Anda di halaman 1dari 111

IMUNOLOGI &

IMUNOPATOLOGI

FERDINANT M.D.

Bagian Patologi Anatomi


FK-UNCEN JAYAPURA
PERTAHANAN MELAWAN INFEKSI/PENYAKIT

IMUNITAS → Sistim Imun → Respon Imun

 Imunitas adalah reaksi kekebalan untuk melindungi tubuh


terhadap infeksi (resistensi terhadap penyakit terutama infeksi)
 Sistim imun : gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan
dalam resistensi terhadap infeksi.
 Respon imun berupa reaksi yang dikoordinasi oleh sel-sel,
molekul-molekul dan bahan lainnya terhadap mikroba :
 Mekanisme non-spesifik (non-adaptif, bawaan)
 Mekanisme spesifik (adaptif, didapat) → spesifitas dan memori
GAMBARAN PENTING SISTIM IMUN

 IMUNITAS Respon
dari sistim pertahanan tubuh terhadap mikroba →
imunitas bawaan (alami) maupun imunitas adaptif (didapat)

 SISTIM IMUN :
1. Spesifitas → dpt membedakan Ag
2. Keanekaragaman → dpt merespon berbagai Ag
3. Memori :
− ekspansi dan adaptasi sel klon → sel memori
− dasar prosedur imunisasi aktif
4. Pelibatan sistim pertahanan lain
− messenger kimiawi (sitokin) → aktivasi sel radang
− sistim kimiawi → komplemen, amine, kinin, enzim lisosom
IMUNITAS BAWAAN (NONSPESIFIK)

A. Faktor Mekanikal/Fisik :
 kulit, epitel mukosa, gerakan silia, dan refleks (batuk, bersin, muntah)
B. Faktor Larut :
Biokimia
 lisozim dalam air mata, sekret hidung, ludah, cairan intestinal
 sebum pada kulit, keringat dengan pH asam
 asam lambung, enzim proteolitik dan empedu dalam usus halus
 laktooksidase dan asam neuraminik ASI
 keasamaan vagina, spermin dalam sperma
 laktoferin dan transferin dalam serum
 enzim, antibodi dan mukus saluran napas
IMUNITAS BAWAAN (NONSPESIFIK)

Humoral :
 Komplemen
 APP (acute phase protein)
 Mediator asal lipid
 Sitokin (IL-1, IL-6, TNF-α)

C. Faktor Seluler :
 lekosit PMN, makrofag
 sel mast dan basofil→ prod. mediator pd reaksi radang
 sel NK, sel dendrit (DC)
IMUNITAS ADAPTIF (SPESIFIK)

HUMORAL SELULAR
 Limfosit B  Limfosit T
 IgG  Th1
 IgA  Th2
 IgM  Ts/Tr/Th3
 IgE  Tdth
 IgD  CTL/Tc
 Sitokin  NKT
 Th17
Sistim imun nonspesifik
A. Pertahanan sawar fisik/mekanik

Mekanisme imunitas nonspesifik terhadap bakteri pada tingkat sawar fisik seperti kulit
atau permukaan mukosa (Karnen G. Baratawidjaja, Imunologi Dasar).
1. Bakteri simbiotik/komensal di kulit menggunakan sedikit nutrisi, sehingga
kolonisasi mikroba patogen sulit terjadi.
2. Kelenjar keringat mengeluarkan sebum mengandung asam laktat dengan pH
rendah, merupakan sawar fisik efektif terhadap agen patogen.
3. Sekret di permukaan mukosa mengandung enzim destruktif seperti lisozim
terhadap dinding sel bakteri.
4. Saluran napas dilindungi oleh gerakan mukosiliar yang mendorong mukus secara
terus menerus ke arah nasofaring.
5. Bakteri ditangkap oleh mukus sehingga dapat disingkirkan dari sal. napas.
6. Sekresi mukosa sal napas dan saluran cerna mengandung peptida antimirobial.
7. Mikroba patogen yang berhasil menembus sawar fisik dan masuk ke jaringan
dapat dimusnahkan dengan bantuan komplemen dan dicerna oleh fagosit.
B. Pertahanan humoral
 Molekul larut tertentu diproduksi di tempat infeksi atau cedera dan berfungsi lokal, seperti
defensin, katelisidin, dan IFN.
 Faktor larut yang diproduksi jauh dan dikerahkan ke jaringan sasaran melalui sirkulasi,
seperti komplemen dan PFA (protein fase akut)
1. Komplemen
 Aktivasi komplemen memberikan efek proteksi terhadap infeksi dan berperan
dalam respon inflamasi.
 Diproduksi oleh hepatosit dan monosit dan dapat diaktifkan secara langsung oleh
mikroba atau produknya (jalur alternatif, klasik dan lektin).
 Komplemen berperan sebagai opsonin untuk fagositosis, faktor kemotaktik,
destruksi/lisis bakteri dan parasit.
 Antibodi dan komplemen dapat menghancurkan liposakarida dinding sel bakteri
The activation and functions of the complement system. Activation of complement by different pathways leads to cleavage of C3.
The functions of the complement system are mediated by breakdown products of C3 and other complement proteins, and by the
membrane attack complex (MAC). Downloaded from: Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease (on 21 February 2005 04:57 AM)
Jalur aktivasi komplemen (Karnen G. Baratawidjaja;
Imunologi dasar)
2. Protein fase akut
 Selama fase akut infeksi, protein dalam serum meningkat yang disebut APP/APRP
(acute phase response protein)
 Hati merupakan tempat sintesis APRP diinduksi oleh sitokin proinflamasi TNF-α, IL-1
dan IL-6
 Contoh APP misalnya C-Reactive Protein, Lektin, α1-antitripsin, C9, dll

3. Mediator asal fosfolipid


 Metabolisme fosfolipid diperlukan untuk produksi prostaglandin dan leukotrien yang
meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi.
4. Sitokin IL-1, IL-2, TNF-α
 Produk bakteri seperti liposakarida mengaktifkan makrofag dan sel lain untuk
memproduksi dan melepaskan sitokin seperti IL-1 yang merupakan pirogen endogen,
TNF-α dan IL-6
 Pirogen adalah bahan penginduksi demam dipicu faktor eksogen (endotoksin bakteri
gram negatif) atau endogen yang diproduksi makrofag dan monosit.
C. Pertahanan seluler
 Sel-sel efektor sistim imun nonspesifik seperti fagosit (neutrofil dan makrofag), sel
NK, sel mast, eosinofil.
 Dapat ditemukan dalam darah maupun jaringan.

