DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema
atau gabungan keduanya (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas
yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut – turut,
tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara
secara kronis dan perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif
dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paruparu terhadap gas
EPIDEMIOLOGI
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi
pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di
dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga
sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian
tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka
prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura
dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.
Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga
DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersamasama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari
penyebab kematian terbanyak di Indonesia.Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia.
Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta
penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap.
Angka kematian sendiri juga semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK
Pertambahan penduduk
Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun
1990-an
Industrialisasi
Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia yang bertumpu di Puskesmas sampai di rumah sakit pusat
rujukan masih jauh dari fasilitas pelayanan untuk penyakit PPOK.
ETIOLOGI
Ada tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya COPD yaitu rokok, infeksi dan polusi, selain itu pula berhubungan dengan
faktor keturunan, alergi, umur serta predisposisi genetik, tetapi belum diketahui dengan jelas apakah faktor-faktor tersebut
1. Rokok >> Menurut buku report of the WHO expert comitte on smoking control, rokok adalah penyebab
utama timbulnya COPD. Secara fisiologis rokok berhubungan langsung dengan hiperflasia kelenjar mukosa
bronkusdanmetaplasia skuamulus epitel saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkanbronkokonstriksi
akut. Menurut Crofton & Doouglas merokok menimbulkan pula inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofage
alveolar dan surfaktan.
2. Infeksi >> Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang penderita bronchitiskoronis hampir selalu
menyebabkan infeksi paru bagian bawah, sertamenyebabkan kerusakan paru bertambah. Ekserbasi
bronchitis kronisdiperkirakan paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudianmenyebabkan infeksi
sekunder oleh bakteri
3. Polusi >> Polusi zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan brokhitis adalahzat pereduksi seperti CO2,
zat-zat pengoksidasi seperti N2O, hydrocarbon,aldehid dan ozon. (Ilmu penyakit dalam, 1996:755).
Ventilasi yang tidak memadai di alveoli karena adanya kelainan yang menambah kerja ventilasi yaitu dengan penambahan
Akibat infeksi dan iritasi yan menahun pada lumen bronkus, sebagian bronkus tertutup oleh secret yang berlebihan.
Intramular
Ekstramular.
Kelainan terjadi di luar saluran pernapasan. Destruksi dari jaringan paru mengakibatkan hilangnya kontraksi
radial dinding bronkus ditambahdengan hiperinflamasi jeringan paru menyebabkan penyempitan
salurannapas. (Kapita Selekta,1982:218)
MANIFESTASI KLINIS
tanda gejala yang umum muncul pada pasien dengan COPD atau PPOK adalah sebagai berikut:
Batuk produktif, pada awalnya intermiten, dan kemudian terjadi hampir tiap hari seiring waktu
sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukupurulent sesak sampai menggunakan
otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas Batuk dan ekspektorasi,dimana cenderung meningkat dan
maksimal pada pagi hari
Sesak nafas setelah beraktivitas berat terjadi seiring dengan berkembangnya penyakit pada keadaan yang
berat, sesak nafas bahkan terjadi dengan aktivitas minimal dan bahkan pada saat istirahat akibat semakin
memburuknya abnormalitas pertukaran udara.
Pada penyakit yang moderat hingga berat, pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan penurunan suara nafas,
ekspirasi yang memanjang, ronchi, dan hiperresonansi pada perkusi
Anoreksia
Takikardia, berkeringat
Hipoksia
Semua penyakit pernapasan dikaraktaristikan oleh obstruksi koronis pada aliran udara. Penyebab utama obstruksi
bermacam-macam, misalnya:
Pelengketan mukosa
Takipnea
Ortopnea (Doenges, 1999:152)
KLASIFIKASI
1. Asma bronkial: suatu penyakit yang ditandai dengan tanggapan reaksi yang meningkat dari trakea dan
bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernafas yang
disebabkan penyempitan menyeluruh dari saluran pernafasan.
2. Bronkitis kronik: gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus
dan dimanifestasikan dalam bentuk batuk kronis serta membentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun,
minimal 2 tahun berturut-turut.
3. Emfisema: perubahan anatomi parenkim paru ditandai dengan pelebaran dinding alveolus, duktus alveolar,
dan destruksi dinding alveolar (Muttaqin, 2008).
PATOFISIOLOGI
Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifkan makrofag dan sel epitel untuk melepaskan faktor kemotoktik
yang merekrut lebih banyak makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang
merusak ekemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak
berimbangnya antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi terhadap
perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl
hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena substansi ini dapat
Inflamasi kronik mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronkial, hipersekresi mukosa, peningkatan masa otot halus,
dan fibrosis. Terdapat pula disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mukus yang berlebihan
. Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai bronkitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada
parenkim paru, penghancuran elemen struktural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat
alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya
sokongan pada saluran udara kecil non- kartilago. Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran
nafas dan timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK
Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi aatu kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan pada
alveoli ini akan menyebabkan hypoksemia (PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah (V∕Q tidak
sesuai ). Ventilasi dari alveoli yang tidak berperfusi atau kurang berpefusi meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan
pembuangan CO2 yang tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi keadaan in, yang
kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi saluran nafas yang telah meningkat, pada
akhirnya proses ini gagal, dan terjadilah retensi CO2 (hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK berat.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan rutin
1) Faal paru
o Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : %
VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %. VEP1 merupakan parameter yang paling
umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri
tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
o Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. Setelah pemberian
bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 – 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau
APE, perubahan VEP1 atau APE <20% nilai awal dan < 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK
stabil
Radiologi >> Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema
terlihat gambaran : Hiperinflasi, Hiperlusen, Ruang retrosternal melebar, Diafragma mendatar, Jantung
menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance). Pada bronkitis kronik : Normal,
corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
1) Faal paru
Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT
meningkat
Sgaw meningkat
Jentera (treadmill)
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus
derajat ringan
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon)
sebanyak 30 – 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan
minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
Terutama untuk menilai: Gagal napas kronik stabil, Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6) Radiologi
o Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh
1) edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda
dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari
asma.
