PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah penyimpangan progresif, fungsi ginjal
yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit mengalami kegagalan, yang
mengakibatkan uremia (Bruner & Suddart, 2002) dalam (Agustina, 2013)
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu spektrum berbagai proses
pathofisiologik berkaitan dengan kelainan fungsi ginjal disertai penurunan progresif
laju filtrasi glomerulus.(1)
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan masalah kesehatan masyarakat di
seluruh dunia dan kini diakui sebagai suatu kondisi umum yang dikaitkan dengan
peningkatan risiko penyakit. Berdasarkan estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO),
secara global lebih dari 500 juta orang mengalami Chronic Kidney Disease,
kemudian sekitar 1,5 juta orang harus menjalani hidup bergantung pada cuci darah
(hemodialisis).(Ratnawati,2014)
Dari beberapa penyakit tidak menular pada usia ≥15 tahun berdasakan pernah
didiagnosa dokter pada Riskesdas 2103 ditunjukkan bahwa prevalensi gagal ginjal
kronis berdasar diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2 persen. Prevalensi tertinggi
di Sulawesi Tengah sebesar 0,5 persen, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara
masing-masing 0,4 persen. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan,
Lampung, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, masing–
masing 0,3 persen.(Riskerdas,2013)
Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) memerlukan berbagai penanganan
medis, diantaranya adalah dialysis peritonial atau hemofiltrasi, pembatasan cairan
dan obat untuk mencegah komplikasi serius, transplantasi ginjal, dan hemodialisa.
(Price, 2006) dalam (Agustina 2013).
Hemodialisa merupakan sebuah sistem yang mengandalkan prinsip – prinsip
difusi zat terlarut menembus membran semipermeabel, dimana perpindahan produk
sisa metabolik berlangsung mengikuti penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi
ke dalam dialisat. (Jameson dan Loscalzo, 2016) Namun demikian, hemodialisa
tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal. Pasien akan tetap
mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi serta adanya berbagai perubahan
pada bentuk dan fungsi sistem dalam tubuh (Smeltzer & Bare, 2008; dalam
Wahyuningsih 2011).
Komplikasi atau penyulit dari proses dialysis itu sendiri meliputi hipotensi,
penyakit kardiovaskular, reaksi anafilaktoid terhadap dialyzer, dan keram otot. (1)
Berdasarkan observasi yang dilakukan pada Ruang Hemodialisa RSUD
K.M.R.T. Wongsonegoro pada tanggal 19 sampai 24 Februari 2018, dari 5 orang
responden ditemukan sebanyak 1 orang responden mengalami keram otot saat proses
dialisis berlangsung. Klien merupakan Tn.A, laki – laki berusia 38 tahun dengan
diagnosa CKD stage V. Klien mengalami kenaikan berat badan sebesar 2,5kg dan
dilakukan penarikan cairan sebanyak 3000ml selama 4 jam 30 menit. Adapun keram
otot terjadi saat 10 menit sebelum dialysis berakhir. Seketika klien langsung
dilakukan pengecekan GDS dengan hasil 107gr/dL, diberi dextrose 40%, dan
hemodialysis dihentikan. Setelah hemodialysis, klien diberi cairan NaCl melalui
infus.
Melihat dari angka kejadian CKD dari dunia hingga jumlah penderita CKD
yang ada di RSUD K.M.R.T Wongsonegoro seperti yang telah disebutkan di atas,
beserta kejadian keram otot pada Tn.A yang muncul saat dialysis berlangsung maka,
disini penulis tertarik untuk melakukan manajemen keram otot pada klien saat
dialysis.