Anda di halaman 1dari 9

KARAKTERISTIK SUARA DAN TINGKAH LAKU LUMBA-

LUMBA DENGAN METODE BIOAKUSTIK DI TELUK KILUAN,


LAMPUNG

KOLOKIUM

Oleh:

ANGGIT SAPTA RAUDINA


26020115130130

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Laut Indonesia memiliki keanekaragaman jenis cetacean yang tinggi, terdapat
sekitar 31 jenis paus dan lumba-lumba di perairan Indonesia dari total 86 jenis di dunia
(Tomascik et al., 1997). Lumba-lumba merupakan salah satu mamalia laut yang
dilindungi, sesuai dengan UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistem, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Hewan ini juga dilindungi dunia
dalam Apendix I Convention International in Trade Endangered Species (CITES),
sebuah perjanjian internasional tentang pembatasan perdagangan satwa yang
dilindungi.
Usaha konservasi terhadap mamalia laut membutuhkan data dan informasi yang
akurat dan terkini, sayangnya belum banyak peneliti Indonesia yang melakukan
penelitian mengenai mamalia laut ini. Penelitian mengenai mamalia laut di perairan
Indonesia tersebut justru banyak dilakukan oleh peneliti asing. Departemen Kelautan
dan Perikanan sendiri baru merintis penelitian tersebut melalui ‘Riset Inventarisasi
Mamalia Air’ pada tahun 2003 lalu. Salah satu penelitian yang banyak sekali dilakukan
oleh peneliti cetacean dunia adalah mengenai kemampuan bio-sonar Odontoceti yang
dapat mentransmisikan sinyal suara dan mendapatkan informasi mengenai lingkungan
sekitar dari pantulan suara tersebut.
Lumba-lumba dan sebagian besar paus bergigi lain mengandalkan sistem sonar
yang disebut ‘ekholokasi’ sebagai sensor utama mereka, karena akustik merupakan
sarana yang paling efektif dan efisien untuk berkomunikasi pada lingkungan perairan
(www.instruct1.cit.cornell.edu). Ekholokasi adalah kemampuan binatang untuk
mentransmisikan suara dan mendeteksi pantulan dari suara tersebut setelah berbenturan
dengan suatu objek (Simmonds et al., 2004). Mereka mentransmisikan sinyal akustik
dari nasal cavity pada bagian kepala dan menerima pantulannya dari rahang bawah.
Pantulan tersebut memungkinkan mereka untuk mengetahui bentuk, ukuran, tekstur,
dan jarak dari objek. Hal ini sangat berguna sebagai alat navigasi, untuk mencari
mangsa dan menghindar dari predator. Suara dengan durasi, panjang gelombang,
amplitudo, frekuensi, interval dan pola suara yang berbeda ditransmisikan untuk tujuan
yang berbeda pula. Suara yang ditransmisikan oleh lumba-lumba dibagi menjadi tiga
kategori; (1) click untuk ekholokasi, (2) burst sering dideskripsikan sebagai lengkingan
atau gonggongan, (3) whistle biasanya digunakan untuk komunikasi (Caldwell dan
Caldwell, 1990).
Penelitian mengenai hal tersebut telah dilakukan sejak akhir tahun 1950 dan
banyak dilakukan pada beberapa spesies Lumba-Lumba yang hidup dalam
penangkaran (captivity), namun belum dapat dipastikan bahwa sinyal yang
ditransmisikan oleh Lumba-Lumba yang hidup dalam penangkaran dapat mewakili
sinyal yang ditransmisikan oleh Lumba-Lumba liar yang hidup di laut lepas yang selalu
menggunakan ekholokasi untuk navigasi dan berburu mangsa. Penelitian ini
merupakan penelitian dasar untuk mengetahui karakter suara dari beberapa spesies
Lumba-Lumba di Perairan Teluk Kiluan, Lampung.

