Anda di halaman 1dari 56

Farmakologi obat-obat dalam penanganan Asma

Widyastiwi - Farmakologi II 1
ASMA
 Dari bahasa Yunani = Terengah-engah  menjelaskan
episode napas yang pendek.
 Penyakit pada sistem respirasi yang bersifat progresif,
dikarakterisasi dengan inflamasi dan hambatan saluran
respirasi serta bronkospasmus.
 Merupakan akibat reaksi hipersensitivitas alergi (aktivasi
mediator)
 Melibatkan : histamin, bradikinin, leukotrien, mast cells, eosinofil,
limfosit T, macrofag, neutrofil, dan sel epitel.
 akibat yang timbul dari aktivasi mediator :
 Produksi dan akumulasi mukus
 Obstruksi jalan respirasi
 Penurunan ventilasi alveoli

Widyastiwi - Farmakologi II 2
Widyastiwi - Farmakologi II 3
KARAKTERISTIK ASMA
Peningkatan respon saluran pernafasan
terhadap berbagai stimulus
bronchial hyperresponsiveness (BHR)

Kerusakan saluran nafas yg bersifat reversible


reversibility of airflow limitation may be incomplete in some
patients with asthma.

Inflamasi saluran pernafasan


wheezing, breathlessness, chest tightness, and coughing

Widyastiwi - Farmakologi II 4
PATOFISIOLOGI
Masuknya alergen ke dalam sal. respirasi

Rangsang sistem imun untuk membentuk


antibodi jenis IgE

IgE menempel di permukaan sel mastosit di


sepanjang saluran napas

Pembebasan mediator kimia (histamin,


leukotrien, prostaglandin, dll)

Bronkokonstriksi, udem kelenjar sub mukosa

Widyastiwi - Farmakologi II 5
Widyastiwi - Farmakologi II 6
MANIFESTASI KLINIK ASMA
 Dyspnea yang signifikan
 Batuk, terlebih pada waktu malam
 Pernapasan yang cepat dan dangkal
 Bunyi pernapasan (mengi, wheezing)
 Kerja respirasi  pembesaran otot rongga dada
 Anxietas / kegelisahan akibat ketidakmampuan
mendapat cukup oksigen

Widyastiwi - Farmakologi II 7
KLASIFIKASI
 Perlu diketahui sebagai pendekatan untuk
pengobatan asma
 Klasifikasi berdasarkan :
 Penyebab
 Organ yang diserang
 Waktu timbulnya gejala
 Keparahan

Widyastiwi - Farmakologi II 8
Berdasarkan penyebab:
 Asma alergi
 sejarah/ adanya riwayat penyakit alergi, memberikan
reaksi kulit positif pada pemberian antigen secara
intradermal, peningkatan IgE dalam serum, serta
memberikan reaksi positif pada uji inhalasi antigen
spesifik.
 Asma non-alergi (idiosinkrasi)
 seseorang tanpa sejarah alergi, uji kulit negatif, dan
kadar IgE dalam serumnya normal  penyakit sal.
Napas atas
 Campuran asma alergi dan non-alergi
 tidak dapat secara jelas dikelompokkan tetapi memiliki
penyebab diantara kedua kelompok tersebut.
Widyastiwi - Farmakologi II 9
Berdasarkan organ yg diserang:
 Asma bronkial
 serangan gangguan pernafasan dan terjadi kesulitan
ekspirasi karena penyempitan spesifik bronkus dan
pembengkakan mukosa yang disertai pengeluaran
lendir kental dari kelenjar bronkus

 Asma kardiak
 serangan gangguan pernafasan pada pasien penyakit
jantung akibat tidak berfungsinya bilik kiri jantung dan
bendungan paru-paru yang disebabkannya.

