Anda di halaman 1dari 11

TUGAS TAKE HOME

IRIGASI DAN DRAINASE

Disusun oleh:

Nama : Indra Wardana Damanik

NIM : 155040200111077

Kelas :C

PROGRAM STUDY AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017
PEMBERDAYAAN PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR (P3A)

1. Makna pemberdayaan
Pemberdayaan secara harafiah bermakna menyebabkan lebih berdaya
dari sebelumnya dalam pengertian wewenang dan tanggung jawab temnasuk
kemampuan individual yang dimilikinya dapat di artikan juga sebagai Proses yang
mengembangkan dan memperkuat kemampuan sesuatu untuk terus dapat memberikan
manfaat dalam proses yang dinamis secara bertanggung jawab. Pemberdayaan selalu
berhubungan dengan manusia baik sebagai pelaku maupun pemanfaat dan sesuatu
(misalnya air, atau lahan). Selain itu pemberdayaan selalu menqacu pada perubahan
2. Pemberdayaan Pengelolaan Irigasi
Sebagai sarana untuk pembangunan sumberdaya air yang diarahkan untuk
memotong garis kemiskinan dengan menaikkan produksi pertanian melalui program
pencapaian swasembada
3. Pembangunan dan pengelolaan irigasi dengan paradigma baru
Dilakukan agar tujuan pengembangan manusia dan kemanusiaannya
tercapai sehingga keberadaan manusia dan kemanusiaan menjadi lebih penting dari
pembangunan.
4. Pemberdayaan organisasi petani
Pemberdayaan organisasi petani akan dapat berjalan dengan baik apabila unsur-
unsur dalam organisasi tersebut dapat berkesetimbangan dengan lingkungan
strategisnya sehingga pengelolaan irigasi, pelaksanaan terpusat, pendekatan atas
bawah dan seragam -tersebut yang dilakukan agar pembangunan perangkat lunak
berupa penyusunan perangkat hukum dan pembentukan organisasi petani dapat
tercapai.
PEDOMAN PEMBINAAN DAN PEMBERDAYAAN PERKUMPULAN
PETANI PEMAKAI AIR

Petani adalah orang yang mata pencaharian pokoknya mengusahakan lahan untuk
budidaya tanaman pangan/usaha tani padi. Terdapat Pembinaan Perkumpulan Petani
Pemakai Air, yang berfusngsi sebagai organisasi petani mengelolaan jaringan irigasi
pada petak tersier/tingkat usaha tani serta, meningkatkan kemandirian Perkumpulan
Petani Pemakai Air tersebut mulai dari bidang teknik irigasi, sosial, ekonomi dan
organisasi, sehingga dapat berperan aktif dalam kegiatan pengembangan dan
pengelolaan sistem irigasi partisipatif. Hal ini dapat meningkatkan pelayanan
pendistribusian air irigasi untuk petani anggota Perkumpulan Petani Pemakai Air
dalam melaksanakan kegiatan usaha tani dan dapat menjalin kerjasama antara pihak
luar dengan petani termasuk pemerintah daerah atau lembaga lain untuk kepentingan
petani anggota. Petani juga berperan dalam penyelenggaraan irigasi secara partisipatif
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan jaringan
irigasi, dan pengelolaan sumber daya air untuk peningkatan produksi pangan dan
kepentingan pembangunan pertanian pedesaan. Adapun ruang lingkup untuk Pedoman
tersebut adalah penumbuhan kesadaran petani, kemudian pembinaan setiap petani, lalu
memberdayakan petani tersebut serta membentuk organisasi dan tata hubungan kerja
sehingga petani dapat memiliki system informasi dalam masalah irigasi serta dapat
memonitoring, meng-evaluasi dan membahas hal hal mengenai permasalahan irigasi
pada lahan yang mereka gunakan.
IRIGASI SEBAGAI BAGIAN PETAK TERSIER