(Karnen G. Baratawidjaja; Imunologi dasar)


Komponen sistim imun nonspesifik
Sel-sel imun nonspesifik
 Sel-sel imun barasal dari sel prekursor (induk) yang pluripoten dalam sum-sum tulang
yang kemudian berdiferensiasi menjadi sel premieloid, sel limfosit (T dan B) dan sel
pre-monosit yang berdiferensiasi menjadi sel monosit-makrofag.
l. Sistim Fagosit Makrofag
 Sel utama dalam pertahanan nonspesifik adalah sel mononuklear (monosit dan
makrofag) serta sel polimorfonuklear atau granulosit.
 Monosit dan makrofag berasal dari sel asal hematopoetik yang sama.
 Granulosit hidup singkat, mengandung granul berisi enzim hidrolitik, dan laktoferin.

A. Fagosit mononuklear
1. Monosit
 Sum-sum tulang sel progenitor granulosit/monosit → premonosit dalam darah →
monosit matur
 Didistribusikan ke organ limfoid dan organ lainnya.
 Monosit berperan sebagai APC → mengenal, menyerang mikroba dan sel kanker
 Memproduksi sitokin IL-1, IL-6 dan TNF-α → induksi demam, produksi PFA di hati,
hormon kortikotropik adrenal.
2. Makrofag

 Monosit yang terus hidup dalam jarigan sebagai fixed macrophage.


 Makrofag intestinal, sel dendritik (sel Langerhans), makrofag alveolar/sel
Langhans, sel Kuppfer, sel mesangial, sel mikroglia, osteoklas, makrofag dalam
peritoneum.
 Menangkap, memfagosit antigen eksogen, mikroorganisme, partikel tidak larut
dan bahan endogen
 Aktivasi juga dipacu oleh sitokin yang dilepas sel Th dan mediator inflamasi.
 Makrofag → sebagai fagosit dan APC
 Hidup lama, mengandung granula, melepas berbagai bahan ; lisozim,
komplemen, interferon dan sitokin → kontribusi pada imun nonspesifik dan
spesifik.
B. Reseptor imunitas nonspesifik
1. Reseptor Molekul larut
 Sejumlah molekul larut dalam darah dan cairan jaringan atau molekul tidak larut yang
diikat pada membrane makrofag, neutrofil, dan SD.
→ fagositosis atau mikroba menjadi sasaran penghancuran dengan
bantuan komplemen.
 Laktoferin, C-reactive protein, MBL (mannan binding lectin), SAP (serum amyloid A
protein)
2. Reseptor tidak larut
a. Toll-like receptor
 TLR terutama mengenali komponen pathogen virus, bakteri, jamur bahkan protozoa
 Terutama pada makrofag, SD, neutrophil, eosinofil, sel epitel dan keratinosit
 TLR → merangsang produksi protein dan sitokin dalam respon imun
b. Scavenger receptor
 Sebagai reseptor yang berperan pada endositosis, dan dapatmembantu
makrofag mengikat bakteri gram positif dan negatif, fagositosis dan
apoptosis sel pejamu.
c. Nucleotide binding oligomerization domain
 NOD adalah reseptor yang berperan dalam imunitas nonspesifik yang
sitosolik → peptidoglikan bakteri
d. CD14
 Bekerja sebagai reseptor untuk lipopolisakarida bakteri
e. FcR
 Terdapat pada beberapa limfosit, makrofag, sel mast, mengikat region Fc
immunoglobulin
 Neutrofil, eosinophil, fagosit mononukear, sel B, sel T tertentu
mempunyai FcR untuk IgG.
ll. Fagosit polimorfonuklear
 Fagosit polimorf atau granulosit merupakan 60-70% dari seluruh jumlah sel darah
putih normal.
 Terbagi atas neutrophil, eosinophil dan basophil.
 Bersama dengan antibodi dan komplemen berperan pada inflamasi akut
a. Neutrofil
 Sel pertama yang dikerahkan ke tempat bakteri, dan merupakan sebagian
besar leukosit dalam sirkulasi.
 Dalam vaskular 7-10 jam dan bermigrasi ke jaringan, bertahan beberapa hari.
 Mempunyai reseptor untuk IgG dan komplemen.
b. Eosinofil
 Sekitar 2-5% dari jumlah sel darah putih.
 Mengandung berbagai granul yang bersifat toksik terhadap sel
sasaran.
 Eosinofil memiliki reseptor untuk IgE
 Fungsi utama : infeksi parasit dan memakan kompleks Ag-Ab.
lll. Basofil dan Sel Mast
 Jumlah sel basophil < 0.5% dari seluruh sel darah putih
 Bersifat fagosit dan melepaskan mediator inflamasi, terdapat dalam darah.
 Sel mast, struktur, fungsi dan proliferasinya serupa dengan basophil,
terdapat pada jaringan yang berhubungan dengan vascular.
 Keduanya meningkatkan permeabilitas vascular, respon inflamasi dan
bronkokonstriksi.
 Granula mengandung histamine, heparin, leukotrin dan ECF (eosinophil
chemotactic factor)
 Degranulasi → ikatan Ag dan IgE pada permukaan sel
 Peningkatan IgE → reaksi alergi dan imunitas terhadap parasit.
 Sel mast memiliki reseptor untuk IgE karenanya dapat diaktifkan oleh
allergen spesifik.
lV. Sel NK, Sel Null, Sel K

