Anda di halaman 1dari 11

TEMA :

MANAJEMEN GANGGUAN SISTEM MUKULOSKELETAL “OSTEOMIELITIS”

JUDUL :

PENGARUH EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP PERTUMBUHAN


pseudomonas aeruginosa PADA PASIEN OSTEOMIELITIS BANGSAL CEMPAKA RS.
ORTOPEDI PROF.DR.R SOEHARSO SURAKARTA INVITRO.

- LATAR BELAKANG
Osteomielitis atau inflamasi pada tulang, umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri
(Kalyoussef, 2006). Organisme atau mikroba yang sering ditemukan pada osteomielitis
(biasanya campuran berbagai jenis bakteri) antara lain Staphylococcus aureus,
Escherichia coli, Streptococcus pyogens, Proteus sp., dan Pseudomonas sp. (Apley,
1993). Saat ini penanganan osteomielitis masih merupakan masalah dalam bidang
ortopedi, karena seringkali antibiotika yang diberikan secara oral maupun parenteral tidak
dapat mencapai lokasi infeksi dengan baik (Lubis, 2005).
Berdasarkan hasil pemeriksaan pus / jaringan nekrotik dari pasien osteomielitis di
laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada periode April-Juli 2008 didapatkan sedikitnya sepuluh dari enam belas spesimen
pus / jaringan nekrotik dari pasien osteomielitis yang diperiksa positif mengandung
Pseudomonas aeruginosa.
Pseudomonas aeruginosa merupakan penyebab infeksi nosokomial, (Qarah,
2005). Pseudomonas aeruginosa merupakan salah satu organisme penyebab osteomielitis
(Apley, 1993). Pseudomonas aeruginosa meningkat secara klinik karena resisten terhadap
berbagai antimikroba dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan tingkat Multi
Drug Resistance (MDR) yang tinggi, termasuk pada penisilin dan sefalosporin generasi
pertama dan kedua, tetrasiklin, kloramfenikol, dan makrolid (Rosana, 2007).
Infeksi yang disebabkan oleh bakteri resisten dikaitkan dengan angka perawatan
rumah sakit yang lebih tinggi, masa perawatan rumah sakit yang lebih lama, serta tingkat
kesakitan dan kematian yang lebih tinggi (Sastroasmoro, 2005). Sehingga akhir-akhir ini,
penggunaan dan pencarian obat dari sumber tanaman sebagai sumber obat alternatif
meningkat tajam (Cowan, 1999).
Lidah buaya telah lama dijuluki sebagai medical plant (tanaman obat) atau master
healing plant (tanaman penyembuh utama) (Astawan, 2006). Penelitian dr. Bill Wolfe
pada tahun 1969 membuktikan bahwa lidah buaya sangat efektif membunuh bakteri
penyebab infeksi. Ekstrak lidah buaya (Aloe vera) mempunyai berbagai aktifitas
antibakteri antara lain terhadap Staphylococcus aureus, Klebsilla pneumonia,
Pseudomonas aeruginosa, Mycobacterium tuberculosis (Furnawanthi, 2007).
Lidah buaya mengandung komplek antrakuinon antara lain aloe emodin, aloin,
barbaloin yang berfungsi sebagai senyawa antibakteri. Selain itu terkandung juga zat
saponin yang bersifat antiseptik (Furnawanthi, 2007). Senyawa kuinon dapat
menyebabkan protein bakteri menjadi inaktif dan kehilangan fungsinya. (Cowan, 1999).
Sedang saponin dapat melarutkan lipid pada membran sel bakteri (lipoprotein), akibatnya
dapat menurunkan tegangan permukaan lipid, permeabilitas sel berubah, fungsi sel
bakteri menjadi tidak normal, dan sel bakteri lisis dan mati (Voight, 1994, Brooks, 2007).
Sehubungan dengan adanya indikasi ekstrak lidah buaya mempunyai daya antibakteri,
maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh antibakteri lidah buaya tersebut
terhadap pertumbuhan kuman Pseudomonas aeruginosa penyebab osteomielitis secara
invitro.

