Anda di halaman 1dari 24

ARSITEKTUR DAN TATA RUANG MENURUT KONSEP ORANG SUNDA

Oleh : Nandang Rusnandar

Arsitektur adalah wujud kebudayaan terbesar, karena di dalamnya terkandung sekaligus


wujud ideal, wujud sosial, dan wujud material yang terpadu dalam bentukkan yang berdimensi.
Arsitektur terjelma dalam batasan-batasan ruang dan waktu, di dalamnya terkandung pandangan
hidup, sikap religius, dan tatanan sosial masyarakatnya. Selain itu juga, dibangun melalui ilmu dan
teknologi yang ada serta menggunakan bahan-bahan yang disediakan alam sekitarnya. Dalam
fungsinya, arsitektur langsung bersinggungan dengan kegiatan manusia dan masayrakatnya, baik
jasmaniah maupun rohaniah secara sadar ataupun tidak sadar. Hubungan-hubungan ini terjadi tidak
hanya dalam kurun hidup seorang manusia, namun justru sepanjang hidup masyarakat dan
kebudayaannya sendiri.

Sebagai unsur kebudayaan, arsitektur selalu merupakan sekelompok pola dan bentukkan
baku yang merupakan pantulan sikap budayanya. Seperti telah disebutkan di atas, pola dan
bentukkan ini sama sekali tidak statis namun selalu berubah, menyesuaikan diri dengan perjalanan
sejarah dan pengalaman budaya; baik individu maupun kelompoknya. Keterikatan pada pola jauh
lebih erat daripada keterikatan pada bentukkan, bahan, dan teknologi. Wujud ideal yang tertanam
pada dunia bawah sadar ini membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk berubah dan justru sisi ini
yang sering dilupakan

Untuk mengetahui perkembangan arsitektur yang sebenarnya perlu kita mengkaji


perjalanan sejarah bangsa kita sendiri dan perjalanan sejarah manusia itu sendiri secara makro.
Dari perjalanan ini pula kita akan mengetahui fungsi arsitektur secara hakiki. Di samping itu,
pengaruh alam sekitar memberikan corak dan ragam bagi perkembangan arsitektur daerahnya.

Apabila kita menelaah lebih jauh mengenai suatu bentuk bangunan, maka sebaiknya
didahului dengan beberapa catatan tentang berbagai ciri gaya bangunan yang berlaku pada waktu
tertentu . Gaya bangunan itu ialah suatu cara membangun dengan menggunakan bahan yang dipilih
dari kekayaan bahan yang sudah tersedia, atau hanya sedikit memerlukan pengerjaan. Karenanya
bahan itu untuk sebagian besar berupa bahan-bahan yang disediakan alam sendiri dan dalam
keadaan siap pakai. Bahan ini adalah yang paling dahulu memberikan perlindungan yang mereka
butuhkan. Dengan berlalunya waktu, maka manusia (masyarakat) itu menemukan bentuk-bentuk
bangunan yang menurut pengalamannya (empirik) merupakan perwujudan idealnya yang paling
baik.

Rumah pada mulanya hanya dibangun sebagai pelindung terhadap elemen cuaca yang
mengganggu (terik, hujan, angin, dan lain-lain) dan binatang buas. Pada tahap ini, elemen rumah
yang dibutuhkan hanya berupa atap dan dinding yang bersifat darurat dari bahan-bahan yang
langsung bisa didapat dari alam secara mudah. (daun besar, gua, dahan yang tergantung rendah,
dan lain-lain) Setelah manusia mengenal aktivitas yang bersifat menetap (bercocok tanam,
berternak, dan berburu) maka bentuk rumah pun ikut berkembang. Kondisi alam secara langsung
akan mempengaruhi perilaku manusia yang tinggal, dan secara fisik terhadap bentuk arsitekturnya
yang terbentuk di daerah itu. Pada keadaan tertentu, arsitektur juga dapat mempengaruhi perilaku
manusia yang tinggal dan sebaliknya.

Perkembangan arsitektur rumah yang ada di seantero Nusantara, berawal dari suatu
perkembangan nafas yang sama dan induk yang sama pula. Rumah menjadi tempat tinggal,
tentunya sebagai tempat di mana ia membutuhkan beberapa persyaratan yang bersifat tetap. Oleh
karena itu, manusia mulai mengolah bahan-bahan yang ada di sekitarnya, untuk memenuhi
kebutuhan rumahnya. Pada saat mengolah bahan inilah manusia memindahkan nilai-nilai yang
dimilikinya -- secara sadar ataupun tidak -- pada tempat tinggalnya .Nilai-nilai tadi tercermin
dalam penampilan bangunannya (bentuk, dimensi, bahan, warna, konstruksi, dan lain-lain).

Begitu pula bentuk arsitektur Sunda, yang kemudian muncul sebuah bentuk arsitektur
rumah Baduy yang merupakan cikal bakal atau kiblatnya arsitektur di Nusantara bahkan mencapai
ke Madagaskar dan Kepulauan Amerika bagian Timur. Kenyataan ini, mungkin oleh sebagian
pihak -- ahli -- dapat dikatakan sebagai hal yang sangat mustahil, tapi seorang ahli yang mencoba
menelusuri karya seni arsitektur ini berpendapat lain.

Hampir sebagian ahli mengatakan bahwa segala hal yang dianggap ‘tampil beda’ dan
dianggap ‘lebih’, baik dalam bidang pengetahuan maupun teknologi yang kemudian berkembang
di Indonesia itu adalah pengaruh dan berasal dari luar. Indonesia sebagai bangsa yang besar adalah
bangsa yang mampu mengekspresikan potensinya sendiri, sehingga eksistensi dirinya mampu
berbicara di tingkat dunia. Hal itu dibuktikan dengan pengatahuan dan nilai-nilai inovatif yang
dimilikinya, sehingga pengetahuan dan nilai-nilai inovatif suatu bangsa dapat menunjukkan
tingkat peradaban bangsa itu sendiri dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya. Kenyataan
tersebut, diangkat ke permukaan untuk membuka mata orang-orang Indonesia sendiri. Dan seorang
ahli dari Jerman, dapat menjungkirbalikkan dikotomi mengenai pendapat ahli Indonesia yang
menyatakan pengetahuan dan teknologi itu selalu datang dari luar. Ia yang mencoba untuk
menggali bentuk rumah yang tersebar di daerah antara Amerika Timur hingga Pantai Afrika bagian
Barat (Sundara) berpusat dari daerah Banten ‘Baduy’. Penyebaran karya seni Arsitektur Rumah
Tradisional Banten ‘Baduy’ yang ada di Nusantara, menyebar ke daerah Dwipantara (Asia
Tenggara), lambat laun terus menyebar ke Sundara (dari Madagaskar hingga Pantai Amerika
bagian Barat). Sistem penyebaran itu dimulai ke arah barat yaitu ke Madagaskar kemudian
dilanjutkan ke Pantai Amerika Timur (Maclaine Pont, 1920). Dapat disimpulkan bahwa bentuk
atap rumah tradisional itu bermula dari daerah Banten (bentuk rumah tradisional orang Baduy).
Mengapa demikian ? Bentuk rumah tradisional daerah tropis dan daerah kepulauan mulai dari
Madagaskar (di Pantai Afrika Bagian Barat - hingga ke Polinesia Pantai Amerika Timur)
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Suhunan Panjang ‘atap panjang’


2. Atap curam sengaja dibuat untuk penyesuaian dengan lebatnya curah hujan.
3. Rumah Panggung
4. Pengangkatan rumah di atas tiang kayu, sehingga diperlukan tangga untuk menaiki rumah
tersebut ‘golodog’.
5. Jarak tinggi rumah sangat beragam antara satu meter hingga tiga meter.
6. Mempergunakan faktor lingkungan setempat, sehingga timbul bentuk-bentuk panggung yang
jangkung dan pendek. (Anthony Rein, 1992 :72)
7. Tiang rumah tidak ditanam dalam tanah, melainkan menumpang di atasnya, untuk memudahkan
pemindahan rumah seutuhnya jika diperlukan. Istilah Sunda ‘tatapakan’ (La Loubère 1691 :
29).
8. Jarak tinggi rumah sangat beragam, meskipun tinggi lantainya paling umum adalah antara satu
hingga tiga meter (biasanya lebih tinggi di daerah-daerah kepulauan daripada di Siam dan
Indoncina). Akan tetapi raja dan kaum bangsawan berusaha lebih tinggi daripada rakyatnya,
sehingga istana raja yang hebat dikabarkan setinggi enam meter di Mindanao dan dua belas
meter di Sumatera bagian utara (Dampier, 1697 :225; Ma Huan 1433 : 123; La Laoubere, 1691
: 165; Symes, 1827 I : 218; Davis, 1600 : 147; Carletti, 1606 : 86).
9. Ciri umumnya lagi adalah tungku perapian yang dipasang melesak ke dalam lantai, biasanya di
belakang ruang dapur.