 Limfosit terdiri atas sel B, sel T (Th, Tc/CTL, Tr) dan sel
NK.
 Sel NK sekitar 5-15% dari limfosit sirkulasi dan 45%
limfosit dalam jaringan.
 Dapat membunuh berbagai sel tanpa bantuan tambahan
 Tidak mempunyai penanda sel B maupun sel T atau
immunoglobulin permukaan.
 Disebut LGL (large granular lymphocyte) karena bila aktif
berkembang menjadi sel limfosit dengan granula besar.
 Sumber IFN-γ yang mengaktifkan makrofag dan berfungsi
dalam imunitas nonspesifik terhadap virus dan sel tumor
 Mempunyai dua reseptor permukaan, KIR (killer inhibitory
receptor) dan reseptor aktivasi.
 Reseptor aktivasi → membunuh sel terinfeksi virus, jamur dan
tumor secara langsung tanpa bantuan komplemen (fenomena
ADCC)
 Sel NK dapat teraktivasi karena ekspresi abnormal MHC kelas
I.
 Sel NK memproduksi IFN-γ dan TNF-α → sitokin pro-
inflamasi poten dapat merangsang pematangan sel dendritik,
aktivasi makrofag dan regulasi perkembangan sel Th.
ADCC. Antibody dependent cell (mediated)
cytotoxicity. (Karnen G. Baratawidjaja; Imunologi dasar)
V. Sel Dendritik (DC)
 Sel dendritik berasal dari sel asal dalam sun-sum tulang atau dari precursor
monosit dalam darah, atau dari monosit sendiri.
 DC ditemukan dalam jumlah < 0.1% dalam darah.
 DC berfungsi sebagai APC (antigen precenting cell) , berperan pada awal
pengenalan protein asing, mengawali respon imunitas selular dan humoral
yang mengaktifkan sel T naif, Th, CTL dan sel B.
 APC seperti makrofag, sel B, DC menyajikan antigen melalui protein MHC-
ll → TCR sel Th.
 DC adalah APC paling efektif → letak strategis pada kulit, epitel hampir
semua organ, kelenjat limfoid (sel interdigit), parakorteks sinus marginal
limfatik aferen.
 DC mengekspresikan fragmen peptide dengan bantuan molekul
kostimulator B7 → dipresentasikan ke sel T.
 APC mengaktifkan sel T dengan mempersentasikan peptide ke sel T CD4+
melalui MHC-ll atau ke sel T CD8+ melalui MHC-l .
Sistim imun spesifik
 Sistim imun spesifik yang mengenal antigen mikroba akan
tersensitisasi pada pajanan, sehingga pada pajanan kedua kali
antigen tersebut akan lebih cepat dikenali dan dihancurkan.
 Dapat bekerjasama dengan sins, seperti komplemen-fagosit-antibodi
atau makrofag-sel T.
 Sel imun merespon antigen melalui dua cara :
 dengan imunitas humoral →produksi antibodi
 dengan imunitas sel perantara (cell mediated
immunity; CMI)
ANTIGEN
 Substansi yang mampu merangsang respon imun (imunogen)
--> pembentukan antibodi spesifik atau sel T
 Molekul besar (berat > 1000).
 Hapten
 Molekul kecil yang mengikatkan diri pada molekul pembawa
yang lebih besar → dapat dikenali sistim imun
 Epitop, atau antigenic determinant
 Adalah bagian dari antigen yang dapat kontak dengan reseptor
antibodi
KOMPONEN SELULER RESPON IMUN
 CMI dan imunitas humoral tergantung secara spesifik pada
limfosit responsif yang bereaksi terhadap antigen.
 Selama pembentukannya limfosit menjadi committed → hanya
mampu mengenal satu antigen penentu
 Limfosit yang bertanggungjawab terhadap CMI adalah Limfosit
T (thymus dependent); prekursornya dimatangkan dalam thymus
→ darah → jaringan limfoid perifer
 Pada permukaan sel T terdapat reseptor antigen → untuk
pengenalan antigen → proliferasi → klon limfosit T
prima yang spesifik.
 Limfosit yang memproduksi antibodi (imunitas humoral)
dikenal sebagai limfosit B (bursa fabricius, kesamaan dgn
usus).
 Stimulasi Ag → proliferasi klon, sebagian berubah menjadi
sel plasma, yang membentuk dan mensekresi
immunoglobulin (Ig).
 Sebagian limfosit T atau B yang reaktif spesifik bertahan lama
dan tetap sebagai sel memori → respon imun sekunder
 Limfosit T yang membantu limfosit B memproduksi antibodi
disebut sel limfosit T helper, dan yang menekan produksi
antibodi disebut sel limfosit T supresor.
IMUNITAS HUMORAL

 Tergantung pada imunoglobulin yang diproduksi oleh Sel Plasma di


dalam kelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang.
 Imunoglobulin (Ig) merupakan protein plasma (gamma globulin) →
antibodi (Ab)
 Efek biologis pengikatan antibodi-antigen :
 Lisis bakteri
 Penetralan toksin
 Opsonisasi material utk fagosom → sel fagositik
 Antibodi-dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC)
IMUNOGLOBULIN (Ig)

 Terdiri dari dua pasang rantai polipeptida yang identik: heavy


chains dan light chains yang digabungkan oleh ikatan
disulfida.
 Dapat dipisahkan secara enzimatik (papain atau sistein) menjadi
Fab (fragmen yang mengikat antigen), dan Fc (fragmen yg
mengaktifkan komplemen).
 Dikenal ada lima kelas : IgG, IgM, IgA, IgD dan IgD sesuai
karakteristik rantai beratnya → γ, μ, α, δ dan ε.
 Mempunyai satu atau tipe lain rantai ringan κ atau λ.
Struktur dasar Imunoglobulin. Dua rantai ringan identik dan dua rantai berat identik dengan
ikatan disulfida. Fab= fragment antigen binding; Fc= fragment crstallisable (J.C.E. Underwood;
General and Systemic Pathology)
 Imunoglobulin G (IgG)
 Paling banyak ditemukan dlm plasma dan ces.
 Dapat melewati plasenta (imun pasif)
 Menetralisir toksin dan sitolitik melalui pengaktifan komplemen
 PMN dan makrofag mempunyai reseptor untuk fragmen Fc dari
IgG →fagositosis
 Imunoglobulin A (IgA)
 Disekresi lokal (pertahanan lokal) pada tr. respirasi, kel. liur,
kel. air mata, dan mukosa usus (TGI)
 Komponen penting dalam ASI
 Berbentuk satu lempeng dari dua molekul yang dihubungkan
dengan rantai J (junction).
 Dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif.
 Imunoglobulin M (IgM)
 Berbentuk molekul pentamer dihubungkan oleh rantai J → BM
sangat tinggi (900000) → tetap beredar dlm plasma → pada radang
dapat ekstravasasi.
 Mempunyai sifat aglutinasi dan fiksasi komplemen yang baik
 IgM merupakan Ab kelas pertama yang dibentuk pada respon imun,
dan berkarakteristik respon imun primer; IgG diproduksi banyak
pada respon imun sekunder.
 Berkarakteristik respon imun primer dan produksinya meningkat
pada respon imun sekunder.
 Imunoglobulin E (IgE)
 IgE mengikat secara selektif Sel Mast dan Basofil pada
fragmen Fc.
 Ikatan Ag pada Fab IgE → Histamin dan substansi lain
pada hipersensitifitas anafilaksis.

