Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Bantuan hidup dasar pada anak atau sering disebut Pediatric Basic Life
Support (BLS) merupaka hal yang paling penting untuk kelangsungan dan kualitas
hidup anak. Pediatric Chain Survival berdasarkan American Heart Association
tahun 2015 meliputi tindakan prevetif, resusitasi jantung paru (RJP) segera
dengan mengutamakan pijat jantung (teknik C-A-B atau Circulation-Air-
Breathing), mengaktifkan akses emergensi atau emergency medical system
(EMS), bantuan hidup lanjut, serta melakukan perawatan pasca henti jantung1.

BLS ini dapat disingkat dengan teknik ABC yaitu airway atau membebaskan
jalan napas, breathing atau memberikan napas buatan, dan circulation atau pijat
jantung pada posisi shock. Namun pada tahun 2010 tindakan BLS diubah menjadi
CAB (circulation, airway, breathing) dan tahun 2015 dikeluarkan update AHA
terbaru yang sama dengan tindakan BLS tahun 2010. Tujuan utama dari BLS
adalah untuk melindungi otak dari kerusakan yang irreversible akibat hipoksia,
karena peredaran darah akan berhenti selama 3-4 menit2.

Tujuan akhir RJP adalah kembalinya sirkulasi spontan yang normal atau
disebut return of spontaneous circulation (ROSC) dan tidak adanya gangguan
neurologis pasca henti jantung. Sebagian besar kasus henti jantung pada anak
disebabkan oleh hipoksia, pada anak jarang dijumpai gangguan primer jantung
yang dapat menyebabkan henti jantung mendadak. Hal ini menyebabkan teknik
A-B-C masih banyak dikerjakan pada pasien anak, meskipun proses airway-
breathing dilakukan dam waktu sesingkat mungkin. AHA menyatakan bahwa bila
pijat jantung terlambat dilakukan, angka keberhasilan resusitasi menjadi lebih
kecil. Lubrano dkk melakukan penelitian perbandingan C-A-B dan A-B-C pada
170 tim sesusitasi dengan hasil bahwa teknik C-A-B membuat pengenalan dan
intervensi henti jantung dan paru lebih cepat secara bermakna meskipun tidak
berbeda bagi gangguan neurologis pasca henti jantung paru1.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit kardiovaskular adalah penyakit dengan prevalensi yang tinggi dalam


kegawatdaruratan. Banyak korban yang mengalami serangan jantung atau heart
attack tidak mendapatkan pertolongan yang layak dan semestinya sehingga
mortilitas untuk kasus ini sangat tinggi. Henti jantung atau cardiac arrest adalah
hlangnya fungsi jantung secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi
normal darah untuk member kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya
akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Bantuan Hidup Dasar
(BHD) adalah tindakan yang dilakukan untuk menolong korban yang keadaan
kehidupannya (nyawanya) terancam. Tindakan ini merupakan langkah kedua
untuk menyelamatkan korban. Ada 4 langkah yang menentukan keberhasilan
pertolongan korban yang mengalami cardiac arrest:3

1. Early acces: kemampuan untuk mengenali/mengidentifikasi gejala dan tanda


awal serta segera memanggil pertolongan untuk mengaktifasi EMS.
2. Early CPR: CPR akan mensuplai sejumlah minimal darah ke jantung dan
otak, sampai defibrilator dan petugas yang terlatih tersedia/datang
3. Early defibrillator: pada beberapa korban, pemberian defibrillasi segera ke
jantung korban bisa mengembalikan denyut sekarang.
4. Early advance care: pemberian terapi IV, obat-obatan, dan ketersediaan
peralatan bantuan pernapasan.

