Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Atresia ani atau anus impeforata disebut sebagai malformasi anorektal, adalah suatu
kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna, termasuk agenesis ani,
agenesis rekti dan atresia rekti. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai penyakit
tersering yang merupakan syndrom VACTRERL (Vertebrae, Anal, Cardial, Esofageal, Renal
dan Limb)
Tidak sedikit dijumpai adanya kelainan cacat kongenital pada anus dimana anus tidak
mempunyai lubang untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang
terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi
kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.
Atresia ani merupakan kelainan kongenital yang tergolong rendah angka kejadiannya
dibandingkan penyakit lain dalam saluran pencernaan. Kejadian di Amerika Serikat 600 anak
lahir dengan atresia ani. Data yang didapatkan kejadian atresia ani timbul dengan perbandingan 1
dari 5000 kelahiran hidup, dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35
per mil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit atresia ani.
Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit atresia ani yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN
Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan rasio laki-laki: perempuan adalah 4:1. Insidensi ini
dipengaruhi oleh group etnik, untuk Afrika dan Amerika adalah 2,1 dalam 10.000 kelahiran,
Caucassian 1,5 dalam 10.000 kelahiran dan Asia 2,8 dalam 10.000 kelahiran. Menurut catatan
Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown
menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini yakni ditemukan 57 kasus dalam 24
keluarga.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Nabila Azzahra
Umur : 4 hari
No. CM : 1-15-31-67
Jenis Kelamin : perempuan
Alamat : Desa Keude Geudong Samudera
Suku : Aceh
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Tanggal Masuk : 07 Desember 2017
Tanggal Pemeriksaan : 09 Desember 2017

2.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Tidak ada lubang anus
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasein rujukan RS Cut Meutia, datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan tidak ada
lubang anus. Hal ini dialami pasien ± 2 hari dari bayi lahir. Pasien merupakan anak ke lima yang
lahir secara normal yang ditolong oleh bidan. dengan BBL 2.500 gram. saat ini pasien datang
untuk menjalani operasi agar dapat mengeluarkan feses dari perut sebelah samping tindakan dan
pembuatan lubang anus.

Riwayat Penyakit Dahulu


Atresia ani letak tinggi
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal yang sama dengan pasien.
Riwayat Pemakaian Obat
Riwayat pemakaian obat disangkal

Riwayat Kehamilan dan Persalinan :


2
Pasien anak kelima. Selama hamil, ibu pasien rutin kontrol di bidan dan dokter
kandungan, selama hamil ibu pasien tidak pernah mengalami hipertensi, diabetes, sesak nafas,
demam, riwayat keputihan dan terjatuh saat hamil tidak ada.
Pasien lahir secara Normal di Bidan dengan BBL : 2500 gram, lahir menangis merintih,
gerakan aktif.
Riwayat Imunisasi :
Tidak ada

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Heart Rate : 104 x/menit
Frekuensi Nafas : 33 x/menit
Temperatur axila : 36,6º C

STATUS INTERNUS
a. Kulit
 Warna : Normal
 Turgor : Normal
 Sianosis : (-)
 Ikterus : (-)
 Oedema : (-)
 Pucat : (-)
b. Kepala
 Kepala : Normochepali, LK : 30 cm, UUB terbuka rata
 Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut
 Wajah : Simetris, ikterik (-)
 Mata : Konjungtiva pucat (-/-)
 Telinga : Normotia
 Hidung : NCH (-), sekret (-)
 Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-)

3
c. Leher
 Inspeksi : Simetris, pembesaran KGB (-)
d.Paru
 Inspeksi : Simetris, laju nafas 33 x/menit, reguler
 Palpasi : tidak dapat dinilai
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), Whezzing (-/-), Rhonki (-/-)
e. Jantung
 HR: 104 x/menit, regular (+), bising (-)
f. Abdomen
 Inspeksi : Distensi (-), simetris, tali pusat terpotong dan kering
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Timpani (+) di keempat kuadran
g. Genitalia
 Inspeksi : lubang anus (-) genetelia perempuan.
h. Ekstremitas
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Edema - - - -
Sianosis - - - -

