Anda di halaman 1dari 21

KONSEP PENDIDIKAN ABAD 21 [BAG 1]

ISHAQ MADEAMIN 16.14


Dewasa ini terjadi perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sebagai salah
satu akibat dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan pemanfaatannya
oleh manusia. Khusus dalam dunia pendidikan dampaknya sangat terasa saat ini dan
kedepan, sehingga orang menyebutnya sebagai masa pengetahuan (knowledge
age) dengan percepatan peningkatan pengetahuan yang luar biasa. Percepatan
peningkatan pengetahuan ini didukung oleh penerapan media dan teknologi digital yang
disebut dengan information super highway (Gates, 1996), informasi semakin cepat
terdistribusi ke seluruh penjuru dunia.

Akibatnya, dunia pendidikan semakin penting dan dituntut untuk menjamin peserta didik
memiliki keterampilan belajar dan berinovasi, keterampilan menggunakan teknologi dan
media informasi, serta dapat bekerja, dan bertahan dengan menggunakan keterampilan
untuk hidup (life skills).

Tuntutan tersebut diimplementasikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan


Republik Indonesia untuk mengembangkan kurikulum baru untuk Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), dengan mengadaptasi konsep pendidikan abad 21. Ketiga
konsep tersebut adalah 21st Century Skills, scientific approach, dan authentic
assesment (BSNP, 44:2004)

Konsep Pertama: Keterampilan dan Pengetahuan Abad 21 (21st Century Skills)


Skema ini menyajikan pandangan menyeluruh tentang keterampilan dan pengetahuan
peserta didik abad ke-21. Ada tiga subjek inti pendidikan abad 21, yaitu: 1) Life and Career
Skills, 2) Learning and innovations Skills – 4Cs, 3) Information, Median and Technologi
Skills.
Gambar 1. Skema Keterampilan - Pengatahuan Abad 21
1. Life and Career Skills
Life and Career skills (keterampilan hidup dan berkarir), meliputi:

1. Fleksibilitas dan adaptabilitas: Peserta didik memiliki kemampuan


mengadaptasi perubahan dan fleksibel dalam belajar dan berkegiatan dalam
kelompok
2. Memiliki inisiatif dan dapat mengatur diri sendiri: Peserta didik memiliki
kemampuan mengelola tujuan dan waktu, bekerja secara independen dan menjadi
peserta didik yang dapat mengatur diri sendiri.
3. Interaksi sosial dan antar-budaya: Peserta didik memiliki kemampuan
berinteraksi dan bekerja secara efektif dengan kelompok yang beragam.
4. produktivitas dan akuntabilitas: Peserta didik mampu mengelola projek dan
menghasilkan produk.
5. Kepemimpinan dan tanggungjawab: Peserta didik mampu memimpin teman-
temannya dan bertanggungjawab kepada masyarakat luas.
2. Learning and Innovation Skills
Learning and innovation skills (keterampilan belajar dan berinovasi) meliputi:

1. Berpikir kritis dan mengatasi masalah: peserta didik mampu mengunakan


berbagai alasan (reason) seperti induktif atau deduktif untuk berbagai situasi;
menggunaan cara berpikir sistem; membuat keputusan dan mengatasi masalah
2. Komunikasi dan kolaborasi: peserta didik mampu berkomunikasi dengan
jelas dan melakukan kolaborasi dengan anggota kelompok lainnya.
3. Kreativitas dan inovasi: peserta didik mampu berpikir kreatif, bekerja secara
kreatif
3. Information Media and Technology Skills
keterampilan teknologi dan media informasi (Information media and technology skills),
meliputi:
1. Literasi informasi: peserta didik mampu mengakses informasi secara efektif
(sumber nformasi) dan efisien (waktunya); mengevaluasi informasi yang akan
digunakan secara kritis dan kompeten; mengunakan dan mengelola informasi
secara akurat dan efektf untuk mengatasi masalah.
2. literasi media: peserta didik mampu memilih dan mengembangkan media
yang digunakan untuk berkomunikasi.
3. Literasi ICT: peserta didik mampu menganalisis media informasi; dan
menciptakan media yang sesuai untuk melakukan komunikasi.
Pengembangan pendukung pencapaian pendidikan abad 21 tersebut di atas dikembangan
framework seperti pada gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Hasil Pendidikan Abad 21 & Sistem Pendukung


Unsur-unsur yang diuraikan di bawah ini adalah standar yang diperlukan untuk memastikan
peserta didik memiliki penguasaan keterampilan – pengetahuan abad ke-21, yaitu:
1) Standarisasi penilaian,
2) kurikulum,
3) Pengembangan profesionalisme pendidik
4) Pembelajaran inovatif

KONSEP PENDIDIKAN ABAD 21 [BAG 2]


ISHAQ MADEAMIN 16.20

Tulisan sebelumnya kita kaji tentang Keterampilan dan Pengetahuan Abad 21 yang
merupakan konsep pertama tentang Pendidikan Abad 21 [silahkan baca di sini]

Konsep Kedua: Pendekatan Saintifik (Scientific Approach)


Pendekatan saintifik diadaptasi dari konsep Inovator’s DNA (Dyer, et al., 2009). Pendekatan saintifik
yang digunakan dalam pembelajaran dikemas secara berurutan, menjadi (1) mengamati(observing), (2)
menanya (questioning), (3) menalar (associating), (4) mencoba (experimenting)dan (5) membuat
jejaring (networking).

LANGKAH KOMPETENSI YANG


PEMBELAJARAN KEGIATAN BELAJAR DIKEMBANGKAN

Membaca, mendengar,
menyimak, melihat (tanpa atau Melatih kesungguhan,
Mengamati (observasi) dengan alat) ketelitian, mencari informasi

Mengajukan pertanyaan Mengembangkan kreativitas,


tentang informasi yang tidak rasa ingin tahu, kemampuan
dipahami dari apa yang diamati merumuskan pertanyaan
atau pertanyaan untuk untuk membentuk pikiran
mendapatkan informasi kritis yang perlu untuk hidup
tambahan tentang apa yang cerdas dan belajar sepanjang
Menanya diamati hayat

Mengembangkan sikap teliti,


jujur,sopan, menghargai
melakukan eksperimen pendapat orang
lain, kemampuan
membaca sumber lain selain berkomunikasi, menerapkan
buku teks kemampuan mengumpulkan
informasi melalui berbagai
mengamati objek/
cara yang dipelajari,
kejadian/aktivitas
Menalar, mengembangkan kebiasaan
mengumpulkan wawancara dengan nara belajar dan belajar
informasi/ eksperimen sumber sepanjang hayat.

