Anda di halaman 1dari 39

NYERI SENDI

A. SKENARIO
Seorang laki-laki 45 tahun, datang ke poliklinik dengan jalan pincang, karena
nyeri yang hebat pada sendi ibu jari kaki kanan. Dialami penderita saat
bangun pagi. Menurut penderita, semalam masih dapat hadir di stadion untuk
menonton sepak bola. Riwayat keluhan seperti ini sudah sering dialami
penderita.
B. KATA KUNCI
1. Laki-laki 45 tahun
2. Jalan pincang
3. Nyeri pada sendi ibu jari kaki kanan
4. Nyeri saat bangun pagi
5. Keluhan sering dialami penderita
C. DAFTAR PERTANYAAN
1. Bagaimanakah anatomi dan histologi persendian?
2. Bagaimanakah penyebab dan mekanisme terjadinya nyeri sendi?
3. Penyakit apa sajakah yang berhubungan dengan skenario?
D. LEARNING OUTCOME
Setelah mempelajari laporan ini, diharapkan mahasiswa memperoleh
pembelajaran tentang :
1. Mahasiswa dapat mengetahui anatomi dan histologi persendian
2. Mahasiswa dapat menjelaskan penyebab dan mekanisme terjadinya nyeri
sendi
3. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan penyakit yang
berhubungan dengan scenario

1
PROBLEM TREE

2
PEMBAHASAN

1. ANATOMI DAN HISTOLOGY SENDI


1) Anatomi Sendi Diarthrosis
Sendi Synovialis (Diarthrosis) adalah hubungan antara komponen
tulang kerangka dimana eleman-eleman yang terlibat dipisahkan oleh cavitaas
articularis/ruang sendi yang sempit.selain mengandung cavitas articularis,
sendi ini mempunyai sejumlah ciri-ciri yang khas.
a. Pertama, lapisan tulang rawan hyalin yang biasanya menutupi permukaan
sendi elemen-elemen tulang kerangka (permukaan tulang tidak kontak
satu dengan yang lainnya secara langsung).
b. Kedua, adanya capsula articularis/capsula sendi yang terdiri dari
membrana synoviaalis dalam dan membrana fibrosum luar.
- Membrana synovialis melekat pada tepi permukaan sendi yang saling
berhadapan di antara tulang rawan dan tulang yang menutupi cavitas
articularis.membrana synovialis banyak mengandung pembuluh darah
dan memproduksi cairan synovialis, yang merembes ke dalam cavitas
articularis dan melumasi permukaan sendi. Kantung tertutup
membrana synovialis juga ada di luar sendi di mana kantong struktur-
struktur, seperti tendo dan tulang, tendo dan sendi, atau kulit dan
tulang, dan mengurangi gesekan gerak satu struktur dengan yang lain.
Pembungkus tendo mengililingi tendo dan juga mengurangi gesekan.
- Membrana fibrosum dibentuk oleh jaringan ikat padat dan
mengililingi daan menstabilkan sendi. Bagian dari membrana
fibrosum dapat menebal untuk membentuk ligamentum, yang
selanjutnya menstabilakan sendi. Biasanya ligamentum di luar
capsula articularis memberikan penguatan tambahan.

3
Jenis khusus sendi synovial:
a. sendi plana/meluncur : memungkinkan gerakan menggeser atau melucur
ketika satu tulang bergerak melintasi permukaan yang lain (misalnya, sendi
acromioclavicularis).
b. Sendi ginglymus/engsel: memungkinkan gerakan mengililingi satu sumbu
yang secara transversal melalui sendi memungkinkan flexi dan extensi
(misalnya, sendi cubiti [humeroulnaris]).
c. Sendi trochoidea/poros: memungkinkan gerakan mengililingi satu sumbu
yang secara longitudinal melewati sepanjang batang/corpus dari tulang:
memungkinkan rotasi ( misalnya, sendi atlanto axialis mediana).
d. Sendi bicondylaris: memungkinkan gerakan paling banyak satu sumbu dengan
rotasi terbatas mengililingi sumbu kedua; dibentuk dari dua condylus
cembung yang bersendi dengan permukaan cekung tau datar (missalnya, sendi
genus).
e. Sendi condylaris (ellipsoidea) memungkinkan gerakan yang mengililingi dua
sumbu yang saling tegak lurus; memugkinkan flexi, extensi, abduksi, adduksi.
Dan circumdiksi (terbatas) (misalnya, sendi carpi).
f. Sendi sellaris/ plana: memungkinkan gerakan mengililingi dua sumbu yaang
saling tegak lurus; permukaan sendi yang disebut bentuk plana;
memungkinkan flexi, extensi, abduksi, circumdiksi ( misalnya, sendi
carpometacarpalis pollicis).
g. Sendi spheroidea/ ball adn socket: memungkinkan gerakan mengililingi
multiaxial; memungkinkan flexi, extensi, abduksi, adduksi, circumduksi, dan
rotasi (misalnya, sendi coxae/panggul).
Sendi Metatarsophalangeales
Sendi metatarsophalangeale merupakan sendi synovialis yang berbentuk
elips di antara caput metatarsale yang bulat dan basis phalangis yang sesuai
pada phalanx proximalis dari digiti. Sendi metatarsophalangeales

4
memungkinkan gerak extensi dan flexi. Dan gerak abduksi, adduksi, rotasi,
dan circumdiksi yang terbatas.
Capsula articularis diperkuat oleh ligamenta collateralia mediale dan
laterale, dan oleh ligamenta plantaria, yang memiliki alur pada permukaan
planta nya untuk tendo digiti yang panjang dan laterale dan oleh ligamenta
piantaria (Drake dan vogl, 2012).

2) Histologi Sendi Synovial


a. sendi tipe A adalah makrofag yang memiliki ciri aparatus golgi yang
berkembang baik, memiliki banyak lisosom, namun sejumlah kecil RER.
Sel fagositik ini bertanggung jawab untuk menghilangkan debris dari
rongga sendi.
b. sel tipe B adalah menyerupai fibroblas, memperlihatkan RER yang
berkembang baik; sel-sel ini kemungkinan mensekresikan cairan
synovial.
Cairan sinovial mengandung asam hialuronat dalam konsentrasi yang
tinggi, dan glikoprotein lubrisin; yang dikombinasikan dengan hasil filtrasi
plasma. Selain memberikan suplai nutrisi dan oksigen bagi kondrosit pada
kartilago sendi, cairan ini memiliki kandungan asam hialuronat dan lubrisin
yang tinggi, sehingga berfungsi sebagai pelumas sendi. selain itu, makrofag
pada cairan synovial bekerja memfagosit debris pada ruang sendi (Gartner,
2007).

