Disusun Oleh:
PROGRAM PASCASARJANA
2018
A. PENDAHULUAN
Visi pendidikan nasional adalah pada tahun 2025, Sistem Pendidikan Nasional
berhasrat menghasilkan: INSAN INDONESIA CERDAS DAN KOMPETITIF. Cerdas
meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional & sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinetik.
Kompetitif dimaknai berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan, bersemangat
juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangun dan pembina jejaring, bersahabat
dengan perubahan, inovatif dan menjadi agen perubahan, produktif, sadar mutu,
berorientasi global, dan pembelajar sepanjang hayat. Dalam visi ini tersirat bahwa proses
menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas dan kompetitif digantungkan pada
pendidikan. Kemajuan suatu bangsa dan negara tidak bisa dilepaskan dari kemajuan
bidang pendidikan. Pendidikan merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan
dari proses penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas, tangguh dan terampil.
Hakekat pendidikan pada dasarnya adalah proses komunikasi yang di dalamnya
mengandung transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, di
dalam dan di luar sekolah yang berlangsung sepanjang hayat (life long process), dari
generasi ke generasi (Sumitro, dkk. 1998).
Fungsi pendidikan adalah melestarikan tata sosial dan tata nilai yang ada dalam
masyarakat dan sebagai agen pembaharuan sosial sehingga dapat mengantisipasi masa
depan. Menurut Tilaar (2006), pendidikan memiliki fungsi preparatoris dan
antisipasipatoris adalah bahwa di samping mempersiapkan peserta didik sebagai generasi
masa depan (tenaga kerja), pendidikan juga menyiapkan peserta didik utk antisipasi
kemungkinan masa depan dengan membekali kemampuan dan tingkah laku yg
diperlukan. Visi sistem pendidikan nasional di atas pada dasarnya dimaksudkan
menyiapkan manusia Indonesia seutuhnya, utuh dalam potensi dan utuh dalam wawasan
(Sumitro, dkk. ,1998). Utuh dalam potensi meliputi potensi badan dengan
pancainderanya, potensi berpikir, potensi rasa, potensi cipta yang meliputi daya cipta,
kreativitas, fantasi, khayal dan imajinasi, potensi karya, potensi budi nurani yaitu
kesadaran budi, hati nurani, dan kata hati. Utuh dalam wawasan adalah manusia yang
sadar nilai, yaitu wawasan dunia akhirat, wawasan jasmani rohani, wawasan individu dan
sosial, dan wawasan akan waktu, yaitu masa lalu, sekarang dan yang akan datang.
Pendidikan kejuruan yang merupakan salah satu jenis pendidikan nasional juga
memiliki peran penting dalam menyiapkan manusia utuh, baik sebagai tenaga kerja
maupun sebagai warga masyarakat dan bangsa. Adanya dampak globalisasi yang ditandai
dengan kemajuan teknologi menyebabkan pendidikan kejuruan dinilai masih belum
optimal dalam menyediakan sumber daya manusia sebagai tenaga kerja. Pendidikan
kejuruan belum dapat maksimal mengimbangi dampak kemajuan teknologi di pasar kerja.
Menurut Tilaar (2006), saat ini terdapat empat krisis pokok pendidikan nasional, yaitu
masalah kualitas pendidikan, relevansi atau efisiensi external, elitisme dan manajemen.
Kualitas pendidikan menyangkut standar isi, proses, sarana prasarana, pendidik, dan
standar-standar lainnya. Relevansi pendidikan atau efisiensi eksternal diukur dari
keberhasilan sistem pendidikan memasok tenagatenaga terampil dalam jumlah yang
memadai bagi kebutuhan sektor-sektor pembangunan. Berdasarkan uraian di atas,
terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yaitu manajemen penyelenggaraan pendidikan
kejuruan dan pemanfaatan teknologi dalam proses pembelajarannya. Berkaitan dengan
hal ini, dalam makalah ini akan diseksripsikan secara singkat tentang tarnsformasi budaya
dalam pendidikan kejuruan, peran pendidikan kejuruan, dampak perkembangan
teknologi, dan penerapan teknologi dalam pembelajaran kejuruan.