Pembuktian bahwa di Jawa Barat (Sunda) dalam mempergunakan tiang-tiang rumah bekas
kerajaan itu tinggi-tinggi, dalam sebuah naskah kuna yang berjudul Nagara Tengah yang
diperkirakan berada di daerah Cipatujah Ciamis bagian selatan. Dalam naskah kuna tersebut
dikatakan bahwa :

 /.../ dijenengan Anggaraksa, karesepna moro bae, gawena ngan leuleuweungan, moro mencek
reujeung uncal, anu ngudag beuki jauh, sasab ka Nagaratengah /.../ Isuk-isuk tas ti cai, nenjo
kai nu ngajajar, aki kula asa kaget, pager galede ngajajar, urut naon baheulana, aki
ngajawabna bingung, sabab teu meunang rasiah /.../ Eyang Anggawana sakti, nerangkeun asal
mulana, sajarah nagara gede, Ratu Agung anu gagah, kabeh taya nu kaliwat, kai ngajajar
jarangkung, eta urut kandang jaga. /.../
Terjemahan :
 /.../ dinamai Anggaraksa, hobynya berburu kijang di hutan, lama kelamaan sampai di Nagara
Tengah /.../ pagi-pagi dia melihat tiang kayu berjajar, Kakek saya heran tiang yang berjajar itu
bekas apa, Kakeknya bingung, namun diterangkan sejarah awalnya, yaitu bekas kerajaan Ratu
Agung yang gagah, tiang-tiang yang berjajar itu bekas kandang jaga /.../

Bukti bahwa rumah-rumah itu mempergunakan tiang-tiang sebagai penyangga (panggung),


berbeda dengan rumah-rumah yang ada di Jawa Tengah dan Bali. Dikatakan bahwa rumah-rumah
di daerah sekitar itu adalah ngupuk (langsung ke tanah) adalah : “Pada abad ke enam belas dan
ketujuh belas hanya penduduk di Vietnam sebelah utara, Jawa dan Bali yang membangun rumah
mereka langsung ke tanah, meskipun di jaman-jaman sebelumnya mereka pun mempergunakan
rumah bertiang” (Nguyen, 1934 : 186; Pigeaud 1962 : 509)

Nguyen, mengatakan bahwa orang Asia Tenggara sangat sedikit menggunakan waktu dan
kekayaannya untuk rumah mereka. Jelas bahwa lunaknya cuaca dan tersedianya pohon-pohon
yang cepat besar, pohon kelapa, dan bambu sebagai bahan bangunan menjadi penyebab utama dari
rendahnya prioritas tersebut. Selanjutnya karena biaya membangun rumah begitu murah, rumah
dipandang sebagai sesuatu yang tidak permanen dan bukan sarana yang patut untuk menanam
uang. Meskipun bahan bangunan rumah mudah diperoleh dan digunakan, juga mudah hancur, atap
ilalang dan lantai bambu baru diganti setelah sepuluh tahun. (1934 : 188)

Mengenai penyebaran rumah Banten ke Amerika Timur hingga Pantai Afrika bagian Barat
(Sundara) itu, dapat dibuktikan dengan beberapa hipotesis, di antaranya:
1. Sistem Knock Down dalam pembangunan dan pendirian rumah
2. Pembuatan modul-modul bagian-bagian rumah
3. Sistem Sleeding Door ‘pintu geser’
4. Sistem pintu jungkit

Pembuktian lainnya lagi, di antaranya ada beberapa kejadian yang disaksikan langsung oleh para
ahli arsitek, yaitu Lodewycksz (1598 :108), menyaksikan keseluruhan daerah Banten yang
terbakar dibangun kembali dalam waktu tiga atau empat jam. Penyebaran sistem knock down dan
modul rumah ini pun tidak berhenti di sini, karena atrsitek lain menyaksikan tiga rumah orang
Siam yang dipindahkan ‘kurang dari satu jam’ guna melapangkan pandangan dari istana raja,
sedangkan dua puluh rumah dipindahkan oleh penghuninya ketika suatu tempat di Makasar
diperlukan untuk membangun pabrik Inggris di tahun 1613 (Jourdain 1617 :193). Membangun
kembali sebuah rumah sederhana tidaklah jauh lebih berat daripada memindahkannya. Crawfurd
(1820. I : 162), menaksir bahwa sebuah rumah biasa tidak memerlukan lebih dari enam puluh hari
kerja pria; lima puluh buruh Birma membangun rumah berkamar empat yang nyaman untuk Symes
(1827. I : 283) dalam waktu empat jam. Orang Eropa tercengang karena cepatnya kota-kota besar
dibangun kembali setelah hancur di Ayutthaya yang dibangun kembali dalam dua hari. Kecepatan
membangun rumah-rumah yang ada itu dikarenakan bahwa hampir seluruh rakyat adalah ahli
membangun rumah. Dinyatakan bahwa meskipun terdapat ahli bangunan rumah dan tukang kayu,
keahlian dasar untuk membangun rumah dimiliki oleh rakyat secara luas -- hampir tiap orang
adalah tukang kayu -- (Dampier, 1697 : 227).

Pembangunan rumah dengan mempergunakan sistem knock down yang dikembangkan oleh
masyarakatnya, sangat memberikan kemudahan dalam mendirikan sebuah rumah, mereka hanya
tinggal membentuk bagian-bagian rumah, sehingga rumah-rumah itu pun dapat dibangun dengan
cepat sesuai konsep yang berprinsif minimalis selaras dengan alam lingkungan sekitarnya.

Arsitektur Tradisional Sunda (Bentuk Bangunan)

Menurut sejarawan Drs. Saleh Danasasmita (almarhum) bentuk bangunan tradisional


Sunda memang amat sederhana. Penduduk tatar Sunda jaman dulu tergolong masyarakat ladang.
Sifat paling menonjol dalam masyarakat ladang adalah kebiasaan pindah tempat mengikuti letak
peladangannya. Pengaruh langsung dari keadaan ini tentu saja dalam hal bangunan yang harus
sederhana dan tidak permanen. Hal yang dianggap tabu oleh masyarakat adalah penggunaan
genteng untuk atap rumah dan pemanfaatan paku. Semua dianggap benda-benda asing yang tidak
cocok dan ditolak pemanfaatannya (Saleh Danasasmita, 1975)

Koentjaraningrat (1981 : 9) kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia


yang harus dibiasakannya dengan belajar, berserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.
Tentunya dalam hal ini juga termasuk nilai-nilai yang tercermin dalam rumah manusia. Oleh
karena itu dapat dikatakan juga bahwa rumah mencerminkan bangsa, budaya suatu bangsa, di
samping tentunya elemen-elemen lainnya, seperti bahasa, pengetahuan, seni, dan lain-lain. Setelah
manusia mengenal kehidupan bermasyarakat, ia mulai mengidentifikasikan dirinya dengan
masyarakat tempat ia berada, dan ia pun mulai mengenali dan membentuk ciri masyarakatnya
yang tertentu dan khas. Ciri ini juga akan tercermin pada tempat tinggalnya.
Apabila kita teliti lebih lanjut, bentuk bangunan masyarakat Sunda lebih banyak mengacu
pada kesadaran lingkungan. Artinya bentuk atap bangunan selalu disesuaikan dengan kondisi
alamiah lingkungan. Untuk daerah pegunungan yang banyak hujan dan tiupan angin keras, orang
akan memilih bentuk atap yang kokoh, tertutup, hingga tidak mudah lepas diterpa angin.

Pendek kata, bangunan rumah tinggal bagi penduduk Tatar Sunda dianggap memadai asal
bisa memberi keteduhan dari curah hujan dan matahari, dan melindungi dari bahaya binatang buas.
Untuk itu bangunan rumah berbentuk rumah panggung bertengger di atas pilar kayu dengan
dinding sederhana guna melindungi dari terpaan angin. Untuk menjaga kehangatan di dalam
rumah, cukup dengan menyalakan api (Sunda: hawu).

Kesederhanaan bentuk dan gaya arsitektur tradisional Sunda, banyak mengacu pada
"bentuk atap dan pintu" yang berbeda pada masing-masing bangunan. Bentuk-bentuk bangunan
tradisional Sunda yaitu : Suhunan Jolopong (suhunan panjang), Jogo Anjing, Badak Heuay, Parahu
Kumereb (Limasan), Julang Ngapak, Buka Palayu, Buka Pongpok.

Dalam Arsitektur Hijau, dikatakan bahwa “In Sundanese traditional architecture there is
no certain rules or norm concerning roof ordering system. However we cuold still indentify the
unique tendence of its roof. They use simple roof like pelana ‘gable’ or perisai ‘hip’ roof and when
they need to have more roof they just extending the roof with a single roof ‘lean-on’. The single
roof always has alower angle and the combination of pelana / perisai with ist lean-on roof is called
Julang Ngapak. This rather information solution is still found in traditional Sundanese house in
urban area”. (1987 :236).

a. Suhunan Jolopong (Suhunan Lurus)

Bentuk jolopong adalah bentuk rumah (bangunan) yang memiliki suhunan yang sama
panjangnya di kedua bidang atap yang sejajar dengan itu. Bentuk jolopong memiliki dua bidang
atap. Kedua bidang ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah, bahkan jalur
suhunan itu sendiri merupakan sisi bersama dari kedua bidang atap yang sebelah menyebelah.

Bentuk atap jolopong merupakan bentuk atap yang sederhana dan dari bentuk ini
berkembang bentuk-bentuk atap yang lain. Bentuk atap jolopong banyak digunakan pada atap
saung (dangau) di sawah di Tatar Sunda. Saung umumnya dibangun di sawah dan dipergunakan
sebagai tempat petani menunggu tanamannya dan beristirahat sejenak melepas lelah, sambil
menghirup udara segar.

b. Jogo Anjing (sikap anjing sedang duduk)

Bentuk atap jogo anjing atau tagog anjing adalah bentuk atap yang memilikii dua bidang
atap yang berbatasan pada garis batang suhunan. Bidang atap yang pertama lebih lebar dibanding
dengan bidang atap lainnya, serta merupakan penutup ruangan. Sedangkan atap lainnya yang
sempit, memiliki sepasang sisi yang sama panjang dengan batang suhunan bahkan batang suhunan
itu merupakan puncaknya. Pasangan sisi (tepi) lainnya lebih pendek bila dibandingkan dengan
panjang suhunan. Pada umumnya sisi bawah tidak disangga oleh tiang. Bidang atap yang sempit
ini hanya sekedar tudung agar cahaya matahari atau air hujan tidak langsung menyemburi ruangan
dalam bagian depan.