2. PENYEBAB DAN MEKANISME NYERI SENDI


1) Penyebab Nyeri Sendi
Nyeri sendi mrupakan salah satu jenis nyeri somatik dalam (Harwig dan
Wilson, 2006). Nyeri sendi dapat disebabkan oleh:
a. Tekanan mekanis
b. Radang sendi atau kekakuan

5
c. Lesi tulang setempat
d. Iskemia perifer
e. Ketegangan otot

(apley dan Solomon, 2013)

2) Mekanisme Nyeri
Secara singkat terdapat empat proses mekanisme nyeri yaitu transduksi,
transmisi, modulasi nyeri, dan persepsi nyeri. Transduksi nyeri adalah proses
rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik
direseptor nyeri. Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri
dari tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medulla
spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla spinalis
ke otak. Modulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf
desendens dari otak yang dapat memengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla
spinalis. Modulasi juga melibatkan factor-faktor kimiawi yang menimbulkan
atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer. Persepsi nyeri
adalah pengalaman subjektif nyaeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh
aktivitas transmisi nyeri oleh saraf (Harwig dan Wilson, 2006).
- Nyeri Inflamasi
Nyeri sendi akibat inflamasi terjadi karena stimulus nosiseptor akibat
pembebasan berbagai mediator kimiawi selama proses inflamasi terjadi.
Inflamasi terjadi akibat rangkaian reaksi imunolgis yang dimulai oleh adanya
antigen yang kemudian diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang
kemudian akan diekskresikan ke permukaan sel dengan determinan HLA yang
sesuai. Antigen yang diekspresian tersebut akan diikat oleh sel T melalui
reseptor sel T pada permukaan sel T membentuk kompleks trimolekular.
Kompleks trimolekular tersebut akan mencetuskan rangkaian reaksi
imunologis dngan pelepasan berbagai sitokin (IL-1, IL-2) sehingga terjadi
aktivitas mitosis dan ploriferasi sel T tersebut. Sel T yang teraktivasi juga

6
akan menghasilkan berbagai limfokin dan mediator inflamasi yang bekerja
merangsanng makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan
merangsang ploriferasi dan aktivasi sel B untuk produksi antibody. Setelah
berikatan dengan antigen, antibody yang dihasilkan akan membentuk
kompleks imun yang akan mengendap pada organ target dan mengaktifkan sel
radang untuk melakukan fagositosis yang diikuti oleh pembebasan metabolit
asam arakidonat, radikal oksigen bebas, enzim protease yang pada akhirnya
akan menyebabkan karusakan pada organ target tersebut. Kompleks imun
juga dapat mengaktivasi system komplemen dan membebaskan komponen
aktif seperti C3a dan C5a yang merangsang sel mast dan trombosit untuk
membebaskan amino vasoaktif sehingga timbul vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas vaskuler. Selain itu komponen komplemen 5Ca juga
mempunyai efek kemotaktik sehingga sehingga sel-sel polimorfonuklear dan
mono nuclear akan berdatangan ke daerah inflamasi. (setiyohadi dan
sumariyono, 2015).

3. DIAGNOSIS DIFERENSIAL
1) Arthritis Gout

a. Definisi

Artritis gout merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat


deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi
asam urat didalam cairan ekstarseluler. Gangguan metabolisme yang
mendasarkan artritis gout adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai
peninggian kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl untuk pria dan 6,0 ml/dl untuk
wanita. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout akut,
akumulasi kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofus), batu urat,
dan jarang adalah kegagalan ginjal (gout nefropati). ( Tehupeiory,2006)

7
b. Epidemiologi
Artritis gout menyebar secara merata di seluruh dunia. Prevalensi
bervariasi antar negara yang kemungkinan disebabkan oleh adanya
perbedaan lingkungan, diet, dan genetik . Di Inggris dari tahun 2000
sampai 2007 kejadian artritis gout 2,68 per 1000 penduduk,dengan
perbandingan 4,42 penderita pria dan 1,32 penderita wanita dan
meningkat seiring bertambahnya usia . Di Italia kejadian artritis gout
meningkat dari6,7 per 1000 penduduk pada tahun 2005 menjadi 9,1
per1000 penduduk pada tahun 2009. Sedangkan di Indonesia masih
belum jelas karena data yang masih sedikit. Hal ini disebabkan
karena Indonesia memiliki berbagai macam jenis etnis dan kebudayaan
Pada tahun 2009 di Maluku Tengah ditemukan 132 kasus dan di Desa
Sembiran, Bali sekitar 18,9%. Pria memiliki tingkat serum asam urat lebih
tinggi daripada wanita, yang meningkatkan resiko mereka terserang
arthritis gout. (Widyanto,2014)

c. Etiopatogenesis
1. Etiologi
Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat
medikasi, obesitas, konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat
serum asam urat lebih tinggi daripada wanita, yang meningkatkan
resiko mereka terserang arthritis gout. Sebelum usia 30 tahun lebih
banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita. Namun angka kejadian
artritis gout menjadi sama antara kedua jenis kelamin setelah usia 60
tahun. Prevalensi artritis gout pada pria meningkat dengan
bertambahnya usia dan mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun.
Wanita mengalami peningkatan resiko artritis gout setelah menopause,
kemudian resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun dengan

8
penurunan level estrogen karena estrogen memiliki efek urikosurik,
hal ini menyebabkan artritis gout jarang pada wanita muda.
Pertambahan usia merupakan faktor resiko penting pada pria dan
wanita. Hal ini disebabkan banyak faktor, seperti peningkatan kadar
asam urat serum (karena adanya penurunan fungsi ginjal), peningkatan
pemakaian obat diuretik, dan obat lain yang dapat meningkatkan kadar
asam urat serum. Penggunaan obat diuretik dapat menyebabkan
peningkatan reabsorpsi asam urat dalam ginjal, sehingga menyebabkan
hiperurisemia. Obesitas dan indeks massa tubuh berkontribusi secara
signifikan dengan resiko artritis gout. Resiko artritis gout sangat
rendah untuk pria dengan indeks massa tubuh antara 21 dan 22 tetapi
meningkat tiga kali lipat untuk pria yang indeks massa tubuh 35 atau
lebih besar. Obesitas berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin.
Insulin diduga meningkatkan reabsorpsi asam urat pada ginjal melalui
urate anion exchanger transporter-1 (URAT1) atau melalui sodium
dependent anion cotransporter pada brush border yang terletak pada
membran ginjal bagian tubulus proksimal. Dengan adanya resistensi
insulin akan mengakibatkan gangguan pada proses fosforilasi oksidatif
sehingga kadar adenosin tubuh meningkat. Peningkatan konsentrasi
adenosin mengakibatkan terjadinya retensi sodium, asam urat dan air
oleh ginjal. Konsumsi tinggi alkohol dan diet kaya daging serta
makanan laut meningkatkan resiko artritis gout. Mekanisme yang
menjelaskan hubungan antara konsumsi alkohol dengan resiko
terjadinya serangan gout yakni, alkohol dapat mempercepat proses
pemecahan adenosin trifosfat dan produksi asam urat. Metabolisme
etanol menjadi acetyl CoA menjadi adenine nukleotida meningkatkan
terbentuknya adenosin monofosfat yang merupakan prekursor
pembentuk asam urat. Alkohol juga dapat meningkatkan asam laktat
pada darah yang menghambat eksresi asam urat. Alasan lain yang

