Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Kejang demam merupakan penyakit yang paling sering dijumpai di
bidang neurologi, khususnya pada anak. Kejang demam pada umumnya
dianggap tidak berbahaya dan seringnya tidak menimbulkan gejala sisa.
Namun bila kejang berlangsung lama dapat menimbulkan hipoksia pada
jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP) dan menyebabkan adanya gejala sisa di
kemudian hari.1
Kejang ini ditimbulkan oleh demam dan cenderung muncul saat awal
demam. Penyebab yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah
infeksi saluran pernafasan atas.2
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.
Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam
dan sebagian besar berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak
berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh di
atas 38°C yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial (tanpa adanya
infeksi susunan saraf pusat bukan karena gangguan elektrolit atau metabolik
lainnya).3
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian
mengalami kejang demam kembali sudah tidak termasuk ke dalam kejang
demam. Serta, bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya
infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.4
Terdapat interaksi 3 faktor sebagai penyebab kejang demam, yaitu
imaturitas otak dan termoregulator; demam, dimana kebutuhan oksigen
meningkat, dan presdiposisi genetik: >7 lokus kromosom (poligenik,
autosomal dominal).5
2.2 Epidemiologi

1
Kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai
dengan 5 tahun. Usia termuda bangkitan kejang demam sering terjadi pada
usia 6 bulan. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak
berusia di bawah 5 tahun. Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada
anak berusia antara usia 6 bulan hingga 22 bulan. Sedangkan Iinsiden
bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.6
Insidensi kejang demam bervariasi pada antar negara. Penelitian di
Eropa Barat dan USA melaporkan bahwa insidensi kumulatif berkisar
antara2-5%. Insidensi di India berkisar 5-10%, Jepang 8,8% dan Afrika
14%. Data dari negara berkembang masih sangat terbatas.7
2.3 Etiologi
Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui,
akan tetapi umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi
terjadinya kejang. Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling
sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas
terutama tonsillitis dan faringitis, otitis media akut(cairan telinga yang tidak
segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak akan
menyebabkan kejang demam), gastroenteritis akut, dan infeksi saluran kemih.1,4
2.4 Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam,
yaitu: demam, usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat
pre-eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor
perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir)
dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).4

2.5 Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan
muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi
pada neuron tersebut, baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.
Disini terjadi kegagalan mekanisme untuk membatasi penyebaran kejang
baik karena aktifitas neurotransmitter eksitasi yang berlebihan dan atau
aktifitas neurotransmitter inhibisi yang tidak efektif.

2
Sel syaraf, seperti juga sel hidup lainnya, mempunyai potensial
membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan
ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel.
Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar 30-100 mV, selisih
potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan
rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan
jumlah ion-ion terutama ion Na+, K+ dan Ca+. Bila sel syaraf mengalami
stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan mengakibatkan menurunnya
potensial membran. Penurunan potensial membran ini akan menyebabkan
permebilitias membran terhadap ion Na+ akan meningkat, sehingga Na+
akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah,
perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport
aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan
istirahat. Peruahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang
disebut respon lokal. Bila rangsangan cukup kuat perubahan potensial dapat
mecapai ambang tetap (firing level), maka permeabilitas membran terhadap
Na+ akan meningkat secara besar-besaran sehingga timbul spike potensial
atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel syaraf
berikutnya melalui sinap dengan perantara zat kimia yang dieknal dengan
neurotransmiter. Bila perangsangan telah selesai, maka permeabilitas
membran kembali ke keadaan istirahat, dengan cara Na+ akan kembali ke
luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang
membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui,
diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia
tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan
akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia.
Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan
K ekstra sel meningkat yang akan menyebabkan potensial membran
cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat.
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di
otak, jantung, otot, dan terjadilah gangguan pusat pengatur suhu. Demam

