Anda di halaman 1dari 11

Kerangka Berfikir Ilmiah.

Defenisi

Pertama yang herus didefiniskan adalah kata definisi itu sendiri. Mengapa demikian?. Sebab dengan
adanya perbedaan deiantara kita dalam mendefinisikan suatu dapat menjadi diskusi/kesepahaman kita
bisa, meskipun kita merujuk satu kata yang sama. Artinya kita harus mengacu pada makna yang sama.

Lalu Apa defenisi dari defenisi?. Definisi pertama dari kat definisi adalah membatasi sesuatu, sehingga
kita dapat memiliki pengertian terhadap sesuatu. Misalnya sawa kita berbatasan dengan sungai, jalan
raya, dan kebun. Maka defenisi sawa kita adalah sebidang sawa yang letaknya disini…dan berbatasan
dengan ini..ini..dan seterusnya, senghingga menjadi jelas. Jadi defenisi dari defenisi adalah memberikan
pengertian/penjelasan tentang sesuatu hal dan disertai dengan batasan-batasan, sehingga hal tersebut
menjadi jelas. Dapat disimpulkan bahwa inti defenisi yang pertama ini adalah menjelaskan sesuatu yang
terbatas. Konsekwensinya, jika sesuatu tidak terbatas maka tidak dapat didefinisikan. Definisi yang kedua
dari kata definisi adalah menjelaskan sesuatu denga beberapa pendekatan, sehingga sesatu itu jelas.
Misalnya, jika kita ingin mendefinisikan kertas, maka kita gunakan bentuk, warna, tekstur, kegunaan,
sumber dan seterusnya, sebagai pendekatan untuk memberikan kita pemahaman tentang kertas,
sehingga gambaran tentang kertas bagi kita menjadi jelas adanya.

Jika kita mencoba mendefinisikan judul diatas (kerangka Berfikir Ilmiah), maka kurang lebih seperti
berikut:

Kerangka adalah suatu yang menyusun atau menopang yang lain, sehingga sesuatu yang lain dapat
berdiri dan Berfikir merupakan gerak akal dari satu titik ketitik yang lain atau bisa juga gerak akal dari
pengetahuan yang satu kepengetahuan yang lain. Pengetahuan pertama kita adalah ketidaktahuan (kita
tahu bahwa diri kita sekarang tidak mengetahui sesuatu), pengetahuan yang kedua adalah tahu
(kemudian kita mengetahui apa yang sebelumnya tidak kita tahu). Wajar kemudian ada juga yang
mendefinisikan berfikir sebagai gerak akal dari tidak tahu menjadi tahu. Jadi inti dari ini adalah gerak
akal.

Terserah kemudian kita pehami bahwa titik pertama adalah tidak tahu atau tahu dan titik kedua adalah
tahu, lebih tahu atau malah ketidak tahuan yang baru. Ilmiah adalah sesuatu hal/pernyataan yang
bersifat keilmuan. Cuma disini kita perlu bedakan ilmiah dalam perspektif kita dan sains barat. Ilmiah
dalam sains barat itu harus melewati pengujian secara empiris, artinya Ilmiah adalah empiris dalam sains
barat. Namun, Ilmiah yang dimaksudkan dalam pembahasan kita adalah yang sesuai dengan dengan
hukum-hukum pengetahuan, sedangkan tentang sains akan dibahas dalam materi yang lain, yakni Islam
Iptek.

Kemutlakan dan Relativitas.

Suatu hal yang penting sebelum menjalajahi dunia pemikiran perlu kiranya kita memahami jawban dari
beberapa pertanyaan berikut: apakah dari semua yang ada? Apakah ide atau realitas diluar kita ini
bersifat mutlak atau relative? Dalam artian, tidak hal yang pasti seperti dalam kacamata kaum sofis
(Filosphis).