- MANFAAT
Manfaat Teoritik
1. Menambah pengetahuan dalam bidang fitofarmasi
2. Dapat memberikan informasi ilmiah mengenai daya hambat lidah buaya (Aloe vera)
terhadap Pseudomonas aeruginosa pada pasien osteomielitis bangsal Cempaka rumah
sakit ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta secara invitro

Manfaat Aplikatif
1. Diharapkan dapat dipakai sebagai acuan terhadap pengembangan penelitian obat
alami sebagai alternatif dalam pengobatan penyakit infeksi khususnya osteomielitis.
2. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat tentang khasiat lidah buaya
khususnya terhadap pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa pada osteomielitis.

- ANALISIS LITERATUR
Komponen yang terkandung dalam lidah buaya sebagian besar adalah air yang mencapai
99,5% dengan total padatan terlarut hanya 0,49%, lemak 0,067%, karbohidrat 0,043%,
protein 0,038%, vitamin A 4,594 IU, dan vitamin C 3,476 mg (Furnawanthi, 2007).

Lidah buaya mempunyai kandungan zat gizi yang diperlukan tubuh dengan cukup
lengkap, yaitu vitamin A, B1, B2, B3, B12, C, E, kolin, inositol dan asam folat (Astawan,
2006). Zat-zat ini sangat berguna untuk pertumbuhan tulang, pembentukan dan
pergantian jaringan, pengaturan metabolisme dalam tubuh manusia, dan pengaturan gerak
urat syaraf (Sudarto,1997). Kandungan mineralnya antara lain terdiri dari: kalsium (Ca),
magnesium (Mg), potasium (K), sodium (Na), besi (Fe), zinc (Zn), dan kromium (Cr).
Beberapa unsur vitamin dan mineral tersebut dapat berfungsi sebagai pembentuk
antioksidan alami, seperti vitamin C, vitamin E, vitamin A, magnesium, dan zinc.
Antioksidan ini berguna untuk mencegah penuaan dini, serangan jantung, dan berbagai
penyakit degeneratif (Astawan, 2006).

Lidah buaya (Aloe vera) dilaporkan mengandung mono dan poli sakarida, tannin, sterol-
sterol, asam-asam organik, enzim, saponin, vitamin dan mineral (Newall,et all, 1998).
Lidah buaya juga mengandung komplek antrakuinon antara lain aloe emodin, aloin,
barbaloin. Zat lain terkandung di dalam lidah buaya yaitu zat saponin yang mempunyai
kemampuan membersihkan dan bersifat antiseptik (Furnawanthi, 2007).

Penelitian dr. Bill Wolfe pada tahun 1969 membuktikan bahwa lidah buaya sangat efektif
membunuh bakteri penyebab infeksi. Journal of Alternatif Medicine mempublikasikan
efektifitas lidah buaya untuk mengatasi gangguan percernaan. Kegunaan lainnya antara
lain menurunkan kadar gula darah penderita diabetes, menghambat sel kanker, serta
membantu penyembuhan luka, ambeien dan radang tenggorokan (Furnawanthi, 2007).
Ekstrak lidah buaya (Aloe vera) mempunyai berbagai aktifitas anti bakteri antara lain
terhadap Staphylococcus aureus, Klebsilla pneumonia, Pseudomonas aeruginosa,
Mycobacterium tuberculosis (Furnawanthi, 2007).