9
menjelaskan hubungan alkohol dengan artritis gout adalah alkohol
memiliki kandungan purin yang tinggi sehingga mengakibatkan over
produksi asam urat dalam tubuh . (Widyanto,2014)
2. Pathogenesis

(Robbins, 2007)
Peningkatan kadar asam urat dapat dihasilkan dari produksi yang
berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang .Sebagian besar
kasus gout ditandai oleh produksi asam uratyang berlebihan secara
primer. Yang kurang sering ialah asam urat diproduksi normal tetapi
hiperurisemia terjadi karena ekskresi urat di ginjal berkurang. Asam
urat merupakan produk akhir dari katabolisme purin, sehingga
peningkatan sintesis urat sebagai refleksi yang spesifik dari produksi
nukleotida purin yang abnormal. Sintesis nukleotida purin melibatkan
dua jalur yang saling berkaitan: yakni jalur de novo dan jalur salvage.
- Jalur de novo dilibatkan dalam sintesis nukleotida purin dari prekursor
nonpurin. Substrat awal yakni ribose-5-fosfat diubah menjadi
nukleotida protein (asam inosinat, asam guanilat, dan asam adenilat).
Yang penting adalah pengendalian umpan balik negative enzim

10
amidofosforibosiltransferase (amido-PRT) dan 5-fosforibosil-1-
pirofosfat (PRPP) sintase oleh nukleotida purin serta pengaktifan
amido-PRT oleh PRPP.
- Jalur salvage dilibatkan dalam sintesis nukleotida purin dari unsur
basa purin bebas, berasal dari makanan yang dikonsumsi dan oleh
katabolisme asam nukleat dan nukleotida purin. Terjadi reaksi 1 tahap,
dimana basa purin bebas (hipoxantin, guanine, dan adenine)
berkondensasi dengan PRPP untuk membentuk precursor nukleotida
purin dari asam urat. Reaksi ini dikatalisis oleh hipoxantin guanine
fosforibosiltransferase (HGPRT) dan adenine fosforibosiltransferase
(APRT). (Robbins, 2007)
- Ekskresi asam urat. Sirkulasi asam urat disaring secara bebas oleh
glomerulus dan diresorpsi kembali secara lengkap ditubulus proksimal
ginjal. Fraksi kecil dari asam urat yang diresorpsi kemudian disekresi
oleh nefron distal dan diekskresi dalam urin.

(Kumar,2013)

11
Apa pun penyebabnya, peningkatan kadar asam urat di dalam darah
dan cairan tubuh lainnya (contoh: sinovia) berakibat pengendapan kristal
monosodium urat. Pengendapan Kristal pada gilirannya memacu
serangkaian kejadian yang berpuncak pada jejas sendi. Kristal urat yang
dibebaskan mengaktifkan secara langsung sistem komplemen yang
memacu produksi kemotaksis dan mediator proinflamasi. Kristal yang
difagosit oleh makrofag dikenali oleh sensor intrasel yang dinamakan
inflammasome, yang diaktifkan dan merangsang produksi sitokin IL- I.
IL- I adalah sebuah mediator radang dan menyebabkan akumulasi lokal
neutrofil dan makrofag di dalam sendi dan membran sinovial. Sel ini
menjadi aktif, menyebabkan pelepasan dari mediator tambahan meliputi
kemokin, sitokin lainnya, radikal bebas yang toksik dan leukotrin terutama
leukotrin B4. Neutrofil aktif juga melepaskan enzim lisosom destruktif.
Sitokin dapat juga mengaktifkan sel sinovial dan sel tulang rawan secara
langsung untuk melepaskan protease (contoh: kolagenase) yang
mengeksaserbasi jejas jaringan. (Kumar,2013)
Terdapat peranan temperature, PH dan kelarutan urat untuk timbul
serangan gout akut. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperature
lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat menjelaskan
mengapa Kristal MSU diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi
untuk pengendapan Kristal MSU pada metatarsophalangeal-1 (MTP-1)
berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada daerah
tersebut.
Penelitian simkin didapatkan kecepatan difusi molekul urat dari ruang
synovia ke dalam plasma hanya setengah air. Dengan demikian
konsentrasi urat dalam cairan sendi seperti MTP-1 menjadi seimbang
dengan urat dalam plasma pada siang hari selanjutnya bila cairan sendi
diresorbsi waktu berbaring, akan terjadi peningkatan kadar urat lokal.

12
Fenomena ini dapat menerangkan terjadinya awitan (Onset) gout akut
pada malam hari pada sendi yang bersangkutan. ( Tehupeiory,2006)

c. Klasifikasi
1) Hiperurisemia dan gout Primer
Hiperurisemia primer terdiri dari hiperurisemia dengan kelainan
molekuler yang masih belum jelas dan hiperurisemia karena adanya
kelainan enzim spesifik. Hiperurisemia primer kelainan molekuler
yang belum jelas terbanyak didapatkan yaitu mencapai 99%, terdiri
dari hiperurisemia karena underexcretion (80-90%) dan karena
overproduction (10-20%).
Hiperurisemia primer karena underexcretion kemungkinan
disebabkan karena faktor genetik dan menyebabkan gangguan
pengeluaran asam urat sehingga menyebabkan hiperurisemia. Keadaan
ini telah lama dikenal, peneliti Garrod telah lama mengetahui, terjadi
gangguan pengeluaran asam urat ginjal yang menimbulkan
hiperurisemia primer Bagaimana kelainan molekuler dari ginjal
sehingga menyebabkan gangguan pengeluaran AU belum jelas
diketahui. Kemungkinan disebebkan karena gangguan sekresi AU dari
tubulus ginjal. ( Tehupeiory,2006)

2) Hiperurisemia dan Gout Sekunder


Hiperurisemia dan gout sekunder disebabkan karena pembentukan
asam urat yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang
akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat tertentu. Bisa melalui
mekanisme overproduction, seperti ganguan metabolism purin pada
defisiensi enzim gucose-6-phosphatase atau fructose-1-phospate
aldolase. Hal yang sama juga terjadi pada keadaan infark miokard,
status epileptikus, penyakit hemolisis kronis, polisitemia, psoriasis,

13
keganasan mieloproliferatif dan limfoproliferatif; yang mening¬katkan
pemecahan ATP dan asam nukleat dari inti sel. Sedangkan mekanisme
undersecretion bisa ditemukan pada keadaan penyakit ginjal kronik,
dehidrasi, diabetes insipidus, peminum alkohol, myxodema,
hiperparatiroid, ketoasidosis dan keracunan berilium. Selain itu juga
dapat terjadi pada pemakaian obat seperti diuretik, salisilat dosis
rendah, pirazinamid, etambutol dan siklosporin. (Tehupeiory,2006)

d. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik gout terdiri dari hiperurisemia asimptomatik, artritis
gout akut, interkritikal gout, dan gout menahun dengan tofus.
1. Hiperurisemia asimptomatik.
Nilai normal asam urat serum pada pria adalah 5,1 ± 1,0 mg/dl,
dan pada wanita adalah 4,0 ± 1,0 mg/dl. Nilai-nilai ini meningkat
sampai 9-10 mg/ dl pada seseorang dengan artritis gout. Dalam tahap
ini penderita tidak menunjukkan gejala-gejala selain dari peningkatan
asam urat serum. Hanya 20% dari penderita hiperurisemia
asimptomatik yang berlanjut menjadi serangan gout akut (Carter,
1995).
2. Arthritis gout akut
Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat
cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada
saat bangun pagi terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan.
Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri,
bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam,
menggigil dan merasa lelah. Lokalisasi yang paling sering pada
metatarsophalangeal- 1 (MTP-1) yang biasa disebut podagra. Apabila
proses penyakit berlangsung, dapat terkena sendi lain yaitu