Membahas sofisme, di Yunani muncul sekelompok orang yang berfikir bahwa apapun yang ada dalam
gagasan kita bersifat relative, semuanya selalu dihadapkan pada pilihan apakah semuanya mungkin
benar atau semua mungkin salah. Ciri khas kaum sophis adalah berdebat kusir yang kemudian kembali
pada relativitas. Artinya lebih menekankan kekuatan retorika disbanding argumentasi.

Secara social, kaum sophis ini (Sphis = arif, pandai) menimbulkan gejolak negative dimasyarakat pada
zamanny karena tidak ada lagi yang dapat dipercaya. Memang konsekwensi dari relativitas adalah
hilangnya kepercayaan. Disaat seperti inilah muncul tokoh Socrates (± 470-399 SM) yang menggugurkan
asumsi-asumsi yang dibangun oleh kaum sophis.

Socrates yang dikenal sebagai seorang guru Filsafat Yunai kuno yang sangat berpengaruh. Ia memakai
metode dialektika untuk membimbing orang memahami suatu pengetahuan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan setapak demi setapak demi sempai hal-hal yang meragukan terjawab atau
menjadi jelas, mengatakan bahwa Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang berasl dari kata philo = cinta
dan Sophia = arif. Mungkin disinilah kerendahatian Socrates tidak mengangap dirinya sebagai orang
pintar, tapi sebagai pecinta kearifan. Disini perlu ditegaskan bahwa puncak ilmu adalah kearifan.

Ada beberapa kelemahan sofisme. Pertama, kontradiksi dengan dirinya, misalnya pernyataan bahwa
“semua relative”. Jika dikembalikan, apakah pernyataan bahwa “semua relative” itu relative atau mutlak.
Kemungkinan jawabannya adalah jika dikatakan “pernyataan tersebut termasuk relative”, maka
pernyataan ini munggugurkan dirinya. Artinya pernyataan ini juga relative. Kalua relative artinya belub
dapat dijadikan sandaran kemutlakan. Sebagai contoh, pernyataan “dilarang berbahasa Indonesia”
adalah pernyataan yang menggurkan dirinya karena pernyataan ini sendiri berbasa Indonesia. Jika
kemudian jawabanya adalah semua relative kecuali relative itu, maka mau tidak mua mengakui adanya
kemutlakan. Seperti kebingungan Al-Ghazali dalam pencarianya, hanya satu hal yang tidak diragukan
yaitu keraguan itu sendri.

Kelemahan kedua adalah sofisme tidak memiliki pijakan teori yang jelas, sehingga turunan dari prinsip
berpikirnya juga menjadi tidak jelas. Setahu penulis, sofisme tidak lain dari kebingungan, kegundaan
karena tidak memiliki system berpikir yang komprehensif. Cara kerja sofisme sagat sederhana,
menciptakan antitesa dari sebuah pernyataan dalam bahasa keraguan. Akibatnya adalah munculnya
keraguan baru dan tak mampu menjawab masalah.

Secuil tetang Filsafat Ilmu.

Filsafat berasal dari bahasa Yunani, Philo yang berarti cinta dan Sophis yang berarti arif, pandai. Secara
bahsa semua Filsafat lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan, kepandaian. Namun, cakupan
pengertian sophia yang semula itu ternyata sangat luas. Dahulu Sophia tidak hanya berarti kearifan saja,
melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebijakan intelektual, pertimbangan
sehat, sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan hal-hal yang praktis.

Disini penulis mengambil pengertian tentang Filsafat yang mempunyai arti sebagai berpikir secara
radikal, menyeluruh dan sistematis. Maksudnya, dengan berpikir radikal (bahasa Yunani radix = akal) atau
sampai ke akar-akarnya, sehingga melihat sesuatu secara menyeluruh dan tersusun, sehingga kita arif
dalam melihat persoalan. Ketiak dilekatkan dengan kata ilmu, maka berarti berpikir secara radikal,
menyelurh dan sistematis terhadap ilmu.
Ilmu sendiri dapat dilihat dari dua sudut pandang. Sudut pandang barat, membedakan ilmu dengan
pengetahuan. Ilmu (Science) adalah kumpulan pengetahuan(Knowledge) yang sistematis. Misalnaya ilmu
biologi adalah kumpulan pengetahuan tentang mahkluk hidup dan semua yang berkaitan secara
sistematis.

