemudian mengeliminasinya) ?

Proliferasi sangat cepat terjadi dalam germinal senter, begitu hebatnya proliferasi sel B yang
sudah terpicu antigen (satu sel B di germinal senter membelah 3-4kali sehari, tiap 6-8 jam) ,
sehingga sel B naif lain yang ada dalam follikel sejak masih follikel primer terdesak ke
pinggir follikel membentuk mantel zone pada follikel sekunder (follikel yang berisi
germinal senter). Sel B yang proliferasi hebat ini menghentikan sintese imunoglobulin
permukaan (BCR) terutama IgD jadi hilang sehingga dinamai centroblast yang kelihatan
sebagai dark zone pada morpologi follikel sekunder. Jika kemudian sel B menurunkan lagi
kecepatan proliferasinya maka imunoglobulin permukaan (BCR) bermunculan lagi, saat itu
dinamai centrocyt yang menempati light zone germinal senter bersama-sama dengan FDC

Mutasi somatik hanya terjadi pada sel B yang sedang proliferasi pada germinal senter
karena diperlukan mitosis untuk bisa terjadi mutasi. Gen yangmengalami mutasi adalah yang
menyandi pembentukan regio V immunoglobulin. (rantai berat dan rantai ringan) yang kira-
kira terdiri atas 700 nukleotida. . Mutasi gen V immunoglobulin di germinal senter ini sangat
cepat mencapai 1000X lebih cepat dibanding dengan spontaneus mutasi pada gen mamalia,
sehingga disebut hipermutasi. Satu klon sel B bisa mengalami berkali-kali mutasi yang terjadi
terus menerus selama hidupnya di germinal senter.(selama proliferasi berlangsung). Kalau
dilihat pada morpologi limponodus maka sel yang mengalam mutasi somatik adalah
centroblast. Setiap kali mutasi hanya mengenai satu nukleotida saja sehingga hasil
akumulasi mutasi menentukan kualitas BCR, bisa terjadi malah lebih jelek affinitetnya
bahkan bisa terjadi malah kehilangan sama sekali fungsinya sebagai reseptor antigen
sehingga perlu dilakukan seleksi terhadap hasil mutasi somatik ini.

Hasil mutasi somatik ini kemudian diperiksa melalui seleksi affinitet untuk mencari sel B
effektor yang memiliki affinitet tinggi terhadap antigen Seleksi ini dilakukan oleh FDC dan
sel Thf dimana FDC yang menyajikan antigen untuk menilai affiniteit sel B effektor
kemudian kemampuannya mengolah antigen dibuktikan dengan dapatnya sel B effektor itu
mempresentasikan antigen itu kepada sel Thf. Kalau dilihat pada morpologi limponodus
maka sel yang mengalam mutasi somatik adalah centrocyt. Hasil seleksi terhadap produk
mutasi somatik ini ternyata hanya sedikit sekali sel B yang BCR nya memang menjadi lebih
baik affinitetnya, jauh lebih banyak mutasi somatik justru berdampak jelek terhadap affinitet
BCR sehingga menjadi bencana bagi sel bersangkutan karena harus apoptosis. Itulah
sebabnya nampak pada germinal senter memang banyak sel proliferasi tetapi banyak juga sel
apoptosis. Material apoptosis ini dibersihkan oleh makropag yang terlihat sebagai tingible
body macropahage karena banyak mengandung debris nukleus dari sel mati pada
sitoplasmanya . Yang selamat hanyalah yang menunjukkan affinitet tinggi sehingga mutasi
somatik ini disebut sebagai maturasi affinitet.

Setelah BCRnya (V region) mantap maka dilakukan lagi pembenahan pada regio C
imunoglobulin sebagai penentu tipe (atau kelas) imunoglobulin sehingga disebut isotype
switching.(Class switching). Tipe imunoglobulin berkaitan erat dengan mekanisme
efektornya mengeliminasi antigen, tiap tipe mempunyai mekanisme yang khas untuknya,
sehingga isotype switching dimaksudkan untuk meningkatkan mekanisme efektor
imunoglobulin. Setelah antigen dengan mantap ditangkap oleh BCR (hasil maturitas affinitet)
maka harus pula dapat dieliminasi dengan mantap pula (hasil dari isotype switching).
Isotype switching bertujuan merubah regio C imunoglobulin agar bisa menyesuaikan diri
dengan fungsi effektor yang akan diembannya, banyak fungsi effektor yang tidak bisa
diembang oleh IG M sehingga dirubah menjadi tipe atau subtipe lain. Jadi isotype switching
adalah merubah IgM yang bentuknya pentamer menjadi berbagai tipe dan subtipe (
IgG,IgA,IgE) yang berbentuk monomer agar dapat lebih “lincah” menjalankan fungsi
effektornya misalnya bisa lewat plasenta (IgG), lewat mukosa usus dari arah lumen (IgG
dalam ASI yang ditelan anak), lewat mukosa dari submukosa ke lumen (IgA), bisa berikatan
dengan reseptor di permukaan sel mast (IgE). Pada isotype switching, perubahan hanya
terjadi pada rantai berat regio C (constan) imunoglobulin. Rupanya regio V apa saja dapat
nyambung dengan regio C yang dirubah-rubah. Isotype switching ini dipicu signal dari sel
Th melalui ligan CD40 yang berikatan dengan CD40 sel B dan dikendalikan arah
perubahannya oleh sitokin yang juga kebanyakan dihasilkan oleh sel Th. Perubahan rantai
berat regio C ini tidak terjadi secara random tetapi dikendalikan oleh sitokin , IL-4
mengarahkan perubahan menjadi IgG1 (Cγ1) dan IgE(Cε), Transforming growth factor β
(TGFβ) mengarahkan menjadi IgG2b (Cγ2b) dan IgA (Cα), interferon γ mengarahkan
menjadi IgG2a (Cγ2a) dan IgG3 (Cγ3).

Setelah melalui mutasi somatik dan isotype switching , akhirnya differensiasi sel B di dalam
germinal senter menghasilkan sel plasma yang lebih lama usianya dengan antibodi yang
dihasilkan memilik efektifitas lebih baik dari yang dihasilkan oleh respon imun primer dini
(oleh fokus primer) . Sel plasma ini berpindah ke sum-sum tulang agar bisa hidup lebih lama
dan terus menghasilkan antibodi. Di dalam germinal senter ini pula sebagian sel B effektor
berdifferensiasi menjadi sel B memori.

Apa hasil proses differensiasi dan proliferasi dalam germinal senter ?

