Anda di halaman 1dari 17

DIABETIC RETINOPATHY

a. Definisi
Retinopati diabetikum adalah kerusakan progresif pada retina akibat diabetes menahun.
Semakin lama seseorang menderita diabetes melitus, semakin besar kemungkinan seseorang
menderita retinopati diabetikum. Kelainan ini dapat terjadi pada penderita Insulin Dependent
Diabetes Melitus (IDDM) ataupun Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM). Ketika
diagnosis IDDM ditegakkan sekitar 5 tahun, 23% pasien sudah menderita retinopati diabetikum
dan prevalensi retinopati diabetikum meningkat menjadi 80% setelah 15 tahun. Pasien yang
didiagnosa NIDDM memiliki resiko yang sama tetapi prevalensi terkena retinopati diabetikum
sedikit lebih rendah dibandingkan dengan IDDM.
Retinopati diabetikum adalah kelainan retina pada penyakit diabetes yang disebabkan
karena adanya mikroangiopati pada pembuluh darah retina. Retinopati diabetikum sering
mengenai kedua mata dengan derajat yang berbeda-beda. Retinopati diabetikum merupakan
penyebab hampir seperempat kebutaan di negara-negara barat. Retinopati diabetikum
merupakan penyulit penyakit diabetes melitus yang paling penting. Hal ini disebabkan oleh
insidensinya yang cukup tinggi yaitu mencapai 40-50% penderita diabetes melitus dan
prognosisnya yang kurang baik terutama bagi penglihatan. Kontrol diabetes melitus yang baik
akan memperlambat pembentukan retinopati dan penyulit lainnya.

b. Insidensi
Retinopati diabetikum merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada
usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes melitus memiliki risiko 25 kali lebih
mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Di Amerika Utara, 3,6% pasien IDDM
dan 1,6% pasien NIDDM mengalami kebutaan total. Di Inggris dan Wales, sekitar 1000 pasien
diabetes tercatat mengalami kebutaan sebagian atu total setiap tahun.
Retinopati diabetikum biasanya timbul setelah menderita diabetes melitus selama 5-15
tahun. Predisposisi terbanyak pada wanita dibanding laki-laki, umumnya berusia 50-55 tahun.
Retinopati diabetikum sendiri merupakan penyulit yang penting pada penyakit diabetes,
dengan frekuensi 40-50%. Onset retinopati diabetikum pada penderita diabetes melitus
juvenile lebih lambat dibandingkan dengan penderita diabetes melitus dengan usia yang lebih
tua (>40 tahun).1

c. Faktor Risiko
Faktor resiko retinopati diabetikum antara lain:
1. Lamanya penyakit diabetes.
Pada pasien yang terdiagnosa IDDM, tidak ada gejala klinis yang dapat dilihat pada 5
tahun setelah diagnosis awal. Setelah 10-15 tahun, 25-50% pasien menunjukkan tanda-
tanda retinopati. Prevalensi ini meningkat hingga 75-95% setelah 15 tahun dan
mencapai 100% setelah 30 tahun sebelum usia 30 tahun, insidensi terkena retinopati
diabetikum setelah 10 tahun adalah 50%.
Pada pasien NIDDM, insidensi retinopati diabetikum meningkat dengan lamanya
penyakit. Pasien NIDDM, 23% memiliki Non Proliferative Diabetic Retinopathy
(NPDR) setelah 11-13 tahun, 41% memiliki NPDR setelah 14-16 tahun dan 60%
memiliki NPDR setelah 16 tahun.
2. Kontrol glukosa.
Walaupun penyebab retinopati diabetikum sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
tetapi keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dapat dianggap sebagai faktor
resiko utama. The Diabetic Control and Complications Trial (DCCT) memperlihatkan
bahwa kontrol glukosa yang intensif dapat mengurangi insidensi dan progresi retinopati
diabetikum pada pasien IDDM.

