PENDAHULUAN
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap bahan makanan.1 The American
Academy of Allergy and Immunology dan The National Institute of Allergy and
suatu istilah umum untuk reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi
tersebut bisa merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan atau intoleransi
besar reaksi ini melalui reaksi hipersensitivitas tipe 1. Intoleransi makanan adalah
reaksi non-imunologik dan merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak
diiginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh zat yang terkandung
ikan, toksin yang disekresi oleh salmonella, shigela, dan kampilobakter), zat
farmakologik yang terkandung dalam makanan (misalnya kafein pada kopi, tiramin
1
Zakiudin M. Alergi makanan pada anak. Disampaikan pada Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
Ilmu Kesehatan Anak FKUI XLV, Jakarta, 18-19 Februari 2002.
1
pada keju), atau kelainan pada penjamu sendiri, misalnya gangguan metabolisme
makanan asam) dan rhinitis gustatory (rhinorea setelah memakan makanan pedas
atau panas).5
20-30% dari populasi umum dilaporkan alergi makanan, akantetapi alergi makanan
sesungguhnya hanya 6-8% pada anak dan 3-4% pada dewasa. Oleh karena itu,
reaksi simpang makanan atau intoleransi makanan sering dianggap sebagai alergi
kehidupan yakni 6% anak berumur kurang dari 3 tahun. Faktor genetik juga
menjadi alergi adalah 58% bila kedua orang tua atopik, 38% bila salah satu orang
tua atopik dan hanya 12,5% bila kedua orang tuanya tidak atopik. 8
ALERGEN MAKANAN
2
Niggenann B, Beyer K. Diagnosis of Food Allergy in Children: Toward a Standardization of
Food Chalange. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2007; 45: 399-404
3
Ariyanto H. Alergi makanan. Dalam: Arwin AP, Corry SM, penyunting. Buku ajar alergi
imunologi anak. Jakarta: BP IDAI, 1996. h. 204-14.
4
Hoffman KM, Sampson HA. Evaluation and management of patient with adverse reactions. Dalam:
Bierman CW, Pearlman DS, Shapiro GG, Busse WW, penyunting. Allergy, asthma, and
immunology from infancy to adulthood. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders, 1996. h. 665-84.
5
Mansoor DK, Sharma HP. Clinical presentations of food allergy. Pediatr Clin N Am.
2011;58:315–26
6
Wegrzyn AN. Future approach to food allergy. Pediatrics 2003; 111:1672-80.
7
Branum AM, Lukacs SL. Food allergy in U.S. children: trends in prevalence and hospitalizations.
NCHS Data Brief 2008;10:1–8.
8
Sukmawati, Sanoso H, Suandi IKG. Manifestasi Gastrointestinal Akibat Alergi Makanan. Sari
Pediatri. 2005;7(3):132 -5
2
Variasi makanan manusia di dunia sangat besar, namun hanya sedikit makanan
kacang tanah di Amerika Serikat dan Cina hampir sama namun sangat jarang
ditemukan alergi kacang tanah di Cina. Orang Cina lebih banyak makan kacang
tanah yang direbus atau digoreng sedangkan orang Amerika lebih banyak makan
kacang tanah yang digoreng kering (dry-roasted). Panas yang lebih tinggi pada
kacang tanah.9
alergenitas dari protein. Epitop sequential (terdiri dari asam amino berurutan dari
protein yang sama) tahan terhadap pemanasan, asam dan enzim degradasi sehingga
sulit kehilangan sifat alergenitasnya. Hal sebaliknya terjadi pada epitop non-
sequential (discontinuous) yaitu epitop yang mengandung asam amino dari protein
berbeda.4,10 Hal ini ditunjukkan pada anak-anak dengan alergi susu sapi yang
menetap ternyata memiliki IgE yang lebih tinggi pada epitop sequential dari protein
Sensitisasi alergen makanan dapat terjadi melalui dua cara yakni melalui
traktus intestinal (tipe 1) dan inhalasi (tipe 2). Sebagian besar alergen makanan tipe
1 adalah glikoprotein yang larut dalam air yang memiliki ukuran 10-70 kDa, stabil
dalam panas, asam dan enzim protease. Profilin, yang merupakan proporsi terbesar
dari alergen tipe 2 seringkali menunjukkan reaksi silang dengan tepung sari
9
Sampson HA. Update on food allergy. J Allergy Clin Immunol 2004; 113:805-19.
3
(pollen). Pasien seringkali tersensitisasi oleh tepung sari karena reaksi silang
daging ayam, daging babi, daging sapi, kentang, coklat, jagung, nasi,
diperantarai IgE, (2) alergi makanan yang tidak diperantarai IgE, dan (3) alergi
10
Breiteneder H, radauer C. A classification of plant food allergens. J Allergy Clin Immunol 2003;
113:821-30.