B. PEMBAHASAN
1. Model-model Pembelajaran Vokasi Abad 21
Ada beberapa model pembelajaran yang layak untuk diaplikasikan dalam
pembelajaran abad 21. Namun yang paling populer dan banyak di implementasikan
adalan model Pembelajaran PjBL (Project Based Learning dan Inquiry Based Learning)
a. Pembelajaran Praktek
Metode secara harfiah berarti “cara” jadi metode menurut istilah adalah sebagai
suatu cara atau prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu. Metode juga bisa
diartikan salah satu alat untuk mencapai tujuan artinya metode harus menunjang
pencapaian tujuan pengajaran jadi metode dapat dijadikan sebagai alat yang efektif untuk
mencapai tujuan pengajaran. Model pembelajaran praktek atau pelatihan menurut Joyce
dan Weil (1980) terdiri dari lima tahap diantaranya:
1) Penyampaian Tujuan
2) Penjelasan Materi Praktek
3) Pendemonstrasian Cara Kerja
4) Latihan (Praktek Simulasi)
5) Latihan Pengalihan
b. Project based learning
PjBL atau Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan model belajar yang
menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas
secara nyata. Pembelajaran Berbasis Proyek dirancang untuk digunakan pada
permasalahan komplek yang diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi dan
memahaminya. Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan
penuntun (a guiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek
kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Mengingat
bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka
Pembelajaran Berbasis Proyek memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk
menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi
dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif.
Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dikatakan sebagai operasionalisasi konsep
“Pendidikan Berbasis Produksi” yang dikembangkan di Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK). SMK sebagai institusi yang berfungsi untuk menyiapkan lulusan untuk bekerja di
dunia usaha dan industri harus dapat membekali peserta didiknya dengan “kompetensi
terstandar” yang dibutuhkan untuk bekerja pada bidang masing-masing. Dengan
pembelajaran “berbasis produksi” peserta didik di SMK diperkenalkan dengan suasana
dan makna kerja yang sesungguhnya di dunia kerja
c. Work Based Learning
Banyak definisi yang dikemukakan berkait pengertian work-based learning.
Sering work-based learning dipertukarkan dengan work-related learning (Connor, 2006).
Beberapa definisi menjelaskan bahwa work-based learning sebagai semua bentuk
pembelajaran melalui tempat kerja, apakah berwujud pengalaman kerja (work experience)
atau kerja dalam bimbingan (work shadowing) dalam waktu tertentu. Definisi lain
menyatakan bahwa WBL adalah semua pembelajaran yang terjadi sebagai hasil aktivitas
di tempat kerja (Little, 2006).
Menurut Work-Based Learning Guide (2002) karakteristik kunci dalam
pelaksanaan program Work-Based Learning: (1) program dikoordinasikan oleh
koordinator yang ‖kualified‖ dan memiliki dedikasi; (2) pembelajar mengikuti program
berdasarkan sikap, kebutuhan, interes, dan tujuan okupasi yang jelas; (3) tempat-tempat
pelatihan di tempat kerja dikembangkan oleh koordinator untuk menyediakan penga-
laman on-the-job/di tempat kerja yang langsung berkaitan dengan kebutuhan dan tujuan
karir pembelajar; (4) bimbingan karir yang dilakukan mencakup informasi-informasi
tentang okupasi-okupasi tradisional dan non-tradisional. Karakteristik selanjutnya: (5)
instruksi yang relevan direncanakan dan langsung berkait dengan pengalaman dan
kebutuhan OJT pembelajar; (6) aturan-aturan yang dikembangkan ditentukan secara jelas
dan tanggungjawab yang tepat diukur dari pedoman/panduan program; (7) aktivitas
evaluasi memungkinkan para koordinator guru untuk memonitor program; (8) komite
penasehat untuk menyeimbangkan aspek jender/etnik/komunitas okupasi memberi sa-ran
dan penugasan dalam perencanaan, pengembangan dan implementasi; (9)
kesepakatan/perjanjian pelatihan tertulis dan rencana-rencana pembelajar perseorangan
dikembangkan secara cermat dan disetujui oleh pengusaha/pemilik perusahaan, sponsor
pelatihan, pembelajar dan koordinator; (10) pengusaha memberi kompensasi dan
penghargaan kredit (sks) pada 8 para pembelajar untuk penyelesaian pengalaman OJT
yang lengkap; (11) tempat-tempat pelatihan WBL melekat/mengacu pada ketentuan
hukum negara bagian ataupun federal dalam hal praktik-praktik ketenagakerjaan.