1.2. Perumusan Masalah


Cetacea, termasuk lumba-lumba sudah menjadi hewan buruan untuk dijadikan
bahan konsumsi dan lain-lain. Perburuan Cetacea secara terus menerus dapat
mengakibatkan berkurangnya populasi Cetacea di alam, meskipun perburuan
dilakukan secara tradisional (Faizah, et al., 2006). Di sisi lain, karakter suara yang
dihasilkan lumba-lumba dapat digunakan sebagai teknik untuk terapi pada anak-anak
yang memiliki masalah psikis maupun keterbelakangan mental atau autisme, dan juga
untuk penderita stroke.
Untuk mengetahui keberadaan populasi lumba-lumba diperlukan suatu informasi
awal yang akan berguna sebagai referensi untuk manajemen sumber daya laut dan
meningkatkan pemahaman mengenai ekologi lumba-lumba di habitat aslinya. Oleh
sebab itu untuk mengetahui jumlah, distribusi, dan tingkah laku dari lumba-lumba
sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak pengambil kebijakan
untuk mengadakan suatu kawasan perlindungan laut bagi lumba-lumba, maka
penelitian ini dilakukan.

1.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakter suara dan tingkah
laku dari beberapa spesies Lumba-Lumba di Perairan Teluk Kiluan, Lampung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Lumba-Lumba


Lumba-lumba, paus dan pesut merupakan mamalia laut yang termasuk dalam
ordo Cetacea, yang mempunyai dua sub-ordo yaitu Mysticeti dan Odontoceti. Paus
baleen adalah anggota dari sub-ordo Mysticeti, sedangkan paus bergigi (toothed whale)
termasuk dalam sub-ordo Odontoceti (Jefferson et al., 1993).
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Cetacea
Sub-ordo : Odontoceti
Famili : Delphinidae
Genus: Stenella
Spesies : Stenella longirostris-Gray, 1828 (Long-snouted spinner dolphin)
Stenella attenuata-Gray, 1846 (Pantropical spotted dolphin)
Genus: Tursiops
Spesies: Tursiops truncatus-Montagu, 1821 (Bottlenose dolphin)

2.2. Bioakustik Lumba-Lumba


Bioakustik adalah ilmu yang mempelajari suara yang diproduksi oleh binatang.
Banyak sekali biota laut yang dapat memproduksi suara, diantaranya beberapa spesies
Crustacea, ikan dan mamalia laut. Akustik merupakan sarana yang paling efektif dan
efisien untuk berkomunikasi pada lingkungan perairan, karena kecepatan suara di air
adalah 1500 m/s atau 4,5 kali lebih cepat daripada kecepatan suara di udara.
Odontoceti hidup di perairan dimana penglihatan bukan merupakan indera
utama, hal ini disebabkan oleh penetrasi cahaya yang tidak mencapai kedalaman laut
dalam. Pada kedalaman 200 meter penetrasi cahaya hamper hilang sama sekali. Karena
itu, mereka mengandalkan suara sebagai indera utama untuk komunikasi dan untuk
mengetahui kondisi lingkungan sekitar. Beberapa spesies lumba-lumba hidup di
perairan dengan visibilitas yang sangat rendah, seperti sungai dan estuari atau lautan
yang kaya akan plankton. Spesies tersebut sangat mengandalkan suara sebagai indera
utama mereka. Bahkan lumba-lumba yang hidup di Sungai Indus dan Gangga dapat
dikatakan buta, karena lensa mata mereka kurang dapat bekerja. Namun lumba-lumba
yang hidup di sungai tidak membutuhkan penglihatan untuk melakukan navigasi dan
mencari makanan, karena mereka memiliki sistem sonar yang berkembang dengan
sangat baik sehingga mereka dapat bertahan di perairan yang sangat keruh
(www.nationalzoo.si.edu). Menurut Caldwell dan Caldwell, 1990 suara lumba-lumba
dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) click untuk ekholokasi, (2) burst
sering dideskripsikan sebagai lengkingan atau gonggongan, (3) whistle biasanya
digunakan untuk komunikasi.

