Anda di halaman 1dari 46

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pembelajaran Kooperatif

1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif (cooperatif learning) merupakan bentuk

pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-

kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat

sampai dengan enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat

heterogen (Rusman, 2012:202).

Menurut Tom V. Savage (dalam Rusman, 2012:203) pembelajaran

kooperatif yaitu:

Suatu pendekatan yang menekankan kerjasama dalam kelompok.


Dalam pembelajaran kooperatif proses pembelajaran tidak harus
belajar dari guru kepada siswa. Siswa juga dapat saling
membelajarkan sesama siswa lainnya. Pembelajaran oleh rekan
sebaya (peerteaching) lebih efektif daripada pembelajaran oleh
guru.

Menurut Robert E.Slavin (dalam Robert E.Slavin 2009:8) dalam

metode pembelajaran kooperatif, para siswa akan duduk bersama dalam

kelompok yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang

disampaikan oleh guru.

11
Nur Asma mengemukakan bahwa pengembangan pembelajaran kooperatif

memiliki beberapa tujuan, yaitu:

1) Pencapaian Hasil Belajar


Meskipun pembelajaran kooperatif meliputi berbagai
macam tujuan sosial, pembelajaran kooperatif juga
bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-
tugas akademik. Pembelajaran kooperatif dapat memberi
keuntungan pada siswa dalam tugas-tugas akademik, baik
kelompok bawah maupun kelompok atas. Siswa kelompok
atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah. Dalam
proses tutorial ini, siswa kelompok atas akan meningkat
kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan
sebagai tutor kepada teman sebaya yang membutuhkan
pemikiran lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang
terdapat di dalam materi tertentu.
2) Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu
Efek penting kedua dari model pembelajaran kooperatif
ialah penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda
menurut ras, budaya, tingkat sosial, kemampuan maupun
ketidakmampuan. Pembelajaran kooperatif memberikan
peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan
kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas
tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur
penghargaan kooperatif, serta belajar untuk menghargai
satu sama lain.
3) Pengembangan Keterampilan Sosial
Tujuan Penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah
untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama
dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk
dimiliki di dalam masyarakat, banyak kerja orang dewasa
dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu
sama lain dalam masyarakat, meskipun beragam
budayanya. (Nur Asma, 2006:12)

2. Prinsip Pembelajaran Kooperatif

Menurut Nur Asma pelaksanaam pembelajaran kooperatif setidaknya

terdapat lima prinsip yang dianut yaitu:

1) Belajar Siswa Aktif (Student Active Learning)


Proses pembelajaran dengan menggunakan model
kooperatif berpusat pada siswa, aktivitas belajar lebih
dominan dilakukan siswa, pengetahuan yang dibangun dan

12
ditemukan adalah dengan belajar bersama-sama dengan
anggota kelompok sampai masing-masingh siswa
memahami materi pembelajaran dan mengakhiri dengan
membuat laporan kelompok dan individual.
2) Belajar Kerjasama (Cooperative Learning)
Seluruh siswa terlibat secara aktif dalam kelompok untuk
melakukan diskusi, memecahkan masalah dan mengujinya
secara bersama-sama, sehingga terbentuk pengetahuan baru
dari hasil kerjasama mereka. Diyakini yang diperoleh
melalui penemuan-penemuan dari hasil kerjasama ini akan
lebih baik permanen dalam pemahaman masing-masing
siswa.
3) Pembelajaran Partisipatorik
Melalui model pembelajaran ini siswa belajar dengan
melakukan sesuatu (learning by doing) secara bersama-
sama untuk menemukan dan membangun pengetahuan yang
menjadi tujuan pembelajaran.
4) Mengajar Reaktif ( Reactive Teaching)
Untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif ini, guru
perlu menciptakan strategi yang tepat agar seluruh siswa
mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Motivasi siswa
dapat dibangkitkan jika guru mampu menciptakan suasana
belajar yang menyenangkan dan menarik serta dapat
meyakinkan siswanya akan manfaat pelajaran ini untuk
masa depan mereka.
5) Pembelajaran yang Menyenangkan ( Joyfull Learning)
Model pembelajaran kooperatif menganut prinsip
pembelajaran yang menyenangkan. Suasana belajar yang
menyenangkan harus dimulai dari sikap dan perilaku guru
di luar maupun dalam kelas. Guru harus memilki sikap
yang ramah dengan tutur bahasa yang menyayangi siswa-
siswanya. (Nur Asma,2006:14-16)

3. Unsur-unsur Penting dalam Pembelajaran Kooperatif

Menurut Johnson & Johnson (dalam Rusman, 2012:159) terdapat

lima unsur penting dalam belajar kooperatif, yaitu:

a. Saling ketergantungan yang bersifat positif antara siswa


Dalam belajar kooperatif siswa merasa bahwa mereka sedang
bekerja sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain.
Seorang siswa tidak akan sukses kecuali semua anggota
kelompoknya juga sukses. Siswa akan merasa bahwa dirinya
merupakan bagian dari kelompok yang juga mempunyai andil
terhadap suksesnya kelompok.

13
b. Interaksi antara siswa yang semakin meningkat
Belajar kooperatif akan meningkatkan interaksi antara siswa. Hal
ini, terjadi dalam hal seorang siswa akan membantu siswa lain
untuk sukses sebagai anggota kelompok. Saling memberikan
bantuan ini akan berlangsung secara alamiah karena kegagalan
seseorang dalam kelompok mempengaruhi suksesnya kelompok.
Untuk mengatasi masalah ini, siswa yang membutuhkan bantuan
akan mendapatkan dari teman sekelompoknya. Interaksi yang
terjadi dalam belajar kooperatif adalah dalam hal tukar menukar ide
mengenai masalah yang sedang dipelajari bersama.
c. Tanggung jawab individual
Tanggung jawab individual dalam belajar kelompok dapat berupa
tanggung jawab siswa dalam hal membantu siswa yang
membutuhkan bantuan dan siswa tidak dapat hanya sekedar
“membonceng” pada hasil kerja teman sekelompoknya.
d. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil
Dalam belajar kooperatif, selain dituntut untuk mempelajari materi
yang diberikan seorang siswa dituntut untuk belajar bagaimana
berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana
siswa bersikap sebagai anggota kelompok dan menyampaikan ide
dalam kelompok akan menuntut keterampilan khusus.
e. Proses kelompok
Belajar kooperatif tidak akan berlangsung tanpa proses kelompok.
Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan
bagaimana mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan
membuat hubungan kerja yang baik.

4. Langkah-langkah dalam Pembelajaran Kooperatif

Dalam rangka pengelolaan kelas di dalam pembelajaran kooperatif

seorang pengajar dituntut mengarahkan dan membina para siswa untuk

mengembangkan minat dan kiat bekerjasama dalam berinteraksi dengan

pembelajar lainnya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang

pengajar (Anita Lie, 2003:38) yaitu:

a. Pengelompokan
Dalam rangka pengelompokan atau membentuk kelompok maka
yang perlu diperhatikan adalah heterogenitas dari anggota
kelompok, seperti keanekaragaman latar belakang sosio-
ekonomi, etnik, dan kemampuan akademis. Dalam hal
kemampuan akademis, dalam satu kelompok diharapkan ada
yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Adapun manfaat

14
dari pengelompokan secara heterogenitas adalah:
1) Memberi kesempatan untuk saling berbagi sesama teman
dan saling mendukung.
2) Meningkatkan relasi dan interaksi antar siswa.
3) Memudahkan dan meringankan tugas guru dalam mengajar.
b. Semangat kerjasama
Agar proses pembelajaran kooperatif berjalan efektif maka perlu
adanya pembinaan dan niat kerjasama. Oleh karena itu guru
perlu untuk selalu memberikan pembinaan akan pentingnya arti
kerjasama, sehingga setiap siswa mempunyai semangat
kerjasama yang tinggi dalam belajar.
c. Penataan ruang kelas
Dalam pembelajaran kooperatif penataan ruang kelas
merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menunjang
keberhasilan belajar para siswa. Dalam penataan ruang kelas ada
beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan yaitu: ukuran ruang
kelas, jumlah siswa, tingkat kedewasaan siswa, toleransi guru
dan kelas sebelah terhadap kegaduhan dan lalu lalang siswa,
toleransi masing-masing siswa terhadap kegaduhan dan lalu
lalang siswa lain, pengalaman guru dalam melaksanakan metode
pembelajaran kooperatif, dan pengalaman siswa dalam
melaksanakan model pembelajaran kooperatif.