Mengolah informasi yang sudah Mengembangkan sikap jujur,


Mengolah informasi/
dikumpulkan baik terbatas dari teliti, disiplin, taat aturan,
mencoba
hasil kegiatan kerja keras, kemampuan
LANGKAH KOMPETENSI YANG
PEMBELAJARAN KEGIATAN BELAJAR DIKEMBANGKAN

mengumpulkan/eksperimen menerapkan prosedur dan


mau pun hasil dari kegiatan kemampuan berpikir induktif
mengamati dan kegiatan serta deduktif dalam
mengumpulkan informasi menyimpulkan .

Mengembangkan sikap jujur,


teliti, toleransi, kemampuan
berpikir sistematis,
Menyampaikan hasil mengungkapkan pendapat
pengamatan, kesimpulan dengan singkat dan jelas,
berdasarkan hasil analisis secara dan mengembangkan
lisan, tertulis, atau media kemampuan berbahasa yang
Mengkomunikasikan lainnya baik dan benar.

STRATEGI PEMBELAJARAN ABAD 21


burhandwi February 14, 2013 , 7:45 am Harli Trisdiono, MM 623 Views

Post Views: 15,013

STRATEGI PEMBELAJARAN ABAD 21

Harli Trisdiono

Widyaiswara Muda

Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Prov. D.I. Yogyakarta

E-mail : harli_tris@yahoo.co.id

Abstrak

Perkembangan dunia abad 21 ditandai dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam
segala segi kehidupan, termasuk dalam proses pembelajaran. Dunia kerja menuntut perubahan
kompetensi. Kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, dan berkolaborasi menjadi kompetensi
penting dalam memasuki kehidupan abad 21. Sekolah dituntut mampu menyiapkan siswa memasuki abad
21.

Subjek abad 21 terdiri atas bahasa inggris (bahasa resmi masing-masing negara), bahasa pergaulan
dunia, seni, matematika, ekonomi, pengetahuan alam (science), geografi, sejarah, pemerintahan, dan
kewarganegaraan. Sedangkan tema abad 21
mencakup kesadaran global; literasi keuangan, ekonomi, bisnis dan wirausaha; kesadaran sebagai warga
negara; literasi kesehatan; dan literasi lingkungan.

Taksonomi Bloom sebagai acuan dalam tujuan pembelajaran menyangkut dimensi pengetahuan dan
proses kognitif. Dimensi pengetahuan mencakup faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif.
Proses kognitif terdiri atas 1) mengingat (remember); 2) memahami (understand);
3) menerapkan (apply); 4) menganalisis (analyze); 5) evaluasi (evaluate); dan 6) menciptakan (create).
Dimensi pengetahuan dan proses kognitif menjadi landasan dalam merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi pembelajaran, sehingga tersusun strategi pembelajaran abad 21.

Kata Kunci: kecakapan abad 21, taksonomi bloom, subjek dan tema abad 21, strategi pembelajaran
abad 21.

Pendahuluan

Perkembangan dunia abad 21 ditandai dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam
segala segi kehidupan. Teknologi menghubungkan dunia yang melampaui sekat-sekat geografis sehingga
dunia menjadi tanpa batas. Teknologi transportasi udara memberikan kemudahan menempuh
perjalanan panjang. Media on-line beritasatu.com merilis waktu tempuh Newark – Singapura
sejauh 9.535 mil dengan penerbangan non-stop selama 18 jam. Melalui media televisi, kejadian di suatu
tempat dapat secara langsung diketahui dan dilihat di tempat lain yang berjarak sangat jauh pada waktu
bersamaan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi melalui internet memberi kemudahan
pengiriman uang pada waktu yang sangat singkat, bahkan real time. Perkembangan teknologi
menjadikan terjadinya perubahan kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja.

Kang, Kim, Kim & You ( 2012) mencatat bahwa perubahan standar kinerja akademik terjadi
seiring dengan perkembangan teknologi informasi komunikasi (TIK) dan pertumbuhan ekonomi global.
Perubahan standar menuntut penyesuaian dunia pendidikan dalam menyiapkan peserta didik.
Tekonologi informasi dan komunikasi memudahkan komunikasi antar anggota masyarakat dan dunia
kerja yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Pertumbuhan ekonomi global menuntut persaingan
yang semakin ketat dalam setiap aspek kehidupan, pasar tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat geografis,
namun dusah menjadi pasar global. Siswa abad 21 perlu dibekali dengan kemampuan TIK dan
mencermati perkembangan ekonomi global. Proses pembelajaran harus mengakomodir hal tersebut.

Rotherdam & Willingham (2009) mencatat bahwa kesuksesan seorang siswa tergantung pada
kecakapan abad 21, sehingga siswa harus belajar untuk memilikinya. Partnership for 21st Century
Skillsmengidentifikasi kecakapan abad 21 meliputi : berpikir kritis, pemecahan masalah, komunikasi dan
kolaborasi. Berpikir kritis berarti siswa mampu mensikapi ilmu dan pengetahuan dengan kritis, mampu
memanfaatkan untuk kemanusiaan. Trampil memecahkan masalah berarti mampu mengatasi
permasalahan yang dihadapinya dalam proses kegiatan belajar sebagai wahana berlatih menghadapi
permasalahan yang lebih besar dalam kehidupannya. Ketrampilan komunikasi merujuk pada
kemampuan mengidentifikasi, mengakses, memanfaatkan dan memgoptimalkan perangkat dan teknik
komunikasi untuk menerima dan menyampaikan informasi kepada pihak lain. Terampil kolaborasi
berarti mampu menjalin kerjasama dengan pihak lain untuk meningkatkan sinergi. Sedang
menurut National Education Association untuk mencapai sukses dan mampu bersaing di masyarakat
global, siswa harus ahli dan memiliki kecakapan sebagai komunikator, kreator, pemikir kritis, dan
kolaborator.