2.3. Produksi Suara oleh Lumba-Lumba


Dahulu para peneliti percaya bahwa suara yang diproduksi oleh lumba-lumba
berasal dari laring. Teori ini didukung karena lumba-lumba, seperti kebanyakan
mamalia lain termasuk kelelawar yang juga ber-ekholokasi, mempunyai laring yang
kompleks. Namun, studi anatomi lebih lanjut mematahkan teori ini. Peneliti
meletakkan hydrophone di sekitar kepala lumba-lumba ketika dia mentransmisikan
sonar. Penelitian ini membuktikan bahwa sumber suara berasal dari nasal sacs yang
terletak di belakang melon (www.instruct1.cit.cornell.edu).
Penelitian lain yang melibatkan dua peneliti dari dua bidang yang berbeda,
yaitu biologi dan fisiologi, menyebutkan bahwa pulsa suara diproduksi pada monkey
lips, yang terletak 2-3 cm di atas nasal sacs (Diamond, 1994). Mereka berhasil
menciptakan simulasi proses produksi suara lumba-lumba pada program komputer,
yang memperlihatkan pergetaran pada monkey lips ketika udara melewatinya, ketika
monkey lips bersentuhan, pulsa suara terbentuk. Setelah suara diproduksi, jaringan
lemak yang terdapat di dahi (melon) berfungsi sebagai lensa yang memfokuskan suara
menjadi narrow beam yang langsung diproyeksikan ke air (Goodson, 1990).
Ketika suara menyentuh suatu objek, sebagian energi dari gelombang suara
dipantulkan kembali ke lumba-lumba. Tulang yang terletak di bagian bawah rahang
menerima pantulan tersebut dan jaringan lemak di belakangnya mentransmisikan
pantulan tersebut ke telinga tengah kemudian ke otak. Gigi lumba-lumba dan syaraf
mandibular yang terhubung dengan tulang rahang dapat mentransmisikan informasi
tambahan ke otak lumba-lumba (Goodson, 1990). Segera setelah pantulan diterima,
lumba-lumba mentransmisikan sinyal yang baru. Waktu antar click dan pantulannya
memungkinkan mereka untuk mengetahui jarak dengan objek, variasi kekuatan suara
saat suara tersebut diterima di kedua sisi kepala lumba-lumba, memungkinkan mereka
untuk mengetahui arah dari pantulan tersebut. Dengan mentransmisikan click secara
bertutrut-turut dan menerima pantulannya, lumba-lumba dapat mendeteksi objek dan
mengetahui keadaan sekitar.
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian dilakukan selama 2 minggu berlokasi di Teluk Kiluan, Lampung
yang akan dilaksanakan pada tanggal 1-15 Agustus, 2018.

3.2. Alat dan Bahan


1. Wahana (Kapal Motor)
2. Hydrophone dan amplifier
3. Voice Recorder
4. Teropong Binokuler
5. GPS
6. Laptop & Charger
7. Jam Tangan
8. Papan Jalan
9. Lembar Pengamatan
10. Peta Bathimetri
11. Buku Identifikasi
12. Program analisis data
- Matlab 7.1
- ArcGis
- MSOffice 2016
- Wavelab 4.0

3.3. Metode
DAFTAR PUSTAKA

American Cetacean Society. ACS Cetacean Fact Sheet. http://www.acs-online.com


Caldwell, M. C. dan D. K. Caldwell. 1990. Review of the signature-whistle hypothesis
for the Alantic Bottlenose Dolphin. In S. Leatherwood dan
R. R. Reeves (ed.), The Bottlenose Dolphin. Academic Press, Inc. San Diego, CA. p
203-234.
Diamond, N. L. 1994. Dolphin sonar: a biologist and physicist team up to find the
source of sound beam.
http://findarticles.com/p/articles/mi_m1430/is_n10_v16/ai_15530658
Goodson, A.D. 1990. A proposed echolocation receptor for the Bottlenose Dolphin
(Tursiops truncatus): Modelling the receive directivity from tooth and lower jaw
geometry In J. A. Thomas dan R. A. Kastelein (ed.), Sensory abilities of cetaceans:
Laboratory and field evidence. Plenum Press. New York.
Jefferson T. A., S. Leatherwood, dan M. A. Webber. 1993. FAO species identification
guide: Marine mammals of the world. Food and Agriculture Organization of the
United Nations. Rome, Italy. vii+320 h.
Madsen, P. T., I. Kerr dan R. Payne. 2004. Source parameter estimates of echolocation
click from wild Pygmy Killer Whales (Feresa attenuata).
Simmonds, M., S. Dolman dan L. Weilgart. 2004. Ocean of noise 2004. Whale and
Dolphin Conservation Society Science Report. Sonar in Dolphins: an exploration
of the sonar system of Tursiops truncatus.
http://instruct1.cit.cornell.edu/courses/bionb424/students/ckr5/behavior.html
Thomas, J. A. dan C. W. Turl. 1990. Echolocation characteristics and range detection
threshold of a False Killer Whale (Pseudocora crassidens) In
J. A. Thomas dan R. A. Kastelein (ed.), Sensory abilities of cetaceans: Laboratory and
field evidence. Plenum Press. New York.

Anda mungkin juga menyukai