3
akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin
bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa
hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan
hipoglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena
kegagalan metabolisme di otak.
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme menurunkan nilai
ambang kejang pada sel-sel yang belum matang/immatur, menimbulkan dehidrasi
sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan permeabilitas
membran sel, metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam
laktat dan CO2 yang akan merusak neuron dan meningkatkan Cerebral Blood
Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga
menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.
Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk
jaringan otak. Pada keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi sehingga
menggangu fungsi normal pompa Na+. Permeabilitas membran sel terhadap
ion Na+ meningkat, sehingga menurunkan nilai ambang kejang dan
memudahkan timbulnya bangkitan kejang. Demam juga dapat merusak
neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.Bangkitan kejang
demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9°C-39,9°C
(40 -56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37°C-38,9°C sebanyak
11% dan sebanyak 20% kejang demam terjadi pada suhu tubuh di atas
40°C.8
2.6 Klasifikasi
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi
dua:3
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit),
bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam
waktu 24 jam.
b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri kejang lama (>15 menit),
kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului

4
kejangparsial, berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam dan
diantara 2 bangkitan kejang anak sadar.

2.7 Manifestasi Klinis


Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan
kejang klonik dan atau tonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri.
Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak,
tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali
tanpa defisit neurologis.9
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39°C atau lebih. Kejang
khas yang menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti
dengan periode mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang
menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti
proses infeksi atau toksik yang memerlukan pengamatan menyeluruh.
2.8 Diagnosis
Anamnesis riwayat penyakit yang detail termasuk sejarah keluarga
dengan kejang demam dan sejarah keluarga dengan epilepsi harus
ditanyakan pada anak dengan kejang demam. Informasi yang dapat
mendukung diagnosis ke arah kejang demam, seperti :
- Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu
sebelum kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab demam diluar
susunan saraf pusat.
- Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti
genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan
kejang pertama disertai suhu dibawah 390 C.
- Beberapa faktor yang mempengaruhi kejang demam berulang adalah usia
<15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam dalam
keluarga, kejang segera setelah demam, riwayat kejang demam yang
sering dan kejang demam pertama kali merupakan kejang demam
kompleks.
Gambaran klinis yang dapat dijumpai pada pasine kejang demam
antara lain: suhu mencapai 390 C, anak sering kehilang kesadaran saat
kejang, kepala anak sering menghadap ke atas, mata mendelik, tungkai dan

5
lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang
tergantung pada jenis kejang.
Pada kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik
neurologi maupun laboratorium. Pada kejang demam komplek, dijumpai
kelainan fisik neurologi berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG
didapatkan gelombang abnormal berupa gelombang-gelombang lambat
fokal bervoltage tinggi, kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang
tajam. Perlambatan aktivitas EEG kurang mempunyai nilai prognostik,
walaupun penderita kejang demam kompleks lebih sering menunjukan
gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan untuk menduga
kemungkinan terjadinya epilepsi dikemudian hari.

2.9 Pemeriksaan Penunjang3


a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam,tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebabdemam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas
indikasimisalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan
ataumenyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti
terbaru,saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin
padaanak berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana
dengankeadaan umum baik.Indikasi pungsi lumbaladalah terdapat tanda
dan gejala rangsang meningeal, terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP
berdasarkan anamnesis danpemeriksaan klinis, dipertimbangkan pada anak
dengan kejang disertai demam yangsebelumnya telah mendapat antibiotik
dan pemberian antibiotiktersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala
meningitis.

c. Elektroensefalografi (EEG)

6
Diazepam per rektal
Indikasi pemeriksaan EEG adalah apabila bangkitan bersifat fokal
5 mg supp untuk BB <12 kg
untuk menentukan adanya fokuskejang di otak yang membutuhkan
Prehospital 10 mg supp untuk BB ≥ 12 kg
evaluasi lebih lanjut. 0-10 menit
Max 2x, jarak 5 menit
d. Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala)
Tidak rutin dilakukanpada anak dengan kejang demam sederhana.
Diazepam 0,2-0,5 mg/kg IV
Pemeriksaan
Hospital/IGD tersebut dilakukan bila terdapat indikasi,seperti kelainan 10 menit
(kec. 2 mg/menit, max 10 mg)
neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atauparesis nervus
atau
kranialis. Midazolam 0,2 mg/kg IM/buccal, max 10 mg
Bila kejang berhenti,
pertimbangkan rumatan
2.10 Tatalaksana Saat Kejang3 fenitoin 5-10 mg/kg
dibagi 2 dosis ATAU
Pada umumnya kejang berlangsung
Kejang berlanjut singkat (rerata 4 menit) dan pada
fenobarbital 3-5
5-10’
mg/kg/hari dibagi 2 dosis
waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang
dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang
20 menit
adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg
Fenitoin 20 mg/kg iv
perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atauiv dengan
Fenobarbital 20 mg/kg dalam waktu 3-5 menit,
(diencerkan dalam 50 ml NaCl 0,9% kecepatan 10-20 mg/menit
dengan dosis maksimal
selama 20 menit 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang
(2mg/kg/menit)
Dosis maksimal 1000 mg
Dosis maksmimal 1000 mg
akutmengikuti algoritma kejang pada umumnya.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
Catatan: (prehospital)adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75
Catatan:

Dapat ditambah
mg/kg atau diazepam
fenitoin 5-10 mg/kg
rektal 5 mg untuk
Kejang berlanjut Kejanganak
berlanjutdengan berat badan kurang
Dapat ditambah
5-10’ 5-10’ fenobarbital 5-10 mg/kg
dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Bila setelah
pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
30 menit
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila
Fenitoin 20 mg/kg iv
Fenobarbital 20 mg/kg iv dengan
setelah 2(diencerkan
kali pemberian
dalam 50 ml NaCldiazepam
0,9% rektal masih
kecepatan tetap kejang, dianjurkan ke
10-20 mg/menit
selama 20 menit (2mg/kg/menit)

rumah sakit.Dosis
Dimaksmimal
rumah1000
sakit
mg
dapat diberikan diazepam
Dosis maksimal 1000 mg intravena. Jika kejang

masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana statusepileptikus. Bila kejang


telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dariindikasi terapi
Kejang
antikonvulsan profilaksis. berlanjut

ICU Refrakter SE

Midazolam Propofol Phenobarbital

Bolus 100-200 mcg/kg IV (max 10 mg), Bolus 1-3 mg/kg, dilanjutkan dengan inf.
dilanjutkan dengan inf. Kontinyu 100 Kontinyu 2-10 mg/kg/jam
Bolus 5-13 mg/kg, dilanjutkan dengan 7
inf. Kontinyu 0,5-5 mg/kg/jam
mcg/kg setiap 15 mnt (max 2
mg/kg/jam
2.11 Pemberian obat pada saat demam3
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
risiko terjadinya kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi
anak di Indonesia sepakat bahwaantipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6
jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali,3-4 kali sehari.
2. Antikonvulsan
a. Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yaitu obat anti konvulsan yang diberikan hanya pada saat
demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan
salah satufaktor risiko kelainan neurologis berat, misalnya palsi
serebral, berulang 4 kali atau lebih dalam setahun, usia <6 bulan, bila
kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39°C, apabila pada
episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan

8
cepat. Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per
oralatau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan
10 mguntuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan
dosis maksimumdiazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten
diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada
orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan
ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
b. Pemberian obat antikonvulsan rumat
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak
berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping
yang tidak diinginkan,maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalamjangka pendek. Indikasi
pengobatan rumat adalah kejang fokal, kejang lama >15 menit,
terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang,misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat adalah
pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah
asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur
kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan
fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi
dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
Lama pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun,
penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam tidak
membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak
sedang demam.

2.12 Edukasi pada orangtua


Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua.
Pada saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan
meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:

9
a. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai
prognosis baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang.
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
d. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang
memang efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.

2.13 Prognosis3
a. Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian
kecacatansebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembanganmental dan neurologis umumnya tetap normal pada
pasien yang sebelumnyanormal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada
kasus kejang lama atau kejangberulang, baik umum maupun fokal.
Suatu studi melaporkan terdapatgangguan recognition memory pada
anak yang mengalami kejang lama. Haltersebut menegaskan pentingnya
terminasi kejang demam yang berpotensimenjadi kejang lama.
b. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor
risikoberulangnya kejang demam adalah:
- Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
- Usia kurang dari 12 bulan
- Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
- Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya
kejang.
- Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam
kompleks.
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya
kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor
tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10-15%.
Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun
pertama.
c. Faktor risiko terjadinya epilepsi
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
- Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas
sebelum kejang demam pertama

10
- Kejang demam kompleks
- Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
- Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih
dalam satu tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan
kejadianepilepsi sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut
akanmeningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%.
Kemungkinanmenjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian
obat rumatan padakejang demam.

d. Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Angka kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam
sederhana dengan perkembangan normal dilaporkan sama dengan
populasi umum.