Adapun penataan bangku siswa yang dapat dijadikan pilihan oleh para

guru yang hendak melaksanakan pembelajaran kooperatif (Anita Lie,

2003:51) yaitu:

a. Meja tapal kuda: siswa berkelompok diujung meja


b. Meja panjang: siswa berkelompok diujung meja
c. Penataan tapal kuda: siswa dalam satu kelompok ditempatkan
berdekatan
d. Meja laboratorium
e. Meja kelompok: siswa dalam satu kelompok ditempatkan
berdekatan
f. Klasifikal: siswa dalam satu kelompok ditempatkan berdekatan
g. Meja berbaris: dua kelompok duduk berbagi satu meja

15
B. Macam-Macam Pembelajaran Kooperatif

Menurut Robert E.Slavin (2009-10), berbagai metode

pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran Tim Siswa


Metode Student Team Learning (Pembelajaran Tim Siswa) adalah
teknik pembelajaran kooperatif yang dikembangkan dan diteliti
oleh John Hopkins University. Lebih dari separuh dari semua
kajian praktis tentang metode pembelajaran kooperatif menerapkan
metode ini. Semua metode pembelajaran kooperatif
menyumbangkan ide bahwa siswa yang bekerja sama dalam belajar
dan bertanggung jawab terhadap teman satu timnya mampu
membuat diri mereka belajar sama baiknya. Sebagai tambahan
terhadap gagasan tentang kerja kooperatif, metode PTS
menekankan penggunaan tujuan-tujuan tim dan sukses tim, yang
hanya akan dapat dicapai apabila semua anggota tim bisa belajar
mengenai pokok bahasan yang telah diajarkan. Oleh sebab itu,
dalam metode PTS tugas-tugas yang diberikan pada siswa bukan
melakukan sesuatu sebagai sebuah tim, tetapi belajar sesuatu
sebagai sebuah tim. Tiga konsep bagi semua metode PTS –
penghargaan bagi tim, tanggung jawab individu, dan kesempatan
sukses yang sama. Tim akan mendapatkan sertifikat, atau
penghargaan-penghargaan tim lainnya jika mereka berhasil
melampaui kriteria tertentu yang telah ditetapkan. Tim tidak
bersaing untuk mendapatkan penghargaan yang tidak mungkin;
semua (atau tidak ada) anggota tim yang bisa saja ada yang
mencapai kriteria pada minggu tersebut. Tanggung jawab
individual maksudnya adalah bahwa kesuksesan tim bergantung
pada pembelajaran individu dari semua anggota tim. Tanggung
jawab difokuskan pada kegiatan anggota tim dalam membantu satu
sama lain untuk belajar dan memastikan bahwa tiap orang dalam
tim siap untuk mengerjakan kuis atau bentuk penilaian lainnya
yang dilakukan siswa tanpa bantuan teman satu timnya.
Kesempatan sukses yang sama maksudnya, bahwa semua siswa
memberi kontribusi kepada timnya dengan cara meningkatkan
kinerja mereka dari yang sebelumnya . Ini akan memastikan bahwa
siswa dengan prestasi tinggi, sedang dan rendah semuanya sama-
sama ditantang untuk melakukan yang terbaik , dan bahwa
kontribusi dari semua anggota tim ada nilainya.
2. Student Team-Achievement Division (STAD)
Dalam STAD, para siswa dibagi dalam tim belajar yang terdiri atas
empat orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis
kelamin, dan latar belakang etniknya. Guru menyampaikan
pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan

16
bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran. Selanjutnya,
semua siswa mengerjakan kuis mengenai materi secara sendiri-
sendiri, di mana saat itu mereka tidak diperbolehkan untuk saling
bantu. Skor kuis para siswa dibandingkan dengan rata-rata
pencapaian mereka sebelumnya, dan kepada masing-masing tim
akan diberikan poin berdasarkan tingkat kemajuan yang diraih
siswa dibandingkan hasil yang mereka capai sebelumnya. Poin ini
kemudian dijumlahkan untuk memperoleh skor tim, dan tim yang
berhasil memenuhi kriteria tertentu akan mendapatkan sertifikat
atau penghargaan lainnya. Seluruh rangkaian kegiatan, termasuk
presentasi yang disampaikan guru, praktik tim, dan kuis biasanya
memerlukan waktu 3-5 periode kelas.
Gagasan utama dari STAD adalah ,untuk memotivasi siswa
supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain
dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. Jika para
siswa ingin agar timnya mendapatkan penghargaan tim, mereka
harus membantu teman satu timnya untuk mempelajari materinya.
Mereka harus mendukung teman , satu timnya untuk bisa
melakukan yang terbaik, menunjukan norma bahwa belajar itu
penting, berharga dan menyenangkan. Para siswa bekerja sama
setelah guru menyampaikan materi pelajaran. Mereka boleh
bekerja berpasangan dan membandingkan jawaban masing-masing,
mendiskusikan setiap ketidaksesuaian, dan saling membantu satu
sama lain jika ada yang salah dalam memahami. Mereka boleh
mendiskusikannya dari pendekatan penyelesaian masalah, atau
mereka juga boleh saling memberikan kuis mengenai objek yang
sedang mereka pelajari. Mereka bekerja dengan teman satu
timnya,menilai kekuatan dan kelemahan mereka untuk membantu
mereka berhasil dalam kuis.
3. Teams Games-Tournament (TGT)
Metode ini menggunakan pelajaran yang sama yang
disampaikan guru dan tim kerja yang sama seperti dalam STAD,
tetapi menggantikan dengan kuis dengan turnamen mingguan, di
mana siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain
untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. Siswa memainkan
game ini bersama tiga orang pada “meja turnamen” di mana ketiga
peserta dalam satu meja turnamen ini adalah para siswa yang
memilki rekor nilai matematika terakhir yang sama. Sebuah
prosedur “menggeser kedudukan” membuat permainan ini cukup
adil. Peraih rekor tertinggi dalama tiap meja turnamen akan
mendapatkan 60 poin untuk timnya, tanpa menghiraukan dari meja
mana ia mendapatkannya;ini berarti bahwa mereka yang
berprestasi rendah (bermain dengan yang berprestasi tinggi)
keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. TGT
memiliki banyak kesamaan dinamika dengan STAD, tetapi
menambahkan dimensi kegembiraan yang diperoleh dari

17
penggunaan permainan. Teman satu tim akan saling membantu
dalam mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari
lembar kegiatan dan menjelaskan masalah-masalah satu sama lain,
tetapi sewaktu siswa sedang bermain dalam game temannnya tidak
boleh membantu, memastikan telah terjadi tanggung jawab
individual.
4. Jigsaw II
Jigsaw II adalah adalah adaptasi dari teknik teka-teki Elliot
Aronson (1978). Dalam teknik ini siswa, bekerja dalam anggota
kelompok yang sama, yaitu empat orang, dengan latar belakang
yang berbeda seperti dalam STAD dan TGT. Para siswa ditugaskan
untuk membaca bab , buku kecil, atau materi lain, biasanya bidang
studi sosial, biografi , atau member materi-materi yang bersifat
penjelasan terperinci lainnya. Tiap anggota tim ditugaskan secara
acak untuk menjadi “ahli” dalam aspek tertentu dari tugas
membaca tersebut.
5. Team Accelerated Intruction ( TAI)
Dalam TAI, para siswa memasuki sekuen individual berdasarkan
tes penempatan dan kemudian melanjutkannya dengan tingkat
kemampuan mereka sendiri. Secara umum, anggota kelompok
bekerja pada unit pelajaran yang berbeda. Teman satu tim saling
memeriksa hasil kerja masing-masing menggunakan lembar
jawaban dan saling membantu dalam menyelesaikan berbagai
masalah. Unit tes yang terakhir akan dilakukan tanpa bantuan
teman satu tim dan skornya dihitung dengan monitor siswa. Tiap
minggu, guru menjumlah angka dari tiap unit yang telah
diselesaikan semua anggota tim dan memberikan sertifikat atau
penghargaan tim lainnya untuk tim yang berhasil melampaui
kriteria skor yang didasarkan pada angka tes terakhir yang telah
dilakukan, dengan poin ekstra untuk lembar jawaban yang
sempurna dan pekerjaan rumah yang telah diselesaikan. Karena
para siswa bertanggung jawab untuk saling mengecek satu sama
lain dan mengelola materi yang disampaikan, guru dapat
menghabiskan waktu di dalam kelas penyampaian pelajaran
kepada kelompok kecil siswa yang terdiri dari beberapa tim yang
belajar pada tingkat yang sama dalam sekuen.
6. Cooperatif Integrated Reading and Composition (CIRC)
Merupakan program komprehensif untuk mengajarkan membaca
dan menulis pada kelas sekolah dasar pada tingkat yang lebih
tinggi dan juga pada sekolah menengah (Madden,Slavin,& Steven,
1986). Dalam CIRC,guru menggunakan novel atau bahan bacaan
yang berisi latihan soal dan cerita. Mereka mungkin menggunakan
atau tidak menggunakan kelompok membaca, seperti dalam kelas
membaca tradisional. Para siswa ditugaskan untuk berpasangan
dalam tim mereka untuk belajar dalam serangkaian kegiatan yang
bersifat kognitif,termasuk membacakan cerita satu sama lain,

18
membuat prediksi mengenai bagaimana akhir dari sebuah cerita
negarif, saling merangkum cerita satu sama lain, menulis
tanggapan terhadap cerita, dan melatih pengucapan, penerimaan,
dan kosa kata. Para siswa juga belajar dalam timnya untuk
menguasai gagasan utama dan kemampuan komprehensif lainnya.
Selama periode seni berbahasa, siswa terlibat dalam pelatihan
penulisan, konsep penulisan, saling mervisi dan menyunting karya
yang satu dengan lainnya, dan mempersiapkan pemuatan hasil
kerja tim pada buku-buku kelas.