- STRATEGI PENERAPAN/PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, sampel berasal dari dua puluh tujuh spesimen pus pasien osteomielitis
bangsal Cempaka rumah sakit ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta pada tanggal 5
Agustus – 10 September 2008 yang diperiksa di laboratorium Mikrobiologi Fakultas
kedokteran Universitas Sebelas Maret. Dari dua puluh tujuh responden yang diteliti
jumlah terbanyak berusia antara 20-40 tahun yaitu 13 responden (48,2 %).
Persentase responden pria lebih banyak daripada jumlah responden wanita yaitu
74,1. Sehingga responden terbanyak adalah pria dan responden pada usia produktif.
Menurut data yang berasal dari rumah sakit ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta
pada periode Agustus-September 2008, jumlah pasien dengan kasus kecelakaan lalu
lintas pada pria lebih banyak dari pada wanita dengan persentasi 69,6 %. Jumlah
responden pria yang lebih banyak dari wanita mungkin berhubungan dengan
meningkatnya insiden trauma pada pria yang disebabkan oleh kegiatan yang beresiko dan
aktivitas fisik sebagai predesposisi terjadinya cedera (King. 2006).
Dengan tingginya jumlah responden pada usia produktif memungkinkan
menurunnya produktifitas responden karena terhambatnya kemampuan mereka dalam
bekerja dan mencari nafkah. Pria khususnya pada usia produktif seringkali menjadi
tulang punggung keluarga dan menjadi sumber pendapatan keluarga, sehingga dengan
menurunnya produktifitas akan mempersulit perekonomian 44 keluarga.
Menurunnya prodiktifitas ini selain dapat merugikan keluarga juga dapat
merugikan masyarakat sekitar serta negara karena pembangunan membutuhkan sumber
daya manusia usia produktif. Tabel 3 menunjukkan riwayat osteomielitis sekunder yang
diderita responden didapatkan empat belas responden (51,6 %) dengan osteomielitis akut
sedangkan responden dengan osteomielitis kronis sejumlah tiga belas responden (48,4
%). Jumlah responden dengan osteomielitis kronis yang hampir sama dengan jumlah
osteomielitis akut dapat mengasumsikan bahwa responden dengan osteomielitis akut
mempunyai kemungkinan untuk berkembang menjadi kronis.
Permasalahan di atas mungkin disebabkan penanganan osteomielitis yang masih
merupakan masalah dalam bidang ortopedi, karena seringkali antibiotika yang diberikan
secara oral maupun parenteral tidak dapat mencapai lokasi infeksi dengan baik (Lubis,
2005). Selain itu mungkin bakteri penyebabnya merupakan bakteri yang resistan terhadap
berbagai antibiotik. Faktor menurunnya sistem kekebalan tubuh responden mungkin juga
berpengaruh. Pemakaian antibiotik yang tidak tepat waktu penggunaan sehingga
menyebabkan peak plasma level yang meningkat serta adanya enzim perusak antibiotik
pada pasien yang mungkin dapat pula menyebabkan sulit dan lamanya pengobatan
osteomielitis.
Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa pada semua responden didapatkan osteomielitis
sekunder yang disebabkan oleh trauma, dengan fraktur terbuka merupakan jumlah
terbanyak, serta tidak didapatkan responden dengan osteomielitis primer atau hematogen.
Temuan ini menunjukan bahwa kemungkinan sumber infeksi bukan berasal dari endogen
(infeksi sebelumnya di 45 organ lain pasien yang menyebar melalui aliran darah)
melainkan dari eksogen (melului pasien lain, lingkungan atau atmosfer, serta tindakan
bedah).
Sehingga hendaknya perlu diadakan peningkatan penanganan dan pencegahan
osteomielitis oleh rumah sakit seperti penanganan trauma dan tindakan pembedahan serta
perawatan luka yang optimal dan steril, serta perlu dilakukan upaya pengendalian
sumber-sumber infeksi yang ada di rumah sakit dalam rangka mencegah transmisi
sumber infeksi kepada pasien. Selain itu penting pula memperhatikan golden periode dari
cedera atau trauma jangan sampai terlalui, sehingga dapat dilakukan penanganan yang
baik dan optimal sehingga memungkinkan terhadap pencegahan infeksi. Pada tabel 5
menunjukkan ekstermitas merupakan lokasi osteomielitis yang diderita oleh semua
responden. selain itu ditemukan bahwa tulang yang paling sering terkena infeksi adalah
femur, tibia, dan fibula yang merupakan tulang panjang. Hal ini mungkin disebabkan
tulang panjang rentan terhadap trauma dan infeksi, karena vaskulari pada tulang panjang
yang sedikit sehingga menghambat distribusi antibiotik pada target yang dituju
(Kalyoussef, 2006, Sjamsuhidajat, 2003).
Dari seluruh spesimen pus yang diidentifikasi sejumlah dua puluh tujuh, sepuluh
diantaranya positif P. aeruginosa atau 37 % dari jumlah keseluruhan. Jumlah tersebut
cukup tinggi, hal ini perlu diwaspadai karena mugkin disebabkan oleh infeksi nosokomial
(infeksi yang didapat dirumah sakit), karena salah satu bakteri yang dapat menyebabkan
infeksi nosokomial yaitu P. aeruginosa (Harvey, 46 2007). Karena bukan merupakan true
patogen maka ada sumber infeksi dan cara pemindahsebaran dari P. aeruginosa penyebab
osteomielitis di atas. P. aeruginosa tersebar luas di alam, terdapat di tanah, air, tumbuhan,
bahkan hewan (termasuk manusia) (Qarah, 2005).
P. aeruginosa dapat dijumpai di banyak tempat dirumah sakit, disinfektan, alat
bantu pernafasan, makanan, saluran pembuangan air, dan kain pel mmerupakan beberapa