BAB III
LAPORAN KASUS

11
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. SRS
No. Rekam Medis : 153981
Tanggal lahir/Umur : 19 Maret 2017 / 9 bulan 1 hari
Ayah/Ibu : Tn H/Ny. W
Alamat : Ridan permai 02/02 Bangkinang kota
Tanggal Masuk : 20 Desember 2017
Tanggal Periksa : 22 Desember 2017

Alloanamnesis
Diberikan Oleh : Ibu pasien
Keluhan Utama : Kejang 1/2 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Bangkinang dengan keluhan kejang 1/2 jam
SMRS. Kejang sebanyak 1 kali sekitar pukul 17.30 WIB. Saat kejang pasien
kelojotan, mata melirik keatas, bibir dan tangan membiru. Durasi < 5 menit,
setelah kejang anak menangis. 10 jam sebelum kejang (pukul 07.30 WIB) anak
mengalami demam tinggi. Demam tidak disertai menggigil maupun berkeringat.
Keluhan batuk (+), dahak (+), dahak sulit keluar, pilek (+), sesak nafas (-), mual
(-), muntah (-). 1 minggu sebelumnya anak dikeluhkan BAB cair (+), namun saat
ini sudah BAB normal. BAK normal. Sebelumnya pasien dibawa ke klinik untuk
berobat demam, namun demam tidak turun dengan obat penurun panas.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat kejang sebelumnya (-)
Riwayat kejang tanpa demam (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga mengalami hal seperti ini

Riwayat Orang Tua


- Ayah bekerja sebagai wiraswasta
- Ibu sebagai ibu rumah tangga

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


- Selama kehamilan tidak ada keluhan
- Pasien lahir cukup bulan
- Lahir spontan ditolong oleh bidan

12
- Saat lahir pasien langsung menangis, dengan BBL = 3300 gram

Riwayat Makan dan Minum


ASI : Sampai sekarang
MPASI: Sejak 6 bulan sampai sekarang

Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar lengkap sesuai jadwal dan usia

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan


Tumbuh dan berkembang sesuai dengan usia
Berat Badan : 6,5 Kg

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Allert
Vital sign
Nadi : 130x/menit, isian cukup, reguler
Nafas : 36 x/menit
Suhu : 39.1°C

Status gizi
TB : 68 cm
BB : 6,5 kg
Lingkar Kepala : 42 cm
Status gizi : Gizi kurang (menurut CDC)
Kulit : Pucat (-), kuning (-), sianosis (-)
Kepala : Normosefali
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis( -/-), sclera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+)
pupil isokor 2mm/2mm
Telinga: Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut
Bibir/selaput lendir : Basah
Palatum : Utuh
Lidah : Kotor (-)
Gigi : berjumlah 1 buah pada gigi seri tengah bawah
Faring : Tidak hiperemis, Tonsil T1/T1
Leher : Pembesaran KGB (-), Kaku kuduk (-)
Thoraks
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, iktus
kordis tidak terlihat
Palpasi : tidak dapat dinilai

13
Perkusi : Sonor pada kedua lapang thoraks
Auskultasi : Pulmo : vesikuler (+/+), ronkhi (+/+) , wheezing (-/-)
Cor : SJ I-II, reguler, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, simetris
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), pembesaran organ (-), turgor baik
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal 12x /menit
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, udem(-), pucat (-)

Status Neurologis (Anak tidak kooperatif)


Refleks Kanan Kiri
Bisep Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Trisep Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Patella Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Achilles Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflekspatologis
- Hofmann-Trofner -
- Chaddock’s sign Tidak dilakukan
- Gordon’s sign Tidak dilakukan
- Schaeffer’s sign Tidak dilakukan
- Oppenheim’s sign Tidak dilakukan