Sedangkan, menurut Arends (2008:13) ada empat pendekatan

pembelajaran kooperatif,yaitu:

1) Student Teams Achievement Division (STAD)


STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan rekan-rekan
sejawatnya di Johns Hopkins University dan merupakan
pendekatan cooperative learning yang paling sederhana dan paling
mudah dipahami. Guru yang menggunakan STAD menyajikan
informasi akademis baru kepada siswa, baik melalui verbal atau
teks. Siswa di kelas tertentu dibagi menjadi beberapa kelompok,
dengan wakil-wakil dari kedua gender, dari berbagai kelompok ras,
dan dengan prestasi rendah, rata-rata dan tinggi. Anggota tim
menggunakan worksheets atau alat lain untuk menguasai materi
akademis dan kemudian saling membantu untuk mempelajari
berbagai materi melalui tutoring, saling memberikan kuis, atau
melaksanakan diskusi tim. Secara individual, siswa diberi kuis
mingguan atau dua mingguan tentang berbagai materi akademis.
Dalam mengerjakan kuis individual ini siswa dilarang bekerja
sama dengan siswa lain.
2) Jigsaw
Jigsaw dikembangkan dan diuji oleh Elliot Aronson dan rekan-
rekan sejawatnya. Menggunakan jigsaw, siswa-siswa ditempatkan
ke dalam tim-tim belajar heterogen beranggota lima sampai enam
orang. Berbagai materi akademis disajikan kepada siswa dalam
bentuk teks, dan setiap siswa bertanggung jawab untuk
mempelajari satu porsi matyerinya. Para anggota dari tim-tim yang
berbeda, tetapi membicarakan topik yang sama, bertemu untuk
belajar dan saling membantu dalam mempelajari topik tersebut
(biasanya disebut tim ahli). Setelah itu siswa kembali ke tim
asalnya dan mengajarkan sesuatu yang telah mereka pelajari dalam
tim ahli kepada anggota-anggota lain di timnya masing-masing.
3) Group Investigation (GI)
Group Investigation (GI) yang aslinya dirancang oleh Herbert
Thelen, yang lebih mutakhir pedekatan ini diperluas dan

19
disempurnalan oleh Sharan dan rekan-rekannya di Tel Aviv
University. GI merupakan pendekatan cooperative learning yang
paling kompleks dan paling sulit diimplementasikan. GI
melibatkan siswa dalam merencanakan topik-topik yang akan
dipelajari dan bagaimana cara menjalankan investigasinya.
4) Pendekatan Struktural
Pendekatan cooperative learning lainnya dikembangkan selama
dekade lalu, terutama oleh Spencer Kagan. Pendekatan struktural
menekankan penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur Kagan mengharuskan
siswa untuk bekerja secara independen di kelompok-kelompok
kecil dan ditandai oleh reward kooperatif dan bukan reward
individual.

Arends (2008:15) memberikan dua contoh model pembelajaran

kooperatif struktural yaitu ;

a) Think-Pair-Share (TPS)
Pendekatan ini menantang asumsi bahwa semua resitasi atau
diskusi perlu dilakukan dalam setting seluruh kelompok, dan
memilki prosedur-prosedur built-in untuk memberikan lebih
banyak waktu kepada siswa untuk berfikir, untuk merespons, dan
untuk saling membantu.
b) Numbered Heads Together (NHT)
Adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Spencer Kagan
untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam review berbagai
materi yang dibahas dalam sebuah pelajaran dan untuk memeriksa
pemahaman mereka tentang isi pelajaran itu.

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

model pembelajaran kooperatif merupakan upaya dalam rangka

mengaktifkan siswa dengan cara bekerja dalam kelompok yang berbeda

latar belakang, saling berbagi pengetahuan, mengungkapkan pendapat

untuk menyelesaikan masalah atau tugas yang telah diberikan guru secara

bersama-sama.

20
C. Pembelajaran Tipe Jigsaw

1. Pengertian Pembelajaran Tipe Jigsaw

Menurut Rusman (2012:217) arti Jigsaw dalam bahasa inggris

adalah gergaji ukir dan ada juga yang menyebutkan dengan istilah puzzle

yaitu sebuah teka-teki menyusun potongan gambar. Pembelajaran

kooperatif tipe Jigsaw ini mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji

(zigzag), yaitu siswa melakukan suatu kegiatan belajar dengan cara

bekerjasama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama.

Berdasarkan pengertian di atas bahwa model pembelajaran Jigsaw

merupakan model belajar kooperatif yang menitik beratkan kepada kerja

kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil. Dalam pembelajaran

model Jigsaw ini siswa memiliki banyak kesempatan untuk

mengemukakan pendapat, dan mengelola informasi yang dapat

meningkatkan keterampilan berkomunikasi, anggota kelompok

bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian

materi yang dipelajari, dan dapat menyampaikan kepada kelompoknya.

Pembelajaran model Jigsaw pada hakikatnya merupakan model

pembelajaran kooperatif yang berpusat pada siswa. Siswa mempunyai

peran dan tanggung jawab besar dalam pembelajaran. Tujuan model

Jigsaw ini adalah mengembangkan kerja tim, keterampilan belajar

kooperatif dan penguasaan pengetahuan secara mendalam yang tidak

mungkin diperoleh siswa apabila siswa mempelajari materi secara

individual. Dalam model Jigsaw ini, siswa dibagi menjadi dua kelompok,

21
yaitu kelompok awal dan kelompok ahli. Setiap siswa yang ada dalam

kelompok awal mengkhususkan diri pada satu bagian dari sebuah unit

pembelajaran. Siswa dalam kelompok awal ini kemudian dibagi lagi untuk

masuk ke dalam kelompok ahli untuk mendiskusikan materi yang berbeda.

Siswa kemudian kembali ke kelompok awal untuk mendiskusikan materi

hasil kelompok ahli pada siswa kelompok awal.

Sedangkan menurut Robert E.Slavin (2009:237-238), jigsaw II dapat

digunakan apabila materi yang akan dipelajari adalah yang berbentuk

narasi tertulis. Metode ini paling sesuai untuk subjek-subjek seperti

pelajaran ilmu sosial, literature, sebagian pelajaran ilmu pengetahuan

ilmiah, dan bidang-bidang lainnya yaitu tujuan pembelajaran lebih kepada

penguasaan konsep daripada penguasaan kemampuan. Pengajaran “ bahan

baku” untuk jigsaw II biasanya harus berupa bab, cerita, biografi atau

materi-materi narasi atau deskripsi serupa. Dalam Jigsaw II, para siswa

bekerja dalam tim yang heterogen, seperti dalam STAD dan TGT. Para

siswa tersebut diberikan tugas untuk membaca beberapa bab atau unit ,

dan diberikan “ lembar ahli ‘’ yang terdiri atas topik-topik yang berbeda

yang harus menjadi fokus perhatian masing-masing anggota tim saat

mereka membaca. Setelah semua anak selesai membaca, siswa-siswa dari

tim yang berbeda yang mempunyai fokus topik yang saat bertemu dalam “

kelompok ahli” untuk mendiskusikan topik mereka sekitar tiga puluh

menit. Para ahli tersebut kemudian kembali kepada tim mereka dan secara

bergantian mengajari teman satu timnya mengenai topik mereka. Yang

22
terakhir adalah, para siswa menerima penilaian yang mencakup seluruh

topik, dan skor kuis akan menjadi skor tim, seperti dalam STAD. Seperti

juga dalam STAD, skor-skor yang dikontribusikan para siswa kepada

timnya didasarkan pada sistem skor perkembangan individual, dan para

siswa yang timnya meraih skor tertinggi akan menerima sertifikat atau

bentuk-bentuk rekognisi tim lainnya. Sehingga, para siswa termotivasi

untuk mempelajari materi dengan baik dan untuk bekerja keras dalam

kelompok ahli mereka supaya mereka dapat membantu timnya melakukan

tugas dengan baik. Kunci metode jigsaw ini adalah interdependensi: tiap

siswa bergantung kepada teman satu timnya untuk dapat memberikan

informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik pada saat

penilaian.

Untuk membuat materi jigsaw II, ikuti langkah-langkah berikut:


a. Pilihlah salah satu atau dua bab, cerita, atau unit-unit lainnya, yang
masing-masing mencakup materi untuk dua atau tiga hari. Jika para
siswa akan membacanya di kelas, materi yang dipilih haruslah
membutuhkan waktu tidak lebih dari setengah jam untuk membacanya,
jika bacaan tersebut akan dijadikan tugas untuk dibaca di rumah, maka
pilihannya boleh lebih panjang.
b. Buatlah sebuah lembar ahli untuk tiap unit. Lembar ini akan
mengatakan kepada siswa di mana mereka perlu berkonsentrasi saat
membaca, dan dengan kelompok ahli yang akan bekerja, Lembar ini
berisi empat topik yang menjadi inti dari unti pembelajaran. ( Robert
E.Slavin 2009:237-238)

2. Langkah-langkah Pembelajaran Tipe Jigsaw

Dalam konsep ini semua siswa harus bisa mendapatkan

kesempatan dalam proses belajar supaya semua pemikiran siswa dapat

diketahui. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pembelajaran

23
dengan menggunakan model Jigsaw (Rusman, 2012:218) adalah sebagai

berikut:

a. Siswa dikelompokkan dengan anggota + 4 orang


b. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi dan tugas yang
berbeda
c. Anggota dari tim yang berbeda dengan penugasan yang sama
membentuk kelompok baru (kelompok ahli)
d. Setelah kelompok ahli berdiskusi, tiap anggota kembali ke
kelompok asal dan menjelaskan kepada anggota kelompok
tentang subbab yang mereka kuasai
e. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi
f. Pembahasan dan guru memberi evaluasi
g. Penutup.