 Imunoglobulin D (IgD)
 Bekerja sebagai reseptor Ag pada permukaan limfosit
IMUNITAS SEL PERANTARA (CMI)

 Adalah kekebalan yang tergantung pada produksi sel imun prima


yang spesifik serta aktivitasnya.
 Pematangan sel limfosit-T tergantung pada kelejar thymus →
beberapa jenis limfosit-T.
 Limfosit T helper mengenal antigen asing, men-sekresi limfokin,
dan menolong limfosit-B untuk menghasilkan respon humoral.
 Limfosit T supresor/sitotoksik menekan limfosit-B dan juga
menghancurkan sel yang terinfeksi virus.
 LIMFOSIT-T
 Limfosit imatur (protimosit) di dalam timus dimatangkan oleh ‘hormon
limfopoetik timus’
 Antigen (petanda) permukaan limfosit dikenal sebagai cluster of
differentiation (CD); pembeda subtipe limfosit.
 Terdapat dua subset utama dari limfosit-T : Limfosit-T helper (Th) dan
limfosit-T supresor/sitotoksik (Ts / Tc)
 60 – 70 % limfosit darah, limfosit utama pada selaput periarteriol limpa
dan zona interfolikular KGB.
 Sel T mempunyai reseptor sel T (TCR) spesifik untuk mengenali suatu
fragmen peptida.
TCR (reseptor sel T)

 Lebih 95% limfosit T merupakan protein heterodimer yang


tersusun atas rantai α dan β yang diikat oleh molekul disulfida.
 Secara non-kovalen dihubungkan dengan sekelompok lima
rantai polipeptida yang konstan protein γ, δ, dan ε dari
kompleks molekul CD3 dan dua rantai ζ.
 Protein CD3 dan rantai ζ tidak mengikat peptida antigen, namun
berinteraksi dengan tempat yang tetap dari TCR untuk
mentranduksi sinyal setelah pengikatan TCR dengan antigen.
 Setiap rantai mempunyai tempat berbeda untuk mengikat
peptida target spesifik, dan tempat tetap yang berinteraksi
dengan molekul penyerta yang memberi sinyal.
 Keberagaman TCR untuk berbagai macam peptida potensial
dihasilkan melalui penyusunan ulang somatik dari gen yang
berasal dari jalur germinal yang mengode setiap rantai TCR.
 Masa ontogeni → penyusunan ulang hanya terjadi dalam sel T.
 Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) → bila ada
penyusunan ulang gen (DNA) TCR :
→ penanda pasti adanya sel jalur keturunan T
→ proliferasi sel T poliklonal (non neoplastik) dan proliferasi sel
T monoklonal (neoplastik).
 Sebagian TCR tersusun atas heterodimer γδ (sel T γδ) pada
mukosa respirasi dan GIT.
 Sel Tαβ → dihubungkan dengan pengenalan peptida dalam
konteks molekul MHC (major histocompatibility complex)
 Sel Limfosit T → juga mengeluarkan sejumlah molekul
penyerta, seperti CD4 dan CD5 pada sub-kelompok sel T yang
berbeda →berfungsi sebagai koreseptor untuk perangsangan sel
T.
 Pada pengenalan Ag:
 Molekul CD4 pada sel T berikatan dengan
molekul MHC kelas II
 Molekul CD8 berikatan dengan molekul MHC kelas I
 Sel limfosit T memerlukan dua sinyal utk melakukan aktivasi
secara lengkap :
 Sinyal 1 : dihasilkan melalui pengikatan TCR oleh komplek
MHC-antigen peptida yang sesuai, dan koreseptor CD4 dan
CD8 akan memperkuat sinyal ini.
 Sinyal 2 : dihasilkan dari interaksi molekul CD28 pada sel T
dengan molekul kostimulator CD80 atau CD86 pada APC.
Kostimulasi CD28 penting →bila tidak terdapat sinyal 2 → sel T
→apoptosis atau anergik (tidak reaktif).
 Antibodi monoklonal terhadap marker atau antigen
permukaan limfosit, CD (cluster of differentiation) →
menentukan subtipenya, dan membedakannya dari limfoit B.
 CD4 dikeluarkan 60% sel T matur → Sel T CD4+
 CD8 dikeluarkan 30% sel T matur → sel T CD8+
 Sel T CD 4+ dibedakan berdasar profil sitokinnya :
 Sel CD4+ Th1 (T helper 1) → IL-2 dan IFN-γ
 Sel CD4+ Th2 (T helper 2) → IL-4, IL-5, dan IL-10
 Sel Th1 membantu mengarahkan respon imun yang
diperantarai sel termasuk makrofag, aktivasi sel NK
 Sel Th2 melawan efek Th1 dan/atau meningkatkan aspek
tertentu imunitas humoral, termasuk induksi IgE.
 Sel T CD 8+ : potensial sitotoksik → sel terinfeksi
virus, sel tumor secara langsung
 Limfosit B
 sel B mengenal antigen melalui permukaan monomerik Ig, yang
disebut reseptor sel B (BCR)
 Spesifitas sel B, sebagian berasal dari penyusunan ulang somatis
pada gen imunoglobulin
→ penanda molekuler sel yang merupakan jalur
keturunan B
→ identifikasi proliferasi poliklonal maupun monoklonal
 BCR berinteraksi dengan molekul tertentu untuk transduksi sinyal
→aktivasi sel B.
 Contoh : sel B CD40 yang berikatan dengan CD154 pada sel T
teraktivasi → pematangan sel B dan sekresi antibodi IgG, IgA,
atau IgE.
 CD154 terutama menghasilkan IgM.
 Molekul kostimulator terkait sel B lainnya, mis. CD21,
merupakan reseptor yang menyebabkan virus EBV dapat
mencapai sel manusia.
ANTIGEN PRECENTING CELLS