Sel Plasma merupakan ujung dari differensiasi sel B yang berfungsi untuk menghasilkan
antibodi yang banyak. Sel ini muncul setelah aktipasi sel B naif oleh betbagai signal yang
masuk lewat BCR, CD40 , TLRs dan reseptor lainnya termasuk reseptor sitokin. Sebelum
menjadi sel plasma, sel B menjadi sel plasmablast yang sudah bisa menghasilkan antibodi
(IgM). Selplasmablast ini selanjutnya mengalami proliferasi, mutasi somatik untuk maturasi
affinitas, isotype switching baru menjasi sel plasma. Proses differensiasi ini dikonterol oleh
protein regulator bernama BLIMP-1 (B Lymphocyte induced maturation protein-1).
Pembentukan sel plasma di germinal senter dipicu oleh signal asal BCR dan dari reseptor
sitokin IL-21 yang dihasilkan oleh sel Th-17 dan Sel Thf. Jika sudah jadi sel plasma maka
berhenti proliferasi, merubah protein permukaan dan menghasilkan imunoglobulin, Sel
plasma terdiri atas dua tipe, umur pendek dan umur panjang. Sel plasma umur prndek adalah
hasil aktipasi sel B naif oleh TI antigen dan respon dini terhadap TD antigen, yaitu respon
yang terjadi pada lokus sel B ekstrafollikuler . Mereka terdistribusi pada jaringan limpoid
perifer dan jaringan perifer nonlimpoid. Sel plasma umur panjang adalah hasil aktipasi sel B
naif oleh TI antigen (protein) yang muncul lebih lambat, terjadi dalam follikel yaitu pada
reaksi germinal senter. Sel plasma yang dihasilkan di germinal senter dibekali kemampuan
untuk tinggal dalam waktu yang lama dalam sum-sum tulang, bisa bertahun-tahun bahkan
ada seumur hidup. Hal ini dimungkinkan oleh karena adanya resptor sitokin (disebut reseptor
BCMA) pada sel plasma yang dapat menjadi sumber signal kehidupan jika reseptor ini terus
dipicu oleh ligannya yaitu sitokin BAFF family. (IL-6 ???). Pada sel plasma ini seharusnya
telah hilang semua molekul dipermukaanya yang selama masih sel B digunakan untuk
kepentingan proses differensiasi menjadi sel plasma, tetapi ditemukan masih adanya BCR
walau dalam jumlah yang sangat sedikit, berdasar ini diperkirakan bahwa jika BCR
berikatan dengan antigen akan ada muncul signal kehidupan yang berperan juga untuk
memperpanjang usia sel plasma. Biasanya 2-3 minggu setelah imunisasi sudah ada sel plasma
dalam sum-sum tulang. Dari sum-sum tulang inilah sel plasma melepas antibodi untuk
beredar ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah dan sekrit mukosa dalam waktu yang lama,
sel plasma sendiri tidak ikut beredar dalam sirkulasi, Memang ada plasmablast dalam darah
yang mensekresi antibodi tapi jarang, mungkin ini hanya prekursor sel plasma yang sedang
menuju ke sum-sum tulang atau jaringan perifer. Diperkirakan lebih separuh antibodi yang
beredar dalam darah berasal dari sel plasma umur panjang yang ada di sum-sum tulang,
berperan dalam reaksi cepat jika antigen sama datang lagi sebelum sel memori manjadi aktip
menghasilkan antibodi.

Sel B memori adalah salah satu jenis sel hasil differensiasi sel B di germinal senter yang
memiliki kemampuan bertahan hidup dalam waktu yang lama tanpa signal kehidupan dari
BCR yang dipicu antigen (tanpa ketemu antigen). Sel ini memiliki kemampuan beraksi cepat
(proliferasi dan differensiasi menjadi sel B effektor) jika di kemudian hari datang lagi antigen
yang sama. Differensiasi menjadi sel B memori ini hanya terjadi di germinal senter berarti
hanya untuk TD antigen oleh karena itu timbul bersamaan dengan pembentukan sel T
memori.

Respon dari sel B memori lebih baik dari respon sel B naif dalam banyak hal (tabel ), dan
ini terjadi berkat partisipasi sel T helper dalam pembentukannya misalnya untuk maturasi
affinitet dan isotype switching. Olehnya itu dalam pembuatan vaksin haruslah diperhitungkan
peran sel T helper untuk menghasilkan vaksin yang baik. Misalnya vaksin untuk
polisakarida pada kapsul mikroba maka antigen polisakarida ini harus dikonyugasi dengan
protein asing seperti layaknya konyugasi hapten-karrier, vaksin demikian ini biasa disebut
vaksin konyugasi.

Bagaimana molekul imunoglobulin disintese, dirakit dan kemudian diekspressikan.

Heavy (H) chain dan light (L) chain disintese pada membran-bound ribosome dari rough
endoplasmic reticulum kemudian di tansfer ke retikulum endoplasmik (ER) dalam bentuk N-
glycosylated protein. Di dalam ER ini terjadilah perakitan H chain dengan L chain meanjadi
molekul imunoglobulin lengkap yang diatur oleh chaperones, suatu protein yang ada dalam
ER. Jika perakitan gagal maka H chain dan L chain akan degradasi. Untuk menstabilkan
hubungan H chain dan L chain dibentuk disulfida bonds yang merupakan bagian juga dari
perakitan di ER. Setelah perakitan selesai, imunoglobulin dilepaskan dari chaperons dan
ditransfer ke sisterna kompleks Golgi untuk modifikasi karbohidratnya. Setelah itu diangkut
dalam vesikel menuju ke membran plasma untuk diekspressikan dalam bentuk tertanam pada
membran plasma sebagai membrane- bound IgM atau dilepas menjadi secreted antibody.

Bagaimana mengakhiri aktipasi sel B jika antigen sudah dieliminasi ?

Penghentian aktipasi sel B sangatlah penting jika eliminasi antigen sudah dicapai, kalau tidak
akan berdampak merugikan akibat melimpahnya antibodi dalam sirkulasi. Salah satu
mekanisme penghentian aktipasi sel B menghasilkan antibodi adalah karena antibodi sendiri
yang menyetop aktipasi sel B sehingga disebut umpan balik antibodi (antibodi feedback).
Apabila sudah banyak antigen dieliminasi atau diikat oleh antibodi maka terbentuklah banyak
kmpleks antigen-antibodi, yang secara fisiologis menjadi tanda bahwa aktipasi sel B
terhadapm antigen itu sudah harus dihentikan. Kompleks antigen-antibodi dimana
antigennya multipalen (dalam satu antigen ada sejumlah epitop yang identik) akan secara
simultan mengikat dua reseptor pada sel B yaitu BCR (oleh epitop) dan FcγRIIB (CD32)
yang mengikat porsi Fc IgG. Ekor sitoplasmik dari reseptor FCγRIIB ini memediasi signal
negatif atau signal inhibisi terhadap signal stimiulasi (signal 1) yang berasal dari BCR yang
mengikat antigen (ITAMs). Signal inhibisi ini disebut ITIM (immunoreceptor tyrosyne-based
inhibition motif). Apabil kompleks antigen antibodi mengikat simultan reseptor stimulasi
dengan reseptor inhibisi ini, maka dengan sendirinya reseptor inhibisi akan tertarik
mendekati reseptor stimulasi(BCR) dan terjadilah proses penghambatan signal stimulasi,
makaberhentilah aktipasi sel B. Dengan kata lain sel B yang BCRnya mengikat hanya antigen
saja akan mendapat signal stimulasi (seperti telah diterangkan sebelumnya), tetapi jika
BCRnya mengikat antigen yang sudah berkompleks dengan antibodi berarti dia akan
mendapatkan signal inhibisi yang dipicu oleh antibdi pada kompleks antigen antibodi itu.
Begitulah Yang Maha Kuasa mengatur semuanya agar terjadi homeostasias imun. Masih ada
mekanismenghambatan aktipasi sel B lainnya yaitu melalui reseptor CD22 teta[pi mekanisme
kerjanya belum jelas diketahui (lmu Tuhan maha luas). (gambar 11-21)
BAB 11

ANTIBODI DAN MEKANISME EFEKTOR IMUNITAS


HUMORAL

Emil von Behring dan Shibasaburo (1890) berhasil mengobati dipteri denganserum dari
binatang yang diimunisasi dengan toksin dipteri, protein yang ada dalam serum itu yang
berperan sebagai bahan aktip diberi nama antitoksin. Ternyata kemudian bukan hanya toksin
dipteri tetapi juga berbagai substansi lain bisa juga memicu terbentuknya protein protektif
semacam antitoksin, maka namanya kemudian berubah menjadi antibodi. Substansi yang
memicu produkasi antibodi disebut antigen.