Alur proses pembuatan kelompok ahli dalam pembelajaran

kooperatif tipe Jigsaw dapat diilustrasikan sebagaimana gambar berikut:

Kelompok Asal Kelompok Ahli Kelompok Asal

Kelompok I 1 1 1 1 1 1 Kelompok I
1 2 3 4 1 2 3 4

Kelompok II Kelompok II
1 2 3 4 1 2 3 4
2 2 2 2 2 2
Kelompok III Kelompok III
1 2 3 4 1 2 3 4
3 3 3 3 3 3
Kelompok IV Kelompok IV
1 2 3 4 1 2 3 4
4 4 4 4 4 4
Kelompok V Kelompok V
1 2 3 4 1 2 3 4

Kelompok VI Kelompok VI
1 2 3 4 1 2 3 4

Gambar 1: Ilustrasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

24
Berdasarkan Gambar 1 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam

pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam pengelompokannya siswa di

kelompokkan menjadi kelompok asal, kemudian setiap kelompok

diberikan topik yang berbeda untuk dipelajari. Siswa dari kelompok asal

dengan topik yang sama dipertemukan dalam kelompok ahli untuk

berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing

anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari

topik mereka tersebut. Para ahli kemudian kembali ke kelompok asal

mereka masing-masing dan mengambil giliran untuk mengajari anggota

kelompoknya tentang topik mereka.

Selain itu ada beberapa fase yang perlu diperhatikan dalam

pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw seperti pendapat Stahl

dan Aronson, Elliot (dalam Anita Lie, 2003:91) yang membagi menjadi 7

fase yaitu:

a. Fase 1: Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa


Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai pada pembelajaran tersebut. Dan memotifasi siswa untuk
belajar.
b. Fase 2: Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jelas
menyuguhkan berbagai fakta, pengalaman, fenomena fisis yang
berkaitan langsung dengan materi.
c. Fase 3: Kelompok Asal atau Base Group
Siswa dikelompokkan menjadi kelompok asal dengan anggota 5
sampai 6 orang dengan kemampuan akademik yang heterogen.
Setiap anggota kelompok diberikan sub pokok bahasan/topik
yang berbeda untuk mereka pelajari.
d. Fase 4: Kelompok Ahli atau Expert Group
Siswa yang mendapat topik yang sama berdiskusi dalam
kelompok ahli.
e. Fase 5: Tim ahli kembali ke kelompok asal
Siswa kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan apa yang

25
mereka dapatkan dalam kelompok ahli.
f. Fase 6: Evaluasi
Semua siswa diberikan tes meliputi semua topik dari materi yang
telah di diskusikan.
g. Fase 7: Memberikan Penghargaan
Guru memberikan penghargaan baik secara individual maupun
kelompok.

Langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran teknik Jigsaw menurut Anita

Lie (2004:68-69), yaitu:

1. Pengajar membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi


empat bagian.
2. Sebelum bahan pelajaran diberikan, pengajar memberikan pengenalan
mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran untuk hari
ini. Pengajar bisa menulis topik di papan tulis dan menanyakan apa
yang siswa ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan brainstorming
ini dimaksudkan untuk mengaktifkan siswa agar lebih siap
mengahadapi bahan pelajaran baru.
3. Siswa dibagi dalam kelompok berempat.
4. Bagian pertama bahan diberikan kepada siswa yang
pertama,sedangkan siswa yang kedua menerima bagian yang kedua.
Demikian seterusnya.
5. Siswa disuruh membaca atau mengerjakan bagian mereka masing-
masing.
6. Setelah selesai, siswa saling berbagi mengenai bagian yang dibaca
atau dikerjakan mereka masing-masing. Dalam kegiatan ini siswa
dapat saling melengkapi dan berinteraksi antara yang satu dengan
lainnya.
7. Khusus untuk kegiatan membaca, pengajar membagi bagian cerita
yang belum terbaca kepada masing-masing siswa. Siswa membaca
bagian tersebut.
8. Kegiatan ini bisa diakhiri dengan diskusi mengenai topik bahan
pelajaran hari itu. Diskusi bisa dilakukan antara pasangan atau seluruh
kelas.
9. Jika tugas yang dikerjakan cukup sulit, siswa bisa membentuk
kelompok para ahli (kelompoknya). Siswa berkumpul dengan siswa
lain yang mendapatkan bagian yang sama dari kelompok lain. Mereka
bekerjasama mempelajari atau mengerjakan bagian tersebut.
Kemudian masing-masing siswa kembali ke kelompoknya sendiri dan
membagikan apa yang telah dipelajarinya kepada rekan-rekan dalam
kelompoknya.

26
3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dalam Kaitannya

dengan Aktivitas dan Prestasi Belajar

Menurut Hudoyo (dalam Aryani Sri, 2003:83) bahwa mengajar

bukan hanya memberi informasi, memerintah atau membiarkan siswa

belajar sendiri melainkan memberi kesempatan kepada yang diajar untuk

mencari, bertanya, menebak, menalar dan bahkan mendebat. Untuk

mewujudkan kondisi tersebut, dalam mengajar diperlukan suatu model

pembelajaran yang tepat sehingga tujuan dari pembelajaran dapat

tercapai.

Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah

model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Pada model pembelajaran

kooperatif tipe Jigsaw ini siswalah yang secara aktif membangun

pengetahuan mereka sendiri. Dengan memberikan siswa bekerja secara

aktif dalam proses pembelajaran berarti memberikan kesempatan yang

luas untuk menggunakan kemampuan dalam mengembangkan

keahliannya.

Teori Piaget sebagaimana dikutip oleh Anita Lie (2003:101), di

dalam model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, siswa sendirilah yang

aktif membangun (mengkonstruksi) pengetahuannya. Model ini juga

menekankan aktivitas siswa di dalam menemukan konsep-konsep yang

dipelajari dan guru hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator.

Kegiatan-kegiatan dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini

adalah kegiatan yang mengarah pada proses belajar seperti: siswa tidak

27
mengerjakan pelajaran lain, tidak terpengaruh situasi di luar kelas, siswa

mendengarkan arahan dari guru, bertanya atau menjawab pertanyaan

guru, mengerjakan tugas dalam kelompok dengan sungguh-sungguh dan

seksama, mengemukakan pendapat dalam diskusi, saling membantu antar

anggota, memperhatikan penjelasan yang dianggap penting dari guru

atau siswa lain, merespon atas stimulus yang diberikan guru dan tidak

tampak bosan waktu pembelajaran berlangsung.

Pembelajaran yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah

Jigsaw menyebabkan siswa akan merasakan manfaat langsung dari

pembelajaran itu sendiri. Hal ini meningkatkan motivasi siswa dalam

belajar dan menumbuhkan sikap yang positif terhadap pembelajaran,

dengan demikian prestasi belajar siswa akan lebih baik.

4. Kekurangan dan Keunggulan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Menurut Anita Lie (2003:84) Dalam pelaksanaan pembelajaran di

sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah

dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses

pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran kooperatif

tipe Jigsaw diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan


pembelajaran pembelajaran kooperatif.
b. Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan
perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil
sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena
kelas, yang lain hanya sebagai penonton.
c. Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik
pembelajaran pembelajaran kooperatif.
d. Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.

28
e. Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan
informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.

Keunggulan Menurut Anita Lie (2003:85) pembelajaran

kooperatif tipe Jigsaw meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap

pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak

hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap

memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota

kelompoknya yang lain. Meningkatkan bekerja sama secara kooperatif

untuk mempelajari materi yang ditugaskan.

a. Dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat


kelompok ahli dan kelompok asal. Kelompok asal adalah kelompok
awal siswa terdiri dari berapa anggota kelompok ahli yang dibentuk
dengan memperhatikan keragaman dan latar belakang. Guru harus
terampil dan mengetahui latar belakang siswa agar terciptanya
suasana yang baik bagi setiap angota kelompok. Sedangkan
kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota
kelompok lain (kelompok asal) yang ditugaskan untuk mendalami
topik tertentu untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok
asal.
b. Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan
topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan
membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota
kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik
mereka tersebut. Di sini, peran guru adalah memfasilitasi dan
memotivasi para anggota kelompok ahli agar mudah untuk
memahami materi yang diberikan. Setelah pembahasan selesai,
para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan
mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka
dapatkan pada saat pertemuan di kelompok ahli. Para kelompok
ahli harus mampu untuk membagi pengetahuan yang di dapatkan
saat melakukan diskusi di kelompok ahli, sehingga pengetahuan
tersebut diterima oleh setiap anggota pada kelompok asal. Kunci
tipe Jigsaw ini adalah interdependence setiap siswa terhadap
anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan. Artinya
para siswa harus memiliki tanggung jawab dan kerja sama yang
positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi
dan memecahkan masalah yang diberikan.

29
Menurut Isjoni (2011-18), kelemahan pembelajaran kooperatif

bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam( intern ) dan faktor

dari luar (eksternal). Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut:

1) Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara


matang,disamping itu memerlukan lebih banyak
tenaga,pemikiran dan waktu.
2) Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka
dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup
memadai.
3) Selama kegiatan berdiskusi kelompok berlangsung, ada
kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas
sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.
4) Saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini
mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.

Sedangkan faktor dari luar erat kaitannya dengan kebijakan

pemerintah, yaitu semakin pudarnya kurikulum pembelajaran, selain

itu pelaksanaan tes yang terpusat seperti EBTA/EBTANAS sehingga

kegiatan belajar mengajar du kelas cenderung dipersiapkan untuk

keberhasilan perolehan NEM.

D. Pembelajaran Konvensional/Ceramah

Pada dasarnya pembelajaran biasa merupakan pembelajaran dengan

menggunakan metode ceramah, namun sekarang sudah banyak penggabungan

misalnya dengan media atau metode pembelajaran yang lain. Winarno

Surahmad menyatakan bahwa ceramah adalah bentuk interaksi penerangan

dan penuturan secara lisan seseorang terhadap kelompok pendengar (Winarno

Surahmad,1986: 98-100). Nana Sudjana menyatakan bahwa ceramah adalah

penuturan bahan pelajaran secara lisan (Nana Sudjana, 1989:77).