 Makrofag
 Mengeluarkan MHC kelas II dan disajikan ke sel T helper CD4+
 Menghasilkan sitokin yang banyak → efektor penting dalam
imunitas diperantarai sel, misalnya pada reaksi hipersensitivitas
tipe lambat
 Memfagosit mikroba yang diikat oleh antibodi atau diopsonisasi
oleh komplemen
 Sel Dendrit
 Sen non fagositik yang mengeluarkan molekul MHC kelas II
dan kostimulator.
 Tersebar dalam jaringan limfoid, dan ruang interstisium
jantung dan paru; pada kulit disebut sel Langerhans
 Yang terletak dalam sentrum germinativum folikel limfoid
disebut sel dendrit folikular → membawa reseptor Fc untuk
IgG
 Sel Natural killer
 Berjumlah 10-15% limfosit darah perifer.
 Mengandung granula azurofilik → menghancurkan berbagai sel
tumor, sel terinfeksi virus, tanpa sensitisasi sebelumnya.
 Dua reseptor →reseptor aktivasi untuk mengenali molekul yang
diliputi penyakit pada sel target dan KIR (killer inhibitor
receptor) yang menghambat sitolisis NK melalui pengenalan
terhadap molekul MHC-I sendiri.
 Sel NK tidak melisiskan sel normal karena semuanya
mengeluarkan molekul MHC kelas I.
 Sel NK dapat diidentifikasi melalui adanya dua molekul permukaan
sel, CD16 dan CD56.
 CD16 merupakan reseptor Fc untuk IgG → mampu melisiskan sel
target yang teropsonisasi oleh IgG, disebut ADCC.
 Juga mensekresi sitokin dan merupakan sumber penting IFN-γ.
SISTIM KOMPLEMEN

Komplemen ("C") :
Berupa protein yang terdapat dalam serum, yang perlu
ditambahkan dalam reaksi Ag-Ab (mediator).
 Sifat dan wujud komplemen :
 Ada 9 unit komponen yaitu C1 s.d. C9

Rangkaian kerja komplemen


 Kerja C perlu diaktifkan melalui proses enzimatik →proenzim
menjadi enzim (aktif)
 Perubahan Ab yang terjadi akibat reaksi Ag-Ab →pencetus
terjadinya kerja berangkai dr komplemen
KERJA BERANGKAI KOMPLEMEN

 Tahap I : pengaktifan C1
 Tahap II : pembentukan "C3-Convertase"
 Tahap III : ikatan C3 dan aktifitas "C3-peptidase"
 Tahap IV : komponen C5, C6 dan C7
 Tahap V : pengakhiran Kerja berangkai dan
terjadinya lisis

Rangkaian kerja komplemen :


1. Rangkaian klasik (Classic sequence atau
Classic pathway)
2. Rangkaian singkat (bypass pathway atau
alternative pathway)
Regulasi Kerja Berangkai Sistim Komplemen

A. Netralisasi
B. Sitolisis yang tergantung akan komplemen
C. Anafilatoksin
D. Faktor kemotaktik
E. Fagositosis
F. Pelepasan Histamin
G. Produksi Kinin
MOLEKUL HISTOKOMPATIBILITAS

 Adalah suatu molekul heterodimer yang berperan


mengikat fragmen peptida protein asing untuk
disajikan pada sel T.
 Gen penting yang mengkode MHC manusia adalah
kelompok gen pada kromosom 6 → dikenal juga
sebagai HLA (human leucocyte antigen)
Berdasar struktur kimia, produk gen MHC terbagi atas :
 Molekul MHC kelas I, dikode oleh tiga lokus yang terikat erat
yang disebut HLA-A, HLA-B, HLA-C
 Bagian ekstra sel mengikat peptida antigen untuk disajikan pada
sel T CD8+
 Karena molekul MHC terdapat pada semua sel berinti, maka sel
yang terinfeksi virus dapat dideteksi dan dilisiskan oleh sel T
sitotoksik
 Molekul MHC kelas II, dikode oleh gen dalam regio HLA-D
 Distribusi terbatas, terutama pada APC (monosit, makrofag, dan
sel dendrit)
 Sel endotel pembuluh darah, fibroblas, dan sel epitel tubulus
ginjal dapat diinduksi oleh IFN-γ untuk mengeluarkan MHC
kelas II.
 Secara umum MHC kelas II berikatan dengan peptida protein
(mis. yang berasal dari bakteri ekstra sel untuk disajikan ke sel T
CD4+ )
 Setiap individu mewarisi satu alel HLA dari masing-masing
orang tua → setiap lokus akan menampilkan dua molekul
yang berbeda → heterozigot menge-luarkan 6 molekul MHC
kelas I yang berbeda.
 Demikian juga, seseorang akan mengeluarkan alel maternal
dan paternal untuk MHC kelas II
 Rantai α dan β HLA-D mampu bercampur dan mencocokkan
diri → tiap sel yang mengeluarkan MHC II dapat mempunyai
> 20 molekul MHC yang berbeda
 Protein kelas III
 Meliputi beberapa komponen komplemen (C2, C3, dan Bf),
gen untuk faktor nekrosis tumor (TNF) serta limfotoksin
(TNF-β).
 Meskipun secara genetik berkaitan dengan antigen kelas I dan
II, molekul kelas III serta gen sitokin tidak bertindak sebagai
antigen histokompatibilitas.
 Penentuan tipe HLA mempunyai kemaknaan klinis dalam
pemilihan kombinasi donor - resipien yang sesuai.
 Peran MHC dalm perangsangan sel T penting pada regulasi
genetik respon imun → gen spesifik yang bergantung pada sifat
antigen dan respon yang dihasilkan, misalnya antigen serbuk
sari → produksi antibodi IgE → individu tsb rentan terserang
penyakit hipersensitivitas tipe I (alergi).
Hubungan HLA dengan penyakit
 Penyakit yang berkaitan dengan HLA dapat dikelompokkan secara
luas :
 Penyakit inflamasi, mis. HLA-B 27 positif → ankilosis
spondilitis, artropati pasca infeksi.
 Gangguan metabolisme herediter, seperti Defisiensi 21-
hidroksilase (HLA-Bw47)
 Penyakit autoimun pada alel DR tertentu.
RINGKASAN TINJAUAN UMUM REAKSI IMUN NORMAL

 Fungsi fisiologis dari sistim imun adalah pertahanan terhadap


mikroba infektif.
 Reaksi dini terhadap mikroba diperantarai oleh imunitas
bawaan, melibatkan epitel, sel fagosit, sel NK, dan protein
plasma (e.g. sist komplemen).
 Reaksi imunitas bawaan sering berupa mekanisme inflamasi.
 Reaksi pertahanan dari imunitas adaptif berkembang lambat,
tetapi efeknya lebih kuat dan spesifik.
 Mikroba dan antigen asing ditangkap oleh sel dendrit (DC) dan
ditransportasikan ke KGB, dan dikenalkan pada sel T naif →
proliferasi dan diferensiasi → sel efektor dan sel memori.
 Imunitas seluler adalah reaksi limfosit T → memerangi
mikroba yang terkait pada sel (fagositosis maupun sitotoksik).
 Imunitas humoral diperantarai oleh antibody (Ig), dan efektif
terhadap mikroba ekstraseluler (di dalam sirkulasi dan lumen
saluran yang dilapisi mukosa).
 Sel T helper CD4+ membantu sel B untuk membentuk Ig,
aktivasi makrofag, menstimuli leukosit, dan regulasi semua
reaksi imun terhadap antigen protein.
 Fungsi sel T CD4+ diperantarai oleh protein yang disekresikan
(sitokin)
 Sel T CD8+ (CTL) membunuh sel yang memaparkan antigen
di dalam sitoplasma sebagai benda asing (infeksi virus, sel
tumor)
 Antibodi yang disekresikan sel plasma menetralisir mikroba,
memicu fagositosis, dan penghancuran patogen.
 Antibodi (IgG) memberikan imunitas pasif pada neonatus.
PATOLOGI SISTIM IMUN

