Ompu Monang yang merupakan ketua Parbato sejak 1997 lalu dengan
berapi-api memaparkan pentingnya tiap etnis di Indonesia punya kesadaran diri
untuk menggalang solidaritas kecil yang akhirnya berguna untuk solidaritas
Indonesia secara keseluruhan. “Memperbaiki sesuatu tidak bisa langsung yang
besar. Mesti dari kecil dulu,” kata pria kelahiran Silaen, Sumut, 2 Desember 1939
ini. Membicarakan Batak Toba, sebetulnya kita cuma membicarakan satu buah sub-
etnis dari suku Batak saja. Sub-etnis Batak lainnya adalah Batak Angkola, Batak
Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pakpak (atau Dairi), dan Batak Karo.
Akan tetapi, kalau kita berbicara di luar lingkup orang Batak sendiri, istilah
Batak sebernarnya menunjuk sub-etnis Batak Toba ini. Stereotip Batak Toba adalah
stereotip umum kalau orang membahas orang Batak ceplas-ceplos, berwatak keras,
senang sekali menyanyi dan berwajah khas dagu persegi. Watak keras tampak jelas
pada Ompu Monang. Kata-kata kerasnya kerap diungkapkannya di berbagai media
massa menyangkut kelestarian lingkungan. Namun, di balik kekerasan dikapnya itu
Ompu Monang banyak menyimpan “kehangatan” khas Batak.
“Acara keluarga dalam perkawinan suku Batak Toba bisa membuat lamanya
pesta menjadi molor sampai lima jam atau lebih. Ini pemborosan waktu yang luar
biasa”, kata Ompu Monang. Selain itu, pada sebuah upacara perkawinan Batak
Toba pasti ada acara pengulosan. Setiap orang akan memberikan sehelai kain ulos
kepada mempelai. Tidaklah heran, pada sebuah pesta perkawinan bisa jadi sang
mempelai memperoleh ratusan kain ulos. “Ini pemborosan yang tidak ada
gunanya,’ Ompu Monang geram sekali menanggapi ini.
Menurutnya kini sudah terjadi “inflasi” kain ulos di Tanah Batak dengan
hadirnya ulos buatan mesin. Dulu, saat ulos masih dibuat dengan tenunan tangan,
sungguh kain ini merupakan sesuatu yang sangat khas dan tidak bisa sembarangan
didapatkan orang. Sebuah pesta kawin menurut Ompu Monang, kini menjadi ajang
gengsi para orang tua dengan berusaha mengumpulkan ulos sebanyak-banyaknya.
Makin banyak ulos yang datang, makin bergengsi yang punya hajat.
“Padahal, setelah itu, ulos-ulos itu dijual lagi. Kemudian, ulos itu dibeli
dengan orang lain lagi untuk diberikan lagi. Lalu dijual lagi, dan seterusnya. Ini
pemborosan uang yang udah keluar dari maksud adat yang luhur,” kata Ompu
Monang. Masih pada sebuah pesta kawin, pemborosan waktu juga terjadi dengan
adanya acara memberi nasehat. Akan ada ratusan orang yang merasa perlu memberi
nasehat kepada mempelai. Sehingga, waktu yang dipakai untuk memberi nasehat
bisa berjam-jam.
Padahal, dalam pengamatan Ompu Monang, tidak ada satu pun nasehat-
nasehat itu perlu didengarkan oleh mempelai. Nasehat umumnya itu-itu saja yang
rasanya siapa pun akan mengatakan hal yang sama. “Kalau ada perkawinan bukan
di hari Minggu, betapa banyaknya waktu kerja efektif yang hilang karena adanya
upacara perkawinan. Ini harus diatasi,” kata Ompu Monang.
Selain contoh dari pesta perkawinan di atas, Ompu Monang mencatat pula
banyak penyelewengan adat Batak Toba yang buntutnya pemborosan uang dan
waktu. Salah satu contoh nyata terlihat adalah pembangunan makam-makam Batak
Toba yang nilainya bahkan sampai ratusan juta rupiah per makamnya. Persaingan
harga makam tidak lain adalah persaingan gengsi antar keluarga. Sudah berapa kali
Parbato menyelenggarakan seminar dengan dana puluhan juta untuk membahas
penyelewengan adat Batak Toba semacam di atas. Namun hasil seminar masih
terbatas pada cetakan hasil seminar saja. Belum ada juga tindakan nyata mengatasi
keborosan adat ini.
Pada bacaan tersebut yang berisi tentang kehidupan adat Suku Batak Toba
dapat dilihat bahwa adanya proses integrasi kebudayaan yang terjadi. kebudayaan
Batak Toba yang sangat boros terutama dalam biaya upacara pernikahan yang
sangat mahal membuat Ompu Monang Napitupulu ingin merubahnya. Salah satu
contoh perilaku boros tersebut adalah dalam pembelian ulos yang terlalu banyak.
Selain itu, Ompu monang juga ingin menghilangkan budaya Batak
mengenai pembuatan makam Batak yang sangat boros dalam biaya, masyarakat
Suku Batak Toba terlalu mementingkan gengsi sehingga mereka berlomba
membuat makam sebesar besarnya. Untuk mengatasi hal tersebut, Ompu Monang
mengadakan seminar tentang penyuluhan hemat dalam acara Batak. Selain itu,
Ompu Monang juga memberi contoh kepada warga Batak dengan memberi contoh
secara langsung kepada masyarakat Batak Toba melalui pernikahan putrinya yang
sederhana.
Lampiran