d. Patofisiologi
Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari foto reseptor dan sel saraf.
Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan kapiler rerina.
Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar ke seluruh permukaan retina kecuali suatu
daerah yang disebut fovea. Dinding kapiler retina terdiri dari 3 lapisan dari luar ke dalam yaitu
sel perisit, membran basalis dan sel endotel. Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati
diabetikum terletak pada kapiler retina tersebut. Perubahan histopatologi kapiler retina pada
retinopati diabetikum dimulai dari penebalan membran basalis, hilangnya perisit dan
proliferasi endotel dimana pada keadaan lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel perisit
dapat mencapai 1 : 10.
Patofisiologi retinopati diabetikum melibatkan 5 proses dasar yang terjadi di tingkat
kapiler yaitu: 1) pembentukan aneurisma, 2) peningkatan permeabilitas pembuluh darah, 3)
penyumbatan pembuluh darah, 4) proliferasi pembuluh darah baru (neovascular) dan jaringan
fibrosa di retina, 5) kontraksi dari jaringan fibrosis kapiler dan jaringan vitreus. Penyumbatan
dan hilangnya perfusi (nonperfusion) menyebabkan iskemia retina sedangkan kebocoran dapat
terjadi pada semua komponen darah.
Kebutaan akibat retinopati diabetikum dapat terjadi melalui beberapa mekanisme
berikut: 1) edema makula atau nonperfusi kapiler, 2) pembentukan pembuluh darah baru pada
retinopati diabetikum proliferatif dan kontraksi jaringan fibrosis menyeabkan ablasi retina
(retina detachment), 3) pembuluh darah baru yang terbentuk menimbulkan perdarahan
preretina dan vitreus, 4) pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan glaucoma.8
Perdarahan adalah bagian dari stadium retinopati diabetikum proliferatif dan
mnerupakan penyebab utama kebutaan permanen. Selain itu, kontraksi dari jaringan
fibrovaskular yang menyebabkan ablasio retina (terlepasnya lapisan retina) juga merupakan
salah satu penyebab kebutaan pada retinopati diabetikum proliferatif.8
Selain pengaruh hiperglikemia melalui berbagai jalur metabolisme, sejumlah faktor lain
yang terkait dengan diabetes melitus seperti peningkatan agregasi trombosit, peningkatan
agregasi eritrosit, viskositas darah, hipertensi, peningkatan lemak darah dan faktor
pertumbuhan, diduga dapat juga berperan dalam timbulnya retinopati diabetikum walaupun
sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan mekanisme pasti terjadinya retinopati akibat dari
diabetes. Beberapa teori telah dipostulasikan untuk menjelaskan perjalanan retinopati
diabetikun, antara lain:1,8
a) Growth Hormone
Growth hormone tampaknya memiliki peran dalam pembentukan dan perjalanan dari
retinopati diabetes. Pada wanita yang menderita nekrosis hemoragik post-partum
kelenjar pituari (Sheehan syndrome) ditemukan perbaikan dari retinopati diabetes yang
dideritanya. Hal ini mengakibatkan timbulnya praktik-praktik kontroversial pada tahun
1950-an untuk mengobati dan mencegah retinopati diabetes dengan cara mengablasi
kelenjari pituari. Tetapi teknik ini telah ditinggalkan akibat dari banyaknya komplikasi
sistemik yang terjadi dan telah ditemukan pengobatan laser yang terbukti lebih efektif.1
b) Platelet dan Viskositas Darah
Variasi kelainan darah yang ditemukan pada diabetes, seperti peningkatan agregasi
eritrosit, penurunan deformabilitas sel darah merah, peningkatan agregasi platelet dan
adhesi, merupakan suatu predisposisi terjadinya perlambatan sirkulasi, kerusakan
endotelial dan oklusi fokal kapiler. Semua ini menyebabkan iskemia pada retina, yang
selanjutnya mengarah kepada terjadinya retinopati diabetes.1
c) Aldose Reduktase dan Faktor-faktor Vasoproliferatif
Pada dasarnya DM menyebabkan metabolisme glukosa yang abnormal, akibat dari
penurunan aktivitas insulin. Peningkatan kadar gula darah diperkirakan memiliki efek
struktural dan fisiologis pada kapiler-kapiler retina, menjadikan mereka inkompeten
secara fungsional dan anatomis.
Peningkatan kadar gula darah yang persisten mengakibatkan perpindahan glukosa yang
berlebihan ke jalur aldose reduktase, yang mengubah gula menjadi alkohol (contohnya,