1. Reaksi Hipersensitivitas : oleh karena respon imun yang meningkat


atau tidak sesuai :
 RH tipe I, II, dan III : diperankan oleh sistim imun humoral
 RH tipe IV : diperankan sistem imun seluler
2. Penyakit Autoimun : oleh karena kegagalan sistim imun dalam
membedakan jaringan (“self”) dan jaringan asing (“non-self”)
3. Sindroma Imunodefisiensi : oleh karena rusaknya sistim imun
sehingga terjadi respon imun yang menurun
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I
 Adalah Reaksi Alergi; antigen → alergen
 Dapat menyebabkan anafilaksis → tipe anafilaksis
 Ada periode sensitisasi, mengaktivasi sel Th2.
 Diperankan oleh IgE dan sel mastoid dan basofil
 Terjadi granulasi mast cell yang akan melepaskan mediator
primer → immediate reaction
 Dapat terjadi lokal pada suatu organ atau sistemik
 IgE dan sel eosinofil juga berperan pada respon imun
terhadap parasit (cacing)
 Mediator primer :
 Histamin : permeabilitas vaskuler ↑, vasodilatasi,
spasme bronkus, sekresi mukus ↑.
 Mediator sekunder :
1. Mediator lipid :
 Prostaglandin D2 : bronchospasme + sekresi mukus
Akibat pada bronkus :
→Udem mukosa, hipersekresi mukus, infiltrasi
leukosit, kerusakan epitel, dan spasme bronkus
 Golongan Leukotrien
2. Sitokin : dihasilkan oleh sel mastoid , mis. gol. Interleukin
(reaksi inflamasi → reaksi fase lambat)

 Contoh Reaksi tipe I :


 Sistemik : anaphylaxis shock
 Lokal (atopik) : urtikaria, rhinitis alergika, asma
bronkiale, angioedema
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II

 Antigen : tidak berasal dari luar → intrinsik, dapat merupakan


membran sel normal yang mengekspresi antigen atau membran sel
yang mengalami perubahan.
 Antigen merupakan bagian dari sel dan tidak ikut dalam sirkulasi
darah.
 Pada penyakit autoimun → self antigen → terbentuk autoantibodi,
misal : antinuklear antibodi (ANA) pada Lupus Eritematosus
Sistemik (LES).
 Diperankan oleh antibodi :
 Dapat bekerjasama dengan komplemen dan makrofag
 Dengan sel NK, atau
 Tanpa bantuan komponen sistim imun lain
1. COMPLEMENT MEDIATED REACTION
 Antibodi mengikat antigen pada permukaan sel
 Ikatan Ag-Ab akan mengaktifkan komplemen → lisis sel lewat
kompleks C5-9
 Antibodi dapat juga membungkus permukaan sel (opsonisasi) karena
terjadi fiksasi C3b dan diikuti oleh proses fagositosis oleh makrofag.
Contoh :
 Reaksi tranfusi : terbentuk antibodi terhadap “blood group antigen”
sehingga menyebabkan lisis eritrosit.
Antigen merupakan membran sel normal dari eritrosit.
 Rhesus incompatibility → eritroblastosis fetalis : terbentuk antibodi
terhadap gol darah rhesus dari eritrosit

 Autoimmune Hemolitic Anemia (AIHA): terdapat autoantibodi terhadap


eritrosit.
Pada SLE juga terbentuk autoantibodi terhadap eritrosit.

 Sindroma Goodpasture: terdapat autoantibodi anti-membran basalis yang


menyerang MB alveoli paru dan glomerulus ginjal → alveoli terisi darah dan
hematuria
2. ANTIBODY DEPENDENT CELL MEDIATED CYTOTOXICITY
(ADCC)
 Antibodi akan mengikat antigen pada permukaan sel target
 Antibodi yang terikat akan dikenali oleh reseptor Fc- antibodi yang
dimiliki oleh ‘killer cells’ seperti sel NK, neutrofil, eosinofil, dan
makrofag.
 Sel target akan dihancurkan
 Penghancuran oleh killer cells ini tidak memerlukan proses fagositosis
maupun sistim komplemen, cukup kontak saja dengan sel target.
3. ANTIBODY-MEDIATED CELLULAR DISFUNCTION
 Terbentuk antibodi terhadap reseptor pada permukaan sel
 Antibodi yang melekat pada reseptor akan menimbulkan kerusakan
atau gangguan fungsi
 Kerusakan yang terjadi tidak menyebabkan hancurnya sel ataupun
reaksi radang
Contoh :
 Myastenia gravis : terbentuk Ab thd reseptor asetilkolin pada sinaps
saraf
 Grave’s disease : terbentuk Ab thd reseptor TSH (Thyroid Stimulating
Hormon)
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE III
 Terdapat antigen dalam sirkulasi yang bereaksi dengan antibodi
membentuk Ag-Ab kompleks/imun kompleks = Immune Complex
Mediated
 Antigen dapat berasal dari tubuh sendiri (self), seperti pada SLE
 Imun kompleks yang terbentuk akan mengaktifkan sistim komplemen
dan menarik banyak sel radang PMN
 Menyebabkan terjadinya vaskulitis necrotizing akut dengan banyak sel
radang neutrofil yang disertai kerusakan jaringan
 Dapat berupa penyakit sistemik maupun lokal
1. SYSTEMIC IMMUNE COMPLEX DISEASE
 Terbentuk imun kompleks yang ikut dalam sirkulasi dan menempel
pada berbagai jaringan spt : ginjal, sendi, kulit, katub jantung,
permukaan serosa(pleura), dan pembuluh darah kecil
 Sebagian imun kompleks akan dibersihkan oleh MPS (Mononuclear
phagocytic System)
 Terjadi reaksi radang akut berupa :
 Aktivasi sistim komplemen
 Fagositosis oleh neutrofil serta dilepaskannya radikal bebas oleh
neutrofil → kerusakan jaringan
 Agregasi Platelet → terbentuk mikro-trombi yang menyumbat
pembuluh darah kecil.
Gambaran mikroskopis :
 Nekrosi vaskulitis akut
 Nekrosis fibrinoid
 Timbunan imun kompleks pada berbagai jaringan