14
pergelangan tangan/kaki, lutut, dan siku. Pada serangan akut yang
tidak berat, keluhan dapat hilang dalam beberapa jam atau hari.
Sedangkan pada serangan akut berat dapat sembuh dalam beberapa
hari sampai beberapa minggu. Serangan akut ini dilukiskan sebagai
sembuh beberapa hari sampai beberapa minggu, bila tidak terobati,
rekuren yang multipel, interval antara serangan singkat dan dapat
mengenai beberapa sendi. Faktor pencetus serangan akut antara lain
berupa trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan
operasi, pemakaian obat diuretik atau penurunan dan peningkatan
asam urat. Penurunan asam urat darah secara mendadak dengan
alopurinol atau obat urikosurik dapat menimbulkan kekambuhan
(Tehupeiory, 2006).
3. Stadium interkritikal
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi
periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinis tidak
didapatkan tanda-tanda radang akut, namun pada aspirasi sendi
ditemukan kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan
tetap berlanjut, walaupun tanpa keluhan. Keadaan ini dapat terjadi satu
atau beberapa kali pertahun, atau dapat sampai 10 tahun tanpa
serangan akut. Apabila tanpa penanganan yang baik dan pengaturan
asam urat yang tidak benar, maka dapat timbul serangan akut lebih
sering yang dapat mengenai beberapa sendi dan biasanya lebih berat
(Tehupeiory, 2006). Kebanyakan orang mengalami serangan artritis
gout berulang dalam waktu kurang dari 1 tahun jika tidak diobati
(Carter, 1995). Manajemen yang tidak baik, maka keadaan interkritik
akan berlanjut menjadi stadium menahun dengan pembentukan tofi.
(Tehupeiory, 2006)

15
4. Arthritis gout menahun
Stadium gout menahun ini umumnya pada pasien yang mengobati
sendiri sehingga dalam waktu lama tidak berobat secara teratur pada
dokter. Artritis gout menahun biasanya disertai tofus yang banyak dan
terdapat poliartikuler (Tehupeiory, 2006). Tofus terbentuk pada masa
artritis gout kronis akibat insolubilitas relatif asam urat. Awitan dan
ukuran tofus secara proporsional mungkin berkaitan dengan kadar
asam urat serum. Bursa olekranon, tendon achilles, permukaan
ekstensor lengan bawah, bursa infrapatelar, dan heliks telinga adalah
tempat-tempat yang sering dihinggapi tofus. Secara klinis tofus ini
mungkin sulit dibedakan dengan nodul rematik. Pada masa kini tofus
jarang terlihat dan akan menghilang dengan terapi yang tepat (Carter,
1995). Pada tofus yang besar dapat dilakukan ekstirpasi, namun
hasilnya kurang memuaskan. Lokasi tofus yang paling sering pada
cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon Achilles dan jari tangan.
Pada stadium ini kadang-kadang disertai batu saluran kemih sampai
penyakit ginjal menahun (Tehupeiory, 2006).

e. Diagnosis
Diagnosis artritis gout dilakukan sesuai dengan criteria dari The
American College of Rheumatology (ACR) tahun 1997, yakni :
1. Didapatkan Kristal monosodium urat di dalam cairan sendi
2. Didapatkan Kristal monosodium urat di dalam tofus
3. Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut:
a. Inflamasi maksimal terjadi dalam 1 hari
b. Serangan arthritis akut lebih dari 1 kali
c. Arthritis monoartikular
d. Sendi yang terkena bewarna kemerahan
e. Bengkak dan nyeri pada MTP-1

16
f. Serangan pada sendi MTP unilateral
g. Serangan pada sendi tarsal unilateral
h. Adanya tofus
i. hiperurisemia
j. Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran radiologic
k. Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologic
l. Kultur bakteri cairan sendi negative

f. Penatalaksanaan
Secara umum penanganan arthritis gout adalah memberikan edukasi,
pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan medikasi. Pengobatan
dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi atau komplikasi
lain, misalnya pada ginjal. Pengobatan arthritis gout bertujuan
menghilangkan keluhan nyeri sendi dan keradangan dengan obat-obat,
antara lain kolkisin, obat anti inflamasi non steroid (OAINS),
kortikosteroid, atau hormone ACTH. Obat penurun asam urat seperti
allopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut
karena dapat menimbulkan kekambuhan. Pemberian kolkisin dosis standar
untuk arthritis gout akut secara oral 3-4 kali, 0,5-0,6 per hari dengan dosis
maksimal 6 mg. Pemberian OAINS juga dapat diberikan dengan dosis
tergantung dari jenis OAINS yang dipakai. Disamping efek anti inflamasi
obat ini juga mempunyai efek analgetik. ( Tehupeiory,2006)

(Widyanto,2014)

17
Pemakaian kortikosteroid dan ACTH apabila kolkisin dan OAINS
tidak efektif atau merupakan kontra indikasi. Pemakaian kortikosteroid
dapat diberikan oral atau parenteral. Indikasi pemberian adalah pada
arthritis gout akut yang mengenai banyak sendi (poliartikular). Pada
stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan adalah untuk
menurunkan kadar asam urat sampai kadar normal, guna mencegah
kekambuhan. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian
diet rendah purin dan pemakaian obat allopurinol bersama obat urikosurik
yang lain. ( Tehupeiory,2006)

g. Komplikasi
Menurut Rotschild, komplikasi dari artritis gout meliputi severe
degenerative arthritis, infeksi sekunder, batu ginjal dan fraktur pada sendi.
Sitokin, kemokin, protease, dan oksidan yang berperan dalam proses
inflamasi akut juga berperan pada proses inflamasi kronis sehingga
menyebabkan sinovitis kronis, dekstruksi kartilago, dan erosi tulang.
Kristal monosodium urat dapat mengaktifkan kondrosit untuk
mengeluarkan IL-1, merangsang sintesis nitric oxide dan matriks
metaloproteinase yang nantinya menyebabkan dekstruksi kartilago. Kristal
monosodium urat mengaktivasi osteoblas sehingga mengeluarkan sitokin
dan menurunkan fungsi anabolik yang nantinya berkontribusi terhadap
kerusakan artikular tulang. (Widyanto, 2014)

h. Diagnosis diferensial
Artritis gout memiliki diagnosis banding seperti arthritis septik,
psoriasis, calcium pyrophosphate deposition disease (CPPD), dan artritis
rematik. Untuk diagnosis definitif artritis gout dikonfirmasikan dengan
analisis cairan sendi dimana pada penderita artritis gout mengandung
monosodium urat yang negatif birefringent (refraktif ganda) yang juga