Tiang-tiang depan pada bangunan dengan atap tagog anjing lebih panjang dibandingkan
dengan tiang-tiang belakang, batang suhunan terletak di atas puncak tiang depan. Ruangan
sebenarnya berada di bawah atap belakang. Atap depan hanya berfungsi sebagai emper saja.

c. Badak Heuay

Bangunan dengan atap bentuk badak heuay sangat mirip dengan bentuk atap tagog anjing.
Perbedaanya hanya pada bidang atap belakang. Bidang atap ini langsung lurus ke atas melewati
batang suhunan sedikit. Bidang atap yang melewati suhunan ini dinamakan rambu.

d. Parahu Kumereb

Bentuk atap ini memiliki empat buah bidang atap. Sepasang bidang atap sama luasnya,
berbentuk trapesium sama kaki. Letak kedua bidang atap ini sebelah menyebelah dan dibatasi oleh
garis suhunan yang merupakan sisi bersama. Jadi kedua bidang atap ini menurun masing-masiing
dari garis suhunan itu. Batang suhunan yang merupakan sisi bersama lebih pendek dari sisi alasnya.
Sepasang bidang atap lainnya berbentuk segitiga sama kaki dengan kedua titik ujung suhunan
merupakan titik puncak segitiga itu. Kaki-kakinya merupakan sisi bersama dengan kedua bidang
atap trapesium.

Di daerah lain di Jawa Barat (Kecamatan Tomo Kabupaten Sumedang), bentuk atap parahu
kumereb disebut bentuk atap jubleg nangkub.

e. Julang Ngapak

Agak sulit menjelaskan dengan saksama bentuk atap julang ngapak. Padahal istilah itu
sudah dikenal oleh masyarakat Sunda sejak beberapa waktu lampau. Ir. Maclaine Pont, misalnya
mengemukakan tentang bentuk atap pada "Sunda Besar" yang bercirikan bentuk suhunan yang
mencuat di kedua ujungnya dan adanya tameng-tameng yang menggantung di depannya
(Maclaine Pont,1933 : 166). Bentuk atap demikian dulu banyak dijumpai di daerah Garut,
Kuningan, dan tempat lain di Jawa Barat.

Bentuk atap julang ngapak adalah bentuk atap yang melebar di kedua bidang sisi bidang
atapnya. Jika dilihat dari arah muka rumahnya bentuk atap demikian menyerupai sayap burung
julang (nama sejenis burung) yang sedang merentang.

Bila diperhatikan dengan saksama, bentuk atap julang ngapak, memiliki empat buah bidang
atap. Dua bidang pertama merupakan bidang-bidang yang menurun dari arah garis suhunan, dua
bidang lainnya merupakan kelanjutan (atap tambahan) dari bidang-bidang itu dengan membentuk
sudut tumpul pada garis pertemuan antara kedua bidang atap itu. Bidang atap tambahan dari
masing-masing sisi bidang atap itu nampak lebih landai dari bidang-bidang atap utama. Kedua
bidang atap yang landai ini disebut leang-leang.
f. Buka Palayu

Nama bangunan buka palayu untuk menunjukkan letak pintu muka dari rumah tersebut
menghadap ke arah salah satu sisi dari bidang atapnya. Dengan demikian, jika dilihat dari arah
muka rumah, tampak dengan jelas ke seluruh garis suhunan yang melintang dari kiri ke kanan.
Nama bangunan tersebut dipergunakan oleh penduduk di daerah Kabupaten Sumedang
(Kecamatan Tomo) untuk bangunan-bangunan lama yang kini masih banyak ditemukan, terutama
di sepanjang jalan raya yang menghubungkan kota-kota Cirebon - Bandung di daerah kecamatan
tersebut.

Pada umumnya, rumah-rumah dengan gaya buka palayu didirikan atas dasar keinginan
pemiliknya, untuk menghadapkan keseluruhan bentuk bangunan dan atapnya ke arah jalan yang
ada di depan rumahnya. Potongan buka palayu pada umumnya mempergunakan bentuk atap
suhunan panjang atau suhunan pondok yang juga disebut rumah jure. Disebut demikian karena
mempergunakan jure-jure yaitu batang kayu yang menghubungkan salah satu atau kedua ujung
garis suhunan dengan sudut-sudut rumah.

g. Buka Pongpok (menghadap ke bagian pendeknya)

Sama halnya dengan buka palayu, rumah dengan gaya buka pongpok didirikan atas dasar
keinginan pemiliknya untuk menghadapkan pintu muka ke arah jalan. Rumah buka pongpok
adalah rumah yang memiliki pintu masuk pada arah yang sejajar dengan salah satu ujung dari
batang suhunan. Jika dilihat dari arah muka rumah, keseluruhan batang suhunan tersebut tidak
nampak sama sekali. Yang nampak terlihat ialah bidang atap segi tiga dari rumah tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya potongan buka palayu dan buka pongpok dipadukan
menjadi potongan campuran yang disebut sirit teuweul. Potongan yang lebih baru ini,
menunjukkan bahwa batang suhunan memiliki dua arah yang berbeda dan masing-masing
membentuk sudut tegak lurus, dengan pintu muka mengarah sejajar dengan salah satu batang
suhunan.

Jika dilihat dari bentuk bangunan yang ada di daerah sekitar Kampung Naga, maka dapat
disimpulkan bahwa rumah-rumah penduduk yang ada di daerah ini mempergunakan dua bentuk
suhunan, yaitu suhunan pelana ‘gable roof’ dan suhunan perisai ‘hip roof’. Hal itu disebabkan
karena dapat dengan mudahnya penduduk di sekitar itu untuk pengembangan selanjutnya.

Dari beberapa sampel yang ada di daerah Kampung Naga, ada dua macam rumah yaitu :
pertama, berupa rumah asli dan kedua berupa rumah yang telah terjadi penambahan ruang untuk
fungsi-fungsi baru dan adanya perubahan tata letak ruang. Perubahan-perubahan ini terjadi karena
timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru, seperti misalnya penambahan ruang dapur, ruang tidur, dan
ruang untuk beristirahat keluarga.

Beberapa pengertian mengenai berbagai suhunan yang ada dan dipergunakan oleh
masyarakat Sunda secara umum.

Susunan Ruangan Rumah


Susunan ruangan-ruangan rumah tempat tinggal pada masyarakat Sunda umumnya pada
rumah tinggal dengan atap suhunan jolopong atau panjang, pada umumnya terdiri atas:

 Ruangan depan, disebut emper atau tepas


 Ruangan tengah, disebut tengah imah atau patengahan
 Ruangan samping, disebut pangkeng atau kamar.
 Ruangan belakang, terdiri atas: (a). dapur, disebut pawon, (b). tempat menyimpan beras, disebut
padaringan.

Rumah tinggal masayrakat Kampung Naga, pada umumnya mempunyai ruangan-ruangan terdiri
atas:

 Ruangan depan dalam rumah disebut tepas


 Ruangan tengah disebut patengahan (tengah imah)
 Ruangan-ruangan samping disebut pangkeng
 Ruangan belakang disebut pawon (dapur)

Sistem pembagian ruangan pada rumah tempat tinggal berhubungan dengan pandangan
masyarakat tentang kedudukan dan fungsi masing-masing anggota keluarga penghuni suatu
rumah. Pembagian itu didasarkan pada tiga daerah yang terpisah dibedakan penggunaannya, yaitu:
daerah wanita, daerah laki-laki, dan daerah netral (dipergunakan bagi wanita dan laki-laki).

Pembagian fungsi ruangan ini memang tidak begitu kentara, namun ketika ruangan itu dibuka
untuk difungsikan, maka ada pembagian khusus. Dalam penggunaannya orang tidak dapat
sembarangan untuk menempatinya. Demikian pula ketika seorang laki-laki memasuki daerah goah
‘lumbung’ akan sangat berkaitan dengan kepercayaan yang sakral.

Fungsi Tata Ruang Bangunan

Rumah bagi orang Sunda identik dengan ‘dunia’ yang lebih besar. Rumah dalam bahasa
Sunda adalah imah atau bumi, dalam bahasa Indonesia sepadan dengan bumi atau dalam
pengertian yang sesungguhnya yaitu dunia. Namun demikian, rumah bagi orang Sunda sebagai
keseluruhan dapat dipandang sebagai memiliki sifat kewanitaan. Hal ini dapat diamati dengan
adanya ucapan kumaha nu di imah 'bagaimana istri saja' yang sering diungkapkan oleh seorang
suami. Ungkapan tersebut tercermin bagaimana peranan seorang wanita atau istri yang sangat
menentukan di rumah, istri sebagai tuan di rumah. Dari pembagian di atas, tidak melepaskan
pengertian secara makro antara prinsip kelaki-lakian dan kewanitaan tetap dominan.