2. LOCAL IMMUNE COMPLEX DISEASE (REAKSI ARTHUS)


 Terjadi vaskulitis imun kompleks secara lokal pada organ tertentu →
nekrosis jaringan
 Contoh : Farmer’s lung – Reaksi hipersensitivitas thd “molds and hay”
(menimbulkan reaksi arthus intrapulmonal)
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV
1. DELAYED-TYPE HYPERSENSITIVITY (DTH)
 Antigen diolah oleh APC dan disajikan bersama MHC II yang akan
dikenali oleh sel Th1
 Sel Th1 akan menghasilkan sitokin :
→ Mengaktifkan makrofag
→ Proliferasi fibroblas
 Terbentuk granuloma → kumpulan sel epiteloid (berasal dari makrofag)
yang dikelilingi oleh fibroblast dan limfosit dengan multinucleated giant
cell (sel datia Langhans)
Contoh : reaksi radang granulomatik akibat mycobacteria
tbc, lepra dan fungi.
2. T CELL-MEDIATED CYTOTOXICITY
 Sel target akan mengekspresi antigen yang disajikan bersama
MHC kelas I
 Antigen bersama MHC I akan dikenali oleh CTL (Cytotoxic T
Lymphocyte)
 Penghancuran sel target oleh CTL
Contoh :
 Penolakan graft pada transplant
 Hancurnya sel yang terinfeksi virus
 Hancurnya sel tumor
PENYAKIT AUTOIMUN
 Secara normal sistim imun dapat membedakan ‘self’ (jar. tubuh
sendiri) dari ‘non-self’ (jar asing) karena adanya mekanisme
“tolerans” terhadap ‘self’.
 Mekanisme toleran dikerjakan dengan cara :
1. Delesi klonal dari klon limfosit yang self-reaktif
2. Inaktivasi fungsional dari limfosit yang self-reaktif
(anergi klonal)
3. Supresi oleh sel T supresor
 Bila terjadi kegagalan toleran → penyakit autoimun : sistim imun
akan menyerang jaringan tubuh sendiri
MEKANISME TERJADINYA PENYAKIT AUTOIMUN
(hilangnya self tolerans )

1. Kegagalan mekanisme toleran yang dikerjakan oleh sel


T-helper :
→ Modifikasi molekul oleh obat atau mikro-organisme, contoh :
Anemia Hemolitik Autoimun
2. Kemiripan molekul (molecular mimicry)
→ Epitop yang serupa dengan antigen ‘self’ pada
Penyakit Jantung Rematik
3. Aktivasi limfosit secara poliklonal :
 Endotoksin → stimulan poliklonal
 EBV → mitogen sel B poliklonal
4. Ketidakseimbangan fungsi sel limfosit TH – TS
5. Timbulnya kembali antigen yang tersembunyi
(squestered)
 Ophtalmitis simpatetik
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
 SLE : penyakit autoimun multi-sistim dengan manifestasi dan sifat
yang sangat berubah-ubah, kambuhan, tu. menyerang kulit, ginjal,
membran serosa, sendi dan jantung.
 Gejala Klinis :
1. Malar rash (butterfly rash) : warna merah pada
kedua pipi membentuk gambaran spt kupu-kupu
2. Fotosensitivitas, demam, ulkus rongga mulut
3. Nyeri sendi (arthritis), nyeri pleura (serositis)
4. Gangguan ginjal, neurologi dan hematologi
5. Lab : ANA (+), ds DNA, komplemen (C3)↓
6. Mengalami peningkatan atau remisi
7. Gagal ginjal, infeksi, gangguan SSP → kematian
Etiologi & patogenesa →merupakan interaksi faktor genetik, faktor yang didapat dan
faktor lingkungan →gangguan imunitas yang ditandai oleh persistensi limfosit B
dan T yang bersifat autoreaktif.
1. Auto-antibodi :
 Anti-nuclear antibody (ANA) : Ab thd DNA, histone, protein non-histone dan
nukleoli → indirect IF
 Ab thd ds DNA dan Sm (smith) Antigen
 Antibodi Anti-phospholipid : mengikat antigen cardiolipin (VDRL+) + faktor
genetik
Faktor lingkungan : obat-obatan, sinar UV
2. Mekanisme kerusakan jaringan :
 Imun kompleks : RH tipe III
 RH tipe II : eritrosit, lekosit, trombosit
 ANA bereaksi dengan inti sel → sel LE
Morfologi :
Adanya deposit kompleks imun pada : pembuluh darah, ginjal,
jaringan ikat dan kulit
1. Kulit : deposit Ig & C3 pada dermo-epidermal junction
2. Sistim kardiovaskuler : Libman-Sacks endocarditis (non
bacterial)
3. Membran serosa : perikarditis, pleuritis
4. Sendi : arthritis tanpa deformitas
5. SSP : mikroinfark mutipel → kejang, psikosis
6. Sist. Hematopoetik : anemia hemolitik, lekopenia,
limfopenia, trombositopenia
 CHRONIC DISCOID LUPUS ERYTHEMATOSUS (CDLE)
 Terbatas pada kulit
 Gejala sistemik tidak ada
 ANA (+) pada 35 % kasus
 Ab thd ds DNA (-)
 Deposit Ig & C3 pada dermo-epidermal junction
RHEUMATOID ARTHRITIS

Arthritis dg destruksi tulang rawan artikular


Progresif, deformitas (+), simetris, sendi jari tangan dan kaki
Morfologi :
 Proliferasi dan hipertropi jaringan sinovial
 Membentuk gambaran finger like (villous)
 Sub-sinovial : sel mononuklear ± limfolikel
 Destruksi tulang rawan sendi
 Fibrosis dan kalsifikasi → ankilosis permanen
 Cairan sinovial : sel radang akut (+)
 Nodul Rheumatoid subkutan, paru
 Etiologi dan patogenesa :
Terbentuknya autoantibodi : RF (Rheumatoid Factor)
Pannus
Destruksi tulang
Fibrosis tulang rawan
Ankilosis