18
ditelan oleh neutrofil (dilihat dengan mikroskop sinar terpolarisasi).
Analisis cairan sinovial dan kultur sangat penting untuk membedakan
artritis septic dengan artritis gout. Artritis gout cenderung tidak simetris
dan faktor reumatoid negatif, sedangkan pada artritis rematik cenderung
terjadi simetris dan lebih dari 60% kasus memiliki faktor reumatoid
positif. Hiperurisemia juga sering terjadi pada penderita psoriasis dan
adanya lesi kulit membedakan kasus ini dengan artritis gout. (Widyanto,
2014)

i. Prognosis
Prognosis artritis gout dapat dianggap sebuah sistem bukan penyakit
sendiri. Dengan kata lain prognosis penyakit artritis gout merupakan
prognosis penyakit yang menyertainya. Artritis gout sering dikaitkan
dengan morbiditas yang cukup besar, dengan serangan akut yang sering
menyebabkan penderita cacat. Namun, artritis gout yang diterapi lebih dini
dan benar akan membawa prognosis yang baik jika kepatuhan penderita
terhadap pengobatan juga baik. Jarang artritis gout sendiri yang
menyebabkan kematian atau fatalitas pada penderitanya. Sebaliknya,
artritis gout sering terkait dengan beberapa penyakit yang berbahaya
dengan angka mortalitas yang cukup tinggi seperti hipertensi,
dislipidemia, penyakit ginjal, dan obesitas. Penyakit-penyakit ini bisa
muncul sebagai komplikasi maupun komorbid dengan kejadian artritis
gout. Dengan terapi yang dini, artritis gout dapat dikontrol dengan baik.
Jika serangan artritis gout kembali, pengaturan kembali kadar asam urat
(membutuhkan urate lowering therapy dalam jangka panjang) dapat
mempengaruhi aktivitas kehidupan penderita. Selama 6 sampai 24 bulan
pertama terapit artritis gout, serangan akut akan sering terjadi. Luka kronis
pada kartilago intraartikular dapat mengakibatkan sendi lebih mudah
terserang infeksi. Tofus yang mengering dapat menjadi infeksi karena

19
penumpukan bakteri. Tofus artritis gout kronis yang tidak diobati dapat
mengakibatkan kerusakan pada sendi. Deposit dari kristal monosodium
urat di ginjal dapat mengakibatkan inflamasi dan fibrosis, dan
menurunkan fungsi ginjal. (Widyanto,2014)

2) Pseudo Gout
a. Defnisi
Pseudo Gout merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh adanya
penimbunan Kristal atau deposisi Calsium Pyrophosphate Deposition (
CPPD) pada daerah sendi synovial yang ditandai dengan gambaran
radiologis berupa kalsifikasi rawan sendi dimana sendi lutut dan sendi-
sendi besar lainnya merupakan predileksi untuk terkena inflamasi.
Penimbunan Kristal CPPD hanya ditemukan di sekitar sendi dan ditandai
dengan kalsifikasi rawan sendi, meniscus, sinovium, dan jaringan sekitar
sendi. Penimbunan Kristal CPPD tidak hanya pada daerah rawan sendi,
namun Kristal CPPD dapat tertimbun pada ligamentum-ligamentum, dan
tendon. (Paul, 2012)

b. Epidemiologi
Laporan mengenai data epidemiologi penyakit radang sendi akibat
penimbunan Kristal (atropati Kristal) sangat jarang. Pseudo Gout sering
ditemukan pada umur pertengahan dan umur yang lebih tua, data yang
pernah dilaporkan menyatakan bahwa 10-15% mengenai mereka yang
berusia 65-70 tahun dan akan meningkat 30-60% pada usia diatas 80
tahun , perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki dengan
perbandingan 2-3:1. (Faridin, 2009)

20
c. Etiopatogenesis
Penyebab pseudogout adalah timbunan Kristal CPPD di dalam struktur
sendi. Penyebab penimbunan dari Kristal ini belum diketahui secara pasti.
Kristal yang terbentuk akan memicu proses fagositosis, selanjutnya akan
melepaskan enzim-enzim lisosom yang menyebabkan peradangan.
Pembentukan Kristal CPPD pada kartilago disebabkan peningkatan kadar
kalsium atau pirofosfate inorganic (PPi) dari perubahan di dalam matriks
(
yang mencetuskan pembentukan kristal atau dari kombinasi keduanya.
Faridin, 2009)
Episode akut serangan arthritis pseudo gout timbul karena terjadinya
pelepasan Kristal CPPD dari deposit-deposit yang terdapat dalam
fibrokartilago dan kartilago hialin yang mekanismenya meliputi: kelarutan
parsial dari Kristal atau perubahan mariks kartilago sekitarnya, keduanya
dapat mempercepat pelepasan Kristal ke dalam ruang sendi. Komposisi
ion matriks juga mempengaruhi pembentukan Kristal CPPD, dimana ion
ferro menghambat pirofosfatase, ion ferri menurunkan pembentukan
Kristal CPPD in vitro dan memperlambat degradasi intraselular Kristal
CPPD. Kerusakan sendi akibat penimbunan Kristal CPPD disebabkan
oleh factor fisis dan perubahan kimia pada rawan sendi yang
mempermudah pembentukan Kristal. Bebasnya Kristal CPPD pada ruang
sendi diikuti oleh fagositosis neutrofil dari Kristal dan lepasnya substansi
inflamasi, di samping itu neutrofil akan membebaskan glikopeptida yang
bersifat suatu kemotatik untuk neutrofil yang memperhambat proses
peradangan. CPPD juga dapat mengaktivasi factor Hagmen yaitu kinin
dan bradikinin yang mengaktivasi plasminogen menjadi plasmin,
selanjutnya akan mengaktivasi siklus komplemen yang merupakan
mediator inflamasi akut. (S. Schlee, 2014)

