Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

BAB 1

1.1 Latar Belakang

Syok merupakan suatu kondisi tidak adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau

perfusi yang diakibatkan oleh gangguan hemodinamik. Gangguan hemodinamik tersebut

dapat berupa penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah

balik, penurunan pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung. Syok juga dapat

terjadi akibat dehidrasi jika kehilangan cairan tubuh lebih 20% BB (berat badan) atau

kehilangan darah ≥ 20% EBV (estimated blood volume).

Secara umum, syok dapat dibagi menjadi 4 kategori dasar, yakni; (1) syok

hipovolemik, adalah syok yang disebabkan oleh hilangnya volume darah atau plasma, (2)

syok kardiogenik, yakni syok yang dikaitkan dengan kegagalan pompa miokard, (3) syok

obstruktif, berupa kondisi syok yang disebabkan karena adanya obstruksi aliran darah

extrakardium, seperti yang terlihat pada pemasangan tamponade jantung, dan (4) syok

distributif, yakni syok yang ditandai dengan adanya proses yang hiperdinamis, seperti

vasodilatasi vaskular. Masing-masing darin keempat tipe syok di atas memiliki potensi untuk

menimbulkan kematian.

Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya volume plasma

diintravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang

menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan

dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok

hipovolemik yang paing sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok

hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh

berbagai trauma hebat pada organ-organ tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka

ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama.


Terapi syok hipovolemik bertujuan untuk restorasi volume intravaskuler, dengan

target utama mengembalikan tekanan darah, nadi, dan perfusi organ secara optimal. Bila

kondisi hipovolemia telah teratasi dengan baik, selanjutnya pasien dapat diberi agen

vasoaktif, seperti dopamine atau dobutamine. Penanganan syok hipovolemik adalah sebagai

berikut: 1. Tentukan defisit cairan 2. Atasi syok: cairan kristaloid 20 mL/kgBB dalam ½ - 1

jam, dapat diulang 3. Sisa defi sit: 50% dalam 8 jam pertama, 50% dalam 16 jam berikutnya

4. Cairan RL atau NaCl 0,9% 5. Kondisi hipovolemia telah teratasi/ hidrasi, apabila produksi

urin: 0,5 – 1 mL/ kgBB/jam.

1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang syok

hipovolemik.

BAB 2

DAFTAR PUSTAKA

2.1 Syok Hipovolemik

2.1.1 Definisi

Syok hipovolemik didefinisikan sebagai penurunan perfusi dan oksigenasi jaringan

disertai kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh hilangnya volume intravaskular akut akibat

berbagai keadaan bedah atau medis.

2.1.2 Etiologi

Penurunan volume intravaskular yang terjadi pada syok hipovolemik dapat disebabkan

oleh hilangnya darah, plasma atau cairan dan elektrolit (Tierney, 2001). Menurut Sudoyo et

al. (2009), penyebab syok hipovolemik, antara lain:

1. Kehilangan darah

a. Hematom subkapsular hati

b. Aneurisma aorta pecah

c. Perdarahan gastrointestinal

d. Trauma
2. Kehilangan plasma

a. Luka bakar luas

b. Pankreatitis

c. Deskuamasi kulit

d. Sindrom Dumping

3. Kehilangan cairan ekstraselular

a. Muntah (vomitus)

b. Dehidrasi

c. Diare

d. Terapi diuretik yang agresif

e. Diabetes insipidus

f. Insufisiensi adrenal

2.1.3 Patofisiologi

Respon dini terhadap kehilangan darah adalah mekanisme kompensasi tubuh yang

berupa vasokonstriksi di kulit, otot, dan sirkulasi viseral untuk menjaga aliran darah yang

cukup ke ginjal, jantung, dan otak. Respon terhadap berkurangnya volume sirkulasi akut

yang berkaitan dengan trauma adalah peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk

menjaga cardiac output. Dalam banyak kasus, takikardi adalah tanda syok paling awal yang

dapat diukur (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pelepasan katekolamin endogen akan meningkatkan tahanan vaskular perifer. Hal ini

akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan menurunkan tekanan nadi tetapi hanya

sedikit meningkatkan perfusi organ. Hormon-hormon lainnya yang bersifat vasoaktif

dilepaskan ke sirkulasi selama kondisi syok, termasuk histamin, bradikinin, dan sejumlah

prostanoid dan sitokin-sitokin lainnya. Substansi-substansi ini mempunyai pengaruh besar

terhadap mikrosirkulasi dan permeabilitas vaskular (American College of Surgeons

Committee on Trauma, 2008).