30
Keuntunganya yaitu dapat menguasai seluruh arah pembicaraan dan organisasi

kelompok pendengar. Kelemahannya yaitu tidak mengetahui sampai dimana

setiap anggota kelompok mengerti yang telah dibicarakan. Menurut Sunaryo

( 1989:128) kelebihan dan kelemahan model ceramah yaitu:

Kelebihan
1. Tepat untuk menyajikan materi.
2. Mudah mengendalikan informasi.
3. Mudah membangkitkan hasrat,minat,dan antusiasme.
Kelemahan
1. Kegiatan belajar dimonopoli guru.
2. Guru tidak tahu sejauh mana informasi yang diterima siswa.
3. Adanya gangguan/distorsi, sehingga informasi tidak sesuai.
4. Mudah menimbulkan verbalisme.
5. Siswa cenderung pasif dan tidak berkembang.

Menurut Nana Sudjana model ceramah tidak senantiasa jelek bila

penggunaanya betul-betul disiapkan dengan baik, didukung dengan alat dan

media, serta memberhatikan batas-batas kemungkinan penggunaannya (Nana

Sudjana, 1989:77). Hal ini juga dikemukakan oleh Sunaryo bahwa hal-hal

yang harus diperhatikan dalam memberi ceramah antara lain:

1) Guru harus menguasai bahan ceramah


2) Bahasa ceramah harus jelas lancar dan mudah diterima untuk siswa
3) Materi ceramah harus sesuai dengan kemampuan si penerima,
dengan urutan yang logis
4) Agar tidak membosankan ceramah harus diberikan secara variasi
(baik gaya guru mengajar, media yang digunakan maupun pola
interaksi dengan murid.
5) Mengetahui kelemahan dan kelebihan dari metode ceramah itu
sendiri sehingga bisa mengantisipasi kelemahan atau
mempertahankan kelebihannya ( Sunaryo,1989:77).

Menurut W James Pophan dan Eva L. Baker model ceramah berjalan

dengan baik jika memilki perencanaan yang baik.

31
Perencanaan itu adalah:
1) Guru harus membatasi waktu ceramah sesuai dengan usia siswa
agar siswa tidak bosan
2) Guru harus menyiapkan catatan ceramah dalam bentuk ikhtisar
agar guru tidak kehilangan dalam menyampaikan materi
3) Guru menyusun pertanyaan-pertanyaan untuk diajukan kepada
siswa, hal ini untuk mengukur efektivitas kegiatan belajar siswa
4) Guru membuat serangkain kata pembuka yang berupa lelucon dan
pertanyaan untuk dipikirkan siswa dan barang kali dijawab akhir
ceramah
5) Membuat ringkasan dari pokok-pokok yang akan dikemukakan.
Hal ini untuk memperjelas hal-hal yang harus diperhatikan siswa.
(W James Pophan dan Eva L Baker, 1992:81-82).

Untuk penceramah yang baik diperlukan latihan dan umpan balik.

Ceramah memungkinkan guru menyampaikan topik dengan perasaan, dapat

lewat cara menyampaikan pendapat dan informasi tertentu dengan tekanan

suaranya, ataupun dengan gerak-gerik badan (dalam arti berpindah

tempat). Seorang penceramah perlu mengetahui dan mengontrol kecepatan

bicaranya,kesesuaian kata-kata yang dipakainya, volume suaranya dan

memberikan kontak mata dengan siswa agar siswa tertarik untuk

memperhatikan pelajaran yang diajarkan. (W.James Pophan dan Eva

L.Baker, 1992:80).

E. Prestasi Belajar

1. Pengertian Belajar

Belajar mempunyai pengertian yang sangat kompleks sehingga

banyak ahli yang mengemukakan pengertian belajar dengan ungkapan dan

pandangan yang berbeda-beda. Menurut Gagne (dalam Dahar, 1998:11),

belajar didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisme

berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Sedangkan menurut

32
Gagne yang dikutip oleh Dimyati dan Mudjiono (1999:10) belajar

merupakan kegiatan yang kompleks dengan hasil belajar berupa

kapabilitas, dan setelah belajar seseorang akan memiliki keterampilan,

pengetahuan, sikap serta nilai yang dipengaruhi oleh stimulasi lingkungan

dan proses kognitif yang dilakukan oleh pembelajar.

Lebih lanjut lagi Muhammad Surya (2007:7) mengemukakan

bahwa: “Belajar ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk

memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan

lingkungannya”.

Dari berbagai pandangan yang telah dikemukakan oleh beberapa

ahli tersebut, dapat disimpulkan tentang pengertian belajar. Belajar adalah

suatu proses pada diri siswa atau individu sehingga menyebabkan

perubahan perilaku yang tercermin dari hasil belajarnya, yaitu meliputi

aspek pengetahuan (kognitif), aspek sikap (afektif) dan aspek keterampilan

(psikomotorik) yang dipengaruhi oleh stimulasi lingkungan dan

pengalaman-pengalaman belajar, demi tujuan yang hendak dicapai oleh

siswa atau individu tersebut.

2. Pengertian Prestasi Belajar

Kemampuan intelektual siswa sangat menentukan keberhasilan

siswa dalam memperoleh prestasi. Untuk mengetahui berhasil tidaknya

seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya

untuk mengetahui prestasi yang diperoleh siswa setelah proses belajar

33
mengajar berlangsung. Menurut Winkel (1991:26), dalam kaitannya proses

belajar dengan prestasi belajar:

“Proses belajar yang dialami siswa menghasilkan perubahan-perubahan


dalam ranah pengetahuan, keterampilan dan ranah sikap. Adanya
perubahan ini tampak dalam prestasi belajar yang dihasilkan oleh siswa
terhadap pertanyaan, persoalan, tugas yang diberikan guru. Prestasi
belajar ini berbeda-beda sifatnya, tergantung pada ranah (domain) yang
didalamnya siswa memberikan/menunjukkan prestasi, misalnya dalam
ranah pengetahuan (cognitive domain)”.

Sedangkan menurut Maher (dalam Muhammad Suryabrata, 2006:45),

beberapa pengertian prestasi belajar adalah sebagai beikut:

a. Prestasi belajar merupakan tingkah laku yang dapat diukur


dengan menggunakan tes prestasi belajar.
b. Prestasi belajar merupakan hasil dari perubahan individu itu
sendiri bukan hasil dari perbuatan orang lain.
c. Prestasi belajar dapat dievaluasi tinggi rendahnya berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan oleh penilai atau menurut standar
yang telah ditetapkan oleh kelompok.

Sehubungan dengan prestasi belajar, menurut Winkel (1991:17)

prestasi belajar adalah “Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam

berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila

memenuhi tiga aspek, yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik, sebaliknya

dikatakan prsetasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu

memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut”.

Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

pada hakikatnya prestasi belajar adalah perubahan perilaku dalam individu

yang dimanifestasikan ke dalam pola tingkah laku, keterampilan dan

pengetahuan sebagai hasil belajar yang disadari dan dapat diukur

berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh penilai atau menurut

34
standar yang telah ditetapkan selama mengikuti kegiatan proses

pembelajaran. Dapat pula dikatakan bahwa prestasi belajar yang dicapai

siswa merupakan aktualisasi dari potensi siswa yang diperoleh melalui

kegiatan belajar dengan materi dan kriteria tertentu, sesuai dengan

kurikulum yang berlaku.

Prestasi belajar dan hasil belajar merupakan dua istilah yang

berbeda, tetapi kedua istilah ini merupakan akibat dari proses belajar

mengajar. Perubahan tingkah laku yang dihasilkan dari suatu proses

belajar mengajar adakalanya dapat diukur dan adakalanya tidak dapat

diukur. Perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan penilaian

tertentu melalui kriteria tertentu sebagai akibat dari proses belajar

mengajar biasa diartikan sebagai prestasi belajar. Hasil belajar juga

merupakan akibat dari proses belajar mengajar, tetapi tidak hanya yang

diterima dari sekolah sebagai lembaga pendidikan, melainkan juga dari

luar sekolah seperti keluarga, lingkungan dan masyarakat luas. Jadi

prestasi belajar merupakan hasil nyata yang diperoleh siswa setelah

mengikuti proses belajar mengajar tertentu yang sesuai dengan kurikulum

yang telah ditentukan dengan kriteria penilaian. Prestasi belajar juga

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor internal, dan faktor

eksternal. Yang dimaksud dengan faktor internal adalah kondisi internal

dan proses kognitif siswa. Dalam interaksi pembelajaran ditemukan bahwa

proses belajar yang dilakukan oleh siswa merupakan kunci keberhasilan

belajar, bila proses-proses tersebut tidak baik, maka siswa dapat

35
berprestasi kurang atau dapat juga gagal berprestasi. Sedangkan yang

dimaksud faktor eksternal adalah lingkungan yang ada disekitar siswa,

diantaranya: guru sebagai pembina siswa belajar, sarana dan prasarana

pembelajaran, lingkungan sosial siswa di sekolah dan kurikulum sekolah.