Antibodi adalah protein yang bersirkulasi dalam darah yang hanya dihasilkan oleh sel B
sebagai respon terhadap paparan protein asing. Antibodi sangat bervariasi spesifitasnya
sehingga dapat mengenal protein asing dan menjadi mediator primer respon imun homoral.
Peran sebagai mediator berarti antibodi bukanlah eksekutor membunuh antigen tapi
memediasi eksekutor lain (makropag, komplemen, sel NK, sel mast) untuk eliminasi antigen.
Walaupun dikatakan antibodi dibuat meresponi protein asing tapi dalam keadaan tidak
normal dapat juga berespon terhadap protein diri sendiri sehingga menimbulklan penyakit
otoimun. Variasi antibodi yang dapat terbentuk tentu tergantung pada banyaknya variasi
clone sel B naif yangmemiliki spesifitas BCR yang berbeda (lihat pengembangan limposit B)
yang diperkirakan sekitar 10 juta.

Sebenarnya antibodi ada dua bentuk yaitu yang melekat di permukaan sel B (membrane
bound antibodies) yang berfungsi sebagai reseptor antigen dan antibodi yang disekresikan
ke dalam sirkulasi, cairan intersititiel dan sekresi mukosa (secreted antibodies atau soluble
antibodies) yang berfungsi sebagai mediator respon imun humoral. Peran antibodi sebagai
BCR sudah diterangkan pada aktipasi sel B sedangkan peran sebagai mediator akan
diterangkan pada makanisme effektor imunotas humoral

Walaupun ada dua bentuk antibodi tetapi penggunaan kata antibodi saja yang dimaksud
adalah antibodi yang disekresikan, kalau yang melekat pada membran sel B disebut reseptor
sel B (BCR). Antibodi berperan sebagai mediator imunitas humoral berarti antibodi hanya
dapat ditemukan dalam tubuh kita pada wilayah cair (layaknya tentara laut) seperti plasma
darah, sekresi mukosa dan cairan interstitial jaringan. Dengan demikian antibodi bisa
menyerang semua mikroba jenis apa saja selama masih berada dalam mileu cair (termasuk
mikroba intraseluler yang belum masuk sel). Antibodi tak bisa masuk ke dalam sel, sehingga
tak berdaya terhadap mikroba yang sudah ada dalam sel (mikroba intraseluluer yang sudah
tinggal dalam sel). Antibodi bisa juga mengikat antigen yang diekspressikan sel di
permukaannya sebagai molekul permukaan karena molekul itu tergenang dalam cairan
interstitiel.

Orang dewasa menghasilkan sekitar 2-3 kg antibodi dalam sehari, dimana yang terbanyak
(hampir 2/3 dari seluruh antibodi) adalah IgA. IgA disekresikan di jaringan pada seluruh
permukaan tubuh, menyeberangi sel epitel penutup permukaan tubuh untuk mencari musuh
yang mencoba mendekati permukaan tubuh kita (musuh belum masuk sudah diserang oleh
IgA). Berdasar luasnya permukaan tubuh (kulit, saluran nafas, saluran cerna, saluran
urogenetal) yang merupakan wilayah kerja IgA maka dapat dipahami kenapa IgA yang
mendominasi jumlah antibodi.

Jika darah dibekukan maka terbentuk supernatan yang disebut serum, antibodi yang tadinya
ada dalam plasma akan berada dalam serum. Jadi waktu peneliti mencari antibodi dalam
darah maka dicarinya dalam serum dan jika ditemukan ada antibodi maka biasanya mereka
sebut ada antiserum sehingga muncul lagi nama lain antibodi. Oleh karena studi tentang
antibodi dan reaksinya dengan antigen menggunakan serum sebagai bahan penelitian maka
studi ini dinamai serologi. Studi yang paling banyak dilakukan adalah menyangkut kadar
(konsentrasi ) antibodi dalam serum dan untuk menyatakannya digunakanlah pengenceran
serum, artinya sampai pengenceran berapa masih bisa dilihat adanya reaksi ikatan antigen
antibodi, tentu saja makin tinngi pengenceran (titer) yang bisa dilakukan makin tinggi kadar
antibodi. Dengan demikian kadar antibodi sering dinyatakan dengan titer, kalau konsentrasi
tinggi disebut titer tinggi atau sebaliknya.

Protein dalam serum atau plasma dipisahkan atas albumin dan globulin berdasar
solubelitasnya. Kemudian masing-masing dipisah lagi lebih detail berdasar jauhnya migrasi
pada lingkungan elektrik yang biasa disebut elektroporesis. Sebagai hasilnya kecepatan
antibodi berada pada urutan ketiga sehingga diberi nama gamma globulin (gamma adalah
abjad Yunani ketiga). Selanjutnya gamma globulin ini sering juga dinamai imunoglobulin
yang menunjukkan bahwa gammaglobulin itu berfungsi pada imunitas, dan nama terakhir
inilah sekarang sering digunakan bergantian dengan antibodi (tergantung selera penulis).
Bagaimana struktur antibodi.

Memahami struktur antibodi adalah sangat penting untuk memahami fungsinya dan
bagaimana strukturnya itu digunakan untuk menjalankan fungsinya serta bagaimana
pengorganisasian genetik untuk menghasilkan reseptor antigen dengan variasi yang sangat
besar (lihat pengembangan sel B). Sebagai perumpamaan bahwa memahami anatomi manusia
diperlukan untuk kita memhami fungsi semua organ dan bagaimana organ-organ itu
menjalankan fungsinya.

Semua antibodi memiliki struktur dasar yang relatif sama tetapi memiliki variabilitas yang
luar biasa pada regio yang mengikat antigen (diperkirakan 10 juta variasi) sehingga dapat
berespon terhadap antigen dengan variabilitas yang luas pula yang ada di alam ini. Struktur
yang relatif sama diantara berbagai tipe antibodi adalah bukan porsi yang bertanggung jawab
mengikat antigen tetapi porsi yang bertanggungjawab untuk fungsi effektor antibodi yaitu
menfasiliasi respon imun humoral seperti dikemukakan sebelumny. Non antigen binding
portion ini hanya memiliki variasi yang sedikit saja diantara berbagai jenis antibodi, variasi
yang sedikit ini yang dinyatakan dalam perbedaan isotypes berdampak pada perbedaan fungsi
effektornya.

Tiap antibodi memiliki struktur dasar yang simetrik dari masing-masing dua rantai ringan
yang identik dan dua rantai ringan yang identik pula. Kedua rantai ini terdiri atas untaian
berseri beberapa unit yang homolog (satu unit mengandung sekitar 110 residu asam amino)
yang terlipat membentuk motif globuler (semacam kantong) yang disebut Ig domain. Kedua
rantai ringan dan berat tadi disatukan oleh ikatan disulfida yang menghubungkan keduanya,
demikian pula halnya kantong Ig domain pada masing-masing rantai terbentuk karena ikatan
bisulfida menghubungkan sesama rantai ringan atau sesama rantai berat.

Dari struktur antibodi yang berbentuk huruf Y maka tangan dua di atas adalah regio
penangkap antigen disebut Fab region sedangkan badan dan kakinya yang di bawah (seolah-
olah dua kaki merapat) adalah non-antigen binding porsion yang disebut Fc region Satu
antibodi dapat secara enzimatik dipotong dua menjadi Fab region dan Fc region oleh enzim
papain. Tangan kiri dan kanan masing masing dibentuk oleh satu rantai ringan (rantai
pendek) dan satu rantai berat (panjang) dimana keduanya dihubungkan ikatan bisulfida .
Sedangkan badan dan kaki yang merapat dibentuk oleh lanjutan rantai berat dari kedua Fab
region (tangan kiri dan kanan ), berarti dengan hanya rantai berat saja struktur Fc
region(badan dan kaki) sudah terdiri dari dua rantai yang juga dihubungkan oleh ikatan
bisulfida. Makanya tidak diperlukan lagi rantai ringan pada Fc region , jadi rantai ringan
hanya ada pada Fab region membentuk 2 Ig domain berarti hanya sekitar 200 residu asam
amino sehingga disebut rantai ringan (Light chain disingkat L chain). Dilain pihak, rantai
berat terbentang dari FAB regio sampai Fc regio (dari tangan sampai ke kaki)yang terdiri
atas sekitar 400-500 residu asam amino (4-5 Ig domain) tergantung pada isotype
imunogobulinnya sehingga disebut rantai berat (heavy chain disingkat H chain). Jika
antibodi terdiri atas 4 Ig domain (mis IgG) dapat dianalogkan 4 bagin tubuh (membentuk
huruf Y) mulai dari atas berturut-turut lengan bawah dan lengan atas (2 domain untuk Fab
region) kemudia badan, tungkai atas dan tungkai bawah (3 Ig domain untuk Fc region), Jika
Ig domain 5 (mis IgM) maka badan dibagi dua domain yaitu dada dan perut sehingga Fc
region menjadi 3 Ig domain. Dengan struktur dimana pada Fab region antibodi terdapat dua
rantai ringan dan dua rantai berat yang berpasangan dimana masing-masing pasangan
terdiri dari satu rantai berat dan satu rantai ringan maka setiap antibodi memiliki minimal
dua reseptor antigen atau dua tangan penangkap antigen, menjadi lebih dari dua jika antibodi
berbentuk polimer.