21
d. Manifestasi klinik
Pseudogout memberikan serangan akut atau subakut, episodic dan
dapat menyerupai penyakit gout, dimana inflamasi sinovium merupakan
gejala khas. Menurut Mc Carty; arthritis CPPD akut disebut pseudogout,
karena sangat menyerupai gout. Pada serangan akut didapatkan adanya
pembengkakan yang sangat nyeri, kekakuan dan panas local sekitar sendi
yang sakit dan disertai eritema. Serangan akut dapat pula diprovokasi
oleh tindakan operasi, dan dapat bersifat self-limiting. Sekitar 5 % dari
pasien dengan penimbunan Kristal CPPD memberikan gambaran klinis
seperti pseudoreumatoid. Gejalanya mirip dengan gambaran AR , seperti
melibatkan beberapa sendi bersifat simetris, kekakuan pagi hari,
penebalan sinovium dan peningkatan laju endap darah dan sekitar 10%
pasien dengan penimbunan Kristal CPPD mempunyai titer factor
rheumatoid serum yang rendah. (Mc Carty, 2008)

e. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah tidak ada yang spesifik, LED meninggi
selama fase akut, leukosit PMN sedikit meninggi. Sekitar 20% pasien
dengan timbunan Kristal CPPD ditemukan hiperurisemia dan 5%
disertai Kristal MSU. Pemeriksaan cairan sinovium dengan
menggunakan mikroskop cahaya biasa dapat terlihat seperti bentuk
Kristal kubus (rhomboid), atau batang pendek bersifat birefringence
positif lemah. Pada keadaan lain dapat berbentuk jarum seperti Kristal
MSU. Kedua bentuk Kristal ini bersifat birefringence pada
pemeriksaan Kristal dengan menggunakan mikroskop polarisasi
cahaya. (Faridin, 2009)

22
2) Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologis timbunan Kristal CPPD dapat memperlihatkan
gambaran kondokalsinosis berupa bintik-bintik atau garis–garis radio-
opak yang sering ditemukan di meniscus fibrokartilago sendi lutut.
Dapat pula berupa kalsifikasi pada sendi radioulnar distal, simfisis
osseum pubis, glenoid serta annulus fibrous diskus intervertebralis.
Pemeriksaan skrining dapat dilakukan dengan pemeriksaan pada fhoto
sendi lutut dengan posisi antero posterior, fhoto pelvis posisi AP untuk
melihat sekitar simfisis pubis dan panggul, dan posisi postero anterior
dari pergelangan tangan. (Faridin, 2009)

f. Diagnosis
Pseudo gout dicurigai bila didapatkan adanya serangan radang sendi
yang bersifat rekuren, episodic, ditandai dengan sinovitis mikrostallin dan
didukung dengan penemuan pemeriksaan radiologis yang memperlihatkan
adanya kondrokalsinosis. Mc Carty, mengajukan kriteria diagnosis untuk
timbunan Kristal dan radiologis. (Faridin, 2009)

(Faridin, 2009)

23
g. Diagnosis banding
Pseudo gout(chondrocalsinosis) memiliki preferensi untuk usia paruh baya
dan orang tua, tapi mungkin terjadi pada usia berapapun. Sering
chondrocalcinosis akan ditemukan sebagai pendamping
Gangguan pada sendi yang rusak (osteoarthritis, posttraumatic arthritis)
atau penyakit metabolik (hyperparathy- roidisme, hematochromatosis,
Wilson disease, gout, ochronosis). (Michel, 2007)

h. Pengobatan
Pada serangan akut sendi dapat dilakukan aspirasi, sekaligus
dilanjutkan dengan pemberian steroid intra artikular. Tindakan ini
disamping bertujuan untuk mengurangi tekanan intrartikular juga sebagai
tindakan diagnostic untuk pemeriksaan Kristal. Pemberian OAINS berupa
fenibutazon dosis 400-600 mg/hari untuk beberapa hari dapat bermanfaat.
Indometazin dosis 75-150 mg/hari atau dengan OAINS lainnya, dengan
tetap memperhatikan efek samping OAINS pada saluran cerna dan
pemberian pada usia lanjut. Kolkisin efektif menghambat pelepassan
factor-faktor kemotaktik seperti sel-sel neutrophil dan mononuklir dan
juga menghambat ikatan sel neutrophil dengan endotel. Pemberian
kolkisin intravena efektif untuk pengobatan pseudo gout, sedangkan
kolkisin orang tidak sebaik pada pengobatan gout dibanding pseudogout
primer, tapi untuk pencegahan serangan dapat menggunakan kolkisin oral.
Mengistirahatkan sendi penting selama serangan akut dan latihan fisik
dilakukan setelah -serangan akut, bertujuan memperbaiki ketegangan otot
dan lingkup gerak sendi untuk menghindari kontraktur. (Faridin, 2009)

i. Prognosis
Umumnya penyakit deposisi Kristal pada sendi adalah baik. Penyakit ini
hanya akan menyebabkan gangguan pergerakan sendi jika terjadi

24
desposisi Kristal di sekitar sendi, sehingga aktivitas sehari-hari terganggu.
(Faridin, 2014)

3) Arthritis rheumatoid
a. Definisi
Artritis rheumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
inflamasi kronik dan progresif. Manifestasi klinis klasik AR adalah,
poliatritis simetris yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan
dan kaki. Selain lapisan synovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-
organ diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata.
Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular,
infeksi, penyakit ginjal, keganasan, dan adanya kormobiditas. (Suarjana,
2009)

b. Epidemiologi
Pada kebanyakan populasi di dunia, prefalensi AR relative konstan
yaitu berkisar antara 0,5 1%.Pada penelitian di Negara cina, idonesia, dan
philiplina prefalensinya< 0,4% baik didaerah urban maupun rural. Hasil
survey yang dilakukan di jawa tengah mendapatkan prevalensi sebesar
0,2% didaerah rural dan 0,3% didaerah urban. Disalah satu poliklinik
rheumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta kasus baru AR
merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan pada periode
januari-juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 1.346 orang. (Suarjana, 2009)

25
c. Etiopatogenesis
1. Etiologi
- Factor genetic
Tidak diketahui secara pasti, terdapat interaksi yang kompleks
antara factor genetic dan lingkungan. Hubungan gen HLA-DRB1
dengan kejadian AR telah di ketahui dengan baik, walaupun
beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR setiap
daerah 18q21 dan gen TNFRSR11A yang mengkode
aktifatorreseptor nuclear factor kappa B( NF-kb) gen ini berperan
penting resoprsi tulang pada AR. Factor genetic berperan penting
dalam terapi AR karena aktivitas enzim seperti
methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine
methyltransferase untuk memetabolisme methotrexat dan
axatioprine ditentukan oleh factor genetic. (Suarjana, 2009)
- Hormone sex
Prevalensi AR lebih besar perempuan dibandingkan laki-laki
sehingga diduga hormone sex berperan dalam penyakit ini. Pada
observasi didapatkan terjadi perbaikan gejala selama kehamilan.
Perbaikan ini didugakarena: 1. Adanya aloantibodi dalam sirkulasi
maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan
fungsi epitope HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit.
2. Adanya perubahan profil hormone. Placental corticotropin
realizing hormone secara langsung menstimulus sekresi
dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama
pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus.
Androgen bersifat imunosupresif terhadap respon imun seluler dan
humoral. (Suarjana, 2009)