Untuk mengatur aliran air dan sumbernya ke petak-petak sawah, diperlukan


pengembangan sistem irigasi di dalam petak tersier untuk meningkatan produksi
tanaman pangan, pembangunan sektor pertanian mengutamakan program intensifikasi,
ekstensifikasi dan diversifikasi. Seiring dengan perkembangan teknologi pertanian
serta kenyataan bahwa varietas tanaman modern menuntut pengelolaan air secara tepat
guna, maka seluruh prasarana di daerah-daerah pertanian harus dikembangkan.
Perencanaan ini bertujuan agar pengelolaan air dapat dilaksanakan dengan baik.
Operasi dan Pemeliharaan jaringan dapat dengan mudah dilakukan oleh para petani
pemakai air dengan biaya rendah.saluran petak tersier itu sendiri yaitu Saluran tersier
membawa air dari bangunan sadap tersier di jaringan utama ke petak-petak kuarter.
Batas ujung saluran tersier adalah boks bagi kuarter yang terakhir. Para petani
menggunakan air dari saluran kuarter. Dalam keadaan khusus yang menyangkut
topografi dan kemudahan pengambilan air, para petani diperkenankan mengambil air
dari saluran tersier tanpa merusak saluran tersier. Saluran kuarter membawa air dari
boks bagi kuarter melalui lubang sadap sawah atau saluran cacing ke sawah-sawah.
Jika pemilikan sawah terletak lebih dari 150 m dan saluran kuarter, saluran cacing dapat
mengambil air langsung tanpa bangunan dari saluran kuarter. Saluran kuarter
sebaiknya berakhir di saluran pembuang agar air irigasi yang tak terpakai bisa dibuang
sehingga saluran tidak tergerus. Saluran pembuang kuarter terletak di dalam petak
tersier untuk menampung air langsung ke sawah dan membuang air ke saluran
pembuang tersier. Saluran pembuang tersier terletak di dan antara petak-petak tersier
dari jaringan irigasi sekunder yang sama, serta menampung air dan pembuang kuarter
maupun langsung dan sawah.
KEBIJAKAN SISTEM KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI

Pemerintah berupaya untuk meningkatkan produksi beras dan taraf hidup petani
sehingga diperoleh manfaat penghematan devisa nasional dan membuka kesempatan
kerja serta mengurangi kemiskinan. Kebijakan pemberdayaan Lembaga Pengelola
Jaringan Irigasi di tingkat desa dan sebagai pedoman untuk meningkatkan keberadaan
HIPPA sebagai lembaga pengelola jaringan irigasi yang mandiri dalam pengelolaan
maupun pemeliharaan jaringan irigasi. Serta menggunakan metode analisis SWOT
untuk menentukan Strategi kebijakan pemberdayaan HIPPA.
Organisasi HIPPA harus berbentuk badan hokum agar bias terlaksana dengan
baik, pemerintah sebagai fasilitator agar kegiatan menjadi lancer serta menjadi
motivator agar menjadi pengaruh (influence) bagi orang yang belum mengetahuinya ,
mengadakan kerja sama pengelolaan dalam kegiatan pengembangan dan rehabilitasi
jaringan irigasi pemerintah, menyediakan tenaga pendamping untuk agar petani
menjadi ter arah, menyediakan sarana produksi agar pekerjaan petani menjadi tidak
terlalu terbebani dan memfasilitasi pembentukan koperasi serba usaha untuk
keberlangsungan usaha para petani.
DINAMIKA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI

Dalam upaya menciptakan pengelolaan sumberdaya air yang efisien dan


merata, diperlukan penyesuaian kelembagaan baik untuk kelembagaan pemerintah,
swasta maupun petani. Pada kebijakan pengelolaan irigasi pasca inpres no.3/1999,
terdapat perubahan fenomenal terlihat dari kebijakan pemerintah terbaru dalam
pengelolaan air irigasi yaitu Inpres No.3/1999 tentang pembaharuan kebijakan
pengelolaan irigasi yang memuat 5 (lima) isi pokok sebagai berikut : (1) Redefinisi
tugas dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi, (2) Pemberdayaan Perkumpulan
Petani Pemakai Air, (3) Penyerahan Pengelolaan Irigasi (PPI) kepada P3A, (4)
Pembiayaan operasional dan pemeliharaan (OP) jaringan irigasi melalui IPAIR, dan
(5) keberlanjutan sistem irigasi. Terlaksananya pembaharuan kebijakan pengelolaan
irigasi ini sangat bergantung pada upaya pemerintah dalam pemberdayaan P3A,
khususnya menyangkut tiga aspek pokok yaitu: (1) penyerahan pengelolaan irigasi
(PPI), (2) pelaksanaan IPAIR, dan (3) pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi.
Implementasinya yaitu pembentukan Struktur Organisasi Federasi P3A.