4
Tabel 1. Penyakit dicetuskan alergi makanan
5
Gambar 1. Klasifikasi efek samping makanan
Alergi makanan yang diperantarai IgE dengan karakteristik gejala onset akut
makanan. Munculnya kejadian dalam waktu cepat disebabkan oleh keberadaan IgE
spesifik alergen makanan pada permukaan sel mast dan basofil setelah sensitisasi
awal. Setelah paparan berikutnya, reaksi silang IgE dengan kaskade intraseluler
menyebabkan pelepasan mediator secara cepat dan onset akut. Mediator onset
Rhinokonjungtivitis
muncul sebagai gejala tunggal. Keterlibatan mata dan hidung seperti gatal
6
periocular, eritema, lakrimasi, disertai juga dengan bersin-bersin, gatal pada
hidung, dan rhinorea. Pada studi penelitian Bock, dkk pada 480 anak yang
oral, 39% dari 185 anak menunjukkan reaksi positif pada mata dan pernafasan.
Asma
Asma sendiri jarang muncul sebagai gejala klinis pada alergi makanan tapi biasanya
bagian dari gejala sistemik. Biasanya anak akan muncul dengan tampilan gejala
seperti batuk, wheezing dan dipsneu. Banyak laporan mengenai gejala asma yang
dicetuskan oleh allergen makanan melalui udara seperti uap yang berasal dari
Anafilaksis Gastrointestinal
Anafilaksis gastrointestinal ditandai oleh gejala seperti mual, nyeri abdomen, kram,
muntah, dan/atau diare. Biasanya disertai gejala IgE mediated pada sistem organ
lainnya. Gejala saluran cerna bagian atas biasanya muncul dalam waktu 2 menit
11
Bock SA, Atkins FM. Patterns of food hypersensitivity during sixteen years of
double-blind, placebo-controlled food challenges. J Pediatr 1990;117:561
12
Roberts G, Lack G. Relevance of inhalational exposure to food allergens. Curr Opin Allergy
Clin Immunol 2003;3:211.
13
Crespo JF, Pascual C, Dominguez C, et al. Allergic reactions associated with airborne fish
particles in IgE-mediated fish hypersensitive patients. Allergy 1995;50:257–61.
7
sampai 2 jam setelah allergen makanan dicerna, sedangkan gejala saluran cerna
bagian bawah dapat muncul lebih lambat yaitu 2-6 jam setelah dicerna.5,14
Reaksi Anafilaksis
Reaksi anafilaksis mengacu kepada reaksi cepat dan progresif berbagai sistem
organ, dimana gejala kulit, saluran nafas dan saluran cerna muncul lebih dulu, juga
disritmia. Hampir sepertiga reaksi anafilaksis yang diinduksi oleh makanan gejala
memperlihatkan pola yang bifasik, yaitu dapat muncul kembali berjam-jam setelah
gejala awal. Alergi makanan merupakan penyebab reaksi anafilaksis yang paling
banyak yaitu hampir sepertiga hingga setengah kasus antara lain disebabkan oleh
Dari data sebanyak 32 serial kasus anafilaksis akibat makanan, hampir 2/3
kasus terjadi pada remaja atau anak muda, hampir seluruhnya (96%) dengan asma,
94% diakibatkan oleh kacang, dan 90% nya tidak memerlukan atau delayed
pemberian epinefrin.5
bentuk jarang dari anafilaksis yang bermanifestasi hanya dengan olah fisik 2 sampai
makanan tanpa menimbulkan reaksi bila tidak melakukan olah fisik setelah dicerna.
Meskipun mekanisme yang mendasari hal ini belum jelas dipercaya diperantarai
14
Sampson HA. Adverse reactions to foods. In: Adkinson NF, Yunginger JW, Buss WW, et al,
editors. Middleton’s allergy: principles and practice. 6th edition. St Louis (MO): Mosby; 2003. p.
1619.
8
oleh mekanisme yang dimediasi oleh IgE yang dicetus setelah olah fisik yang
Bentuk alergi ini lebih sering terjadi pada perempuan dengan rentang usia
mulai dari akhir remaja sampai pertengahan 30-an dan biasanya terdapat penyakit
atopi lainnya seperti asma. Pasien biasanya bereaksi terhadap 1 atau 2 makanan,
yang paling sering adalah gandum, kerang, seledri, ikan, dan susu. Antibodi Ig E
food-specific sering ditemukan melalui skin prick test atau pemeriksaan IgE serum.
