Anda di halaman 1dari 5

KELOMPOK 6

1. AMELIA FRISKA P (D34170014)


2. GIYAS MUSTAGI (D34170049)
3. KHALIMATUS (A14170046)
4. NAIMAS AYU S (A34170096)
5. RESTU IKSAN M (C14170005)
6. SAVIRA NURUL A (E44170084)

OMPU MONANG NAPITUPULU INGIN SEDERHANAKAN BUDAYA


BATAK
Oleh: Arbain Rambe
Ikhtisar
Dalam seminggu terakhir ini, pembaca surat kabar di Medan seakan
dibombardir dengan iklan-iklan yang sisi formatnya selalu sama. Iklan dengan
tulisan putih di dasar hitam itu mengajak agar masyarakat Batak Toba di mana pun
berada untuk mengusir perusahaan yang merusak lingkungan Bona Pasogit.
Lingkungan Bona Pasogit adalah bahasa sub-etnik Batak Toba untuk menyebut
daerah tempat tinggal mereka di Sumatera Utara, tepatnya di sekitar Danau Toba.
Pemasang iklan itu adalah Parbato atau Pertungkoan Batak Toba, sebuah organisasi
kesukuan yang berdiri pada bulan Agustus 1997.

Melihat sosok Parbato yang memang galak akhir-akhir ini, muncul


pertanyaan yang langsung menyeruak adalah, tidakkah gerakan kesukuan
merupakan langkah mundur di tengah arus globalisasi yang makin deras saat ini?
Menanggapi pertanyaan ini, Ompu Monang berkata “Jangan memandang segala
sesuatu secara general begitu. Di Indonesia, banyak masalah hanya bisa didekati
secara etnis. Ini pendekatan yang paling individual dan paling kena untuk kondisi
Indonesia yang memang multietnis.

Ompu Monang yang merupakan ketua Parbato sejak 1997 lalu dengan
berapi-api memaparkan pentingnya tiap etnis di Indonesia punya kesadaran diri
untuk menggalang solidaritas kecil yang akhirnya berguna untuk solidaritas
Indonesia secara keseluruhan. “Memperbaiki sesuatu tidak bisa langsung yang
besar. Mesti dari kecil dulu,” kata pria kelahiran Silaen, Sumut, 2 Desember 1939
ini. Membicarakan Batak Toba, sebetulnya kita cuma membicarakan satu buah sub-
etnis dari suku Batak saja. Sub-etnis Batak lainnya adalah Batak Angkola, Batak
Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pakpak (atau Dairi), dan Batak Karo.

Akan tetapi, kalau kita berbicara di luar lingkup orang Batak sendiri, istilah
Batak sebernarnya menunjuk sub-etnis Batak Toba ini. Stereotip Batak Toba adalah
stereotip umum kalau orang membahas orang Batak ceplas-ceplos, berwatak keras,
senang sekali menyanyi dan berwajah khas dagu persegi. Watak keras tampak jelas
pada Ompu Monang. Kata-kata kerasnya kerap diungkapkannya di berbagai media
massa menyangkut kelestarian lingkungan. Namun, di balik kekerasan dikapnya itu
Ompu Monang banyak menyimpan “kehangatan” khas Batak.

Ompu Monang bukanlah nama aslinya. Nama aslinya ialah Daniel


Napitupulu. Ia mengambil nama itu setelah kelahiran cucu pertamanya, Monang
Napitupulu. Jadi, nama barunya itu berarti “kakeknya” Monang Napitupulu.
“Namaku ini adalah cara khas Batak Toba kalau sudah bercucu. Kehangatan
keluarga nomor satu. Kehadiran cucu adalah berkah dan rahmat yang luar biasa.
Kebudayaan ini harus dipertahankan,” kata Ompu Monang. Kehangatan
kekerabatan dalam budaya Batak Toba bukan cuma soal nama itu. Datanglah pada
sebuah upacara perkawinan Batak Toba. Selain dalam undangan tertera banyak
sekali nama pengundang, pada pestanya pun hampir tiap orang merasa penting dan
punya hubungan kekerabatan sangat dekat dengan mempelai.
Di satu sisi, kekerabatan ini membawa arus positif. Rasa tanggung jawab
pada pendidikan dan perawatan seorang anak bisa melebar pada paman-pamannya.
Jadi, jarang sekali ada anak Batak Toba terlantar semata-mata gara-gara
ditelantarkan orang tuanya. Pasti ada sanak saudara lain yang akan menampungnya.

“Itu sisi positif kebudayaan kami yang harus dipertahankan. Bukan


sombong, sudah hampir tidak ada orang Batak Toba yang buta huruf saat ini.
Tanggung jawab pendidikan sudah menjadi tanggung jawab kolektif. Jumlah dokter
dari sub-etnis Batak Toba juga paling banyak di Indonesia,” kata Ompu Monang
yakin dan bangga. Sisi negatif kekerabatan Batak Toba menurut Ompu Monang
adalah penghamburan uang dari waktu. Dalam sebuah pesta Batak, orang bukan
kerabat yang hadir akan sangat kesal menunggu sampai selesainya acara keluarga
yang sangat bertele-tele.

“Acara keluarga dalam perkawinan suku Batak Toba bisa membuat lamanya
pesta menjadi molor sampai lima jam atau lebih. Ini pemborosan waktu yang luar
biasa”, kata Ompu Monang. Selain itu, pada sebuah upacara perkawinan Batak
Toba pasti ada acara pengulosan. Setiap orang akan memberikan sehelai kain ulos
kepada mempelai. Tidaklah heran, pada sebuah pesta perkawinan bisa jadi sang
mempelai memperoleh ratusan kain ulos. “Ini pemborosan yang tidak ada
gunanya,’ Ompu Monang geram sekali menanggapi ini.