Pediatric Basic Life Support

Bantuan hidup dasar merupakan kombinasi maneuver dan keterampilan


dengan atau tanpa peralatan tertentu untuk membantu mengenali orang yang
mengalami henti napas dan jantung serta menggunakan waktu yang ada sampai
pasien mendapatkan tatalaksana lebih lanjut. Bantuan hidup dasar pada anak atau
sering disebut Pediatic Basic Life Support (BLS) merupakan hal yang penting
untuk kelangsungan dan kualitas hidup anak. Berdasarkan pedoman dari AHA
tahun 2015 tatalaksana harus dilakukan secara berkesinambungan meliputi RJP

2
dan aktivasi system EMS terutama jika ada lebih dari 1 penolong di tempat
kejadian sesuai dengan Pediatric chain survival 2015 dibagi menjadi dua IHCA
dan OHCA. Dimana IHCA (In Hospital Cardiac Arrest) meliputi tindakan
preventif (pengawasan dan pencegahan), mengaktifkan akses emergensi atau
emergency medial system (EMS), lakukan segera resusitasi jantung paru (RJP),
fibrilasi cepat, melakukan perawatan pasca henti jantung. Dan OHCA (Out
Hospital Cardiac Arrest) meliputi mengaktifkan akses emergensi atau emergency
medical system (EMS), resusitasi jantung paru (RJP), fibrilasi cepat, bantuan
hidup lanjut atau pediatric advanced life support (PALS), serta melakukan
perawatan pasca henti jantung1.

Gambar 1. Pediatric chain survival1

Sebelum melakukan BLS yang harus diingat dalam menolong pasien adalah
3S (Safety, Stimulate dan Shout for assistance). Selalu pastikan tempat melakukan

3
resusitasi aman untuk anak dan penolong. Posisikan anak terlentang di atas alas
datar dan keras. Jika anak harus dipindahkan, pergerakan leher dan kepala harus
seminimal mungkin. Setelah itu stimulasi dilakukan dengan guncangan ringan dan
dengan teriakan keras untuk melihat respons anak dan jangan lupa teriak minta
pertolongan untuk bantuan melakukan RJP1.
Resusitasi jantung paru meliputi pembebasan jalan napas (airway),
melakukan bantuan napas (breathing) dan mempertahankan suplai darah yang
adekuat dalam tubuh (circulation)4.
Algoritma RJP pada anak dapat dilihat sebagai berikut:1

4
5
Gambar 2. Algoritma Pediatric Basic Life Support6

6
Gambar 3. Perbandingan teknik BLS pada bayi, anak, dan dewasa4

7
Keamanan Penolong dan Korban

Selalu memastikan bahwa area penolongan aman untuk penolong dan korban.
Meskipun secara teori, cpr memiliki resiko terhadap penularan penyakit infeksi,
tetapi resiko terhadap penolong sangatlah rendah5.

Menilai Kebutuhan CPR

Untuk menilai korban membutuhkan CPR atau tidak, penolong harus menilai
adanya henti jantung jika korban tidak rsponsif (tidak sadar) atau hanya bernapas
megap-megap5.

Periksa Respon Korban

Periksa respon korban dengan menyentuhnya sambil bertanya “apakah kamu


baik-baik saja?” atau memenggil nama korban. Jika anak responsive maka ia
akan menjawab, bergerak, atau mengerang. Lalu periksa apakah anak mengalami
cedera atau membutuhkan pertolongan medis5.

Periksa Pernapasan

Jika pernapasan regular, maka korban tidak membutuhkan CPR, jika tidak
ada bukti trauma, maka ubah posisi anak ke posisi pemulihan untuk menjaga
patensi jalan napas dan mengurangi risiko aspirasi. Jika korban tidak responsive
dan tidak bernapas (atau hanya bernapas megap-megap, maka segera lakukan
CPR5.

Airway
Pada anak yang tidak sadar, lidah sering jatuh ke belakang dan dapat
menyebabkan sumbatan jalan napas. Penolong harus membuka jalan napas
dengan maneuver head tilt dan chin lift yang dapat dikerjakan baik pada pasien
trauma maupun nontrauma. Teknik Jaw thrust dilakukan bila terdapat kecurigaan
trauma servikal. Manuver head tilt dan chin lift:5

8
Gambar 4. Cara melakukan head tilt dan chin lift

Untuk mempertahankan terbukanya jalan napas, dapat dilakukan pemasangan


alat orofaringeal (guedel) dan selang nasofaringeal. Guedel dengan ukuran
tertentu digunakan pada pasien tidak sadar, jika terlalu kecil lidah akan tetap
terjatuh ke belakang sedangkan jika terlalu besar akan menyumbat jalan napas.
Pemasangan guedel yang benar dapat dilihat pada Pemasangan selang
nasofaringeal diindikasikan pada pasien dengan kesadaran tidak terlalu terganggu.
Pada bayi kecil, selang nasofaringeal mudah tersumbat dengan sekret1,6.