glukosa menjadi sorbitol, galaktosa menjadi dulsitol), pada jaringan-jaringan tertentu.
Perisit intramural pada kapiler-kapiler retina tampaknya dipengaruhi oleh peningkatan
kadar sorbitol tersebut, yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan pada
fungsi-fungsi primernya (antara lain, autoregulasi kapiler-kapiler retina).1
Penurunan fungsi retina menyebabkan kelemahan dan pembentukan kantung-kantung
sakular daripada dinding-dinding kapiler (miroaneuriasma). Mikroanerisma merupakan gejala
awal yang dapat dideteksi pada retinopati diabetes. Ruptur dari mikroanerisma mengakibatkan
perdarahan retina, baik superfisial (perdarahan yang berbentuk flame) maupun pada lapisan
dalam dari retina (perdarahan berbentuk titik). Peningkatan permeabilitas pada pembuluh-
pembuluh tersebut menyebabkan kebocoran cairan dan material kaya protein, yang secara
klinis tampak seperti penebalan retina dan adanya eksudat. Apabila pembengkakan dan
eksudasi terjadi pada makula, dapat terjadi penurunan pada penglihatan sentral. Edema makula
merupakan sebab yang paling sering mengakibatkan penurunan penglihatan pada pasien-
pasien dengan retinopati diabetes non-proliferatif. Tetapi, hal tersebut juga dapat menyulitkan
pada kasus-kasus retinopati diabetes proliferatif.1
Teori lain yang berusaha menjelaskan terjadinya edema makula berhubungan dengan
peningkatan kadar diasilgliserol (DAG) dari proses pengurangan glukosa yang berlebihan. Hal
ini diperkirakan akan mengaktivasi protein kinase C (PKC), yang selanjutnya mempengaruhi
dinamika perdarahan retina terutama permeabilitas dan arus yang mengarah pada kebocoran
cairan dan penebalan retina.
Selama penyakit tersebut berjalan, kadang terjadi penutupan dari kapiler-kapiler retina
yang berlanjut ke hipoksia. Infark dari lapisan serabut saraf menimbulkan pembentukan cotton-
wool spots akibat stasis pada arus aksoplasma.
Hipoksia retina yang terus bertambah mengaktifkan mekanisma kompensasi pada mata untuk
menyediakan oksigen yang cukup ke jaringan. Abnormalitas kaliber vena, seperti perdarahan
vena, loops dan dilatasi vena, menguatkan dugaan peningkatan hipoksia dan hampir selalu
tampak pada perbatasan kapiler non-perfusi. Abnormalitas mikrovaskular intraretina dapat
terdiri dari pertumbuhan pembuluh-pembuluh baru atau remodeling dari pembuluh-pembuluh
yang masih ada pada jaringan retina, yang bermanfaat sebagai shunt ke daerah yang tidak ada
perfusi.
Peningkatan yang berkelanjutan dari iskemia retina mengaktifkan produksi dari faktor-
faktor proliferasi, yang menstimulasi pembentukan pembuluh-pembuluh baru. Pertama,
matriks ekstraselular dirusak oleh protease, kemudian pembuluh-pembuluh baru muncul dari
venula pada rtina menembus internal limiting membrane dan membentuk jaringan kapiler
antara permukaan dalam dari retina dengan permukaan posterior hialoid.1
Neovaskularisasi umumnya dapat diamati pada perbatasan antara retina yang diperfusi
dan yang tidak diperfusi, dan umumnya terjadi sepanjang vascular arcades dan pada kepala
nervus optikus. Pembuluh-pembuluh tersebut menembus dan tumbuh pada permukaan retina
dan pada lipatan dari permukaan posterior hialoid. Secara almiah pembuluh-pembuluh ini
jarang menyebabkan gangguan penglihatan. Tetapi mereka sangat rapuh dan sangat permeabel.
Pembuluh-pembuluh ini sangat mudah terpengaruh oleh traksi dari vitreus, yang mengibatkan
terjadinya perdarahan pada ruang vitreus atau ruang preretina.1
Pembentukan-pembentukan pembuluh baru tersebut berhubungan dengan sejumlah
kecil pembentukan jaringan fibroglial. Tampaknya peningkatan jumlah dari neovaskularisasi
dibarengi juga oleh pembentukan jaringan fibrosa. Pada tahap yang lebih lanjut, pembuluh-
pembuluh tersebut beregresi, yang pada akhirnya hanya akan meninggalkan jaringan fibrosa
avaskular yang melekat pada retina juga pada permukaan posterior hialoid. Saat vitreus
berkontraksi, akan menambah daya traksi pada retina melalui jaringan-jaringan fibroglial
tersebut. Traksi dapat mengakibatkan edema retina, heterotropi retina dan pelepasan retina oleh
traksi atau pembentukan sobekan retina yang berlanjut pada pelepasan retina.1