Mensikapi fenomena perubahan kebutuhan tenaga kerja dan kemajuan, sekolah perlu dipersiapkan dan
menyiapkan diri dalam menghadapi tantangan abad 21. Pemahaman terhadap kecakapan abad 21
menjadi penting disampaikan kepada siswa. Pencapaian kecakapan abad 21 dilakukan dengan
memahami karakteristik, teknik pencapaian dan strategi pembelajaran yang dilakukan.

Kecakapan Abad 21

Persoalan kecakapan abad 21 menjadi perhatian pemerhati dan praktisi pendidikan. The North Central
Regional Education Laboratory (NCREL) dan The Metiri Grup (2003) mengidentifikasi kerangka kerja
untukketerampilan abad ke-21, yang dibagi menjadi empat kategori: kemahiran era
digital, berpikir inventif, komunikasi yang efektif, dan produktivitas yang tinggi.

ATCS (assesment and teaching for 21st century skills) menyimpulkan empat hal pokok berkaitan
dengan kecakapan abad 21 yaitu cara berpikir, cara bekerja, alat kerja dan kecakapan hidup. Cara
berpikirmencakup kreativitas, berpikir kritis, pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan
belajar. Cara kerjamencakup komunikasi dan kolaborasi. Alat untuk bekerja mencakup teknologi
informasi dan komunikasi(ICT) dan literasi informasi
Kecakapan hidup mencakup kewarganegaraan, kehidupan dan karir, dan tanggung jawab pribadi dan
sosial.

Educational Testing Service (ETS) (2007), mendefinisikan keterampilan abad ke-21


sebagai pembelajaran kemampuan untuk a) mengumpulkan dan / atau mengambil
informasi, b) mengatur danmengelola informasi, c) mengevaluasi kualitas, relevansi, dan
kegunaan informasi, dan d) menghasilkan informasi yang akurat melalui penggunaan sumber daya yang
ada. Partnership for 21st Century Skillsmengidentifikasi enam elemen kunci untuk abad ke-
21 yaitu mendorong pembelajaran: 1) menekankanpelajaran
inti, 2) menekankan keterampilan belajar, 3) menggunakan alat abad ke-21 untuk
mengembangkan keterampilan belajar, 4) mengajar dan belajar dalam konteks abad ke-21, 5) mengajar
dan mempelajari isi abad ke-21, dan 6 ) menggunakan penilaian abad ke-21 yang
mengukur keterampilanabad ke-21

Kang, Kim, Kim & You (2012) memberikan kerangka kecakapan abad 21 dalam domain kognitif,
afektif, dan budaya sosial. Domain kognitif terbagi dalam sub domain : kemampuan mengelolan
informasi, yaitu kemampuan menggunakan alat, sumberdaya dan ketrampilan inkuiri melalui proses
penemuan; kemampuan mengkonstruksi pengetahuan dengan memproses informasi, memberikan
alasan, dan berpikir kritis; kemampuan menggunakan pengetahuan melalui proses analistis, menilai,
mengevaluasi, dan memecahkan masalah; dan kemampuan memecahkan masalah
dengan menggunakan kemampuan metakognisidan berpikir kreatif.

Domain afektif mencakup sub domain : identitas diri yakni mampu memahami konsep diri,
percaya diri, dan gambaran pribadi; mampu menetapkan nilai-nilai yang menjadi nilai-nilai pribadi dan
pandangan terhadap setiap permasalahan. Pengarahan diri ditunjukan dengan menguasai diri dan
mampu mengarahkan untuk mencapai tujuan dalam bingkai kepentingan bersama. Akuntabilitas diri
ditunjukan dengan inisiatif, prakarsa, tanggungjawab, dan sikap menerima dan menyelesaikan
tanggungjawabnya.

Domain budaya sosial ditunjukan dengan terlibat aktif dalam keanggotaan organisasi sosial, diterima
dalam lingkungan sosial, dan mampu bersosialisasi dalam lingkungan.

Subjek dan Tema Abad 21

Pemahaman dan penguasaan subjek dan tema abad 21 menentukan kesuksesan seorang siswa di masa
mendatang. Partnership for 21st Century Skills (2009) memberikan rumusan subjek mata pelajaran abad
21 meliputi : bahasa inggris (bahasa resmi masing-masing negara), bahasa pergaulan dunia, seni,
matematika, ekonomi, pengetahuan alam (science), geografi, sejarah, pemerintahan, dan
kewarganegaraan.

Penguasaan bahasa nasional masing-masing dan bahasa pergaulan internasional mempengaruhi posisi
yang dapat dicapai oleh seseorang. Melalui penguasaan bahasa siswa mampu mengkomunikasikan
kompetensinya baik dengan bahasa tulis maupun lisan. Penguasaan seni dapat mewarnai pengelolaan
diri dalam menghadapi pergaulan di dunia kerja dan masyarakat, sehingga lebih dapat menempatkan
diri dalam lingkungan. Matematika membangun logika dan cara berpikir sistematis, sehingga melalui
penguasaan matematika dapat meningkatkan logika berpikir yang diperlukan dalam berinteraksi.

Penguasaan kompetensi mata pelajaran tersebut belum memberikan dampak luas pada siswa kalau
tidak dibarengi dengan penguasaan tema-tema abad 21. Menurut Partnership for 21st Century
Skills (2009) tema yang mengemuka pada abad 21 adalah
: kesadaran global; literasi keuangan, ekonomi, bisnis danwirausaha; kesadaran sebagai warga negara;
literasi kesehatan; dan literasi lingkungan.