Pada ujung Fab region dari kedua rantai (berat dan ringan) terdapat amino- terminal yang
berperan dalam mengenal/mengikat antigen yang variasinya banyak sehingga disebut
variable region (v region) yang terdiri atas Variable region untuk light chain disingkat VL
dan untuk heavy chain disingkat VH. Masing-masing dari kedua rantai ini hanya memiliki
satu VL atau satu VH, keduanya bekerjasama menciptakan antigen binding portion atau
disebut juga antigen binding site dari antibodi, inilah yang membedakan antibodi yang
dibuat oleh satu clone sel B dengan clone yang lainnya (Apa yang dimaksud dengan satu
clone sel B harap lihat pada perkembangan sel B). Sisa dari variable region rantai ringan dan
rantai berat adalah struktur carboxyl-terminal constant yang berperan sebagai mediator
respon imun humoral disebut Constant region (C region) yang terdiri atas C region untuk
light chain disingkat CL dan untuk heavy chain disingkat CH. Masing-masing V region dan
C region inilah yang membentuk Ig domain yang telah disebutkan di atas, jadi jumlah V
regian dan C region untuk tiap antibodi sama dengan jumlah Ig domain. Pada dua Fab
region (tangan kiri dan tangan kanan) terdapat masing-masing satu VL,VH, CL dan CH1
(total terdapat 8 Ig domain atau 4 Ig domain pada masing-masing Fab region ) sedangkan
pada satu Fc region (badan sampai kaki) terdapat 2CH2,2CH3, 2CH4, 2CH5 dimana yang
terakhir hanya ada pada IgM. (total 6 atau 8 Ig domain).
Struktur lain dari antibodi adalah yang dibentuk oleh Light (L) chain yang terdiri atas К chain
dan λ chain. Keduanya tidak pernah bersama-sama dalam satu antibodi, jadi H chain
berpartner dengan salah satu diantara dua L chain dengan kata lain satu isotype antibodi bisa
memiliki К chain dan λ chain., misalnya IgM bisa terdiri atas IgM dengan К chain atau IgM
dengan λ chain. Partisipasi L chain hanya pada fungsi pengenalan antigen karena turut
membentuk antigen binding site, tetapi partisipasi dalam fungsi effektor mungkin tidak ada
karena memang L chain tidak ada pada FC region yang diketahui sebagai region yang
berperan dalam fungsi effektor antibodi. Pada manusia terdapat 60% molekul antibodi
memiliki К chain dan 40% memiliki λ chain. Dari perkembangan diagnostik penyakit,
peran L chain sangat menentukan misalnya untuk diagnose limpoma perlu diketahui apakah
sel B yang berproliferasi itu monoklonal karena hanya satu jenis L chain yangdimiliki (К
chain atau λ chain) untuk membedakan dengan proliferasi reaktif untuk respon imun
(proliferasi normal) yang ditandai dengan proliferai polyclonal karena sel-sel yang sedang
proliferasi itu memiliki kedua L chain.,

Struktur antibodi yang menentukan fungsi pengenalan antigen

Kebanyakan perbedaan sekuensial antara antibodi pada V region ini yang menentukan
spesifitas antigen binding site tiap antibodi hanya terbatas pada tiga bentangan pendek ( 10
residu asam amino) dari V region, baik pada VH maupun pada VL , yang dinamai
hypervariable region (segmen) . Dari VL dan VC akan menonjol masing-masing tiga
hypervariable region seperti jari-jari yang akan memegang antigen. Oleh karena enam jari-
jari ini (tiga dari VL dan tiga dari VH) akan saling mendukung untuk membentuk permukaan
dari antigen binding site yang komplementer dengan struktur tiga dimensi dari antigen yang
diikatnya (ikatan reseptor dengn antigen kuat karena antigen dipegang oleh enam jari-jari
dalam tiga dimensi) maka hipervariable region ini dinamakan juga complementarity-
determining regions (CDRs). CDR ini dianalogkan dengan jari-jari tadi maka jari pertama,
jari kedua dan jari ketiga dinamai masing-masing dengan CDR1, CDR2 dan CDR3. Diantara
ketiga jari ini, maka CDR3 yang paling tinggi variabilitasnya, baik CDR 3 pada VL maupun
CDR3 pada VH. Dalam mengikat antigen tidaklah mutlak semua jari-jari itu memegang
antigen, bisa saja salah satu dari keenam jari (CDRs) itu tidak berkontak dengan antigen atau
antigen berkontak juga dengan permukaan antigen binding site yang bukan CDR. Kalau
dilihat dari intensitas kontak maka kembali CDR3 yang paling intensif dibanding dengan
CDR lainnya.
Kalau kita kembali mengumpamakan antibodi seperti tubuh manusia dimana Fab region
suatu antibodi diibaratkan dua lengan (ekstremitas atas) maka kedua lengan kiri dan kanan
(Fab region) itu haruslah fleksibel sehingga antigen binding site dari kedua lengan (Fab
region) pada saat bersamaan dapat menangkap dua epitop yang sama yang berada pada satu
antigen (mis satu mikroba) dimana jarak antara kedua epitop itu bisa dekat bisa jauh. Hal ini
dimungkinkan adanya semacam pegas (analog dengan sendi bahu ) yang disebut hinge pada
H chain diantara CH1 (Fab region) dan CH2 (Fc region)) sehingga CH1 (analog lengan
atas)bisa distel (direntangkan atau dirapatkan) menyesuaikan diri dengan jarak kedua epitop
yang akan ditangkap oleh kedua tangan antibodi (antigen binding site) yang berada pada VH
karena VH sebagai lengan bawah akan ikut saja pada fleksibilitas gerakan lengan atas atau
CH1. Fleksibilitas lain ialah Fab region bisa berputar karena dimungkinkan oleh fleksibilitas
CH1 tadi, layaknya lengan yang diputar bersumbu pada sendi bahu sehingga jari-jari tangan
(CDRs) dapat fleksibal untuk komplementer menangkap antigen dengan tangkapan tiga
dimensi . Gerakan apapun yang dilakuan oleh H chain dari Fab (rentangan atau putaran)
akan diikuti oleh L chain dari Fab, CL ikut gerakan CH1 karena menyatu (diikat oleh
disulfida ) sebagai lengan atas sedangkan VL akan ikut gerakan VH karena menyatu sebagai
lengan bawah).