e. Manifestasi Klinis
Retinopati diabetikum biasanya ditemukan bilateral, simetris, dan progresif, dengan
tiga bentuk, yaitu :1,2,5
1. Back ground : miroaneurisma, perdarahan bercak dan titik, serta edema sirsinata.
2. Makulopati : edema retina dan gangguan fungsi mukosa.
3. Proliferasi : vaskularisasi retina dan badan kaca.
Kelainan retina pada retinopati diabetikum dapat berbentuk:
1. Mikroaneurismata, merupakan pelebaran pembuluh darah vena, yang pada
pemeriksaan funduskopi akan terlihat berupa bintik merah kecil yang terletak dekat
pembuluh darah terutama polus posterior. Mikroaneurismata merupakan kelainan
diabetes melitus dini pada mata.
2. Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurismata di polus posterior dan besarnya sebanding dengan buruknya
penyakit.. Perdarahan terjadi akibat gangguan permeabilitas pada mikroaneurismata
sehingga aneurisma pecah atau karena pecahnya kapiler.
3. Dilatasi pembuluh darah terutama vena dengan lumennya ireguler dan berkelok-kelok,
bentuk ini seakan-akan dapat memberikan perdarahan tapi hal ini tidaklah demikian.
Hal ini terjadi akibat kelainan sirkulasi dan kadang-kadang disertai kelainan endotel
dan eksudasi plasma.
4. Hard exudates (waxy exudate/fatty eksudat) merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina
(penimbunan protein, lemak dan air). Gambarannya khusus yaitu ireguler, kekuning-
kuningan. Pada permulaan eksudat puntata membesar dan bergabung. Eksudat ini dapat
muncul dan menghilang dalam beberapa minggu. Kelainan ini terutama terdiri atas
bahan-bahan lipid dan terutama banyak ditemukan pada keadaan hiperlipoproteinemia.
Pada angiografi fluoresin tampak sebagai kebocoran fluoresin di luar pembuluh darah.
5. Soft exudate (cotton wool patches/becak wol-katun) merupakan tanda iskemia retina.
Pada pemeriksaan oftalmoskop akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan
berwarna putih, tidak berbatas tegas. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi
dan dihubungkan dengan iskemia retina.
6. Edema retina yang ditandai dengan hilangnya gambaran retina terutama daerah makula
sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan pasien.
7. Pembuluh darah baru (neovaskularisasi) pada retina dan badan kaca, biasanya terletak
dipermukaan jaringan. Neovaskularisasi terjadi akibat proliferasi sel endotel pembuluh
darah, tampak sebagai pembuluh darah yang berkelok-kelok, yang merupakan tanda
awal dari penyakit yang berat. Mula-mula terletak dalam jaringan retina (intraretinal)
terutama di dekap papil atau sepanjang vena retina, kemudian menembus membran
limitans interna dan berkembang ke daerah preretinal dan badan kaca (intravitreal).
Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan
retina, perdarahan subhialoid (preretinal) maupun perdarahan badan kaca. Proliferasi
preretinal biasanya diikuti proliferasi jaringan glia. Hal ini merupakan awal penyakit
yang berat pada retinopati diabetikum.
8. Obstruksi kapiler, menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam kapiler retina dan
dapat menyebaban terbentuknya Shunt arteri-vena.
9. Vena melebar, lumen tidak teratur, berkelok-kelok, terjadi akibat kelainan sirkulasi
serta dapat disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma.
10. Hiperlipidemia, keadaan yang sangat jarang. Tanda ini akan hilang bila segera
diberikan pengobatan.
Gambar Penglihatan normal (kiri) dan penglihatan pada retinopati diabetikum (kanan)