Pengaturan tata ruang tradisional Sunda, tidak terlepas dari sistem pengetahuan yang
tercermin dari kosmologinya, dapat dilihat dari setiap pembangunan rumah biasanya didahului
dengan perhitungan-perhitungan yang didasarkan pada hari / tanggal kelahiran istri ditambah
suami yang memiliki rumah tersebut. Pada waktu ditetapkan, maka dilakukan hajatan untuk
meminta restu karuhun dan agar terhindar dari pengaruh kekuatan-kekuatan yang dianggap buruk.
Dengan demikian, pengetahuan tentang tata ruang dalam pandangan manusia Sunda tampak
dengan jelas memadukan konsep dunia gaib dengan dunia manusia yang menjelma kontras, tetapi
saling mengisi antara dunia laki-laki dan dunia wanita.
Rumah tradisional Sunda selalu terintegrasi secara harmonis dengan bangunan-bangunan
lainnya dengan alam lingkungan sekitarnya, membentuk pola pemukiman tertentu. Pola
pemukiman mereka membentuk deretan rumah yang berhimpitan dua baris dan saling berhadapan,
terpisah oleh satu pelataran yang berfungsi sebagai jalan. (Anwas Adiwilaga, 1975 : 55). Pelataran
atau halaman (buruan) biasanya terbagi dua; halaman depan dan belakang. Halaman depan
dibiarkan terbuka untuk tempat anak-anak bermain dan tempat orang tua berbincang, akan tetapi
bagi wanita biasanya mengobrol di bagian belakang (dapur), dengan demikian halaman depan
identik dengan daerah laki-laki. Halaman belakang biasanya merupakan tempat aktivitas wanita.
Di sini terdapat sumur, kolam, dan biasa pula terdapat berbagai jenis tanaman yang berkhasiat
sebagai obat dan tanaman bumbu dapur. Di daerah Priangan, peranan sumur dan kolam sangat
penting, karena keduanya berhubungan dengan air yang memiliki kaitan erat dengan kepercayaan
akan kesuburan atau dunia bawah (Hiding, 1912 , Weesing, 1978 :55)

Bentuk bangunan rumah Sunda biasanya berbentuk panggung, berdasarkan pandangan


kosmisnya, kedudukan secara makro dalam jagat raya ini terletak di antara dunia bawah dan dunia
atas, maka dengan demikian rumah berada di daerah netral yang merupakan penghubung di antara
dua dunia tadi. Manifestasi rumah panggung tadi, mengingatkan kita pada saung ranggon yang
tingginya mencapai 4 meter, menunjukkan bahwa manusia Sunda adalah peladang (ladang =
huma) di mana arti imah identik dengan huma.

Tidak ada ketentuan khusus tentang letak dan arah menghadap rumah, hanya di kalangan
masyarakat tertentu, rumah menghadap ke suatu arah yang dianggap lebih tinggi derajatnya, di
Kampung Naga, menghadap arah utara-selatan, karena menghadap kepada tukuh kampung atau
pancer kampung. Di Baduy rumah membujur utara-selatan, sedangkan pintu rumah menghadap
barat-timur, hal ini disebabkan letak sasaka domas yang ada di daerah sebelah selatan (Saleh
Danasasmita, 1986 :54). Letak rumah di Kampung Pulo (Garut) menghadap utara-selatan,
sedangkan atapnya membujur arah timur-barat, hal ini dimungkinkan karena adanya makam
"Embah Arief Muhammad" yang dianggap sebagai pancer. Di daerah Indramayu, rumah harus
menghadap ke gunung, identik dengan konsep kaja-kelod di kalangan orang Bali yang beragama
Hindu-Bali. Gunung bagi orang Indramayu adalah pusat.

Di Kampung Naga, rumah tidak harus menghadap pada satu orientasi, hal itu disebabkan
karena tidak adanya tokoh yang dikultuskan, walaupun tokoh-tokoh pendiri Kampung tersebut
disemayamkan di daerah itu. Orientasi rumah didasarkan pada pola kebutuhan dan penyesuaian
jalan dalam sirkulasi aktivitas manusia. Namun dalam pola kampung di Kampung Naga ini
mengacu pada pola kampung konsentrik, yakni kampung berpusat pada satu titik orientasi, yaitu
jalan desa.

Konsep dasar pembagian ruang pada rumah tradisional Sunda, berlaku klasifikasi dua,
yaitu ruang tepas 'depan' dan ruang belakang; terdiri atas ruang padaringan 'tempat menyimpan
beras' dan dapur. Di antara kedua ruang tersebut ada ruang pemisah atau ruang antara, yaitu ruang
tengah yang berfungsi sebagai ruang penghubung. Tepas adalah ruang laki-laki, berfungsi sebagai
tempat menerima tamu, walaupun wanita boleh masuk ke ruangan ini. Ruang tengah 'tengah imah'
merupakan daerah netral digunakan untuk berkumpul seluruh anggota keluarga, mereka berbaur
di tempat ini, dan berfungsi pula sebagai penghubung antara ruang tepas 'depan' dengan ruang
belakang 'dapur'. Ruang pangkeng 'tidur', merupakan kategori daerah wanita dan sangat dominan
menggambarkan ciri kewanitaan. Siapa pun dilarang masuk ke dalam ruangan ini, kecuali suami
istri. Ruang tidur ini biasanya terletak di sebelah kanan agak menyudut dari arah kamar. Secara
struktural letaknya agak menjauh dari ruang padaringan dan ruang tamu yang biasanya terletak di
daerah tepas yang agak menjorok ke arah sudut kiri.

Ruang belakang terdiri atas dua ruang utama, yaitu padaringan dan dapur, letaknya yang
lebih umum di arah timur-barat. Dunia wanita dalam klasifikasi ruang tercermin di daerah ini, di
mana beras tersimpan dan sesajen tersedia untuk para lelembut ‘Nyi Sri yang memiliki sifat
kewanitaan', laki-laki sama sekali dilarang masuk ke area ini, pamali 'tabu', karena baik sesajen
dan penempatan beras di dalam ruangan ini ditata dan dibuat oleh wanita. Begitu pula dengan
ruang dapur adalah ruang segala aktivitas. Penataan atas dasar ini, membuat rumah menjadi suatu
cosmos kecil, di mana tempat atau rumah terendah di bawah lantai, terutama diperuntukkan bagi
binatang dan sampah (meskipun adakalanya digunakan juga untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga lainnya). Tengah rumah untuk tempat berdiam dan ini juga dibedakan antara tempat
untuk umum atau untuk bekerja dengan tempat yang lebih tinggi (lihat rumah Baduy) untuk acara-
acara atau untuk tidur. Tempat yang paling tinggi ialah goah sebagai tempat suci untuk menyimpan
beras dan untuk memberikan sesajian kepada leluhur (Errington, 1979 : 13, Nguyen, 1934 :471)

Perlu dijelaskan di sini, meskipun telah diungkapkan bahwa rumah itu mengandung daerah
laki-laki dan daerah wanita secara jelas, namun dalam cara memandang rumah itu dengan unit-
unitnya yang lain bergantung pula pada konteksnya. Jadi dalam beberapa hal dapat pula dipandang
rumah itu memiliki sifat laki-laki dan wanita, tetapi dalam konteks yang lain dapat bersifat salah
satu.

Seperti telah dipaparkan di depan bahwa rumah secara makro merupakan lambang
kewanitaan, terlihat dalam tata cara mewariskan rumah, di mana rumah tersebut jatuhnya kepada
anak wanita dan atau kepada menantu wanita. Begitu pula dalam tata cara membangun rumah dan
pindah memasuki rumah baru, biasanya perhitungan hari baik / buruk didasarkan pada hari
kelahiran istrinya yang akan membangun rumah, sehingga pembangunan rumahnya dimulai
dengan membangun padaringan.

Konsep pembagian dua terhadap ruang-ruang rumah dan halaman menjadi daerah laki-laki
dan daerah wanita yang dibatasi oleh ruang / daerah netral itu, harus dilihat sebagai kategorisasi
yang bersifat ritual dan fungsional. Misalnya laki-laki secara adat tidak boleh masuk ke dalam
padaringan, karena ruang tersebut hanya diperuntukkan bagi kaum wanita. Daerah padaringan
identik dengan Dewi Sri, 'dewi padi' yang memiliki sifat kewanitaan. Makhluk-makhluk halus
(dedemit, jurig, ririwa, kelong) yang bertalian dengan dunia di luar rumah, cenderung bersifat laki-
laki dan dengan demikian harus dihadapi oleh laki-laki pula.

Menjaga Kelestarian Alam

Nenek moyang "karuhun" Sunda telah memiliki kearifan dalam penataan lingkungan (ekologi).
Salah satu contoh yaitu masyarakat Kampung Naga, salah satu bentuk dalam menjaga kelestarian
alamnya itu dengan tabu. Kelestarian alam sekitar dapat dijaga dengan adanya tabu yang sangat
mengikat sikap hidup masyarakatnya. Perjalanan sejarah Kampung Naga mulai dari awal hingga
sekarang adalah gambaran adanya kesadaran akan lingkungan alam sekitar. Perpaduan antara
kearifan tradisional yang diturunkan melalui karuhunnya dengan tantangan alam yang ada, mampu
menciptakan hidup yang harmonis.

Sikap tabu untuk melakukan dan berbuat sesuatu (khususnya dalam pembuatan rumah) sangat
dihormati masyarakatnya, walaupun kini dalam suatu siatuasi yang menuntut untuk berubah sesuai
dengan gelombang jaman. Rasionalisasi yang diberikan oleh pimpinan masyarakat adalah jawaban
tentang kearifan dalam menjaga kelestarian alam sekitarnya.

Ada dua sisi yang tak dapat ditolak oleh masyarakat Kampung Naga, yaitu pertama : sisi perubahan
jaman yang menuntut manusia untuk berubah. Hal itu disebabkan adanya mobilitas antara
penduduknya dengan dunia luar. Kedua adanya sisi yang lebih prinsip dalam hidupnya, yaitu sikap
religius yang harus dipertahankan sebagai pedoman hidupnya. Kedua sisi yang saling
bersebrangan ini mereka ikuti dengan jalan mencoba merasionalkan tabu dengan nilai-nilai baru
sesuai dengan perubahan zaman.