Sudut pandang berikutnya dalam pemikiran Islam. Ilmu bersal dari ain, lam, dan mim, yang satu akar
kata denga ulam, alim dan sebagainya. Ilmu berarti tahu, artinya ilmu dan pengetahuan dalam konteks
ini sama saja. Mendefinisikan pengetahuan dengan pengetahuan. Mendefinisikan ilmu dengan ilmu,
artinya dalam wilayah pendefinisian ilmu memerlukan kajian tersendiri. Untuk jelasnya akan dibahas
pada materi Islam Iptek.

Ada tiga aspek yang menjadi pondasi filsafat ilmu yaitu Epistemologi, ontology, dan aksiologi.
Epistemology adalah ilmu yang membahas tentang sumber pengetahuan berikut kevalidan sebuah
sumber. Ontology membahas tentang hakikat suatu dalam hal eksistensi dan esensi atau dengan kata
lain keberdaan dan keapaan sesuatu. Aksiologi membahas tentang keguanaan sesuatu. Dalam materi ini
kita hanya akan lebih banyak membahas aspek Epistemologi. Sedang aspek ontology akan dibahas dalam
materi Dasar-dasar kepercayaan.

Sumber Pengetahuan.

Berangkat dari adanya kemutlakan yang nantinya menyusun system berpikir kita, maka persoalannya
kemudian adalah bagaimana mencari sebuah fakurltas dalam diri kita yang digunakan untuk menilai
sesuatu, dimana penilai itupun masih harus dinilai kebenarannya. Secara umum ada beberapa mazhab
pimikiran yang bisa digolongkan sebagai berikut:

1. Skirptualis.

Skriprualis adalah sebuah system berpikir yang didalam menilai kebenaran digunakan teks kitab. Asumsi
dasar yang tergabung adalah teks dalam kitab mutlak adanya, oleh kerenanya dalam penilaian
kebenaran harus sesuai dengan teks kitab. Mempertanyakan teks kitab sama saja dengan
mempertanyakan kemutlakan. Biasanya kaum skiriptual adalah orang yang beragama secara sederhana.
Maksudnya, peran akal dalam wilayah keagamaan sangat sempit bahkan hamper tidak ada. Akal
dianggap terbatas dan tidak mampu menilai, olehnya kembali lagi ke teks kitab.

Namun dalam wilayah epistemology, skriptualisme memiliki beberapa kekurangan, antara lain:

tidak memiliki alasan yang jelas, mengapa kita harus mempercayai kitab tesebut. Kalau yang mutlak
adalah teks kitab, maka pertanyaannya. Bagai mana caranya diantara banyak kitab menilai bahwa kitab
inilah yang benar. Kalau kita lang sung percaya maka kitab lain kita harus juga langsung percaya. Nah,
kalau kontaradiksi kitab mana yang benar? Artinya, kelemahan pertamanya adalah butuh suatu dalam
membuktikan kebenaran sebuah kitab.

Dari kelemahan pertama dapat kita turunkan kelemahan berikutnya, yakni: Terjebak pada subjektifitas.
Artinya, kebenaran sebuah kitab sangat tergantunga dengan umatnya. Kebenaran Al-Qur’an, walau
berbicara universal, hanya dibenarkan oleh umat Islam. Umat, Nasrani, Budha dan sebagainya meyakini
kitab merka masing-masing. Sementara kita tidak dapat memakasakan kitab kita pada umat lain
sebagaimana kita pun pasti tidak akan menerima teks kitab umat lain.

Kelemahan ketiga adalah teks adalah”tanda” atau symbol yang membutuhkan penafsiran. Kitab tidak
bisa berteraksi langsung, tetapi melewati proses penafsiran. Sementara dalam penafsiran sangat
tergantung kualitas intelektual dan spiritual seseorang. Makanya kemudian, adalah wajar jika sebuah
teks dapat dimaknai berbeda. Sebagi contoh surah 80:1 dan 2:1

Tidak tepat dalam membuktikan penciptaan.