f. Klasifikasi
Terdapat banyak klasifikasi retinopati diabetikum, tetapi pada umumnya klasifikasi
didasarkan atas beratnya perubahan mikrovaskular retina atau ada tidaknya pembentukan
pembuluh darah baru di retina. Pertemuan Airlie House membagi retinopati diabetikum atas 3
stadium yaitu stadium nonproliferatif, preproliferatif dan proliferatif.8
Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) membagi retinopati diabetikum
atas nonproliferatif dan proliferatif. Retinopati diabetikum digolongkan sebagai retinopati
diabetikum nonproliferatif (RDNP) apabila hanya ditemukan perubahan mikrovaskular dalam
retina. Kelainan fundus pada RDNP dapat berupa mikroaneurisma atau kelainan intraretina
yang disebut Intraretinal Microvascular Abnormalities (IRMA) akibat peningkatan
permeabilitas kapiler. Penyumbatan kapiler retina akan menimbulkan hambatan perfusi yang
secara klinik ditandai dengan perdarahan, kelainan vena dan IRMA. Iskemia akibat hambatan
perfusi akan merangasang proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular). Neovaskular
merupakan tanda khas retinopati diabetikum proliferatif (RDP).8

Tabel Klasifikasi Retinopati Diabetikum menurut ETDRS8


Retinopati Diabetikum Nonproliferatif (RDNP):
1. Retinopati nonproliferatif minimal: terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi vena,
mikroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras.
2. Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang: terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi
vena derajat ringan, perdarahan, eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA.
3. Retinopati nonproliferatif berat: terdapat ≥ 1 tanda berupa perdarahan dan
mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau IRMA pada
1 kuadran.
4. Retinopati nonproliferatif sangat berat: ditemukan ≥ 2 tanda pada retinopati
nonproliferatif berat.
Retinopati Diabetikum Proliferatif:
1. Retinopati proliferatif ringan (tanpa risiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya
neovaskular pada discus (NVD) yang mencakup < ¼ dari daerah discus tanpa disertai
perdarahan preretina atau vitreus, atau neovaskular di mana saja di retina (NVE)
tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus.
2. Retinopati prolifetatif risiko tinggi: apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor risiko
sebagai berikut: a) ditemukan pembuluh darah baru di mana saja di retina, b)
ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat discus optikus, c) pembuluh darah
baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup ¼ daerah optikus, d)
perdarahan vitreus.
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada discus optikus atau setiap adanya pembuluh
darah baru yang disertai perdarahan, merupakan 2 gambaran yang paling sering ditemukan
pada retinopati proliferatif dengan resiko tinggi.
ETDRS = Early Treatment Diabetic Retinopathy Study; IRMA = Intraretinal Microvascular
Abnormalities; NVD = New vessels on Disc; NVE = New Vessels Elsewhere.

Klasifikasi retinopati diabetikum di Bagian Mata RSCM adalah sebagai berikut:


 Derajat I : mikroaneurisma dengan atau tanpa fatty eksudat pada fundus okuli.
 Derajat II : mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau tanpa fatty
eksudat pada fundus okuli.
 Derajat III : mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak, dengan neovaskularisasi
dan proliferasi pada fundus okuli. Sering terjadi pedarahan intra dan praretinal yang
dapat menyebar kedalam badan kaca.

1. Retinopati Nonproliferatif.
Retinopati diabetikum nonproliferatif merupakan stadium awal dari proses penyakit
retinopati diabetikum. Selama menderita diabetes, keadaan ini menyebabkan dinding
pembuluh darah kecil pada mata melemah. Timbul tonjolan kecil pada pembuluh darah tersebut
(mikroaneurisma) yang dapat pecah sehingga membocorkan cairan dan protein ke dalam retina.
Menurunnya aliran darah ke retina menyebabkan pembentukan bercak berbentuk “cotton
wool” berwarna abu-abu atau putih. Endapan lemak protein yang berwarna putih kuning
(eksudat yang keras) juga terbentuk pada retina. Perubahan ini mungkin tidak mempengaruhi
penglihatan kecuali cairan dan protein dari pembuluh darah yang rusak menyebabkan
pembengkakan pada pusat retina (makula). Keadaan ini yang disebut makula edema, yang
dapat memperparah pusat penglihatan seseorang.7

Gambar Penemuan klinis pada Retinopati diabetic nonproliferative termasuk


mikroaneurisma, perdarahan intraretina, dan eksudat lemak

Nonproliferative Retinopathy terutama ditemukan pada individu yang telah terkena


DM > 20 tahun, namun juga sering muncul pada akhir dekade pertama atau awal dekade kedua
dari perjalanan penyakit DM. Stadium ini ditandai oleh adanya peningkatan permeabilitas
kapiler, dilatasi vena, pembentukan mikroaneurisma serta pendarahan superfisial (flame-
shaped) dan profunda (blot).

Gambar Early Diabetic Retinopathy with exudates and microaneursyms


Gambar Fluorescein angiogram showing leakage from microaneursyms

Mikroaneurisma merupakan penonjolan dinding kapiler, dengan bentuk berupa bintik


merah kecil, sedangkan vena mengalami dilatasi dan menjadi berkelok-kelok. Pendarahan
superfisial yang terjadi berbentuk flame-shaped disebabkan oleh lokasinya yang terletak pada
lapisan serabut saraf yang horisontal, sedangkan pendarahan profunda berbentuk blot karena
sel–sel dan akson pada lapisan profunda yang vertikal.
Pada stadium ini juga dapat terjadi edema makula yang merupakan penyebab paling
sering hilangnya visus pada penderita diabetic retinopathy. Edema ini disebabkan kebocoran
serum melalui dinding pembuluh darah yang inompeten. Edema dapat fokal atau difus, yang
ditandai oleh gambaran retina yang berawan dan tebal disertai dengan mikroaneurisma dan
eksudat intraretina.
Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus yaitu
iregular, kekuning-kuningan. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa bulan
sampai beberapa tahun. Kondisi ini sering muncul pada keadaan hipertensi dan
hiperlipoproteinemia. Soft exudate muncul dan hilang dalam waktu yang lebih sering,
berhubungan dengan meningkatnya permeabilitas kapiler.