Sikap pertentangan dua sisi yang bersebrangan itu akan sangat terlihat pula pada kehidupan
masyarakat orang Rawayan (Baduy) adalah salah satu sisa-sisa karuhun Sunda jaman dahulu yang
dikenal kuat memegang prinsip adat. Mereka memiliki kearifan ekologis yang tercermin dari
pegangan hidup mereka, yaitu seperti ungkapan berikut:

 Ngaraksa Sasaka Pusaka Buana mengandung makna, menjaga warisan suci di atas bumi.
Adapun yang dimaksud dengan "warisan suci di atas bumi" adalah kelestarian alam yang masih
terjaga. Tanah yang masih tetap subur, sumber air yang belum tercemar, udara yang bersih,
sehat, nyaman belum terkena polusi, serta bumi yang masih terjaga keseimbangan ekologisnya.
Sasaka Pusaka Buana adalah buana bumi yang masih tetap layak, sehat, nyaman untuk dihuni
oleh manusia dan makhluk lainnya, yang kelak akan diwariskan kepada anak cucu kita.
 Lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung, artinya: Panjang tak boleh
dipotong, pendek tak boleh disambung. Ini adalah esensi hidup dari konsep konservasi yang
menyatakan menjaga dan melestarikan kelangsungan proses perubahan alamiah secara wajar.
 Ngasuh ratu ngajayak menak, ngabaratakeun nusa teulung puluh telu, bagawan sawidak
lima, panca salawe nagara. Maksudnya, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, paling
tidak secara moril harus loyal kepada pemerintah dan pimpinan negara, dengan berbagai upaya
dan cara. Begitu pula para pemimpin bangsa dan masyarakat. Dalam upaya menjaga
kewajibannya dan menghindarkan diri dari tindak nista tercela, perlu ikut mendukung dengan
keteladanan. Secara spiritual, dengan berdoa dan bertapa, agar negara dan bangsa senantiasa
selamat sejahtera, aman damai abadi. Terhindar dari segala macam bencana dan malapetaka.
 Mipit kudu amit, ngala kudu menta (memetik harus permisi, mengambil mesti meminta). Jika
prinsip ini dipadukan dengan prinsip "lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang
disambung", maka prinsip orang Rawayan untuk menjaga kelestarian alam merupakan prinsip
yang lengkap, utuh, dan serasi.

Dengan mematuhi prinsip itu orang Rawayan menerima alam menurut kondisi kodrati. Mereka
tabu untuk mengubah wajah atau permukaan bumi. Oleh karena itu, dalam menentukan lokasi
rumah, kampung, desa, atau lahan pemukimannya, mereka memiliki salah satu alternatif dari
beberapa macam lahan yang bersifat baik dan layak huni.
Begitu pula dengan masyarakat Kampung Naga, mereka menyadari bahwa dengan mematuhi
larangan atau tabu yang menjadi patokan hidupnya adalah suatu cara dan jalan untuk menyikapi
hidup. Proses rasionalisasi tabu yang dilakukan oleh para pemimpin masyarakatnya adalah sikap
arif yang paling baik untuk menyikapi dinamika penduduknya dalam menghadapi perubahan dan
tantangan alam. Rasionalisasi ini tidak mengubah pola pikir tradisional menjadi ‘modern’, namun
proses rasionalisasi ini merupakan pola pikir yang mendukung adanya perubahan tanpa merubah
asas sikap hidupnya.

Klasifikasi Lahan

Masyarakat Sunda pada masa lalu sangat memperhatikan kualitas tanah dalam pemilihan
lahan untuk lokasi bangunan rumah, tempat hunian atau perkampungan baru. Pemilihan lahan
selalu mempertimbangkan bagaimana letaknya, kemiringannya, bekas apa pada masa lalunya,
warna dan aroma tanah, serta bentuk alamiah lahan tersebut. Semua itu akan memberi pengaruh
kepada para penghuninya.

Penjelasan tentang kualitas atau klasifikasi lahan tersebut diterangkan dalam naskah kuno
Sanghyang Siksakandang Karesian, paling sedikit ada sembilan belas jenis tanah yang mempunyai
pengaruh buruk dan dapat mendatangkan bahaya atau bencana pada penghuninya.

Lahan yang dianggap "sampah bumi" atau mala ning lemah adalah : Tanah sodong,
sarongge, cadas gantung, mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang,
catang nonggeng, garunggungan, garenggengan, lemah sahar, dangdang wariyan, hunyur, lemah
laki, pitunahan celeng, kolomberan, jariyan, dan sema. (Sutrisno Murtiyoso, 1989). Sedang lahan
yang bersifat baik, mendatangkan kesejahteraan kepada penghuninya, dapat dipilih dari 6 jenis
lahan berikut: galudra ngupuk, pancuran emas, satria lalaku, kancah nangkub, gajah palisungan,
dan bulan purnama. Untuk jelasnya pengertian tentang lahan tersebut berikut rinciannya :

1. Sodong: Ceruk pada tebing, biasanya terbentuk pada aliran sungai yang berbelok sehingga sisi
luarnya tergerus dan menjadi lubuk (Sunda: leuwi) tempat persembunyian ikan. Dapat diartikan
sebagai ceruk atau goa dangkal yang umumnya pada tebing.
2. Sarongge : Tempat angker yang dihuni roh jahat, tempat-tempat dipercaya menjadi "pangkalan"
setan, jurig, dan ririwa.
3. Cadas Gantung : Cadas bergantung, sehingga di bawahnya terbentuk naungan (shelter) alami.
4. Mungkal Pategang : bungkah berkelompok tiga, mungkin sebidang lahan yang dikelilingi oleh
bongkahan karang atau gundukan batuan di sekelilingnya.
5. Lebak : lurah atau ngarai, yakni permukaan lantai jurang, terlindung dari pandangan dan sinar
matahari.
6. Rancak : batu besar bercelah atau lahan-lahan yang dikurung oleh batu-batu besar sehingga sulit
dihampiri.
7. Kebakan Badak : kubangan atau kolam yang dipergunakan untuk berkubang oleh badak.
8. Catang Nunggang : batang kayu roboh dengan bangkot sebelah bawah. Merupakan lahan yang
ditengahnya dipisahkan oleh satu selokan / ngarai, namun dihubungkan oleh suatu jembatan
alami berupa cadas atau karang.
9. Catang Nonggeng : batang kayu roboh dengan bangkot di atas. Yakni, sebidang lahan yang
lokasinya terletak pada lereng yang curam.
10.Garunggungan : tanah membukit kecil.
11.Garenggengan : tanah kering permukaannya, namun di bawahnya berlumpur.
12.Lemah Sahar : tanah panas, sangar, tempat bekas terjadinya pembunuhan, atau pertumpahan
darah.
13.Dangdang Wariyan : dangdang berair, kobakan. Yakni, lahan yang legok di tengah dan kedap
air sehingga menggenang.
14.Hunyur : sarang semut atau sarang rayap, yang berupa bukit kecil atau gundukan tanah, lebih
kecil dari gunung (Sunda: incuna gunung. Gunung, pasir, hunyur).
15.Lemah Laki : tanah tandus, atau tanah berbentuk dinding curam.
16.Pitunahan Celeng : tempat berkeliaran babi.
17.Kolomberan : kecomberan, atau genangan air yang mandeg.
18.Jarian : tempat pembuangan sampah.
19.Sema : kuburan.

Sebaliknya, lahan yang bersifat baik dan sesuai untuk lokasi pemikiman penduduk, dapat dipilih
di antara enam jenis lahan, yang perinciannya adalah:

1. Galudra ngupuk : lahan yang mendatangkan kekayaan duniawi.


2. Pancuran emas : lahan yang miring ke selatan dan barat. Mendirikan bangunan pada lokasi ini
pemilik rumah akan kaya raya dan banyak istrinya.
3. Satria lalaku : lahan yang miring ke selatan dan timur. Penghuni lokasi ini hidup prihatin namun
tidak kekurangan harta benda, serta penuh kehormatan.
4. Kancah nangkub : lokasi di puncak perbukitan atau gundukan tanah dan dikelilingi pegunungan.
penduduk atau penghuni lokasi ini sehat sejahtera.
5. Gajah palisungan : lahan datar di atas gundukan tanah miring ke arah timur dan barat. Pemilik
lokasi pada lahan seperti ini alamat bakal mendatangkan kekayaan duniawiah yang tumpah
ruah.
6. Bulan purnama : desa atau perkampungan yang mengambil lokasi pada lahan yang dialiri sungai
dekat mata air (di arah utara). Sedangkan arah bangunan dan arah rumah lokasinya berderet di
arah barat dan timur.

Adapun tipe lahan yang buruk lokasinya dan tidak layak untuk tempat mendirikan rumah atau
kampung adalah:

1. Gelagah katunan : dataran rendah yang dikelilingi oleh lahan yang lebih tinggi.
2. Cagak gunting : yakni lahan "segi tiga" yang diapit oleh dua jalur jalan atau dua alur sungai.
3. Jalan ngolecer : lebih dikenal dengan "nyunduk sate / tusuk sate", yakni lahan atau bangunan
yang hampir tertembus alur jalan atau jadi tumpuan jalur jalan raya.

Beberapa jenis klasifikasi tanah / lahan, yang baik maupun yang buruk, semua ditentukan oleh
para karuhun Sunda jaman dahulu secara empiris, berdasarkan pengalaman hidup secara nyata.
Namun bila ditelaah secara ilmiah, klasifikasi jenis lahan yang baik dan yang buruk menurut
kepercayaan masyarakat Sunda kuno ini, tidak banyak berbeda dengan teori "Site Planning"
modern.
Sebagai peraturan yang berlaku di masyarakat, maka ketentuan tentang mala ning lemah tadi tak
boleh dilanggar, bahkan pengetahuan itu dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat. Hal
ini diungkapkan dalam pesan yang tercantum pada Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian
sebagai berikut:

Eta kehna kanyahokeun, dituhuna diyogyana, aya ma nu majar mo nyaho, eta nu mo satya di guna
di maneh, mo teuing dicarek dewata arang. Tan awuring inanti dening kawah, lamun guna mo
dipiguna, lamun twah mo dipitwah, sehingga ning guna kreta, kena itu tangtu hyang tangtu
dewata.