2. Idealis Platonia.

Pemikiran plato dapat digambarkan kurang lebih seperti ini. Sebelum manusia lahir dan masih berada di
alam ide, semua kejadian telah terjadi. Olehnya, manusia telah memiliki pengetahuan. Ketika terlahir di
alam materi ini, pengetahuan itu hilang. Untuk itu yang harus manuasia lakuakan kemudian adalah
bagaimana mengingat kembali. pengetahuan yang kita miliki hari ini kemarin dan akan datang
sebetulnya (dalam perspektif teori ini) tidak lebih dari pengingatan kembali. Teori ini juga sering disebut
sebagai teori pengingatan kembali. Namun, seagai alat penilaian, teori ini memiliki beberapa kekurangan.

Tidak ada landasan yang memutlakkan bahwa dahulu kita pernah berada di alam ide.
Turnan dari yang pertama, kalaupun (jadi disumsikan teori ini benar) ternyata sebelum lahir kita telah
memiliki pengetahuan, maka persoalannya adalah apakah pengetahuan kita saat ini selaras denga
pengetahuan kita sewaktu di alam ide. Kalau dikatakan selaras, apa yang dapat dijadikan bukti.

Ketiga, tidak diterangkan dimanakah ide dan material itu menyatu (saat manusia belum dilahirkan), dan
mengapa disaat kita lahir, tiba-tiba pengetahuan itu hilang. Kalau dikatakan material kita terlalu kotor
untuk menampung ide, maka mengapa saat ini kita bukan saja memiliki ide, tetapi bahkan mampu
mengembangkan ide disaat material kita justru semakin kotor.

3. Empirisme

Doktrin empirisme berdasarkan pada pengalaman dan persepsi inderawi. Oleh karena itu, kebenaran
dalam doktrin ini adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Bangunan sains kita pada
hari ini sangat kental nuansa empirisme. Tetapi empirisme memiliki kekurangan sebagai berikut :

Indera terbatas. Mata misalnya memiliki daya jangkau penglihatan yang berbeda. Begitu telinga dan
indera lainnya. Olehnya, indera hanya bisa menangkap hal-hal yang bersifat terbatas atau material pula.
Makanya fenomena penyembahan dan jatuh cintah misalnya, tidak dapat dijawab dengan tepat oleh
kaum empiris.

Indera dapat mengalami distorsi. Sebagai contoh terjadinya fatamorgana atau pembiasan benda pada
dua zat dengan kerpatan molekul berbeda. Ketika kita masukkan pensil dalam gelas berisi air kita akan
melihanya bengkok karena kerpatan molekul air, gelas dan udara sebagai medium berbeda. Padahal jika
kita periksa ternyata pensil tetap lurus.

4. Kaum perasa/yakinisme.

Kaum perasa selalu menjadikan perasaannya sebagai tolak ukur kebenaran. Ciri khas mereka adalah
“yakin saja”. Mereka mengapa dirinya sebagai orang yang paling mampu mendengar suarua hatinya, dan
menjadikan suara hatinya sebagai ukuran kebenaran. Banyak orang beragama yang seperti ini pada hal
system berpikir macam ini memiliki kekurangan dalam pembuktian kebenaran sebagai berikut:

Tidak jelas yang didengar itu adalah suara hati atau justru sekedar gejolak emosional atau bahkan
(dengan pendekatan orang beragama) justru bisikan setan. Jangan sampai hanya gejolak emosional
lantas dianggap suara hati atau bisikan setan. Nah, persoalannya bagaimana cara membedakannya.
Kalu pun yang didengar adalah suara hati, maka akan subjektifitas karena hati orang berbeda. Jika
subjektif, maka yang didapatkan adalah relativitas bukan kemutlakan.