Enam karakteristik berikutnya adalah: (12) waktu yang cukup (minimum satu
setengah jam per minggu per orang) disediakan untuk koordinator guru untuk
mengadakan koordinasi dan supervisi; (13) para koordinator guru menyediakan kontrak
yang diperluas untuk membantu para sponsor pelatihan, mengembangkan rencana
pelatihan, memperbaharui catatan, mensupervisi pembelajar dan menangani/mengem-
bangkan program/kegiatan; (14) para penasehat/pembimbing dan koordinator guru
bekerja sama secara erat dalam upaya pelaksanaan WBL; (15) hasil studi tindak lanjut
yang diadakan oleh koordiantor guru dan pembimbing dimanfaatkan untuk meningkatkan
program dan rencana kedepan; (16) fasilitas yang cukup disediakan untuk para
koordinator guru termasuk kantor, telepon, dan kelas instruksional yang cukup; (17) para
koordinator guru harus mengetahui manfaat WBL dan mempromosikan pengalaman
WBL ke berbagai kalangan termasuk ke para siswa, orangtua, pengusaha, dan komunitas
mereka.
d. Inquiry Based Learning
Inquiry didefiniskan sebagai usaha menemukan kebenaran, informasi, atau
pengetahuan dengan bertanya. Seseorang melakukan proses inquiry dimulai ketika lahir
sampai dengan ketika meninggal dunia. Proses inquiry dimulai dengan mengumpulkan
informasi dan data melalui pancaindera yakni penglihatan, pendengaran, sentuhan,
pencecapan, dan penciuman (Rohim, 2016).
Pendekatan IBL adalah suatu pendekatan yang digunakan dan mengacu pada
suatu cara untuk mempertanyakan, mencari pengetahuan (informasi), atau mempelajari
suatu gejala. Pembelajaran dengan pendekatan IBL selalu mengusahakan agar siswa
selalu aktif secara mental maupun fisik. Materi yang disajikan guru bukan begitu saja
diberitahukan dan diterima oleh siswa, tetapi siswa diusahakan sedemikian rupa sehingga
mereka memperoleh berbagai pengalaman dalam rangka “menemukan sendiri” konsep-
konsep yang direncanakan oleh guru.
e. Blended Learning
Blended learning terdiri dari kata blended (kombinasi/ campuran) dan learning
(belajar). Istilah lain yang sering digunakan adalah hybrid course (hybrid =
campuran/kombinasi, course = mata kuliah). Makna asli sekaligus yang paling umum
blended learning mengacu pada belajar yang mengkombinasi atau mencampur antara
pembelajaran tatap muka (face to face = f2f) dan pembelajaran berbasis komputer (online
dan offline). Thorne (2003) menggambarkan blended learning sebagai "It represents an
opportunity to integrate the innovative and technological advances offered by online
learning with the interaction and participation offered in the best of traditional learning.
Sedangkan Bersin (2004) mendefinisikan blended learning sebagai: “the
combination of different training “media” (technologies, activities, and types of events) to
create an optimum training program for a specific audience. The term “blended” means
that traditional instructor-led training is being supplemented with other electronic
formats. In the context of this book, blended learning programs use many different forms
of e-learning, perhaps complemented with instructor-led training and other live formats”.
Istilah blended learning pada awalnya digunakan untuk menggambarkan mata kuliah
yang mencoba menggabungkan pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran online.
Pembelajaran berbasis blended learning mengkombinasikan antara tatap muka dan e-
learning tinggi paling tidak memiliki 6 (enam) unsur, yaitu: (a) tatap muka (b) belajar
mandiri, (c) aplikasi, (d) tutorial, (e) kerjasama, dan (f) evaluasi.
f. Problem based learning
PBM atau PBL adalah suatu pendekatan peng mengmbelajaran yang
mengguanakan maslah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar
tentang cara berpikir kririt dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk
memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi kuliah atau materi
pelajaran. Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, Min Liu (2005) menjelaskan
karakteristik dari PBM, yaitu:
1) Learning is student-centered. Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitikberatkan
kepada siswa sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh teori
konstruktivisme dimana siswa didorong untuk dapat mengembangkan
pengetahuannya sendiri.