Pada syok perdarahan yang dini, mekanisme pengembalian darah vena dilakukan

dengan mekanisme kompensasi dari kontraksi volume darah dalam sistem vena yang tidak

berperan dalam pengaturan tekanan vena sistemik. Namun kompensasi mekanisme ini

terbatas. Metode yang paling efektif dalam mengembalikan cardiac output dan perfusi end-

organ adalah dengan menambah volume cairan tubuh/darah (American College of Surgeons

Committee on Trauma, 2008).

Pada tingkat selular, sel-sel dengan perfusi dan oksigenasi yang tidak memadai

mengalami kekurangan substrat esensial yang diperlukan untuk proses metabolisme aerobik

normal dan produksi energi. Pada tahap awal, terjadi kompensasi dengan proses pergantian

menjadi metabolisme anaerobik yang mengakibatkan pembentukan asam laktat dan

berkembang menjadi asidosis metabolik. Bila syok berkepanjangan dan pengaliran substrat

esensial untuk pembentukan ATP tidak memadai, maka membran sel akan kehilangan

Universitas Sumatera Utara 7 kemampuan untuk mempertahankan kekuatannya dan gradien

elektrik normal pun akan hilang (American College of Surgeons Committee on Trauma,

2008).

Pembengkakan retikulum endoplasma adalah tanda struktural pertama dari hipoksia

seluler, menyusul segera kerusakan mitokondria, robeknya lisosom, dan lepasnya enzim-

enzim yang mencerna elemen-elemen struktur intraseluler lainnya. Natrium dan air masuk

ke dalam sel dan terjadilah pembengkakan sel. Penumpukan kalium intraseluler juga terjadi.

Bila proses ini tidak membaik, maka akan terjadi kerusakan seluler yang progresif,

penambahan pembengkakan jaringan, dan kematian sel. Proses ini meningkatkan dampak

kehilangan darah dan hipoperfusi jaringan (American College of Surgeons Committee on

Trauma, 2008).

2.1.4 Gejala Klinis

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat nonperdarahan serta

perdarahan adalah sama meskipun ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok

(Baren et al., 2009).


Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah kurang

dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh.

Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan

menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum, syok hipovolemik menimbulkan gejala

peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin

dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat

(Hardisman, 2013).

Pasien hamil bisa saja menunjukkan tanda dan gejala syok hipovolemik yang atipikal

hingga kehilangan 1500 ml darah tanpa terjadi perubahan tekanan darah (Strickler, 2010).

Keparahan dari syok hipovolemik tidak hanya tergantung pada jumlah kehilangan

volume dan kecepatan kehilangan volume, tetapi juga usia dan status kesehatan individu

sebelumnya (Kelley, 2005).

Secara klinis, syok hipovolemik diklasifikasikan menjadi ringan, sedang dan berat.

Pada syok ringan, yaitu kehilangan volume darah 20%, vasokonstriksi Universitas Sumatera

Utara 8 dimulai dan distribusi aliran darah mulai terhambat. Pada syok sedang, yaitu

kehilangan volume darah 20-40%, terjadi penurunan perfusi ke beberapa organ seperti

ginjal, limpa, dan pankreas. Pada syok berat, dengan kehilangan volume darah lebih dari

40%, terjadi penurunan perfusi ke otak dan jantung (Kelley, 2005).

Perubahan dari syok hipovolemik ringan menjadi berat dapat terjadi bertahap atau

malah sangat cepat, terutama pada pasien lanjut dan yang memiliki penyakit berat (Baren et

al., 2009).

2.1.5 Diagnosa

Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan

hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan (Baren et al., 2009).

Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok hipovolemik berupa

penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah, peningkatan tahanan pembuluh darah,

dan penurunan tekanan vena sentral (Leksana, 2015).


Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok

hipovolemik tersebut dapat berupa pemeriksaan pengisian dan frekuensi nadi, tekanan darah,

pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-ujung jari, suhu dan turgor kulit (Hardisman,

2013).

Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme

kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal-awal terjadinya kehilangan

darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas

dan frekuensi jantung. Dengan demikian, pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat

dipertahankan. Namun kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuluh perifer

sehingga terjadi penurunan diastolik dan penurunan tekanan nadi. Oleh sebab itu,

pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting dilakukan karena pemeriksaan yang hanya

berdasarkan pada perubahan tekanan darah sistolik dan frekuensi nadi dapat menyebabkan

kesalahan atau keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan (Harisman, 2013).