Tidak punya landasan mengapa kita mesti mengikuti suara hati, kalau akal menjustifikasi pengguna hati
berarti tidak konsisten. Tetapi kalau menggunakan hati sebagai alasan mengapa harus mengikuti suara
hati, maka kembali kepoin sebelumnya.

5. Rasionalisme.

Rasionalisme kurang lebih berarti sebuah pahaman yang menjadikan akal sebagai ukuransebuah
kebenaran. Rasionalisme disini, bukan berarti seperti pendangan barat karena rasionalisme dalam
pendangan barat berarti menggunakan metode ilmiah yang justru berangkat dari dokrin empirical.

Menurut kang jalal, sesuatu kadang dianggap tidak rasional karena tiga hal. Pertama tidak empiris.
Sesuatu yang tidak dicerna indara manusia biasanya dianggap tidak rasional. Hal ini umumnya
menghinggapi orang yang sangat empiris. Kedua menyimpang dari rata-rata. Sewaktu perang Khibar,
kaum muslim menundudukkan benteng terakhir kaum Yahudi. Para sahat ssejumlah 50 laki-laki yang
kuat tidak mampu mengangkat pintu benteng itu, tapi Sayidina Ali mampu mengangkatnya sendirian. Ini
dianggap tidak rasional, padahal hal ini rasional hanya tidak seperti kebanyakan. Ketiga tidak tahu.
Ketidak tahuan adalah kemudian yang orang berusaha tutupi dengan penisbahan stigma irasonal.

Rasionalisme tidal menutup diri dari teks, pengalaman atau persepsi inderawi, juga perasaan. Akan
tetapi, kaum rasionalis menggunakan akal dalam menilai semua yang ditangkap oleh bagian diri kita.
Namun, bagi sekelompok orang akal tidak dapat digunakan untuk menilai kebenaran. Alasannya, akal
terbatas. Artinya, penggunaan akal sangat dekat dengan mengakal-akali sesuatu.

Untuk menjawab ini ada banyak hal. Pertama, kita mengakal-akali sesuatu “memiliki kesan negative
dalam aspek bahasa. Padahal selama kita sadar (Termasuk ketika mengatakan mengakal-akali) yang kita
gunakan akal. Jadi mengugurkan diri sendiri”. Melarang orang menggunakan akal disaat dia
menggunakan akal. Kedua, kalau tidak pakai akal, kita menggunakan apa, mau pakai dengkul?. Ketiga,
kalau akal terbatas dimana batasnya.
Memang benar bahwa akal terbatas disbanding penciptaNya(selanjutnya dibahas dalam Materi Dasar-
dasar Kepercayaan ), akan tetapi akal sebagai potensi untuk tahu, dimana batasnya?. Hukum akal
menyatakan bahwa sebab selalu mendahului, lebih kuat dari akibat. Jadi, kesadaran akal sebagai ciptaan
atau akibat pasti memiliki keterbatasan dihadapan dengan penciptaNya. Cuma persoalannya adalah
sejauhmana kita gunakan akal kita untuk mengetahui.

Dalam kacamata seorang filsuf bahwa manusia adalah binatang berakal. Secara biologis manusia
memiliki syarat-syarat kebinatangan seperti respirsasi, eksresi, regenerasi, dan sebagainya. Bedanya
cuma satu yaitu akal. Artinya manusia yang tidak menggunakan akalnya bisa lebih buruk dari pada
binatang.

Kadang orang merancukan antara akal dan otak. Katanya, otaklah yang berpikir. Untuk menjawab hal ini
sederhana. Seandainya otak yang berpikir, maka tetu saja kerbau adalah makhluk yang cerdas karena
volume otaknya lebih besar dari manusia. Ternyata kedokteran modern menemukan bahwa dalam otak
terdapat sel yang disebut neuron. Neuron inilah yang mengkoordinasikan kerja syaraf dalam tubuh,
dimana tubuh disisi kana diatur melalui tulang belakang menuju ke otak kiri begituplun sebaliknya.
Artinya otak tidak ada hubungannya dengan akal. Otak tidak lebih dari sebuah organ seperti jantung,
paru-paru, dan sebagainya.