Kesadaran global mencakup kecakapan memahami dan menangani isu-isu global. Isu-isu global
dalam setiap aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan pengetahuan.
Belajardari dan bekerja sama dengan individu yang mewakili beragam budaya, agama dan gaya
hidupmerupakan syarat dalam memasuki pergaulan dunia. Dunia yang semakin terbuka menuntut
kemampuan menerima dan memahami akar budaya, agama, dan gaya hidup orang lain dalam
semangat saling menghormati dan dialog terbuka dalam konteks pribadi, pekerjaan dan masyarakat.
Memahami negara, budaya, dan bahasa orang yang berinteraksi akan meningkatkan pemahaman diri
dan orang lain, meningkatkan harkat dan martabat masing-masing.
Kecakapan keuangan, ekonomi, bisnis dan wirausaha mencakup : kecakapan menentukan
pilihan ekonomi pribadi. Pilihan seseorang terhadap sumber ekonomi pribadinya menentukan
keberagaman perekonomian dalam suatu negara. Orang tidak lagi terombang-ambing terhadap
pandangan orang lain terhadap sumber ekonominya, namun memaknai sumber ekonomi sebagai jalan
dalam berkontribusi bagi perekonian secara makro. Persoalan ini akan meningkatkan pemahaman atas
peran ekonomi dalam masyarakat. Keterampilan kewirausahaan untuk meningkatkan produktivitas
kerja dan pilihan karir dapat meningkatkan kontribusi terhadap perkembangan “organisasi” yang
dimasukinya. Kewirausahaan mencakup kemampuan dalam berekspresi, berimprovisasi, dan
meningkatkan kinerja.

Kesadaran sebagai warga negara mencakup kecakapan berpartisipasi efektif dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kehidupan berbangsa dan bernegara terkait dengan peran dan fungsinya
dalam tugas dan tanggungjawab masing-masing. Memperjuangkan hak dan memenuhi kewajiban
sebagai warga negara dan masyarakat, menjadi titik tolak dalam hidup bermasyarakat. Mengembangkan
supremasi sipil, menempatkan hak-hak sipil dalam bingkai demokratis yang mampu mengakomodir
setiap kepentingan individu dalam bingkai pemenuhan kepentingan bersama.

Kesadaran kesehatan mencakup kemampuan dalam memelihara kesehatan pribadi, keluarga,


masyarakat, bangsa dan masyarakat global. Pemeliharaan kesehatan dimulai dari kemampuan mencari
informasi dan menafsirkan persoalan-persoalan kesehatan, termasuk sebab, akibat, dan proses
pencegahan dan pengobatan. Kesehatan dalam konteks ini adalah kesehatan menyeluruh fisik dan
mental.

Literasi lingkungan yaitu mencakup kesadaran terhadap pemeliharaan dan pemanfaatan


lingkungan secara bertanggungjawab dan bermakna bagi kehidupan. Peka terhadap dampak
pengelolaan lingkungan yang tidak bertanggungjawab terhadap kehidupan secara global. Perubahan
iklim dan dampaknya terhadap kehidupan. Perubahan perilaku alam yang menyebabkan terjadinya
anomali iklim, dan dampak-dampak terhadap lingkungan sebagai akibat ekploitasi alam.

Strategi Pembelajaran Abad 21

Paradigma pembelajaran abad 21 menekankan kepada kemampuan siswa untuk berpikir kritis, mampu
menghubungkan ilmu dengan dunia nyata, menguasai teknologi informasi komunikasi, dan
berkolaborasi. Pencapaian ketrampilan tersebut dapat dicapai dengan penerapan metode pembelajaran
yang sesuai dari sisi penguasaan materi dan ketrampilan.

Kemampuan berpikir kritis siswa dibangun melalui pembelajaran yang menerapkan


taksonomi pembelajaran sebagaimana disampaikan oleh Benyamin Bloom tahun 1956 yang telah
direvisi pada tahun 2001. Bloom membagi tujuan pendidikan menjadi tiga ranah yaitu ranah kognitif,
afektif, dan psikomotor. Tujuan pendidikan mengalami penyempurnaan pada tahun 2001 (Anderson
dan Krathwohl, 2001). Taksonomi pembelajaran dikelompokan dalam dimensi pengetahuan dan dimensi
proses kognitif.
Dimensi proses pengetahuan terdiri empat bagian yaitu faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif. Krathwohl (2002), Anderson & Krathwohl (2001) menyebutkan bahwa pengetahuan
faktual menekankan pada pengetahuan faktual, yaitu pengetahuan yang berupa potongan-potongan
informasi yang terpisah-pisah atau unsur dasar yang ada dalam suatu disiplin ilmu tertentu, yang
mencakup pengetahuan tentang terminologi dan pengetahuan tentang bagian detail. Pengetahuan
faktual menyajikan fakta-fakta yang muncul dalam pengetahuan. Pengetahuan konseptual, yaitu
pengetahuan yang menunjukkan saling keterkaitan antara unsur-unsur dasar dalam struktur yang lebih
besar dan semuanya berfungsi sama-sama, yang mencakup skema, model pemikiran dan teori.
Pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan tentang bagaimana mengerjakan sesuatu, baik yang
bersifat rutin maupun yang baru, dan Pengetahuan metakognitif, yaitu mencakup pengetahuan tentang
kognisi secara umum dan pengetahuan tentang diri sendiri.

Dimensi poses pengetahuan terbagi dalam tiga yaitu kognitif, afektif dan psikomotor (Anderson
& Krathwohl, 2001:67-68) ranah kognitif terbagi dalam enam tingkat yaitu : 1)
mengingat (remember) : mengambil, mengakui, dan mengingat pengetahuan yang relevan dari memori
jangka panjang; 2) memahami (understand): membangun makna dari lisan, pesan tertulis, dan grafis
melalui menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasi, meringkas, menyimpulkan, membandingkan, dan
menjelaskan; 3) menerapkan (apply): melaksanakan atau
menggunakan prosedur melalui pelaksana, atau menerapkan; 4) menganalisis (analyze):
breaking materi menjadi bagian-bagian penyusunnya, menentukan bagaimana bagian-
bagian berhubungan satu sama lain dan yang secara keseluruhan struktur atau tujuan
melaluimembedakan, mengorganisasikan, dan menghubungkan;
5) evaluasi (evaluate): membuat penilaianberdasarkan kriteria dan standar melalui memeriksa dan
mengkritisi; dan 6) menciptakan (create): menempatkan elemen bersama-sama untuk
membentuk suatu kesatuan yang utuh atau fungsional, reorganisasi elemen ke pola baru atau struktur
melalui menghasilkan, perencanaan, atau menghasilkan.