contoh reservoir. Pemindahsebarannya P. aeruginosa mungkin dapat melalui aliran udara,
air, tangan tercemar, penanganan dan alat-alat yang tidak steril di rumah sakit (Prakash,
2000). Akhirnya pengendalian infeksi rumah sakit merupakan suatu keharusan untuk
melindungi pasien dari kejangkitan infeksi dalam bentuk upaya pencegahan, survailan,
dan pengobatan rasional (Zulkarnain, 2006).
Pada tabel 7 dapat dilihat Empat Sampel positif P. aeruginosa barasal dari
spesmen pus responden dengan osteomielitis kronis atau 30,8 % dari tiga belas sampel,
dan enam Sampel positif P. aeruginosa lainnya barasal dari spesmen pus responden
dengan osteomielitis akut atau 42,9 % dari empat belas sampel. Jumlah responden
osteomielitis sekunder kronis dan akut yang positif P. aeruginosa yang hampir sama
mengasumsikan bahwa osteomielitis akut yang positif P. aeruginosa mempunyai
kemungkinan untuk berkembang menjadi osteomielitis kronis. Hal tersebut mungkin
disebabkan infeksi yang terbentuk sulit untuk diobati karena P. aeruginosa sering resisten
terhadap banyak antimikroba (Mayasari, 2005).
Sehingga perlu dilakukan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk
meminimalkan risiko resistensi, antara lain melakukan optimalisasi terapi, 47 seleksi
antibiotika secara seksama, penetapan dosis, cara dan lama terapi yang lebih rasional,
serta dalam situasi tertentu melakukan rotasi atau penjadwalan penggunaan antibiotika.
Penggunaaan pedoman terapi infeksi juga harus didorong, khususnya dengan
memanfaatkan bukti-bukti ilmiah terbaru (current best evidance) yang lebih dapat
dipercaya validitasnya (Dwiprahasto, 2005).
Selain itu faktor menurunnya sistem kekebalan tubuh responden mungkin
berpengaruh sehingga dapat mempersulit dan memperlama pengobatan osteomielitis
yang disebakan oleh P. aeruginosa, sehingga dapat memungkinkan untuk berkembang
menjadi osteomielitis kronis. P. aeruginosa merupakan patogen oportunistik, yang
memanfaatkan kerusakan pada mekanisme pertahanan inang untuk memulai suatu infeksi
(Mayasari, 2005).
Demikian pula halnya pada responden osteomielitis seknder akut non
Pseudomonas, apabila disebakan oleh bakteri Multi Drug Resistant lainnya seperti
methisilin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomisin-resistant Enterococcus
(VRE), Enterobacteriaceae dengan ESBL, Streptococcus pneumoniae, juga mempunyai
kemungkinan untuk berkembang menjadi kronis. Pemberian perlakuan antibiotik
tobramycin, meropenem, dan amikasin terhadap semua sampel P. aeruginosa bertujuan
untuk mengetahui pola resistensi bakteri P. aeruginosa terhadap beberapa jenis antibiotik.
Rerata hitung diameter zona hambatan yang terbentuk dari jenis antibiotik
tobramicin 10 µg ( 5,30 mm ), dan meropenem 10 µg ( 12,4 mm ) berada dalam kategori
resisten, sedangkan zona hambatan dari antibiotik amikasin 30 µg (15,0 mm) termasuk
dalam kategori intermediet. Antibiotik imipenem 10 µg sebagai kontrol positif 48
berdasarkan pada tabel 9 menunjukkan pola kepekaan bakteri yang lebih sensitif terhadap
pertumbuhan P. aeruginosa dibandingkan dengan pemberian ketiga antibiotik pada tabel
8 yaitu tobramicin, amikasin, dan meropenem. Hasil pengukuran pengaruh ekstrak lidah
buaya terhadap P. aeruginosa pada osteomielitis disajikan dalam tabel 9. Pada tabel 9
dapat dilihat gambaran dari diameter zona hambatan pertumbuhan dari berbagai
konsentrasi, berupa rerata diameter zona hambatan pertumbuhan pada tiap konsentrasi.
Zona hambatan pertumbuhan yang terbentuk pada konsentrasi 50% ( 9,0 mm ), 75% ( 9,9
mm ), 100% ( 11,3 mm ).
Diameter zona hambatan kontrol positif yaitu antibiotik imipenem 10 µg ( 22,0
mm ), ternyata lebih besar dari konsentrasi 50%, 75%, dan 100%. Sedangkan pada
aquades sebagai kontrol negatif tidak terbentuk zona hambatan sama sekali ( 0,0 mm ).
Data pada tabel 8 dan 9 menunjukkan bahwa rata-rata hitung diameter zona hambat
ekstrak lidah buaya konsentrasi 50% (9,0mm), 75% (9,9mm), 100% (11,3mm) melebihi
nilai rata hitung zona hambat disk antibiotik tobramicyn 10 µg (5,30mm). Begitu pula
rata diameter daya hambat ekstrak lidah buaya konsentrasi 100% (11,3 mm) hampir
menyamai rata diameter daya hambat disk antibiotik meropenem 10 µg (12,4mm). Tabel
9 juga menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak lidah buaya yang
digunakan semakin besar pula diameter zona hambatan yang terbentuk. Diameter zona
hambatan yang meningkat, dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak menunjukkan
adanya hubungan dosis dan respon. Temuan 49 tersebut memperkuat kesimpulan bahwa
ada hubungan kausal antara pemberian ekstrak lidah buaya dengan hambatan
pertumbuhan pada P. aeruginosa.
Setelah dilakukan uji statistik (tabel 10) untuk membandingkan kelima rata hitung
diameter zona hambatan kelompok perlakuan utama, yaitu aquades ( 0,0 mm ), ekstrak
lidah buaya 50% ( 9,0 mm ), 75% ( 9,9 mm ), 100% ( 11,3 mm ) dan antibiotik imipenem
10 µg ( 22,0 mm ), didapatkan bahwa ada perbedaan rata hitung diameter zona hambatan
yang bermakna ( p < 0,05 ) antara kelompok perlakuan tersebut. Analisis kemudian
dilanjutkan dengan melakukan perbandingan multiple rata hitung diameter zona
hambatan kelima kelompok perlakuan utama (tabel 11), tampak adanya perbedaan rata