Melalui penggabungan P3A berdasarkan hamparan hidrologis diikuti dengan


kewenangan yang diperluas akan menunjang peningkatan efisiensi kinerja P3A. Hal
ini akan dicirikan oleh: (a) kurangnya unsur birokratis, (b) komunikasi dan koordinasi
relatif cepat dan lancar, (c) pihak-pihak yang berkepentingan terepresentasi dalam
kepengurusan organisasi gabungan P3A/Federasi, dan (d) pengelolaan dana IPAIR
akan lebih transparan dan demokratis. Keberhasilan dari penerapan model yang
disarankan tergantung dari dukungan Pemda setempat dan instansi terkait, serta adanya
komitmen dan disiplin yang tinggi dari para pelaku pengelola air irigasi. Model
tersebut bersifat lentur terhadap perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika yang
berkembang, sehingga dalam proses pematangannya, perlu dimodifikasi sesuai dengan
kebutuhan agar model selalu mampu mangakomdasi kepentingan dari para pelakunya.
PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN
DIREKTORAT

Penyelenggaraan Pemberdayaan Kelembagaan yang berbasis pada peran serta


(partisipasi) petani dan kelompoknya dalam pengelolaan irigasi diharapkan dapat
dilaksanakan sejak dari tahap pemikiran awal, perencanaan, pengambilan keputusan,
pelaksanaan kegiatan (pembangunan/pengembangan infrastruktur irigasi), operasional
dan pemeliharaan, sampai dengan tahap monitoring dan evaluasi. Lingkup kegiatan
mencakup 2 jenis sub kegiatan yang terkait satu sama lain, yaitu : (1) Pemberdayaan
Kelembagaan Petani Pemakai Air, terdiri dari Kegiatan Penyusunan Profil Sosial
Ekonomi Teknis Kelembagaan(PSETK); dan Penguatan Kelembagaan Petani Pemakai
Air dalam bentuk pelatihan yang dilaksanakan melalui pola swakelola oleh dinas
kabupaten/kota dengan dana sebesar Rp. 20.000.000,-/ Unit; (2) Pengelolaan Irigasi
Partisipatif (PIP), dilaksanakan melalui pola bansos dengan dana sebesar Rp.
60.000.000,-/Unit, untuk pengembangan/rehabilitasi sarana dan prasarana irigasi di
tingkat usahatani (jaringan irigasi tersier, dam parit, irigasi pompa/ pipanisasi dan lain-
lain). Kegiatan Pemberdayaan Kelembagaan TA 2014 sebanyak 500 unit, seluruhnya
mendukung sub sektor Tanaman Pangan yang akan dilaksanakan di 30 Provinsi pada
237 Kabupaten/Kota.
PENENTUAN PRIORITAS PROGRAM PENGEMBANGAN
KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN IRIGASI DI INDONESIA