Proses pembelajaran yang mampu mengakomodir kemampuan berpikir kritis siswa tidak dapat
dilakukan dengan proses pembelajaran satu arah. Pembelajaran satu arah, atau berpusat pada guru,
akan membelenggu kekritisan siswa dalam mensikapi suatu materi ajar. Siswa menerima materi dari
satu sumber, dengan kecenderungan menerima dan tidak dapat mengkritisi. Kemampuan berpikir kritis
dibangun dengan mendalami materi dari sisi yang berbeda dan menyeluruh.

Kemampuan menghubungkan ilmu dengan dunia nyata dilakukan dengan mengajak siswa
melihat kehidupan dalam dunia nyata. Memaknai setiap materi ajar terhadap penerapan dalam
kehidupan penting untuk mendorong motivasi belajar siswa. Secara khusus pada dunia pendidikan dasar
yang relatif masih berpikir konkrit, kemampuan guru menghubungkan setiap materi ajar dengan
kehidupan nyata akan meningkatkan penguasaan materi oleh siswa. Menghubungkan materi dengan
praktik sehari-hari dan kegunaannya dapat meningkatkan pengembangan potensi siswa.
Penguasaan teknologi informasi komunikasi menjadi hal yang harus dilakukan oleh semua guru
pada semua mata pelajaran. Penguasaan TIK yang terjadi bukan dalam tataran pengetahuan, namun
praktik pemanfaatnyanya. Metode pembelajaran yang dapat mengakomodir hal ini terkait dengan
pemanfaatan sumber belajar yang variatif. Mulai dari sumber belajar konvensional sampai pemanfaatan
sumber belajar digital. Siswa memanfaatkan sumber-sumber digital, baik yang offline maupun online.
Membuat produk berbasis TIK, baik audio maupun audiovisual.

Kecakapan berkolaborasi menunjukkan sikap penerimaan terhadap orang lain, berbagi dengan
orang lain, dan bersama-sama dengan orang lain mencapai tujuan bersama. Paradigma pembelajaran
kolaboratif memfasilitasi siswa berada dalam peran masing-masing, melaksanakannya, dan
bertanggungjawab. Sikap individualistik, mau menang sendiri, dan bekerja sendiri akan mengurangi
kemampuan siswa dalam menyiapkan diri menyongsong masa depannya. Setiap kompetensi yang ada
pada masing-masing dikolaborasikan, sehingga dapat meningkatkan kompetensi dan pencapaian hasil.

Beers menegaskan bahwa strategi pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa dalam
mencapai kecakapan abad 21 harus memenuhi kriteria sebagai berikut : kesempatan dan aktivitas
belajar yang variatif; menggunakan pemanfaatan teknologi untuk mencapai tujuan pembelajaran;
pembelajaran berbasis projek atau masalah; keterhubungan antar kurikulum (cross-curricular
connections); fokus pada penyelidikan/inkuiri dan inventigasi yang dilakukan oleh siswa; lingkungan
pembelajaran kolaboratif; visualisasi tingkat tinggi dan menggunakan media visual untuk meningkatkan
pemahaman; menggunakan penilaian formatif termasuk penilaian diri sendiri.

Kesempatan dan aktivitas belajar yang variatif tidak monoton. Metode pembelajaran disesuaikan dengan
kompetensi yang hendak dicapai. Penguasaan satu kompetensi ditempuh dengan berbagai macam
metode yang dapat mengakomodir gaya belajar siswa auditori, visual, dan kenestetik secara seimbang.
Dengan demikian masing-masing siswa mendapatkan kesempatan belajar yang sama.
Pemanfaatan teknologi, khususnya tekonologi informasi komunikasi, memfasilitasi siswa mengikuti
perkembangan teknologi, dan mendapatkan berbagai macam sumber dan media pembelajaran. Sumber
belajar yang semakin variatif memungkinkan siswa mengekplorasi materi ajar dengan berbagai macam
pendekatan sesuai dengan gaya dan minat belajar siswa.
Pembelajaran berbasis projek atau masalah, menghubungkan siswa dengan masalah yang
dihadapai dan yang dijumpai dalam kehidupam sehari-hari. Bertitik tolak dari masalah yang diinventarisis,
dan diakhiri dengan strategi pemecahan masalah tersebut, siswa secara berkesinambungan mempelajari
materi ajar dan kompetensi dengan terstruktur. Pada pembelajaran berbasis projek, pemecahan masalah
dituangkan dalam produk nyata yang dihasilkan sebagai sebuah karya penciptaan siswa. Pada
pembelajaran berbasis masalah/projek pembelajaran juga fokus pada penyelidikan/inkuiri dan inventigasi
yang dilakukan oleh siswa.
Keterhubungan antar kurikulum (cross-curricular connections), atau kurikulum terintegrasi
memungkinkan siswa menghubungkan antar materi dan kompetensi pembelajaran, dengan demikian
pembelajaran dapat lebih bermakna, dan teridentifikasi manfaat mempelajari sesuatu. Pembelajaran ini
didukung lingkungan pembelajaran kolaboratif, dapat memaksimalkan potensi siswa. Didukung dengan
visualisasi tingkat tinggi dan penggunaan media visual dapat meningkatkan pemahaman siswa.
Sebagai akhir dari sebuah proses pembelajaran, penilaian formatif menunjukan sebuah
pengendalian proses. Melalui penilaian formatif, dan didukung dengan penilaian oleh diri sendiri, siswa
terpantau tingkat penguasaan kompetensinya, mampu mendiagnose kesulitan belajar, dan berguna dalam
melakukan penempatan pada saat pembelajaran didisain dalam kelompok.
Pandangan Beers tersebut memperjelas bahwa proses pembelajaran untuk menyiapkan siswa
memiliki kecakapan abad 21 menuntut kesiapan guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi pembelajaran. Guru memegang peran sentral sebagai fasilitator pembelajaran. Siswa
difasilitasi berproses menguasai materi ajar dengan berbagai sumber belajar yang dipersiapkan. Guru
bertugas mengawal proses berlangsung dalam kerangka penguasaan kompetensi, meskipun
pembelajaran berpusat pada siswa.
Simpulan dan Saran
Perkembangan perekonomian global dan tuntutan dalam dunia kerja mesti disikapi sekolah dalam
menyiapkan siswa. Abad 21 menuntut penguasaan berpikir tingkat tinggi, berpikir kritis, menguasai
teknologi informasi, mampu berkolaborasi, dan komunikatif. Proses mencapai kecakapan tersebut
dilakukan dnegan memperhatikan taksonomi Bloom yang membagi pengetahuan dalam dua kategori yaitu
dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif.
Dalam konteks sistem pendidikan nasional disarankan untuk melakukan analisis standar kompetensi dan
kompetensi dasar masing-masing kelas, sehingga dapat memberikan wadah yang cukup dalam
mengintegrasikan pembelajaran dalam beberapa mata pelajaran.
Daftar Pustaka