OAS juga dikenal dengan pollen-food allergy syndrome, merupakan reaksi yang
diperantarai IgE yang diamati pada hampir 50% pasien alergi serbuk sari setelah
Gejala klinis OAS berupa gatal-gatal yang muncul cepat, geli dan bengkak
ringan pada bibir, lidah, palatum, dan tenggorokan. Gejala terbatas pada orofaring
dan berkurang setelah beberapa menit setelah dicerna, kurang dari 10% kasus
Memasak atau memanaskan buah atau sayuran yang diduga dapat mengurangi
makan apel, cherry, pear, kentang, wortel, seledri atau kiwi. Pasien dengan alergi
ragweed dapat memperlihatkan gejala setelah makan melon atau pisang. Seledri
15
Sicherer SH, Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol 2010;125:S116–25.
9
atau mustard dapat mencetuskan gejala pada pasien alergi mugwort. Gejala dapat
Alergi makanan mempunyai peranan pada penyakit kronik seperti dermatitis atopi
melibatkan reaksi yang diperantarai IgE- dan non-IgE. Pasien dengan DA dan
penyakit ini berhubungan dengan food-responsive T cell pada tempat yang terlibat
berbagai mekanismu imunologi (IgE dan Tcell mediated). Pasien biasanya dengan
eosinophil terutama pada esophagus pada pasien dengan EE, sebaliknya bila
EG.5
usia. Manifestasi klinik pada EE berbeda berdasarkan usia, pada anak usia sangat
muda (median usia 2 tahun) munculan berupa sukar makan dan gagal tumbuh. Pada
10
anak yang lebih tua munculan berupa muntah (median usia 8.1 tahun) dan nyeri
perut (median usia 12.0 tahun), pada remaja sering dengan keluhan disfagi (median
usia 13.4 tahun) dengan kemungkinan “food impaction” (median usia 16.8 tahun).16
Pasien tidak memberikan respon dengan terapi antirefluks dan ini merupakan salah
satu kriteria menegakkan diagnosis EE. Kriteria lainnya adalah termasuk gejala
karakteristik dan terdapat lebih dari 15 eosinofil per LPB pada biopsy esophagus.
alergi (57%) dan alergi makanan yang diperantarai IgE (46%). Alergen makanan
Dari penelitian terhadap 381 anak dengan EE makanan yang paling sering menjadi
penyebab adalah susu sapi, telur, kedelai, jagung, gandum dan daging sapi.17 Target
eliminasi adalah makanan yang diduga sebagai penyebab atau eliminasi komplit
dan histologis.5
EG juga dapat terjadi disemua usia. Setiap segmen saluran cerna mulai dari
esophagus sampai kolon termasuk juga kandung empedu juga dapat terlibat, gejala
klinis bervariasi tergantung lokasi terjadinya inflamasi pada saluran cerna. Yang
paling sering berupa nyeri perut, mual, diare dan kehilangan berat badan sekunder
terhadap malabsorpsi. Pada bayi dapat berupa obstruksi outlet dengan muntah
proyektil setelah makan. Pada remaja gejala mirip dengan gejala pada irritable
16
Noel RJ, Putnam PE, Rothenberg ME. Eosinophilic esophagitis. N Engl J Med 2004;351:940.
17
Liacouras CA, Spergel JM, Ruchelli E, et al. Eosinophilic esophagitis: a 10 year experience in
381 children. Clin Gastroenterol Hepatol 2005;3:1198.
11
Cell Mediated Food Allergies
bersifat kronik biasanya diperantarai oleh sel T. Kelainan ini diantaranya adalah
Proctitis dan proctocolitis yang diinduksi oleh diet protein ditandai oleh T cell-
mediated eosinophilic inflammation pada kolon dan rectum. Kondisi ini sering
ditemukan pada bayi yang mendapat ASI usia 2-8 minggu, juga dapat ditemukan
pada bayi yang mendapat susu formula (susu sapi atau soya) tapi jarang terjadi.
Bayi tersebut dapat ditemukan dengan BAB berlendir dan berdarah tetapi tetap
peristaltic usus tetapi tidak selalu berupa diare. Dengan menghindari makanan
penyebab terutama susu sapi pada diet ibu memperlihatkan perbaikan gejala dalam
48 jam. Prognosis kelainan ini baik, gejala akan hilang setelah allergen dihindari
mulai 6 bulan sampai 2 tahun. Sekitar 25% pasien dengan kelainan ini memiliki
FPIES
18
Patenaude Y, Bernard C, Schreiber R, et al. Cow’s-milk-induced allergic colitis in an
exclusively breast-fed infant: diagnosed with ultrasound. Pediatr Radiol 2000;30:379.
19
Ravelli A, Villanacci V, Chiappa S, et al. Dietary protein-induced proctocolitis in childhood.
Am J Gastroenterol 2008;103:2605.
12
FPIES, food protein induced enterocolitis syndrome, merupakan bentuk berat dari
alergi makanan akibat Tcell mediated gastrointestinal. Sering didiagnosis pada bayi
usia 9 bulan dengan peak insiden antara 1 minggu dan 3 bulan. Tidak seperti pada
proctitis akibat diet protein, kebanyakan bayi dengan FPIES diberi susu sapi atau
susu soya dan jarang terjadi pada bayi yang mendapat ASI. Walaupun jarang
makanan lain juga dapat menyebabkan FPIES seperti biji-bijian (nasi, oat, dan
barley), sayuran (kentang manis, labu, string beans, dan buncis) atau ternak (ayam
dan kalkun).20,21 Pasien dengan FPIES, bila secara teratur mencerna makanan
penyebab muncul dengan gejala saluran cerna kronik seperti muntah, diare dan
hipoproteinemia. Gejala akan hilang bila makanan dihindari, walaupun butuh waktu
akan muncul kembali seperti muntah profuse dalam 2 jam setelah dicerna.19 Pasien
biasanya diantar ke IGD dengan sakit berat, syok dengan hipotensi dan lethargi
akibat dehidrasi akibat muntah profuse. Prognosis dari FPIES cukup bagus,
kebanyakan anak menjadi toleran terhadap makanan peneyebab saat suai 3 tahun.
Saat ini dapat dilakukan hospital based food challenge untuk menyatakan resolusi
dan toleransi.5
Celiac Disease
20
Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA, Wood RA, et al. Food protein-induced enterocolitis
syndrome caused by solid food proteins. Pediatrics 2003;111:829.
21
Sicherer SH. Food protein-induced enterocolitis syndrome: case presentations and management
lessons. J Allergy Clin Immunol 2005;115:149.
13
Penyakit kronik yang diperantarai oleh mekanisme imun non-IgE mediated adalah
celiac disease merupakan respon inflamasi yang diperantarai oleh sel T terhadap
gluten yang terdapat pada biji bijian seperti terigu, gandum hitam, barley, dan oat.
Gejala klinis berupa diare kronik, gagal tumbuh, perawakan pendek, malabsorpsi,
steatorrhea, atau tanda lain akibat kekurangan vitamin dan nutrient. Perubahan
histologi (atrofi vili) dari usus halus dan gejala akan membaik dalam beberapa
minggu sampai bulan bila makanan yang mengandung gluten disingkirkan dari diet
pasien.5
Sindrom Heiner
Sindrom Heiner juga dikenal dengan hemosiderosis pulmonal yang dicetus oleh
makanan, merupakan kelainan yang jarang pada bayi, merupakan sekunder akibat
intoleransi protein susu. Gejala dapat berupa batuk, demam berulang, wheezing,
spesifik susu. Deteksi antibody IgG spesifik terhadap makanan tertentu tidak akan
22
Moissidis I, Chaidaroon D, Vichyanond P. Milk-induced pulmonary disease in
infants (Heiner syndrome). Pediatr Allergy Immunol 2005;16(6):545–52.
23
Stapel SO, Asero R, Ballmer-Weber BK, et al. Testing for IgG4 against foods is not
recommended as a diagnostic tool: EAACI task force report. Allergy 2008;63:793–6.
14
DAFTAR PUSTAKA
15
12. Coulthard MG, Crosier J, Griffiths C, et al. Haemodialysing babies
weighing <8 kg with the Newcastle infant dialysis and ultrafiltration sistem
(Nidus): comparison with peritoneal and conventional haemodialysis.
Pediatr Nephrol 2014; 29:1873.
13. Gulati S, Lall N. Hemodialysis in Children: A Simplified Approach.
JIMSA. 2012;25(2):101-5
14. North American Pediatric Renal Trials and Collaborative Studies 2011
Annual Dialysis Report. Diakses pada 27 Juni 2017.
https://web.emmes.com/study/ped/annlrept/annualrept2011.pdf
15. Chand DH, Brier M, Strife CF. Comparison of vascular access type in
pediatric hemodialysis patients with respect to urea clearance, anemia
management, and serum albumin concentration. Am J Kidney Dis
2005;45:303.
16. Fischbach M, Edefonti A, Schröder C, et al. Hemodialysis in children:
general practical guidelines. Pediatr Nephrol 2005; 20:1054.
17. Chand DH, Bednarz D, Eagleton M, Krajewski L. A vascular access team
can increase AV fistula creation in pediatric ESRD patients: a single center
experience. Semin Dial 2009; 22:679.
16