Widyastiwi - Farmakologi II 10
Berdasarkan waktu gejala:
 Asma musiman
 muncul pada musim tertentu musim hujan atau
musim semi

 Asma kronik
 gejala timbul terus menerus

 Asma intermitten
 gejala timbul secara berkala (dapat dalam hitungan
minggu, bulan, tahun)

Widyastiwi - Farmakologi II 11
Berdasarkan keparahan :
Klasifikasi Gejala per hari Gejala (malam)
Asma < sekali seminggu ≤ 2x sebulan
intermitten

Asma persisten > sekali seminggu > 2 x sebulan


ringan Serangan dapat
mempengaruhi aktivitas

Asma persisten Hampir setiap hari. Serangan > Sekali seminggu


sedang mempengaruhi aktivitas
Asma persisten Berkelanjutan. Aktivitas fisk Sering
parah terbatas

Widyastiwi - Farmakologi II 12
STIMULUS ASMA
a. Infeksi respiratori
 Virus syncytial respiratori, rhinovirus, infuenza,
parainfluenza, Mycoplasma pneumonia
Respon inflamatori terhadap infeksi viral diperkirakan
berhubungan langsung dengan peningkatan hiperreaktivitas
bronkus.

b. Allergen
 Serbuk sari, debu rumah tangga, kecoa, spora jamur, bulu
binatang.
Menyebabkan peningkatan hiperreaktivitas bronkial dengan
peningkatan terkenanya alergen.
Asma alergi tergantung pada respon IgE: adanya pelepasan
mediator kimia akibat degranulasi sel mast setelah terjadi reaksi
antigen-IgE.
Widyastiwi - Farmakologi II 13
STIMULUS ASMA
c. Lingkungan
 Udara dingin, kabut, asap tembakau.
Mekanisme yang terjadi diperkirakan akibat
kerusakan epitel dan inflamasi mukosa saluran
nafas.

d. Emosi
 Kecemasan, stress, tertawa
bronkokonstriksi dari faktor psikologis tampaknya
dimediasi utamanya melalui respon
parasimpatik yang berlebihan.
Widyastiwi - Farmakologi II 14
STIMULUS ASMA
e. Obat atau pengawet
 Aspirin/obat NSAID menghambat jalur siklooksigenase
 ACE inhibitor: menyebabkan batuk
 Beta bloker non selektif : menghambat adrenalin yang
dibutuhkan untuk bronkodilator
 Obat yang menyebabkan alergi: penisilin, sulfonamida
 Pengawet mengandung sulfit dapat menghambat jalur
siklooksigenase

Widyastiwi - Farmakologi II 15
STIMULUS ASMA
f. Stimulus pekerjaan
 pemanggang roti (tepung), petani & berkebun (serbuk
sari, debu), pekerja kimia (pewarna azo, antrakuinon,
etilendiamin), pekerja kayu (serbuk kayu)
Mekanisme: pelepasan mediator akibat degranulasi sel
mast

g. Asma nokturnal
Selama tidur pada malam hari.
Kegagalan fungsi paru-paru yang signifikan antara waktu
tidur dan bangun
 diurnal sekresi endogen kortisol dan sirkulasi epinefrin.

Widyastiwi - Farmakologi II 16
STIMULUS ASMA
h. Olahraga
Beratnya olahraga yang
dilakukan, temperatur
udara, kelembapan udara,
& keadaan obstruksi
saluran nafas

Widyastiwi - Farmakologi II 17
TUJUAN TERAPI ASMA
 Mempertahankan (mendekati) fungsi paru normal
 Mempertahankan level aktivitas normal
 Mencegah simptom yang kronis dan mengganggu
 Mencegah kembalinya asma yang lebih parah
 Menghindari efek yang tidak diinginkan dari obat
asma

Widyastiwi - Farmakologi II 18
PENANGANAN ASMA
Non farmakologi :
 Meningkatkan sanitasi rumah
 Tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung
alergen
 Menghindari binatang tertentu
 Berhenti merokok
 Menghindari obat pencetus asma
 Menghindari udara dingin dan asap pembakaran
 Latihan pernapasan
 Menggunakan ac selama musim semi.
Widyastiwi - Farmakologi II 19
PENANGANAN FARMAKOLOGI

RELIEVER CONTROLLER
• Bronkodilator • Antiinflamasi
agonis  steroid

Widyastiwi - Farmakologi II 20
Kerja Anti-Bronkospasmus
 Menurunkan jumlah ikatan IgE ke sel mastosit (Anti IgE)
 antibodi monoklonal (omalizumab)
 Mencegah degranulasi sel mastosit
 kromolin, nedokromil, agen simpatomimetik
 Memblok kerja produk yang dilepaskan oleh sel mastosit
 antihistamin, antagonis reseptor leukotrien
 Inhibisi pelepasan asetilkolin dari saraf vagal
 antagonis muskarinik
 Secara langsung merelaksasi otot polos sal. Napas
 teofilin, agen simpatomimetik