 Pannus : jaringan granulasi yang tumbuh pada tulang rawan


sendi, menyebabkan erosi dan destruksi →
fibrosis → ankilosis
JUVENILE REMATOID ARTHRITIS
 Pada anak-anak
 RF (−)
 HLA B-27

SPONDYLO ARTHROPATHY
 Menyerang ligamen bukan sinovium ; sakroiliaka
 RF (−)
 HLA B-27
Contoh :
 Ankylosis spondylitis → sakroiliaka ± sendi perifer
 Sindroma Reiter : urethritis, conjunctivitis, uveitis
IMUNODEFISIENSI
 Imunodefisiensi secara klinis sebagai kecenderungan yang abnormal
untuk menderita infeksi
 Kecurigaan perlu bila terjadi ‘opportunistic infections’
 Opportunistic pathogens → infeksi ( pneumocystis carinii)
 Infeksi superfisial → sistemik ( candida, aspergillus, mucor)
 Secara garis besar dibagi :
 Defisiensi dari resistensi yang non-spesifik → cacat fungsi neutrofil,
abnormalitas sist. komplemen, peny. sistemik spt DM
 Defisiensi pada respon imun yang spesifik
 Imunodefisiensi primer – sering genetik
 Imunodefisiensi sekunder – pada usia lanjut, penyakit.
IMUNODEFISIENSI PRIMER
Imunodefisiensi kongenital :
 Cacat terutama pd fungsi limfosit-B
 Agammaglobulinemia tipe Burton
 Transien hipogammaglobulinemia
 Cacat terutama pd fungsi limfosit-T
 Sindroma Di George
 Cacat campuran fungsi limfosit T dan B
 Severe combined immunodeficiency
 Ataksia telangiektasia
 Sindroma Wiskott-Aldrich
AGAMMAGLOBULINEMIA TIPE BURTON

 Herediter : cacat genetik X-linked resesif


 Pre-sel B gagal berdiferensiasi menjadi sel B
 Limfonodi tidak mengandung sentrum germinativum, sel plasma pd jaringan
tidak ada, limfosit B tidak ada dlm darah.
 Tidak terlalu berbahaya pada infeksi virus
 imunisasi dengan organisme hidup → kematian

TRANSIEN HIPOGAMMAGLOBULINEMIA
 Terjadi kemunduran dari maturasi sistim sel B
 Defisiensi imunoglobulin biasanya terbatas pd IgG → membaik pd usia 3
tahun.
 SINDROMA DI GEORGE
 Cacat tejadi pada masa perkembangan emrio
 Timus dan kelenjar paratiroid tidak terbentuk
 Limfosit T ↓ dlm darah
 Kadar Ig biasanya normal
 Ig spesifik utk beberapa Ag berkurang → tidak
adanya aktivitas sel T helper
 Infeksi berat → virus, jamur, bakteri oportunistik
SEVERE COMBINED IMMUNODEFICIENCY (SCID)
 Timus hipoplastik
 Kelenjar limfe dengan cacat sentrum germinativum
 Limfosit, Ig, dan sel imun perantara sangat sedikit
 Herediter X-linked atau suatu kelainan autosomal resesif

ATAKSIA TELANGIEKTASIA
 Jarang, khas : lesi telangiektatik pemb darah
 Diturunkan sebagai gen autosomal resesif
 Defisiensi campuran sel perantara dan imunitas humoral

SINDROMA WISKOTT-ALDRICH
 Cacat X-linked → cacat pada limfosit, fu trombosit dan def Ig, tu IgA
 Pada anak : ekzema atopik dan infeksi yang mudah rekuren
IMUNODEFISIENSI SEKUNDER
Sekunder karena obat-obatan atau proses penyakit :
 Defisiensi protein
 hematologik malignansi
 Infeksi akut
 Gagal ginjal akut
 Imunosupresan
 Splenektomi
 Radioterapi
 Sarkoidosis
 AIDS
AIDS

 Acquired Immune Deficiency Syndrome


 Disebabkan oleh virus HIV
 Menyerang sel TH dan makrofag yang berakibat rusaknya seluruh
sistim imun
 Infeksi HIV melewati fase laten selama bertahun-tahun sebelum
timbulnya gejala AIDS
IMUNOPATOGENESIS PENYAKIT HIV

 Sel target dari virus HIV adalah sel yang memiliki reseptor terhadap
gp120, seperti sel TH (CD4+), monosit dan makrofag.
 Virus HIV juga menyebabkan aktivasi poliklonal dari sel B
 Sel Th (CD4+) : virus HIV masuk ke dalam sel dan terintegrasi
dalam DNA host dan melakukan aktivitas.
 Bila ada infeksi dan sel Th menjadi aktif akan terjadi replikasi virus
HIV yang ada dalam sel dan menyebabkan lisis sel Th.
 Masuknya HIV ke dalam sel Th melalui reseptor gp 120 dan
membutuhkan koreseptor.
 MONOSIT & MAKROFAG :
 Virus masuk melalui reseptor gp 120, selanjutnya terjadi
endositosis dan virus menetap dalam sel tanpa menghancurkan
sel host. Sel makrofag digunakan oleh virus HIV sebagai
penghasil virus serta mobilisasi virus menuju SSP (otak) yang
menyebabkan gangguan fungsi (tidak ada efek sitopatik)

 SEL LIMFOSIT B :
 terjadi aktivasi poliklonal sehingga terjadi
hipergamaglobulinemia dan gangguan fungsi imunoglobulin
 Infeksi oportunistik berupa :
 Pneumocystis carinii peumonia
 Candidiasis
 Infeksi cytomegalo virus
 Herpes simplex
 Myc. Tbc dan atipical mycobacteria
 Neoplasma sekunder berupa :
Kaposi’s sarkoma, Non-Hodgkin Limfoma, limfoma otak, ca cervix uteri
 Manifestasi neurologis berupa : AIDS dementia complex
PERJALANAN PENYAKIT INFEKSI HIV

 Fase awal / fase akut : bersifat self limited, gejala seperti infeksi akut
umumnya
 Fase pertengahan / fase kronis : terjadi replikasi virus HIV yang
berlangsung selama beberapa tahun.
Gejala : (1) dapat asimptomatik (2) terdapat pembesaran kelenjar limfe
menyeluruh dan persisten
 Fase akhir / fase krisis (= AIDS) :
 Demam, kelelahan, BB↓, diare, sel CD4+ menurun
 Infeksi oportunistik (+)
 Neoplasma sekunder, gangguan neurologis (+)
Selamat belajar

terimakasih

Anda mungkin juga menyukai