3. Cara Mengukur Prestasi Belajar

Prestasi belajar merupakan interaksi antara suatu unsur-unsur yang

berkaitan. Unsur utama dalam menentukan prestasi belajar adalah siswa

itu sendiri sebagai pelajar, unsur kebutuhan sebagai pendorong, situasi

belajar yang memberikan berbagai kemungkinan terjadinya kegiatan

belajar, dan tujuan sebagai unsur yang mengarahkan kegiatan belajar.

Manifestasi dari kegiatan belajar dinyatakan dalam bentuk perubahan

tingkah laku sebagai hasil belajar. Prestasi belajar merupakan salah satu

tolok ukur berhasilnya kegiatan pembelajaran. Keberhasilan ini biasanya

diukur dalam jangka waktu tertentu misalnya beberapa kali pertemuan,

satu caturwulan atau semester atau bahkan pada tingkat akhir. Oleh sebab

itu maka diperlukan kegiatan evaluasi untuk mengukur tingkat

keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Menurut

Dimyati dan Mudjiono (1999:194) alat evaluasi yang baik harus

memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain: kesahihan

(validitas), keterandalan (reliabel), dan kepraktisan.

36
4. Taksonomi Tujuan Pendidikan

Anderson dkk (dalam Widodo, 2006:2) menjelaskan ada empat

macam dimensi pengetahuan dalam taksonomi Bloom yang telah direvisi,

yaitu:

1) Pengetahuan faktual, yaitu pengetahuan yang berupa potongan-


potongan informasi yang terpisah-pisah atau unsur dasar yang
ada dalam suatu disiplin ilmu tertentu, yang mencakup
pengetahuan tentang terminologi dan pengetahuan tentang
bagian detail.
2) Pengetahuan konseptual, yaitu pengetahuan yang menunjukan
saling keterkaitan antara unsur-unsur dasar dalam struktur yang
lebih besar dan semuanya berfungsi sama-sama, yang
mencakup skema, model pemikiran dan teori.
3) Pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan tentang bagaimana
mengerjakan sesuatu, baik yang bersifat rutin maupun yang
baru.
4) Pengetahuan metakognitif, yaitu mencakup pengetahuan
tentang kognisi secara umum dan pengetahuan tentang diri
sendiri.
Anderson (dalam Widodo, 2006-140) menguraikan dimensi
proses kognitif pada taksonomi Bloom revisi yang mencakup:
1) Menghafal (remember), yaitu menarik kembali informasi yang
tersimpan dalam memori jangka panjang yang mencakup dua
macam proses kognitif mengenali dan mengingat.
2) Memahami (understand), yaitu mengkonstruk makna atau
pengetian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, atau
mengintegrasikan pengetahuan yang baru ke dalam skema yang
ada dalam pemikiran siswa, yang mencakup tujuh proses
kognitif: menafsirkan, memberikan contoh, mengklasifikasikan,
meringkas, menarik inferensi, membandingkan,dan
menjelaskan.
3) Mengaplikasikan (apply), yaitu penggunaan suatu prosedur
guna menyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas, yang
mencakup dua proses kognitif: menjalankan dan
mengimplementasikan.
4) Menganalisis (analyze), yaitu menguraikan suatu permasalahan
atau obyek ke unsur-unsurnya dan menentukan bagaimana
saling keterkaitan antar unsur-unsur tersebut, yang mencakup
tiga proses kognitif: menguraikan, mengorganisir, dan
menemukan pesan tersirat.
5) Mengevaluasi (evaluate), yaitu membuat surat pertimbangan
berdasarkan kriteria dan standar yang ada, yang mencakup dua

37
proses kognitif: memeriksa dan mengkritik.
6) Membuat (create), yaitu menggabungkan beberapa unsur
menjadi suatu bentuk kesatuan, yang mncakup tiga proses
kognitif: membuat, merencanakan, dan memproduksi.
(http://widodo.staf.upi.edu/files/2011/03/2006-
RevisiTaksonomi-Bloom-dan-Pengembangan-Butir-Soal.pdf)

5. Penilaian Pendidikan

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20

Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan dinyatakan bahwa

Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan

menengah dilaksanakan berdasarkan standar penilaian pendidikan yang

berlaku secara nasional (Permendiknas, 2007:11). Berdasarkan

Permendiknas No.20 tahun 2007 tersebut, penilaian hasil belajar pada

jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik,

satuan pendidikan, dan pemerintah. Perancangan strategi penilaian oleh

pendidik dilakukan pada saat penyusunan silabus yang penjabarannya

merupakan bagian dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).

Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah

meliputi:

a. Ulangan Harian
Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik
untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah
menyelesaikan satu kompetensi dasar atau lebih.
b. Ulangan Tengah Semester
Adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur
pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanaan 8–9
minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan meliputi
seluruh indikator yang mempersentasikan seluruh kompetensi
dasar pada periode tersebut.
c. Ulangan Akhir Semester
Ulangan akhir semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh
pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di

38
akhir semester. Cakupan ulangan mengliputi seluruh indikator
yang mempresentasikan semua kompetensi dasar pada semester
tersebut.
d. Ulangan Kenaikan Kelas
Ulangan kenaikan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh
pendidik di akhir semester genap untuk mengukur pencapaian
kompetensi peserta didik di akhir semester genap pada satuan
pendidikan yang menggunakan sistem paket. Cakupan ulangan
mengliputi seluruh indikator yang mempresentasikan semua
kompetensi dasar pada semester tersebut.
e. Ujian Sekolah/Madrasah
Ujian sekolah/madrasah adalah kegiatan pengukuran pencapaian
kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh satuan pendidikan
untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan
merupakan salah satu syarat kelulusan dari satuan pendidikan.
Mata pelajaran yang diujikan adalah mata pelajaran yang tidak
diujikan dalam ujiam masional.
f. Ujian Nasional
Ujian nasional adalah kegiatan pengukuran pencapaian
kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu
dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan.

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Proses pembelajaran memiliki hubungan antara pendekatan

pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, teknik

pembelajaran, taktik pembelajaran, dan model pembelajaran. Pendekatan

pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang

terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang

terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya

mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran

dengan cakupan teori tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran

terdapat dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan pembelajaran yang

berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan

pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru

39
(teacher centered approach). Untuk mencapai tujuan belajar siswa

sebagaimana yang diharapkan, maka perlu diperhatikan beberapa faktor

yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain, faktor yang terdapat

dalam diri siswa (faktor internal), dan faktor yang ada di luar diri siswa

(faktor eksternal), faktor-faktor yang ada dalam diri sisiwa bersifat

biologis, sedangkan faktor yang berasal dari luar diri siswa antara lain

adalah faktor keluarga, sekolah, masyarakat dan lain sebagainya.

a. Faktor Internal

1) Kecerdasan/intelegensi

Kecerdasan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan

untuk menyesuiakan diri dengan keadaan yang dihadapinya.

Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi.

Adakalanya kemampuan ini ditandai dengan kemajuan-kemajuan

yang berbeda antara satu anak dengan anak yang lainnya, sehingga

seorang anak pada usia tertentu sudah memiliki tingkat kecerdasan

yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawan sebayanya. Oleh

karena itu jelas bahwa faktor intelegensi merupakan semua hal

yang tidak dapat diabaikan dalam kegiatan belajar mengajar.

Berdasarkan pendapat di atas jelas bahwa intelegensi yang

baik atau kecerdasan yang tinggi merupakan faktor yang sangat

penting bagi seorang anak dalam usaha belajar.

40
2) Bakat

Menurut definisinya, bakat adalah kemampuan potensial dalam

diri seseorang, baik yang sudah dikembangkan maupun yang belum,

sering kali bakat seseorang jelas terlihat bila ia melakukan suatu

aktivitas dan ia dapat dengan cepat belajar dan berhasil pada bidang

tersebut. Bakat sering kali terlepas dari pengaruh lingkungan,

walaupun ada pengaruhnya.

Dari pendapat di atas jelaslah bahwa tumbuhnya keahlian

tertentu pada seseorang sangat ditentukan oleh bakat yang

dimilikinya sehubungan dengan bakat ini bisa menentukan tinggi

rendahnya prestasi belajar dalam bidang-bidang studi tertentu.

Dalam proses belajar terutama belajar keterampilan, bakat

memegang peranan penting, apalagi apabila seorang guru atau orang

tua memaksa anaknya untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai

dengan bakatnya maka akan merusak keinginan anak tersebut.

3) Minat

Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan

dan mengenai beberapa kegiatan. Kegiatan yang dimiliki seseorang

diperhatikan terus menerus yang disertai dengan rasa sayang.

Menurut Winkel (1991:24) minat adalah “kecenderungan yang

menetap dalam subjek untuk merasa tertarik pada bidang/hal tertentu

dan merasa senang berkecimpung dalam bidang itu”. Selanjutnya

Slameto (1995:57) mengemukakan bahwa minat adalah

41
“kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang

beberapa kegiatan, kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan

terus yang disertai dengan rasa sayang”. Kemudian Sardiman

(1992:76) mengemukakan minat adalah “suatu kondisi yang terjadi

apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang

dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-

kebutuhannya sendiri”.

Berdasarkan pendapat di atas, jelaslah bahwa minat besar sekali

pengaruhnya terhadap belajar atau kegiatan, bahkan pelajaran yang

menarik minat siswa lebih mudah dipelajari dan disimpan karena

minat menamambah kegiatan belajar. Untuk menambah minat

seorang siswa di dalam menerima pelajaran di sekolah siswa

diharapkan dapat mengembangkan minat untuk melakukannya

sendiri. Minat belajar yang telah dimiliki siswa merupakan salah satu

faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajarnya. Apabila seseorang

mempunyai minat yang tinggi terhadap sesuatu hal, maka akan terus

berusaha untuk melakukan sehingga apa yang diinginkannya dapat

tercapai sesuai dengan keinginannya.