Gambar 5. Pemasangan pipa orofaringeal dapat menjaga jalan napas


terbuka

Breathing
Penilaian pernapasan dilakukan dalam waktu 10 detik dengan teknik look,
listen dan feel pada saat bersamaan. Penolong harus melihat gerakan pernapasan
baik pernapasan dada maupun abdominal, mendengar suara napas pasien melalui
hidung dan mulut, dan merasakan udara pernapasan yang keluar pada pipi
penolong. Jika anak bernapas dan tidak ada riwayat trauma sebelumnya.

9
tempatkan pasien pada posisi stabil untuk menjaga jalan napas dan menurunkan
risiko aspirasi1.

Gambar 6. look, listen and feel

Jika anak tidak bernapas atau gasping, pertahankan jalan napas dan berikan 2
kali bantuan napas. Pada anak <1 tahun, gunakan teknik mouth-to-mouth and
nose, sedangkan pada anak >1 tahun dengan menggunakan teknik mouth-to-
mouth. Hindari pemberian ventilasi yang berlebihan karena dapat menyebabkan
pneumotoraks akibat tekanan berlebihan, dapat menyebabkan regurgitasi
lambung karena saat ventilasi udara dapat masuk baik ke paru ataupun lambung,
serta dapat menyebabkan berkurangnya curah jantung akibat peningkatan tekanan
intratorak sehingga aliran balik darah ke jantung (venous return) berkurang.
Ketiga hal ini akan memperburuk kondisi anak3.

Gambar 7. Posisi stabil pada anak

Penilaian sirkulasi dilakukan dalam 10 detik dengan meraba pulsasi arteri


brakialis (pada bayi) dan arteri karotis dan femoralis pada anak. Jika frekuensi
nadi kurang dari 60 kali per menit dan pada anak terlihat tanda perfusi kurang
(pucat dan sianosis), kompresi dada dapat dimulai. Jika frekuensi nadi =60 kali
per menit tetapi anak tidak bernapas, lanjutkan bantuan napas tanpa kompresi

10
dada. Bantuan napas diberikan 12 sampai 20 kali per menit (1 pernapasan tiap 3
sampai 5 detik) sampai pasien bernapas spontan. Sambil melakukan bantuan
napas, nilai pulsasi arteri tiap 2 menit secara singkat (tidak lebih dari 10 detik)1,5.
Kompresi dada dilakukan secara push hard and fast, dengan kedalaman
sepertiga diameter anteroposterior dada, harus kembali sempurna (complete
recoil) setelah setiap kompresi dengan interupsi minimal. Semua ini termasuk
high quality CPR. Untuk anak kurang dari 1 tahun dan penolong seorang diri,
kompresi dilakukan dengan teknik 2 jari yang diletakkan di bawah garis
intermamaria. Teknik ini dapat dilakukan dengan satu atau dua tangan1.

Gambar 8. Teknik kompresi dada pada anak kurang dari 1 tahun

Pada anak lebih besar, kompresi dada dilakukan pada setengah bagian bawah
sternum dengan pangkal pergelangan tangan (seperti pada orang dewasa) dan
dapat dilakukan baik dengan satu atau dua tangan. Dalamnya kompresi mencapai
sepertiga diameter antero-posterior rongga dada1,5.

.
Gambar 9. Kompresi dada pada anak yang lebih besar

11
Koordinasi bantuan napas dan kompresi Dada
Jika penolong seorang diri, lakukan 30 kompresi dada diikuti pemberian 2
bantuan napas. Untuk 2 penolong, pemberian bantuan napas dan kompresi dada
dilakukan dengan perbandingan 15:2. Jangan melakukan bantuan napas dan
kompresi dada pada saat yang bersamaan1.