Rangsang meningeal
- Kakukuduk -
- Brudzinsky I -
- Brudzinsky II Tidak dilakukan
- Kerniq Tidak dilakukan
- Laseq Tidak dilakukan

Kesan: sulit dinilai

Pemeriskaan Laboratorium

1. Darah rutin

14
Hemoglobin : 11,1 gr/dl
Leukosit : 13.000/ul
Hemattokrit : 33,2 %
Trombosit : 360.000/ul
Hal yang penting dari anamnesis

- Kejang disertai demam


- Batuk (+), dahak (+), pilek (+)
- Tidak ada penurunan kesadaran
- Lama kejang < 5 menit, sebanyak 1 kali

Hal yang penting dari pemeriksaan fisik


Nadi : 130 x/menit, isian cukup, reguler
Nafas : 36 x/menit
Suhu : 39.1°C
Pemeriksaan neurologi : tidak ada kelainan

Hal yang penting dari pemeriksaan laboratorium


Darah rutin Leukosit : 13.000/ul

Diagnosis kerja : Kejang Demam Sederhana + Community Aquired


Pneumonia (CAP)
Diagnosi gizi : Underweight

Penatalaksanaan
Rawat inap
Medikamentosa

- O2 2 lpm binasal
- IVFD RL 10 tpm (Mikro)
- Sanmol 70 mg IV (KP)
- Stesolid syr 3x2 ml po selama demam
- Diazepam 2 mg IV (KP)
- Ceftriaxon injeksi 200mg/12jam/ IV
- Ambroxol syr 15mg/5ml 2x ½ Cth

Diet

- Makanan biasa 3 x 1 porsi dan lanjutkan ASI

15
Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Fungsionam : Bonam

BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis pada pasien ini adalah kejang demam sederhana dan


Community Aquired Pneumonia (CAP). Diagnosis tersebut didukung dari
identitas pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis pada ibu pasien ini didapatkan pasien berusia 9 bulan, dimana
berdasarkan epidemiologi kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan
– 5 tahun. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi
SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
Keluhan masuk rumah sakit berupa kejang yang didahului demam.
Demam mencapai 39,10 C yang terjadi sejak 1/2 jam sebelum dibawa kerumah
sakit dan tetap tinggi meskipun telah diberi obat penurun panas. Demam disertai
keluhan batu (+) berdahak, pilek (+). Hal ini sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada
anak (6 bulan sampai 5 tahun) yang mengalami kenaikan suhu tubuh di atas 38°C
yang disebabkan suatu proses ekstrakranium.
Dan pada pasien ini kejang terjadi 1 kali dan ini merupakan kejang
pertama kali dialami oleh pasien. Hal ini juga sesuai dengan klasifikasi kejang
demam sederhana. Dimana kriteria kejang demam sederhana yaitu berlangsung