Widyastiwi - Farmakologi II 21
Kerja Menurunkan Responsivitas
Bronkus
 Peningkatan responsivitas  terkait dengan inflamasi.
 Strategi :
 Menurunkan paparan alergen
 Antiinflamasi : kortikosteroid (inhalasi)

Widyastiwi - Farmakologi II 22
Short term relievers vs
Long term controllers
 Beberapa obat memberikan efek keduanya :
 Teofilin (bronkodilator) memberikan efek penurunan
inflamasi dengan mencegah fungsi limfosit
 Kortikosteroid (antiinflamasi) memberikan efek
bronkodilasi
 Agonis  efektif dalam kontrol asma ketika dikombinasi
dengan kortikosteroid

Widyastiwi - Farmakologi II 23
OBAT ASMA
 Agonis  adrenergik
 Kortikosteroid
 Obat alternatif lain
 Metilxantin
 Antagonis kolinergik
 Antileukotrien
 Kromolin dan Nedokromil
 Anti IgE

Widyastiwi - Farmakologi II 24
Widyastiwi - Farmakologi II 25
AGONIS  ADRENERGIK
 Reseptor  dalam tubuh ?
 Bekerja sebagi bronkodilator melalui pendudukan
reseptor 2  agonis
 Merupakan pilihan utama untuk bronkodilator
 Berdasarkan waktu kerjanya :
 Short acting  terbutaline (Bricasma),
metaproterenol (Alupent ), salbutamol/albuterol
(Ventolin )
 Digunakan untuk meredakan asma secara cepat
 Long acting  salmeterol, formoterol (Berotec )
 Umumnya digunakan untuk profilaksis.

Widyastiwi - Farmakologi II 26
Widyastiwi - Farmakologi II 27
Mekanisme Kerja :
 Pendudukan agonis di reseptor 2 di saluran napas
menyebabkan serangkaian reaksi yang menyebabkan
relaksasi otot polos saluran napas  bronkodilatasi.
(Selain itu, terjadi inhibisi pelepasan mediator inflamasi)

Relaksasi otot
polos
Stimulus Peningkatan Stabilisasi
Aktivasi
reseptor AMP siklik membran sel
adenil siklase
adrenergik intraselular mast
Stimulasi otot
skelet

Widyastiwi - Farmakologi II 28
SHORT ACTING  ADRENERGIK
Albuterol, levalbuterol, metaproterenol, terbutaline,
pirbuterol
 Onset kerja cepat : 1 – 5 menit
 Durasi kerja : 2 – 6 jam
 Pilihan untuk meredakan bronkokonstriksi secara cepat
 Tidak digunakan sebagai terapi tunggal asma persisten
 Indikasi monoterapi hanya untuk : asma mild intermiten
 Efek samping : takikardi, hiperglikemi, hipokalemi.
 Minimalisir efek samping ?
 sediaan inhalasi

Widyastiwi - Farmakologi II 29
LONG ACTING  ADRENERGIK
Salmeterol, formoterol
 Selektivitas 2 tinggi, dengan durasi kerja sampai 12
jam.
 Lipofil, afinitas  di reseptor
 Umumnya tidak digunakan secara tunggal.
 Kombinasi dengan kortikosteroid.
 salmeterol-fluticasone
 formoterol-budesonide
 Tidak digunakan untuk gejala asma akut !

Widyastiwi - Farmakologi II 30
 bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol
jangka panjang.
 Obat golongan ini juga dipergunakan untuk mencegah
bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik.

 Efek samping : peningkatan detak jantung, aritmia


kardiak, dan efek CNS berkaitan dengan aktivasi
reseptor beta.