Kebijakan pemerintah dalam penentuan prioritas program pengembangan


dan pengelolaan irigasi di Indonesia menjadi obyek penelitian adalah 16 propinsi yang
menerapkan PKPI (Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi). berdasarkan analisis
multiatribut dengan kriteria SWOT. Penentuan nilai faktor SWOT didasarkan atas
jawaban responden di propinsi tentang kondisi pengelolaan irigasi di setiap daerah.
Penentukan bobot faktor SWOT didasarkan jawaban responden di Pusat yang diolah
menggunakan prinsip Comparative Judgment (AHP). Hasil penelitian menunjukan
bahwa propinsi Bali, NTB, KalBar, dan Gorontalo sebaiknya menggunakan strategi
Growth oriented. Propinsi Ba-bel, KalTeng, Kal-Tim, Sul-Teng, Mal-Ut, dan Papua
sebaiknya menggunakan strategi Turn around. Propinsi Jambi, Sulut, Kal-Sel, dan
Maluku sebaiknya menggunakan strategi Diversification, sedang propinsi Riau dan
Bengkulu sebaiknya menggunakan strategi Defensive. Melalui matriks profil
kompetitif diketahui urutan (ranking) dari 16 propinsi dimana propinsi NTB, Bali,
Gorontalo, Sul-Teng, dan Kal-Bar menempati posisi 5 propinsi teratas. Propinsi Bali,
NTB, Kal-Bar, dan Gorontalo sebaiknya menggunakan strategi Growth oriented. Dari
tipologi strategi dan penilaian faktor-faktor SWOT yang dominan disusun prioritas
kegiatan yang paling sesuai untuk masing-masing propinsi. Melalui matriks profil
kompetitif diketahui urutan (ranking) dari 16 propinsi dimana propinsi NTB, Bali,
Gorontalo, SulTeng, dan Kal-Bar menempati posisi 5 propinsi teratas. Kelemahan dari
proyek tersebut yaitu masih kuatnya paradigma pembangunan sentralistik, topdown,
dan pola pikir ”project oriented” dikalangan aparat daerah. Lemahnya koordinasi antar
Lembaga Pengelola Irigasi dan masih mendominasinya Dinas Pemda akibat lemahnya
SDM petani sehingga mengakibatkan tidak mungkinnya mencapai pengelolaan irigasi
yang baik dan keberlanjutan kalau pemerintah daerah hanya memberikan alokasi dana
APBD yang kecil untuk irigasi dan selalu mengharapkan bantuan dana dari Pusat dan
pinjaman luar negeri.
EVALUASI ASPEK KELEMBAGAAN PENGELOLAAN JARINGAN
IRIGASI DI TINGKAT PETANI PADA USAHATANI PADI SAWAH DI
KABUPATEN BANJARBARU, KALIMANTAN SELATAN

Pada dasarnya, air perlu diatur agar pemberiannya pada lahan tepat jumlah dan
waktu. Dengan teknologi manapun, untuk mengelola air irigasi dengan baik, perlu
dilaksanakan serangkaian kegiatan yang menyangkut semua aspek operasi dan
pemeliharaan, mulai dari pengerahan tenaga untuk pembersihan, perbaikan dan
penyelesaian konflik tentang pembagian air dan perencanaan untuk musim tanam
berikutnya. Dari segi kelembagaan, upaya untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan
air irigasi antara lain dilakukan pembentukan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).
Menurut PP 23/1982, para petani pemakai air diberi tanggung jawab sepenuhnya dalam
mengelola jaringan irigasi tersier. Terdapat 7 indikator untuk melaksanakannya, antara
lain yaitu Indikator Pelayanan Irigasi, Indikator Kondisi Fisik Kebutuhan
Air,Indikator Pemeliharaan Saluran Irigasi (Tersier/Kuarter), Indikator
Perkumpulan Petani Pemakai Air. Indikator Penyuluhan Pertanian, Indikator
Pengembangan Tata Guna Air, Indikator Saluran Pembuang (Drainase). Hasil-
nya menunjukkan evaluasi merupakan perbandingan antara keadaan sesungguhnya
dalam pelaksanaan proyek,unjuk hasil dan pengaruhnya terhadap data
perencanaannya, masukan,hambatan dan keluaran proyek. Direktorat Jenderal
Pengairan telah mengembangkan cara pemantauan dan penilaian proyek, kegiatan ini
merupakan kegiatan yang memberi manfaat besar terhadap petugas proyek khususnya
dalam penentuan kebijaksanaan tata pengaturan air sehingga tercapai hasil pertanian
yang diinginkan. Serta untuk meningkatkan kinerja pengelolaan irigasi di tingkat petani
agar mencapai hasil produksi usahatani padi yang optimal maka dari aspek
kelembagaan lebih ditingkatkan koordinasi dan partisipasi petani dalam P3A sehingga
kesadaran untuk pemeliharaan jaringan irigasi meningkat serta komunikasi antara
petani dan penyuluh pertanian ditingkatkan sehingga pemanfaatan irigasi akan sejalan
dengan peningkatan produksi usahatani padi.
HUBUNGAN DINAMIKA PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR
(P3A) DENGAN TINDAKAN PERBAIKAN INFRASTRUKTUR IRIGASI
DI KECAMATAN POLOKARTO KABUPATEN SUKOHARJO