26
2. Pathogenesis

AR adalah penyakit autoimun yang masih kurang dipahami,


berupa kompleks faktor risiko interaksi genetik, lingkungan dan sistem
imun. Perubahan patologis terutama disebabkan oleh inflamasi yang
dimediasisitokin, di mana sumber utama sitokin tersebut adalah dari
sel limfosit T CD4+. Banyak pasien yang juga memproduksi antibody
terhadap peptide sitrulinsiklik/cyclic cetrullinated peptides (CCPs) ,
yang bisa berperan pada lesi sendi. CCPs berasal dari protein di mana
residu arginin dikonversikan menjadi residusitrulin setelah translasi.
Pada arthritis rheumatoid antibody terhadap amat penting dan bisa
membentuk kompleks imun yang tertimbun di dalam sendi. Antibodi
ini adalah tanda diagnostic untuk penyakit AR dan mungkin terlibat di
dalam kerusakan jaringan.
Diusulkan bahwa penyakit ini dimulai pada orang yang
mempunyai kecenderungan secara genetic untuk pengaktifan sel T
helper CD4+ sebagai reaksi terhadap beberapa agen arthritogenic,
kemungkinan mikroba atau antigen diri sendiri seperti CCP. Sel TE.,1
CD4+ dan TH17, limfosit B aktif, sel plasma, dan makrofag,

27
sebagaimana sel radang lainnya, ditemukan di dalam sinovium yang
meradang dan pada kasus yang berat, mungkin ada folikel limfoid
dengan sentrum germinatifum. Sejumlah sitokin, meliputi IL-1, IL-8,
TNF, IL-6, IL-17, dan interferon-γ, telah ditemukan di dalam cairan
sinovial. Sitokin diproduksi oleh sel T aktif leukosit baru seperti
makrofag, yang produksinya menyebabkan jejas pada jaringan dan
juga mengaktifkan sel synovial sendi untuk memproduksi enzim
proteolitik, seperti kolagenase, yang merupakan perantara destruksi
tulang rawan, ligamen, dan tendon sendi. Peningkatan aktivitas
osteoklas di dalam sendi berperan terhadap kerusakan tulang pada
arthritis reumatoid; hal ini mungkin disebabkan oleh produksi ikatan
RANK sitokin keluarga TNF olehsel T aktif. Walaupun berbagai
sitokin yang diproduksi di dalam sendi pada arthritis reumatoid, TNF
kelihatannya memainkan peranan yang sangat penting. Hal ini
didemonstrasikan oleh kemanjuran yang luar biasa dari penggunaan
antagonis TNF pada pengobatan penderita, bahkan pada penderita
yang resisten terhadap terapi yang lain. (Kumar, 2013)

d. Manifestasi Klinis
1. Awitan (Onset)
Awitan (onset), Kurang lebih 2/3 penderita AR awitan terjadi
secara perlaha,arthritis simetris terjadi dalam bebrapa minggu sampai
beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang lebih 15% dari
penderita mengalami gejala awal yang lebih cepat yaitu antara
beberapa hari sampai beberapa minggu. Sebanyak 10-15% penderita
mempunyai awitann fulminant berupa artritis poliartikular, sehingga
diagnosis AR lebih mudah ditegakkan. Artritis sering kali diikuti oleh
kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama satu jam atau

28
lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala konstitusional
berupa kelemahan,kelelahan,anoreksia dan demam ringan. (Suarjana,
2014).
2. Mannifestasi Artikular
Manifestasi artikular, Penderita AR pada umumnya datang dengan
keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga
penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa saja.
Walaupun tanda cardinal inflamasi (nyeri,bengkak,kemerahan dan
teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama
kekambuhan (flare), namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin
tidak dijumpai pada AR kronik. Penyebab arthritis pada AR adalah
adalah sinovitis,yaitu adanya inflamasi pada membrane synovial yang
membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah
persendian tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi persendian besar
seperti bahu dan lutut juga bisa terkena. Sendi yang terlibat pada
umumnya simetris, meskipun pada presentasi awal bisa tidak simetris.
Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi
deformitas dan kehilangan fungsi. Ankilosis tulang (destruksi sendi
disertai kolaps dan pertumbuhan tulang yang berlebihan) bisa terjadi
pada beberapa sendi khususnya pada pergelangan tangan dan kaki.
Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga sendi
interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi interfalang distal
dan sakroiliaka tidak pernah terlibat. (Suarjana, 2014).
3. ManifestasiEkstraartikular
Manifestasi ekastraartikular pada umumnya didapatkan pada
penderita yang mempunyai titer factor reumatid (RF) serum tinggi.
Nodul rheumatoid merupakan manifestasi kulit yang paling sering
dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi khusus.

29
(Suarjana, 2014).

30
e. Diagnosis

(Suarjana, 2014)
Diagnosis AR ditegakkan bila pasien memiliki skor 6 atau lebih. Sendi
besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha, dan pergelangan kaki.
Sedangkan sendi kecil adalah metacarpal phalangeal, proksimal
interphalangeal, sendi metatarso phalangeal ke 2-5, sendi interphalangeal
ibu jari dan pergelangan tangan. (Suarjana, 2014).

f. Pemeriksaan penunjang

PemeriksaanPenunjang Penemuan yang Berhubungan


C-reactive proein (CPR)* umumnyameningkatsampai>0,7 picogram/mL, bisadigunakanuntuk monitor
perjalananpenyakit

Lajuendapdarah (LED)* seringmeningkat>30 mm/jam, bisadigunakanuntuk monitor


perjalananpenyakit

Hemoglobin/hematokrit* sedikitmenurun, Hb rata-rata sekitar 10 g/dL, anemia normokromik,


mungkinjuganormositikataumikrositik

jumlahleukosit* Mungkinmeningkat

31
jumlahtrombosit* Biasanyameningkat
fungsihati* normal ataufosfatase alkali sedikitmeningkat

faktorreumatoid (FR)* hasilnyanegatifpada 30% penderita AR stadium dini.


Jikapemeriksaanawalnegatifdapatdiulangsetelah 6-12 bulandari onset
penyakit. Bisamemeberikanhasilpositifpadabeberapapenyakitseperti SLE,
sklerodema, sindromsjorgen's, penyakitkeganasan, sarkoidosis, infeksi (virus,
parasitataubakteri). tidakakuratuntukpeniaianperburukanpenyaki.
fotopolossendi* mungkin normal atautamapaksepertiadanya osteopenia
atauerosidekatcelahsendipada stadium dinipenyakit.
Fotopergelangantangandanpergelangan kaki pentinguntuk data dasar,
sebagaipembandingdalampenelitianselanjutnya.
MRI mampumendeteksiadanyaerosisendilebihawaldibandingkandenganfotopolos,
tampilanstruktursendilebihrinci.

anti-CCP berkorelasiperburukanpenyakit,
sensivitasnyameningkatbiladikombinasidenganpemeriksaan RF.
Lebihspesifikdibandingkandengan RF.
Tidaksemualaboratoriummempunyaifasilitaspemeriksaan anti-CCP.
anti-RA33 merupakanpemeriksaanlanjutanbila RF dan anti-CCP negatif.

Antinuclear antibody tidakterlalubermaknauntukpenilaian AR.


(ANA)
konsentrasikomplemen normalataumeningkat.
imunoglobulin (Ig) Ig α-1 dan α-2 mungkinmeningkat.
pemeriksaancairansendi diperlukanbila diagnosis meragukan. Pada AR tidakditemukankristal,
kulturnegatifdankadarglukosarendah.