Antibodi dapat secara spesifik mengenal antigen dengan variasi yang luas yang merupakan
kehebatan dari V region dimana ada antigen binding site yang mampu membedakan antigen
yang hanya memiliki perbedaan struktur kimia yang kecil. Misalnya antibodi dapat
membedakan linear determinant antara yang belum dan yang sudah diganti hanya satu
asam amino. Oleh karena pada dasarnya struktur biokimia mahluk hidup hanya memiliki
perbedaan yang kecil makanya specificity ini penting sekali agar tidak terjadi antibodi
bereaksi terhadap molekul self atau terhadap antigen mikroba lain. Walaupun demikian tetap
tak ada yang sempurna, tidak jarang ditemukan antibodi bereaksi juga terhadap molekul lain
yang mirip dengan antigen spesifiknya yang disebut cross-reaction, jika mengeenai molekul
self akan menimbulkan penyakit imunologik.

Dengan kemampuan specificity antibodi mengenal antigen , serta penyempurnaan ikatan


antigen binding site setelah melalui proses affinity maturation serta tersedianya kapasitas
tubuh membuat antibodi dengan diversity (koleksi antibodi) yang luas terhadap banyak
antigen maka antibodi merupakan pertahanan yang sangat penting dalam pertahanan tubuh
terhadap invasi mikroba patogen.

Bagaimana struktur antibodi yang berkaitan dengan fungsinya memediasi respon imun
humoral

Struktur antibodi pada heavy chain yang berbeda membuat antibodi dibagi atas beberapa
isotypes dan subtypes. Bentuk antibodi bisa juga bermacam-macam, ada yang hanya
monomer tapi ada pula yang polimer (dimer, trimer, dan pentamer). Jika monomer berari
memeiliki dua antigen binding site (tangan), dimer memiliki empat tangan,trimer memilik
enam tangan dan pentamer memiliki sepuluh tangan.

Struktur heavy chain C region yang ada pada Fc region berbeda sesuai tipe dan sub tipe
antibodi sehingga membagi antibodi atas sejumlah isotypes dan subtype. Perbedaan ini sesuai
dengan fungsi efektor yang berbeda diantara isotype antibodi.Region Fc ( analog dengan
badan sampi kaki yang merapat) yang akan berikatan dengan reseptor (disebut Fc
receptor) yang sesuai dan ada pada sel lain yang dimediasinya seperti sel NK, makropag, sel
mast. Maka dinamailah Fc region ini sesuai tipe atau subtipe imunoglobulinnya, misalnya
Fcµ untuk IgM, Fcγ untuk IgM dan Fcε untuk IgE. Sebagai contoh, reseptor yang ada di
membran sel Mast adalah reseptor untuk Fcε cocok hanya untuk IgE tak dapat mengikat Ig
tipe lain. (tabel )

Tabel Isotipe antibodi manusia


ISOTIPE(SUBTI RANTAI BENTUK KEKHUSUSAN
PE) BERAT/RAN YANG
TAI RINGAN DISEKRESI
IgA (IgA1 dan α1 atau α2 / К Monomer, Bisa transsitosis lewat mukosa ke
IgA2) atau λ dimer, trimer lumen (saluran cerna, nafas dan
urogenetal)
IgD δ/К atau λ Tidak ada
IgE ε/К atau λ Monomer
IgG(IgG1,IgG2,Ig γ1,γ2,γ3 atau Monomer Bisa lewat sawar plasenta masuk ke
G3, IgG4) γ4/К atau λ sirkulasi anak dalam kandungan.
Bisa disekresi ke ASI dan transsitosis
lewat mukosa dari lumen usus ke
darah anak yang minum ASI.
IgM µ/К atau λ Pentamer
Gambar imunoglobulin monomer dan pentamer

Tiap individu punya isotypes imunoglobulin yang sama tetapi pada individu yang berbeda
bisa ditemukan perbedaan dari sejumlah kecil asam amino yang membuat perbedaan antar
individu (Mendelian manner), sehiingga ada polimorpisme dari imunoglobulin disebut
allotypes kalau masih dari spesies yang sama misalnya sesama manusia. Polimorpisme ini
ada pada Fc region jadi yang berbeda antar individu adalah Fc region. Misalnya antibodi dari
seseorang ditansfer ke orang lain untuk kepentingan imunoterapi dapat terbentuk antibodi
terhadap antibodi orang lain itu. Oleh karena antigen yang memicu terbentuknya antibodi ini
adalah allotypes pada C region dari heavy chain antibodi orang lain itu maka disebut anti-
allotypic antibody.

Struktur yang bisa berperan sebagai antigen ada pada V region persisnya pada CDRs disbut
idiotypes dari antibodi sehingga bisa terbentuk lagi antibodi terhadap antibodi dan ini
disebabkan bukan karena perbedaan polimorfisme seperti pada allotypes, jadi terbentuk
antibodi terbentuk terhadap antibodinya sendiri yaitu terhadap idiotypes pada CDR maka
disebut anti-idiotypic antibody. (seperti otoantibodi) . Terbentuknya antibodi terhadap CDR
ini diperkirakan sebagai suatu mekanisme penghentian respon imun, seolah-olah CDR
ditutup oleh anti-idiotypic antibody sehingga tidak dapat lagi berperan sebagai antigen
binding site mengikat antigen, tetapi bukti hipotese ini untuk ini belum cukup. Adanya
struktur dalam antibodi yang bisa berperan sebagai antigen dimanfaatkan betul industri
kedokteran untuk mengembangkan tekknologi pemeriksaan menggunakan antibodi. Dengan
dapatnya dibuat antibodi terhadap antibodi yang biasa disebut 2nd antibody baik anti-
allotypic antibody maupun anti-idiotypic antibody, , dan dapatnya dibuat antibodi dengan
sepesifitas yang sangat akurat melalui teknologi monoclonal antibody serta ditemukannya
mekanisme hapten-carrier maka antibodi sangat berperan dalam perkembangan teknologi
kedokteran, baik untuk diagnostik maupun pengobatan, seperti RIA (Radioimmunoassay),
ELISA (Enzymes Linkages Immunosorbent Assay).IHC (immunohistochemistry), Target
Therapy, dll.

Bagaimana antibodi mengikat antigen.

Antibodi dapat mengenal atau mengikat antigen dalam bentuk molekul biologik apa saja
termasuk simple intermediary molecules, gula, lemak, autocoids, hormon ataupun
makromolekul seperti kompleks karbohidrat, phospholipid, asam nukleik dan protein (Sangat
kontras dengan TCR yang hanya dapat mengikat peptida). Tetapi hanya makromolekul yang
dapat memicu aktipasi sel B karena untuk terpicunya aktipasi sel B, antigen harus melakukan
cross linked BCRs agar terjadi clastering BCR sebagai persyaratan untuk munculnya signal
aktipasi sehingga dinamai immunoges (immunogenic antigens) . Sedangkan mikromolekul
karena kecil maka tak mampu membuat cross linked BCRs sehingga walaupun bisa diikat
olehBCR tapi tidak dapat memicu respon imun humoral sehingga disebut non-immunogenic
antigens. Untuk memicu produkasi antibodi terhadap molekul kecil itu dapat direkayasa
dengan cara mengikatkan “multiple copy”molekul kecil (dinamai hapten) pada protein atau
polisakarida (dinamai carrier) sebelum imunisasi dengan molekul kecil itu. Jadi hapten
bebas tidak imunogenik tapi setelah menjadi kompleks hapten + carrier menjadi imunogenik
yaitu memicu terbentuknya antibodi terhadap hapten itu. Teknologi immunologik ini telah
memberi sumbangan besar pada teknologi kedokteran berupa pemanfaatan antibodi untuk
mengetahui data (kualitatif dan quantitatif) tentang berbagai molekul kecil yang penting
untuk kepentingan diagnose dan terapi.