Akral Dingin - - - -

Capillary refill time <2’ <2’ <2’ <2’

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil Laboratorium (10 Desember 2017)
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Hemoglobin 19,6 12,7-18,7 gr/dl
Leukosit 3,9 5.000-21.000 /mm3
Trombosit 30 150 - 450 103 /mm3
Hematokrit 54 53-63 %

4
Eritrosit 5,2 4,4 – 5,8 106 /mm3
Eosinofil 1 0-6%
Basofil 10 0-2%
Neutrofil Batang 1 2-6%
Neutrofil Segmen 54 50-70%
Limfosit 4 20-40%
Monosit 30 2-8%
BT 1-7 menit
CT 5-15 menit
Ureum 77 13-43 mg/dL
Kreatinin 1,,32 0,67-1,17 mg/dL
Natrium 130 132-147 mmol/L
Kalium 2,0 3,6-5,8 mmol/L
Klorida 95 93-112 mmol/L

Hasil Laboratorium (8 November 2017)


Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Hemoglobin 11,8 9,0-14,0 gr/dl
Leukosit 10,1 5.000-19.500 /mm3
Trombosit 204 150 - 450 103 /mm3
Hematokrit 35 53-63 %
Eritrosit 4,2 4,4 – 5,8 106 /mm3
Eosinofil 5 0-6%
Basofil 0 0-2%
Neutrofil Batang 0 2-6%
Neutrofil Segmen 12 50-70%
Limfosit 72 20-40%
Monosit 11 2-8%

Hasil Laboratorium (11 Desember 2017)

5
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Free T4 22,53 9-20 pmol/L
TSHs 1,356 0,25-5 U/mL
Albumin 2,76 3,5-5,2 g/dL
Natrium 133 132-147 mg/dL
Kalium 2,8 3,6-6,1 mmol/L
Klorida 100 95-116 mmol/L

Lopografi (08 Desember 2017)

6
Kesan : Atresia ani letak tinggi

2.5. DIAGNOSA KERJA


Atresia ani letak tinggi tanpa fistel

2.6. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
 IVFD 4:1 260 cc/24 jam
 Aminofusin 3%cc/jam
 Diet ASI ad libithum
Farmakologi
 Inj. Cefoxime 130 mg/12 jam
 Inj. Parasetamol 75 mg/8 jam
7
2.7. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam

2.8 FOTO KLINIS

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “a“ yang artinya tidak ada dan
trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia ani adalah suatu
keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang normal.(Haryono 2013)
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi
anus, rektum, atau batas di antara keduanya.(Betz & Sowden 2002) Atresia ani merupakan
kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus.(Wong 2003) Atresia
ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus
secara abnormal.(Suriadi & Yuliani 2001) Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak
terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan
pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke
dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan
rektum.(Richardson 1977)

B. Anatomi dan Fisiologi


1. Lambung
Lambung atau gaster merupakan bagian dari saluran yang dapat
mengembang paling banyak terutama di daerah epigaster. Lambung terdiri dari
bagian atas fundus uteri berhubungan dengan esophagus melalui orifisium pilorik,
terletak di bawah diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah
kiri fundus uteri.
Sekresi getah lambung mulai terjadi pada awal orang makan. Bila melihat
makanan dan mencium bau makanan maka sekresi lambung akan terangsang.
Rasa makanan merangsang sekresi lambung karena kerja saraf menimbulkan
rangsang kimiawi yang menyebabkan dinding lambung melepaskan hormon yang
disebut sekresi getah lambung. Getah lambung di halangi oleh sistem saraf