4) Motivasi

Motivasi dalam belajar adalah faktor yang penting karena

hal tersebut merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa

untuk melakukan belajar. Persoalan motivasi dalam belajar adalah

bagaimana cara mengatur agar motivasi dimiliki dalam kegiatan

42
belajar mengajar seorang anak didik akan berhasil jika mempunyai

motivasi untuk belajar.

Soemanto (1998:73) mengatakan motivasi adalah “segala daya

yang mendorong sesorang untuk melakukan sesuatu”, sedangkan

Sardiman (1992:27) mengatakan bahwa “motivasi adalah

menggerakan siswa untuk melakukan sesuatu atau ingin melakukan

sesuatu”. Dalam memberikan motivasi seorang guru harus berusaha

dengan segala kemampuan yang ada untuk mengarahkan perhatian

siswa kepada sasaran tertentu. Dengan adanya dorongan ini dalam

diri siswa akan timbul inisitaif dengan alasan mengapa ia menekuni

pelajaran. Untuk membangkitkan motivasi kepada mereka, supaya

dapat melakukan kegiatan belajar dengan kehendak dan belajar

secara aktif.

b. Faktor eksternal

Faktor ekternal adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

prestai belajar yang sifatnya di luar diri siswa, yaitu pengalaman,

keadaan keluarga, lingkungan sekitar dan sebgainya. Pengaruh

lingkungan ini pada umumnya bersifat positif dan tidak memberikan

paksaan kepada individu. Menurut Slameto (1995:60) faktor ekternal

yang dapat yang dapat mempengaruhi belajar adalah “kedaan keluarga,

dan lingkungan sekitar”.

43
1) Keadaan Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan terkecil dalam masyarakat

tepat seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Sebagaimana yang telah

dijelaskan oleh Slameto bahwa: keluarga adalah lembaga pendidikan

pertama dan utama, keluarga yang sehat besar artinya untuk

pendidikan kecil, tetapi bersifat menentukan dalam ukuran besar

yaitu pendidikan bangsa, Negara dan dunia”.

Hasbullah (2006:46) mengatakan “keluarga merupakan

lingkungan pendidikan yang pertama dan utama, karena dalam

keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan pendidikan dan

bimbingan, sedangkan tugas utama dalam keluarga bagi pendidikan

anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan

pandangan hidup keagamaan”.

Oleh karena itu orang tua hendaknya menyadari bahwa

pendidikan dimulai dari keluarga, sedangkan sekolah merupakan

pendidikan lanjutan. Peralihan pendidikan informal ke lembaga-

lembaga formal memerlukan kerjasama yang baik antara orang tua

dan guru sebagai pendidik dalam usaha meningkatkan hasil belajar

anak. Jalan kerjasama yang perlu ditingkatkan, dimana orang tua

harus menaruh perhatian yang serius tentang cara belajar anak

dirumah. Perhatian orang tua dapat memberikan dorongan dan

motivasi sehingga anak dapat belajar dengan tekun, karena anak

memerlukan waktu, tempat dan keadaayang baik untuk belajar.

44
2) Keadaan Sekolah

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang

sangat penting alam menentukan keberhasailan belajar siswa, karena

itu lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong untuk belajar

yang lebih giat. Keadaan sekolah ini dapat meliputi cara penyajian

pelajaran, hubungan guru dengan siswa, alat-alat pelajaran dan

kurikulum. Hubungan antara guru dengan siswa kurnag baik akan

mempengaruhi hasil belajar. Kartono (1995:6) mengemukakan “guru

dituntut untuk menguasai bahan pelajaran yang akan diajarkan, dan

memiliki tingkah laku yang tepat dalam mengajar“. Oleh sebab itu

guru dituntut untuk menguasai bahan pelajaran yang disajikan, dan

memiliki metode yang tepat dalam mengajar.

Dalam hal ini Kartono (1995:5) berpendapat bahwa


“lingkungan masyarakat menimbulkan kesukaran belajar anak,
tertutama anak-anak yang sebayanya. Apabila anak-anak yang
sebayanya merupakan anak-anak yang rajin belajar, maka anak
akan terangsang untuk mengikuti jejak mereka, sebaliknya bila
anak-anak di sekitarnya merupakan kumpulan anak-anak nakal
yang berkeliaran besar kemungkinan anak akan terbawa juga.

Dengan demikian dapat dikatakan lingkungan membentuk

kepribadian anak, karena dalam pergaulan sehari-hari seorang anak

akan selalu menyesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan

lingkungannya, oleh karena itu apabila seorang siswa bertempat

tinggal di suatu lingkungan temannya yang rajin belajar maka

kemungkinan besar hal tersebut akan membawa pengaruh pada

dirinya, sehingga ia akan turut belajar sebagaimana temannya.

45
F. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan acuan dasar dalam

membentuk warga negara yang baik, karena di dalamnya terdapat muatan

nilai-nilai dalam berbagai aspek kehidupan di antaranya nilai religi,

hukum, sosial serta politik, yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar (UUD) 1945. Menurut Numan Soemantri (dalam Cholisin,

2004:14), Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) diartikan sebagai berikut:

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah seleksi dan adaptasi


dari lintas disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan,
humaniora, dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan
disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk mencapai salah satu
tujuan Pendidikan Kewarganegaraan.

Lebih lanjut Numan Soemantri (dalam Cholisin, 2004:14) mendefinisikan

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yaitu:

Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang


berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber
pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan
sekolah, masyarakat dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses
guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan
bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) menitikberatkan pada kemampuan dan

keterampilan berpikir aktif warga negara dalam menginternalisasikan

nilai-nilai warga negara yang baik sesuai dengan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar (UUD) 1945, dalam suasana demokratis serta dalam

berbagai masalah kemasyarakatan.

46
2. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai Mata Pelajaran di

Sekolah

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran

yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan yang memfokuskan pada

pembentukan warga negara yang baik serta berkarakter sesuai dengan

Pancasila dan UUD 1945. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Maftuh

dan Sapriya (2005:321) mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

(PKn) diartikan sebagai berikut:

Mata pelajaran PKn adalah program pendidikan atau mata


pelajaran yang memiliki tujuan utama untuk mendidik siswa agar
menjadi warga negara yang baik, demokratis dan bertanggung
jawab. Program PKn ini memandang siswa dalam kedudukannya
sebagai warga negara, sehingga program-program, kompetensi atau
materi yang diberikan kepada peserta didik diarahkan untuk
mempersiapkan mereka mampu hidup secara fungsional sebagai
warga masyarakat dan warga negara yang baik.

Menurut Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.22/

Tahun 2006:

Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan


mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara
yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan
UUD 1945.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) sebagai mata pelajaran di sekolah merupakan

program pengajaran yang memuat beragam aspek, tidak hanya aspek

kognitif semata, melainkan aspek afektif serta psikomotor secara utuh dan

47
menyeluruh guna membentuk setiap siswa untuk menjadi warga negara

yang baik.

3. Tujuan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Pasal 37 menyebutkan bahwa dalam kurikulum pendidikan

dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi itu salah satunya wajib

memuat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Hal itu menunjukkan bahwa

keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sangatlah penting pada

pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Sesuai dengan tujuan pembelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan (Sapriya, 2005:32) yaitu:

Secara umum tujuan negara mengembangkan Pendidikan


Kewarganegaraan adalah agar setiap warga negara menjadi warga
negara yang baik (to be good citizenship), yakni warga negara yang
memiliki kecerdasan (civic intelligence) baik intelektual,
emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan
bertanggungjawab (civic responsibility); dan mampu berpartisipasi
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (civic partisipation)
agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Berdasarkan perkembangan mutakhir, tujuan pembelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah partisipasi yang bermutu dan

bertanggungjawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan

masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional (Sapriya, 2005:185).

Berdasarkan paparan di atas, maka tujuan pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) di Indonesia tidak sebatas untuk meningkatkan

pengetahuan kognitif siswa saja, tetapi juga mengacu pada aspek afektif

serta psikomotor, dan hal itu penting untuk pengembangan keterampilan

kewarganegaraan (civic skills) siswa, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai

48
Pancasila sebagai ideologi negara yang direfleksikan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan Tujuan Pendidikan

Kewarganegaraan Menurut Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional No.22/ Tahun 2006: Mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan

sebagai berikut:

1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi


isu kewarganegaraan
2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak
secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, serta anti-korupsi
3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk
diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar
dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya
4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia
secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi.

4. Peningkatan Hasil Belajar PKn Siswa dengan Menggunakan Metode

Jigsaw

Penerapan Metode Jigsaw di sekolah diharapkan dapat

meningkatkan kerja sama untuk mempelajari materi, rasa tanggungjawab

siswa, melatih siswa untuk lebih aktif di dalam kelas, pemerataan

penguasaan materi, serta mengembangkan tingkah laku dan hubungan

yang lebih baik antar siswa sehingga dapat tercapai hasil belajar yang lebih

baik. Penggunaan Metode pembelajaran yang tepat akan membantu

meningkatkan hasil belajar siswa, sehingga siswa tidak akan merasa jenuh

dengan Metode pembelajaran konvensional/ceramah yang diajarkan oleh

guru.

49
Metode Jigsaw merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang

di dalamnya terdapat elemen-elemen, diantaranya saling ketergantungan

positif yaitu interaksi tatap muka, akuntabilitas individual dan

keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan (Nurhadi 2004:112).