hitung zona hambatan yang bermakna ( p < 0,05 ) antara antara ekstrak lidah buaya 50%
dengan antibiotik imipenem 10 µg, ekstrak lidah buaya 100%, dan aquades. Nilai p< 0,05
juga didapatkan pada perbandingan antara ekstrak lidah buaya 75% dengan antibiotik
imipenem 10 µg dan aquades.
Perbandingan antara ekstrak lidah buaya 100% dengan antibiotik imipenem 10
µg, dan aquades didapatkan nilai p < 0,05. Selain itu, Perbedaan bermakna ( p < 0,05 )
juga ditemukan pada perbandingan antara antibiotik imipenem 10 µg dengan aquades.
Tetapi terdapat perbedaan yang tidak bermakna (p > 0,05 ) antara ekstrak lidah buaya
75% dengan ekstrak lidah buaya 50%, dan ekstrak lidah buaya 100%.
Berdasarkan pada analisis tersebut, ekstrak lidah buaya memiliki kemampuan
untuk menghambat pertumbuhan P. aeruginosa. 50 Senyawa anrtibakteri yang
terkandung dalam ekstrak lidah adalah antraquinon dan saponin (Newall et al, 1998).
Adapun mekanisme dalam menghambat P. aeruginosa mungkin karena kuinon sering
menyebabkan protein bakteri menjadi inaktif dan kehilangan fungsinya. (Cowan, 1999).
Sedang saponin dapat melarutkan lipid pada membran sel bakteri (lipoprotein), akibatnya
dapat menurunkan tegangan permukaan lipid, permeabilitas sel berubah, fungsi sel
bakteri menjadi tidak normal, dan sel bakteri lisis dan mati (Voight, 1994, Brooks, 2007).
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Roro Wahyudianingsih
(2001) dari Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha, bahwa ekstrak lidah
buaya (Aloe vera) mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri gram positif dan
negatif. Dengan adanya penelitian ini, daya antibakteri ekstrak lidah buaya (Aloe vera)
terhadap P. aeruginosa invitro, akan menambah satu lagi potensi daya antibakteri ekstrak
lidah buaya yaitu P. aeruginosa.
Penelitian yang dilakukan Dian Handayani, Noviandi Sayuti, dan Dachriyanus
Dari Fakultas Farmasi Universitas Andalas dengan judul Isolasi Dan Karakterisasi
Senyawa Antibakteri Epidioksi Sterol Dari Spon Laut Petrosia Nigrans, Asal Sumatera
Barat. Didapatkan Hasil Pemeriksaan Aktivitas Antibakteri dari Ekstrak Metanol Spon
laut Petrosia nigrans dengan Metoda Difusi Agar yaitu Diameter Hambat Ekstrak
Metanol Spon laut Petrosia nigrans (1%) untuk P. aeruginosa sebesar 6 mm. Serta
penelitian megenai Isolasi Dan Identifikasi Senyawaaktif Anti Mikroba Dari Daun
Tumbuhan Piper 51 Sarmentosum Roxb. Ex Hunter oleh Shinta Jurusan Kimia
Universitas Gunadarma dengan hasil yang menunjukkan bahwa pada konsentrai 1000
µg/ml atau 1 mg/ml didapatkan diameter zona hambat untuk kuman P. aeruginosa.sebesar
22 mm.
Menilik dari kedua penelitian yang dilakukan oleh Dian handayani dkk. dan
Shinta jika dibandingkan dengan penelitian mengenai aktivitas antibakteri lidah buaya
yang peneliti lakukan, didapat bahwa Ekstrak Metanol Spon laut Petrosia nigrans (1%)
dan Ekstrak Daun Tumbuhan Piper Sarmentosum Roxb. Ex Hunter 1000 µg/ml
mempunyai aktivitas antibakteri yang lebih kuat dari pada ekstrak lidah buaya (Aloe
vera) terhadap P. aeruginosa. Sri Herlina dan Taslim Ersam Jurusan Kimia FMIPA ITS,
telah melakukan penelitian mengenai Tiga Senyawa Santon Dari Kulit Akar Mundu
Garcinia Dulcis (Roxb.) Kurz. Dari hasil penelitian tersebut, ternyata ketiga senyawa
Santon Dari Kulit Akar Mundu Garcinia Dulcis (Roxb.) Kurz tidak menunjukkan
aktivitas sebagai antibakterial terhadap P. aeruginosa. Sehingga berdasarkan penelitian di
atas diketehui bahwa ekstrak lidah buaya (Aloe vera) lebih efektif menghambat
pertumbuhan P. aeruginosa dibanding Tiga Senyawa Santon Dari Kulit Akar Mundu
Garcinia Dulcis (Roxb.) Kurz. Perbedaan kekuatan hambatan masing-masing ekstrak di
atas terhadap P. aeruginosa mungkin disebabkan oleh perbedaan khasiat masing-masing
simplisia. Khasiat suatu simplisia tergantung dari kandungan, jenis, dan jumlahnya
(Dzulkarnain et al, 1996).
Berdasarkan temuan diatas didukung oleh adanya daya hambat ekstrak lidah
buaya khususnya pada konsentrasi 100% (11,3mm) yang cukup besar, dan 52 toksisitas
lidah buaya yang diharapkan rendah karena pemanfaatan lidah buaya sejak lama sebagai
penyubur rambut, antiperadangan, serta berbagai produk makanan dan minuman oleh
masyarakat secara aman, maka ada harapan bagi lidah buaya sebagai salah satu alternatif
antibakteri yang alami dan aman terhadap P. aeruginosa. Namun demikian harus
diadakan penelitian lebih lanjut secara invivo megenai dosis keamanan dan toksisitasnya.
Bila dibandingkan secara perbandingan multiple (tabel 9) antara antibiotik imipenem 10
µg dengan ketiga konsentrasi ekstrak lidah buaya, rata-rata hitung diameter ketiga
konsentrasi ekstrak lidah buaya dalam penelitian ini masih belum mampu mendekati atau
melebihi rata-rata hitung zona hambatan antibiotik imipenem 10 µg.
Permasalahan di atas mungkin disebabkan proses ekstraksi yang tidak optimal
untuk memunculkan bahan-bahan antibakteri pada esktrak lidah buaya secara adekuat.
Selain itu, mungkin karena human error pada saat pengenceran ekstrak lidah buaya
dengan menggunakan pelarut aquades steril, kemungkinan tidak dapat melarutkan
suluruh kandungan yang terdapat dalam ekstrak lidah buaya dengan sempurna.