Dalam diri kita ada beberapa fakultas pengetahuan, di antaranya:

Indera yang menangkap warna, bentuk, bunyi, bau dan sebagainya. Perbedaannya dengan empirisme,
empirisme menjadikan idera sebagai tolak ukur sedangkan rasonalisme menjadikan indera sebagai
sumber pengetahuan namun bukan utama.

Khayal. Hasil persekutuan ide yang tidak memiliki realitas eksternal. Misalnya ide menusia dan monyet
yang kesumuanya memiliki realitas eksternal, namun jika digabungkan menjadi kera sakti yang hanya
memiliki realitas internal(dalam ide) tapi tidak di realitaskan eksternal.

Wahmi. Berkaitan dengan persaan. Benci, cinta, rindu, jengkel dan sebagainya. Ilmu secara wahmiyah
seperti pada kaum perasa diatas. Cuma perbedaannya wahmi masih dikontrol, bukan sebagi pengontrol
bukan sebagai patokan utama.

Akal. Fukultas dalam diri kita yang mengontrol semuanya.

Kiita telah semapai pada pentingnya akal dalam menilai sesuatu. Namun persoalannya lagi bahwa
ternyata akal pun msih bisa salah. Artinya akal tidak mutlak. Untuk menjawab hal ini, kita kembali ke
pendefinisian awal. Berpikir adalah gerak akal. Hal ini berarti menandakan adanya proses analogi
sederhana. Motor adalah akalnya, mengendarai motor adalah menggerakkan motor dari satu titik ke titik
lain atau berpikir. Dalam prose itu harus menaati aturan yang ada. Jika kita tidak menaati aturan seperti
lampu lalu lintas dan rambu-rambu makas akan terjadi kecelakaan. Berpikir dengan tidak menaati
rambu-rambu atau aturan berpikir akan menyebabkan kecelakaan berpikir.

Jadi terjadi kesalahan berpikir bukan akalnya yang salah, tetapi penggunaannya yang tidak tepat. Untuk
kita harus mengetahui bagaimana aturan berpikir yang mutlak adanya yang itupun harus dinilai
kebenarannya.

Seorang pemikir telah membantu kita menyusun prinsip atau aturan berpikir tersebut yang sering
disebut logika Aristotelian atau logika formal sebagai berikut:

Prinsip Identitas. Prisnsip ini menyatakan bahwa sesuatu hanya sama dengan dirinya sendiri. Secara
matematis dirumuskan A=A

Prinsip Non Kotradiksi. Prinsip ini menyatakan bahwa tiada sesuatu pun yang berkontradiksi. Sesuatu
berbeda dengan bukan dirinya. Jika diturunkan melalui rumus matematika A≠B.

Prinsip Kausalitas. Prinsip ini menyatakan bahwa tidak sesuatupun yang kebetulan. Setiap sebab
melahirkan akibat. Rumusnya S A.

Prinsip keselarasan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap akibat selaras dengan sebabnya. Rumusnya S è
A.

Pembuktian.

Logical formal ditetang oleh kaum Marxian dengan logika dialektikanya. Mereka memahami bahwa
logika formal hanyalah prinsip Non Kontradiksi karena mereka memahami adanya kontradiksi internal
pada materi. Sebelum kita jawab ada baiknya jika kita sedikit bahas tentang logika dialektik.

Logika dialektika adalah prinsip berpikir kaum marxisme yang didalamnya ada 4 poin (yang penulis ingat
2 poin saja karena buku yang membahas hal ini hilang). Pertama Negasi der Negation. Isinya adalah
bahwa dalam satu materi terjadi kontradiksi internal. Misalnya biji jagung. Pada ruang dan waktu yang
bersamaan terjadi dialektika antara biji jagung sebagai tesa dan binih sebagai anti teas. Jika asntitesanya
kuat maka antitesanya menjadi sintesa. Jadi biji jagung = bukan biji jagung. Kalau memang sesuatu
berbeda dengan dirinya maka kotoran = makanan dan seterusnya. Jika demikian akan terjadi
kehancuran. Nah bagaimana dengan kasus biji jagung. Biji jagung memiliki potensi menjadi benih yang
untuk pengaktulannya membutuhkan factor eksternal seperti air, tanah dan cahaya.jika syarat terpenuhi,
maka potensi itu akan mengaktual. Artinya bukan kontradiksi internal, tetapi gerak sebstansi yang
tergantung pada factor eksternal.