Makromolekul seperti protein, polisakarida dan asam nukleik biasanya lebih besar dari
antigen binding site dari satu molekul antibodi, jadi antibodi hanya mengikat pada satu
bagian kecil dari makromolekul itu yang dinamai determinant (antigenic determinant) atau
epitop (kedua nama ini silih berganti digunakan tanpa perbedaan makna). Jika dalam
makromolekul itu terdapat banyak epitop yang sama maka di sebut multivalent atau
polivalent. Kebanyakan protein globular tidak multivalen (kecuali kalau terjadi agregasi),
tetapi polisakarida dan asam nukleik umumnya polivalent. Permukaan sel, termasuk mikroba,
umumnya polivalent, sehingga dapat melakukan cross linked BCRs yang membuat
clustering BCR untuk melahirkan signal memicu respon sel B. Jika pada polivalent letak
epitop sangat berdekatan sehingga ikatan pada epitop pertama mengganggu ikatan antibodi
untuk epitop kedua keadaan ini disebut overlapping kalau epitop tidak saling mengganggu
disebut non-overlapping.

Formasi determinant pada antigen protein bisa berupa linear determinant yaitu epitop berupa
untaian linear sejumlah (sekitar 6) asam amino yang letak berdekatan. Formasi seperti ini
harus berada di permukaan protein itu agar ada akses dengan antibodi. Kalau berada di dalam
tidak dapat diikat oleh antibodi, biasanya setelah protein mengalami denaturasi oleh enzim
maka linear determinant akan terlihat oleh antibodi, barulah terjadi ikatan. Formasi lain
adalah conformational determinant yaitu beberapa asam amino yang terpisah secara linear
tetapi kebetulan lipatan untaian asam amino yang membentuk protein bersangkutan
memunculkan asam amino yang berjauhan itu menjadi berdekatan dan gabungan asam amino
yang berdempetan itu menjadi epitop sehingga berikatan dengan antibodi. Dengan sendirinya
formasi seperti ini akan hilang jika dilakukan denaturasi protein oleh enzim sehingga
epitopnya hilang. Jadi linear determinant bisa muncul justeru sesudah denaturasi oleh enzim
sebaliknya conformational determinant pasti hilang setelah denaturasi protein oleh enzim.
Proteolisis bisa juga memunculkan epitop bukan linear determinant yang tersenbunyi, tetapi
akibat denaturasi oleh enzim terbentuk antigenic determinant baru, yaitu pada untaian asam
amino yang berdekatan dengan asam amino yang mengalami proteolisis. (gambar 5-12)

Bagaimana kekuatan antibodi mengikat antigen ?

Antigen binding site antibodi memiliki celah yang cukup besar untuk mengikat
makromolekul karena dibentuk oleh tiga CDR yang menonjol dari VH berhadapan dengan
tiga CDR yang menonjol dari VL (seperti enam jari-jari tangan). Dengan cengkeraman enam
CDRs membentuk ikatan tiga dimensi sebenarnya belum cukup untuk mendapatkan kekuatan
ikatan yang optimal masih dibutuhkan kekuatan lain. Jadi kekuatan antibodi mengikat
antigen bukan hanya karena kekuatan spesifitas antara antigen binding site dengan antigen
yang disebut ikatan kovalen, tetapi ditentukan juga oleh interaksi nonkovalen seperti
kekuatan elektrostatik, ikatan hidrogen. kekuatan van der Waals dan interaksi hidropobik.
Kekuatan elektrostatik dimaksudkan adalah tarik menarik antara muatan elektrik asam
amino yang berbeda (positip dan negatip), ikatan hidrogen adalah hidrogen menghubungkan
dua ikatan elektronegatip, kekuatan van der Waals adalah fluktuasi awan elektron di sekitar
molekul akan menimbulkan polarizasi berlawanan atom di dekatnya, dan kekuatan
hidropobik yaitu kelompok molekul hidropobik ( yang tidak senang dengan air) akan saling
begabung untuk bersama-sama mengeluarkan molekulair air. Kekuatan ikatan nonkovalen ini
bersifat reversibel artinya bisa hilang oleh berbagai kondisi atau perlakuan misalnya akibat
kadar konsentrai garam yang tinggi atau PH yang ekstrim akan melemahkan ikatan oleh
kekuatan elektrostatik dan ikatan hidrogen

Kekuatan ikatan antara satu anitigen binding site dengan antigen disebut affinity, yang
biasanya dinyatakan dengan dissociation constant (Kd) yang berarti seberapa mudah ikatan
itu dipisahkan. Makin kecil Kd makin kuat ikatan sebab hanya konsentrasi rendah dari
antigen dan antibodi sudah cukup untuk membentuk kompleks. (Kd biasanya berkisar antara
10-7M – 10-11 M). Oleh karena single antibodi minimal memiliki dua antigen binding site
maka kekuatan antibodi mengikat antigen bukan hanya terletak pada kekuatan satu antigen
binding site yang dinyatakan dengan affinity, tetapi harus dihitung kekuatan ikatan yang
dihasilkan oleh seluruh antigen binding site yang mengikat antigen. Kekuatan ikatan
keseluruhan antigen binding site yang mengikat antigen dinamai avidity. Dengan demikian
jumlah antigen binding site yang mengikat antigen menentukan avidity, jika hanya satu
antigen binding site mengikat antigen disebut interaksi monovalent ini tentu avidity yang
paling rendah karena sama saja dengan affinity, jika dua antigen binding site yang mengikat
antigen maka disebut interaksi bivalent berarti memiliki avidity yang tinggi, tentu avidity
akan jauh lebih tinggi lagi jika interaksi melibatkan 10 antigen binding site seperti yang
ditemukan pada IgM yang melakukan interaksi polyvalent dengan antigen. Dapatnya single
antibodi melakukan ikatan bivalent atau multivalent dimungkinkan adanya fleksibilitas Fab
region yang diciptakan oleh adanya hinge pada H chain antara CH1 dan CH2 seperti telah
diterangkan sebelumnya.

Immuncomplex pada polyvalent

Mekanisme effektor antibodi.

Antibodi dibuat di limponodus, limpa dan sum-sum tulang berarti harus masuk sirkulasi
darah untuk mengunjungi seluruh tubuh, sementara antibodi yang dibuat di MALT akan
diseberangkan melewati epitel (transcytosis) masuk ke lumen (saluran cerna, saluran nafas,
saluran uregenital). Bahkan ada yang di tansport melewati barrier plasenta masuk ke darah
anak pada ibu hamil. Perjalanan yang jauh ini membuat umur antibodi dalam serum atau
lumen sangatlah penting (dinyatakan dengan half-life). Demikian juga banyaknya antibodi
yang beredar dalam darah sebagai petanda bahwa respon imun humoral bekerja dengan baik
merupakan hal yang penting diperhatikan. Selanjutnya karakteristik dari masing-masing
isotype dan subtype untuk menyesuaikan dengan fungsi yang akan diembangnya harus
diketahui betul agar dapat dipahami bagaimna antibodi memerankan fungsinya. (Tabel )

Telah dikemukakan pada awal pembahasan tentang antibodi bahwa dua pertiga antibodi
yang dihasilkan adalah IgA tetapi konsentrasi tertinggi dalam darah bukan IgA, hal ini
disebabkan karena IgA kebanyakan tidak berada dalam darah tapi di di luar epitel yaitu di
lumen saluran nafas, saluran cerna dan saluran urogenetal. Sedangkan IgG yang diproduksi
terus menerus oleh sel plasma yang tinggal di sum-sum tulang akan langsung masuk
sirkulasi. Tingginya kadar IgG ini disebabkan juga oleh half-life yang paling lama diantara
semua Ig . Perbedaan half-life sangat ekstrim berarti pasti ada suatu mekanisme yang
memperpanjang usia IgG yang tidak dialami oleh Ig lain. Panjangnya usia IgG ini sangat
penting untuk imunitas neonatus, si anak bisa menikmati warisan IgG dari ibunya selama
sekitar 6-12 bulan sampai sistem imunnya sudah dapat optimal menghasilkan sendiri
antibodinya. Jika sang anak minum Air Susu Ibu (ASI) maka persediaan IgG asal ibu akan
lebih lama lagi karena IgG dapat dikirim dari ibu melalui ASI. Sebagai contoh anak
penderita penyakit Bruton dimana terjadi deficiency B cell progenitorkinase enzym sehingga
tak dapat membentuk antibodi akan sehat selama umur 6-12 bulan karena masih ada IgG dari
ibunya, nanti sesudah lebih tua baru penyakitnya muncul