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy for learning, teaching, and assesing.
a revision of Bloom’s taxonomy of education objectives. New York: Addison Wesley Longman.
Association, N. E. Preparing 21st Century Students for a Global Society : An Educator’s Guide to the
“Four Cs”.
Beers, S. Z. (2012). 21st Century Skills: Preparing Students for THEIR Future.
Center, P. P. (2010). 21st Century Skills for Students and Teachers. Honolulu:: Kamehameha Schools,
Research & Evaluation Division.
Kang, M., Kim, M., Kim, B., & You, H. (n.d.). Developing an Instrumen to Measure 21st Century Skills for
Elementary Student.
Krathwohl, D. R. (2002). A Revision of Bloom’s Taxonomy: An Overview. THEORY INTO PRACTICE ,
212-232.
NCREL & Metiri Group. (2003). enGauge 21st century skills: literacy in the digital
age.http://www.ncrel.org/engauge/skills/skills.htm
Rotherham, A. J., & Willingham, D. (2009). 21st Century Skills: the challenges ahead. Educational
Leadership Volume 67 Number 1 , 16 – 21.
Skills, P. f. Learning for the 21st century skills. Tucson,: Partnership for 21st Century Skills.

Pendekatan Pembelajaran di Abad 21 ( Abad Industri dan


Pengetahuan )
Pendekatan Pembelajaran di Abad 21 ( Abad Industri dan Pengetahuan ) Inti sari Diklat RSBI di
Parapat, Kab Simalungun

Kita telah memasuki abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan. Para peramal masa depan
(futurist) mengatakan sebagai abad pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama
segala aspek kehidupan (Trilling dan Hood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan
tuntutan yang lebih rumit dan menantang.
Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan
lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang
sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan,
psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia
terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta
perubahan pola hubungan antar mereka.
Pendekatan Pembelajaran di Abad 21 ( Abad Industri dan Pengetahuan ) Inti sari Diklat RSBI di
Parapat, Kab Simalungun

Kita telah memasuki abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan. Para peramal masa depan
(futurist) mengatakan sebagai abad pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama
segala aspek kehidupan (Trilling dan Hood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan
tuntutan yang lebih rumit dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar
pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi
selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang
luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah
perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan
peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka.

Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di abad 21 adalah untuk
mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat.Tibalah saatnya menoleh sejenak ke arah
pandangan dengan sudut yang luas mengenai peran-peran utama yang akan semakin dimainkan oleh
pembelajaran dan pendidikan dalam masyarakat yang berbasis pengetahuan.
Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya
kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah
kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan
kurikulum 1994. Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan
oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar
siswa. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat
dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor
eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang
dilakukan guru.(Sumargi, 1996) Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum
memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau
Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara
kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan.
Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka
tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar
berkualitas (Dahrin, 2000).

Banyak faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru, sehingga pemerintah
berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar profesional yang
mampu mengantisipasi tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan.
Pendidikan di Abad Pengetahuan
Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan karena pengetahuan menjadi
landasan utama segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang
akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu;
(1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi,(2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi
tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke
perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke
bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke
penjaringan,
(9) dari utara ke selatan, dan(10) dari atau/atau ke pilihan majemuk.
Berbagai implikasi kecenderungan di atas berdampak terhadap dunia pendidikan yang meliputi aspek
kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode pendidikan.
Selanjutnya Naisbitt (1995) mengemukakan ada 8 kecenderungan besar di Asia yang ikut
mempengaruhi dunia yaitu; (1) dari negara bangsa ke jaringan,
(2) dari tuntutan eksport ke tuntutan konsumen, (3) dari pengaruh Barat ke cara Asia,
(4) dari kontol pemerintah ke tuntutan pasar, (5) dari desa ke metropolitan, (6) dari padat karya ke
teknologi canggih, (7) dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum wanita, (8) dari Barat ke Timur.

Kedelapan kecenderungan itu akan mempengaruhi tata nilai dalam berbagai aspek, pola dan gaya
hidup masyarakat baik di desa maupun di kota. Pada gilirannya semua itu akan mempengaruhi pola-
pola pendidikan yang lebih disukai dengan tuntutan kecenderungan tersebut. Dalam hubungan
dengan ini pendidikan ditantang untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia yang mampu
menghadapi tantangan kecenderungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya
bangsanya.

Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas, Surya (1998) mengungkapkan bahwa pendidikan
di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut:
(1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses
industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu
pengetahuan dan teknologi;
(2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya
sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan
bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional;
(3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak
pendidikan nasional;
(4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan
pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.
Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan;
(5) Asas belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk
mengimbangi tantangan perkembangan jaman;
(6) Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik, informatika, dan komunikasi dalam
berbagai kegiatan pendidikan,
(7) Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam menunjang upaya
pendidikan dalam pendidikan; (8) Publikasi dan penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain
yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad pengetahuan.

Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang modern dan
profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu
mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar
mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri,
komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan
guru yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan,
penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai
disiplin, wawasan masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai
peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki keberdayaan dan
kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang mantap. Untuk itu, lembaga
penidikan dalam berbagai jenis dan jenjang memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam
berbagai aspeknya.

Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan
paradigma yang meliputi pergeseran paradigma:
(1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan
pengetahuan ke belajar holistic,(3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra
hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke
penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai,
(5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan
komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi
eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama.
Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada
tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai
tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif.
Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan
Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak
dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan
pada abad industri. Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang
digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara
pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri.

Praktek pembelajaran di abad industri dan abad pengetahuan dapat dilihat pada Tabel berikut;
Abad Industri
1. Guru sebagai pengarah 2. Guru sbgai smber pengetahuan
3. Belajar diarahkan oleh kuri- kulum. 4. Belajar dijadualkan secara ketat dgn
waktu yang terbatas 5. Terutama didasarkan pd fakta
6. Bersifat teoritik, prinsip- prinsip dan survei 7. Pengulangan dan latihan 8. Aturan dan prosedur 9.
Kompetitif 10. Berfokus pada kelas 11. Hasilnya ditentukan sblmnya
12. Mengikuti norma 13. Komputer sbg subyek belajar
14. Presentasi dgn media statis 15. Komunikasi sebatas ruang kls 16. Tes diukur dengan norma
Abad Pengetahuan
1. Guru sebagai fasilitator,pembimbing,konsultan2. Guru sebagai kawan belajar
3. Belajar diarahkan oleh siswa kulum. 4. Belajar secara terbuka, ketat dgn
waktu yang terbatas fleksibel sesuai keperluan5. Terutama berdasarkan proyek dan
masalah6. Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan survei 7. Penyelidikan dan perancangan8. Penemuan
dan penciptaan9. Colaboratif10. Berfokus pada masyarakat
11. Hasilnya terbuka12. Keanekaragaman yang kreatif13. Komputer sebagai peralatan semua jenis
belajar14. Interaksi multi media yang dinamis15. Komunikasi tidak terbatas ke seluruh dunia16. Unjuk
kerja diukur oleh pakar, penasehat, kawan sebaya dan diri sendiri.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di
Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki
standar profesional guru sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan
dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi
profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
(1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
(2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara
mengajarnya kepada siswa,
(3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi,
(4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya,
(5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai;
(1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat
ilmu pengetahuan di abad 21;
(2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan
sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses
yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis
pendidikan masyarakat Indonesia;
(3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang
berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan.
Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-
service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan
profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu;
(1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang;
(2) penguasaan ilmu yang kuat;
(3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan
(4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu
kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi
perkembangan profesi guru yang profesional.
Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah
(1) hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA;
(2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru;
(3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan;
(4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik;
(5) pelaksanaan supervisi;
(6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM);
(7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match;
(8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang;
(9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru;
(10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan
(11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.

Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang
tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan
(1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula
sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan
lingkungan belajar yang invitation learning environment.

Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator,
motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan
administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas
dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan
juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah
membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan
serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek
kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi
berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan,
melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai
profesional.

Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi pendidikan nasional kita memang
tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra
pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi
yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya
bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang
baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan
nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya.

Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia
paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak
pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan
nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan
profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai
penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol
melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki
pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri.
Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak
terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.

Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual
korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama
pengambil kebijakan;
(1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gaji. Rendahnya gaji berimplikasi
pada kinerjanya;
(2) profesionalisme guru masih rendah.
Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh
antara lain;
(1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak
guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu
untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional
guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya
perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan
outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika
profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak
dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru;
(1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total,
(2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan,
(3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan
kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan
pencetak tenaga keguruan dan kependidikan,
(4) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada
calon guru,
(5) masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal
meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa
disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan
anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan
profesionalisme para anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan
rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan
profesi guru.
Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan
kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat
persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma
III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan
ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan
perubahan.
Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program
sertifikasi. Program sertifikasi telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama
Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang
telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan (Pantiwati, 2001).
Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme
guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan
para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi
dalam kegiatan mengajarnya (Supriadi, 1998).
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan
prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan
tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi,
sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan
pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.
Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama
antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau
yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.

Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling penting agar guru-
guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan
gaji guru. Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi
kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan
profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Dalam Journal PAT (2001)
dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai
memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal
ini sudah lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi pola anutan
negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman kolonial Belanda.
Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru
menduduki urutan terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.

Kesimpulan dan Saran


Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan
pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting.
Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional
dengan bernuansa pendidikan.
Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan
profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada
penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya.
Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap,
pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang
tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran
kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada
kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha
meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai
pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI
dan masyarakat.

Live : http://smkn1batangangkola.blogspot.com/2010/12/pendekatan-pembelajaran-di-abad-21-
abad.html
Opini ditulis oleh Edi Subkhan, Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (UNNES).
TRIBUNJATENG.COM - Di tengah hiruk pikuk program sekolah 5 (lima) hari yang disebut Program
Penguatan Pendidikan Karakter (PPPK), pemerintah sudah mengeluarkan ketentuan baru Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kurikulum 2013 yang direvisi tahun 2017.
Bukan tidak mungkin ketentuan tersebut akan makin membingungkan guru di tengah kebingungan
mereka terhadap wacana full day school dan alih tata kelola Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) ke Provinsi.
Beberapa hal yang dikuatkan dari Kurikulum 2013 hasil revisi tahun 2017 yaitu (1) penguatan pendidikan
karakter, (2) penguasaan literasi, dan (3) penguatan berpikir tingkat tinggi (high order thinking).
Karakter yang diperkuat dititikberatkan pada (1) religiusitas, (2) nasionalisme, (3) kemandirian, (4) gotong
royong, dan (5) integritas.