Menurutnya kini sudah terjadi “inflasi” kain ulos di Tanah Batak dengan
hadirnya ulos buatan mesin. Dulu, saat ulos masih dibuat dengan tenunan tangan,
sungguh kain ini merupakan sesuatu yang sangat khas dan tidak bisa sembarangan
didapatkan orang. Sebuah pesta kawin menurut Ompu Monang, kini menjadi ajang
gengsi para orang tua dengan berusaha mengumpulkan ulos sebanyak-banyaknya.
Makin banyak ulos yang datang, makin bergengsi yang punya hajat.
“Padahal, setelah itu, ulos-ulos itu dijual lagi. Kemudian, ulos itu dibeli
dengan orang lain lagi untuk diberikan lagi. Lalu dijual lagi, dan seterusnya. Ini
pemborosan uang yang udah keluar dari maksud adat yang luhur,” kata Ompu
Monang. Masih pada sebuah pesta kawin, pemborosan waktu juga terjadi dengan
adanya acara memberi nasehat. Akan ada ratusan orang yang merasa perlu memberi
nasehat kepada mempelai. Sehingga, waktu yang dipakai untuk memberi nasehat
bisa berjam-jam.

Padahal, dalam pengamatan Ompu Monang, tidak ada satu pun nasehat-
nasehat itu perlu didengarkan oleh mempelai. Nasehat umumnya itu-itu saja yang
rasanya siapa pun akan mengatakan hal yang sama. “Kalau ada perkawinan bukan
di hari Minggu, betapa banyaknya waktu kerja efektif yang hilang karena adanya
upacara perkawinan. Ini harus diatasi,” kata Ompu Monang.

Selain contoh dari pesta perkawinan di atas, Ompu Monang mencatat pula
banyak penyelewengan adat Batak Toba yang buntutnya pemborosan uang dan
waktu. Salah satu contoh nyata terlihat adalah pembangunan makam-makam Batak
Toba yang nilainya bahkan sampai ratusan juta rupiah per makamnya. Persaingan
harga makam tidak lain adalah persaingan gengsi antar keluarga. Sudah berapa kali
Parbato menyelenggarakan seminar dengan dana puluhan juta untuk membahas
penyelewengan adat Batak Toba semacam di atas. Namun hasil seminar masih
terbatas pada cetakan hasil seminar saja. Belum ada juga tindakan nyata mengatasi
keborosan adat ini.

Untuk mengatasi kebuntuan ini, Ompu Monang akhirnya “mengorbankan”


diri sendiri. Pada pesta perkawinan anak perempuannya pertengahan Desember
mendatang, ia melaksanakannya dengan cara menurut dia efisien namun tidak
keluar dari adat Batak Toba. Dalam undangan hanya orang tua dan saudara kandung
mempelai yang mengundang. Lalu, tidak ada nasehat-nasehat dari banyak orang.
Selain itu, saya membatasi hanya beberapa ulos yang boleh kami terima. Semoga
contoh ini bisa menjadi pemutus penyelewengan adat yang boros itu,” kata Ompu
Monang.
Akhirnya, masih dengan semangat mengingatkan bahwa gerakan etnis
masih perlu, Ompu Monang berkata lagi,” Itu yang aku bilang. Sebagai Parbato,
aku mau supaya organisasi ini tidak cuma ngomong. Perbuatan nyata adalah
nasehat terbaik.
Analisis

No Unsur Idiil Aktivitas Fisik


1. Bahasa Ciri khas Berbicara ceplas- berbicara diiklan
berbahasa ceplos,keras dengan keras
2. Sistem Modernisasi Membuat ulos mesin ulos, surat
Teknologi Masyarakat menggunakan kabar
mesin, menulis
iklan di surat kabar
3. Sistem Memenuhi Jual beli, jual beli ulos dan
Ekonomi Kebutuhan pemborosan uang usaha pembuatan
untuk acara makam
pernikahan dan
pembuatan makam
4. Organisasi Menyelesaikan memasang iklan di parbato
Sosial masalah surat kabar,
mengadakan
seminar,parbato
5. Sistem Pendidikan memberikan warga batak toba
Pengetahua modern pendidikan kepada banyak berprofesi
n keluarganya sebagai dokter
6. Kesenian Pelestarian perkawinan adat kain ulos
budaya batak toba,
menenun ulos
7. Sistem Kepercayaan pemberian nasehat makam batak
Religi nenek moyang kepada mempelai toba,tempat
di acara keagamaan ibadah,upacara
keagamaan

Pada bacaan tersebut yang berisi tentang kehidupan adat Suku Batak Toba
dapat dilihat bahwa adanya proses integrasi kebudayaan yang terjadi. kebudayaan
Batak Toba yang sangat boros terutama dalam biaya upacara pernikahan yang
sangat mahal membuat Ompu Monang Napitupulu ingin merubahnya. Salah satu
contoh perilaku boros tersebut adalah dalam pembelian ulos yang terlalu banyak.
Selain itu, Ompu monang juga ingin menghilangkan budaya Batak
mengenai pembuatan makam Batak yang sangat boros dalam biaya, masyarakat
Suku Batak Toba terlalu mementingkan gengsi sehingga mereka berlomba
membuat makam sebesar besarnya. Untuk mengatasi hal tersebut, Ompu Monang
mengadakan seminar tentang penyuluhan hemat dalam acara Batak. Selain itu,
Ompu Monang juga memberi contoh kepada warga Batak dengan memberi contoh
secara langsung kepada masyarakat Batak Toba melalui pernikahan putrinya yang
sederhana.

Lampiran

Anda mungkin juga menyukai