Keberlanjutan pembangunan pertanian tidak lepas dari peran petani dalam


pelaksanaan kegiatan pertanian. Dikuatkan dengan adanya program pertanian yang
dicanangkan pemerintah tentang Pancayasa Pembangunan Pertanian yang menyangkut
lima pilar dalam usaha perbaikan infrastruktur pertanian di antaranya jaringan irigasi.
Kualitas dan keandalan jaringan irigasi sangat berpengaruh terhadap pemenuhan
ketersedian sumberdaya air dalam pertanian. Oleh karena itu untuk meningkatkan
kualitas irigasi diperlukan adanya tindakan perbaikan terhadap aringan irigasi.
Penelitian ini dilatarbelakangi bahwa Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)
mempunyai wewenang dan tanggungjawab untuk melakukan pengelolaan serta
pengembangan terhadap jaringan irigasi tingkat usahatani, sehingga kondisi P3A akan
menentukan tindakannya dalam perbaikan infrastruktur irigasi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui dinamika P3A, mengkaji tindakan perbaikan infrastruktur irigasi,
serta mengkaji hubungan antara dinamika P3A dengan tindakan perbaikan infrastruktur
irigasi di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Metode dasar penelitian yang
digunakan adalah metode diskriftif analitis dengan teknik survei. Penetapan lokasi
penelitian diambil secara sengaja (purposive) yakni Kecamatan Polokarto. Populasi
dalam penelitian ini adalah P3A di Kecamatan Polokarto kabupaten Sukoharjo, dengan
sampel semua P3A di Kecamatan Polokarto yakni 17 Kelompok. Responden diambil
secara sengaja dari tiap-tiap kelompok 4 responden sehingga sebanyak 68 responden.
Untuk mengetahui dinamika P3A dan tindakan perbaikan terhadap infrastruktur irigasi
digunakan nilai tengah atau median. Untuk mengetahui deraat hubungan antara
dinamika P3A dengan tindakan perbaikan infrastruktur irigasi digunakan analisis
korelasi rank spearman (rs).
ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK
REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI

Pembangunan cenderung semakin memusnahkan sistem ilmu pengetahuan asli


(indigenous knowlege), merubah struktur perhubungan yang sudah ada terhadap
ekosistem, dan mekanisme biologi yang selama ini digunakan dalam penyesuaian
lingkungan. Sejak Pelita I (1969-1974) pemerintah melakukan rehabilitasi jaringan
irigasi, perbaikan pengelolaan air di tingkat tersier dan perluasan areal irigasi, sebagai
proses pembangunan di sektor pertanian. Salah satunya seperti yang terjadi di Desa
Situ ilir, tepatnya kawasan irigasi Cigamea. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengidentifikasi apakah fenomena seperti yang disebutkan Coward (1988) dan
Sajogyo sebagaimana dikutip Tjondronegoro (1999) terjadi di Desa Situ Ilir, serta
mengidentifikasi implikasi atau dampak lebih lanjut dari proyek tersebut terhadap
keberlanjutan kelembagaan irigasi yang ada, dan produksi pertanian padi sawah di
Desa Situ Ilir. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, keragaan kelembagaan dalam
penelitian ini kemudian ditelusuri dalam konteks aspek aktivitas-aktivitas mendasar
dalam suatu sistem irigasi yang bersandar pada aspek-aspek struktural maupun
kulturalnya. Penelitian ini dilakukan di kawasan irigasi Cigamea yang berlokasi di
Desa Situ Ilir, Kacamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret sampai dengan bulan Agustus 2008.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui metode studi kasus yang
menerapkan sejumlah metode (multi metode) seperti pengamatan, wawancara
mendalam, serta analisis dokumen. Data-data kualitatif yang diperoleh kemudian
direduksi melalui proses pemilihan, pemusatan perhatian, serta penyederhanaan data-
data “kasar” yang diperoleh dari catatan harian untuk proses mengkoding data-data
tersebut ke dalam suatu kelompok-kelompok sub tema yang sama (gugus-gugus).

Anda mungkin juga menyukai