Aktifkan Sistem Tanggap Darurat (Emergency Reponse System)


Jika ada penolong, seseorang harus segera melakukan CPR dan yang lain
harus mengaktifkan siste tanggap darurat (di sebagian besar daerah dengan
menelepon 911) dan mendapatkan AED (Automated external defibrillator), jika
tersedia. Kebanyakan bayi dan anak-anak dengan henti jantung disebabkan
asfiksia daripada akibat ventrikula fibrilasi. Oleh karena itu, untuk penolong
tunggal direkomendasikan untuk melakukan 2 CPR sebelum penolong
mengaktifkan system tanggap darurat dan mendapatkan AED jika ada di
dekatnya. Penolong tunggal kemudian harus kembali ke korban secepat mungkin
dan mengggunakan AED (jika tersedia) atau melanjutkan CPR, dimulai dengan
kompresi dada. Lanjutkan dengan siklus 30 kompresi dan 2 ventilasi sampai
penolong tanggap darurat tiba atau korban mulai bernapas spontan.1,5,6

Keputusan mengakhiri upaya resusitasi


Semua tenaga kesehatan dituntut untuk memulai RJP segera setelah diagnosis
henti napas atau henti jantung dibuat. Tidak ada pernapasan spontan dan refl eks
muntah dan dilatasi pupil yang menetap selama 15 sampai 30 menit atau lebih
merupakan petunjuk kematian otak kecuali pasien hipotermik atau di bawah efek
barbiturat atau dalam anestesia umum. Tidak adanya tanggapan jantung atau tidak
ada aktivitas listrik jantung terhadap tindakan resusitasi selama paling sedikit 30
menit walaupun dilakukan upaya RJP dan terapi obat optimal menandakan mati
jantung. Dalam keadaan darurat resusitasi dapat diakhiri jika ada salah satu
keadaan berikut ini:5,6
1) Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
2) Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang lebih bertanggung
jawab meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter).

12
3) Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tidak ada dokter
sebelumnya).
4) Penolong terlalu lelah sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi.
5) Pasien dinyatakan mati.
6) Setelah dimulai resusitasi ternyata diketahui Bahwa pasien berada dalam
stadium terminal, suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir
dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tak akan pulih (yaitu sesudah setengah
atau satu jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP).

13
BAB III

KESIMPULAN

Resusitasi jantung dan paru pada anak merupakan hal yang harus diketahui
semua kalangan, terutama tenaga kesehatan, seorang dokter harus mengenali
adanya henti jantung paru, mengusahakan resusitasi dengan cepat dan tepat,
melakukan teknik yang mengacu pada high quality CPR sehingga ROSCH dapat
dicapai.

Bantuan hidup dasar (Basic Life Support) pada anak berdasarkan


rekomendasi American Health Association (AHA) tahun 2015 dilakukan dengan
teknik A-B-C (Airway-Breathing-Circulation) dengan kualitas resusitasi optimal
(high quality CPR).

14
REFERENSI

1. Yuniar, Irene. Bantuan Hidup Dasar pada Anak. Continuing Medical


Education CDK -220/vol.41 No. 9. Jakarta: Divisi Pediatri Gawat Darurat,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2014
2. John M. Field, Part 1: Executive Summary: 2010 American Heart
Association.
3. Hazinski M. F, 2005, Current in Emergency Cardiovascular Care, Volume
16. Number 4, AHA Published
4. European Resuscitation Council. (Cited 2016 April 5). Available
from:http//www.erc.edu/index.php/view_category/en/posters/cid=10
5. Berg, MD, Schexnayder, MS, Terry, M et al. Pediatric Basic Life Support.
2010. American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonal
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care; S862-S875.2010.
6. Highlights of the 2015 American Heart Association idelines Update for
CPR and ECC.©2015 American Heart Association.

15

Anda mungkin juga menyukai