Widyastiwi - Farmakologi II 31
 Kontraindikasi :
 Alergi
 Aritmia jantung yang berhubungan dengan takikardia,
angina, aritmia ventrikular
 Takikardia atau blok jantung yang berhubungan dengan
intoksikasi digitalis
 Kerusakan otak
 Glaukoma sudut sempit

Widyastiwi - Farmakologi II 32
KORTIKOSTEROID
Beclomethasone, triamcinolone, flunisolide,
budesonide, fluticasone (inhalasi)
 Digunakan sejak 1950 untuk pengobatan asma.
 Karena efikasinya sebagai antiinflamasi yang luas
 MK :
 inhibisi produksi sitokin yang berperan dalam
inflamasi.
 Menurunkan reaktivitas bronkial dan menurunkan
frekuensi eksaserbasi asma bila diminum secara teratur
 Oral atau inhalasi

Widyastiwi - Farmakologi II 33
 Flutikason dan budesonid memiliki afinitas thd
reseptor lebih baik dibanding beklometason.

Penggunaan
 Kortikosteroid inhalasi : kontrol asma untuk pasien
yang tidak merespon terapi bronkodilator
 Kortikosteroid sistemik : umumnya untuk eksaserbasi
asma dan asma kronik parah.
 Umumnya digunakan prednison, metilprednisolon,
deksametason.
Widyastiwi - Farmakologi II 34
Obat Indikasi Kontraindikasi
Beklometason Asma yang tidak Hipersensitivitas
dipropionat terkontrol hanya
dengan bronkodilator
Budesonida Profilaksis gejala asma Hipersensitivitas,
bronkial, pengobatan TBC, dan infeksi
reguler asma untuk saluran nafas
dewasa dan anak >12 disebabkan bakteri
tahun dan jamur
Flutikason propionat Profilaksis asma
ringan sampai dengan
berat

Widyastiwi - Farmakologi II 35
Widyastiwi - Farmakologi II 36
Widyastiwi - Farmakologi II 37
Efek Samping (sistemik):
 Osteoporosis. Karena ?
 Hambatan absorpsi dan metabolisme kalsium.
 Cushing like syndrome : peningkatan distribusi lemak
tubuh, puffy face (moon face), jerawat, insomnia,
peningkatan nafsu makan*.
 Hiperglikemia*  hati-hati untuk pasien diabetes !
 Imunosupresi

Efek samping (inhalasi) :


 Kandidiasis orofaringeal

Widyastiwi - Farmakologi II 38
Berkumur / minum setelah menggunakan inhaler !
Widyastiwi - Farmakologi II 39
Widyastiwi - Farmakologi II 40
ANTAGONIS KOLINERGIK
Ipratoprium bromida, tiotropium bromida
 Mekanisme Kerja :
 Bronkospasmus diperantarai oleh sistem
parasimpatikus, yaitu pada reseptor muskarinik M3 di
paru
 Hambatan pada sistem kolinergik  bronkodilatasi

 Ditemukan lebih dulu dibanding agonis  adrenergik


 Efek lebih lambat, kurang poten dibanding agonis 
adrenergik

Widyastiwi - Farmakologi II 41
 Indikasi :
 Penggunaan terbatas, hanya untuk pasien yang tidak
toleran terhadap efek agonis  adrenergik.
 Untuk asma yang dinmediasi oleh kolinergik.
 Umumnya kurang poten pada kasus asma, kecuali bila
asma disertai COPD.

 Kombinasi dengan agonis  adrenergik :


 Hasil sedikit lebih baik dibanding kedua agen sendiri.
 Di pasaran : ipratropium + albuterol (Combivent)

Widyastiwi - Farmakologi II 42
Tiotropium (Spiriva)
 Disosiasi dengan reseptor lebih lambat dibanding
ipratoprium  dosis sekali sehari.

Widyastiwi - Farmakologi II 43
Metilxantin
teofilin, aminofilin
 Thea sinensis, Theobromin cacao, Coffea arabica ?
 Mengandung alkaloid teofilin, kafein, dan teobromin
 Golongan xantin termetilasi

 Mekanisme kerja  bronkodilator.


 Inhibisi PDE
 Antagonis reseptor adenosin
 Adenosin menyebabkan bronkokonstriksi dan menyebabkan
pelepasan mediator dari sel mastosit
Widyastiwi - Farmakologi II 44
Widyastiwi - Farmakologi II 45
 Indikasi :
 Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma
bronkial dan bronkospasma reversibel yang berkaitan
dengan bronkhitis kronik dan emfisema.