Metode Jigsaw merupakan pembelajaran yang melibatkan semua siswa

yang bekerja secara kelompok dan dalam kelompok tersebut biasanya

terdiri dari empat atau lima orang saling membantu dalam

mengidentifikasi masalah.

Menurut Hisyam Zaini (2002:56) belajar dengan Metode Jigsaw


“Merupakan strategi yang menarik untuk digunakan jika materi yang akan
dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan bagian dari Metode
tersebut tidak harus urut, setelah materi dibagi siswa dikelompokkan
menjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok membahas materi
tersebut, setelah selesai setiap kelompok mengirimkan anggotanya ke
kelompok lain untuk menyampaikan apa yang mereka pelajari dari
kelompoknya. Dengan Metode Jigsaw ini siswa bisa saling membantu
dalam memecahkan materi yang di bahas.

G. Penelitian yang Relevan

1. Jurnal Penelitian dari Budihartin Dwi Meilawati (2013) mahasiswa prodi

Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sidoarjo ,dalam jurnalnya yang

berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui

Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw. Dalam jurnal penelitian ini

disimpulkan bahwa dengan melalui pembelajaran kooperatif model jigsaw

memberikan dampak yang positif terhadap meningkatnya hasil belajar siswa

dalam memecahkan masalah matematika karena model jigsaw merupakan

pengembangan dari pembelajaran yang inovatif, efektif, dan fleksibel.

50
Ditunjukan dengan adanya peningkatan pada : 1). Hasil belajar meningkat

dari rata- rata 76,38 pada siklus I dan 83,59 pada siklus II dengan nilai

ketuntasan minimal sebesar 75. 2) Kemampuan guru dalam mengelola

pembelajaran model jigsaw dikategorikan baik yakni memperoleh

presentase 81% dari prosentase kriteria maksimal 100%. 3) Ketuntasan

belajar siswa meningkat dari 68% menjadi 85%, sedangkan nilai ketuntasan

belajar kelas pada penelitian ini minimal sebesar 75%.

2. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni yang ditulis oleh

Sulistiani dengan judul Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw

untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas V Mata Pelajaran Ilmu

Pengetahuan Alam di SD Negeri Pilangsari 1, Kecamatan Ngrampal

Kabupaten Sragen Tahun 2005. Berdasarkan penelitian tersebut didapat

suatu kesimpulan bahwa dengan pembelajaran kooperatif model Jigsaw

hasil belajar siswa meningkat dibanding dengan menggunakan model

pembelajaran konvensional, dan guru dalam proses pembelajaran

dikategorikan baik dilihat dari hasil persentase pengamatan penampilan

guru. Hasil bahwa penerapan pendekatan pembelajaran kooperatif model

Jigsaw dapat (1) meningkatkan prestasi belajar siswa, (2) meningkatkan

keterampilan guru dalam pengelolaan pembelajaran di kelas, (3)

mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran, (4) meningkatkan respon

siswa terhadap pembelajaran sehingga mendorong untuk mengikuti kegiatan

belajar mengajar serupa.

51
3. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Arifandi Ariani dengan judul

Keefektifan Penerapan Model Pemaduan Pembelajaran Berbasis Masalah

dan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dalam Meningkatkan Minat dan

Prestasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi di SMA Negeri 2

Ponorogo Tahun 2006.Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan

persentase ketercapaian guru dalam menerapkan langkah-langkah model

pemaduan pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran kooperatif tipe

Jigsaw yaitu sebesar 15,38%, sedangkan dari hasil observasi kegiatan siswa

tampak adanya peningkatan sebesar 6,25%. Peningkatan prestasi belajar

siswa dapat diketahui dari kenaikan nilai rata-rata kelas dari sebesar 11,46%

dan meningkatnya aktivitas siswa dalam bertanya meningkat sebesar 1,29%,

menjawab pertanyaan dengan benar meningkat sebesar 1,6%, serta

menanggapi permasalahan dengan kritis meningkat sebesar 24,42%.

4. Kemudian penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai metode

jigsaw adalah penelitian yang dilakukan oleh Tohir (2006) yang berjudul

Peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran IPS melalui metode belajar

cooperative dengan teknik jigsaw. Hasil Penelitian menunjukan : (1)

peningkatan aktivitas siswa di kelas dari 25,50% pada siklus pertama

menjadi 64 % pada siklus ketiga atau meningkat 38,50%. (2) frekuensi

siswa bertanya dan mengemukakan pendapat dari 7,50% pada siklus I

menjadi 24,38% pada siklus ketiga atau meningkat 16,88%. (3) pemahaman

materi IPS juga meningkat dari 15% pada siklus pertama menjadi 70% pada

siklus pertama menjadi 70% pada siklus ketiga meningkat 55% ini

52
dibuktikan dengan dokumen nilai harian.

Perbedaan dengan penelitian di atas adalah penelitian ini merupakan

penelitian eksperimen sedangkan penelitian sebelumnya merupakan penelitian

tindakan kelas. Selain itu penelitian ini mencari tentang perbedaan prestasi

belajar siswa, sedangkan penelitian tersebut mencari aktivitas belajar siswa.

Berdasarkan gambaran hasil penelitian yang relevan di atas, dapat

disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif model Jigsaw dapat

mengembangkan berbagai aktivitas belajar siswa, selain itu juga dapat

meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah yang pada

akhirnya dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa, sehingga mampu

memberikan hasil yang positif yaitu dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

H. Kerangka Berfikir

Pembelajaran dilaksanakan untuk mencapai hasil belajar sebagai

tujuan. Terhadap proses pembelajaran, guru dituntut kreativitasnya untuk

meningkatkan kemandirian dan keaktifan siswa dalam belajar dan memberi

kesempatan kepada siswa untuk mencari, mengusahakan dan menemukan

sendiri ilmu pengetahuan. Usaha peningkatan hasil belajar siswa bagi guru

merupakan suatu kewajiban dan wujud keprofesionalan seorang guru. Guru

menurut kodratnya sebagai agen perubahan haruslah selalu tanggap dan peka

terhadap apa yang terjadi baik dilingkungannya maupun di luar

lingkungannya. Pembelajaran kooperatif model Jigsaw diharapkan siswa

secara aktif membangun pengetahuannya baik secara individu maupun

dengan bantuan teman sebaya. Dapat disimpulkan bahwa, pembelajaran

53
kooperatif model Jigsaw yang mungkin dapat memecahkan masalah

rendahnya hasil belajar PKn pada siswa kelas XI SMK Muhammadiyah

Pakem. Sebab pembelajaran kooperatif model Jigsaw memiliki karakteristik-

karakteristik yang berhubungan erat dengan permasalahan yang ada.

Pembelajaran kooperatif model Jigsaw, selain melatih membiasakan siswa

melaksanakan tanggung jawabnya secara pribadi maupun kelompok juga

melatih siswa mau menerima saran, kritik, dari semua orang.

Demikian pula dengan sistem pengelolaan kelas dan lingkungan

belajar yang mendukung berlangsung dan berhasilnya pembelajaran. Hasil

belajar yang mengakomodasikan kemampuan kognitif, kemampuan afektif

dan psikomotorik direncanakan pencapaiannya dengan pengukuran lewat

instrumen penilaian yang tepat. Siswa diusahakan dapat membangun

pengetahuannya secara runtut melalui demonstrasi keterampilan dan

penyajian informasi tahap demi tahap dengan bimbingan dan pelatihan dari

guru. Proses belajar diusahakan sedapat mungkin dihubungkan dengan

lingkungan sehingga siswa dapat menerapkan konsep yang dipelajari dalam

kehidupan sehari-hari.

Penerapan Pembelajaran kooperatif model Jigsaw dapat digambarkan

dalam kerangka berfikir sebagai berikut;

54
Kelompok Guru menggunakan
Eksperimen
Metode Jigsaw
Prestasi
Belajar Siswa
Kelompok Guru menggunakan
Kontrol
Metode Konvensional

Gambar 2: Kerangka Pemikiran

Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa penggunaan pembelajaran

kooperatif model Jigsaw guru menerapkan pembelajaran kooperatif model

Jigsaw dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Pembelajaran kooperatif

model Jigsaw juga dapat meningkatkan proses pembelajaran yang lebih

efektif serta mampu memberikan pembelajaran yang kooperatif antar siswa,

dan siswa diharapkan mampu saling memahami terhadap materi yang

diajarkan. Ketika tanpa menggunakan pembelajaran kooperatif model jigsaw,

atau menggunakan metode pembelajaran konvensional dimana siswa hanya

datang, duduk, diam, catat dan hafal seolah-olah pembelajaran hanya oleh

guru saja (teacher centered), tetapi setelah menggunakan pembelajaran

kooperatif model Jigsaw antara guru dan siswa sama-sama dalam kondisi

aktif, sehingga pembelajaran kooperatif model jigsaw ini dianggap sebagai

model yang tepat dalam penerapan pembelajaran pada mata pelajaran PKn

untuk meningkatkan prestasi belajar siswa di kelas XI SMK Muhammadiyah

Pakem.

55
I. Hipotesis

Menurut Arikunto (1996:62), hipotesis adalah suatu jawaban yang

bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui

data yang terkumpul. Berdasarkan kerangka berfikir yang telah diuraikan di

atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan

prestasi belajar siswa antara yang menggunakan model pembelajaran

kooperatif tipe Jigsaw dengan model pembelajaran konvensional.

56

Anda mungkin juga menyukai