- KESIMPULAN
Dari hasil penelitian tentang pengaruh ekstrak lidah buaya (Aloe vera) terhadap
pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa pada pus pasien osteomielitis rumah sakit
ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta secara invitro, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekstrak lidah buaya (Aloe vera) terbukti mampu menghambat pertumbuhan
Pseudomonas aeruginosa pada osteomielitis secara invitro dimana rata hitung
diameter zona hambatan kelompok perlakuan, yaitu aquades ( 0,0 mm ), ekstrak lidah
buaya 50% ( 9,0 mm ), 75% ( 9,9 mm ), 100% ( 11,3 mm) dan antibiotik imipenem
10 µg ( 22,0 mm ), didapatkan bahwa ada perbedaan rata hitung diameter zona
hambatan yang bermakna ( p < 0,05 ) antara kelompok perlakuan tersebut.
2. Terjadi peningkatan efek antibakteri pada peningkatan konsentrasi ekstrak lidah
buaya 50% menjadi 100%, namun efek antibakteri ekstrak lidah buaya konsentrasi
50%, 75%, dan 100% lebih lemah dibanding imipenem. Hipotesis penelitian yaitu
ekstrak lidah buaya (Aloe vera) dapat menghambat pertumbuhan Pseudomonas
aeruginosa pada osteomielitis secara invitro terbukti.