Panjangnya usia IgG dan mampunya IgG berpindah dari sirkulasi ibu ke sirkulasi anak, baik
pada waktu masih dalam kandungan maupun setelah anak lahir, dimungkinkan oleh adanya
reseptor FcRn yang membuat IgG dapat masuk ke dalam sel yang memiliki FcRn karena
diikat oleh reseptor FcRn kemudian dilakukan endositosis (seperti dipagositosis) sehingga
berada juga dalam vesikel (endosome) tetapi hebatnya IgG tidak diganggu oleh lizozim
(kalau protein lain berada dalam endositik vesikel seperti itu akan didegradasi oleh lisozim).
Kalau IgG masuk ke sel plasenta berarti endositosis ini dimaksudkan untuk
menyeberangkannya lewat sel tropoblast (transcytosis) dari sirkulasi ibu yang dibatasi
dengan sel-sel tropoblast menuju ke sirkulasi anak, kalau IgG endositosis di sel epitel usus
berarti untuk menyeberangkan IgG asal ASI masuk ke sirkulasi anak. Kalau IgG endositosis
dalam sel endotel berarti untuk memperpanjang usianya karena seolah-olah disimpan dulu
dalam sel endotel untuk kemudian dilepas lagi ke sirkulasi. Kemampuan Fc region IgG untuk
endositosis sehingga usianya panjang dimanfaatkan untuk membantu memperpanjang half
life obat dengan melakukan fusi obat bersangkutan dengan Fc region IgG seperti yang
dilakukan pada pengobatan artritis reumatika dengan reseptor TNFα tipe II atau dengan
CTLA-4 agar bekerja lebih lama.

Neutralisasi Antigen.

Fungsi utama antibodi adalah untuk menetralkan dan mengeliminasi bakteri dan toksinnya,
ini dicapai melalui kemampuan antibodi mengikat mikroba dan toksinnya menyebabkan
mikroba dan toksin tak dapat melekat pada reseptor yang ada pada sel. Sebagaimana
diketahui bahwa mikroba dan toksinnya ingin mencapai sel yang menjadi targetnya melalui
reseptor pada sel yang cocok untuk kuman dan toksinnya. Jadi netralisasi dimaksudkan
adalah antibodi menggagalkan mikroba atau toksinnya mencapai sel yang akan diinfeksi atau
dirusaknya.
Tabel Konsentrasi, half life dan fungsi antibodi berdasar Isotipe.
Isotipe Konsentras Half- Fungsi
(subtipe) i dalam life
serum dalam
(mg/mL) serum
(hari)
IgA 3,5 6 Imunitas mukosa, sekresi IgA ke saluran cerna dan
(IgA1 saluran nafas.
dan IgA2) Aktipasi komplemen melalui jalur lektin atau jalur
alternatif.
IgD trace 3 Reseptor antigen sel B naif. *
IgE 0,05 2 Degranulasi sel mast (reaksi hipersensitas akut)
IgG 13,5 23 Opsonizasi antigen untuk dipagositosis oleh makropag
(IgG1,IgG dan neutropil.
2,IgG3,Ig Aktipasi komplemen jalur klasik
G4) ADCC yang dimediasi sel NK.
Imunitas neonatus, transfer dari ibu ke darah anak
melalui plasenta.
Umpan balik untuk inhibisi aktipasi sel B
IgM 1,5 5 Aktipasi komplemen jalur klasik
Reseptor antigen sel B naif.*
*Membrane-bound immunogobulin; ADCC: Antibody-dependent Cytotoxic Cell.

Opsonizasi Antigen.

Seperti telah dikemukakan bahwa banyak fungsi antibodi sebagai mediator respon imun
humoral diperankan oleh Fc region, Hanya antibodi yang mengikat antigen akan
mengaktipkan Fc region, sehingga antigen bebas tidak memfasilitasi aktifnya mekanisme
effektor, Dengan kata lain mekanisme effektor yang difasilitasi oleh Fc region hanya untuk
mengeliminasi antigen yang telah diikat oleh antibodi. Sel effektor yang akan dimediasi oleh
antibodi haruslah mempu melekat pada Fc region antibodi, untuk itu sel-sel itu harus
memiliki reseptor untuk melekat di Fc region yang disebut Fc reseptor.Terdapat 10 jenis
reseptor sesuai isotipe antibodi, yang terbanyak (7 jenis) adalah reseptor untuk Fc region
IgG yaitu Fcγ yang terdiri atas FcγRI, FcγRIIA, FcγRIIB, FcγRIIC, FcγRIIIA , FcγRIIIB dan
FcRn. Kecuali FcγRIIB dan FcRn, semuanya dimiliki oleh sel pagosit (makropag dan
neutropil) karena memang mekanisme effektor utama yang memanfaatkan Fc region adalah
makropag, dengan macam-macam jenis Fcγ reseptor yang ada pada makropag maka sel ini
mampu melekat pada Fc region IgG sehingga terfasilitasi untuk menangkap antigen yang
sudah diikat oleh antibodi ini, Memfasilitasi pagosit menangkap antigen karena sudah diikat
(dibungkus )oleh antibodi disebut sebagai fungsi opsonizasi antibodi. Dengan demikian
maka pagosit bertambah fasilitas menangkap antigen yang memang sudah ada sebelumnya
yaitu yang dipakainya pada waktu imunitas innet (TLR dan kawan-kawan). Nampaknya
antibodi yang berperan utama dalam fungsi opsonizasi ini adalah IgG karena reseptor Fc
pada pada pagosit adalah reseptor Fcγ dalam berbagai jenis. IgM sebagai isotype pertama
yang dihasilkan meresponi infeksi tidak memiliki peran opsonizasi maupun peran mediasi
sel efektor lain karena tak ada sel yang memiliki reseptor Fcµ. (Tabel ), hal ini
disebabkan sulitnya sel mengakses ke Fc region IgM karena bentuknya yang pentamer. Peran
IgM sebagai mediator respon imun adalah paling menonjol dalam hal aktipasi komplemen
(mengalahkan efektifitas IgG).

Umpan balik inhibisi (feed back inhibition)

Jika reseptor-reseptor Fcγ lainnya berperan untuk memediasi opsonizasi untuk pagosit,
reseptor FcγRIIB yang dimiliki oleh limposit B sendiri sebagai penghasil antibodi adalah
berperan sebaliknya yaitu menjadi umpan balik dari IgG kepada sel B untuk menghentikan
proses aktipasi supaya produksi antibodi diturunkan.Jadi kalau FcγRIIB ini berikatan dengan
Fc region dari IgG akan muncul signal dari reseptor yang menghambat aktipasi sel B
bersangkutan. Umpan balik inhibisi ini muncul jika sudah banyak terbentuk kompleks imun
(ikatan IgG dengan antigen).Mekanismenya dapat dilihat pada topik mengenai aktipasi sel B.

Antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC).