Setelah pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis selanjutnya tergantung pada

penyebab yang mungkin pada hipovolemik dan stabilitas dari Universitas Sumatera Utara

10 kondisi pasien itu sendiri. Pemeriksaan laboratorium awal yang mungkin ditemukan pada

keadaan syok hipovolemik, antara lain (Schub dan March, 2014):

1. Complete Blood Count (CBC), mungkin terjadi penurunan hemoglobin, hematokrit dan

platelet.

2. Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan adanya disfungsi ginjal.

3. Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.

4. Produksi urin, mungkin <400 ml/hari atau tidak ada sama sekali.

5. Pulse oximetry, mungkin menunjukkan penurunan saturasi oksigen.

6. AGDA, mungkin mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.

7. Tes koagulasi, mungkin menunjukkan pemanjangan PT dan APTT.

Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain

(Kolecki dan Menckhoff, 2014):


1. Ultrasonografi, jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis.

2. Endoskopi dan gastric lavage, jika dicuriga adanya perdarahan gastrointestinal.

3. Pemeriksaan FAST, jika dicurigai terjadi cedera abdomen.

4. Pemeriksaan radiologi, jika dicuriga terjadi fraktur.

2.1.6 Komplikasi

Komplikasi dari syok hipovolemik meliputi sepsis, sindrom gawat napas akut,

koagulasi intravaskular diseminata, kegagalan multiorgan, hingga kematian (Greenberg,

2005).

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal pada syok hipovolemik meliputi penilaian ABC, yaitu pada

airway dan breathing, pastikan jalan napas paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang

adekuat. Pemberian oksigen tambahan dapat diberikan untuk mempertahankan saturasi

oksigen di atas 95%. Pada circulation, hal utama yang perlu diperhatikan adalah kontrol

perdarahan yang terlihat, lakukan akses intravena, dan nilai perfusi jaringan (American

College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Akses intravena dilakukan dengan memasang 2 kateter intravena ukuran besar

(minimal nomor 16) pada vena perifer. Lokasi terbaik untuk intravena perifer pada orang

dewasa adalah vena di lengan bawah atau kubiti. Namun, bila keadaan tidak memungkinkan

pada pembuluh darah perifer, maka dapat digunakan pembuluh darah sentral. Bila kaketer

intravena sudah terpasang, contoh darah diambil untuk pemeriksaan golongan darah dan

crossmatch, pemeriksaan laboratorium yang sesuai, dan tes kehamilan pada semua wanita

usia subur. (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Setelah akses intravena terpasang, selanjutnya dilakukan resusitasi cairan. Tujuan

resusitasi cairan adalah untuk mengganti volume darah yang hilang dan mengembalikan

perfusi organ (Kelley, 2005). Tahap awal terapi dilakukan dengan memberikan bolus cairan

secepatnya. Dosis umumnya 1-2 liter untuk dewasa. Cairan resusitasi yang digunakan adalah
cairan isotonik NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan

dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamik (Hardisman, 2013).

Jumlah darah dan cairan yang diperlukan untuk resusitasi sulit diprediksi dalam

evaluasi awal pasien. Namun, Tabel 2.2 dapat menjadi panduan untuk menentukan

kehilangan volume darah yang harus digantikan. Adalah sangat penting untuk menilai

respon pasien terhadap resusitasi cairan dengan adanya bukti perfusi dan oksigenasi yang

adekuat, yaitu produksi urin, tingkat kesadaran, dan perfusi perifer serta kembalinya tekanan

darah yang normal (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Jika setelah pemberian cairan tidak terjadi perbaikan tanda-tanda hemodinamik,

maka dapat dipersiapkan untuk memberi transfusi darah (Harisman, 2013). Tujuan utama

transfusi darah adalah untuk mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam

intravaskular (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Untuk melakukan transfusi, harus didasari dengan jumlah kehilangan perdarahan,

kemampuan kompensasi pasien, dan ketersediaan darah. Jika pasien sampai di IGD dengan

derajat syok yang berat dan golongan darah spesifik tidak Universitas Sumatera Utara 12

tersedia, maka dapat diberikan tranfusi darah dengan golongan O. Golongan darah spesifik

biasanya dapat tersedia dalam waktu 10-15 menit (Kelley, 2005).

Evaluasi harus dilakukan untuk melihat perbaikan pasien syok hipovolemik. Jumlah

produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif dari perfusi ginjal karena

menandakan aliran darah ke ginjal yang adekuat. Jumlah produksi urin yang normal sekitar

0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa (American College of Surgeons Committee on Trauma,

2008). Defisit basa juga dapat digunakan untuk evaluasi resusitasi, prediksi morbiditas serta

mortalitas pada pasien syok hipovolemik (Privette dan Dicker, 2013).

Anda mungkin juga menyukai