9
simpatis yang dapat terjadi pada waktu gangguan emosi seperti marah dan rasa
takut.
Fungsi lambung:
a. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh
peristaltik lambung dan getah lambung.
b. Getah cerna lambung yang dihasilkan :
i. Pepsin, fungsinya memecah putih telur menjadi asam amino (albumin
dan pepton).
ii. Asam garam (HCL), fungsinya mengasamkan makanan, sebagai
antiseptic dan desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen
sehingga menjaddi pepsin.
iii. Renin, fungsinya sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk
kasein dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).
iv. Lapisan lambung jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam lemak
yang merangsang sekresi getah lambung.
2. Pankreas
Panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari deudenum sampai ke
limpa. Bagian dari pankreas : kaput pankreas, terletak di sebelah kanan rongga
abdomen dan di dalam lekukan deudenum yang melingkarinya. Korpus pankreas,
merupakan bagian utama dari organ ini, letaknya dibelakang lambung dan di
depan vertebra umbalis pertama. Ekor pankreas, bagian runcing di sebelah kiri
menyentuh limpa.
3. Usus Halus
Usus halus atau intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan
makanan yang berpangkal pada pylorus dan berakhir pada sekum panjangnya ± 6
m, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorpsi hasil
pencernaan yang terdiri dari lapisan usus halus (lapisan mukosa (sebelah di
dalam), lapisan otot melingkar (M.sirkuler), lapisan otot memanjang (M.
longitudinal), dan lapisan serosa (sebelah luar)).
Absorpsi makanan yang sudah dicerna seluruhnya berlangsung di dalam
usus halus melalui 2 saluran yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan seluruh

10
limfe di sebelah dalam permukaan vili usus. Sebuah vilus berisi lakteal, pembuluh
darah epitelium dan jaringan otot yang diikat bersama oleh jaringan limfoid
seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium. Karena vili keluar
dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair dan lemak yang
diabsorpsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke
dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena porta dibawa ke hati untuk
mengalami beberapa perubahan.
Fungsi usus halus:
a. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui
kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe.
b. Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
c. Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida.
4. Duodenum
Duodenum disebut juga usus 12 jari, panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu
kuda melengkung ke kiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas. Pada bagian
kanan duodenum ini terdapat selaput lendir, yang membukit disebut papilla vateri.
Pada papilla vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran
pankreas (duktus pankreatikus).
Empedu dibuat di hati untuk dikeluarkan ke duodenum melalui duktus
koledokus yang fungsinya mengemulsikan lemak, dengan bantuan lipase.
Pankreas juga menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang
menjadi disakarida, dan tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi asam
amino atau albumin dan polipeptida.
Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung
kelenjar, kelenjar ini disebut kelenjar-kelenjar Brunner, berfungsi untuk
memproduksi getah intestinum.
5. Jejunum dan ileum
Jejunum dan ileum mempunyai panjang sekitar 6 m. Dua perlima bagian
atas adalah jejunum dengan panjang ± 23 m, dan ileum dengan panjang 4-5 m.
Lekukan jejunum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan

11
perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai
mesenterium.
Sambungan antara jejunum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas.
Ujung bawah ileum berhubungan dengan sekum dengan perantaraan lubang yang
bernama orifisium ileosekalis. Orifisium ini diperkuat oleh sfingter ileosekalis dan
pada bagian ini terdapat katup valvula sekalis valvula baukhini yang berfungsi
untuk mencegah cairan dalam kolon asenden tidak masuk kembali ke ileum.
6. Usus Besar
Usus besar atau intestinum mayor panjangnya ± 1 ½ m, lebarnya 5- 6 cm.
Lapisan-lapisan usus besar dari dalam keluar : selaput lendir, lapisan otot
melingkar, lapisan otot memanjang, jaringan ikat. Fungsi usus besar adalah
menyerap air dari makanan, tempat tinggal bakteri.
7. Sekum
Dibawah sekum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk seperti
cacing sehingga disebut juga umbai cacing, panjangnya 6 cm. Seluruhnya ditutupi
oleh peritoneum mudah bergerak walaupun tidak mempunyai mesenterium dan
dapat diraba melalui dinding abdomen pada orang yang masih hidup.
8. Kolon asendens
Panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kanan, membujur ke
atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini
disebut fleksura hepatika, dilanjutkan sebagai kolon transversum.
9. Apendiks
Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung sekum,
mempunyai pintu keluar yang sempit tetapi masih memungkinkan dapat dilewati
oleh beberapa isi usus. Apendiks tergantung menyilang pada linea terminalis
masuk ke dalam rongga pelvis minor, terletak horizontal dibelakang sekum.
Sebagai suatu organ pertahanan terhadap infeksi kadang apendiks bereaksi secara
hebat dan hiperaktif yang bisa menimbulkan perforasi dindingnya ke dalam
rongga abdomen.
10. Kolon tranversum