2. Retinopati Preproliferatif
Seiring dengan progresivitas dari oklusi mikrovaskular, terjadi peningkatan iskemi
retina pada daerah yang perfusinya buruk, yang pada akhirnya terbentuk area infark. Gambaran
yang khas adalah cotton wool patches yang merupakan infark lapisan serabut saraf akibat
iskemi retina serta abnormalitas pembuluh darah retina di mana terjadi dilatasi segemental yang
ireguler.
Edema makula disertai iskemi yang signifikan pada zona avaskular fovea memiliki
prognosis visus yang buruk, baik dengan atau tanpa terapi laser, bila dibandingkan dengan mata
yang edema namun perfusinya masih cukup baik.
3. Retinopati Proliferatif.
Retinopati nonproliferatif dapat berkembang menjadi retinopati proliferatif yaitu
stadium yang lebih berat pada penyakit retinopati diabetic dan sering ditemukan pasien
diabetes yang sukar dikontrol. Bentuk utama dari retinopati proliferatif adalah pertumbuhan
(proliferasi) dari pembuluh darah (neovaskularisasi) yang rapuh pada permukaan retina.
Pembuluh darah yang abnormal ini mudah pecah, terjadi perdarahan pada pertengahan bola
mata sehingga menghalangi penglihatan. Pada retinopati proliferatif juga akan terbentuk
jaringan parut yang dapat menarik retina sehingga retina terlepas dari tempatnya. Jika tidak
diobati, retinopati proliferatif dapat merusak retina secara permanen serta bagian-bagian lain
dari mata sehingga mengakibatkan kehilangan penglihatan yang berat atau kebutaan.

Gambar Cotton wool spots umum terlihat pada pasien diabetic retinopathy. Gambaran Ini
terlihat akibat adanya miroinfark pada lapisan serat saraf

Gambar Proliferasi fibrovaskular dalam rongga vitreous


Tabel . Pembagian Stadium Retinopati Diabetikum menurut Daniel Vaughan DKK10
Stadium I
- Mikroaneurisma, yang merupakan tanda khas, tampak sebagai perdarahan bulat kecil
di daerah papil dan makula.
- Vena sedikit melebar.
- Histologis: didapatkan mkroaneurisma di kapiler bagian vena di daerah nuclear luar.
Stadium II
- Vena melebar.
- Eksudat kecil-kecil, tampak keras seperti lilin, tersebar atau terkumpul seperti bunga
(circinar) yang histologis terletak di daerah lapisan plexiform luar.
Stadium III
Stadium II + cotton wool patches, sebagai akibat iskemia pada arteriola terminal. Diduga
bahwa terdapat cotton wool patches, bila disertai retinopati hipertensi atau arterisklerosis.
Stadium IV
Vena-vena melebar, cyanosis, tampak sebagai sosis, disertai sheating pembuluh darah.
Perdarahan besar dan kecil, terdapat pada semua lapisan retina, dapat juga di preretina.
Stadium V
Perdarahan besar di retina dan preretina serta di dalam badan kaca. Kemudian disusul dengan
terjadinya retinitis proliferans, akibat jaringan fibrotik yang disertai dengan neovaskularisasi.
Retinitis proliferans ini melekat pada retina, bila mengkerut dapat menimbulkan ablasi
retina, dan dapat mengakibatkan terjadinya kebutaan total.

Derajat retinopati berhubungan erat dengan lamanya diabetes melitus yang diderita.
Diabetes pada orang muda, dapat menyebabkan retinopati diabetikum yang hebat dalam 20
tahun walaupun dikontrol dengan baik dan retinopati dimulai dengan stadium IV melaju ke
stadium V. Pada penderita diabetes tua, retinopati mulai pada stadium I dan jarang melaju
sampai stadium III. Degenerasi makula dapat menurunkan visus sentral pada stadium yang
lebih lanjut.

g. Diagnosis Retinopati Diabetikum


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata. Pemeriksaan
yang biasa dilakukan untuk menilai keadaan retina adalah pemeriksaan dengan oftalmoskopi
dan fotografi retina. Diagnosis retinopati diabetikum didasarkan atas hasil pemeriksaan
funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA) merupakan metode
diagnosis yang paling terpercaya. Tetapi dalam klinik pemeriksaan dengan oftalmoskopi masih
dapat digunakan untuk skrining.