16
singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta
tidak berulang dalam waktu 24 jam. Hal inilah yang dapat menyingkirkan
diagnosis banding berupa kejang demam kompleks dan epilepsi. Dikatakan kejang
demam kompleks bila tidak memenuhi kriteria kejang demam sederhana.
Sedangkan kejang pada epilepsi biasanya disertai penurunan kesadaran setelah
kejang dan terjadinya kejang tanpa disertai demam atau dengan demam yang tidak
terlalu tinggi.
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi nadi 130x/menit, isian
cukup, frekuensi pernapasan 36x/ menit, suhu 39,1 °C, dan ditemukan rhonki pada
kedua lapang paru. Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. Pemeriksaan
Neurologis berupa pemeriksaan refleksi fisiologis dalam batas normal, refleks
patologis tidak ditemukan kelainan dan tidak adanya rangsangan meningeal. Tidak
adanya kaku kuduk, rangsang meningeal, refleks patologis menunjukkan
penyebab kejang demam pada pasien tidak disebabkan oleh proses intrakranial.
Pada pasien ini dianjurkan pemeriksaan kadar elektrolit dalam darah untuk
menyingkiran kemungkinan kejang akibat gangguan elektrolit. Pemeriksaan
laboratorium darah rutin didapatkan leukositosis, hal ini menandakan adanya
proses infeksi. Indikasi rawat pada pasien ini adalah pasien perlu dilakukan
observasi lebih lanjut. Selain itu, suhu tubuh yang mencapai 39,1°C saat awal
masuk juga menjadi indikasi rawat inap pada pasien ini.
Pada pasien ini kejang demam yang terjadi dapat disebabkan oleh
pneumonia. Dimana hal yang mendukung terjadinya pneumonia pada pasien ini
adalah demam tinggi, pernafasan cepat, dan ronkhi pada kedua lapang paru.
Setelah diagnosis ditegakkan maka langkah selanjutnya adalah menentukan
tatalaksana yang sesuai untuk pasien. Pada pasien ini saat tiba di RS Bangkinang,
kejang telah berhenti, namun suhu tubuh masih tetap tinggi, yaitu 39,10 C.
Dilakukan pemasangan IV line RL untuk memberikan kebutuhan cairan dan
elektrolit pasien saat demam, dan pemberian paracetamol infus 70 mg IV.
Pemberian antipiretik ini berfungsi sebagai pencegahan terjadinya kejang. Pasien
dirawat inapkan dalam keadaan tidak kejang lagi. Diberikan terapi lanjutan IVFD
RL 10 tpm (Mikro), Sanmol 70 mg IV(KP), Stesolid syr 3x2 ml po selama
demam, diazepam 2 mg IV (KP), ceftriaxon inj 200mg/12jam/IV dan Ambroxol

17
syr 15mg/5ml 2x ½ cth. Selain itu keluarga pasien juga diberikan penjelasan
bahwa kejang demam bukan sesuatu yang berbahaya dan prognosisnya baik
sehingga keluarga pasien tidak cemas dan khawatir. Keluarga pasien juga
diedukasi dalam penanganan awal saat anak kejang, diberitahukan bahwa kejang
dapat terulang kembali dan obat kejang juga memiliki efek samping hingga
menyebabkan depresi pernafasan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Haslam, R.H.A., Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi
15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 – 2060
2. Meadow, S., Newell, S., Neurologi, dalam Lecture Notes: Pediatrika, Edisi
7. Penerbit Buku Erlangga, Jakarta. 2005; 113.
3. Ismael, S., Pusponegoro, H.D., Widodo, D.P., dkk., Rekomendasi
Penatalaksaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2016; 1-13.
4. Pusponegoro, H.D., Widodo, D.P., Sofyan, I., Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
2006.
5. Ontoseno, T., Poewodibroto, S., Kejang Demam, dalam Pedoman
Diagnosa dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak. RSUD Dr. Soetomo,
Surabaya. 2008; 56-58.
6. American Academia of Pediatrics., Pediatric, of Febrile Seizures: Clinical
Practice Guideline For The Long-Term Management Of Child With
Simple Febrile Seizures. 2008; 121 (6): 1281-6
7. Waruiru, C., Febrile Seizures: an Update. Arch Dis Child. 2004.
8. Price, Sylvia, Anderson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

EGC, Jakarta 2006.


9. Mary Rudolf, Malcolm Levene. Pediatric and Child Health. Edisi ke-2.

Blackwell pulblishing; 2006. Hal 72-90.

18
BERITA ACARA PRSENTASI LAPORAN KASUS

Pada hari ini tanggal 22 Desember 2017 telah dipresentasikan laporan kasus oleh :

Nama Peserta : dr. Dwi Ulfa Annisa

Dengan judul/topik : Kejang Demam + Community Aquired Pneumonia

Nama Pendamping : dr. Nuraisyah, M.Kes

Nama Wahana : RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar

No. Nama Peserta Presentasi No. Tanda Tangan

dr.Eka Sri Indra Putri


1 1
dr.Citra Ayu Anggreli
2 2
dr.Sherti Amelia
3 3
dr.Dwi Ulfa Annisa
4 4
dr.Rimayanti
5 5
dr.Erizon
6 6
dr.Patriot Fajri Rakasi
7 7

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan sesungguhnya.

Pendamping

19
dr. Nur Aisyah, M.Kes

20

Anda mungkin juga menyukai