Terjemahan :

"Itu semua patut diketahui, tepatnya dan perlunya. Bila ada yang mengatakan tidak perlu tahu,
itulah yang tidak akan setia kepada keahlian dirinya, mengabaikan ajaran leluhur kita, pasti
ditunggu oleh neraka; bila keahlian tidak dimanfaatkan, bila kewajiban tidak dipenuhi untuk
mencapai kebajikan dan kesejahteraan, karena semua itu ketentuan dari Hyang dan Dewata”

Memilih Tanah yang Baik untuk Pekarangan

 Apabila tanah sebelah barat lebih tinggi dan sebelah timur lebih rendah, itu menunjukkan tanah
yang baik untuk dijadikan lahan pekarangan, makna-nya banyak berkah. Apabila sebaliknya
tanah di sebelah timur lebih tinggi daripada sebelah barat, menandakan tanah itu jelek untuk
dibuat pekarangan makna-nya akan banyak menimbulkan penyakit.
 Apabila tanah di sebelah selatan lebih tinggi daripada sebelah utara, maknanya akan banyak
memberikan berkah dan rezeki bagi penghuni rumah yang turun-temurun kepada anak cucunya.
Sebaliknya apabila tanah di sebelah utara lebih tinggi daripada sebelah selatan, menandakan
tanah yang jelek untuk penghuni rumah bahkan akan menimbulkan banyak musuh dan banyak
setan.
 Apabila tanah yang rata, ada baiknya dan ada jeleknya. Baiknya banyak berkah, sedangkan
jeleknya tidak mendapatkan apa-apa.
 Apabila tanah miring ke sebelah barat, warnanya putih, rasanya manis, baunya harum, akan
memberikan mananya kepada penghuni yaitu tidak akan kekurangan rezeki.
 Apabila tanah warnanya merah, rasanya manis, baunya menyengat (seperti membaui cabai yang
pedas), akan memberikan kesenangan dan sangat dihormati ‘kaimpungan’ sangat disukai oleh
banyak orang.
 Apabila tanah warnanya hijau, rasanya manis-pedas dan berbau, akan memberikan keselamatan
kepada anak dan hartanya bendanya.
 Apabila tanah warnanya hitam, baunya amis ‘hanyir’ , tanah ini jangan dipergunakan untuk lahan
perumahan, sangat jelek bagi penghuni nantinya.

Dalam kehidupan kesehariannya, masyarakat Sunda tak lepas dari siklus alam yang mengitarinya,
segala sesuatu selalu berkelinditan ‘berhubungan’ erat tidak terputus. Apabila kita lihat bahwa
waktu atau perputaran bumi, bulan, dan matahari tak lepas dari pengamatan yang dijadikan acuan
dan patokan dalam langkah kesehariannya. Patokan itu merupakan satu tatanan permanen yang
apabila dilepaskan atau diabaikan akan terjadi kerusakan alam dan manusianya, itu adalah
konskuensinya. Kearifan manusia Sunda dalam mengakomodir gejala alam ini adalah suatu
pranata yang sudah menjadi konsep hidupnya dalam keseharian. Konsep itu andalan dan pegangan
dalam segala aspek kehidupan, yang dipergunakan baik oleh petani, pembuat rumah, konseptor,
pedagang, dan lain-lain. Ada semacam perhitungan-perhitungan hari baik dan hari-hari pantangan
untuk melaksanakan suatu pekerjaan sesuai dengan perputaran bumi, bulan, dan matahari bagi
seseorang. Perhitungan itu disebut sebagai palintangan.

Perenungan akan kesadaran terhadap tradisi palintangan bangsa sendiri yang berkaitan dengan
waktu adalah merupakan kenyataan hidup manusia Sunda, Di negara-negara Barat ‘negara-negara
industri’ waktu sesuai dengan istilah jam yang dapat diukur, menurut Benjamin Franklin, “waktu
juga dapat disamakan dengan uang”, bukan sebagai sesuatu yang sesuai dengan kenyataan hidup
manusia. Karena itu, bagi mereka kesamaan waktu dan kehidupan manusia merupakan
pengelolaan teknologis. Bagi manusia Sunda waktu dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang sampai sekarang merupakan pusat pemikiran dan tindakan. Keselarasan hidup
sesama manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, manusia dengan waktu masih
merupakan pegangan hidupnya. Bagi manusia Sunda, waktu dan ruang merupakan hukum
perulangan yang berhubungan dengan prinsip kosmis, si petani menyelaraskan diri dengan
musimnya dan dengan pergantian siang dan malam.

Kepercayaan terhadap ramalan hari baik dan buruk, keberuntungan serta ramalan-ramalan lainnya
merupakan salah satu bagian dari sistem pengetahuan yang dimilikinya dan sangat erat dengan
sistem religi yang dianutnya. Masyarakat Sunda pada dasarnya masih percaya bahwa kehidupan
ini selalu berada dalam pengaruh alam gaib, benda-benda serta bintang-bintang lainnya yang saling
mempengaruhi.

Mengenai kebenaran dari hasil palintangan ini, menyangkut sejauhmana keyakinan seseorang atau
sekelompok orang dalam penerapannya, sehingga apa yang diharapkan dari niat atau pekerjaan itu
tidak terlalu jauh meleset atau bahkan tidak berdampak negatif. Pada umumnya masyarakat
Kampung Naga pun dengan latar belakang agama Islam sangat intens dengan kepercayaan
mengenai perhitungan ini. Pada dasarnya kepercayaan mengenai perhitungan-perhitungan ini
adalah untuk menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan alamnya atau dengan alam
gaib. Agar hubungan yang harmonis ini terus tercipta, maka diadakanlah upacara-upacara ritual,
sepeti dalam tata cara membangun rumah; mulai dari tahapan awal hingga rumah selesai dibangun,
selalu diwarnai dengan upacara ritual.

Pedoman Feng Shui Interior

Saat sekarang banyak orang membeli rumah dengan memasukkan unsur Feng Shui di
dalamnya. Namun, bagaimana Anda tahu bahwa cara analisa Feng Shui yang Anda lakukan
telah tepat? Apakah teknik analisa Feng Shui yang Anda lakukan telah sesuai dengan
metode yang benar, dan bukanlah analisa yang mempercayai sebuah mitos atau
kepercayaan tertentu?

Kesalahan umum yang sering dibuat oleh orang saat ini adalah mereka hanya mengevaluasi
Feng Shui Interior rumah. Fakta ini memberi kesimpulan bahwa orang lebih mementingkan
Feng Shui Interior daripada Feng Shui Eksterior. Ini adalah pengertian yang salah! Kondisi
Feng Shui Interior dari sebuah rumah harus dianalisa SETELAH kita menganalisa kondisi
Eskterior, seperti: dimana rumah tersebut berada, bagaimana sejarah kavling tanah rumah
tersebut, bagaimana pola jalan lalu-lintas di sekitar rumah tersebut, apakah terdapat obyek
yang menciptakan energi negatif di sekitar rumah tersebut? Kualitas baik-buruknya properti
berdasar sudut pandang Feng Shui hampir tergantung dari kondisi lingkungan eksterior atau
lansekap. Feng Shui Interior sebagian besar digunakan untuk menganalisa bagaimana
energi Qi yang berasal dari luar rumah dapat masuk ke dalam, serta apakah dapat
bersikulasi dengan baik?

Untuk memudahkan pemahaman Anda, coba perhatikan sirkuit listrik. Kondisi eksterior atau
lansekap kita samakan dengan sumber energinya. Rumah Anda berfungsi sebagai
konduktor atau penghubung sumber energi. Interior rumah Anda berfungsi sebagai tombol
sakelar yang bertugas apakah Anda bisa menggunakan sumber energi tersebut. Oleh sebab
itu, tanpa kondisi eksterior atau lansekap yang bagus, maka rumah yang Anda huni juga
tidak memiliki sumber energi. Sebaliknya, Anda tidak bisa memanfaatkan sumber energi
dari luar jika Anda tidak memiliki tombol sakelar! Jadi, Feng Shui Eksterior dan Interior
bekerja secara interdependen atau saling melengkapi satu sama lain.

Dari alasan diataslah artikel ini tercipta!

 Artikel ini adalah pelengkap dari pedoman Feng Shui Eksterior. Oleh sebab itu,
pastikan Anda membaca artikel kami: Pedoman Feng Shui Eksterior sebelum
membaca artikel: Pedoman Feng Shui Interior.
 Artikel ini akan memudahkan Anda dalam menganalisa baik-buruknya tata layout
interior rumah berdasar Feng Shui.
 Disaat ketika Anda masuk ke sebuah pilihan rumah yang akan Anda beli, bacalah
artikel ini terlebih dahulu, karena apa yang saya berikan disini berfungsi sebagai
‘checklist’ atau pedoman – pedoman Feng Shui yang boleh dilakukan atau yang tidak
boleh dilakukan sebelum Anda memutuskan membeli rumah tersebut berdasar
penataan interiornya.
 Dan bagi Anda yang telah memiliki rumah, setidaknya artikel yang saya berikan
disini dapat menjadi acuan untuk memastikan Anda tidak melakukan pelanggaran
Feng Shui di dalam rumah.

Disini Anda akan belajar masalah-masalah seperti:


1. Bagimana cara menganalisa Feng Shui Interior yang tepat?
2. Dimana lokasi tempat tidur yang tepat berdasar perspektif Feng Shui?
3. Bagaimana cara Anda menentukan baik-buruknya Feng Shui Pintu Utama Rumah?
4. Apakah lokasi toilet memiliki peranan yang krusial dalam Feng Shui?
5. Apa yang harus Anda prioritaskan dalam menganalisa Feng Shui Interior?

