Disusun Oleh:
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas limpahan rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini dengan judul “ Perbedaan Rukun,Wajib dan Syarat Haji”. Karya
ilmiah ini disusun dengan maksud untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Bahasa Indonesia.
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis banyak memperoleh bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Maka dari itu penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada :
Penulis menyadari dalam penyusunan karya ilmiah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya karya ilmiah ini. Penulis berharap karya ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
A.Rukun Haji
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima. Ibadah haji merupakan bentuk
ibadah tahunan yang dilaksanakan di Mekkah bersamaan dengan seluruh
muslim di dunia.
Ibadah haji hanya diwajibkan bagi yang mampu. Namun seharusnya setiap
orang sudah berniat untuk melaksanakan ibadah haji. Agar Allah memudahkan
jalan kita untuk dapat beribadah haji ke tanah suci Mekkah.
Dalam ibadah haji terdapat 6 rukun haji yang harus dilaksanakan sesuai
urutannya. Urutan rukun haji yaitu ihram, wukuf, tawaf ifadah, sa’i, tahallul dan
tertib. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Ihram
Ihram yaitu niat untuk masuk ke dalam manasik haji. Jika ada yang
meninggalkan ihram, maka hajinya tidak sah. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat dan setiap orang akan
mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
1. Mandi.
2. Memakai minyak atau wewangian.
3. Memotong bulu ketiak, bulu kemaluan, memendekkan kumis, memotong
kuku sehingga ketika dalam keadaan ihram tidak perlu lagi
membersihkan hal tadi, bahkan itu dilarang saat ihram.
4. Untuk laki-laki Memakai izar atau sarung dan rida’ atau kain atasan
berwarna putih bersih dan memakai sandal. Sedangkan untuk wanita
boleh memakai pakaian apa saja yang disukainya, tidak harus warna
tertentu, asal tidak menyerupai pakaian laki-laki dan tidak pula
menimbulkan fitnah.
5. Berniat ihram setelah sholat.
6. Memperbanyak bacaan talbiyah.
Lafazh talbiyah:
ََلَ ش َِريْكَ لَك. ُإِ َّن ال َح ْمدَ َوالنِِّ ْع َمةَ لَكَ َوال ُم ْلك. َلَبَّيْكَ ََل ش َِريْكَ لَكَ لَبَّيْك. َلَبَّيْكَ اللَّ ُه َّم لَبَّيْك
Wukuf di padang Arafah merupakan rukun haji yang terpenting. Orang yang
tidak melaksanakan wukuf, berarti hajinya tidak sah.
Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa wukuf di padang Arafah
merupakan bagian dari rukun haji dan barangsiapa yang luput atau
meninggalkannya, maka harus ada haji pengganti atau hajinya diulang tahun
berikutnya.”
Nabi bersabda,
“Haji adalah wukuf di Arafah.” (HR. An Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu
Majah no. 3015. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Yang dimaksud wukuf yaitu hadir dan diam berada di daerah Arafah, baik itu
dalam keadaan sadar, tertidur, berkendaraan, duduk, berjalan atau berbaring,
entah itu dalam keadaan suci atau tidak suci (junub, haidh, nifas) (Fiqih Sunnah,
1:494).
Waktu wukuf dimulai dari matahari tergelincir atau waktu zawal pada hari
Arafah tanggal 9 Dzulhijjah sampai waktu terbit fajar Subuh pada hari nahr
tanggal 10 Dzulhijjah. Jika wukuf dilaksanakan selain pada waktu tersebut,
maka wukufnya tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama.
3. Tawaf Ifadah
Syarat-syarat tawaf:
4. Sa’i
Sa’i ialah berjalan dari Shofa ke Marwah dan sebaliknya dalam rangka ibadah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Syarat sa’i:
Niat.
6. Tertib
Tertib ialah mengerjakan semua rukun-rukun haji sesuai urutannya dan tidak
boleh ada yang terlewat. Tidak hanya haji, banyak ibadah dalam syariah
Islam yang memasukan tertib sebagai rukun dan biasanya menjadi rukun
terakhir.
ُ َو َم ْن َكانَ دُونَ ذَلِكَ فَ ِم ْن َحي، َ ِم َّم ْن أ َ َرادَ ْال َح َّج َو ْالعُ ْم َرة، غي ِْره َِّن
، َ ْث أ َ ْنشَأ َ ُه َّن لَ ُه َّن َو ِل َم ْن أَت َى
َ علَ ْي ِه َّن ِم ْن
ََحتَّى أ َ ْه ُل َم َّكةَ ِم ْن َم َّكة
Wajib kedua: Wukuf di Arafah hingga maghrib bagi yang mulai wukuf di
siang hari
Karena dalam hadits Jabir yang menceritakan cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan manasik, beliau wukuf di Arafah hingga waktu Maghrib.
Wajib ketiga: Mabit di Muzdalifah
Alasan wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
mabit di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan berdzikir di
Masy’aril haram (Muzdalifah) dalam ayat,
“Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di
Masy’aril haram (Muzdalifah)” (QS. Al Baqarah: 198).
Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur,
maka ada kewajiban dam. Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur,
maka tidak ada dam. Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (8: 136)
berkata, “Wajib menunaikan dam bagi yang meninggalkan mabit (di
Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di sana adalah wajib. Dam di sini
ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun yang
mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah), ia
sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di Muzdalifah, maka tidak
ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang disepakati ulama Syafi’iyah.”
Jadi barangsiapa yang tidak mampu masuk Muzdalifah hingga terbit matahari
(keesokan harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga
tidak ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena
khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka ia tidak dikenai kewajiban dam
karena adanya uzur. Demikian fatwa dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin dan Al Lajnah Ad Daimah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).
Yang disebut telah melakukan mabit di Muzdalifah adalah bila telah bermalam
di sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari
itu. Di antara dalilnya adalah di mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di
Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan
bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika
ia bermalam hingga waktu Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati
(Lihat An Nawazil fil Hajj, 409-410). Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji
hanya melewati Muzdalifah tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa
adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga
sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat An Nawazil fil Hajj,
416-417).
Rambut dinamakan dicukur atau dipendekkan jika diambil dari semua rambut,
bukan hanya mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan
dinamakan halq (mencukur) atau qoshr (memendekkan) (Ar Rofiq fii Rihlatil
Hajj, 135).
Sedangkan wanita cukup memotong satu ruas jari dari ujung rambutnya yang
telah dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
Wajib ketujuh: Thowaf Wada’
Thowaf wada’ artinya thowaf ketika meninggalkan Ka’bah. Thowaf wada’ tidak
ada roml di dalamnya (Fiqih Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah
wajib karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini. Bagi
yang meninggalkan thowaf wada’, maka ia dikenai dam. Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ع ْه ِد ِه بِ ْالبَ ْي
ت ِ َالَ يَ ْن ِف َر َّن أ َ َحدٌ َحتَّى يَ ُكون
َ آخ ُر
Sebagian ulama –seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
rahimahullah, mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu
sudah bisa mencukupi thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh
sendiri, lalu thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi,
jika dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup (Majmu’
Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17). Namun yang lebih hati-hati
dalam hal ini adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf
wada’ sendiri. Karena thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik
selesai, sedangkan setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang
belum menunaikan sa’i haji. Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati
(Mawqi’ Islam Web, fatwa no. 58685).
Thowaf wada’ ini dilakukan oleh selain penduduk Makkah. Adapun penduduk
Makkah dan wanita haidh tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan
tidak ada kewajiban apa-apa (Fiqih Sunnah, 1: 519).
C.Syarat Haji
1. Islam
Hal ini masuk dalam semua ibadah. Karena ibadah tidak sah dari orang kafir.
Berdasarkan firman Allah:
(54 :سو ِل ِه )سورة التوبة َّ َو َما َمنَ َع ُه ْم أ َ ْن ت ُ ْق َب َل ِم ْن ُه ْم نَفَقَات ُ ُه ْم ِإَل أَنَّ ُه ْم َكفَ ُروا ِب
ُ اَّللِ َو ِب َر
"Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-
nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya." (QS.
At-Taubah: 54)
"Sesungguhnya anda akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Maka ajaklah mereka
untuk menyaksikan bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Allah. dan saya adalah utusan Allah. kalau mereka telah mentaati hal itu, maka
beritahukan kepada mereka, bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat
lima waktu sehari semalam. Kalau mereka telah mentaati hal itu, maka
beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka
mengeluarkan zakat, diambil dari orang-orang kaya dan dibagikan kepada orang
fakir diantara mereka." (HR. Muttafaq alaih)
Orang kafir diperintahkan untuk masuk Islam terlebih dahulu. Jika dia telah
masuk Islam, maka kita perintahkan untuk melakukan shalat, puasa, zakat, haji
dan seluruh syariat Islam.
"Pena Diangkat (kewajiban digugurkan) dari tiga (golongan); Orang yang tidur
sampai bangun, anak kecil hingga bermimpi (baligh), dan orang gila hingga
berakal (sembuh)." (HR. Abu Daud, no. 4403, dishahihkan oleh Al-Albany
dalam shahih Abu Daud)
Maka anak kecil tidak diwajibkan haji. Akan tetapi kalau walinya
menghajikannya, maka hajinya sah dan pahala haji bagi anak kecil dan walinya
juga. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika ada seorang
wanita mengangkat anak kecilnya dan bertanya, "Apakah anak ini dapat
melakukan haji? Beliau menjawab, "Ya, dan bagimu mendapat pahala." (HR.
Muslim)
4. Merdeka. Seorang budak tidak diwajibkan haji, karena dia sibuk memenuhi
hak tuannya.
5. mampu
Allah berfirman:
َ ع إِلَ ْي ِه
(97 :سبِيَل )سورة آل عمران َ طا ِ اس ِح ُّج ْالبَ ْي
َ َ ت َم ْن ا ْست ِ َّعلَى الن
َ َِو ِ ََّّلل
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah." (QS. Ali Imran: 97)