- DAFTAR PUSTAKA

1. Astawan, 2006. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. In: Mari Kita Santap
Lidah Buaya. http://www.depkes.go.id/index.php?option=articles&task
=viewarticle&artid=324&Itemid=3. (7 Maret 2008)
2. Brooks G.F., Butel J.S., Morse S.A., 2007. Jawetz, Melnick, Adelberg. Medical
Microbiology. In: Antimicrobial Chemoterapy; Pseudomonads, Acinetobacters, &
Uncommon Gram-Negative Bacteria. Lange Medical Books/ McGraw –Hill, United
Stated of America. Hal 161-95, 263-265
3. Furnawanthi S.P., 2007. Khasiat dan Manfaat Lidah Buaya Si Tanaman Ajaib.
Tangerang: Argomedia Pustaka.
4. Khan A. N., 2007. Osteomyelitis Kronis. http://www.emedicine- .com/pedTOPIC502
.HTM. (23 Mei 2008).
5. Lubis M.T., et al, 2005. The Use of Ceftriaxone Impregnated Beads in The
Management of Chronic Osteomyelitis. http://www.digilibui.edu/opac/th
emes/libri2/detail.jsp?id=105714&lokasi=lokal. (27 April 2008)
6. Robbins S.L., Kumar V., 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2.
Diterjemahkan oleh Staf Pengajar Laboratorium Patologi Anatomik FK UNAIR. In:
sistem Muskuloskeletal. Jakarta ; Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 453-73.
7. Salter R.B., 1999. textbook Of Disorders And Injuries Of The Musculoskeletal
System. Third Edition. Lippincott Williams & Walkins. Maryland. Hal 216- 18.

Anda mungkin juga menyukai