h. Komplikasi dan Faktor yang Memperberat Retinopati Diabetikum


Komplikasi retinopati diabetikum antara lain: perdarahan vitreus dan ablasi retina
traksi. Jika telah terjadi retinopati diabetikum disertai ablasi retina maka pasien akan
kehilangan penglihatan dan sukar diatasi.
Keadaan yang dapat memperberat retinopati diabetikum antara lain:
1. Arteriosklerosis dan hipertensi arteri, serta proses menua (degenerasi) pembuluh darah,
dapat memperburuk prognosis, terutama pada pasien tua.
2. Hipoglikemia atau trauma, dapat menyebabkan timbulnya perdarahan mendadak.
3. Hiperlipoproteinemia, mempengaruhi arteriosklerosis, sehingga mempercepat
progresifitas penyakitnya.
4. Hipertensi arteri. Memperburuk prognosis terutama pada penderita usia tua.
5. Kehamilan pada penderita diabetes juvenilis yang tergantung pada insulin, dapat
menimbulkan perdarahan dan proliferasi.10

i. Terapi dan Pencegahan Retinopati Diabetikum


Terapi retinopati diabetikum adalah:
 Kontrol diabetes melitus.
Kontrol diabetes melitus yang baik akan memperlambat pembentukan retinopati
diabetikum tetapi tidak menyebabkan perbaikan kerusakan yang telah terjadi.
 Fotokoagulasi laser.
Fotokoagulasi preretina biasanya diindikasikan untuk retinopati diabetikum
nonproliferatif yang berat dan retinopati diabetikum proliferatif dini. Fotokoagulasi dilakukan
untuk pengobatan retinopati yang telah mengganggu ketajaman penglihatan atau telah
menimbulkan penyulit. Gangguan penglihatan akan menjadi lebih berat bila terjadi
neovaskularisasi pada retina ataupun badan kaca. Fotokoagulasi dapat menurunkan
kemungkinan perdarahan masif korpus vitreum dan ablasi retina. Fotokoagulasi laser
dilakukan untuk menghancurkan pembuluh darah yang baru dan menyumbat pembuluh darah
yang bocor. Pada retinopati diabetikum proliferatif dilakukan panfotokolagulasi bila telah
memperlihatkan kelainan retina.
 Vitrektomi.
Vitrektomi diindikasikan untuk retinopati diabetikum dengan komplikasi. Vitrektomi
(pembedahan untuk membuang darah dari humor vitreus) dilakukan jika terjadi perdarahan
hebat dari pembuluh darah yang telah mengalami kerusakan dan jika trdapat perdarahan ke
dalam badan kaca. Setelah vitrektomi, fungsi penglihatan akan menunjukkan perbaikan dan
secara bertahap mata akan membentuk humor vitreus baru.
 Diet gizi seimbang.
Memperbaiki pola hidup dan berolah raga secara teratur.
Cara pencegahan yang terbaik adalah mengontrol diabetes dan tekanan darah tinggi.
Penderita diabetes sebaiknya menjalani pemeriksaan mata secara rutin (1 kali/tahun) setelah
terdiagnosis menderita diabetes.

DIABETIC NEFROOPATHY

a. Definisi
Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan
albuminuria menetap (>300 md24 jam atau >200 idmenit) pada minimal dua kali pemeriksaan
dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.
b. Epidemiologi
- Di Amerika dan Eropa, nefiopati diabetik merupakan penyebab utama gaga1 ginjal
terminal.
- Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes melitus tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi
insidens pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes
melitus tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1.
- Di Amerika, nefiopati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di
antara semua komplikasi diabetes melitus, dan penyebab kematian tersering adalah
karena komplikasi kardiovaskular
c. Klasifikasi
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabemelitus lebih banyak dipelajari pada
diabetes melitus tipe 1 dari pada tipe 2, dan oleh Mogensen dibagi menjadi 5 tahapan:
- Tahap 1. Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi
glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat.
- Tahap 2. Secam klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerulus tetap
meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan
histologis awal berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula
peningkatan volume mesangium fraksional (dengan peningkatan matriks mesangium).
- Tahap 3. Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefiopati insipien. Laju
filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi
albumin dalam urin adalah 20 - 200 idmenit (30-300 mg/24 jam). Tekanan darah mulai
meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan
volume mesangium fraksional dalam glomerulus.
- Tahap 4. Merupakan tahap nefiopati yang sudah lanjut han histologis lebih jelas, juga
tirnbul hipertensi Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes pada sebagian
besar pasien. Sindroma nefiotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi
glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menitltahun dan kecepatan penurunan ini
berhubungan dengan tingginya tekanan darah.
- Tahap 5. Tirnbulnya gagal ginjal terminal.
Disamping klasifikasi dari Mogensen, ada beberapa pembagian-pembagian lain seperti
oleh National Kidney Foundation (NKF) (dalam kelompok Diabetic Kidney Disease),
kementerian kesehatan Jepang dan lain-lain yang umumnya bertujuan untuk
menyeragamkan serta mempermudah diagnosis dan tatalaksana.
Mikroalbuminuria
Mikroalbuminuria umumnya didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg per hari
dan dianggap sebagai prediktor penting untuk timbulnya nefropati diabetik.Dianjurkan
penggunaan perbandingan albumin - kreatinine (albumin- creatininer atio - ACR) untuk
kuantifikasi proteinuria serta sebagai sarana follow-up.
Perlu diingat bahwa banyak penyebab mikroalbuminuria di samping diabetes. Beberapa
penyebab proteinuria lain yang juga sering ditemukan adalah tekanan darah tinggi, serta umur
lanjut. Selain itu, kehamilan, asupan protein yang sangat tinggi, stress, infeksi sistemik atau
saluran kemih, dekompensasi metabolik akut, demam, latihan berat dan gagal jantung dapat
meningkatkan laju ekskresi albumin urin. Diagnosis ditegakkan jika 2 dari 3 pemeriksaan
berturut-turut dalam 3 bulan menunjukkan adanya milcroalbuminuria (Gambar 1). Ada
beberapa kondisi yang berhubungan dengan mikroalbuminuria, antara lain: 1). mikroangiopati
diabetik, 2). penyakit kardiovaskular; 3). hipertensi, 4). hiperlipidernia karena itu jika
ditemukan rnikroalbuminuria, maka perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan lain .
Sampai

d. Faktor resiko penyakit ginjal diabetik adalah :


- kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa >140-160 mgldl[7,7-8,8
mmoM]);AlC >7-8%
- faktor-faktor genetis
- kelainan hemodinarnik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus,
peningkatan tekanan intraglomerulus)
- hipertensi sistemik
- sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik)
- keradangan perubahan permeabilitas pembuluh darah
- asupan protein berlebih gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol,
pembentukan advanced glycation end products, peningkatan produksi sitokin)

e. Patologi :
Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membran basalis, ekspansi
mesangium (berupa akurnulasi matriks ekstra seluler; penimbunan kolagen tipe IV, laminin
dan fibronektin) yang kemudian akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler danlatau difus
(Kimmelstiel-Wilson), hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis tubulo-interstisial.

f. Tatalaksana:
Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan apakah masih
normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, tetapi pada
prinsipnya, pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui : 1). pengendalian
gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes); 2). Pengendalian tenakan darah 3. Perbaikan
fungsi ginjal
Terapi non farmakologis neffopati diabetik berupa gaya hidup yang sehat meliputi olah
raga rutin, diet, menghentikan merokok serta membatasi konsurnsi alkohol. Olah raga rutin
yang dianjurkan ADA adalah be rjalan 3-5 kmlhari dengan kecepatan sekitar 10-12 menitkm,
4 sampai 5 kali seminggu. Pembatasan asupan garam adalah 4-5 g/hari (atau 68-85 meqthari)
serta asupan protein hingga 0,8 glkglberat badan idea/lhari.
Target tekanan darah pada nefropati diabetik adalah <130/80 mmHg (Tabel 5). Obat
antihipertensi yang dianjurkan adalah ACE-I atau ARB, sedangkan pilihan lain adalah
diuretika, kemudian beta-blocker atau calcium-channel blocker.
Walaupun pasien nefropati diabetik memiliki tekanan darah normal, penelitian
mutakhir menunjukkan bahwa pemberian ACE-I dan ARB dapat mencegah laju penurunan
hngsi ginjal. Diperkirakan bahwa efek ini dicapai akibat penurunan tekanan darah, penurunan
tekanan intraglomerulus, peningkatan aliran darah ginjal, penurunan proteinuria, efek
natriuretik serta pengurangan proliferasi sel, hipertrofi, ekspansi matriks, sitokin dan sintesa
growth factor, disamping hambatan aktivasi, proliferasi dan migrasi makrofag, serta perbaikan
sensitivitas terhadap insulin.

Anda mungkin juga menyukai