12
Panjangnya ± 38 cm, membujur dari kolon desenden, berada dibawah
abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatika dan sebelah kiri terdapat
fleksura lienalis.
11. Kolon desendens
Panjangnya ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membujur dari
atas ke bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri, bersambung
dengan kolon sigmoid.
12. Kolon sigmoid
Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak miring
dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya
berhubungan dengan rektum.
13. Rektum
Rektum terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum
mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sacrum dan os
koksigis. Organ ini berfungsi untuk tempat penyimpanan feses sementara.
14. Anus
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum
dengan dunia luar (udara luar). Terletak didasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh
sfingter :
a. Sfingter ani interus (sebelah atas), bekerja tidak menurut kehendak.
b. Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menurut kehendak.
c. Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menurut kehendak. Defekasi
(buang air besar) didahului oleh transport. Feses ke dalam rektum yang
mengakibatkan ketegangan dinding rektum mengakibatkan rangsangan untuk
reflex defekasi sedangkan otot usus lainnya berkontraksi. M. Levator ani
relaksasi secara volunter dan tekanan ditimbulkan oleh otot-otot abdomen.

C. Embriologi
 Secra embriologis, saluran cerna bersal dari
 Foregut (faring-faring pernafasan bawah esofagus, lambung, sebagian
duodenum, hati, dan sistem bilier serta pankreas)

13
 Midgut (sebagian duodenum, jejunum, ileum, sekum, appendix, kolon
asendens sampai pertengahan 2/3 kolon transversum).
 Hindgut (meluas dari 1/3 kolon transversum s/d anus
 Penurunan rektum terjadi bersamaan dengan proses pemisahan urogenital dan anal
kanal pada minggu ke 8. Bila proses ini terganggu sering kali atresia ani disertai
dengan hubungan (fistel) saluran cerna ke saluran kencing. Otot dan saraf yang
menyusun pelvic floor biasanya terganggu. Semakin tinggi posisi atresinya maka
semakin tidak sempurna pertumbuhan (hipoplasia) otot dan persarafannya. Bila
pouch distal rektum bulat biasanya “tanpa fistel”
 Usus mulai terbentuk pada minggu keempat (primitif gut). Kegagalan perkembangan
yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau
supralevator. Sedangkan anomali letak rendah/infralevator berasal dari defek
perkembangan proktoderm dan lipatan genital.
 Pada anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan
otot spingter ekternus dan internus dapat tidak ada/rudimeter. “Flat bottom” pada
atresia ani akibat defisit muskular. (kelainan letak tinggi MAR berasosiasi dengan
kelainan pada sakrum dan hipoplasia otot levator). Dapat dilakukan EMG 9kontraksi
atau tidak ) dan cek sakrum ada/tidak.

D. Klasifikasi
 Klasifikasi yang digunakan sekarang berdasarkan ada/tidak fistula dan letak
(tinggi dan rendah). Terminologi letak tinggi intermediet dan rendah tidak akurat
dan membingungkan.
 Klasifikasi internasional (Melbourne) tahun 1970 membagi berdasarkan garis
pubococcygeus, dan garis yang melewati ischii (supra levator dan translevator)
 Letak tinggi : rektum berakir diatas m.levator ani (m.pubococcygeus)
 Letak intermediet : rektum terletak di m.levator ani
 Letak rendah : akiran rektum dibawah m.levator ani.

14
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresiaani dibagi 2
golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi
menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresiarektum, perineum datar, fistel tidak ada
dan pada invertogram: udara > 1 cmdari kulit. Golongan II pada laki – laki dibagi 5
kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan
padainvertogram: udara < 1 cm dari kulit.

Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu kelainan kloaka,
fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara
˃1 cm dari kulit. Golongan Iipada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum,
stenosis anus, fistel tidak ada. Dan pada invertogram : udara ˃1 cm dari kulit

15
E. Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur.
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan.
3. Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen genetik.
Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki
saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi
umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara
atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan
atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik

F. Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir,
seperti :
1. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada
gastrointestinal.
2. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.

G. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit
karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik,
sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari
bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan
struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal.
Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara
7-10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan
dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus
besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan

16
sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan
daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus. Atresia ani adalah suatu kelainan
bawaan, terdapat tiga letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M. puborektalis) dengan
jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung
rektum paling jauh 1 cm.

H. Manifestasi Klinik
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi
mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi. Pada golongan 3 hampir
selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala
bila bayi buang air besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di
kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul :
1) Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4) Perut kembung.
5) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

I. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pada anamnesis dapat ditemukan:
1. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
2. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
3. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan adalah letak
rendah
Menurut pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan cara :

17
1.Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila
a. Fistel perianaal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti atresia letak
rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih dahulu, setelah
8 minggu kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan
dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum ˂ 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah.
Akhiran rektum ˃ 1cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis,
rektrouretralis dan rektoperinealis.
2. bayi perempuan 90% atresia ani disertai dengan fistel
 Fistel perineal (+) → Minimal PSARP tanpa kolostomi
 Fistel vestibuler atau rektovaginal → kolostomi terlebih dahulu.
 Fistel (-) : invertogram.

J. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rektum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis

18
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus
urinarius.

K. Tata Laksana
Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :
a. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding
abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen
dari usus besar atau colon iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari
setelah lahir.
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan. Penundaan ini
dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan
bertambah baik status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah operasi, anak akan
mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah operasi BAB
berkurang frekuensinya dan agak padat.

L. Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2. Obstruksi intestinal
3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
4. Komplikasi jangka panjang :
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.

19
f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.(Betz & Sowden
2002)

20
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang wanita usia 4 hari suku Aceh datang dengan keluhan tidak ada lubang anus. Hal
ini dialami pasien ± 2 hari dari bayi lahir. Data yang didapatkan kejadian atresia ani timbul
dengan perbandingan 1 dari 5000 kelahiran hidup, dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta
dan tingkat kelahiran 35 per mil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan
penyakit atresia ani. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit atresia ani yang dirujuk setiap
tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan rasio laki-laki: perempuan adalah
4:1. Insidensi ini dipengaruhi oleh group etnik, untuk Afrika dan Amerika adalah 2,1 dalam
10.000 kelahiran, Caucassian 1,5 dalam 10.000 kelahiran dan Asia 2,8 dalam 10.000 kelahiran.
Menurut catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Pasien tidak
menunjukkan gejala apapun karena sesaat setelah lahir pasien diketahui lahir tanpa anus. Namun
menurut teori Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi
mekonium merupakan manifestasi klinis yang umum pada atresia ani. Gejala ini terdapat pada
penyumbatan yang lebih tinggi. Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita
sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari
(vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat
terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal.
Gejala yang akan timbul antara lain adalah mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah
kelahiran, tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi, mekonium keluar melalui
sebuah fistula atau anus yang letaknya salah, perut kembung dan bayi muntah-muntah pada umur
24-48 jam.
Saat ini pasien datang untuk menjalani operasi agar dapat mengeluarkan feses dari perut
sebelah samping tindakan dan pembuatan lubang anus. Operasi agar dapat mengeluarkan feses
dari perut sebelah samping disebut kolostomi. Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang
dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan
lubang biasanya sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Untuk anomali
tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir. Sedangkan tindakan pembuatan lubang
anus disebut PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty) yaitu anoplasty dan umumnya ditunda