 Dulu merupakan terapi pilihan untuk bronkodilator,


namun karena efek samping dan jendela terapi yang
sempit, bukan menjadi pilihan.
 Banyak berinteraksi dengan banyak obat.
 Dapat digunakan hanya bila dapat dilakukan
pengukuran kadar darah plasma.

Widyastiwi - Farmakologi II 46
 Efek samping :
 < 20 mcg/mL : reaksi efek samping jarang terjadi
 > 20 mcg/mL : mual, muntah, diare, sakit kepala,
insomnia, iritabilitas.
 > 35 mcg/mL : hiperglisemia, hipotensi, aritmia
jantung, takikardia (lebih besar dari 10 mcg/mL pada
bayi prematur), seizure, kerusakan otak dan kematian.

Widyastiwi - Farmakologi II 47
ANTILEUKOTRIEN
Zafirlukast, Montelukast, Zileuton
 Produksi leukotrien dan okupasi reseptor  edema saluran
pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas
selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma.

 Mekanisme kerja :
 Zileuton  inhibisi 5-lipooksigenase
 Zafirlukast & montelukast  inhibisi reseptor leukotrien.
 Hambatan leukotrien menyebabkan terhambatnya reaksi
inflamasi.

Widyastiwi - Farmakologi II 50
Widyastiwi - Farmakologi II 51
 Zileuton paling jarang dipilih karena efek
hepatotoksiknya
 Montelukast > zafirlukast, karena memiliki
karakteristik farmakokinetik yang lebih baik.
penggunaan cukup sekali sehari.

Widyastiwi - Farmakologi II 52
Kromolin dan Nedokromil
 Mekanisme Kerja
 Stabilisasi membran sel mast.
 Bekerja dengan menginhibisi respon terhadap paparan
alergen, tetapi tidak menyebabkan bronkodilatasi.

 Inhalasi  untuk pasien yang terbangun dari tidur


disebabkan asma, asma musiman, asma yang disebabkan
alasan yang jelas seperti olah raga.

 Kromolin dan nedokromil diindikasikan untuk profilaksis


asma persisten ringan pada anak-anak dan dewasa tanpa
melihat etiologinya.
Widyastiwi - Farmakologi II 53
 Indikasi :
 Profilaksis serangan asma ringan – sedang
 tidak efektif untuk penanganan bronkokonstriksi akut.

 Penggunaan selama 2 – 3 bulan  menurunkan


hiperraktivitas bronkial

 Nedokromil > kromolin


 Nedokromil : untuk 12 tahun atau lebih
 Kromolin : bisa digunakan oleh anak-anak

 Efek samping : jarang dan minor (1 : 10.000)


Widyastiwi - Farmakologi II 54
Omalizumab (Anti-IgE)
 Rekombinan DNA (antibodi monoklonal) yang secara
selektif berikatan dengan IgE  menghambat
penempelan IgE ke sel mastosit dan basofil.
 Untuk asma sedang – berat yang tidak dapat dikontrol
oleh pengobatan konvensional
 Harga : $600 untuk vial 150 mg.
 Bukan terapi lini pertama.

Widyastiwi - Farmakologi II 55
Widyastiwi - Farmakologi II 56
CLINICAL SUMMARY
 Bronchodilating drugs, exemplified by the short-acting b2
adrenergic receptor agonists, are used acutely to reverse the
bronchospasm of an asthma attack.
 Antiinflammatory drugs such as inhaled glucocorticoids are
used to quell bronchial inflammation in an effort to reduce
the severity and frequency of asthma attacks.
 In hospitalized patients, a short course of systemic steroids
often is given, followed by a rapid taper.
 In patients who remain symptomatic despite inhaled
glucocorticoid therapy, long-acting b2 adrenergic receptor
agonists may be added to the steroid regimen with good
success.

Widyastiwi - Farmakologi II 57
 Once used widely, the methylxanthines now are used
much less frequently owing to modest efficacy and
narrow therapeutic window.
 Other newer agents are directed at specific
mechanisms underlying the initiation or progression
of asthma. These include the leukotriene-receptor
antagonists and the anti-IgE therapy omalizumab.
 Finally, the anticholinergic agent tiotropium was
approved recently for the treatment of COPD in the
United States.
(Goodman & Gilman)
Widyastiwi - Farmakologi II 58

Anda mungkin juga menyukai