2) Obat- Obatan
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi
derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release )
atau obat berefek panjang ( longacting ). Macam – macam bronkodilator :
o Golongan antikolinergik >> Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
o Golongan agonis beta-2 >> Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip
o Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2 >> Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat
efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
o Golongan xantin >> Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega
napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka
Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan
inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi
jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
Antibiotika
o Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih : Amoksilin dan klavulanat, Sefalosporin generasi II & III injeksi,
Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas, Aminoglikose per injeksi, Kuinolon per
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N – asetilsistein. Dapat diberikan
pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi,
terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis
kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
Antitusif
3) Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian
terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel
Indikasi
Pao2 diantara 55 – 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55%
dan tanda – tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita
PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi
akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah
dibedakan :
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama
pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 – 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur
bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan
menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau
pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%. Pemilihan alat bantu ini disesuaikan
dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut.
5) Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi
yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi
pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara
kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal
feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxygen comsumption dan respons
ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat
menyebabkan kelelahan.
6) Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Program
dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori
terapis dan psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk mempertahankan fungsi paru, meningkatkan kualiti hidup,
mencegah eksaserbas. Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau dirumah
untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk
mempertahankan PPOK yang stabil. Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri
Terapi oksigen
Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada tanda eksaserbasi, efek samping obat.
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk
eksaserbasi sedang dan berat) Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang telah
Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator yang digunakan dari
bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebulizer
Menambahkan mukolitik
Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter. Penatalaksanaan eksaserbasi akut
di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat inap. Penanganan di ruang rawat untuk eksaserbasi sedang
dan berat (belum memerlukan ventilasi mekanik)
Terapi pembedahan
Bulektomi
Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey (LVRS) 3) Transplantasi paru
PENGKAJIAN
IDENTITAS KLIEN
Melliputi nama, usia, jenis kelamin, agama, alamat rumah, pendidikan terakhir, suku bangsa,
status perkawinan, pekerjaan, dan diagnosa medis.
Stress emosional.
Polusi udara.
3. Pemeriksaan fisik :
o Peningkatan dispnea.
o Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot abdominal, mengangkat bahu saat
o Takipnea.
o Batuk (mungkin produktif atau non produktif), dan perasaan dada seperti terikat.
o Mengi saat inspirasi maupun ekspirasi yang dapat terdengar tanpa stetoskop.
o Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang biasanya terjadi pada pagi hari.
o Sesak nafas
o Penampilan sianosis
o Pembengkakan umum atau “blue bloaters” (disebabkan oleh edema asistemik yang terjadi sebagai
Emphysema
o Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter thoraks anterior posterior meningkat
4) Pemeriksaan diagnostik
1. Kapasitas inspirasi menurun
3. FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif Penyakit Paru Obstruktif Kronik
o PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada astma. PH normal asidosis, alkalosis respiratorik
ringan sekunder.
Sputum :
Streptococcus pneumoniae.
Hemophylus influenzae.
Moraxella catarrhalis.
Radiologi :
o Thorax foto (AP dan lateral).
Gejala :
Dispnea pasa saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan Tanda :
Keletihan
Gelisah, insomnia
SIRKULASI
Gejala :
INTEGRITAS EGO
Gejala :
MAKANAN/CAIRAN
Gejala :
Mual/muntah
penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan meninjukkan edema (bronchitis)
Tanda :
Edema dependen
Berkeringat
HIGIENE
Gejala :
PERNAFASAN
Gejala :
Nafas pendek (timbul tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada emfisema) khususnya
pada kerja; cuaca atau episode berulangnya sulit nafas (asma); rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk
bernafas (asma) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun) selama
minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau, puith, atau kuning)
dapat banyak sekali (bronchitis kronis)
Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak produksi pada tahap dini meskipun dapat menjadi produktif
(emfisema)
Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia/iritan pernafasan dalam jangka panjang (mis.
Rokok sigaret) atau debu/asap (mis.asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji)
Tanda :
Pernafasan : biasanya cepat,dapat lambat; fase ekspresi memanjang dengan mendengkur, nafas bibir
(emfisema)
Bunyi nafas : mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema); menyebar, lembut atau krekels lembab
kasar (bronchitis); ronki, mengi sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi
berlanjut sampai penurunan atau tidak adanya bunyi nafas (asma)
Perkusi : Hiperesonan pada area paru (mis. Jebakan udara dengan emfisema); bunyi pekak pada area paru
(mis. Konsolidasi, cairan, mukosa)
Warna : pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku; abbu-abu keseluruhan; warna merah (bronchitis
kronis, “biru mengembung”). Pasien dengan emfisema sedang sering disebut “pink puffer” karena warna
kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
Tabuh pada jari-jari (emfisema)
KEAMANAN
Gejala :
Adanya/berulang infeksi
Kemerahan/berkeringat (asma)
SEKSUALITAS
INTERAKSI SOSIAL
Gejala :
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagosa keperawatan yang mungkin muncul pada Penyakit Paru Obstruktif Menahun antara
lain :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sputum ditandai dengan sesak
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma ditandai dengan gangguan
ventilasi
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan ekspresi nyeri, melaporkan nyeri secara
verbal
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis ditandai
dengan BB 20 % atau lebih dibawah normal
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen ditandai
dengan klien menyatakan merasa letih dan lemah.
6. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat, fungsi silia menurun/ statis sekret,
kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar, malnutrisi, terkontaminasi oleh lingkungan, kurang infeksi
tentang infeksi kuman.