Fungsiginjal tidakadahubunganlangsungdengan AR,


diperlukanuntukmemonitorefeksampingterapi.
Urinalisis hematuriamikroskopikatau proteinuria

32
bisaditemukanpadakebanyakanpenyakitjaringanikat.

g. Terapi
ACRSRA merekomendaasikan bahwa penderita dengan kecurigaan
AR harus dalam 3 bulan sejak timbulnya gejala untuk konfirmasi
diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs. Modalitas terapi untuk AR
meliputi terapi non farmakologik dan farmakologik. Tujuan terapi pada
penderita AR adalah :
1. Mengurangi Nyeri
2. Mempertahankan status fungsional
3. MEngurangi inflamasi
4. Mengendalikan keterlibatan sistemik
5. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
6. Mengendalikan progresivitas penyakit
7. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

a. Terapi Non Farmakoligik


Beberapa terapi non farmakoligk telah dicoba pada penderita AR.
Terapi puasa, suplementasi asam lemak esensial,terpai spa dan
latihan,menunjukkan hasil yang baik. Pemberian suplemen minyak
ikan bisa digunakan sebagai NSAID-sparing agents pada multidisiplin
dalam perawatan penderita,bias memberikan manfaat jangka pendek.
Adapun terapi herbal seperti acupuncture dan splinting.
b. Terapi Farmakologik
Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi obat anti-
inflamasi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri,
glukokortiroid dosis rendah atau intraartikular dan DMARD.

33
Analgetik lain juga mungkin digunakan sebagai
acetaminophen,opiate,diproqualone dan lidokin topical.
- OAINS, digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri
dan pembengkakan. Obat-obat ini tidak merubah perjalanan
penyakit sehingga tidak boleh digunakan secara tunggal.
- Glukokortikoid, Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednisone
kurang dari 10 mg perhari cukup efektif untuk meredakan gejala
dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Dosis steroid harus
diberikan dalam dosis minimal karena reskio tinggi mengalami
efek samping seperti osteoporosis,katarak,gejala cushingoind,dan
gangguan bkadar gula darah.
- DMARD, Pemilihan jenis DMARD harus mempertimbangkan
kepatuhan,beratnya penyakit, pengalaman dokter dan adanya
penyakit penyerta. DMARD yang paling umum digunakan adalah
MTX,hidroksiklokuin atau klorokuin
fosfat,sulfasalazin,leflunomide,infliximab dan etanercept.
Terapi Kombinasi, Banyak penelitian memperlihatkan bahwa efek
terapi kombinasi lebih superior dibandingkan,tanpa memperbesar
toksisitas. Contoh terapi kombinasi sebagai berikut:
 MTX + hidroksiklorokuin
 MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine
 MTX + sulfasalazine + prednisolone,
 MTX + leflunomide
(Suarjana, 2014).

34
h. Komplikasi

(Suarjana, 2014)

i. Diagnosis Banding
AR harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lain seperti artropati
reaktif yang berhubungan dengan infeksi, lupus eritematous sistemik, dan
arthritis gout yang apabila dicurigai perlu dilakukan pemeriksaan cairan
sendi. (Suarjana, 2014).

j. Prognosis
Prediktor prognosis dapatdikatakanburukpada stadium dini AR antara
lain:
1. Skor fungsional rendah
2. Status social ekonomi rendah
3. Tingkat pendidikanrendah
4. Ada riwayatkeluargamenderita AR

35
5. Melibatkanbanyaksendi
6. Nilai CRP atau LED tinggipadaawalpenyakit
7. RF atau anti CCP positif
8. Ada perubahanradiologispadaawalpenyakit
9. Ada nodulreumatoid/ manifestasiekstraartikuler lain

Sebanyak 30% penderita AR dengan manifestasi penyakit berat tidak


berhasil memenuhi criteria ACR 20 walaupun sudah mendapat berbagai
macam terapi. Sedangkan penderita dengan penyakit lebih ringan
memberikan respons yang lebih baik dengan terapi.Penelitian yang
dilakukan pada penderita AR yang mulai tahun 1980-an, memperlihatkan
tidak adanya peningkatan angka mortalitas pada 8 tahun pertama sampai
13 tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada
penderita AR dibandingkan dengan populasi umum adalah 1,6.Tetapi hasil
ini mungkin akan menurun setelah penggunaan jangka panjang DMARD
tertentu. (Suarjana, 2014).

36
DIAGNOSIS BANDING

Gejala pada skenario


Laki-laki (45 Jalan Nyeri Nyeri pagi Sering
No Diferensial Diagnosis tahun) pincang sendi hari Terjadi
dewasa MTP-1 (ibu Keluhan
jari kaki)
1. Arthritis Gout (AG) √ √ √ √ √

2. Pseudogout √ √ √

3. Arthritis Reumatoid √ √
(AR)

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Tehupeiory, Edward Stefanus 2006. Artritis Pirai (Arthritis Gout)


Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta: Pusat
penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Widyanto, Fandi Wahyu 2014. “Artritis Gout Dan
Perkembangannya”. Rumah Sakit Aminah Blitar
3. Carter, MA 2006, Gout dalam Patofosiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, EGC, Jakarta
4. Paul, MacMullan .et al. 2012. Treatment and management of
pseudogout : Insight for the clinican. Muskuloskeletal Disease
Journal. April 4, 2012; 4(2): 121- 131
5. Faridin, 2009. Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
6. Suarjana, I Nyoman.2014. Artritis Reumatoid Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Pusat penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
7. Kumar,Abbas,dkk. 2013. Gout Dalam Robbins Basic Pathology 9th
Edition. Ebook
8. Robbins, Kumar, dkk. 2007. Gout Dalam Buku Ajar Patologi Edisi
7, Vol 2. EGC, Jakarta
9. Suarjana, I Nyoman.2009. Artritis Reumatoid Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi,
Idrus, et al. Interna Publishing. Jakarta.
10. S. Schlee . et al. 2014. Crystal Arthritides-Gout and Calsium
Pyrophospate Arthritis. Zeitschrift fur Gerontolgie und Geriatrie.
February 23, 2014.

38
11. Mc Carty .et al. 2008. Calsium Phospate dehydrate, hidroxypattie,
and miscellaneous crystal : In Primer On The Rheumatic Disease.
Rheumatic Disease Journal. 2008.
12. Solomon, Louis, dkk. 2013. Buku ajar ortopedi & fraktur sistem
apley. Jakarta : Widya Medika.
13. Setio, Yohadi, dkk. 2014. Nyeri Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi VI. Jakarta: Pusat penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
14. Leslie P. Gartner, James. L. Hiatt. 2007. Color Textbook Of
Histology. Sauders Elselier. USA.
15. Richard L Drake, dkk. 2012. Gray’s Basic Anatomy. Elsevier
Churcill, Canada.
16. Miche, B.A, dkk.2007 Differential Diagnosis in Internal Medicine.
Georg Thieme Verlag.
17. Faridin, 2014. Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.

39

Anda mungkin juga menyukai