21
9 sampai 12 bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar
dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah
berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal yang sama dengan pasien. Namun
menurut Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini yakni
ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga. Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah
satunya adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi
meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100
kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga
menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's
syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang
berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat
multigenik.
Pasien anak kelima. Selama hamil, ibu pasien rutin kontrol di bidan dan dokter
kandungan, selama hamil ibu pasien tidak pernah mengalami hipertensi, diabetes, sesak nafas,
demam, riwayat keputihan dan terjatuh saat hamil tidak ada.
Pasien lahir secara Normal di Bidan dengan BBL : 2500 gram, lahir menangis merintih,
gerakan aktif. Penurunan rektum terjadi bersamaan dengan proses pemisahan urogenital dan anal
kanal pada minggu ke 8. Bila proses ini terganggu sering kali atresia ani disertai dengan
hubungan (fistel) saluran cerna ke saluran kencing. Otot dan saraf yang menyusun pelvic floor
biasanya terganggu.
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik berupa ketiadaan anus. Tidak sedikit
dijumpai adanya kelainan cacat kongenital pada anus dimana anus tidak mempunyai lubang
untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat
kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa
terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.
Pasien dilakukan pemeriksaan penunjang berupa lopografi dengan kesimpulan kesan
Atresia ani letak tinggi. Lopografi dilakukan untuk menentukan derajat keparahan dari atresia
ani. Pemeriksaan penunjang lain yang juga dapat dilakukan adalah ultrasound terhadap abdomen
yang digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan

22
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor, pyelografi intra
vena yang digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
Klasifikasi yang digunakan sekarang berdasarkan ada/tidak fistula dan letak (tinggi dan
rendah). Terminologi letak tinggi intermediet dan rendah tidak akurat dan membingungkan.
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresiaani dibagi 2 golongan yang
dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan
yaitu kelainan fistel urin, atresiarektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram:
udara > 1 cmdari kulit. Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel
perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan padainvertogram: udara < 1 cm dari
kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu kelainan kloaka,
fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara
˃1 cm dari kulit. Golongan Iipada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum,
stenosis anus, fistel tidak ada. Dan pada invertogram : udara ˃1 cm dari kulit.
Pasien didiagnosis dengan Atresia ani letak tinggi tanpa fistel. Atresia ani atau anus
impeforata disebut sebagai malformasi anorektal, adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus
atau dengan anus tidak sempurna, termasuk agenesis ani, agenesis rekti dan atresia rekti.
Pasien mempunyai prognosis dubia ad malam. Semakin tinggi posisi atresinya maka
semakin tidak sempurna pertumbuhan (hipoplasia) otot dan persarafannya. Kegagalan
perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau
supralevator. Sedangkan anomali letak rendah/infralevator berasal dari defek perkembangan
proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya
tidak normal. Sedangkan otot spingter ekternus dan internus dapat tidak ada/rudimeter.

23
BAB V
KESIMPULAN
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi
anus, rektum, atau batas di antara keduanya. Atresia ani merupakan kelainan bawaan
(kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus. Atresia ani adalah tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal. Atresia ani
atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian
endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau
sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan
rektum.
Pasien atresia ani dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi
yaitu anomali rendah/infralevator, anatomi intermediet dan anatomi tinggi/supralevator.
Manifestasi klinis dari atresia ani adalah bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan
tidak terdapat defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi. Pada
golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius
dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul
diantaranya adalah mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran, tidak dapat
dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi, mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus
yang letaknya salah, perut kembung dan bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
.

24
DAFTAR PUSTAKA

Betz, C.L. & Sowden, L.A., 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri, Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Haryono, R., 2013. Penanganan Kejadian Atresia Ani Pada Anak. Jurnal Keperawatan

Notokusumo, 1(1), pp.55–61.

Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah, Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan

Keperawatan Padjajaran.

Richardson, C., 1977. Morphological Parameters of Intra-Uterine Growth Retardation in the

Newborn Lamb. Vet Rec.

Suriadi & Yuliani, R., 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak, Jakarta: Sagung Seto.

Wong, D.L., 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

25

Anda mungkin juga menyukai