Jadi jika dijawab seperti diatas, kaum Marxian akan mempertahankan pedapatnya dengan mengatakan
1Kg pasir beda dengan 1Kg pasir karena yang pertama dan kedua pastilah memiliki selisih meski sangat
kecil. Atau kita sekarang beda dengan kita yang dahulu, makanya diri kita berbeda dengan diri kita.
Sanggahan ini dapat dibantah dengan cara bahwa kita membahas masalah eksistensi yang tetap.
Mengapa, karena esensi selalu berubah (esensi terbagi substansi dan aksiden dan keduanya mengalami
perubahan). Kedua, jika kita ingin memberitakan penjelasan tetang eksistensi dengan cotoh esensi, maka
kita katakana bahwa sesuatu itu dibandingkan dengan dirinya sendiri pada ruang dan waktu yang sama.
Contoh diri kita detik ini dibanding dengan detik itu sendiri. Mereka biasanya menjawab bahwa jika
sesuatu dibandingkan pada saat yang sama maka tidak ada waktu. Ketiadaan waktu menyebabkan
ketiadaan materi. Artinya kita tidak dapat membanding sesuatu pada dirinya sendiri pada waktu itu. Ini
adalah lelucon. Mengapa kalau tidak bisa, buktinya tadi kita bisa. Kedua, yang tidak ada bukan waktu (t)
tetapi selisih waktu (∆t). buktinya sesuatu pada waktu tertentu tetap ada. Jadi prinsip negasi der
negation tidak rasonal.

Prinsip kedua adalah Quantity to Quality, jumlah menuju kualitas. Cotoh air pada suhu 0 derajat celcius
berada pada kualitas padat. Pertambahan kuantitas panas akan menyebabkan mencairnya es atau
perubahan dari kualitas padat akan menjadi kualitas cair. Penambahan kuantitas panas menjadi 100
derajat celcius akan menyebabakan perubahan dari cair ke gas. Prinsip ini sama dengan gerak substansi
dalam filsafat. Jadi prinsip kedua bukan menggugurkan prinsip non kontradiksi, tetapi justru
membenarkan. Artinya prinsip ini bersifat logis dan niscaya.

Pembuktian berikutnya.

Jika seorang anak kecil menangis karena mainannya diambil, tetapi mainannya kita beri pada yang lain,
maka ia tetap akan menangis karena ia tahu bahwa dirinya sama dengan dengan dirinya sendiri, bukan
orang lain. Bahkan kambing jika kita beri emas dan rumput ia tidak akan mengambil emas karena rumput
= rumput dan emas = emas. Artinya justru prinsip ini berlaku universal.
Pembutian Kausalitas dan Keselarasan.

Ketika kita menangkap sesuatu maka akal kita akan mengatakan bahwa tidak mungkin dia ada dengan
sendirinya, pasti ada penyebabnya dan akaibat pasti selaras dengan sebabnya. Tidak mungkin benih
jagung menyebabkan tumbuhannya pohon kurma. Semua yang ada di alam ini adalah bukti kemutlakan
prinsip nyang niscaya lagi rasonal ini. Tetapi untuk jelasnya silahkan baca buku logika atau kajian.

Penutup.

Inti dan tujuan materi ini adalah peserta Basic Training memahami secara garis besar mazhab pemikiran
dan memiliki kerangka berpikir dalam menganalisis setiap persoalan serta tidak terjebak pada
kejumudan berpikir.

Anda mungkin juga menyukai