Mengapa saya perlu menulis artikel ini? Sejujurnya, banyak orang yang tidak mengetahui
cara menganalisa Feng Shui yang tepat dan saya sebagai seorang konsultan Feng Shui,
tidak suka memberikan kabar buruk buat mereka ketika terdapat kesalahan dalam
penataan layout atau tata ruang rumah. Saya lebih suka mengatakan pada mereka
bagaimana untuk meningkatkan situasi dan kondisi Feng Shui yang baik berdasarkan
sumber daya keuangan mereka, daripada melakukan renovasi yang membutuhkan biaya
besar karena telah melanggar pedoman Feng Shui Interior. Dan saya berharap dari adanya
artikel ini akan membuat kehidupan tiap orang lebih mudah dalam membeli ataupun
membangun rumah.

Banyak inspirasi yang muncul dari artikel yang saya tulis ini berasal dari Arsitek, Designer
Interior, mapun Agen Properti yang mengharapkan adanya pemahaman yang tepat dalam
Feng Shui, serta praktis agar menjadi pedoman bagi mereka untuk tidak merubah gambar
kerja eksterior maupun interior sehubungan dengan masalah Feng Shui.
Dan saya percaya dengan adanya artikel ini, maka seorang Arsitek dan interior designer
dapat lebih mudah mendesain penataan ruangan rumah. Dan untuk agen properti akan
menemukan bahwa artikel ini sangat membantu mereka dalam memberikan nasehat
maupun pedoman bagi calon pembeli mereka untuk memperbaiki pelanggaran Feng Shui
Interior sebelum rumah tersebut dibeli maupun disewa.

Dan bagi Anda calon pemilik rumah, saya harap Anda semua menikmati artikel ini dan saya
juga berharap yang terbaik bagi Anda agar dapat menemukan rumah impian Anda yang
sebenarnya!!

Selamat mencari rumah idaman!

Silahkan klik langsung gambar dibawah ini untuk membaca masing-masing tips
Feng Shui!

Tips Feng Shui Interior Pintu Utama Tips Feng Shui Dapur

Tips Feng Shui Kamar Tidur Tips Feng Shui Kamar Mandi

Tips Feng Shui Bagian Tengah Rumah Tips Feng Shui Tangga

Tips Feng Shui Sumur dan Plafon


IV.2.b. Pengaruh Tingkat Kelembaban Rendah

Ketika kelembaban turun di bawah tingkat kenyamanan, anda mungkin akan mengalami udara
kering dan juga mungkin merasakan dingin yang tidak menyenangkan selama musim dingin.
Seperti udara lembab yang sangat tinggi, udara kering juga dapat menyebabkan masalah
kesehatan yang terkait seperti kulit kering, bibir pecah-pecah, dan lain-lain. Ketika Anda
bernafas dalam udara dingin dan sangat kering, anda juga mungkin mengalami kesulitan
bernafas atau mendapatkan sakit tenggorokan selama pagi dan malam hari di saat musim
angin.

Tidak seperti tingkat kelembaban tinggi, udara kering


tidak berpengaruh begitu banyak pada alat-alat rumah
tangga. Akan tetapi furnitur seperti pintu, jendela
biasanya menciut akibat kekeringan ekstrim udara di
sekitarnya.

Singkatnya, faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi


kelembaban di rumah Anda adalah sebagai berikut:

 Kondisi cuaca dan tingkat suhu di luar rumah


Anda.
 Bagaimana bangunan tersebut dilindungi dari
kelembaban, dan lain-lain, serta kebocoran.
 Anda sehari-hari aktivitas seperti mandi, pengukusan, pengeringan pakaian basah dan
lain-lain

V. Penutup

Rumah sebagai bangunan, yang tidak hanya sebagai tempat berlindung dan beristirahat serta
sebagai sarana pembinaan keluarga, tentu sangat dirindukan oleh banyak keluarga agar dapat
menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik, mental dan sosial, sehingga seluruh anggota
keluarga dapat beraktifitas secara produktif, nyaman, dan sehat. Tulisan ini yang diambil dari
berbagai sumber, mudah-mudahan dapat menginspirasi bagi pembaca yang akan membangun
maupun yang sudah memiliki rumah dan juga bagi pelaku pemberdayaan masyarakat, sehingga
warga yang tidak mempunyai pengetahuan rumah sehat dapat terbantukan. (diambil dari
berbagai sumber oleh Wirawan Kristianto, TA Safeguard Lingkungan, KMP PNPM Mandiri
Perkotaan; Firstavina)

Dalam arti umum, rumah adalah salah satu bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama
jangka waktu tertentu. Rumah bisa menjadi tempat tinggal manusia maupun hewan, namun
untuk istilah tempat tinggal yang khusus bagi hewan adalah sangkar, sarang, atau kandang.
Dalam arti khusus, rumah mengacu pada konsep-konsep sosial-kemasyarakatan yang terjalin di
dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, hidup, makan, tidur, beraktivitas, dan lain-lain.
Daftar isi

 1 Konstruksi Rumah
o 1.1 Efisiensi energi
o 1.2 Perlindungan terhadap gempa
 2 Fungsi Rumah
 3 Lihat pula
 4 Referensi
 5 Pranala luar

Konstruksi Rumah

Sebagai bangunan, rumah berbentuk ruangan yang dibatasi oleh dinding dan atap. Rumah
memiliki jalan masuk berupa pintu dengan tambahan berjendela. Lantai rumah biasanya berupa
tanah, ubin, babut, keramik, atau bahan material lainnya. Rumah bergaya modern biasanya
memiliki unsur-unsur ini. Ruangan di dalam rumah terbagi menjadi beberapa ruang yang
berfungsi secara spesifik, seperti kamar tidur, kamar mandi, WC, ruang makan, dapur, ruang
keluarga, ruang tamu, garasi, gudang, teras dan pekarangan.

Rumah memiliki berbagai model dan tipe desain yang beragam, selain model rumah minimalis,
terdapat juga beberapa model rumah lain seperti model rumah kontemporer, rumah tradisional
dan model rumah modern. Selain memiliki beragam model rumah saat ini juga memiliki ukuran
baku, seperti rumah type 36, rumah type 45, rumah type 54.

Efisiensi energi

Konstruksi rumah yang bagus harus memperhatikan efisiensi pemakaian energi. Konstruksi
rumah hemat energi di Indonesia yang beriklim tropis tidak serumit konstruksi rumah di negara-
negara yang beriklim subtropis, karena tidak ada perubahan musim yang ekstrim. Kebutuhan
energi untuk pencahayaan, insulasi, ventilasi, pengaturan udara, dan lain-lain tidak sebesar
rumah di negara-negara dengan empat musim. Efisiensi energi bisa dimaksimalkan dengan
memakai pencahayaan alami di siang hari, tata letak lampu penerangan yang tepat, pemakaian
lampu hemat energi, pemasanan ventilasi dan insulasi pada dinding, pemilihan atap yang tidak
menyerap panas, dan pemakaian peralatan listrik yang hemat energi.

Dalam desain rumah hemat energi, termasuk didalamnya segala rancang bangunan yang ramah
lingkungan, dengan meminimalkan penggunaan energi tidak terbarui dan mengoptimalkan
pemanfaatan energi alami. Keterbatasan sumber daya alam membuat konstruksi rumah hemat
energi menjadi semakin relevan mulai dari sekarang.[1]

Perlindungan terhadap gempa

Sesuai dengan UU No 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, setiap bangunan wajib
memenuhi persyaratan keselamatan, salah satunya adalah perlindungan terhadap gempa.[2] Hal
ini perlu diperhatikan karena Indonesia terletak di sebelah tenggara Cincin Api Pasifik sehingga
hampir semua wilayahnya mempunyai aktivitas seismik dan vulkanik tinggi. Data menunjukkan
bahwa rata-rata setiap tahun terjadi sepuluh peristiwa gempa bumi yang mengakibatkan
kerusakan yang cukup besar diIndonesia.[3]

Prinsip utama bangunan rumah tahan gempa ada pada denah rumah yang simetris, pemilihan
material yang ringan, dan sistem konstruksi penahan beban yang memadai. Kekenyalan struktur
sangat ditekankan untuk mencegah keruntuhanbangunan. Gaya gempa hanya dapat ditahan oleh
sistem struktur yang menerus (jalur lintasan gaya yang menerus) dari puncak bangunan sampai
ke tanah.[3]

Fungsi Rumah

Dalam kegiatan sehari-hari, orang biasanya berada di luar rumah untuk bekerja, bersekolah atau
melakukan aktivitas lain. Aktifitas yang paling sering dilakukan di dalam rumah adalah
beristirahat dan tidur. Selebihnya, rumah berfungsi sebagai tempat beraktivitas antara anggota
keluarga atau teman, baik di dalam maupun di luar rumah pekarangan.

Rumah dapat berfungsi sebagai tempat untuk menikmati kehidupan yang nyaman, tempat untuk
beristirahat, tempat berkumpulnya keluarga, dan tempat untuk menunjukkan tingkat sosial dalam
masyarakat.

Tentang Rumah Sehat

I. Pengertian Rumah Sehat

Setiap manusia, di manapun berada, membutuhkan tempat untuk tinggal yang disebut rumah.
Rumah berfungsi sebagai tempat untuk melepas lelah, tempat bergaul dan membina rasa
kekeluargaan di antara anggota keluarga, serta sebagai tempat berlindung dan menyimpan barang
berharga. Selain itu, rumah juga merupakan status lambang sosial. (Azwar, 1996; Mukono,
2000).

Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan juga merupakan determinan kesehatan
masyarakat. Karena itu, pengadaan perumahan merupakan tujuan fundamental yang kompleks
dan tersedianya standar perumahan adalah isu penting dari kesehatan masyarakat. Perumahan
yang layak untuk tempat tinggal harus memenuhi syarat kesehatan, sehingga penghuninya tetap
sehat. Perumahan yang sehat tidak lepas dari ketersediaan prasarana dan sarana terkait, seperti
penyediaan air bersih, sanitasi pembuangan sampah, transportasi, dan tersedianya pelayanan
sosial. (Krieger and Higgins, 2002).

Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang digunakan
sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga (UU RI No. 4 Tahun 1992). Menurut
WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana lingkungan
berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik demi kesehatan
keluarga dan individu. (Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rumah sehat adalah bangunan tempat berlindung dan
beristirahat serta sebagai sarana pembinaan keluarga yang menumbuhkan kehidupan sehat secara
fisik, mental dan sosial, sehingga seluruh anggota keluarga dapat bekerja secara produktif. Oleh
karena itu, keberadaan perumahan yang sehat, aman, serasi, teratur sangat diperlukan agar fungsi
dan kegunaan rumah dapat terpenuhi dengan baik.

II. Kriteria Rumah Sehat

II.1. Menurut Winslow dan APHA

Permukiman sehat dirumuskan sebagai suatu tempat untuk tinggal secara permanen. Berfungsi
sebagai tempat untuk bermukim, beristirahat, berekreasi (bersantai) dan sebagai tempat
berlindung dari pengaruh lingkungan yang memenuhi persyaratan fisiologis, psikologis, dan
bebas dari penularan penyakit.

Rumusan yang dikeluarkan oleh American Public Health Association (APHA), syarat rumah
sehat harus memenuhi kriteria sebagai berikut

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis. Antara lain, pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak
yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis. Antara lain, privacy yang cukup, komunikasi yang
sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antarpenghuni rumah, yaitu
dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan air limbah rumah tangga, bebas
vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang berlebihan, cukup sinar matahari pagi,
terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan
penghawaan yang cukup.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan, baik yang timbul karena
keadaan luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan,
konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat
penghuninya jatuh tergelincir.

PROSES AIR LIMBAH DARI WC SAMPAI KEMBALI KE DALAM TANAH


Limbah dari WC melalui saluran, masuk ke septictank untuk diendapkan dan di saring, kemudian
dialirkan ke Drain Field sehingga dapat masuk ke dalam air tanah.

b. SUMUR RESAPAN
Sumur Resapan Air merupakan rekayasa teknik konversi air yang berupa bangunan yang dibuat
sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang digunakan
sebagai tempat penampung air hujan diatas atap rumah dan meresapkannya ke dalam tanah.
Konstruksi Sumur Resapan Air (SRA) merupakan alternatif pilihan dalam mengatasi banjir banjir dan
menurunnya permukaan air tanah pada kawasan perumahan, karena dengan pertimbangan :
1. Pembuatan konstruksi SRA tidak memerlukan biaya besar.
2. Tidak memerlukan biaya yang besar.
3. Bentuk konstruksi SRA sederhana
Manfaat pembangunan Sumur Resapan Air antara lain :
1. Mengurangi aliran permukaan dan mencegah terjadinya genangan air, sehingga mengurangi
terjadinya banjir dan erosi.
2. Mempertahankan tinggi muka air tanah dan menambah persediaan air
3. mencegah menurunnya lahan sebagai akibat pengambilan air tanah yang berlebihan.

Proses dan Cara Pengolahan Limbah Rumah Tangga (Sanitasi)


#shareiteveryday
November 13, 2013Kebijakan Pengelolaan Air

Indonesia merupakan negara dengan sistem sanitasi ( pengelolaan air limbah domestic ) terburuk
ketiga di Asia Tenggara setelah Laos dan Myanmar ( ANTARA News, 2006 ). Menurut data
Status Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2002, tidak kurang dari 400.000 m3 / hari limbah
rumah tangga dibuang langsung ke sungai dan tanah, tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu.
61,5 % dari jumlah tersebut terdapat di Pulau Jawa. Pembuangan akhir limbah tinja umumnya
dibuang menggunakan beberapa cara antara lain dengan menggunakan septic tank, dibuang
langsung ke sungai atau danau, dibuang ke tanah , dan ada juga yang dibuang ke kolam atau
pantai.
Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia, masih banyak dijumpai masyarakat yang berada di
bawah garis kemiskinan dengan sanitasi yang sangat minim. Masih sering dijumpai sebagian
masyarakat yang membuang hajatnya di sungai karena tidak mempunyai saluran pembuangan
khusus untuk pembuangan air limbah rumah tangga maupun air buangan dari kamar mandi.
Bahkan terkadang masih dijumpai masyarakat yang membuang hajatnya di pekarangan
rumahnya masing-masing. Hal ini terjadi selain disebabkan karena factor ekonomi, faktor
kebiasaan yang sulit dirubah dan kualitas pendidikan yang relative rendah dari masyarakat pun
memang sangat berpengaruh besar terhadap pola hidup masyarakat.
Berdasarkan perkiraan WHO/ UNICEF, sekitar 60 persen penduduk di kawasan pedesaan di
Indonesia kekurangan akses terhadap sarana sanitasi yang pantas. Kegiatan mandi dan mencuci
pakaian di sungai serta buang air besar di tempat terbuka membuat orang mudah terpapar
penyakit, mengontaminasi air tanah dan permukaan, dan menurunkan kualitas tanah dan tempat
tinggal. Perempuan dan anak-anak berada dalam risiko.

1. PENGERTIAN SANITASI
Sanitasi adalah bagian dari system pembuangan air limbah, yang khususnya menyangkut
pembuangan air kotor dari rumah tangga, dapat juga dari sisa-sisa proses industry, pertanian,
peternakan dan rumah sakit (sector kesehatan).
Sanitasi juga merupakan suatu usaha untuk memberikan fasilitas di dalam rumah yang dapat
menjamin agar rumah selalu bersih dan sehat. Tentunya tang ditunjang penyediaan air bersih
yang cukup, dan pembuangan air kotoran yang lancar.

2. AIR LIMBAH
Air Limbah adalah air buangan yang dihasilkan dari suatu proses pruduksi industri maupun
domestik (rumah tangga), yang terkadang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak
dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Dalam konsentrasi dan kuantitas
tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negative terhadap lingkungan tertutama kesehatan
manusia sehingga dilakukan penanganan terhadap limbah.
Air kotor adalah air bekas pakai yang sudah tidak memenuhi syarat kesehatan lagi dan harus
dibuang agar tidak menimbulkan wabah penyakit
Beberapa hal yang berkaitan dengan pengertian dan kegiatan yang berhubungan dengan limbah
cair menurut PP 82 tahun 2001 yaitu :
1. Air adalah semua air yang terdapat diatas dan dibawah permukaan tanah, kecuali air laut dan
fosil.
2. Sumber air adalah wadah air yang terdapat diatas dan dibawah permukaan tanah, seperti, mata
air, sungai, rawa, danau, waduk, dan muara.
3. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang
diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin kualitas tetap dalam kondisi alamiahnya.
4. Pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air
serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air.
5. Pencemaran air adalah masuknya makhluk hidup, zat, energy, dan atau komponen lain
kedalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ketingkat tertentu yang
menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
6. Limbah cair adalah sisa dari sutu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair.
7. Baku mutu limbah cair adalah, ukuran batas atau kadar unsure pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam limbah cair yang akan dibuang atau dilepas kedalam sumber air dari suatu
usaha atau kegiatan.

3. ALAT PEMBUANGAN AIR KOTOR


Alat pembuangan air kotor dapat berupa :
- Kamar mandi, washtafel, keran cuci
- WC
- Dapur
Air dari kamar mandi tidak boleh dibuang bersama sama dengan air dari WC maupun dari dapur.
Sehingga harus dibuatkan seluran masing-masing.
Diameter pipa pembuangan dari kamar mandi adalah 3” (7,5 cm), pipa pembuangan dari WC
adalah 4”(10 cm), dan dari dapur boleh dipakai diameter 2”(5cm). pipa pembuangan dapat
diletakkan pada suatu “shaft”, yaitu lobang menerus yang disediakan untuk tempat pipa air
bersih dan pipa air kotor pada bangunan bertingkat untuk memudahkan pengontrolan. Atau dapat
dipasang pada kolom-kolom beton dari atas sampai bawah. Setelah sampai bawah, semua pipa
air kotor harus merupakan saluran tertutup di dalam tanah agar tidak menimbulkan wabah
penyakit dan bau tak sedap.
Dibawah lantai, semua pipa sanitasi diberi lobang control, yang sewaktu-waktu dapat dibuka bila
terjadi kemacetan.

b. SUMUR RESAPAN
Sumur Resapan Air merupakan rekayasa teknik konversi air yang berupa bangunan yang dibuat
sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang
digunakan sebagai tempat penampung air hujan diatas atap rumah dan meresapkannya ke dalam
tanah.
Konstruksi Sumur Resapan Air (SRA) merupakan alternatif pilihan dalam mengatasi banjir
banjir dan menurunnya permukaan air tanah pada kawasan perumahan, karena dengan
pertimbangan :
1. Pembuatan konstruksi SRA tidak memerlukan biaya besar.
2. Tidak memerlukan biaya yang besar.
3. Bentuk konstruksi SRA sederhana
Manfaat pembangunan Sumur Resapan Air antara lain :
1. Mengurangi aliran permukaan dan mencegah terjadinya genangan air, sehingga mengurangi
terjadinya banjir dan erosi.
2. Mempertahankan tinggi muka air tanah dan menambah persediaan air
3. mencegah menurunnya lahan sebagai akibat pengambilan air tanah yang berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai