Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PERBEDAAN RUKUN, WAJIB & SYARAT HAJI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas


Mata Kuliah Fiqh I

Disusun Oleh:

1. Andri Septian 15631004

PROGRAM STUDI PERBANK`AN SYARI`AH


FAKULTAS SYARI`AH & TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM CURUP
STAIN(CURUP)
2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas limpahan rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan karya

ilmiah ini dengan judul “ Perbedaan Rukun,Wajib dan Syarat Haji”. Karya

ilmiah ini disusun dengan maksud untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

Bahasa Indonesia.

Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis banyak memperoleh bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Maka dari itu penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada :

1. Bapak Abdul Hamid selaku dosen mata kuliah Bahasa Indonesia.

2. Seluruh teman yang telah banyak membantu.

Penulis menyadari dalam penyusunan karya ilmiah ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya

membangun guna sempurnanya karya ilmiah ini. Penulis berharap karya ilmiah

ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
A.Rukun Haji

Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima. Ibadah haji merupakan bentuk
ibadah tahunan yang dilaksanakan di Mekkah bersamaan dengan seluruh
muslim di dunia.

Ibadah haji hanya diwajibkan bagi yang mampu. Namun seharusnya setiap
orang sudah berniat untuk melaksanakan ibadah haji. Agar Allah memudahkan
jalan kita untuk dapat beribadah haji ke tanah suci Mekkah.

Dalam ibadah haji terdapat 6 rukun haji yang harus dilaksanakan sesuai
urutannya. Urutan rukun haji yaitu ihram, wukuf, tawaf ifadah, sa’i, tahallul dan
tertib. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Ihram

Ihram yaitu niat untuk masuk ke dalam manasik haji. Jika ada yang
meninggalkan ihram, maka hajinya tidak sah. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat dan setiap orang akan
mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Wajib ihram ada tiga yaitu:

1. Ihram sejak dari miqot.


2. Tidak memakai pakaian yang ada jahitannya (yang menunjukkan lekuk
anggota tubuh). Untuk laki-laki dilarang memakai baju, mantel, jubah,
imamah, penutup kepala, khuf atau sepatu. Untuk wanita tidak boleh
memakai cadar atau niqob dan juga sarung tangan.
3. Bertalbiyah.

Adapun sunnah ihram yaitu:

1. Mandi.
2. Memakai minyak atau wewangian.
3. Memotong bulu ketiak, bulu kemaluan, memendekkan kumis, memotong
kuku sehingga ketika dalam keadaan ihram tidak perlu lagi
membersihkan hal tadi, bahkan itu dilarang saat ihram.
4. Untuk laki-laki Memakai izar atau sarung dan rida’ atau kain atasan
berwarna putih bersih dan memakai sandal. Sedangkan untuk wanita
boleh memakai pakaian apa saja yang disukainya, tidak harus warna
tertentu, asal tidak menyerupai pakaian laki-laki dan tidak pula
menimbulkan fitnah.
5. Berniat ihram setelah sholat.
6. Memperbanyak bacaan talbiyah.

Lafazh talbiyah:

َ‫َلَ ش َِريْكَ لَك‬. ُ‫إِ َّن ال َح ْمدَ َوالنِِّ ْع َمةَ لَكَ َوال ُم ْلك‬. َ‫لَبَّيْكَ ََل ش َِريْكَ لَكَ لَبَّيْك‬. َ‫لَبَّيْكَ اللَّ ُه َّم لَبَّيْك‬

“Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syariika laka labbaik. Innalhamda


wan ni’mata, laka wal mulk, laa syariika lak”.

(Aku menjawab panggilan-Mu ya Allah, aku menjawab panggilan-Mu, aku


menjawab panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku menjawab panggilan-Mu.
Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada
sekutu bagi-Mu). Ketika bertalbiyah, laki-laki disunnahkan mengeraskan suara.

2. Wukuf di Padang Arafah

Wukuf di padang Arafah merupakan rukun haji yang terpenting. Orang yang
tidak melaksanakan wukuf, berarti hajinya tidak sah.

Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa wukuf di padang Arafah
merupakan bagian dari rukun haji dan barangsiapa yang luput atau
meninggalkannya, maka harus ada haji pengganti atau hajinya diulang tahun
berikutnya.”
Nabi bersabda,

“Haji adalah wukuf di Arafah.” (HR. An Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu
Majah no. 3015. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Yang dimaksud wukuf yaitu hadir dan diam berada di daerah Arafah, baik itu
dalam keadaan sadar, tertidur, berkendaraan, duduk, berjalan atau berbaring,
entah itu dalam keadaan suci atau tidak suci (junub, haidh, nifas) (Fiqih Sunnah,
1:494).

Waktu wukuf dimulai dari matahari tergelincir atau waktu zawal pada hari
Arafah tanggal 9 Dzulhijjah sampai waktu terbit fajar Subuh pada hari nahr
tanggal 10 Dzulhijjah. Jika wukuf dilaksanakan selain pada waktu tersebut,
maka wukufnya tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama.
3. Tawaf Ifadah

Tawaf yaitu mengitari Ka’bah sebanyak 7 kali. Allah berfirman,

“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang


tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)

Syarat-syarat tawaf:

1. Niat melakukan tawaf


2. Suci dari hadats (pendapat mayoritas ulama)
3. Menutup aurat karena sama seperti sholat
4. Tawaf dilakukan di dalam masjid, tak apa jauh dari Ka’bah juga
5. Ketika bertawaf, Ka’bah berada di sebelah kiri
6. Tujuh kali putaran
7. Dilakukan berturut-turut
8. Tawaf dimulai dari hajar aswad

4. Sa’i

Sa’i ialah berjalan dari Shofa ke Marwah dan sebaliknya dalam rangka ibadah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ى‬ َّ ‫علَ ْي ُك ُم ال‬


َ ‫س ْع‬ َ ‫َب‬ َّ ‫ا ْس َع ْوا ِإ َّن‬
َ ‫َّللاَ َكت‬

“Lakukanlah sa’i karena Allah mewajibkan kepada kalian untuk


melakukannya.” (HR. Ahmad 6: 421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa hadits tersebut hasan).

Syarat sa’i:

Niat.

a) Berurutan antara thowaf, lalu sa’i.


b) Dilakukan berturut-turut antara setiap putaran. Namun jika ada sela waktu
sebentar antara putaran, maka tidak mengapa, apalagi jika benar-benar
butuh.
c) Menyempurnakan hingga tujuh kali putaran.
d) Dilakukan setelah melakukan thowaf yang shahih.
5. Tahallul

Tahallul adalah diperbolehkannya kembali jemaah melakukan apa yang


dilarang saat ihram. Simbol dari tahallul yaitu minimal memotong rambut
sebanyak 3 helai, namun tidak jarang yang menggunduli rambutnya. Dengan
ini, maka apa yang dilarang saat ihram, menjadi boleh dilakukan.

Semua mazhab berpendapat bahwa tahallul merupakan wajib haji. Namun


mazhab syafi’i berpendapat kalau tahallul termasuk rukun haji.

6. Tertib

Tertib ialah mengerjakan semua rukun-rukun haji sesuai urutannya dan tidak
boleh ada yang terlewat. Tidak hanya haji, banyak ibadah dalam syariah
Islam yang memasukan tertib sebagai rukun dan biasanya menjadi rukun
terakhir.

Sedangkan rukun sendiri bermakna apa-apa yang harus dijalankan. Sehingga


dengan adanya rukun tertib, kita tidak boleh meloncati rukun-rukun yang
telah ditetapkan dan membuat umat Islam sedunia seragam dalam
menjalankan ibadah.
B.Wajib Haji

Ada beberapa wajib haji:

1. Ihram dari miqot.


2. Wukuf di Arafah hingga Maghrib bagi yang wukuf di siang hari.
3. Mabit di malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah) di Muzdalifah pada
sebagian besar malam yang ada.
4. Mabit di Mina pada hari-hari tasyriq.
5. Melempar jumroh secara berurutan.
6. Mencukur habis atau memendekkan rambut.
7. Thowaf wada’.

Jika wajib haji ditinggalkan, maka harus menunaikan dam.

Wajib pertama: Ihram dari miqot

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tempat-tempat miqot,


beliau bersabda,

ُ ‫ َو َم ْن َكانَ دُونَ ذَلِكَ فَ ِم ْن َحي‬، َ ‫ ِم َّم ْن أ َ َرادَ ْال َح َّج َو ْالعُ ْم َرة‬، ‫غي ِْره َِّن‬
، َ ‫ْث أ َ ْنشَأ‬ َ ‫ُه َّن لَ ُه َّن َو ِل َم ْن أَت َى‬
َ ‫علَ ْي ِه َّن ِم ْن‬
َ‫َحتَّى أ َ ْه ُل َم َّكةَ ِم ْن َم َّكة‬

“Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut


dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut jika hendak
melakukan ibadah haji dan umroh. Sedangkan mereka yang berada di dalam
batasan miqot, maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk
Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan
Muslim no. 1181)

Wajib kedua: Wukuf di Arafah hingga maghrib bagi yang mulai wukuf di
siang hari

Karena dalam hadits Jabir yang menceritakan cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan manasik, beliau wukuf di Arafah hingga waktu Maghrib.
Wajib ketiga: Mabit di Muzdalifah

Alasan wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
mabit di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan berdzikir di
Masy’aril haram (Muzdalifah) dalam ayat,

‫َّللاَ ِع ْندَ ْال َم ْشعَ ِر ْال َح َر ِام‬


َّ ‫ت فَا ْذ ُك ُروا‬ ْ َ‫فَإِذَا أَف‬
َ ‫ضت ُ ْم ِم ْن‬
ٍ ‫ع َرفَا‬

“Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di
Masy’aril haram (Muzdalifah)” (QS. Al Baqarah: 198).

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

َ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – لَ ْيلَةَ ْال ُم ْزدَ ِلفَ ِة ِفى‬


‫ض َعفَ ِة أ َ ْه ِل ِه‬ ُّ ِ‫أَنَا ِم َّم ْن قَد ََّم النَّب‬
“Aku adalah di antara orang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dahulukan pada malam Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya.” (HR.
Bukhari no. 1678 dan Muslim no. 1295)

Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur,
maka ada kewajiban dam. Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur,
maka tidak ada dam. Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (8: 136)
berkata, “Wajib menunaikan dam bagi yang meninggalkan mabit (di
Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di sana adalah wajib. Dam di sini
ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun yang
mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah), ia
sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di Muzdalifah, maka tidak
ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang disepakati ulama Syafi’iyah.”

Jadi barangsiapa yang tidak mampu masuk Muzdalifah hingga terbit matahari
(keesokan harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga
tidak ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena
khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka ia tidak dikenai kewajiban dam
karena adanya uzur. Demikian fatwa dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin dan Al Lajnah Ad Daimah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).

Yang disebut telah melakukan mabit di Muzdalifah adalah bila telah bermalam
di sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari
itu. Di antara dalilnya adalah di mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di
Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan
bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika
ia bermalam hingga waktu Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati
(Lihat An Nawazil fil Hajj, 409-410). Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji
hanya melewati Muzdalifah tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa
adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga
sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat An Nawazil fil Hajj,
416-417).

Wajib keempat: Melempar Jumroh

Yang dimaksud di sini adalah melempar jumroh ‘Aqobah pada tanggal 10


Dzulhijah, melempar tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau 13
jika masih tetap di Mina). Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫علَ ْي ِه َو َم ْن ت َأ َ َّخ َر فَ ََل ِإثْ َم‬


‫علَ ْي ِه ِل َم ِن اتَّقَى َواتَّقُوا‬ َ ‫ت فَ َم ْن ت َ َع َّج َل ِفي َي ْو َمي ِْن فَ ََل ِإثْ َم‬
ٍ ‫َّللاَ ِفي أَي ٍَّام َم ْعدُودَا‬
َّ ‫َوا ْذ ُك ُروا‬
َ‫َّللاَ َوا ْعلَ ُموا أَنَّ ُك ْم ِإلَ ْي ِه تُحْ ش َُرون‬
َّ

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang


berbilang (hari tasyriq). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina)
sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin
menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula
baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan
ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah:
203). Yang dimaksud berdzikir di sini adalah dengan bertakbir ketika melempar
jumroh (Tafsir Al Jalalain, 41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah saat
melempar jumroh Aqobah dan dilakukan setelah terbit matahari. Sedangkan
pada hari-hari tasyriq adalah waktu melempar tiga jumroh lainnya (mulai dari
jumroh ula, lalu jumroh wustho dan jumroh aqobah) dan waktunya dimulai
setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal).

Wajib kelima: Mabit di Mina pada Hari-Hari Tasyriq

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam (mabit) di Mina selama


hari-hari tasyriq. Mabit ini dilakukan pada hari-hari tasyriq (ke-11, 12, dan 13
bagi yang masih ingin tetap di Mina). Yang disebut mabit adalah dilakukan
pada sebagian besar malam baik dimulai dari awal malam atau dari tengah
malam (Al Minhaj lii Muridil Hajj wal ‘Umroh, 133).
Wajib keenam: Mencukur atau Memendekkah Rambut

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini dalam


sabdanya,

‫ َو ْليَحْ ِل ْل‬، ‫ص ْر‬


ِّ ِ َ‫َو ْليُق‬

“Pendekkanlah rambut dan bertahallul-lah.” (HR. Bukhari no. 1691 dan


Muslim no. 1227)

Mencukur atau memendekkan merupakan ibadah wajib dan akan membuat


orang yang berhaji dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur
rambut di sini adalah bentuk merendahkan diri pada Allah karena telah
menghilangkan rambut yang menjadi hiasan dirinya. Allah Ta’ala telah
menyifati hamba-hamba-Nya yang sholeh,

َ ‫ُم َح ِلِّقِينَ ُر ُءو‬


ِّ ِ َ‫س ُك ْم َو ُمق‬
َ‫ص ِرين‬

“Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya” (QS. Al Fath: 27).


Mencukur (halq) adalah menggunakan silet (muws), sedangkan menggunakan
alat cukur selain itu berarti hanya memendekkan (taqshir). Mencukur rambut di
sini boleh diakhirkan hingga akhir hari nahr (10 Dzulhijjah). Namun jangan
diundur setelah itu karena sebagian ulama katakan seperti itu akan terkena dam
(Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 134-135).

Rambut dinamakan dicukur atau dipendekkan jika diambil dari semua rambut,
bukan hanya mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan
dinamakan halq (mencukur) atau qoshr (memendekkan) (Ar Rofiq fii Rihlatil
Hajj, 135).

Sedangkan wanita cukup memotong satu ruas jari dari ujung rambutnya yang
telah dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
Wajib ketujuh: Thowaf Wada’

Thowaf wada’ artinya thowaf ketika meninggalkan Ka’bah. Thowaf wada’ tidak
ada roml di dalamnya (Fiqih Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah
wajib karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini. Bagi
yang meninggalkan thowaf wada’, maka ia dikenai dam. Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ع ْه ِد ِه بِ ْالبَ ْي‬
‫ت‬ ِ َ‫الَ يَ ْن ِف َر َّن أ َ َحدٌ َحتَّى يَ ُكون‬
َ ‫آخ ُر‬

“Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah), sampai akhir dari ibadah


hajinya adalah thowaf di Ka’bah” (HR. Muslim no. 1327).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,

ِ ‫ع ِن ْال َم ْرأ َ ِة ْال َحا ِئ‬


‫ض‬ َ ‫ف‬ ِ ‫ع ْه ِد ِه ْم ِب ْال َب ْي‬
َ ِّ‫ت ِإالَّ أَنَّهُ ُخ ِف‬ ُ َّ‫أ ُ ِم َر الن‬
ِ َ‫اس أ َ ْن َي ُكون‬
َ ‫آخ ُر‬

“Orang-orang diperintah agar akhir urusan ibadah hajinya adalah dengan


thowaf di Ka’bah kecuali ada keringanan bagi wanita haidh.”(HR. Muslim no.
1328).

Sebagian ulama –seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
rahimahullah, mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu
sudah bisa mencukupi thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh
sendiri, lalu thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi,
jika dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup (Majmu’
Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17). Namun yang lebih hati-hati
dalam hal ini adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf
wada’ sendiri. Karena thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik
selesai, sedangkan setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang
belum menunaikan sa’i haji. Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati
(Mawqi’ Islam Web, fatwa no. 58685).

Thowaf wada’ ini dilakukan oleh selain penduduk Makkah. Adapun penduduk
Makkah dan wanita haidh tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan
tidak ada kewajiban apa-apa (Fiqih Sunnah, 1: 519).
C.Syarat Haji

1. Islam

Hal ini masuk dalam semua ibadah. Karena ibadah tidak sah dari orang kafir.
Berdasarkan firman Allah:

(54 :‫سو ِل ِه )سورة التوبة‬ َّ ‫َو َما َمنَ َع ُه ْم أ َ ْن ت ُ ْق َب َل ِم ْن ُه ْم نَفَقَات ُ ُه ْم ِإَل أَنَّ ُه ْم َكفَ ُروا ِب‬
ُ ‫اَّللِ َو ِب َر‬

"Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-
nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya." (QS.
At-Taubah: 54)

Dalam hadits Muaz, ketika Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengutusnya ke


Yaman, (beliau bersabda):

‫عوا‬ ُ ‫طا‬ َ َ ‫ فَإ ِ ْن ُه ْم أ‬، ِ‫َّللا‬


َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ َوأ َ ِنِّي َر‬، ُ‫َّللا‬َّ ‫ش َهادَةِ أ َ ْن َل إِلَهَ ِإَل‬
َ ‫ع ُه ْم ِإلَى‬ ِ ‫ِإنَّكَ ت َأْتِي قَ ْو ًما ِم ْن أ َ ْه ِل ْال ِكت َا‬
ُ ‫ب فَا ْد‬
‫عوا ِلذَلِكَ فَأ َ ْع ِل ْم ُه ْم‬ ُ ‫طا‬ َ َ ‫ فَإ ِ ْن ُه ْم أ‬، ‫ت فِي ُك ِِّل يَ ْو ٍم َولَ ْيلَ ٍة‬
ٍ ‫صلَ َوا‬
َ ‫س‬ َ ‫علَ ْي ِه ْم َخ ْم‬
َ ‫ض‬ َّ ‫ِلذَلِكَ فَأ َ ْع ِل ْم ُه ْم أ َ َّن‬
َ ‫َّللاَ ا ْفت ََر‬
(‫صدَقَةً تُؤْ َخذُ ِم ْن أ َ ْغنِيَائِ ِه ْم فَت ُ َردُّ فِي فُقَ َرائِ ِه ْم )متفق عليه‬ َ ‫علَ ْي ِه ْم‬
َ ‫ض‬ َّ ‫أ َ َّن‬
َ ‫َّللاَ ا ْفت ََر‬

"Sesungguhnya anda akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Maka ajaklah mereka
untuk menyaksikan bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Allah. dan saya adalah utusan Allah. kalau mereka telah mentaati hal itu, maka
beritahukan kepada mereka, bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat
lima waktu sehari semalam. Kalau mereka telah mentaati hal itu, maka
beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka
mengeluarkan zakat, diambil dari orang-orang kaya dan dibagikan kepada orang
fakir diantara mereka." (HR. Muttafaq alaih)

Orang kafir diperintahkan untuk masuk Islam terlebih dahulu. Jika dia telah
masuk Islam, maka kita perintahkan untuk melakukan shalat, puasa, zakat, haji
dan seluruh syariat Islam.

2,3. Berakal dan Balig

Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:

ِ ُ‫ع ْن ْال َمجْ ن‬


‫ون َحتَّى يَ ْع ِق َل‬ َ ‫ َو‬، ‫ي ِ َحتَّى يَحْ ت َ ِل َم‬ َّ ‫ع ْن ال‬
ِّ ِ‫صب‬ َ ‫ع ْن النَّائِ ِم َحتَّى يَ ْست َ ْي ِق‬
َ ‫ َو‬، ‫ظ‬ َ ‫ُرفِ َع ْالقَلَ ُم‬
َ ‫ع ْن ثََلثَةٍ؛‬

"Pena Diangkat (kewajiban digugurkan) dari tiga (golongan); Orang yang tidur
sampai bangun, anak kecil hingga bermimpi (baligh), dan orang gila hingga
berakal (sembuh)." (HR. Abu Daud, no. 4403, dishahihkan oleh Al-Albany
dalam shahih Abu Daud)
Maka anak kecil tidak diwajibkan haji. Akan tetapi kalau walinya
menghajikannya, maka hajinya sah dan pahala haji bagi anak kecil dan walinya
juga. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika ada seorang
wanita mengangkat anak kecilnya dan bertanya, "Apakah anak ini dapat
melakukan haji? Beliau menjawab, "Ya, dan bagimu mendapat pahala." (HR.
Muslim)

4. Merdeka. Seorang budak tidak diwajibkan haji, karena dia sibuk memenuhi
hak tuannya.

5. mampu

Allah berfirman:

َ ‫ع إِلَ ْي ِه‬
(97 :‫سبِيَل )سورة آل عمران‬ َ ‫طا‬ ِ ‫اس ِح ُّج ْالبَ ْي‬
َ َ ‫ت َم ْن ا ْست‬ ِ َّ‫علَى الن‬
َ ِ‫َو ِ ََّّلل‬

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah." (QS. Ali Imran: 97)

Hal ini mencakup kemampuan fisik dan kemampuan harta.

Kemampuan fisik artinya adalah berbadan sehat dan mampu menanggung


beban letih hingga ke Baitullah Al-Haram.

Sedangkan kemampuan harta adalah mempunyai nafkah yang dapat


mengantarkannya ke Baitullah pulang dan pergi.

Anda mungkin juga menyukai