Edi Subkhan, Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan,


Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (UNNES). (tribun jateng)
Sementara itu penguasaan literasi ditekankan pada literasi Abad 21 yang terangkum dalam akronim 4C,
yaitu (1) creative, (2) critical thinking, (3) communicative, dan (4) collaborative.
4C tersebut di antaranya sudah mencakup beberapa kompetensi berpikir tingkat tinggi.
Tampaknya bergayung sambut dengan program PPPK, revisi Kurikulum 2013 tersebut dalam
implementasinya nanti direncanakan melalui (1) penambahan dan intensifikasi kegiatan yang berorientasi
mengembangkan karakter siswa, (2) menambah dan mengatur ulang alokasi waktu belajar siswa di
sekolah dan luar sekolah, dan (3) menyelaraskan dan menyesuaikan tugas pokok guru, Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS), dan fungsi Komite Sekolah (KS) dengan kebutuhan gerakan penguatan
pendidikan karakter.
Sebenarnya hasil revisi terakhir Kurikulum 2013 tersebut tak ada hal yang baru sama sekali.
Dalam diskursus Ilmu Pendidikan semua hal yang dianggap penting tersebut sudah jadi bahasan dasar
bagi mahasiswa program studi kependidikan S1.
Namun kebijakan tersebut menjadi membingungkan para guru di sekolah, karena pemerintah juga punya
kebijakan sejenis yang juga berimplikasi pada dunia pendidikan. Antara lain Nawacita, 18 nilai-nilai
karakter siswa, Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), dan standar nasional pendidikan.
Tanpa adanya revisi Kurikulum 2013 yang terakhir sebenarnya para pendidik dan akademisi pendidikan
juga sudah paham betul bahwa kompetensi-kompetensi tersebut penting dikuasai di Abad 21.
Upaya pemerintah yang ingin menjadikan kompetensi-kompetensi tersebut betul-betul diajarkan di
sekolah dan dikuasai siswalah yang justru menjadi sebab dari masalah di lapangan.
Mengapa? Karena upaya tersebut dilakukan dengan mengontrol ketat rencana, pelaksanaan, dan
penilaian hasil belajar di sekolah.
Orientasi pemerintah itulah yang telah menghasilkan beragam dokumen dan tata administrasi yang harus
dipenuhi oleh para guru.
Pada akhirnya justru para guru sibuk menulis dokumen RPP yang harus dibuat secara rigid dan rinci
mengacu pada KKNI, nilai-nilai karakter, kompetensi literasi Abad 21, dan lainnya.
Jika tiap pertemuan harus membuat RPP terlebih dulu, maka bisa diprediksi ada beberapa hal yang
terabaikan dari tanggung jawabnya sebagai guru.
Upaya peningkatan kompetensi pedagogik, profesional, sosial, maupun kepribadian guru paling potensial
terabaikan.
Pentingkan substansi
Hak anak-anak para guru yang juga butuh perhatian dan kasih sayang di rumah pun akan terabaikan.
Muncullah sindiran: anak orang dididik dengan baik, anak sendiri terabaikan.
Tak hanya itu, sebagaimana yang sering dikeluhkan oleh para guru selama uji coba Kurikulum 2013,
mengajar justru menjadi kaku karena terbebani harus menjalankan RPP yang sudah dibuat sebelumnya.
Seakan semua harus mengikuti desain pembelajaran awal.
Guru takut berimprovisasi dan merespons hal-hal yang sifatnya insidental dan kontekstual di kelas,
karena takut dianggap tidak bisa menerapkan RPP yang sudah dibuat sendiri.
Penilaian otentik yang disarankan pun menjadikan guru tak leluasa menikmati seni mengajar di depan
kelas, karena “dipaksa” mengamati secara jeli perkembangan siswa di kelas.
Termasuk mengamati karakter siswa.
Dengan kata lain, guru sekadar menjadi operator kurikulum pemerintah saja.
Mengajar tak lebih dari aktivitas teknis-metodis seperti teknisi merakit perangkat elektronik yang penuh
dengan SOP yang harus dipatuhi.
Padahal mengajar/mendidik seharusnya adalah aktivitas seni-budaya, sebagaimana tukang kebun
merawat tanaman yang beragam di taman sari yang perlakuannya terhadap tiap-tiap tanaman berbeda
sesuai dengan jenisnya.
Mendidik siswa juga seperti menulis naskah drama yang dipentaskan di panggung (baca: kelas), yang
membolehkan improvisasi, interaksi, dan kolaborasi.

Hal-hal yang bersifat seni-budaya inilah yang disebut pendidikan humanis.


Nah, agar guru tak lagi jadi sekadar operator kurikulum di kelas, melainkan sebagai pendidik yang
mengajar dengan senang, bahagia, memanusiakan siswa, pembelajarannya pun humanis,
menyenangkan, dan secara substansial memenuhi tujuan pembelajaran, maka Kurikulum 2013 dan
kebijakan lain tersebut harus dilihat substansinya, bukan bentuk teknisnya.
Dalam hal ini adagium posmodern mengenai pembelajaran patut dipegang, yaitu utamakan prinsip-
prinsip ketimbang prosedur, dan utamakan manusianya di atas prinsip-prinsip (Brent Wilson, 1997).
Dengan berpikir ala posmo maka guru akan dapat lebih menikmati aktivitas mengajar di kelas, sehingga
fokusnya pada siswa dan pembelajaran itu sendiri, bukan pada dokumen-dokumen, serangkaian SOP,
dan kelengkapan administratif lain.
Fenomena guru tak menikmati mengajar oleh karenanya bukan sekadar karena guru belum terbiasa
dengan kebijakan baru, melainkan karena memang ada yang kurang tepat dari kebijakan tersebut.
Kembali pada hal yang sifatnya lebih substansial dari kebijakan-kebijakan tersebut, termasuk revisi
Kurikulum 2013 akan menjadikan guru lebih menikmati mengajar.
Selain itu akan punya banyak waktu untuk pengembangan diri, memberi perhatian penuh pada anak-
anaknya sendiri, dan mengenal siswa-siswinya dengan baik.
Dokumen-dokumen, SOP, dan tata administrasi yang dibebankan pada guru harus dibuat sesederhana
mungkin namun tetap menyimpan makna substansialnya.
Dengan demikian, cara pandang substansial ini perlu diikuti dengan perubahan kebijakan oleh
pemerintah yang lebih manusiawi. Karena guru juga manusia. (tribunjateng/cetak)

Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Kurikulum Abad


21, http://jateng.tribunnews.com/2017/07/01/kurikulum-abad-21?page=2.

Editor: bakti buwono budiasto

Anda mungkin juga menyukai