Fungsi lain dari IgG adalah memediasi peran sel NK untuk mengeliminasi antigen dengan
memberi peluang sel NK untuk melekat pada Fc region IgG melalui reseptor FcγRIIIA dan
FcγRIIC yang ada pada sel NK, mekanisme sel NK mengeliminasi antigen atas mediasi IgG
disebut Antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC).Berarti imunitas humoral
(antibodi) yang tak dapat memburu mikroba intraseluler yang telah masuk sel tidak menyerah
tetapi memfasilitasi sel NK untuk membunuh sel yang dimasuki mikroba ini. Hal ini
dimungkinkan karena sel yang diinfeksi mikroba akan mengespressikan antigen mikroba di
permukaannya sehingga dikenal dan diikat oleh antibodi maka terbentuklah kompleks
antibodi- antigen yang dapat mengaktipkan ligan (Fc region) memicu aktipasi sel NK melalui
reseptor Fc (FcγRIIIA dan FcγRIIC). Makna lain yang diperoleh disini adalah sel NK yang
kita kenal sebagai effektor utama untuk mengeliminasi mikroba intraseluler pada waktu
imunitas innet ternyata tetap bekerja pada waktu imunitas adaptif melalui mekanisme ADCC
ini.
Aktipasi Sel Mast, eosinopil dan basopil,

Sel mast memiliki sejumlah fungsi dalam pertahanan tubuh.

1. Lokasinya di bawah epitel memungkinkan dia memfasiltasi kedatangan berbagai sel


dan molekul effektor yang spesifik atau yang tidak spesifik ke tempat yang telah
dimasuki mikroba (berada ditempat yang diserang).
2. Memperderas aliran limpa dari jaringan agar antigen bisa hanyut menuju ke kelenjar
limpe ketemu dengan limposit naif sehingga aktipasi limposit bisa dimulai.
3. Memicu kontraksi otot polos untuk mendorong secara pisik cacing keluar dari paru-
paru dan usus. Semua fungsi di atas bermaksud baik untuk pertahanan tubuh tetapi
justru banyak menimbulkan masalah yang merupakan topik yang menarik dalam
imunopatologi.

Pada permukaan sel Mast, eosinopil dan basopil ada reseptor Fc (FcεRI dan FcγRIII),
berarti ketiga sel ini dapat memanfaatkan mediasi antibodi untuk menjalankan fungsinya
mengeliminasi antigen. Oleh karena reseptor yang ada pada permukaan ketiga sel itu adalah
reseptor FcεRI dan FcγRIII berarti ketiga jenis sel ini dimediasi oleh IgE dan juga oleh IgG
tetapi yang paling dominan adalah IgE karena FcεRI memiliki affinitas tinggi. Reseptor ini
berbeda dengan reseptor-reseptor Fc lainnya yang hanya akan mengikat antibodi yang sudah
mengikat antigen, misalnya FcγRI yang ada pada pagosit hanya akan berikatan dengan
kompleks IgG dan antigen sehingga langsung memicu aktipasi pagosit jika FcγRI ini
sudah ketemu ligannya (Fc region IgG). Reseptor FcεRI ini mengikat IgE yang belum
mengikat antigen sehingga tanpa kehadiran antigen sel mast tak akan terpicu (ingat guna
aktipasi sel effektor ini adalah mengeliminasi antigen), itulah sebabnya reseptor ini harus
stabil mengikat IgE sampai antigennya datang. Makanya pemicuan sel mast oleh IgE terjadi
bertahap, pada kedatangan antigen pertama kali (misalnya allergen) akan terbentuk IgE atas
pengaturan sel Th2. IgE ini kemudian bertemu sel mast di jaringan dan basopil di sirkulasi
darah dan terjadilah ikatan stabil antara IgE dengan FcεRI dari kedua sel itu sambil
menunggu kedatangan antigen kedua kalinya. Sekali reseptor ini mengikat IgE akan stabil
dalam waktu yang lama sehingga bisa menunggu cukup lama kedatangan antigen kedua
kalinya . Apabila kemudian antigen yang sama memang datang maka IgE yang ada di
permukaan sel mast dan basopil akan mengikatnya, jika ikatan itu menimbulkan cross linked
IgE (satu antigen mengikat lebih dari satu IgE) maka barulah signal aktipasi sel mast dan
basopil muncul dari FcεRI. Dalam hitungan detik akan terjadi degranulasi sel mast dan
basopil (pelepasan histamin, prostaglandin D2, leukotrine C4 dan sekresi TNFα) untuk
menfasilitasi eliminasi antigen seperti yang telah diterangkan pada imunitas innet tentang
aktipasi sel mast oleh material kuman yaitu untuk menciptakan inflamasi lokal di tempat
dimana ada mikroba sehingga semua sel dan molekul effektor yang berkepentingan bisa
datang ke tempat itu. Berarti sel Mast merupakan pertahanan garis depan di jaringan yang
pertama dimasuki mikroba yaitu di jaringan subepitel. (gambar 19-1 abbas)

Respon imun yang dimesiasi IgE ini nampaknya sangat penting untuk melawan cacing,
Cacing terlalu besar untuk dapat dipagositosis oleh pagosit dan memang resisten juga
terhadap mikrobicidal yang dihasilkan makropag dan neutropil . Cacing hanya dapat dibunuh
oleh protein kationik toksik yang ada dalam granul eosinopil . Sel mast yang aktip akan
memobilisasi basopil dan eosinopil untuk datang ke tempat dimana ada cacing dan
mengaktipkannya untuk membunuh cacing melalui pelepasan sitokin yang memicu
degranulasi eosinopil. Sebagai pembunuh langsung cacing dipercayakan kepada eosinopil.
Eosinopil dengan FcεRI yang sudah berikatan dengan IgE mencari cacing atas fasilitasi sel
mast seperti diterangkan di atas, Eosinopil menangkap(mengikat) cacing dgn IgE yang
mengenal epitop pada cacing, jika terjadi cross linked IgE oleh antigen cacing maka terjadi
degranulasi eosinopil yang mengandung enzimyang toksik terhadap parasit itu. Dengan
bantuan IL-5 yang dihasilkan oleh sel Th2 akan makin meningkatkan kemampuan eosinipil
membunuh cacing . Peran lain sel Mast dalam eliminasi parasit adalah bahwa dalam granul
yang dilepas sel mast terdapat berbagai mediator yang menyebabkan bronhospasme dan
hipermotilitas usus dengan maksud mendorong keluar cacing. (gambar 19-11 abbas)

Aktifasi komplemen.

Aktipasi komplemen yang dipicu oleh antibodi disebur aktipasi komplen jalur klasik, yang
telah diterangkan pada topik tersendiri aktifasi komplemen,
Tabel Affinitas, distribusi dan fungsi reseptor Fc
FcR Affinitas thd Distribusi pada sel. Fungsi.
Ig
FcγRI (CD64) Tinggi makropag ,neutropil, d Pagositosis dan aktipasi pagosit
an eosinopil
FcγRIIA Rendah makropag ,neutropil, Pagositosis dan aktipasi pagosit
(CD32) eosinopil dan trombosit (tidak efisien)
FcγRIIB Rendah Limposit B umpan balik Inhibisi sel B
(CD32)
FcγRIIC Rendah makropag ,neutropil, d Pagositosis dan aktipasi sel
(CD32) an sel NK
FcγRIII(CD16) Rendah Sel NK Antibody-dependent cell-
(FcγRIIIA dan mediated cytotoxicity (ADCC)
FcγRIIIB) Neutropil Pagositosis (tidak efisien)
Sel Mast, eosinopil dan Aktipasi sel (degranulasi)
basopil
FcRn (reseptor ? Epitel usus dan plasentaMenyeberangkan IgG lewat
spesifik IgG) barrier plasenta dan lewat epitel
usus (IgG asal ASI) untuk
anak
Sel endotel Memperpanjang half life IgG.
FcεRI Tinggi Sel Mast, eosinopil dan Aktipasi sel (degranulasi)
basopil
FcεRII (CD23) Rendah Limposit B, eosinopil ?
dan sel Langerhans
FcαR(CD89) Rendah Neutropil, eosinopil Aktipasi sel (belum jelas)
dan monosit

Anda mungkin juga menyukai