2) Authentic problems form the organizing focus for learning. Masalah yang disajikan
kepada siswa adalah masalah yang otentik sehingga siswa mampu dengan mudah
memahami masalah tersebut serta dapat menerapkannya dalam kehidupan
profesionalnya nanti.
3) New information is acquired through self-directed learning. Dalam proses pemecahan
masalah mungkin saja siswa belum mengetahui dan memahami semua pengetahuan
prasyaratnya, sehingga siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik
dari buku atau informasi lainnya.
4) Learning occurs in small groups. Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran
dalam usaha membangun pengetahuan secara kolaborative, maka PBM dilaksakan
dalam kelompok kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang jelas
dan penetapan tujuan yang jelas.
5) Teachers act as facilitators. Pada pelaksanaan PBM, guru hanya berperan sebagai
fasilitator. Namun, walaupun begitu guru harus selalu memantau perkembangan
aktivitas siswa dan mendorong siswa agar mencapai target yang hendak dicapai.
Yongwu Miao et.al. membut model Protokol PBM yang disajikan dalam ilustrasi berikut:
Peran guru sebagai fasilitator sangat penting karena berpengaruh kepada proses
belajar siswa. Walaupun siswa lebih banyak belajar sendiri tetapi guru juga memiliki
peranan yang sangat penting. Peran guru sebagai tutor adalah memantau aktivitas siswa,
memfasilitasi proses belajar dan menstimulasi siswa dengan pertanyaan. Guru harus
mengetahui dengan baik tahapan kerja siswa baika aktivitas fisik ataupun tahapan
berpikir siswa.: Dalam pelaksanaannya, PBM tentunya memiliki kelebihan dan
kelemahannya. Berikut ini adalah kelebihan dan kekuranag dari PBM.
Kelebihan Project Based Learning:
1) Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam situasi nyata
2) Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui aktivitas
belajar
3) Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada hubunganna tidak
perlu saat itu dipelajari oleh siswa. Hal ini mengurangi beban siswa dengan menghafal
atau menyimpan informasi
4) Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok
5) Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan baik dari perpustakaan,
internet, wawancara dan observasi
6) Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri
7) Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah dalam kegiatan
diskusi atau presentasi hasil pekerjaan mereka
8) Kesulitan belajar siswa secara individual dapat diatasi melalui kerja kelompok dalam
bentuk peer teaching
Kekurangan Project Based Learning:
1) PBM tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru berperan
aktif dalam menyajikan materi. PBM lebih cocok untuk pembelajaran yang menuntut
kemampuan tertentu yang kaitannya dengan pemecahan masalah
2) Dalam suatu kelas yang memiki tingkat keragaman siswa yang tinggi akan terjadi
kesulitan dalam pembagian tugas
3) PBM kurang cocok untuk diterapkan di sekolah dasar karena masalah kemampuan
bekerja dalam kelompok. PBM sangat cocok untuk mahasiswa perguruan tinggi atau
paling tidak sekolah menengah.
4) PBM biasanya membutuhkan waktu yang tidak sedikit sehingga dikhawatirkan tidak
dapat menjangkau seluruh konten yang diharapkan walapun PBM berfokus pada
masalah bukan konten materi
5) Membutuhkan kemampuan guru yang mampu mendorong kerja siswa dalam kelompok
secara efektif, artinya guru harus memilki kemampuan memotivasi siswa dengan baik
Dyrenfurth, Michael, J. (1984). Literacy for a technological world. The Ohio State
University. Columbus. Ohio. National Center for Research in Vocational
Education.
Feirer, John L. & Lindbeck John R (1986). Production technology. Industry today and
tomorrow. California, Glencoe Publshing Company.
Griffith, Alan K & Heath, Nancy Parsons (1996). High school student’s views about
technology. Research in Science and Technological Education. Volume 14,
number 2, 153-162.
Hendley, Dave & Lyle, Sue (1996). Pupil’s perception of design and technology: a
case study of pupils in South Wales. Research in Science and Technological
Education. Volume 14, number 2, 141-151.
Parker, Sybill P. (1994). Dictionary of scientific and technological terms. New York,
McGraw-Hill Inc.